الضرر يزال
Kemudharatan Harus Dihilangkan
Dosen Pengampu :
Ashima Faidati, S.H.I., M.Sy.
Kelompok 4
Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala
karunia dan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tepat pada
waktunya. Sholawat serta salam semoga senantiasa abadi tercurah kepada junjungan kita
Nabi Muhammad SAW dan umatnya. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi
tugas mata kuliah Qowaid Fiqhiyah Muamalah.
Dalam menyelesaikan makalah ini, mendapatkan bantuan serta bimbingan dari
beberapa pihak. Oleh karena itu kami haturkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. H Abd Aziz, M.Pd.I., selaku Rektor Universitas Islam Negeri Sayyid Ali
Rahmatullah Tulungagung.
2. Prof. Dr. H. Ahmad Muhtadi Anshor, M.Ag., selaku Dekan FASIH Universitas Islam
Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.
3. Dr. Dian Fericha, S.H., M.H., selaku Koordinator Program Studi Hukum Ekonomi
Syariah Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.
4. Ashima Faidati, S.H.I., M.Sy.selaku Dosen Pengampu dari Mata Kuliah Qowaid
Fiqhiyah Muamalah
5. Teman HES serta pihak yang lain, yang telah membantu dalam proses penyelesaian
makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Oleh karena itu penulis memohon maaf atas kesalahan
dan ketidaksempurnaan yang pembaca temukan dalam makalah ini. Penulis juga
mengharap adanya kritik Konstruktif serta saran dari pembaca apabila menemukan
kesalahan dalam makalah ini.
Penyusun
i
DAFTAR IS
KATA PENGANTAR.........................................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. Latar belakang...........................................................................................................1
B. Rumusan masalah.....................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan.......................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................3
A. Kesimpulan.............................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................15
ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sebagai umat Islam, kita mengakui bahwa banyak masalah baru yang tidak
terdapat penyelesaiannya di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah sehingga para pakar hukum
Islam harus berijtihad untuk memecahkannya.Untuk menjawab masalah-masalah baru
yang belum ada penegasan hukum- hukumnya di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, maka
para pakar hukum Islam (fuqaha) berupaya memecahkan dan mencari hukum-hukumnya
dengan menggunakan ijtihad. Namun ijtihad itu tidak boleh lepas dari al-Qur’an dan as-
Sunnah.
Dikatakan demikian, karena ijtihad tersebut dilaksanakan dengan cara
mengkiaskan kepada yang sudah ada di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, menggalinya
dari aturan-aturan umum (al-qawanin al-‘ammah) dan prinsip-prinsip yang universal (al
mabadi’ al-kulliyah) yang terdapat dalam al-Qur’an dan as- sunnah dan menyesuaikannya
dengan maksud dan tujuan syariat (al-maqashid al- syari’ah) yang juga terkandung dalam
al-Qur’an dan as-Sunnah.Aturan-aturan umum dan prinsip-prinsip yang universal itulah
yang disebut dengan al-qawanin al-fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh). Dalam pembahasan
kaidah- kaidah fiqh banyak terdapat macam-macam kaidah, diantaranya yaitu kaidah-
kaidah pokok dan kaidah kaidah cabang. Salah satu dari kaidahnya yaitu kaidah Adh-
dharuriyah atau Adh-dhararu yudzalu.
Kaidah Adh-dharuriyah ini merupakan kaidah asasiyyah yang membahas tentang
kemudharatan yang harus dihilangkan akan tetapi jika seseorang itu di dalam keadaan
darurat maka yang haram pun diperbolehkan. Akan tetapi, keadaan darurat dalam hal ini
yang benar-benar berakibat fatal jika tidak diatasi dengan cara- cara yang membawa
kemudharatan. Oleh karena itu, dalam Islam memperbolehkan untuk meninggalkan hal-
hal yang wajib jika dalam keadaan yang sangat darurat.
1
B. Rumusan masalah
1. Apa Pengertian Dari Kaidah ? الضرر يزال
2. Apa Sumber Perumusan Kaidah ? الضرر يزال
3. Apa Makna Dari Dlarurat, Hajiyat, Dan Tahsiniyat ?
4. Apa Saja Kaidah, Cabang, Dan Aplikasinya Dalam Dalam Masalah
Pernikahan?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Pengertian Dari Kaidah الضرر يزال
2. Mengetahui Sumber Perumusan Kaidah الضرر يزال
3. Mengetahui Makna Dari Dlarurat, Hajiyat, Dan Tahsiniyat
4. Mengetahui Kaidah, Cabang, Dan Aplikasinya Dalam Masalah Pernikahan
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Al-Sadlani mengutip dari Ali Ahmad Al-Nadawi, op.cit., h. 325 dan 328.
3
b. Sumber Perumusan Kaidah الضرر يزال
Firman Allah SWT:
a. Al-Qur'an
Al-Qur'an adalah sumber utama hukum Islam dan di dalamnya terdapat prinsip
prinsip yang berkaitan dengan perlindungan individu dan masyarakat dari bahaya dan
kerusakan. Beberapa ayat Al-Qur'an yang terkait dengan konsep " "يزال الضررadalah: "Dan
janganlah kamu membunuh dirimu (atau satu sama lain). Sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu." (QS. An-Nisa': 29).“Dan janganlah kamu mencampurkan
yang batil dengan yang haq, dan janganlah kamu menyembunyikan yang haq, sedangkan
kamu mengetahui (kebenaran)." (QS. Al-Baqarah: 42)
Dalam ayat-ayat ini, terdapat indikasi akan perlunya menjauhkan diri dari tindakan yang
merugikan diri sendiri maupun orang lain serta pentingnya mengungkapkan kebenaran
dan menjauhi yang batil.
b. Hadits
Hadits adalah kumpulan perkataan, tindakan, dan persetujuan Nabi Muhammad
SAW yang menjadi sumber hukum Islam. Terdapat beberapa hadits yang berkaitan
dengan prinsip " " الضرر يزال, di antaranya:
2
Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011)
4
"Tidak ada kemudaratan (kerusakan) dan tidak ada balasan kemudaratan (kerusakan)."
(HR. Thirmidzi) "Sesungguhnya merupakan suatu kemudaratan (kerusakan) jika
menjatuhkan satu kemudaratan (kerusakan) yang lebih besar." (HR. Abu Dawud) Dalam
hadits ini, Nabi Muhammad SAW memberikan penekanan pada pentingnya mencegah
kemudaratan atau kerusakan dan menjaga agar kemudaratan yang lebih besar tidak
terjadi.
c. Ijma' ulama
Ijma' merupakan kesepakatan ulama dalam satu masalah hukum. Para ulama dalam
pembahasan hukum Islam juga telah sepakat bahwa prinsip " ”الضرر يزالadalah hal
yang diterima dan menjadi bagian penting dalam penerapan hukum Islam.
Dalam memahami kaidah " " الضرر يزال, para ulama juga menggunakan metode
ijtihad (penafsiran hukum) dengan mempertimbangkan lingkungan sosial, nilai-nilai
Islam, dan tujuan syariat untuk mencapai kemaslahatan individu dan masyarakat.
Dengan demikian, sumber perumusan kaidah " زالPPرر يPP " الضberasal dari Al- Qur'an,
Hadits, dan ijma' ulama, yang menjadi landasan dalam merumuskan hukum Islam yang
melindungi individu dan masyarakat dari bahaya dan kerusakan.
3
Abu al-Husain Ahmad Ibn Faris Ibn Zakariya, Maqayis al-Lughat, (Dar al-Fikr, 1399
H/ 1979 M) jld. 5, hlm. 95.
5
dlarar yaitu suau musibah yang tidak dapat dihindari4.
2) Az-Zarkasyi dan As-Suyuthi mendefinisikan dlarurat dalam rumusan sebagai
berikut, dlarurat ialah sampai seseorang pada batas dimana jika ia tidak mau
makan yang dilarang, maka ia akan binasa.
3) Wahbah Az-Zuhaili mendefinisikan bahwa dlarurat adalah datangnya kondisi
bahaya atau kesulitan yang amat berat kepada diri manusia, yang membuat dia
kuatir terjadi kerusakan atau sesuatu yang menyakiti jiwa, anggota tubuh,
kehormatan, akal, harta, dan yang bertalian dengannya. Ketika itu boleh atau
mesti mengerjakan yang diharamkan atau meninggalkan yang diwajibkan atau
menunda waktu pelaksanaannya guna menghindari kemudharat yang
diperkirakannya dapat menimpa dirinya selama tidak keluar dari syarat-syarat
yang ditentukan oleh syara. Berdasarkan pendapat para ulama di atas dapat
disimpulkan bahwa dharar adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi
manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa,
nasab, harta serta kehormatan manusia.
4) Menurut asy-Syatibi yang tergolong ke dalam kebutuhan ini ada lima hal, yaitu:
a. memelihara agama,
b. memelihara jiwa,
c. memelihara akal,
d. memelihara kehormatan dan keturunan,
e. memelihara harta.
Kelima hal inilah yang menyebabkan mengapa syariat Islam itu diturunkan.
Seluruh ayat-ayat hukum terkandung tujuan Allah swt sebagai syari’ atau pembuat
hukum yang secara eksplisit menentukan adanya pemeliharaan atas kelima hal
ini: berikut ayat dalam jihad 13 kewajiban persoalan contoh, Ambil tersebut.
.وقاتلوهم حتىْ ل تكون فتنة ويكون الدين هلل فإن انتهوا ًفل عدوان ْإل على الظالمين
Artinya: Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga)
ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. (QS. Al-Baqarah: 193)
Artinya: Dan Dia (Allah) tidak sekali-kali menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan (QS.Al-Maidah:6)
Dan Surat al-Hajj ayat 78:
وما جعل عليكم في الدين من حرج
Artinya: Dan Allah tidak hendak menyulitkan kami (QS. Al-Hajj : 78).
2. Tahsiniyat
Tahsiniyat yaitu tingkat kebutuhan yang tidak mengancam satupun eksistensi salah
satu dari lima pokok di atas serta tidak menimbulkan kesulitan. Tingkat kebutuhan ini
hanya sekedar tingkat kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan asy-Syatibi, bahwa hal-
hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak
enak dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma
dan akhlak. Dalam berbagai bidang kehidupan, seperti ibadat, mu’amalat dan ‘uqubat,
5
Muhammad Sa’ad bin Ahmad bin Mas’ud al-Yubiy, Op. Cit., hlm. 31
7
Allah telah mensyariatkan hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan tahsiniyat.
Dalam lapangan ibadah, kata Abd. Wahhab Khallaf, umpamanya Islam mensyariatkan
bersuci baik dari najis atau dari hadas, baik pada badan maupun pada tempat dan
lingkungan. Islam menganjurkan berhias ketika hendak ke Masjid, menganjurkan
memperbanyak ibadah sunnah.Dalam lapangan mu’amalat Islam melarang boros, kikir,
menaikkan harga, monopoli, dan lain-lain. Dalam bidang ‘uqubat Islam mengharamkan
membunuh anak-anak dalam peperangan dan kaum wanita, melarang melakukan muslah
(menyiksa mayyit dalam peperangan).6
Tujuan syariat seperti tersebut tadi bias disimak dalam beberapa ayat, misalnya ayat 6
dalam Surat al-Maidah:
ولكن يريد ليطهركم وليتم نعمته عليكم لعلكم تشكرون
Artinya: Tetapi Dia (Allah) hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-
Nya bagimu supaya kamu bersyukur. (QS. Al-Maidah: 6)
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta
taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. (QS At- Taghabun:16)
Kedua
6
Muhammad Sa’ad bin Ahmad bin Mas’ud al-Yubiy, Op. Cit., hlm. 388
8
لضرر ال يزال بمثله
(Kemudharatan tidak dihilangkan dengan memunculkan kemudharatan yang semisal
apalagi kemudharatan yang lebih parah)
Diantara contoh penerapannya, misalnya seseorang yang diancam akan dibunuh apabila
tidak membunuh kawannya. Jika dia dibunuh maka itu adalah kemudharatan, namun jika
dia ingin menyelamatkan dirinya dengan membunuh kawannya tersebut maka itu adalah
bentuk menimbulkan kemudharatan yang sama. Sehingga dalam hal ini dia tidak boleh
melakukannya, karena nyawanya tidak lebih berharga dari pada nyawa kawannya. Dan
kemudharatan tidak boleh ditolak dengan memunculkan kemudharatan yang sama.
Ketiga
Bersungguh-sungguh dalam beristinsyaq menghirup air dalam hidung kecuali jika engkau
7
Muhammad Sa’ad bin Ahmad bin Mas’ud al-Yubiy, Op. Cit., hlm. 388.
9
berpuasa.(HR Abu Daud 142)
Beristinsyaq (menghirup air ke hidung) dengan sungguh-sungguh akan mendatangkan
maslahat, tetapi ketika berpuasa menghirup dengan sungguh- sungguh dikhawatirkan air
yang masuk bisa tertelan masuk ke dalam lambung sehingga membatalkan puasa.
2. Cabang Kaidah الضرر يزال
1. Qaidah Pertama
Dan sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkannya atasmu
kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.
8
1 Ibid.,h.130, mengutip juga dari Abdullah ibn Said ibn ‘Abbad li al-Hajibi al-Hadhrami, Idhahu al-
Qawaid al-Fiqhiyyah, (Saudi: t.p., 1410 H), h. 28.
10
Melihat ayat di atas, tidak semua keterpksaan itu memperbolehkan yang haram,
namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang benar-benar tidak ada jalan
lain kecuali hanyamelakukan itu, dalam kondisi ini maka yang haram dapat
diperbolehkan memakainnya.
Contoh:
Seseorang di hutan tiada menemukan makanan sama sekali kecuali babi hutan dan
bila ia tidak memakannya akan mati, maka babi hutan itu dapat dimakan sebatas
keperluannya.
Kebolehan mengucap kata kufur karna dipaksa
Batasan kemadharatan adalah suatu hal yang mengancam eksistensi manusia, yang
terkait dengan panca tujuan yaitu: memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara
akal, memelihara keturunan dan memelihara kehormatan atau harta benda.
3. Qoidah Ketiga
11
5. Qaidah Kelima
Jika ada dua kemudharatan yang bertentangan maka diambil kemudharatan yang
paling besar
Maksudnya, apabila ada dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan
mana yang lebih besar madharatnya dengan memilih yang lebih ringan
madharatnya
Contoh :
Diperbolehkanmengadakan pembedahan perut wanita yang mat
jika dimungkinkan bayi yang dikandungnya dapat diselamatkan.
Diperbolehkan shalat dengan bugil jika tidak ada alat penutup sama sekali.
9
Dr. M. Noor. Harisudin, M. Fil. I, Pengantar Ilmu Fiqih (Surabaya: Pena Salsabila, 2013)
12
kembali keharmonisan dalam pernikahan.
e. Perlindungan Kesejahteraan Psikologis: Kaidah ini memperhatikan
perlunya melindungi kesejahteraan psikologis suami dan istri dalam
pernikahan. Jika salah satu pihak mengalami tekanan atau kerugian
emosional, prinsip لضرر يزالmemungkinkan penyelesaian masalah dengan
mempertimbangkan dampaknya terhadap kesejahteraan keduanya.
f. Negoisasi dan Kompromi: Dalam situasi konflik pernikahan, kaidah ini
mendorong suami dan istri untuk melakukan negoisasi dan kompromi
guna mencapai kesepakatan yang adil dan menghindari kerugian bagi
kedua belah pihak
g. Mengutamakan Kemaslahatan Bersama: Kaidah لضرر يزالmengajarkan
pentingnya mengutamakan kemaslahatan bersama dalam menyelesaikan
masalah pernikahan. Dengan demikian, keputusan yang diambil akan
memperhatikan kepentingan kedua belah pihak dan meminimalkan
kerugian yang mungkin terjadi.
h. Penghormatan Hak: Dalam kasus perselisihan terkait hak dan kewajiban
dalam pernikahan, aplikasi kaidah ini memastikan bahwa hak-hak kedua
belah pihak dijamin tanpa adanya kerugian.
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konsep aturan ini menyampaikan pemahaman bahwa masyarakat harus
menjauhi ifral (perbuatan yang merugikan) baik terhadap diri sendiri maupun
orang lain, serta tidak boleh menimbulkan kerugian bagi orang lain. Dalal
mengacu pada kedudukan seseorang yang berada di ambang kematian atau akan
meninggal jika tidak ingin melakukan sesuatu yang dilarang. Dari sinilah para ahli
hukum menetapkan asas-asas hukum yang umum untuk kepentingan bertetangga.
Oleh karena itu, kebebasan tetangga untuk menggunakan hak miliknya dibatasi
dengan syarat tidak boleh ada bahaya nyata atau pelanggaran terhadap hak
tetangga.
Berdasarkan pendapat para ulama di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
dalal sulit untuk benar-benar menentukan keberadaan manusia. Sebab jika tidak
diselesaikan maka agama, nyawa, nasab, harta benda, dan kehormatan manusia
akan terancam. Perbatasan Dalal menghadapi kondisi berbahaya atau mashaka
parah yang tidak dapat ditanggung oleh masyarakat. Hajiyat diidentikkan dengan
kebutuhan sekunder. Sekalipun kerusakannya belum hilang seluruhnya, hilangkan
sebisa mungkin. Ini adalah aturan yang penting, terutama jika menyangkut
masalah kerugian. Karena kerugian termasuk kedengkian.
14
DAFTAR PUSTAKA
Amzah.
Palembang:Noerfikri.
Millah, S. (2021). Tawkil Wali Nikah Via Medsos: Solusi Kaidah Fikih Saat
Persada.
Wasil, Nashr Farid Muhammad, dkk., (2013), Qawa’id Fiqhiyyah, Jakarta: Amza
15