Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

AD-DHARARU YUZALU ‫َا لَّض َر ُر ُي َز اُل‬


BAHAYA HARUS DIHILANGKAN
Dosen Pengampu : Dr. Muhammad Fadhlan IS, M.A

DISUSUN :

NAMA : SYARKAWI

ANJUMA

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI MANDAILING
NATAL

2023-2024
1
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas Rahmat dan
Karunia-Nya saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Ad-Dhararu Yuzalu–Bahaya yang
harus di hilangkan”.
Makalah ini saya susun untuk memenuhi salah satu syarat tugas Mata Kuliah Qawaid
Fiqih pada Program Studi hukum keluarga islam, di Sekolah Tinggi Agama Islam negeri
(STAIN) mandailing natal 2024. Saya menyadari sepenuhnya bahwa, makalah ini masih jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat di harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
Dalam menyusun makalah ini, saya tidak luput dari berbagai hambatan dan rintangan.
Tanpa bantuan dan peran serta berbagai pihak, makalah ini tidak mungkin terwujud. Oleh
karena itu, saya ingin menyampaikan rasa terima kasih tak terhingga kepada dosen pembimbing
dan rekan-rekan serta semua pihak yang ikut serta membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Akhirnya, kami sebagai penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat
khususnya bagi penulis dan umunya bagi pembaca. Amin.

panyabungan, april 2024


Penulis

syarkawi

2
i
DAFTAR ISI

Daftar isi................................................................................................................................... i
Kata pengantar.......................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................... 1
A. Latar Belakang................................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................... 2
‫َا‬
A. Pengertian Qaidah ‫ لَّض َر ُر ُي َز اُل‬................................................................................................ 2
‫َا‬
B. Sumber Qaidah ‫ لَّض َر ُر ُي َز اُل‬..................................................................................................... 2

C. Cabang-Cabang Qaidah ‫َالَّض َر ُر ُيَز اُل‬....................................................................................... 3

BAB III PENUTUP................................................................................................................ 11


A. Kesimpulan.......................................................................................................................... 11
B. Saran.................................................................................................................................... 11

Daftar Pustaka

3
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana diketahui bahwa syariat yang diawa oleh nabi Muhammad SAW, adalah
syariat yang bersifat tidak memberatkan dan mudah untuk dilaksanakan, kemudian apabila ada hal-
hal yang dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang memberatkan umat dalam menjalankannya, maka
hal-hal tersebut harus dihindari atau dihilangkan. Sesuai dengan pokok bahasan kali ini, yaitu: ‫يزال‬
‫“ الضرار‬Kemudharatan Itu Harus Dihilangkan”, sebagai kaidah pokok fiqih yang ke-empat dari lima
kaidah pokok yang ada, penulis akan berusaha menyajikan pembahasan sekitar dalil yang mendasari
kaidah ini, perincian kaidah (kaidah-kaidah yang berada dalam lingkup kaidah asal ini), dan
beberapa contoh masalah yang berhubungan dengannya.
Setiap orang dalam hidupnya pasti tidak ingin tertimpa bahaya atau kesusahan. Pembawaan
alamiah ini membuat kebanyakan manusia selalu berpikir pragmatis dan praktis, selalu berupaya
merengguh kebahagiaan dan berupaya menghindari bahaya-bahaya di dalam kehidupannya. Upaya
yang demikian adalah wujudan sifat manusiawi setiap orang. Dan Islam tidak menampik realitas
semacam ini, melainkan mengadopsinya dalam bingkai-bingkai hukum yang apresiatif dan
akomodatif. Sebagai bukti adalah makna yang terangkum dalam konsep salah satu kaidah fiqh yang
secara eksplisit memotivasi untuk membuang jauh-jauh semua bahaya baik bahaya bagi diri sendiri
maupun bagi orang lain yakni kaidah al-dharru yuzallu (kemadaratan harus dihilangkan). Di dalam
makalah ini penulis akan membahas tentang kaidah al-dharru yuzallu (kemadaratan harus
dihilangkan) dan berbagai ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya.
Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua. Banyak
dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul
fiqhiyah. Maka dari itu, kami selaku penulis mencoba untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah
fiqh, mulai dari pengertian, sejarah, perkembangan dan beberapa urgensi dari kaidah-kaidah fiqh.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai
fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam
menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang
berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi,
politin, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan
berkembang dalam masyarakat.

B. Rumusan Masalah
‫َا‬
1. Apa yang di maksud dengan qaidah ‫? لَّض َر ُر ُي َز اُل‬
‫َا‬
2. Apa saja sumber qaidah ‫? لَّض َر ُر ُي َز اُل‬
‫َا‬
3. Apa saja cabang-cabang qaidah ‫? لَّض َر ُر ُي َز اُل‬

4
1
BAB II

PEMBAHASAN

‫َا َّض َز‬


A. Pengertian Qaidah ‫ل َر ُر ُي اُل‬
Arti dari kaidah “ad-Dhararu yuzalu” adalah kemudharatan/kesulitan harus dihilangkan.
Jadi, konsepsi kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari idhrar (tindak
menyakiti), baik oleh dirinya maupun orang lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya
(menyakiti) pada orang lain.[1]
Namun Dharar (Kemudharatan) secara etimologi adalah berasal dari kalimat "adh Dharar" yang
berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya. Sedangkan Dharar secara terminologi
menurut para ulama ada beberapa pengertian diantaranya adalah:
1. Dharar ialah posisi seseorang pada suatu batas dimana kalau tidak mau melanggar sesuatu yang
dilarang maka bisa mati atau nyaris mati. Hal seperti ini memperbolehkan ia melanggarkan sesuatu
yang diharamkan dengan batas batas tertentu.
2. Abu Bakar Al Jashas, mengatakan “Makna Dharar disini adalah ketakutan seseorang pada bahaya
yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya karena ia tidak makan.”
3. Menurut Ad Dardiri, “Dharar ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan yang teramat
sangat”.
4. Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki, “Dharar ialah mengkhawatirkan diri dari kematian
berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan.”
5. Menurut Asy Suyuti, “Dharar adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana kalau ia tidak
mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa.
Jadi, Dharar disini menjaga jiwa dari kehancuran atau posisi yang sangat mudharat sekali, maka
dalam keadaan seperti ini kemudaratan itu membolehkan sesuatu yang dilarang.
Berdasarkan pendapat para ulama di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Dharar adalah
kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan
mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia.
‫َا َّض َز‬
B. Sumber Qaidah ‫ل َر ُر ُي اُل‬
Firman Allah Swt:

ۗ‫ِاَّن َر ْح َم َت اِهلل َقِر ْيٌب ِّم َن اْلُم ْح ِس ِنْيَن َو اَل ُتْفِس ُد ْو ا ِفى اَاْلْر ِض َبْع َد ِاْص اَل ِح َه ا َو اْد ُعْو ُه َخ ْو ًفاَّو َطَمًعا‬.

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan
Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan).
Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S Al-A’raf/7: 56)

‫َو اْب َتِغ ِفْي َم ٓاٰاٰتىَك اُهلل الَّداَر اٰاْلِخ َر َة َو اَل َتْن َس َنِص ْيَبَك ِم َن الُّد ْن َيا َو َاْح ِس ْن َك َم ٓا َاْح َس َن اُهلل ِاَلْي َك َو اَل َتْب ِغ اْلَفَس اَد ِفى اَاْلْر ِض ۗ ِاَّن اَهلل اَل ُيِح ُّب‬

‫ اْلُم ْفِس ِد ْيَن‬.

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang
lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
5

1
Nashr farid Muhammad washil, Qawa’id Fiqhiyyah, hlm 17. 2
(muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S Al-
Qashash/28: 77)
Sabda Rasulullah Saw.:

‫ َالَض َر َر َو َال َر اَر َم ْن َض َّر َض َّر ُه اُهلل َو َم ْن َش َّق َش َّق اُهلل َع‬.
‫َلْي ِه‬ ‫ِض‬

“Tidak boleh memudharatkan dan di mudaratkan, barang siapa yang memudharatkan, maka Allah akan
memudharatkannya, dan barang siapa saja yang menyusahkan, maka Allah akan
menyusahkannya.” (HR.Imam Malik)[2]
Masalah-masalah yang dapat mempergunakan kaidah ini banyak sekali,
diantaranya: khiyar, syuf’ah, hudud, kafarat, memilih pemimpin, fasakh dalam nikah karena ada aib dan
sebagainya.
‫َا َّض َز‬
C. Cabang-Cabang Qaidah ‫ل َر ُر ُي اُل‬
1. Qaidah Pertama:
‫اْلَض َر ُر َالُيَز اُل ِب ا لَض َر ِر‬
(Kemadharatan itu tidak bisa dihilangkan dengan kemadhratan yang lain)
Kaedah ini semakna dengan kaedah:
‫اْلَض َال َز اُل ِم ْثِلِه‬
‫َر ُر ُي َب‬
“ Kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan yang sebanding”
Maksud kaedah itu adalah kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan cara melakukan kemudharatan
lain yang sebanding keadaannya.
Contoh:
a) Seorang debitor tidak mau membayar utangnya padahal waktu pembayaran sudah habis. Maka
dalam hal ini tidak boleh kreditor mencuri barang debitor sebagai pelunasan terhadap hutangnya.
b) Seorang dokter tidak boleh melakukan donor darah dari satu orang ke orang lain jika hal itu
menyebabkan si pendonor menderita sakit lebih parah dari yang menerima donor.
c) Iqbal dan Subekti adalah dua orang yang sedang kelaparan, keduanya sangat membutuhkan
makanan untuk meneruskan nafasnya. Iqbal, saking tidak tahannya menahan lapar nekat mengambil
getuk Manis kepunyaan Subekti yang kebetulan dibeli sebelumnya di Kantin. Tindakan Iqbal
walaupun dalam keadaan yang sangat menghawatirkan baginya tidak bisa dibenarkan karena
Subekti juga mengalami nasib yang sama dengannya, yaitu kelaparan.
Kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu karena Dharar adalah untuk memenuhi penolakan
terhadap bahaya, bukan selain ini. Dalam kaitan ini Dr. Wahbah az-Zuhaili membagi kepentingan
manusia akan sesuatu dengan 5 klasifikasi, yaitu:
a) Dharar, yaitu kepentingan manusia yang diperbolehkan menggunakan sesuatu yang dilarang,
karena kepentingan itu menempati puncak kepentingan manusia, bila tidak dilaksanakan maka
mendatangkan kerusakan. Kondisi semacam ini memperbolehkan segala yang diharamkan atau
dilarang, seperti memakai pakaian sutra bagi laki-laki yang telanjang , dan sebagainya.
b) Hajat, yaitu kepentingan manusia akan sesuatu yang bila tidak dipenuhi mendatangkan kesulitan
atau mendekati kerusakan. Kondisi semacam ini tidak menghalalkan yang haram. Misalnya seorang
laki-laki yang tidak mampu berpuasa maka diperbolehkan berbuka dengan makanan halal, bukan
makanan haram.

6
c) Manfaat, yaitu kepentingan manusia untuk menciptakan kehidupan yang layak. Maka hukum
diterapkan menurut apa adanya karena sesungguhnya hukum itu mendatangkan manfaat. Misalnya
makan makanan pokok seperti beras, ikan, sayur-mayur, lauk-pauk, dan sebagainya.

d) Zienah, yaitu kepentingan manusia yang terkait dengan nilai-nilai estetika.


3
e) Fudhul, yaitu kepentingan manusia hanya sekedar utuk berlebih-lebihan, yang memungkinkan
mendatangkan kemaksiatan atau keharaman. Kondisi semacam ini dikenakan hukum saddu adz
dzariah, yakni menutup segala kemungkinan yang mendatangkan mafsadah.[3]
2
Nashr Farid Muhammad Washil, dkk, Qawa’id Fiqiyyah, (Jakarta: Amzah, 2009), Hal.17
2. Qaidah Kedua:
‫الَّض اُت ُتِبي اْل ْح ُظ اِت‬
‫ُح َم ْو َر‬ ‫ُر ْو َر‬
(Kondisi darurat memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang)
Dasar nash dari kaidah di atas adalah firman Allah:
ۗ ‫َو َقْد َفَّص َل َلُك ْم َّم ا َح َّر َم َع َلْي ُك ْم ِااَّل َم ااْض ُطِر ْر ُتْم ِاَلْي ِه‬
“Dan sesunguhnya Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-Nya atasmu kecuali apa
yang terpaksa kamu memakannya.” (QS. al-An’am:119)
‫َف ِن اْض ُطَّر َغ ْي اٍغ َّو اَل اٍد َفٓاَل ِاْث َلْي ِه‬
‫َم َع‬ ‫َع‬ ‫َر َب‬ ‫َم‬
“Maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedangkan ia tidak menginginkannya, serta
tidak melampaui batas maka tiada dosa baginya”. (QS.Al-Baqarah:173)
Melihat ayat di atas, tidak semua keterpaksaan itu memperbolehkan yang haram, namun
keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang benar-benar tidak ada jalan lain kecuali hanya
melakukan itu, dalam kondisi ini maka yang haram dapat diperbolehkan memakainya.
Contoh:
a. Seseorang di hutan tiada menemukan makanan sama sekali kecuali babi hutan dan bila ia tidak
memakannya akan mati, maka babi hutan itu dapat dimakan sebatas keperluannya.
b. Kebolehan mengucap kata kufur karna dipaksa.[4]
Batasan kemadharatan adalah suatu hal yang mengancam eksistensi manusia, yang terkait dengan
panca tujuan yaitu: memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan
memelihara kehormatan atau harta benda.
3. Qaidah Ketiga:
‫َم اُاِبُح ِللَّض ُر ْو َر ِة ُيَقَّد ُر ِبَقَّدِر َها‬
(Apa yang diperbolehkan karena adanya kemudlaratan diukur menurut kadar kemudlaratan)
Contoh kaidah :
a. Kebolehan memakan bangkai bagi seseorang hanya sekadar dalam ukuran untuk mempertahankan
hidup, tidak boleh melebihi.
b. Sulitnya shalat jumat untuk dilakukan pada satu tempat, maka shalat jumat boleh dilaksanakan pada
dua tempat. Ketika dua tempat sudah dianggap cukup maka tidak diperbolehkan dilakukan pada tiga
tempat.
4. Qaidah Keempat:
‫َد ْر ُء اْلَم َفاِس ِد ُم َقَّد ٌم َع َلى َج ْلِب اْلَمَص اِلِح‬
(Menolak mafsadah (kerusakan) didahulukan daripada mengambil kemaslahatan)
Contoh kaidah:
a. Berkumur dan mengisap air kedalam hidung ketika berwudhu merupakan sesuatu yang disunatkan,
namun dimakruhkan bagi orang yang berpuasa karena untuk menjaga masuknya air yang dapat
membatalkan puasanya.
7
b. Seseorang diprintahkan shalat dalam keadaan berdiri, namun ia tidak mampu melaksanakannya, maka
shalat itu dapat dikerjakan dengan duduk atau berbaring.
c. Meminum khomr itu disamping ada madharatnya merusak akal dan menghambur-hamburkan uang
sedang manfaatnya untuk menguatkan badan, walaupun demikian maka yang dimenangkan adalah
menolak kerusakannya.
5. Qaidah Kelima:
‫ِاَذ ا َتَع اَر َض اْلُم ْفِس َدَتاِن ُر ْو ِع َي َأْع َظُم ُهَم ا َض َر ًر ا ِباْر ِتَك اِب َأَخ ِّفِه َم ا‬
(Jika ada dua kemadaratan yang bertentangan, maka diambil kemadaratan yang paling besar)
3 Djuzuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana, Cet ke-2, 2007), h. 68
Maksudnya, apabila ada dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana
4 Muchlis, yang lebih besar
Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hal.132
madharatnya dengan memilih yang lebih ringan madharatnya.
Contoh kaidah:
a. Diperbolehkan mengadakan pembedahan perut wanita yang mati jika dimungkinkan bayi yang
dikandungnya dapat diselamatkan.
b. Diperbolehkan shalat dengan bugil jika tidak ada alat penutup sama sekali.

8
BAB III 10
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bahwa permasalahan-permasalah yang muncul dalam kehidupan sehari-hari ragam
macamnya. Tentunya ini mengharuskan agar supaya didapati jalan keluar terhadap jalan
penyelesaiannya. Maka disusunlah suatu kaidah secara umum yang diikuti cabang-cabang
secara lebih mendetail terkait permasalahan yang sesuai dengan kaidah tersebut. Adanya kaidah
ini tentunya sangat membantu dan memudahkan terhadap pemecahan permasahalan yang
muncul ditengah-tengah kehidupan.
Maka, hendaklah seorang muslim memahami secara baik tentang konsep disiplin ilmu
ini karenanya merupakan asas dalam pembentukan hukum Islam. Masih jarang diantara kaum
muslim yang memahami secara baik tentang pedoman penyelesaian hukum Islam. Menjadi
kewajiban sebagai seorang muslim untuk lebih memahami dan meyikapi persoalan hukum
dalam Islam karena proses kehidupan tidak terlepas dari kegiatan hukum.

B. Saran
Saya dari pemakalah menyadari sepenuhnya bahwa makalah kami ini jauh dari
kesempurnaan, karena terebatasan referisensi, dan keterbatsan ilmu yang kami miliki. Untuk itu
saya selaku penulis menerima kritik dan saran dari peserta diskusi maupun dosen pembimbing
untuk demi baiknyaya tulisan kami di masa yang akan datang.

9
DAFTAR PUSTAKA

Azhar, USHUL FIQIH, Medan, 2015.

Dahlan, Abdul Rahman. 2010.Ushul Fiqih. Jakarta : Amzah.

Departmen Agama RI. 2014. AL-JUMANATUL ‘ALI Al-Qur’an dan Terjemahannya. Bandung:
CV. Penerbit J-ART.

Khallaf, Abdul Wahab. 2000. Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqih). PT Raja
Grafindo : Jakarta

Mudjib, Abdul. 2008. Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih (al-Qowaidul al-Fiqhiyyah), Kalam Mulia :
Jakarta.

Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu USHUL FIQIH Untuk UIN, STAIN, PTAIS Cetakan IV. Bandung:
CV PUSTAKA SETIA.

Anda mungkin juga menyukai