Anda di halaman 1dari 13

KAIDAH FIQHIYYAH

Dosen Pengampu :

Dr. H. H. Ali Akbar Simbolon LC.MA

Disusun Oleh :

Kelompok V

Rio Irawan Munthe 0101232182


Rivaldy Albegri Sianturi 0101232150

Ryan Hidayat 0101232130

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA MEDAN

TAHUN AKADEMIK 2023/2024


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. Karena atas
petunjuk dan kemudahan yang diberikan kepada kami dalam penyelesaian salah satu
tugas kuliah kami yaitu pembuatan makalah dalam hal ini materi yang kami bahas
mengenai mengenai “Kaidah Fiqhiyyah”.

Tak lupa kami curahkan sholawat dan salam kepada junjungan Nabi
Muhammad SAW yang juga telah memberi petunjuk bagi kita semua, sehingga bisa
terselamatkan dari lembah kesesatan. Dalam penyusunan makalah ini, tak semudah
apa yang kami bayangkan. Banyak kesulitan dan hambatan yang kami lalui dalam
penyusunan makalah ini. Tapi berkat Izin dan Rahmat Allah SWT kami mampu
menyelesaikannya.

Harapan kami sebagai penyusun makalah, yaitu semoga apa yang terdapat
dalam lembaran kertas ini, dapat memberi manfaat bagi para pembaca. Tak lupa pula
kami haturkan maaf atas segala kekurangan dan kesalahan yang terdapat dalam
makalah ini. Karena pemilik kesempurnaan yang sesungguhnya adalah Allah SWT.

Wassalamualaikum Wr.

Medan, 27 Maret 2024

Kelompok V

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i

DAFTAR ISI ....................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................1

A. Latar Belakang .........................................................................................................1


B. Rumusan Masalah ...................................................................................................1
C. Tujuan ......................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................2

A. Segala Sesuatu Tergantung Niat ‫االمور بمقاصدها‬........................................................2


B. Kemudharatan Itu Dapat Hilang ‫َالَّض َر ُر ُيَزاُل‬...............................................................3
C. Tradisi Itu Dapat Jadi Hukum ‫العا دة محكمة‬.................................................................4
D. Kesulitan Menimbulkan Kemudahan ‫الَم َش َّقُة َتْج ِلُب الَّتْيِس ْيَر‬..............................................5
E. Yakin Tidak Hilang Dari Keraguan ‫اليقين ال يزال با لشك‬...............................................6

BAB III PENUTUP .........................................................................................................8

A. Keimpulan ................................................................................................................8
B. Saran ........................................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................9

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kaidah-kaidah fikih atau kaidah-kaidah hukum Islam merupakan salah satu kekayaan
peradaban Islam, khususnya di bidang hukum yang digunakan sebagai solusi di dalam
menghadapi problem kehidupan yang praktis baik individu maupun kolektif dengan cara
yang arif dan bijaksana sesuai dengan semangat Al-Quran dan Hadis. Kaidah-kaidah fikih
telah teruji sepanjang sejarah hukum Islam, khususnya sejarah sosial umat Islam pada
umumnya selama 1400 tahun. Kaidah-kaidah tersebut masih relevan dan bisa dikembangkan
lebih jauh untuk digunakan pada masa sekarang, dengan mengedepankan sikap yang moderat
sebagai Ummatan Wasathan di dalam benturan-benturan peradaban masa kini. Prof. H. A.
Djazuli di dalam bukunya ini mencoba memaparkan kaidah-kaidah fikih tersebut, dari kaidah
yang ruang lingkup dan cakupannya paling luas, yaitu (meraih kemaslahatan dan menolak
kemafsadatan) sampai kaidah yang ruang lingkupnya sempit dan cakupannya sedikit, disertai
contoh-contoh yang konkret dan aktual. Sasaran pembaca: Mahasiswa UIN, IAIN, Perguruan
Tinggi Negara dan Swasta, dan khalayak luas.

B. RUMUSAN MASALAH
Adapun Rumusan masalah yang akan di bahas dalam makalah ini adalah sebagai
berikut :
1. Apa Yang Dimaksud Segala Sesuatu Tergantung Niat
2. Bagaimana Kemudharatan Itu Dapat Hilang
3. Bagaimana Tradisi Itu Dapat Jadi Hukum
4. Bagaimana Kesulitan Menimbulkan Kemudahan
5. Apa Yang Dimaksud Dengan Yakin Tidak Hilang Dari Keraguan

C. TUJUAN

Adapun tujuan makalah ini ialah ingin mengetahui apa saja kaidah fiqhiyyah dan
pembahasan tentamg kaidah-kaidah serta pengertian dan tujuannya.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. SEGALA SESUATU TERGANTUNG NIAT ‫االمور بمقاصدها‬

Artinya: “Segala perkara tergantung dengan niatnya” (as-Suyuthi, t.,t.:6) Kaidah ini
diambil dan disarikan dari sejumlah nash-nash Al-Qur‟an dan hadits. Umpamanya firman
Allah SWT:
ۚ‫َو َم ا َك اَن ِلَنْفٍس َأن َتُم وَت ِإاَّل ِبِإْذ ِن ٱِهَّلل ِكَتٰـ ًۭب ا ُّم َؤ َّج اًۭل ۗ َو َم ن ُيِرْد َثَو اَب ٱلُّد ْنَيا ُنْؤ ِتِهۦ ِم ْنَها َو َم ن ُيِرْد َثَو اَب ٱْلَٔـاِخَر ِة ُنْؤ ِتِهۦ ِم ْنَها‬
‫َو َس َنْج ِز ى ٱلَّش ٰـِكِر يَن‬
Artinya: “Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai
ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya
kami berikan kepadanya pahal dunia, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, kami
berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami akan memberi balasan kepada orang-
orang yang bersyukur.”(Q. 3. Ali-„Imran: 145)

Kandungan Kaidah
Ada beberapa hal yang dapat dipahami dari kaidah di atas: Pertama, tujuan niat, Pada
dasarnya, tujuan dan fungsi niat itu adalah untuk membedakan antara perbuatan ibadat dari
perbuatan adat dan untuk penentuan (at-ta‟yin) spesifikasi atau kekhususan antara mandi dan
berwhudu‟ untuk shalat dengan mandi dan mencuci anggota badan untuk kebersihan biasa.
Dengan niat, maka akan terbedalah menahan lapar karena berpuasa dengan menahan lapar
untuk menghindari penyakit atau untuk diet. Kemudian, memberikan sebagian harta kepada
fakir miskin dengan niat zakat, akan berbeda dari memberikannya kepada mereka tanpa niat,
tindakan ini sebagai sumbangan sosial. Menyembelih hewan untuk lauk dan untuk kurban
hanya dapat dibedakan dengan niat.
Berwhudu’, shalat, berpuasa ada yang wajib dan ada yang sunnat. Untuk
menentukannya secara spesifik hanya dengan niat. Bertayamum yang cara pelaksanaannya
1
sama, tetapi hanya dapat dibedakan dengan niat untuk menentukan tujuan menghilangkan
hadas kecil atau hadats besar.

B. KEMUDHARATAN ITU DAPAT HILANG ‫َالَّضَرُر ُيَز اُل‬


1
Dusari, doctor Musallam bin Muhammad bin majod. Almufthi Fil Qowa’id Al-Fiqhiyyah. h.473
2
Kaidah ‫ َالَّضَرُر ُيَز اُل‬berasal dari sabda Nabi,
‫ال َض َرَر وال ِض راَر‬
“Tidak boleh berbuat dharar, begitu pula tidak pula berbuat dhirar.”
(HR Ibnu Majah no. 2340, shahih)
Lantas apa makna dharar dan dhirar di dalam hadits di atas? Para ulama berbeda
pendapat di dalam makna kedua lafadz tersebut.
Pada pendapat kedua ini, para ulama berbeda lagi tentang perbedaan dan makna masing-
masing dari dharar dan dhirar.

1. Dharar adalah memberi kemudharatan kepada orang lain agar dirinya mendapatkan
manfaat dengan hal tersebut. Seperti orang yang menanam mangga di halaman
rumahnya lalu tumbuh menjulang hingga ke halaman rumah tetangganya. Tetapi yang
boleh mengambil buah tersebut hanya dia, adapun tetangganya tidak.
Sedangkan dhirar adalah memberi kemudharatan kepada orang lain tetapi dirinya
tidak mendapat manfaat. Seperti ketika dia mengendarai mobil di tengah jalan yang
digenangi oleh air lalu terciprat sehingga mengenai pejalan kaki yang lewat di jalan
tersebut.
2. Dharar adalah memberikan kemudharatan kepada orang lain dengan status dia yang
memulai. Sedangkan dhirar adalah memberikan kemudharatan dengan status
membalas kemudharatan dari orang lain dengan kemudharatan yang lebih parah.
Kesimpulan dari perbedaan-perbedaan pendapat ini yaitu walaupun para ulama
berbeda pendapat dalam memaknai dharar dan dhirar, intinya segala kemudharatan apapun
bentuknya adalah hal yang terlarang yang harus dihilangkan.

Salah Satu contoh Dharar :

Kemudharatan yang memang diizinkan oleh syariat. Seperti praktek hudud, hukum
qishash, dan hukuman ta’zir dari ulil amri, secara dzhahir semua ini adalah bentuk mudharat
tetapi hakikatnya mendatangkan maslahat. Dalam kaidah ‫ َالَّض َر ُر ُيَزاُل‬ini, yang menjadi pokok
pembahasan adalah jenis kemudharatan yang mana merupakan kemudharatan yang harus
dihilangkan.2

Yang dimaksud dengan kaidah ini bahwa di suatu keadaan, adat bisa dijadikan
pijakan untuk mencetuskan hukum ketika tidak ada dalil dari syari’. Namun, tidak semua adat
2
Duski, ibrahim. Alqowa’id Al-fiqhiyyah AMANAH. Palembang. 2019

3
bisa dijadikan pijakan hukum. Dan pada dasarnya atau asal mula kaidah ini ada, diambil dari
realita sosial kemasyarakatan bahwa semua cara hidup dan kehidupan itu dibentuk oleh nilai-
nilai yang diyakini sebagai norma yang sudah berjalan sejak lama sehingga mereka memiliki
pola hidup dan kehidupan sendiri secara khusus berdasarkan nilai-nilai yang sudah dihayati
bersama. Dalam pengertian dan subtansi yang sama, terdapat istilah lain dari al-‘adah, yaitu
al-‘urf, yang secara bahasa berarti suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang
dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya.

C. TRADISI ITU DAPAT JADI HUKUM ‫العا دة محكمة‬

‫ﺍﻟﻌﺮﻑ ﻫﻮ ﻣﺎ ﺗﻌﺎ ﺭﻑ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻭﺍﻋﺘﺪﻩ ﻓﻰ ﺍﻗﻮﺍﻟﻬﻢ ﻭﺍﻓﻌﺎﻟﻬﻢ ﺣﺘﻰ ﺻﺎﺭ ﺫﺍﻟﻚ ﻣﻄﺮﺩﺍ ﺍﻭﻏﺎ ﻟﺒﺎ‬

‘Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-ngulangnya dalam
ucapannya dan perbuatannya sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku umum”.
Sedangkan arti dari kata “muhakkamah” dalam ilmu hukum Islam adalah putusan hakim
dalam pengadilan dalam menyelesaikan sengketa, artinya adat juga bisa menjadi rujukan
hakim dalam memutus persoalan sengketa yang diajukan ke meja hijau.

Para ahli fiqh mengatakan hal yang mashur yang berhubungan dengan kaidah ini,

‫ﻛﻞ ﻣﺎ ﻭﺭﺩ ﺑﻪ ﺍﻟﺸﺮﻉ ﻣﻄﻠﻘﺎ ﺑﻼ ﺿﺎﺑﻂ ﻣﻨﻪ ﻭ ﻻ ﻣﻦ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﻳﺮﺟﻊ ﻓﻴﻪ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻌﺮﻑ‬

“ semua yang datang dari syara’, secara mutlak, tidak ada ketentuannya dalam agama
dan tidak ada dalam bahasa, maka dikembalikan kepada urf’.”

Dasar-dasar Nash dari kaidah Al-‘aadah Muhakkamah


Dasar hukum didalam Al-Qur’an yaitu:

‫ُﺧ ِﺬ ﺍْﻟَﻌ ْﻔَﻮ َﻭ ْﺃُﻣ ْﺮ ِﺑﺎْﻟُﻌْﺮ ِﻑ َﻭ َﺃْﻋ ِﺮ ْﺽ َﻋ ِﻦ ﺍْﻟَﺠ ﺎِﻫِﻠﻴَﻦ‬

“Dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari orang-
orang bodoh”.(QS.Al-A’raf:199).

‫َﻭ َﻋﺎِﺷ ُﺮﻭُﻫّﻦ ِﺑﺎْﻟَﻤ ْﻌُﺮﻭِﻑ‬

“Dan pergaulilah mereka secara patut”

‫َﻣ ﺎ َﺭ َﺀﺍُﻩ ْﺍﻟُﻤ ْﺴ ِﻠُﻤ ْﻮ َﻥ َﺣ َﺴ ًﻨﺎ َﻓُﻬَﻮ ِﻋ ْﻨَﺪ ِﻪﻠﻟﺍ َﺣَﺴ ٌﻦ َﻭ َﻣ ﺎ َﺭ َﺀﺍُﻩ ﺍﻟُﻤ ْﺴ ِﻠُﻤ ْﻮ َﻥ َﺳ ْﻴًﺌﺎ َﻓُﻬَﻮ ِﻋ ْﻨَﺪﺍِﻪﻠﻟﺍ َﺳْﻲ ٌﺀ‬
“Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi Allah, dan
apa saja yang dipandang buruk oleh orang Islam maka menurut Allah pun digolongkan

4
sebagai perkara yang buruk”(HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu
Mas’ud).
Syarat diberlakukannya kaidah Al-‘aadah Muhakkamah
Al-‘aadah yang bisa dipertimbangkan dalam penetapan hukum adalah al’adah as-
shahihah, bukan al-‘adah al-fasidah. Oleh karena itu, kaidah tersebut tidak bisa digunakan
apabila:
1. Al-‘adah bertentangan dengan nash Al-qur’an dan hadis, seperti: puasa sehari
semalam, kebiasaan menanam kepala hewan kurban waktu membuat jembatan.
Kebiasaan memelihara babi, dan lain sebagainya.
2. Al-‘adah tersebut menyebabkan kemafsadatan atau menghilangkan kemashlahatan
termasuk di dalamnya tidak mengakibatkan kesulitan atau kerusakan, seperti:
menghambur-hamburkan harta, hura-hura dalam perayaan dan lain-lain.
Kaidah-kaidah fiqhiyyah yang berhubungan dengan Kaidah Al’aadah Muhakkamah
‫ِﺍْﺳ ِﺘْﻌ َﻤ ﺎُﻝ ﺍﻟَّﻨﺎِﺱ ُﺣَّﺠ ٌﺔ َﻳِﺠ ُﺐ ﺍﻟَﻌ َﻤ ُﻞ ِﺑَﻬﺎ‬
“ Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah (alasan/argument/dalil) yang
wajib diamalkan”3
Maksud kaidah ini adalah apa yang sudah menjadi adat kebiasaan di masyarakat,
menjadi pegangan, dalam arti setiap anggota masyarakat menaatinya. Contoh: Apabila tidak
ada perjanjian antara sopir truk dan kuli mengenai menaikkan dan menurunkan batu bata,
maka sopir diharuskan membayar ongkos sebesar kebiasaan yang berlaku.

D. KESULITAN MENIMBULKAN KEMUDAHAN ‫الَم َش َّقُة َتْج ِلُب الَّتْيِس ْيَر‬


Kaidah ini termasuk kaidah fiqih yang sangat penting untuk dipahami. Karena,
seluruh rukhshah dan keringanan yang ada dalam syari’at merupakan wujud dari kaidah ini.
Di antara dalil yang menyangkut kaidah ini, yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
‫ُيِريُد ُهَّللا ِبُك ُم اْلُيْس َر َو اَل ُيِريُد ِبُك ُم اْلُعْس َر‬
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
[al-Baqarah/2:185].
‫اَل ُيَك ِّلُف ُهَّللا َنْفًسا ِإاَّل ُو ْس َعَها‬
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. [al-
Baqarah/2:286].
‫َو َم ا َجَعَل َع َلْيُك ْم ِفي الِّديِن ِم ْن َح َر ٍج‬

3
Asymuni, Abdurrahman. Kaidah-kaidah fiqh (qawa’id fiqhiyyah), Bandung: bulan Bintang. 1976
5
“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. [al-
Hajj/22:78].

‫َفاَّتُقوا َهَّللا َم ا اْسَتَطْع ُتْم‬


“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.
[at-Taghâbun/64:16].
Ayat-ayat di atas menjadi landasan kaidah yang sangat berharga ini. Dikarenakan
seluruh syari’at dalam agama ini lurus dan penuh toleransi. Lurus tauhidnya, terbangun atas
dasar perintah beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, tidak
menyekutukannya dengan sesuatu pun.
Demikian pula, syariat ini penuh toleransi dalam hukum-hukum dan amalan-
amalannya. Sebagai contoh, ibadah-ibadah yang tercakup dalam rukun Islam. Salah satunya
dalam ibadah shalat. Jika kita lihat ibadah ini merupakan amaliah yang mudah dan hanya
membutuhkan sedikit waktu. Demikian pula zakat, hanya memerlukan sebagian kecil dari
harta orang yang terkena kewajiban zakat. Itu pun diambil dari harta yang dikembangkan,
bukan harta tetap. Dan zakat ini dilaksanakan hanya sekali dalam setahun. Juga ibadah puasa
Ramadhan yang hanya dilaksanakan selama satu bulan setiap tahun. Ibadah haji yang wajib
dilaksanakan sekali saja seumur hidup bagi orang yang mempunyai kemampuan. Adapun
kewajiban-kewajiban lainnya, maka datang secara insidental sesuai dengan sebab yang
melatarbelakanginnya.

E. YAKIN TIDAK HILANG DARI KERAGUAN ‫اليقين ال يزال با لشك‬

Kaidah ini menjelaskan adanya kemudahan dalam syariah Islam. Tujuannya adalah
menetapkan sesuatu yang meyakinkan dianggap sebagai hal yang asal dan dianggap. Dan
6
bahwa keyakinan menghilangkan keraguan yang sering timbul dari was-was terutama
dalam masalah kesucian dan shalat. Keyakinan adalah ketetapan hati berdasarkan pada dalil
yang pasti, sedangkan keraguan adalah kemungkinan terjadinya dua hal tanpa ada kelebihan
antara keduanya.
Maksudnya adalah bahwa perkara yang diyakini adanya tidak bisa dianggap hilang
kecuali dengan dalil yang pasti dan faktual (berdasarkan fakta) dan hukumnya tidak bisa
berubah oleh keraguan. Begitu juga perkara yang diyakini tidak adanya maka tetap
dianggap tidak ada dan hukum ini tidak berubah hanya karena keraguan (antara ada dan
tiada). Karena ragu itu lebih lemah dari yakin, maka keraguan tidak dapat merubah ada dan
tidak adanya sesuatu. Dalil yang dipakai untuk kaidah keempat ini adalah berdasarkan pada
hadits Nabi di mana seorang lelaki bertanya pada Nabi bahwa dia berfikir apakah dia kentut
apa tidak saat shalat. Nabi menjawab: (‫“ )الينصرف حتى يسمع صوتا أو يجد ريحا‬Teruskan shalat
kecuali apabila mendengar suara atau mencium bau (kentut).” Kaidah ini masuk dalam
mayoritas bab fiqih seperti bab ibadah, muamalah, uqubah (sanksi) dan keputusan. Karena
itu, ada yang mengatakan bahwa kaidah ini mengandung 3/4 (tiga perempat) ilmu fiqih.
Rasulullah SAW Bersabda :
‫ (اَل َيْنَص ِر ُف َح َّتى َيْس َم َع‬: ‫ َق اَل‬. ‫أنه ُش ِك َي ِإَلى الَّنِبِّي َص َّلى الَّلُه َع َلْيِه َو َس َّلَم الَّرُجُل ُيَخ َّيُل ِإَلْيِه َأَّن ُه َيِج ُد الَّش ْي َء ِفي الَّص اَل ِة‬
)361( ‫) مسلم‬137( ‫ روى البخاري‬. )‫َص ْو ًتا َأْو َيِج َد ِر يًح ا‬

Artinya: Dilaporkan pada Nabi seorang laki-laki yang berfikir bahwa dia menemukan
sesuatu saat shalat (merasa kentut). Nabi bersabda: “Hendaknya tidak keluar dari shalat
”.kecuali apabila mendengar suara atau yakin mencium bau (kentut)

Imam Nawawi dalam Syarah Muslim, hlm. 2/43, menjelaskan maksud hadis ini:

‫ َو اَل ُيْش َتَر ط الَّس َم اع َو الَّش ّم ِبِإْج َم اِع اْلُم ْس ِلِم يَن … َو اَل َفْر ق ِفي الَّش ّك َبْين َأْن َيْسَتِو ي ااِل ْح ِتَم ااَل ِن‬، ‫ َيْع َلم ُو ُج ود َأَح دهَم ا‬: ‫َم ْعَناُه‬
‫ َفاَل ُو ُضوء َع َلْيِه ِبُك ِّل َح ال‬, ‫ َأْو َيْغ ِلب َع َلى َظّنه‬, ‫ َأْو َيَتَر َّجح َأَح دهَم ا‬, ‫”ِفي ُو ُقوع اْلَح َدث َو َعَدمه‬

Artinya: Maksudnya ia mengetahui adanya salah satu dari suara kentut atau
mencium baunya. Dan tidak disyaratkan mendengar atau menciumnya berdasarkan ijmak
ulama … Tidak ada bedanya dalam soal ragu antara samanya dua kemungkinan atas
terjadinya hadas kecil dan tidak adanya hadas, atau unggulnya salah satunya atau
dugaannya kuat, maka tidak wajib wudhu dalam keadaan apapun.

BAB III

PENUTUP
7
A. KESIMPULAN
Alhamdulillah telah selesainya makalah kami ini, semoga bermanfaat untuk kita
semua, Amin. dalam Ilmu Ushul Fiqh kita belajar bahwa kemashlahatan itu lebih penting dari
individu. Dan mohon apabila ada kesalahan dalam makalaha kami ini semoga ke depan nya
lebih baik lagi

B. SARAN
Adapun saran yang bisa kami sampaikan pada makalah ini selaku penulis yaitu agar
kiranya para pembaca lebih menambah wawasan mengenai materi yang kami bahas pada
makalah ini, karena makalah yang kami buat masih jauh dari kata sempurna.

DAFTAR PUSTAKA

8
Abdurrahman, Asymuni. 1976. Kaidah-kaidah fiqh (qawa’id fiqhiyyah), Bandung: bulan
Bintang

Dusari, doctor Musallam bin Muhammad bin majod. Almufthi Fil Qowa’id Al-Fiqhiyyah.

ibrahim, duski. 2019. Alqowa’id Al-fiqhiyyah AMANAH. Palembang

9
10

Anda mungkin juga menyukai