Anda di halaman 1dari 26

INKARUSUNNAH, SEJARAH, DAN BANTAHAN

TERHADAPNYA

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ulumul Hadist

Dosen Pengampu : Ade Arip Ardiansyah, M.Pd.

Disusun oleh:

Muhammad Kholid Fathurrohman 1232030143


Hafiza Asyirofa 1232030136

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2023
KATA PENGANTAR
Dengan rendah hati, kami memulai pengantar ini dengan ungkapan rasa
syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan berkah dan petunjuk-Nya,
sehingga kami berhasil menyelesaikan tugas makalah berjudul Inkarusunnah,
Sejarah dan Bantahannya tepat waktu. Penyusunan makalah ini merupakan bagian
dari dedikasi kami dalam memenuhi tugas yang diberikan oleh Bapak Ade Arip
Ardiansyah, M.Pd., pada mata kuliah Ulumul Hadist. Tujuan kami menyusun
makalah ini adalah untuk berbagi pengetahuan dengan pembaca dan memperluas
pemahaman kami sendiri.

Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Ade


Arip Ardiansyah, M.Pd., atas kesempatan yang diberikan dalam menyelesaikan
tugas ini. Beliau telah memberikan kontribusi berharga yang meningkatkan
pengetahuan dan pemahaman kami. Selain itu, kami juga mengucapkan terima
kasih kepada semua individu yang turut serta membantu kami dalam proses
penyusunan makalah ini.

Kami sepenuhnya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari


kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami
hargai, sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas makalah ini ke depannya.

Bandung, 1 Desember 2023

Penulis

Kelompok 12

PAGE \* MERGEFORMAT ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
....................................................................................................................................
i
DAFTAR ISI
....................................................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN
....................................................................................................................................
1
A. Latar Belakang...............................................................................................
1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................
2..........................................................................................................................
C. Tujuan Penulisan............................................................................................
2
BAB II PEMBAHASAN
....................................................................................................................................
3
A. Pengertian Inkarusunnah................................................................................
5
B. Sejarah Inkarusunnah.....................................................................................
5
C. Argumentasi Inkarusunnah............................................................................
10
D. Dampak Inkarusunnah Terhadap Umat Islam...............................................
17

PAGE \* MERGEFORMAT ii
BAB III PENUTUP
....................................................................................................................................
20
DAFTAR PUSTAKA
....................................................................................................................................
22

PAGE \* MERGEFORMAT ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latarbelakang Masalah
Agama Islam, sebagai agama yang dianut oleh ratusan juta umat
Muslim di seluruh penjuru dunia, bukan hanya merupakan suatu
keyakinan, melainkan juga menjadi sebuah way of life yang diyakini
mampu membimbing menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat. Al-Qur'an,
sebagai pondasi utama dalam agama Islam, memegang peranan sentral
sebagai panduan utama dalam berbagai aspek kehidupan, mencakup
aqidah, syari’ah, dan akhlak (Muamalah).
Al-Qur'an memberikan dasar prinsipil mengenai berbagai
persoalan ini, dan Allah SWT menugaskan Rasulullah saw untuk
memberikan penjelasan yang komprehensif mengenai dasar-dasar tersebut.
Sebagai kelanjutan dari Al-Qur'an, penjelasan tersebut dikenal sebagai
hadis atau sunnah, dan telah disepakati oleh mayoritas ulama dan umat
Islam sebagai sumber kedua ajaran Islam setelah al-Qur'an.
Meskipun al-Qur'an telah ditulis dan dikumpulkan sejak zaman
Nabi saw, hadis Nabi saw memiliki karakteristik yang berbeda. Tidak
semua hadis diriwayatkan secara mutawatir, dan pengorganisasian hadis
baru dilakukan pada masa khalifah Umar bin Abdul Azis. Keberadaan
fakta ini menjadi pangkal bagi kelompok kecil umat Islam yang dikenal
sebagai kelompok Inkar al-Sunnah untuk menolak otoritas hadis sebagai
sumber ajaran Islam yang harus diikuti.
Dalam konteks ilmu hadis, kelompok Inkar al-Sunnah dan
pandangan mereka menjadi kelompok minoritas dalam sejarah umat Islam.
Fenomena ini menjadi sebuah pokok pembahasan yang menarik dan
relevan untuk diexplorasi lebih lanjut. Oleh karena itu, makalah ini tidak
hanya bertujuan untuk memberikan pemahaman global terkait
pengingkaran terhadap sunnah Rasulullah saw, melibatkan pemahaman
konsep, batasan, tokoh-tokoh terkait, sejarah perkembangannya, dan

1
argumentasi yang digunakan. Lebih jauh lagi, makalah ini akan mengulas
respons para ulama terhadap fenomena kontroversial ini, merinci upaya-
upaya mereka dalam menjelaskan, merespons, dan mengatasi perbedaan
pandangan terkait Inkar Sunnah.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian dari Inkarusunnah?
2. Sejarah dari perkembangan Inkarusunnah?
3. Faktor-faktor penolakan terhadap Inkarusunnah?
4. Dampak Inkarusunnah terhadap umat islam?
C. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan perngertian Inkarusunnah.
2. Menguraokan sejarah dari perkembangan inkarusunnah.
3. Menguraikan daktor-faktor penolakan terhadap Inkarusunnah.
4. Menjelaskan dampak dari Inkarusunnah terhadap umat islam.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Inkarusunnah
1. Secara Etimologis
Kata "Ingkar Sunnah" memiliki dua komponen utama, yakni "Ingkar" dan
"Sunnah." Asal kata "Ingkar" dapat ditelusuri dari akar kata dalam bahasa Arab:
‫ انكر‬- ‫ ینكر‬- ‫انكارا‬, yang memiliki beberapa makna, antara lain: tidak mengakui dan
tidak menerima baik di lisan maupun di hati, ketidaktahuan atau kebodohan
(sebagaimana diungkapkan dalam antonim kata al-Irfan), dan menolak apa yang
tidak tercermin dalam hati.
Contoh penggunaan kata "Ingkar" dapat ditemukan dalam ayat-ayat Al-
Qur'an, seperti dalam surat Yusuf ayat 58, di mana saudara-saudara Yusuf datang
ke Mesir tanpa mengenali Yusuf, dan dalam surat An-Nahl ayat 83, yang
menyebut orang-orang yang mengetahui nikmat Allah namun mengingkari-Nya.
Al-Askari membedakan makna antara "al-Inkar" terhadap sesuatu yang
tersembunyi tanpa pengetahuan, dan "al-Juhdu" terhadap sesuatu yang tampak
dengan pengetahuan. Oleh karena itu, orang yang menolak sunnah sebagai hujjah,
terutama di kalangan ahli hadits, disebut sebagai ahlul bid’ah. Mereka cenderung
mengikuti hawa nafsu mereka, bukan akal fikiran atau keinginan hati.
Dari beberapa makna kata "Ingkar," dapat disimpulkan bahwa secara
etimologis, "Ingkar Sunnah" mengartikan tindakan menolak, tidak mengakui, dan
tidak menerima sunnah baik secara lahir dan batin, maupun di lisan dan hati.
Penolakan ini dapat dipicu oleh berbagai faktor, seperti ketidakpahaman, gengsi,
kesombongan, keyakinan, dan sebagainya.
Di sisi lain, kata "Sunnah" dalam konteks etimologi bermakna sebuah
perjalanan yang diikuti, baik yang bersifat baik maupun buruk. Selain itu,
"Sunnah" dapat merujuk pada tradisi yang berkelanjutan. Orang yang menolak
sunnah sebagai hujjah dalam konteks beragama, terutama di kalangan ahli hadits,
disebut sebagai ahlul bid’ah, yang cenderung mengikuti hawa nafsu mereka tanpa
mempertimbangkan akal dan hati.

3
2. Secara Terminologi
Dalam konteks terminologi, pengertian "Ingkar Sunnah" dapat diuraikan
berdasarkan pandangan para ahli, yang dapat dirinci sebagai berikut:
a. Paham Penolakan Sunnah dalam Masyarakat Islam:
Merupakan pandangan atau paham yang muncul di kalangan
masyarakat Islam yang menolak hadits atau sunnah sebagai sumber
ajaran Islam, yang ditempatkan sebagai ajaran kedua setelah al-Qur'an.
b. Paham Minoritas Menolak Dasar Hukum Islam dari Sunnah Shahih:
Merupakan pandangan yang berkembang di sebagian minoritas umat
Islam yang menolak dasar hukum Islam yang berasal dari sunnah
shahih. Penolakan ini mencakup baik sunnah praktis maupun yang
secara formal dikodifikasikan oleh para ulama. Penolakan tersebut dapat
melibatkan seluruh sunnah secara totalitas (mutawattir), atau sebagian
(ahad), tanpa didasari oleh alasan yang dapat diterima.
Dari kedua definisi tersebut, dapat diinterpretasikan bahwa "Ingkar
Sunnah" merupakan pandangan atau pendapat perorangan atau
kelompok yang menolak sunnah Nabi saw sebagai landasan hukum
Islam. Pengertian sunnah dalam konteks ini mencakup sunnah yang
sahih, baik secara substansial, seperti sunnah praktis pengamalan
(sunnah ‘amaliah), maupun secara formal yang dikodifikasikan oleh
ulama, melibatkan perbuatan (qaulan), tindakan (fi’lan), dan persetujuan
Nabi saw (taqriran).
Sejumlah ulama, termasuk As-Suyuthi, berpendapat bahwa seseorang
yang menyangkal kehujahan hadits Nabi, baik dalam perkataan maupun
perbuatan, yang memenuhi syarat-syarat yang jelas dalam ilmu Ushul, dapat
dianggap sebagai kafir, keluar dari Islam, dan ditempatkan bersama orang Yahudi
dan Nasrani, atau bahkan bersama orang-orang kafir. As-Syaukani menegaskan
bahwa para ulama sepakat akan kehujjahan sunnah secara mandiri sebagai sumber
hukum Islam, sejajar dengan Al-Qur'an dalam mengatur yang halal dan haram.
Kehujjahan dan kemandiriannya sebagai sumber hukum Islam dianggap sebagai

4
keharusan yang tak terelakkan dalam praktik beragama. Orang yang menentang
hal ini dianggap tidak memiliki bagian dalam praktek beragama Islam. Para
fuqaha sahabat selalu merujuk kepada sunnah dalam menjelaskan Al-Qur'an dan
untuk menetapkan hukum yang tidak dapat ditemukan dalam teks Al-Qur'an.

B. Sejarah Inkarusunnah

1. Ingkar Sunnah pada Masa Periode Klasik


Pertanda munculnya "Ingkar Sunnah" sudah tampak sejak masa sahabat,
terungkap saat Imran bin Hushain (w. 52 H) sedang mengajarkan hadits. Seorang
individu menyela, mengklaim bahwa tidak perlu mengajarkan hadits, karena
cukup dengan mengerjakan al-Qur'an saja. Imran menjawab dengan menjelaskan
bahwa kita tidak dapat membicarakan ibadah (seperti shalat dan zakat) dengan
segala syaratnya kecuali dengan petunjuk Rasulullah saw. Setelah mendengar
penjelasan tersebut, individu tersebut menyadari kesalahannya dan mengucapkan
terima kasih kepada Imran.
Sikap penolakan atau pengingkaran terhadap sunnah Rasul saw dengan
memberikan argumen baru mulai muncul pada akhir abad ke-2 Hijriyah, pada
awal masa Abbasiyah. Kelompok yang menolak sunnah ini disebut sebagai
kelompok "ingkar as-sunnah." Menurut Imam Syafi'i, terdapat tiga kelompok
ingkar as-sunnah, salah satunya adalah Khawarij.
a. Khawarij:
Dalam bahasa, kata "Khawarij" merupakan bentuk jamak dari "kharij,"
yang berarti sesuatu yang keluar. Secara terminologis, Khawarij merujuk pada
kelompok atau golongan yang pertama keluar dan tidak loyal terhadap pimpinan
yang sah.
Kelompok Khawarij ini terbentuk ketika mereka memisahkan diri dari
kepemimpinan Ali bin Abi Thalib r.a. Beberapa sumber menyebutkan bahwa
mereka menolak hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat sebelum
terjadinya fitnah, seperti perang saudara antara Ali r.a dan Aisyah, dan perang
Siffin antara Ali r.a dan Mu’awiyah r.a.

5
Kelompok Khawarij menganggap bahwa sebelum terjadinya fitnah, para
sahabat Nabi dianggap sebagai orang-orang yang 'adil, namun setelah peristiwa
tersebut, mayoritas sahabat dianggap telah keluar dari Islam. Oleh karena itu,
mereka menolak hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat setelah
peristiwa tersebut.
Meskipun kelompok Khawarij dan mazhabnya punah, kelompok
Ibadhiyah masih bertahan sebagai bagian dari golongan Khawarij. Dalam kitab-
kitab mereka, terdapat hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh sahabat seperti
Ali, Usman, Aisyah, Abu Hurairah, Anas bin Malik, dan lainnya. Oleh karena itu,
pendapat yang menyatakan bahwa seluruh kelompok Khawarij menolak hadits
yang diriwayatkan oleh sahabat Nabi, baik sebelum maupun setelah peristiwa
tahkim, dianggap tidak benar.
b. Syi’ah
Kata "syi’ah" merujuk kepada 'para pengikut' atau pendukung. Secara
istilah, syi’ah adalah golongan yang menganggap Ali bin Abi Thalib lebih utama
daripada khalifah sebelumnya. Mereka berpendapat bahwa ahlul al-bait lebih
berhak menjadi khalifah daripada yang lain.
Golongan syi'ah terbagi menjadi berbagai kelompok, dan setiap kelompok
memiliki penilaian bahwa kelompok lain telah keluar dari Islam. Satu-satunya
kelompok syi'ah yang masih eksis hingga sekarang adalah kelompok Itsna
'Asyariyah. Kelompok ini menerima hadits nabawi sebagai salah satu syariat
Islam. Namun, perbedaan mendasar antara kelompok syi’ah dan ahl sunnah
(golongan mayoritas umat Islam) terletak pada penetapan hadits. Golongan syi’ah
menganggap bahwa setelah wafatnya Nabi saw, mayoritas sahabat sudah murtad,
kecuali beberapa orang yang menurut mereka masih tetap muslim. Oleh karena
itu, golongan syi’ah menolak hadits-hadits yang diriwayatkan oleh mayoritas para
sahabat. Mereka hanya menerima hadits-hadits yang diriwayatkan oleh ahli bayt.
c. Mu’tazilah
Arti kebahasaan dari kata "mu’tazilah" adalah 'sesuatu yang mengasingkan
diri'. Secara konteks, mu’tazilah merujuk kepada golongan yang mengasingkan

6
diri dari mayoritas umat Islam karena keyakinan bahwa seorang muslim yang
berperilaku fasik tidak dapat disebut mukmin atau kafir.
Imam Syafi'i pernah menceritakan perdebatannya dengan seseorang yang
menolak sunnah, tanpa menjelaskan siapa orang yang menolak sunnah tersebut.
Meskipun masih terdapat kebingungan dalam sumber-sumber yang menjelaskan
sikap mu’tazilah terhadap sunnah, apakah mereka menerima sunnah secara
keseluruhan, menolak sunnah secara keseluruhan, atau hanya menerima sebagian
sunnah, kelompok mu’tazilah umumnya menerima sunnah seperti umat Islam
pada umumnya. Namun, mungkin ada beberapa hadits yang mereka kritik jika
bertentangan dengan pemikiran mazhab mereka. Ini tidak berarti mereka menolak
hadits secara keseluruhan, melainkan hanya menerima hadits yang memiliki
tingkat mutawatir. Perlu dicatat bahwa ingkar as-sunnah klasik kebanyakan masih
merupakan pendapat perseorangan dan muncul karena ketidaktahuan mereka
tentang fungsi dan kedudukan hadits. Setelah diberi penjelasan tentang urgensi
sunnah, mereka akhirnya menerima kembali ajaran tersebut. Lokasi utama ingkar
as-sunnah klasik terdapat di Irak, khususnya di Basrah.
Secara garis besar, Muhammad Abu Zahrah menyimpulkan bahwa ada
tiga kelompok yang menolak sunnah dan berhadapan dengan Asy-Syafi’i:
1) Kelompok yang menolak seluruh Sunnah Nabi saw.
2) Kelompok yang menolak Sunnah, kecuali jika sunnah memiliki
kesamaan dengan petunjuk al-Qur’an.
3) Mereka yang menolak Sunnah yang berstatus Ahad dan hanya
menerima Sunnah yang berstatus Mutawatir.
Dari penolakan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kelompok pertama dan
kedua pada dasarnya memiliki kesamaan pandangan, yaitu bahwa mereka tidak
menjadikan Sunnah sebagai hujjah. Para ahli hadits menyebut kelompok ini
sebagai kelompok Inkar Sunnah. Kelompok ini memberikan banyak alasan untuk
mendukung pandangan mereka, baik dengan mengutip ayat-ayat al-Qur’an
maupun alasan-alasan rasional.
Salah satu ayat al-Qur’an yang sering dikutip oleh kelompok ini sebagai
alasan menolak sunnah secara totalitas adalah Qur’an surat An-Nahl ayat 89, yang

7
menyatakan bahwa Al-Qur’an sudah mencakup segala sesuatu yang berkenaan
dengan ketentuan agama tanpa perlu penjelasan dari Sunnah.
Selanjutnya, kelompok ini menggunakan ayat Al-An'am ayat 38 yang
menyatakan bahwa semua binatang di bumi dan burung di langit juga merupakan
umat seperti manusia, dan tidak ada yang ditinggalkan dari Al-Kitab. Menurut
kelompok ini, ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an sudah mencakup segala sesuatu
dan tidak memerlukan penjelasan dari Sunnah.
Kelompok ketiga menolak hadits Ahad dan hanya menerima hadits
Mutawatir. Mereka menggunakan ayat-ayat al-Qur’an, seperti surat Yunus ayat
36, sebagai dalil untuk menegaskan bahwa hadits Ahad tidak dapat dijadikan
pegangan dalam urusan agama. Bagi kelompok ini, urusan agama harus
didasarkan pada dalil yang qath'i yang diyakini dan disepakati kebenarannya.
Oleh karena itu, hanya Al-Qur'an dan hadits mutawatir saja yang dianggap
sebagai hujjah atau sumber ajaran Islam.
2. Inkarusunnah Pada Priode Modern
Tokoh-tokoh kelompok Ingkar Sunnah Modern yang terkenal, termasuk
dalam akhir abad ke-19 dan ke-20, antara lain Ghulam Ahmad Parvez dari India,
Taufik Sidqi (w. 1920) dari Mesir, Rasyad Khalifah kelahiran Mesir yang
menetap di Amerika Serikat, dan Kasasim Ahmad mantan ketua partai Sosialis
Rakyat Malaysia. Mereka termasuk dalam kelompok yang menolak Sunnah secara
keseluruhan. Argumentasi yang mereka ajukan pada dasarnya tidak berbeda
dengan kelompok Ingkar Sunnah pada periode klasik. Di Indonesia, tokoh-tokoh
"Ingkar Sunnah" antara lain Lukman Sa’ad (Dirut PT. Galia Indonesia), Dadang
Setio Groho (karyawan Unilever), Safran Batu Bara (guru SMP Yayasan Wakaf
Muslim Tanah Tinggi), dan Dalimi Lubis (karyawan kantor DePag Padang
Panjang). Seperti kelompok Ingkar Sunnah klasik, mereka menggunakan argumen
dari dalil naqli dan aqli untuk menguatkan pandangan mereka.
Salah satu sebab utama dari munculnya Ingkar Sunnah Modern adalah
pengaruh kolonialisme yang semakin dahsyat pada awal abad ke-19 di dunia
Islam. Kolonialis memperdaya dan melemahkan Islam melalui penyebaran faham-
faham yang bertentangan dengan prinsip dasar Islam.

8
Mereka sering merujuk pada ayat-ayat tertentu dalam Al-Qur'an sebagai
dasar argumen mereka. Misalnya, surat An-Nisa ayat 87 yang menyatakan bahwa
hanya Allah yang benar dalam perkataannya, dan surat Al-Jatsiyah ayat 6 yang
mengatakan bahwa ayat-ayat Allah adalah keterangan yang sebenarnya. Mereka
juga berargumen bahwa Rasul hanya menyampaikan Al-Qur'an kepada umat
manusia, dan jika Rasul membuat hadits selain dari ayat-ayat Al-Qur'an, itu akan
dicabut oleh Allah.
Di Indonesia, pada dasawarsa tujuh puluhan, muncul isu sekelompok
muslim yang tidak percaya terhadap Sunnah Nabi Muhammad saw. Beberapa
nama seperti Abdul Rahman, Achmad Sutarto, Nazwar Syamsu, Dalimi Lubis,
dan Sanwani Pasar Rumput Jakarta Selatan, muncul sebagai tokoh yang terang-
terangan menyebarkan paham mereka. Kelompok ini, misalnya Jama’ah al-
Islamiah al-Huda dan Jama’ah al-Qur’an dan Ingkar Sunnah, hanya menggunakan
Al-Qur'an sebagai petunjuk dalam melaksanakan agama Islam.
Tokoh - tokoh Inkarusunnah pada era modern antara lain :
a. Taufiq Shidqi (w. 1920 m)
Tokoh ini berasal dari Mesir dan menolak hadits Nabi SAW. Dia
menyatakan bahwa Al-Qur'an adalah satu-satunya sumber ajaran Islam, dengan
mengatakan "al-Islam huwa al-Qur'an" (Islam itu adalah Al-Qur'an itu sendiri).
Dia juga berpendapat bahwa tidak ada satu pun Hadits Nabi saw yang dicatat pada
masa beliau masih hidup, dan baru di catat jauh hari setelah Nabi wafat. Namun,
di akhir hayatnya, tokoh ini meninggalkan pandangannya dan kembali menerima
otoritas kehujjahan hadits Nabi saw.14
b. Rasyad Khalifa
Dia adalah seorang tokoh Inkar Sunnah yang berasal dari Mesir dan
menetap di Amerika. Dia hanya mengakui Al-Qur'an sebagai satu-satunya sumber
ajaran Islam, sehingga menolak hadits Nabi saw.15
c. Ghulam Ahmad Parwes
Tokoh ini berasal dari India dan merupakan pengikut setia Taupiq Shidqi.
Pendapat terkenalnya adalah bahwa pelaksanaan shalat seharusnya ditentukan
oleh pemimpin umat secara musyawarah, sesuai dengan tuntunan dan situasi

9
masyarakat. Kelompok ini berpendapat bahwa tidak perlu ada hadits Nabi saw,
dan anjuran taat kepada Rasul diartikan sebagai taat kepada sistem/ide yang telah
dipraktekkan oleh Nabi saw, bukan kepada Sunnah secara harfiah. Menurut
mereka, Sunnah tidak kekal, yang kekal adalah sistem yang terkandung dalam
ajaran Islam.
d. Kasim Ahmad
Tokoh ini berasal dari Malaysia dan merupakan pengagum Rasyad
Khalifa. Pandangan-pandangannya tentang hadits Nabi SAW sejalan dengan
tokoh yang dia kagumi. Melalui bukunya, "Hadits Sebagai Suatu Penilaian
Semua", Kasim Ahmad menyeru umat Islam agar meninggalkan hadits Nabi saw,
karena menurut penilaianya hadits tersebut adalah ajaran-ajaran palsu yang
dikaitkan dengan Hadits Nabi saw. Dia juga menyatakan bahwa hadits Nabi saw
merupakan sumber utama penyebab terjadinya perpecahan umat Islam.
e. Tokoh-tokoh Inkar Sunnah asal Indonesia
Tokoh-tokoh Inkar Sunnah yang berasal dari Indonesia adalah Abdul
Rahman, Moh. Irham, Sutarto, Lukman Saad, Achmad Sutarto, dan Nazwar
Syamsu di Padang Sumatera Barat, serta Dalimi Lubis dan Sanwani Pasar Rumput
Jakarta Selatan. Pada sekitar tahun 1983-an, tokoh-tokoh ini sempat meresahkan
masyarakat dan menimbulkan banyak reaksi karena pandangan mereka terhadap
al-Hadits. Sebagai respons terhadap keresahan ini, dikeluarkanlah "Surat
Keputusan Jaksa Agung No. kep. 169/J. A/1983 tertanggal 30 September 1983"
yang melarang aliran Inkar Sunnah di seluruh wilayah Republik Indonesia.
C. Argumentasi Inkarusunnah
Sebagai suatu paham atau aliran, ingkar as-sunnah klasik atau modern
memiliki argumen-argumen yang dijadikan sebagai landasan pemikiran dalam
mempertahankan faham mereka. Argumen yang mereka kemukakan terbagi dua:
1. Argumen Naqli
Argument-argument naqli yang mereka ajukan tidak hanya berupa ayat-
ayat Al-Qur'an, tetapi juga mencakup sunnah atau hadits Nabi. Terdapat ironi
ketika kelompok yang berfaham ingkar sunnah mengajukan sunnah sebagai
argumen pembelaan faham mereka.

10
Beberapa argumen dari ayat-ayat Al-Qur'an yang mereka gunakan antara lain:
a. Al-Qur'an (Q.S. An-Nahl:89):
Artinya: "(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap
umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu
(Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan Kami turunkan
kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk
serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri." (Q.S. an-
Nahl:89).
b. Al-Qur'an (Q.S. Al-An’am: 38):
Artinya: "Dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-
burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti
kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada
Tuhanlah mereka dihimpunkan." (Q.S. al-An’am: 38).
Menurut pandangan pengingkar sunnah, kedua ayat tersebut menunjukkan
bahwa Al-Qur'an sudah mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan
ketentuan agama. Oleh karena itu, menurut mereka, tidak diperlukan keterangan
lain, termasuk sunnah.
Dari argument-argument yang dikemukakan di atas, dapat difahami bahwa
para pengingkar sunnah yang mengajukan argumen ini berpendapat bahwa Nabi
Muhammad tidak memiliki hak untuk menjelaskan Al-Qur'an kepada umatnya.
Bagi mereka, Nabi Muhammad hanya bertugas menerima wahyu dan
menyampaikan wahyu itu kepada pengikutnya. Di luar tanggung jawab tersebut,
Nabi tidak memiliki wewenang. Dalam Al-Qur'an disebutkan bahwa orang-orang
yang beriman diperintahkan untuk patuh kepada Rasulullah. Pandangan ini,
menurut pengingkar sunnah, hanya berlaku ketika Rasulullah masih hidup, yaitu
saat jabatan ulul-amri berada di tangan beliau. Setelah wafatnya Rasulullah,
jabatan ulul-amri pindah kepada orang lain, sehingga kewajiban patuh dari orang-
orang yang beriman kepada Nabi Muhammad dianggap gugur.

11
c. Q.S. Yunus ayat 36:
Artinya: "Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan
saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai
kebenaran[690]. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka
kerjakan."
Kebenaran Al-Qur'an bersifat pasti, sedangkan sunnah bersifat zhanni
(relative). Jika terjadi kontradiksi antara keduanya, maka sunnah tidak dapat
berdiri sendiri sebagai produk hukum baru. Hal ini didasarkan pada beberapa ayat
dalam Al-Qur'an yang memerintahkan menjauhi zhann. Sehingga, menurut
anggapan kelompok ingkar sunnah, sunnah seluruhnya adalah zhann dan zhann
tidak dapat dijadikan hujjah dalam beragama. Hadis-hadis Nabi saw. sampai
kepada kita melalui suatu proses periwayatan yang tidak terjamin luput dari
kekeliruan, kesalahan, dan bahkan kedustaan terhadap Nabi saw. Oleh karena itu,
nilai kebenarannya tidak meyakinkan (zhanny). Dengan status kezhannyannya ini,
hadis tersebut tidak dapat dijadikan penjelas (mubayyin) bagi Al-Qur'an yang
diyakini kebenarannya secara mutlak (qat’i).
d. Rasulullah pernah melarang para sahabat menulis sunnah.
2. Argumen-argumen Aqli
a. Al-Qur'an diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad
(melalui Malaikat Jibril) dalam bahasa Arab. Orang-orang Arab yang
memiliki pengetahuan bahasa Arab dapat memahami Al-Qur'an
secara langsung, tanpa bantuan penjelasan dari hadits Nabi. Dengan
demikian, tidak diperlukan hadits untuk memahami Al-Qur'an.
b. Tidak percaya kepada semua hadis Rasulullah saw. Menurut mereka,
hadis dianggap sebagai karangan Yahudi yang bertujuan untuk
menghancurkan Islam dari dalam.
c. Nabi Muhammad tidak berhak menjelaskan tentang ajaran Al-Qur'an
karena Al-Qur'an dianggap sudah sempurna.19
d. Dalam sejarah umat Islam mengalami kemunduran. Umat Islam
mundur karena terpecah-pecah, dan perpecahan itu terjadi karena

12
umat Islam berpegang pada hadits Nabi. Menurut para pengingkar
sunnah, hadits Nabi merupakan penyebab kemunduran umat Islam.
e. Asal mula hadits Nabi yang dihimpun dalam kitab-kitab hadits
dianggap sebagai dongeng semata. Dinyatakan demikian karena
hadits Nabi lahir setelah lama Nabi wafat. Kitab-kitab hadits yang
terkenal, seperti Shahih Bukhari dan Muslim, dianggap sebagai kitab-
kitab yang menghimpun berbagai hadits palsu.
f. Menurut Taufiq Siddiq, tidak ada satu pun hadits Nabi yang dicatat
pada zaman Nabi. Pencatatan hadits terjadi setelah Nabi wafat, dan
dalam masa tidak tertulisnya hadits tersebut, manusia berpeluang
untuk mempermainkan dan merusak hadits, sebagaimana yang telah
terjadi.

3. Respon Ulama Hadist

Dalam menanggapi keberadaan kelompok inkar al-sunnah dan


argumantasinya, baik naqli maupun aqli, beberapa tokoh hadis terkemuka seperti
Ibn Hazm, al-Baihaqi, dan al-Syafi’i merasa perlu untuk mengoreksi pandangan
mereka yang dianggap menyimpang. Beberapa argumantasi yang mereka
kemukakan dalam merespon dan melemahkan argumen kelompok inkar al-sunnah
meliputi:

a. Penguasaan bahasa Arab yang baik adalah suatu kebutuhan untuk


memahami isi al-Qur’an. Namun, hal ini tidak berarti bahwa
seseorang boleh meninggalkan sunnah Nabi saw. Sebaliknya, dengan
menguasai bahasa Arab, seseorang akan memahami bahwa al-Qur’an
sendiri mendorong umat Islam untuk menerima dan mengikuti sunnah
Nabi saw., yang disampaikan oleh periwayat yang dipercaya (al-
sadiqun), sebagaimana diamanahkan untuk menerima dan mengikuti
al-Qur’an.

b. Kata "tibyan" (penjelas) yang terdapat dalam al-Qur’an, surat al-Nahl


(16): 89, memiliki beberapa pengertian, antara lain: (1) ayat-ayat al-

13
Qur’an secara tegas menjelaskan kewajiban, larangan, dan teknik
dalam pelaksanaan ibadah tertentu, (2) ayat-ayat al-Qur’an
menjelaskan kewajiban tertentu yang bersifat global, (3) Nabi saw.
menetapkan ketentuan yang tidak dijelaskan secara tegas dalam al-
Qur’an. Berdasarkan ayat al-Qur’an tersebut, hadis Nabi saw.
dianggap sebagai sumber penjelasan ketentuan agama Islam. Ayat ini
tidak menolak keberadaan hadis Nabi saw., bahkan memberikan
kedudukan yang sangat penting, yaitu sebagai sumber ajaran Islam
yang kedua setelah al-Qur’an.

c. Imam al-Syafi'i, seperti ulama lainnya, mengakui bahwa hadis-hadis


ahad memiliki nilai zanni karena proses periwayatannya dapat
mengalami kekeliruan atau kesalahan. Oleh karena itu, tidak semua
hadis ahad dapat diterima dan dijadikan hujjah, kecuali jika hadis ahad
tersebut memenuhi persyaratan shahih dan hasan. Oleh karena itu,
pandangan yang menolak otoritas kehujjahan hadis secara keseluruhan
dianggap keliru dan tidak benar.

d. Hadis yang dikemukakan oleh kelompok inkar al-sunnah untuk


menolak kehujjahan hadis Nabi saw., dinilai oleh al-Syafi'i sebagai
munqathi' (terputus sanadnya). Jadi, hadis yang diusung oleh
kelompok inkar al-sunnah dianggap berkualitas dha'if, dan karena itu
tidak layak dijadikan argumentasi. Perlu dicatat bahwa kelompok
inkar al-sunnah, meskipun menolak kehujjahan hadis Nabi saw.,
terlihat tidak konsisten dalam menggunakan argumentasi. Ketiadaan
konsistensi tersebut terlihat jelas saat mereka juga memasukkan hadis
sebagai salah satu argumen mereka untuk menolak kehujjahan hadis,
bahkan hadis yang diusung itu memiliki status dha'if. Argumentasi
yang diajukan oleh al-Syafi'i terbukti efektif untuk membuat
kelompok inkar al-sunnah abad klasik menyadari kesalahan mereka.
Akibatnya, mereka kembali mengakui kehujjahan hadis Nabi saw.
Tidak hanya itu, al-Syafi'i berhasil membendung gerakan kelompok

14
inkar al-sunnah ini selama hampir sebelas abad. Sebagai penghargaan
atas jasanya, ulama hadis kemudian memberinya gelar kehormatan
sebagai nashir al-sunnah (penolong sunnah) atau multazim al-sunnah
(pembela sunnah).

Alasan kelompok pengingkar sunnah bahwa sunnah bersifat dhanni


(dugaan kuat), sementara kita diharuskan mengikuti yang pasti (yakin), tidak
sesuai. Ini karena Al-Qur'an sendiri, meskipun dianggap sebagai Kalamullah yang
kebenarannya diyakini, tidak semua ayat memberikan petunjuk hukum yang pasti.
Banyak ayat yang pengertiannya masih bersifat dhanni (dhanni Ad-dalalah).
Bahkan, orang yang menggunakan pengertian ayat seperti ini tidak dapat
meyakinkan bahwa pengertian itu bersifat pasti (yakin). Dengan demikian, berarti
ia juga tetap mengikuti pengertian ayat yang masih bersifat dugaan kuat (dhanni
Ad-dalalah).

Adapun firman Allah SWT: "Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti


kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna
untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang
mereka kerjakan" (Q.S. Yunus Ayat 36). Yang dimaksud dengan kebenaran (Al
Haq) di sini adalah masalah yang sudah tetap dan pasti. Jadi maksud ayat ini
adalah bahwa dhanni tidak dapat melawan kebenaran yang sudah tetap dengan
pasti, sedangkan dalam hal menerima hadis, masalahnya tidak demikian.

Bantahan terhadap argumen kedua dan ketiga kelompok pengingkar


sunnah, baik masa lalu (klasik) maupun sekarang (modern), adalah kekurangan
waktu dalam mempelajari Al-Quran. Hal ini karena mereka kebanyakan mengutip
dalil "dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang
yang berserah diri" (Q.S. An Nahl Ayat 89).

Namun, pada kenyataannya, dalam Surat An Nahl Ayat 44, Allah


berfirman, "dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan
pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka

15
memikirkan" (Q.S. An Nahl Ayat 44). Apabila Allah sendiri yang menurunkan
Al-Quran membebankan kepada Nabi-Nya untuk menjelaskan isi Al-Quran,
dapatkah dibenarkan seorang Muslim menolak keterangan atau penjelasan tentang
isi Al-Quran tersebut, dan memakai Al-Quran sesuai pemahaman sendiri seraya
tidak mau memakai penjelasan-penjelasan yang berasal dari Nabi saw.Apakah ini
tidak berarti percaya kepada sejumlah ayat Al-Quran dan tidak percaya kepada
Ayat-ayat lain, Allah SWT berfirman,

“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al kitab (Taurat) dan ingkar


terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah Balasan bagi orang yang berbuat
demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari
kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah
dari apa yang kamu perbuat (Q.S. Al-Baqarah Ayat 85)”.

Sedangkan Argumen mereka dengan Surat Al-An’am Ayat 38: “Tiadalah


Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab (Al-Quran), kemudian kepada
Tuhanlah mereka dihimpunkan”. Hal itu tidak pada tempatnya sebab Allah juga
menyuruh kita untuk memakai apa yang disampaikan Nabi SAW. Seperti dalam
Firman-Nya: “........apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa
yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah....... (Q.S. Al-Hashr Ayat 7)”

Allah juga berfirman: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan
tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang
urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka
sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata” (Q.S. Al-Ahzab Ayat 36)”.

Berdasarkan teks Al-Quran, Rasulullah SAW sajalah yang diberi tugas


untuk menjelaskan kandungan Al-Quran, sedangkan kita diwajibkan untuk
menerima dan mematuhi penjelasan-penjelasan beliau baik berupa perintah atau
larangan.

Selanjutnya, tentang pelarangan penulisan sunnah di zaman Rasulullah


saw adalah hanya diberlakukan untuk umum, tetapi bagi orang-orang khusus ada

16
yang diperbolehkan. Atau dalam istilah lain, catatan hadis untuk umum terlarang,
tetapi untuk catatan pribadi diizinkan oleh Nabi saw., seperti catatan Abdullah bin
Amr yang diberi nama ash-Shahifah Ash-Shadiqah, Abu Syah seorang sahabat
dari Yaman, dan sahabat lainnya diizinkan oleh Nabi saw. untuk menulis sunnah.

Larangan penulisan sunnah pada zaman Nabi saw. cukup beralasan baik
secara religius maupun sosial, antara lain sebagai berikut:

a. Penulisan hadis dikhawatirkan campur dengan penulisan Al-Quran,


karena kondisi yang belum memungkinkan dan kepandaian tulis-
menulis serta sarana dan prasarana yang belum memadai.

b. Umat Islam pada awal perkembangan Islam bersifat ummi (tidak bias
membaca dan tidak bias menulis) kecuali hanya beberapa orang
sahabat saja yang dapat dihitung dengan jari, itupun diperuntukkan
penulisan Al-Quran.

c. Kondisi perkembangan teknologi yang masih primitif; Al-Quran saja


masih ditulis di atas pelepah kurma, tulang binatang, batu-batuan, dan
lain sebagainya.

d. Sekalipun orang-orang Arab mayoritas ummi, namun hafalan mereka


sangat kuat, sehingga Nabi sangat mengandalkan hafalan mereka
dalam mengingat hadis.

D. Dampak Inkarusunnah terhadap Umat Islam

Kelompok yang menolak atau mengingkari (inkarusunnah) hadis dalam


ajaran Islam memiliki dampak yang dapat memengaruhi umat Islam secara
beragam. Beberapa dampak yang mungkin timbul dari penolakan terhadap sunnah
Nabi Muhammad saw. ini termasuk:

1. Kehilangan Sumber Hukum dan Pedoman Praktik Keagamaan:

Penolakan terhadap hadis berimplikasi pada kehilangan sumber hukum


Islam selain Al-Qur'an. Sunnah Nabi, yang merupakan ajaran dan praktik hidup

17
beliau, memberikan penjelasan, detail, dan contoh konkret terkait dengan hukum
dan etika Islam. Dengan menolak sunnah, umat Islam mungkin kehilangan
panduan praktis untuk menjalani kehidupan sehari-hari sesuai dengan ajaran
Islam.

2. Kurangnya Pemahaman Kontekstual:

Hadis sering memberikan konteks dan penjelasan yang diperlukan untuk


memahami ayat-ayat Al-Qur'an. Tanpa hadis, risiko salah paham atau penafsiran
yang tidak tepat terhadap ajaran Al-Qur'an dapat meningkat. Kontekstualisasi
sunnah membantu umat Islam memahami bagaimana prinsip-prinsip Islam harus
diimplementasikan dalam berbagai situasi.

3. Risiko Penyebaran Ajaran Sesat:

Penolakan terhadap sunnah Nabi dapat membuka pintu bagi munculnya


ajaran-ajaran sesat atau pandangan yang menyimpang dari ajaran Islam yang
sejati. Tanpa kendali dan kontrol dari tradisi sunnah, mungkin lebih mudah bagi
kelompok-kelompok atau individu untuk menyajikan interpretasi yang salah atau
ekstrem dari ajaran Islam.

4. Penghambatan Pengembangan Ilmu Keislaman:

Sejak awal, ilmu hadis menjadi bagian integral dari tradisi keilmuan Islam.
Penolakan terhadap hadis dapat menghambat pengembangan ilmu keislaman,
karena banyak hukum dan prinsip keislaman yang dijelaskan dan dipahami
melalui penelitian dan kajian terhadap hadis.

5. Pertentangan dengan Konsensus Umat Islam:

Menolak sunnah dapat menciptakan pertentangan dengan mayoritas umat


Islam yang secara historis mengakui pentingnya hadis dalam memahami dan
menjalankan ajaran Islam. Ini bisa menyebabkan perpecahan dan
ketidaksepakatan di dalam masyarakat Muslim.

18
6. Kehilangan Tradisi Pembelajaran dan Warisan Keilmuan:

Penolakan terhadap sunnah dapat mengakibatkan hilangnya tradisi


pembelajaran dan warisan keilmuan yang telah dibangun selama berabad-abad.
Peran hadis dalam menyampaikan pengetahuan dari generasi ke generasi menjadi
terancam.

7. Pengaruh Terhadap Praktik Ibadah:

Aspek praktis dalam beribadah, seperti cara melaksanakan salat, puasa,


zakat, dan haji, umumnya didasarkan pada sunnah Nabi. Penolakan terhadap
sunnah dapat mempengaruhi pelaksanaan ibadah dan memunculkan variasi dalam
praktik-praktik keagamaan di antara umat Islam.

Penting untuk diingat bahwa pandangan ini bersifat umum, dan mungkin
ada perbedaan pendapat di dalam umat Islam sendiri terkait dengan pentingnya
sunnah. Banyak ulama dan umat Islam meyakini bahwa Al-Qur'an dan sunnah
harus dipahami sebagai satu kesatuan untuk mendapatkan gambaran yang lengkap
dan akurat tentang ajaran Islam.

19
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pengertian dari Inkarusunnah:
Inkarusunnah adalah sikap penolakan atau penegasan terhadap otoritas dan
keabsahan hadis-hadis Nabi Muhammad saw., yang merupakan bagian dari
sunnah atau ajaran dan praktik hidup beliau. Kelompok atau individu yang
mengikuti pendekatan ini cenderung meragukan keberlakuan hadis sebagai
sumber hukum dan panduan kehidupan Islam, memilih untuk membatasi diri pada
Al-Qur'an sebagai satu-satunya rujukan utama.
2. Sejarah dari perkembangan Inkarusunnah:
Sejarah perkembangan Inkarusunnah mencakup beberapa fase, baik di
masa awal Islam maupun perkembangan selanjutnya. Beberapa kelompok dan
tokoh kontroversial telah menolak atau meragukan otoritas hadis dengan alasan-
alasan tertentu, dan pandangan ini dapat berkembang dalam konteks sosial,
politik, dan intelektual tertentu.
3. Faktor-faktor penolakan terhadap Inkarusunnah:
Terdapat beberapa faktor yang memotivasi penolakan terhadap sunnah
Nabi. Faktor-faktor ini melibatkan pertimbangan teologis, historis, sosial, dan
kultural. Misalnya, beberapa individu atau kelompok mungkin meragukan
kesahihan periwayatan hadis, melihatnya sebagai produk manusia yang dapat
mengalami kesalahan.
4. Dampak Inkarusunnah terhadap umat Islam:
Penolakan terhadap sunnah Nabi memiliki dampak yang signifikan
terhadap umat Islam. Di antaranya adalah kehilangan sumber hukum dan
pedoman praktik keagamaan, risiko pemahaman kontekstual yang kurang, potensi
penyebaran ajaran sesat, penghambatan pengembangan ilmu keislaman,
pertentangan dengan konsensus umat Islam, kehilangan tradisi pembelajaran dan

20
warisan keilmuan, dan pengaruh terhadap praktik ibadah dalam kehidupan sehari-
hari.
Dengan demikian, fenomena Inkarusunnah menciptakan tantangan dalam
pemahaman dan pelaksanaan ajaran Islam, serta memunculkan isu-isu yang
memerlukan dialog dan pembahasan lebih lanjut di kalangan umat Islam.

21
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid Khon. Sunnah dan Pengingkarannya di Mesir Modern.


Disertasi, 2004.

Abdul Majid Khon. Ulumul Hadis. Amzah, Jakarta, 2013.

Ali Mustofa Ya’qub. Kritik Hadis. Cet. I. Pustaka Firdaus, Jakarta, 1995.

Ibrahim Anis. Almu’jam al-Washith, juz 3. Daar al-Ma’arif, Mesir, tahun


1972.

Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam


Kehidupan Masyarakat. Mizan, Bandung.

Tim IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam Indonesia. Djambatan,


Jakarta, 1992.

Al-Dzikra. 2015 . Inkar Sunnah. Al-Dzikra. IAIN Raden intan Lampung,


Vol. 9 no.1, Desember 2023. Diakses dari

https://media.neliti.com/media/publications/177884-ID-ingkar-sunnah-
sejarah-argumentasi-dan-re.pdf

22

Anda mungkin juga menyukai