Anda di halaman 1dari 15

PEMAHAMAN HADIS TENTANG “MEMBANGUN RUMAH”

SECARA KONTEKSTUAL
Makalah

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester (UAS) Mata Kuliah

“Studi Hadis”

Oleh :

Muhammad Ilham Ramadhani

(NIM. H03218013)

Dosen Pengampu :

Liliek Channa Aw, S.Pd.I, M.Pd.I

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR

FAKULTAS SAINS DAN NTEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . i
BAB I
PENDAHULUAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
A. Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
B. Rumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
C. Tujuan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
D. Manfaat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
BAB II
KAJIAN PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3
A. Pengertian Hadis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3
B. Latar Belakang Pemahaman Tekstual dan Kontekstual Hadis . . . . . . . . . . . . . . 3
BAB III
PEMBAHASAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
A. Takhrij Hadis HR. Bukhari No. 5240 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
B. Pemahaman Hadis HR. Bukhari No. 5240 secara kontekstual . . . . . . . . . . . . . . 11
BAB IV
PENUTUP . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 12
A. Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 13
DAFTAR PUSAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 14

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan sangatlah lekat dengan sebuah pedoman hidup ataupun


ilmu yang memiliki sangkut-paut dalam kehidupan. Dalam agama islam,
sebagai seorang muslim sangatlah penting mempelajari Al-Qur’an sebagai
pedoman hidup. Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang diturunkan oleh
Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril
sebagai pedoman umat manusia di muka Bumi. Pendidikan Al-Qur’an tidak
hanya bisa didapat pondok pesantren atau tempat belajar ruamahan saja, namun
dengan berkembangnya ilmu pengetahuan kini pendidikan al-Quran juga bisa
didapat secara formal seperti sekolah pada umumnya. Pendidikan adalah
pembelajaran, pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang
yang diturunkan ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau
penelitian. Di indonesia terdapat sekolah yang berbasis islam yang
menyediakan Pendidikan Al-Qur’an seperti RA, MI, MTs, MA, bahkan di
Perguruan Tinggi sekalipun seperti UIN, STAIN, dan IAIN.

Pemahaman dalam “Pendidikan Al-Qur’an” sendiri beraneka ragam. Hal


ini harus dipahami dalam berbagai perspektif, Tidak berpihak pada satu sumber
namun harus berbagai sumber yang kemudian dapat disimpulkan secara umum
tentang apa itu “Pendidikan Al-Qur’an”. Dalam hal ini juga melibatkan seorang
narasumber yang mendefinisikan tentang hal tersebut. Beberapa Narasumber
yang memiliki latar belkang yang berbeda, pasti memiliki pemikiran yang
berbeda dalam mengartikan suatu hal.

Tidak hanya al-Qur’an namun terdapat Hadis yang merupakan sumber


hokum kedua setelah al-Qur’an. Istilah hadits pada dasarnya berasal dari
bahasa Arab yaitu dari kata “Al-hadits” yang artinya adalah perkataan,
percakapan atau pun berbicara. Jika diartikan dari kata dasarnya,
maka pengertian hadits adalah setiap tulisan yang berasal dari perkataan atau
pun percakapan Rasulullah Muhammad SAW. Dalam terminologi agama
Islam sendiri, dijelaskan bahwa hadits merupakan setiap tulisan yang
melaporkan atau pun mencatat seluruh perkataan, perbuatan dan tingkah laku
Nabi Muhammad SAW.

Namun dalam segi pemahaman, hadis dapat dibedakan menjadi dua yaitu
pemahaman secara tekstual dan pemahaman secara kontekstual. Pada makalah

1
ini akan menjelaskan atau memaparkan bagaimana memahami hadis secara
konstekstual.

B. Rumusan masalah
a. Bagaimana cara memahami hadis secara kontekstual?
C. Tujuan
a. Untuk mengetahui cara memahami hadis secara kontekstual.
D. Manfaat
a. Mahasiswa dapat mengetahui cara memahami hadis secara kontekstual.

2
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Hadis

Hadits adalah segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi Muhammad SAW,
baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun ihwal nabi. Sebagai
dasar hukum kedua setelah Al-Qur’an bagi umat Islam, maka hadits penting untuk
dijaga dan dimurnikan dari segala pemalsuan [4]. Beberapa sebab terjadinya
pemalsuan antara lain karena munculnya perpecahan umat yag sudah terasa pada
masa-masa akhir kepemimpinan Khulafa Ar-rasyidi ke-4 (Ali bin Abi Thalib r.a),
sehingga para ulama dikalangan sahabat berusaha menjaga hadits dengan serius
melalui berbagai cara. Salah satu caranya yaitu dengan perlawatan ke berbagai
daerah Islam (rihlah Islamiah) untuk mengecek kebenaran hadits yang sampai
kepada mereka baik dari segi matan maupun sanad. Karena ketersebaran itu,
muncullah berbagai hadits yang datang dari berbagai sumber periwayatan.

Guna memfilter keotentikannya, para ulama melakukan riset terhadap hadits


yang beredar dan meletakkan dasar kaidah atau peraturan ketat bagi periwayat
hadits sehingga muncullah ilmu hadits. Ilmu hadits inilah yang menjadi dasar
penelitian hadits oleh berbagai peneliti dan pengumpul hadits.

B. Latar Belakang Pemahaman Tekstual dan Kontekstual Hadis

Hadis atau sunnah dengan sifatnya yang zhannî al-wurûd, seringkali mendapat
sorotan tajam bahkan sebagai bahan eksperimen “operasi bedah” terhadap kesucian
agama yang pada akhirnya pengingkaran atas otentisitas hadis atau sunnah. Sebagai
contoh, Ignas Goldziher dan Joseph Schacht10 menyatakan bahwa sunnah
merupakan kesinambungan dari adat istiadat pra-Islam ditambah dengan aktivitas
pemikiran bebas para pakar hukum Islam awal. Selanjutnya mereka menyatakan
hadis hanyalah produk kreasi kaum muslimin belakangan, mengingat kodifikasi
hadis baru dilakukan beberapa abad sepeninggal Rasulullah saw.1

Secara faktual terdapat perbedaan mendasar antara hadis dan al-Quran. Al-
Qur‟an secara redaksional, disusun oleh Allah swt., malaikat Jibril sebagai
penyambung lidah sampai pada Muhammad, kemudian Muhammad
menyampaikan kepada umatnya dan umatnya langsung menghafal dan menulisnya.
Kemukjizatan al-Qur‟an adalah tidak akan mengalami perubahan sepanjang zaman,

1
Jalaluddin Rahmat, Bunga Rampai Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta:
Paramadina, 2000), 224-35.

3
bahkan Allah sendiri telah menjamin akan keotentikannya. Atas dasar itulah, wahyu
Allah digolongkan sebagai qath‛î al-tsubût.1

Berbeda dengan al-Qur’an, hadis hanya berdasarkan hafalan sahabat dan


catatan beberapa sahabat serta tabi’in. Meskipun demikian, profil sahabat dan
tabi’in dapat dibuktikan kredibilitasnya dalam hal kejujuran, keteguhan, ketulusan,
dan upayanya yang selektif untuk merawat serta meneruskannya pada generasi
berikutnya dan ditopang kondisi masyarakat yang kondusif. Untuk itu, patutlah
hadis atau sunnah diposisikan sebagai sumber hukum kedua, dan bahkan tradisi
kehidupan Nabi merupakan bentuk pranata Islam yang konkret dan hidup sebagai
penerjemahan al-Qur’an.

Hal lain yang menjadi permasalahan yang mengemuka dari sisi internal diri
Muhammad sebagai figur Rasul akhir zamn adalah secara otomatis ajaran-
ajarannya berlaku sepanjang zaman, sementara hadis sendiri turun dalam kisaran
tempat dan kondisi tertentu, sebatas yang sempat dijelajahi Rasulullah saw. Di
samping itu, tidak semua hadis secara eksplisit mempunyai asbâb al-wurûd untuk
diketahui status hadis bersifat âmm atau khâsh. Dengan demikian hadis perlu
dipahami secara tekstual maupun kontekstual.2

Memahami hadis secara tepat dan proporsional perlu diketahui posisi dan
fungsi Rasulullah saat hadis diutarakan. Apakah posisi Muhammad sebagai seorang
Nabi, Rasul, kepala pemerintah, hakim, panglima perang, suami, atau manusia
biasa?, karena posisi atau peran yang dimainkan, menjadi acuan untuk memahami
hadis agar tetap shâlih li kulli zamân wa makân.3

Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut di atas, secara garis besar, ada


dua tipologi pemahaman ulama atas hadis: pertama, pemahaman atas hadis Nabi
tanpa mempedulikan proses sejarah yang melahirkannya “ahistoris”, tipologi ini
disebut tekstualis; kedua, pemahaman kritis dengan mempertimbangkan asal-usul
(asbâb al-wurûd) hadis, dan konteks yang mengitarinya, pemahaman hadis dengan
cara yang demikian, disebut kontekstual.

Kata “kontekstual”, secara kebahasaan,4 berasal dari kata “konteks” yang


secara rinci mengandung dua arti: 1) bagian sesuatu uraian atau kalimat yang dapat

1
M. Quraish Shihab, “Hubungan Hadis dan Al-Qur‟an”, http:// www.media.isnet.org.Hadis.html;
diakses tanggal 20 April 2007
2
Suryadi, “Rekonstruksi…,139.
3
Ibid., 140.
4
Lihat, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 458.

4
mendukung atau menambah kejelasan makna; 2) situasi yang ada hubungan dengan
suatu kejadian. Kedua arti itu dapat digunakan untuk memahami hadis.

Pemahaman kontekstual atas hadis menurut Edi Safri adalah memahami hadis-
hadis Rasulullah dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan
peristiwa atau situasi yang melatarbelakangi munculnya, atau dengan kata lain,
memperhatikan dan mengkaji konteksnya.1 Dengan demikian, asbâb al-wurûd
dalam kajian kontekstual merupakan bagian yang paling penting. Hal kajian yang
lebih luas tentang pemahaman kontekstual tidak hanya terbatas pada asbâb al-
wurûd dalam arti khusus seperti yang biasa dipahami, tetapi lebih luas dari itu
meliputi konteks historis-sosiologis di mana asbâb al-wurûd merupakan bagian
darinya.

Dengan demikian, pemahaman kontekstual atas hadis Nabi berarti memahami


hadis berdasarkan peristiwa-peristiwa dan situasi ketika hadis diucapkan, dan
kepada siapa hadis itu ditujukan. Artinya, hadis Nabi saw. dipahami melalui redaksi
lahiriah dan aspek-aspek kontekstualnya. Meskipun di sini kelihatannya konteks
historis merupakan aspek yang paling penting dalam sebuah pendekatan
kontekstual, namun konteks redaksional juga tak dapat diabaikan. Aspek terakhir
itu tak kalah pentingnya dalam rangka membatasi dan menangkap makna yang
lebih luas (makna filosofis) sehingga hadis tetap menjadi komunikatif.

Pendekatan kontekstual, menurut Kamaruddin Hidayat, seorang penafsir


memposisikan sebuah teks ke dalam sebuah jaringan wacana, hal itu diibaratkan
sebuah gunung es, teks adalah fenomena kecil dari puncak gunung yang tampak di
permukaan. Oleh karena itu tanpa mengetahui latar belakang sosial budaya dari
mana dan dalam situasi apa sebuah teks muncul, maka sulit menangkap makna
pesan dari sebuah teks.2

Berkenaan dengan memahami hadis dengan pendekatan kontekstual, para


sahabat Nabi sudah mulai melakukannya, bahkan ketika Nabi masih hidup. Apa
yang dilakukan oleh sebagian sahabat terhadap hadis “jangan kamu shalat Ashar,
kecuali di perkampungan Banî Quraydhah” merupakan contoh yang cukup layak.
Sebagian sahabat memahami hadis tersebut secara kontekstual dengan menangkap
maksud dan tujuan nabi, sehingga mereka tetap melakukan shalat Ashar pada

1
Edi Safri, Al-Imam al-Syafi‟i: Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, Tesis (Fakultas
Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1990), 160.
2
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta:
Paramadina, 1996), 214

5
waktunya di dalam perjalanan. Sedang sebagian lainnya memahami secara tesktual
shalat Ashar di perkampungan Banî Quraydhah meski pun hari telah gelap.1

Umar bin Khathab, ketika tidak mengikuti praktek Rasul membagikan tanah
hasil rampasan perang. Ia tidak membagikan tanah taklukan Irak kepada para
tentaranya, melainkan justru membiarkannya di tangan para pemiliknya dengan
catatan mereka harus membayar upeti. Hal itu tampaknya Umar sangat jeli melihat
dua konteks yang berbeda. Pembagian tanah Khaibar oleh Rasulullah di masa
permulaan Islam merupakan kemaslahatan pada saat itu. Tetapi pada masanya,
kemaslahatan ada dengan tidak dibagikannya tanah tersebut.2

Imam Syafi’i banyak melakukan pemahaman kontekstual atas hadis nabi.


Pemahaman kontekstual yang dilakukan Imam Syafi’i berangkat dari kenyataan
bahwa adanya hadis-hadis yang secara zahir terlihat bertentangan. Indikasi yang
dapat ditangkap dari pernyataan Syafi’i adalah sulit diterima adanya hadis-hadis
yang mengandung makna yang kontradiksi (mukhtalif). Karena itu, di samping
beberapa cara penyelesain lain semisal nasîkh mansûkh dan tarjîh, Syafi‟i
menyelesaikannya dengan kompromi yang salah satunya adalah pemahaman
kontekstual. Pemahaman yang dilakukan Imam Syafi’i sangat bertumpu pada sabâb
al-wurûd hadis. Sebagai contoh Rasulullah pernah melarang buang air menghadap
atau membelakangi kiblat, namun dalam hadis yang lain membolehkannya.

Menurut Imam Syafi’i, masyarakat Arab pada umumnya tinggal di padang


yang luas dengan tempat tinggal di barak-barak yang tidak punya tempat tertutup
(untuk buang hajat). Karena itu untuk buang hajat, mereka pergi ke padang bebas,
sehingga ika posisinya menghadap kiblat atau membelakanginya, maka otomatis
mereka menghadap atau membelakangi orang-orang salat dalam keadaaan aurat
terbuka, karena itu Rasulullah melarangnya. Namun jika situasi mereka yang
tinggal di rumah yang memiliki tempat (kamar) tertutup, maka beliau tidak
melarangnya, sebagaimana Ibnu Jarîr menjelaskaan bahwa ia melihat Rasulullah
buang hajat dengan posisi membelakangi Ka’bah.3

Pendekatan kontekstual yang dilakukan oleh sebagian sahabat masih dalam


tahapan yang sangat sederhana. Demikian pula yang dilakukan oleh Imam Syafi’i
adalah dalam kaitannya dengan hadis-hadis mukhtalif yang ditulisnya dalam kitab

1
Lihat, Shahîh al-Bukhârî, hadis no. 2117, 4122, 2813. Lihat Shahîh Muslim, hadis no. 1771.
Lihat Sunan Abû Dâwud, hadis no. 3101. Lihat Sunan Nasa‟i, hadis no. 710. Lihat pula, Musnad
Imâm Ahmad, hadis no. 2472.
2
Nurcholish Madjid, “Pertimbangan Kemaslahatan dalam Menangkap Makna dan Semangat
Ketentuan Keagamaan”, dalam Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1988), 12-27.
3
Muhammad ibn Idrîs al-Syâfi‛î, Ikhtilâf al-Hadîts (Beirut: Dâr al-Kutub al-‛Ilmiyyah, 1986),
164.

6
al-Umm dan al-Risâlah dengan hadis-hadis yang bertolak belakang. Usaha-usaha
yang demikian itu telah menjadi inspirasi bagi generasi selanjutnya untuk
meneruskan dan mengembangkan metode ini, sebagaimana Yusuf al-Qardhawi,
Muhammad al-Ghazâlî, banyak menulis tentang metode pemahaman ini.

Karena itu upaya atau pengkajian terhadap konteks-konteks hadis merupakan


aspek yang sangat penting dalam menangkap makna hadis yang akan diamalkan.
Sayangnya, menurut Afif Muhammad pendekatan kontekstual atas hadis Nabi saw.,
belum mendapat perhatian serius.1

1
Afif Muhammad, “Kritik Matan: Menuju Pendekatan Kontekstual Atas Hadis Nabi saw.”, Jurnal
al-Hikmah, no. 5 (Maret-Juni 1992), 25.

7
BAB III

PEMBAHASAN

A. Tahrij Hadis HR. Bukhari No. 5240

a. Hadis HR. Bukhari No. 5240

8
b. Sanad Hadis
i. Jalur 1

9
c. Hasil Takhrij

Berdasarkan Takhrij yang dilakukan dengan pertimbangan dabit


perawi yang ditinjau dari komentar ulama, Hadis ini merupakan hadis
Shahih li Ghoirihi.

B. Pemahaman Hadis HR.Muslim No. 5240 secara kontekstual

Hadis tentang membangun rumah (HR. Bukhari: 5240), secara umum


bertentangan dengan Q.S. An-Nahl [16]: 80,1 dan Q.S. Al-A’raf [7]: 74.2
Menurut Muhammad al-Ghazali, dalam memahami hadis Nabi harus
mempertimbangkan suasana atau latar belakang ketika diucapkan. Konteks
Kota Madinah waktu itu sangat kritis akibat beban dakwah, jihad, pengepungan,
dan peperangan. Dalam kondisi seperti itulah Nabi melarang dan membangun
dan memperindah rumah.

Demikian juga dalam hal makanan, tempat tinggal dan pembentukan


keluarga. Jika hadis-hadis seperti itu dipahami secara tekstual, niscaya tidak aka
nada kota yang dibangun atau peradaban yang tegak.

1
“Rumah-rumah adalah suatu nikmat yang harus disyukuri dan upaya membangunnya adalah
termasuk kebiasaan dan ibadah sekaligus”.
2
“Dan ingatlah olehmu waktu Tuhan menjadikan kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa)
sesudah kaum ‘Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanah-
tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; maka ingatlah
nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan”.

10
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Secara garis besar, ada dua tipologi pemahaman ulama atas hadis:
pertama, pemahaman atas hadis Nabi tanpa mempedulikan proses sejarah
yang melahirkannya “ahistoris”, tipologi ini disebut tekstualis; kedua,
pemahaman kritis dengan mempertimbangkan asal-usul (asbâb al-wurûd)
hadis, dan konteks yang mengitarinya, pemahaman hadis dengan cara yang
demikian, disebut kontekstual.
Menurut Muhammad al-Ghazali, jika peradaban hanya ingin
memahami hadis secara tekstual maka peradaban tidak akan bisa maju.
Memahami hadis juga perlu dengan cara konstektual agar tidak ada
kesalahan dalam penafsiran, dan

11
DAFTAR PUSTAKA

Afif Muhammad, “Kritik Matan: Menuju Pendekatan Kontekstual Atas Hadis


Nabi saw.”, Jurnal al-Hikmah, no. 5 (Maret-Juni 1992).

Muhammad ibn Idrîs al-Syâfi‛î, Ikhtilâf al-Hadîts (Beirut: Dâr al-Kutub al-
‛Ilmiyyah, 1986).

M. Quraish Shihab, “Hubungan Hadis dan Al-Qur‟an”, http://


www.media.isnet.org.Hadis.html; diakses tanggal 20 April 2007

Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik


(Jakarta: Paramadina, 1996).

Edi Safri, Al-Imam al-Syafi‟i: Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, Tesis


(Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1990).

Jalaluddin Rahmat, Bunga Rampai Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah


(Jakarta: Paramadina, 2000).

Nurcholish Madjid, “Pertimbangan Kemaslahatan dalam Menangkap Makna dan


Semangat Ketentuan Keagamaan”, dalam Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam
(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988).

12
`

13

Anda mungkin juga menyukai