Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

KAIDAH FIKIH KEEMPAT ‫الضرريزال‬


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Usul fikih dan kaidah fiqih ekonomi
Dosen Pengampu: Qurrota Ayun, M.H.I.,

Disusun oleh:

Inayatu Bikan Najwa (40123003)


Zika Fahrina Dinana (40123004)
Nova Safitri (40123005)
Diah Qurota A (40123204)

KELAS B

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UIN KH. ABDURRAHMAN WAHID PEKALONGAN
TAHUN 2024
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Segala puji bagi Allah SWT. yang telah memberikan limpahan nikmat
sehatnya, baik sehat fisik maupun akal pikiran dan juga kemudahan kepada kami,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongannya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik.
Dalam pembuatan makalah ini kami tentunya tidak lepas dari bantuan
berbagai sumber dan pembimbing kami yaitu Ibu Qurrota A’yun M.H.I selaku
dosen Mata Usul fikih dan kaidah fikih Ekonomi dan kami mengucapkan
terimakasih kepada beliau atas bimbingannya dalam kami menyelesaikan
makalah ini.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Usul fikih dan
kaidah fikih Ekonomi. Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan
bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna juga
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu, kami
mengharapkan kritik dan saran pembaca untuk makalah ini, supaya nantinya
dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.
Demikian, apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini kami
memohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat.
Terima kasih. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Pekalongan, 2 Maret 2024

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................2
C. Tujuan Masalah...........................................................................................2
BAB II......................................................................................................................3
PEMBAHASAN.....................................................................................................3
2.1 Pengertian Kaidah ‫الضرر يزال‬........................................................................3
2.2 Sumber Kaidah ‫الضرر يزال‬..............................................................................3
2.3 Cabang-Cabang Kaidah ‫الضرر يزال‬................................................................5
2.4 Implementasi Kaidah ‫ الضرر يزال‬dibidang Ibadah dan Muamalah......................9
BAB III..................................................................................................................11
PENUTUP.............................................................................................................11
A. Kesimpulan................................................................................................11
B. Saran..........................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagaimana diketahui bahwa, syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW,
merupakan syariat yang tidak memberatkan dan mudah untuk dilaksanakan, sehingga
jika ada hal-hal yang dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang memberatkan manusia
untuk melaksanakannya, maka hal-hal ini harus dihindari atau dihilangkan. Sesuai
dengan topik pembahasan kali ini yaitu: ‫" الض???رر ي???زال‬Kemudharatan Itu Harus
Dihilangkan", sebagai kaidah dasar fiqih yang keempat dari lima kaidah pokok yang
ada, penulis mencoba menyajikan pembahasan mengenai dalil-dalil yang
melatarbelakangi kaidah ini. rincian aturan (aturan). tercakup dalam aturan awal ini)
dan beberapa contoh masalah terkait.

Tidak semua orang benar-benar ingin berada dalam bahaya atau masalah dalam
hidupnya. Kecenderungan alamiah ini membuat sebagian besar orang selalu berpikir
pragmatis dan praktis, selalu berusaha mencapai kebahagiaan dan menghindari bahaya
dalam hidupnya. Cita-cita tersebut merupakan wujud dari sifat kemanusiaan setiap
orang. Dan Islam tidak menolak kenyataan seperti itu, namun menerimanya melalui
undang-undang yang penuh rasa syukur dan damai. Dalil merupakan makna yang
diringkas dalam konsep kaidah fiqih tunggal yang secara jelas menghimbau agar
membuang segala ancaman terhadap diri sendiri dan orang lain. yaitu prinsip al-dharru
yuzallu (kesedihan harus dihilangkan). Dalam artikel ini penulis membahas tentang
kaidah al-dharru yuzallu (kesedihan harus dihilangkan) dan berbagai peraturan yang
terkandung di dalamnya.

1
A. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang ingin dicapai dalam makalah ini yaitu:

2.1 Apa Pengertian Kaidah ‫? الضرر يزال‬

2.2 Bagaimana Sumber Kaidah ‫? الضرر يزال‬

2.3 Apa Saja Cabang-Cabang Kaidah ‫? الضرر يزال‬

2.4 Bagaimana Implementasi Kaidah ‫ الضرر يزال‬diBidang Ibadah dan Muamalah ?

B. Tujuan Masalah

Adapun tujuan masalah dari makalah ini yaitu:

2.1 Untuk mengetahui pengertian kaidah ‫الضرر يزال‬

2.2 Untuk mengetahui Sumber Kaidah ‫الضرر يزال‬

2.3 Untuk mengetahui Cabang-Cabang Kaidah ‫الضرر يزال‬

2.4 Untuk mengetahui Implementasi Kaidah ‫زال‬5‫ الضرر ي‬diBidang Ibadah dan
Muamalah

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian kaidah ‫الضرر يزال‬

Kaidah fiqih “adh-Dhararu Yuzalu” memiliki arti bahwa kemudharatan


harus dihilangkan (Amin, 2016). Dapat disimpulkan bahwa manusia harus
dijauhkan dari idhrar (tindak menyakiti), baik oleh dirinya maupun orang lain,
dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain.

Namun Dharar (Dharar) secara etimologi adalah berasal dari kalimat "adh
Dharar" yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya.
(Ardiyansyah, 2014) . Sedangkan Dharar secara terminologi ada beberapa
pengertian diantaranya adalah Abu Bakar al- Jashas, mengatakan makna Dharar
adalah ketakutan seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya atau
sebagian anggota badannya. Menurut al-Dardiri, Dharar ialah menjaga diri dari
kematian atau dari kesusahan yang teramat sangat.

Menurut sebagian ulama dari Mazhab Maliki,Dharar ialah


mengkhawatirkan diri dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar
dugaan. Menurut al-Suyuti, Dhararadalah posisi seseorang pada sebuah batas,
kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau
nyaris binasa.
2.2 Sumber Kaidah ‫الضرر يزال‬

Firman Allah Swt Q.S al-Baqarah:173

‫َفَمِن اْض ُطَّر َغْيَر َباٍغ َّو اَل َعاٍد َفٓاَل ِاْثَم َع َلْيِۗه‬

Artinya: Barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
(pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.

3
Firman Allah SWT Q.S Al-Baqoroh:195

‫َو َاْنِفُقْو ا ِفْي َس ِبْيِل ِهّٰللا َو اَل ُتْلُقْو ا ِبَاْيِد ْيُك ْم ِاَلى الَّتْهُلَك ِۛة َو َاْح ِس ُنْو ۛا ِاَّن َهّٰللا ُيِح ُّب اْلُم ْح ِس ِنْيَن‬

Artinya : “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al-Baqarah : 195)

Firman Allah SWT Q.S. Al-Qosos:77

‫َو اْبَتِغ ِفْيَم ٓا ٰا ٰت ىَك ُهّٰللا الَّد اَر اٰاْل ِخَر َة َو اَل َتْنَس َنِص ْيَبَك ِم َن الُّد ْنَيا َو َاْح ِس ْن َك َم ٓا َاْح َس َن ُهّٰللا ِاَلْيَك َو اَل َتْبِغ اْلَفَس اَد ِفى‬
‫اَاْلْر ِضۗ ِاَّن َهّٰللا اَل ُيِح ُّب اْلُم ْفِسِد ْيَن‬

Artinya : “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah
telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
(QS. AlQasas :77)
Hadist Ibnu Abbas
‫ال َض َرَر َو اَل ِص َر اَر‬
Artinya:"Tidak boleh membahayakan dan tidak boleh pula saling membahayakan
(membalas perbuatan bahaya)."

Penjelasannya adalah:
Pertama, karena redaksi ini ‫ ال ضرر وال ضرار‬adalah redaksi langsung yang terucap
dari lisan Nabi Muhammad SAW, sehingga akan lebih berdampak di hati jika
digunakan.
4
Kedua, karena maknanya yang lebih luas yaitu mencakup pencegahan madharat
sebelum terjadi dan kewajiban menghilangnya setelah terjadi. Berbeda dengan
kaidah ‫ الضرر يزال‬yang hanya berarti menghilangkan kemudharatan setelah terjadi.
(Muslim bin Muhammad al- Dusury al-mumti).

Meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa sebagian ulama justru


memaknai sebaliknya, yaitu dipilihnya redaksi ‫ الضرر يزال‬karena ia mengandung
arti bahwa suatu kemudharatan atau marabahaya itu wajib untuk dihilangkan
bahkan sebelum terjadinya. Sehingga maknanya lebih luas karena mengandung
makna preventif dan represif. Redaksi ini juga dinilai lebih singkat dan padat.
Adapun makna al-dharar )‫ الض???رر‬dan al-dhirar )‫ (الض???رار‬sebagian ulama
menyamakan pengertian antara keduanya. Tetapi menurut sebagian yang lain, al-
dharar )‫ (الض??رر‬adalah membahayakan orang lain secara mutlak, sedangkan al-
dhirar )‫ الضرار‬adalah membahayakan rang lain dengan cara yang tidak disyariatkan.
Menurut al-Khusyani, al-dharar adalah sesuatu yang bermanfaat bagi diri sendiri,
tetapi membahayakan orang lain. Sedangkan al-dhirar adalah sesuatu yang tidak
bermanfaat bagi diri sendiri dan membahayakan orang lain.

2.3 Cabang-Cabang Kaidah ‫الضرر يزال‬


1. Kaidah

‫الَّضُروَر اُت ُتِبيُح اْلَم ْح ُظوَر اِت‬

"Kemudharatan-kemudharatan itu dapat memperbolehkan keharaman".

Batasan kemudharatan adalah suatu hal yang mengancam eksistensi manusia yang
terkait dengan lima tujuan, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal,
memelihara keturunan dan memelihara kehormatan atau harta benda. Sebagaimana
aplikasi dari kaidah cabang ini, di sini terdapat beberapa contoh:
a. Seseorang dengan keadaan kelaparan dan tidak ditemukannya makanan halal. Pada
konteks ini seseorang diperbolehkan memakan makanan yang haram. Mengingat keadaan

5
orang itu kritis sampai mendekati kematian dan mengharuskan untuk segera makan. Akan
tetapi tentu makan sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup.
b. Dokter membuka aurat pasien dalam rangka pengobatan. Dalam kasus ini,
diperbolehkan membuka aurat pasien yang pada awalnya diharamkan melihat kondisinya
yang tidak memungkinkan dan memang mengharuskan membuka aurat. Dengan catatan
hanya sesuai kadar kebutuhan dan tidak lebih dari itu.
2. Kaidah

‫ما أبُح ِللَّضُروَرِة ُيَقَّد ُر ِبَقْد ِر َها‬

"Apa yang dibolehkan karena darurat diukur sekadar kedaruratannya"

Sesuatu yang dilakukan karena madharat, maka diperbolehkan melakukan


secukupnya, sesuai kadar yang cukup menghilangkan kemadharatan tersebut, sedangkan
lebih dari itu tidak boleh dilakukan. Di sini kaidah cabang ini memberi batasan bahwa
setiap aktifitas yang dilakukan karena adanya darurat itu diperbolehkan sebatas untuk
memenuhi kebutuhan dan tidak lebih daripada itu.
3. Kaidah

‫الضرر يدفع بقدر اإلمكان‬

"Darurat harus ditolak semampu mungkin".

Maksud dari kaidah ini menjelaskan bahwa segala macam bahaya harus
dihilangkan secara keseluruhan jika memungkinkan. Tetapi jika tidak bisa, maka
hendaknya ditolak semampunya sesuai kemampuan yang dimiliki. Oleh karena itu
sebisa mungkin berbagai macam usaha dilakukan untuk menolak bahaya.
4. Kaidah

‫يتحمل الضرر الخاص لدفع الضرر العام‬

Bahaya khusus harus ditempuh untuk menolak bahaya umum". "

Kaidah ini masih ada kaitan dengan kaidah "ad-dhararu la yuzalu bimitslihi"
yaitu dalam menghilangkan bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lain
6
yang serupa dilihat dari sudut pandang keumuman, pengkhususan, dan bahaya.
Penerapan dari kaidah cabang ini terlihat dalam pemberlakuan hukum-hukum
seperti; hukuman potong tangan untuk menjaga harta benda orang lain, hukuman
qishas demi menjaga nyawa, dan hukuman bagi pezina untuk menjaga garis
keturunan. (Muhammad Sidqi bin Ahmad al-Burnu, 1983)

5. Kaidah

‫اْلَم ْيُسوُر اَل ُيْس َقَط ِب اْلَم ْع ُسْو‬

"Kemudahan itu tidak dapat digugurkan dengan kesulitan"

Berdasarkan kaidah ini dikatakan bahwa dalam pelaksanaan perintah apabila


seseorang tidak mampu mengerjakannya secara sempurna bukan berarti ia tidak
berkewajiban mengerjakannya. Akan tetapi harus mengerjakannya sebatas
kemampuan yang dimiliki. (Shalih Ihn Ghanim, 1417 H )
6.Kaidah

‫الضطرار ال يبطل حق الغير‬

"Keterpaksaan itu tidak dapat membatalkan hak orang lain".

Kaidah cabang ini menjelaskan suatu hak yang sudah menjadi milik orang lain.
meskipun dalam kondisi terpaksa (itthirar) ini tidak bisa batal. Seandainya
keterpaksaan (itthirar) dapat membatalkan hak orang lain, tentu akan melenyapkan
suatu bahaya dan berganti dengan bahaya lain. Dengan demikian, yang terjadi
bukanlah pelenyapan akan tetapi hanya perpindahan dari suatu bahaya ke bahaya
lain.
7. Kaidah

‫درء المفاسد أولى من جلب المصالح‬

"Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada menarik maslahah dan apabila

7
berlawanan antara yang mafsadah dan maslahah maka yang didahulukan adalah
menolak mafsadahnya"

Berdasarkan kaidah di atas bahwa hendaknya seseorang lebih mengutamakan


menolak kerusakan dibandingkan meraih kemaslahatan, Itu artinya apabila dalam
suatu perkara terjadi pertentangan antara menolak kerusakan dan mengambil
kemaslahatan, maka yang lebih utama. adalah menolak kerusakan. Jadi jika
kerusakan suatu perkara itu tidak dihilangkan atau ditolak, maka dikhawatirkan
akan timbul kerusakan atau bahaya yang lebih besar.
8. Kaidah

‫الضرر ال يزال بالضرر‬

"Kemudharatan itu tidak dapat dihilangkan dengan kemudharatan yang lain".

Maksud dari kaidah cabang ini, seseorang tidak boleh menghilangkan suatu
bahaya dengan bahaya yang lain. Karena jika menghilangkan bahaya dan
menimbulkan bahaya lain yang kadarnya sama seperti itu atau bahkan bahaya yang
ditimbulkan lebih besar, maka kaidah cabang ini bertentangan dengan kaidah
pokok ‫ الضرر يزال‬kemudharatan itu harus dihilangkan. Menurut Muhammad Shidqi
dalam menghilangkan dharar sebisa mungkin agar jangan sampai menimbulkan
bahaya yang lebih besar atau jika tidak memungkinkan supaya mencari solusi agar
bahaya yang ditimbulkan lebih ringan. (Muhammada Shidqi bim Ahmad al-Burnu,
1983)
9. Kaidah.

‫إذا تعارض مفسدتان روعى أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهما‬

"Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar
mudharatnya dengan memilih yang lebih ringan mudharatnya".

Suatu perkara yang jika di dalamnya terkandung bahaya dan kedua bahaya
tersebut saling bertentangan, maka berdasarkan kaidah ini diwajibkan

8
menghilangkan bahaya yang lebih besar dan mengerjakan dengan bahaya yang
lebih ringan. Dari sini dapat ditarik kesimpulan apabila terdapat dua bahaya dalam
waktu yang bersamaan, hendaklah seseorang memiliki perbandingan mana bahaya
yang besar dan mana bahaya yang ringan dari keduanya. Kemudian dipilihlah
perkara yang memiliki bahaya yang ringan untuk menghindari bahaya yang lebih
besar. (Ishak, 2020)

10. Kaidah
(Segala bentuk kemudharatan harus dihilangkan). Kaidah ini menempati posisi
yang penting dan agung dalam khazanah fikih Islam. Kaidah ini memiliki ruang
lingkup yang luas pada seluruh bab-bab fikih. Hal ini karena tujuan hukum Islam
itu adalah untuk melahirkan manfaat dan menolak segala yang berpotensi
menimbulkan kemudharatan yang dapat menimpa agama, jiwa, harta, akal, dan
nashab.23 Kaidah al-dharar yuzalu ini bersumber dari hadis Nabi SAW sebagai
berikut:
‫أن رسوالل صلي ا عليه وسلم ق??ال ال ضرر وال ضرار من ضار ضاره ومن ش??اق ش??اق ا(روه‬
‫الحكم‬

Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Tidak boleh


memudharatkan orang lain dan tidak boleh dimudharatkan oleh orang lain, siapa
yang memberi kemudharatan kepada orang lain, maka Allah pun akan
membalasnya dengan kemudharatan, dan siapa yang mempersulit orang lain,
Allah pun akan mempersulitnya.” (HR. Hakim)

Walaupun hadis ini mempunyai redaksi singkat, tapi ia kaya dengan makna
dan padat isi. Keumuman maknanya sangat dibutuhkan untuk menjawab
persoalan-persoalan yang timbul di tengah-tengah masyarakat.

2.4 Implementasi Kaidah ‫ الضرر يزال‬diBidang Ibadah dan Muamalah


a) Kaidah add-dharurat tubih al-mahdhurat dan kaidah ma ubih li adh-dharurah
yuqaddar bi qadrihah. Kondisi darurat menurut Imam as-Suyuthi, ada beberapa

9
kaidah:
1) Kondisi darurat membolehkan keharaman. Kaidah ini berlaku dengan syarat ada
darurat yang tingkatannya tidak kurang dari keharaman. Seperti, kebolehan
memakan bangkai bagi orang yang terdesak yang bila tidak memakannya akan
mati.
2) Perkara yang dibolehkan karena darurat dibatasi sesuai kadar
kedaruratannya. Seperti, orang yang sedang dalam kondisi darurat boleh makan
bangkai tidak boleh melebihi kebutuhannya untuk menyelamatkan nyawanya.
b) Level kondisi pada pembahasan kaidah ini ada lima, yaitu:
1) Darurat, yaitu kondisi yang bila tidak melakukan keharaman akan menyebabkan
kematian atau mendekati kematian. Seperti, orang kelaparan yang hanya
menemukan bangkai, apabila tidak memakannya akan mati.
2) Hajat, yaitu kondisi yang bila tidak menerjang keharaman tidak menyebabkan
kematian, namun akan kesulitan. Dalam kondisi demikian, orang belum boleh
menerjang keharaman, namun ia diperbolehkan tidak berpuasa pada bulan
Ramadhan. Seperti, orang kelaparan yang bila tidak makan tidak sampai
menyebabkan mati, namun akan mengalami kesulitan dan penderitaan akibat
kelaparan.
3) Manfaat, yaitu kondisi yang diinginkan seseorang berawal dari keinginan hati
untuk menikmatinya. Seperti, seseorang ingin menikmati bubur, makanan yang
berlemak atau ikan laut.
4) Zinah (perhiasan), yaitu kondisi yang tujuannya hanya sebatas pelengkap saja.
Seperti, menambah garam pada sayur, menambah gula pada kue, dan semisalnya.
5) Fudhul, yaitu kondisi yang bersifat keleluasaan. Seperti, orang yang hendak
berpesta dengan berbagai makanan dari yang haram atau syubhat.
c) Kebolehan karena uzur dan akan hilang ketika uzurnya hilang. Segala sesuatu
yang dibolehkan karena uzur atau darurat, maka hukum kebolehannya akan batal
sebab uzur atau daruratnya hilang. Sebagaimana contoh berikut:
1) Orang tayammum karena penyakit, maka tayammum akan batal sebab
kesembuhan penyakit itu.
2) Orang tayammum karena tidak ada air, maka tayammum akan batal sebab air.
3) Orang dibolehkan mengqashar shalat melakukan perjalanan, maka hukum
kebolehan qashar akan habis bila sampai di tempat tinggalnya.

10
d) Tidak boleh menghilangkan bahaya atau kerugian orang dengan tindakan yang
berakibat membahayakan atau merugikan orang lain. Seperti :
1) Bagi orang yang terdesak tidak boleh makan makanan orang lain yang juga
terdesak.
2) Orang yang kelaparan dan tidak menemukan makanan apapun maka tidak
diwajibkan memotong bagian tubuhnya untuk dimakan dengan tujuan
menyelamatkan nyawa.
e) Ulama mengunggulkan penolakan mafsadah daripada pengambilan maslahah,
ِ‫ٌمَع َلى َج ْلِبِبامَْلَص اِلِح‬:yang kemudian terkenal dengan kaidah
‫َد ْر ُء امَْلَفاِسِدُم َقد‬
Penolakan mafsadah lebih diprioritaskan daripada pengambilan maslahat.Ibadah
seseorang dengan meninggalkan larangan Allah Swt. lebih mulia dan lebih berat
dibandingkan dengan ibadah yang berupa menjalankan perintahNya.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa Kaidah "Ad-Dhararu Yuzalu" menyatakan
bahwa kemudharatan harus dihilangkan. Artinya, manusia harus dijauhkan dari
menyakiti dirinya sendiri atau orang lain, serta tidak seharusnya menimbulkan
bahaya pada orang lain. Dharar, secara etimologi, berasal dari kata "adh Dharar"
yang berarti turun tanpa bisa dicegah. Menurut para ulama, dharar memiliki
beberapa pengertian, seperti menjaga diri dari kematian atau kesulitan yang parah,
mengkhawatirkan kematian berdasarkan keyakinan, atau posisi seseorang yang
bisa mengakibatkan bahaya jika tidak melanggar larangan tertentu.

Sumber kaidah "Ad-Dhararu Yuzalu" ditemukan dalam beberapa ayat Al-


Quran dan hadis, menggarisbawahi pentingnya menjaga kehidupan, harta, dan
kehormatan. Kaidah ini menginspirasi beberapa cabang kaidah yang menetapkan
prinsip-prinsip untuk menghadapi kemudharatan, seperti memperbolehkan yang
diharamkan dalam kondisi darurat dengan batasan yang diperlukan, menekankan
perlunya menolak kerusakan lebih diutamakan daripada meraih manfaat, dan tidak
boleh menghilangkan bahaya dengan bahaya lain yang sama atau lebih besar.

11
Implementasi kaidah "Ad-Dhararu Yuzalu" diterapkan dalam ibadah dan
muamalah, seperti memberikan kebolehan dalam situasi darurat dengan batasan
yang diperlukan, mengutamakan penolakan kerusakan daripada pengambilan
manfaat, dan menghapuskan kebolehan ketika daruratnya berakhir. Prinsip ini juga
menekankan pentingnya menolak mafsadah daripada mengambil manfaat, dengan
mengedepankan ketaatan kepada larangan Allah lebih dari pada menjalankan
perintah-Nya..

B. SARAN
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna juga
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu, kami
mengharapkan kritik dan saran pembaca untuk makalah ini, supaya nantinya dapat
menjadi makalah yang lebih baik lagi.

12
DAFTAR PUSTAKA

Ahyani, S. (2006). Putusan Hakim Pengadilan Agama Pasuruan ditinjau dari konsep
kaidah Fiqhiyah: Sudi pada putusan Perkara Cerai Gugat tahun 2006 (Doctoral
dissertation, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim).
https://scholar.google.com/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=Putusan+Hakim+Pengadilan+Agama+Pasuruan+mengula
s+dari+konsep+kaidah+Fiqhiyah
%3A+Sudi+pada+putusan+Perkara+Cerai+Gugat+tahun+2006&btnG=#d=gs_cit&t
=1709716853864&u=%2Fscholar%3Fq%3Dinfo%3AdmPGIU1CYskJ
%3Ascholar.google.com%2F%26output%3Dcite%26scirp%3D0%26hl%3Did
Azhari, Fathurrahman. 2015. QAWAID FIQHIYYAH MUAMALAH. Lembaga
Pemberdayaan Kualitas Ummat, Banjarmasin.
Busyra, M. A. KAIDAH-KAIDAH KULIYYAH DALAM PEMIKIRAN FILOSOFI
HUKUM ISLAM (Makalah) Di ajukan untuk mmenuhi salah satu syarat terstruktur
dalam mata kuliah Filsafat Hukum IslaM.
https://scholar.google.com/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=cabang+kaidah+adh+dhararu+yuzalu&oq=#d=gs_cit&t=
1709729356650&u=%2Fscholar%3Fq%3Dinfo%3AQ3j3vxa64aIJ
%3Ascholar.google.com%2F%26output%3Dcite%26scirp%3D1%26hl%3Did
De Nada, N. (2018). Peran Norma Pribadi Terhadap Perilaku Pro-Lingkungan pada
Masyarakat DKI Jakarta serta Tinjauannya dalam Islam (Doctoral dissertation,
Universitas YARSI).
https://scholar.google.com/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=pengertian+adh+dhararu+yuzalu&btnG=#d=gs_qabs&t=
1709729992046&u=%23p%3DatRp7rWGkw0J
Emas, M. P. (2020). Problematika Akad Nikah Via Daring dan Penyelenggaraan
Walimah Selama Masa Pandemi Covid-19. Batulis Civil Law Review, 1(1), 68-78.
https://scholar.google.com/scholar?
hl=id&as_sdt=0,5&q=pengertian+adh+dhararu+yuzalu#d=gs_cit&t=170971782572
8&u=%2Fscholar%3Fq%3Dinfo%3AmXFZZQkq_iUJ%3Ascholar.google.com%2F
%26output%3Dcite%26scirp%3D2%26hl%3Did
fajriani Mokodompit, N. (2022). Penataan Dakwah Islamiyah Antara Keharusan Dan
Kebutuhan Masyarakat Di Kelurahan Islam Manado. Ahsan: Jurnal Dakwah dan
Komunikasi, 1(2), 112-123. https://scholar.google.com/scholar?
hl=id&as_sdt=0,5&q=pengertian+adh+dhararu+yuzalu#d=gs_qabs&t=17097176967
76&u=%23p%3D3EMist5sjoEJ
Ishak, S. (2020). Kemudharatan tidak dihilangkan dengan kemudharatan. Jurnal Al-
Mizan, 7(2), 117-126. https://scholar.google.com/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=kemudharatan+&btnG=#d=gs_qabs&t=1709717424029&
u=%23p%3D8gZIQhfGoBsJ
ISLAM, U. D. P. KAIDAH KULLYAH ASASIH IV: ADH-DHARARU YUZALU.
https://scholar.google.com/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=cabang+kaidah+adh+dhararu+yuzalu&oq=#d=gs_cit&t=
1709729482077&u=%2Fscholar%3Fq%3Dinfo%3AJknxdWrFX3MJ
13
%3Ascholar.google.com%2F%26output%3Dcite%26scirp%3D0%26hl%3Did
Jauhari, Wildan. 2018. Kaidah fikih; Adh-Dhararu Yuzal . Rumah fiqih publishing,
jakarta selatan.
Masyithoh, Dewi dan Nur kholis. 2019. Fikih . Kementrian agama, Jakarta.
Nasirwan, M. (2022). Tinjauan Hukum Ekonomi Islam Terhadap Peredaran Krim Wajah
Tanpa Nomor Registrasi Badan Pengawasan Obat dan Makanan. Jurnal Mediasas:
Media Ilmu Syari'ah dan Ahwal Al-Syakhsiyyah, 5(2), 176-187.
https://scholar.google.com/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=sumber+kaidah+Adh-
Dhararu+Yuzalu&oq=#d=gs_qabs&t=1709715137261&u=%23p
%3DLRJWuaCyRj8J
Rohim, Mif. 2019. Buku Ajar Qawa’id Fiqhiyyah (Inspirasi dan Dasar Penetapan
Hukum). LPPM UNHASY TEBUIRENG JOMBANG.
Zahiruddin, Azizah. 2020. Qawa'Id Fiqhiyyah . Patju kreasi, Tanggerang Selatan.

14

Anda mungkin juga menyukai