Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

STUDI ISLAM KOMPREHENSHIF

HADIST DAN ULUMUL HADIST

Disusun oleh:

SAFIUDDIN
20230402022021

Dosen Pengajar : Dr. H. Muhammad Hasdin Has, Lc., M.Th.I

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM ( IAIN ) KENDARI

TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang, kami panjatkan

puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-

Nya kepada kami, Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Studi Islam Komprehenshif,

yang berjudul Hadist dan Ulumul Hadist tepat pada waktunya.

Dan kami menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan baik dari segi

penyusunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami

menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang ini dapat bermanfaat bagi pembaca
dan orang lain.

Kendari, Oktober 2023

Penyusun

SAFIUDDIN
20230402022021

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ……………………………………………………………… ii

Daftar Isi …………………………………………………………………..….. iii

BAB I. PENDAHULUAN ………………………………………………............. 1

A. Latar Belakang ………………………………………………. 1

B. Rumusan Masalah ………………………………………………. 2

C. Tujuan Penulisan ………………………..……………………... 2

BAB II. PEMBAHASAN ……………………………………………………..... 3

A. Pengertian Hadits ………………………………….…………….……… 3

B. Bentuk – Bantuk Hadist ………………….……….…………………… 6

C. Macam-Macam Hadits ………………………………………………. 9

D. Fungsi Hadits terhadap Al-qur’an ………………………………. 10

E. Pengertian Ulumul Hadits……….……………………………………… 11

F. Cabang-Cabang Ilmu Hadist ……………………………………… 12

G. Sejarah Perkembangan Hadist ……………………………………… 16

F Manfaat Mempelajari Ilmu Hadits ……………………………… 20

BAB III. PENUTUP ……………………………………………………………… 22

A. Kesimpulan ……………………………………………………… 22

B. Saran ……………………………………..……………….. 22

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………… 23

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Alquran sebagai kalâm Allah (firman Allah) mencakup segala aspek persoalan

kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan pencipta-Nya, sesama manusia dan alam

semesta yang merupakan persoalan mendasar dalam setiap kehidupan manusia. Alquran

sebagai kitab suci umat Islam sangat kaya dengan pesan-pesan yang mengandung nilai-

nilai pendidikan. Sedangkan Hadits bermakna seluruh sikap, perkataan dan perbuatan

Rasulullah SAW dalam menerapkan ajaran Islam serta mengembangkan kehidupan umat

manusia yang benar-benar membawa kepada kerahmatan bagi semua alam, termasuk

manusia dalam mengaktualisasikan diri dan kehidupannya secara utuh dan bertanggung

jawab bagi keselamatan dalam kehidupannya. Kedudukan al-Sunnah dalam

kehidupan dan pemikiran Islam sangat penting, karena di samping memperkuat dan

memperjelas berbagai persoalan dalam Alquran, juga banyak memberikan dasar

pemikiran yang lebih kongkret mengenai penerapan berbagai aktivitas yang mesti

dikembangkan dalam kerangka hidup dan kehidupan umat manusia. Sebelum berbicara

tentang pengertian, jenis, dan perkembangan ilmu hadits, terlebih dahulu akan dijelaskan

secara singkat, kapan ilmu hadits muncul.

Ilmu hadits muncul sejak masa Rasulullah SAW dan perhatian para sahabat

terhadap hadits atau sunnah sangat besar. Demikian juga perhatian generasi berikutnya

seperti Tabi’in, Tabi’ Tabi’in, dan generasi setelah Tabi’in. Mereka memelihara hadits

dengan cara menghapal, mengingat, bermudzakarah, menulis, menghimpun, dan

mengodifikasikannya ke dalam kitab-kitab hadits yang tidak terhitung jumlahnya. Akan

tetapi, di samping gerakan pembinaan hadits tersebut, timbul pula kelompok minoritas

atau secara individual berdusta membuat hadits yang disebut dengan hadits mawdhû’

(hadits palsu). Maksudnya menyandarkan sesuatu yang bukan dari Nabi, kemudian

dikatakan dari Nabi SAW.

Kondisi hadits pada masa perkembangan sebelum pengodifikasian dan filterisasi

pernah mengalami kesimpang siuran di tengah jalan, sekalipun hanya minoritas saja.

Oleh karena itu, para ulama bangkit mengadakan riset hadits-hadits yang beredar dan

meletakkan dasar kaidah-kaidah atau peraturan-peraturan yang ketat bagi seorang yang

meriwayatkan hadits yang nantinya ilmu ini disebut ilmu hadits. Meskipun makalah ini

1
2

tidak bisa memuat hal-hal yang berkaitan dengan pengantar dan sejarah perkembangan

ilmu hadits secara menyeluruh, tapi paling tidak makalah ini cukup mampu untuk

memperkenalkan kita bagaimana sejarah perkembangan ilmu hadits. Berdasarkan

permasalahan di atas dalam makalah ini kami berusaha mencoba menjelaskan pengertian

ilmu hadits dan bagaimana sejarah perkembangan ilmu hadits.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah pada makalah ini adalah :

1. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan Hadits

2. Menjelaskan tentang bentuk – bantuk hadist

3. Menjelaskan Macam-macam Hadits

4. Menjelaskan Fungsi hadits terhadap Al-qur’an

5. Menjelaskan manfaat mempelajari Ilmu Hadits

C. Tujuan Penulisan

Ada beberapa tuuan dari penulisan makalah ini :

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Hadits

2. Untuk mengetahui tentang bentuk – bantuk hadist

3. Untuk mengetahui Macam-macam Hadits

4. Untuk mengetahui Fungsi hadits terhadap Al-qur’an

5. Untuk mengetahui manfaat mempelajari Ilmu Hadits

Selain itu juga penulisan makalah ini bertujuan sebagai bahan diskusi dan

pembelajaran antar mahasiswa pascasarjan.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits

Hadis atau al-hadits menurut bahasa al-jadid yang artinya sesuatu yang baru – lawan dari

al Qodim (lama) – artinya yang berarti menunjukkan kepada waktu yang dekat atau waktu yang

singkat (orang yang baru masuk/memeluk agama Islam). Hadis juga sering disebut al-khabar,

yang berarti berita, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada

orang lain, sama maknanya dengan hadis. Sedangkan menurut istilah (terminology), para ahli

memberikan definisi (ta'rif) yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang disiplin ilmunya.

Seperti pengertian Hadits menurut ahli ushul akan berbeda dengan pengertian yang diberikan

oleh ahli hadis. Menurut ahli hadis, pengertian hadis adalah: "Segala perkataan Nabi, perbuatan,

dan hal ihwalnya." Yang dimaksud dengan "hal ihwal" ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi

SAW. yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-

kebiasaannya. Ada juga yang memberi pengertian lain: "Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi

SAW. baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau.

Sebagian muhadditsin berpendapat bahwa pengertian hadis diatas merupakan pengertian

yang sempit. Menurut mereka, hadis mempunyai cakupan pengertian yang lebih luas, tidak

terbatas pada apa yang disandarkan kepada Nabi SAW. (hadis marfu') saja. Melainkan termasuk

juga yang disandarkan kepada para sahabat (hadis mauquf), dan tabi'in (hadis maqta'),

sebagaimana disebutkan oleh Al-Tirmisi: "Bahwasanya hadis itu bukan hanya untuk sesuatu

yang marfu', yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., melainkan bisa juga untuk

sesuatu yang mauquf, yaitu yang disandarkan kepada tabi'in.

Sementara para ulama ushul memberikan pengertian hadits adalah "Segala perkataan Nabi SAW,

perbuatan, dan taqrirnya yang berkaitan dengan hukum syara' dan ketetapannya".

Berdasarkan pengertian hadis menurut ahli ushul ini jelas bahwa hadis adalah

segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW. baik ucapan, perbuatan maupun

ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentua-ketentuan Allah yang

disyariatkan kepada manusia. Selain itu tidak bisa dikatakan hadis. Ini berarti ahli ushul

membedakan diri Muhammad sebagai rasul dan sebagai manusia biasa. Yang dikatakan

hadis adalah sesuatu yang berkaitan dengan misi dan ajaran Allah yang diemban oleh

3
4

Muhammad SAW. sebagai Rasulullah. Inipun, menurut mereka harus berupa ucapan dan

perbuatan beliau serta ketetapan-ketetapannya.

Sedangkan kebiasaan-kebiasaan , tata cara berpakaian, cara tidur dan sejenisnya

merupakan kebiasaan manusia dan sifat kemanusiaan tidak dapat dikategorikan sebagai

hadis. Dengan demikian, pengertian hadis menurut ahli ushul lebih sempit disbanding

dengan hadis menurut ahli hadis. Hadits juga memiliki istilah lain yang memiliki

pengertian sama menurut beberapa ulama hadis yaitu Khabar dan Atsar

1. Pengertian Khabar

Khabar menurut bahasa serupa dengan makna hadits, yakni segala berita yang

disampaikan oleh seseorang kepada orang lain. Sedang pengertian khabar menurut istilah,

antara satu ulama dengan ulama lainnya berbeda pendapat. Menurut ulama ahli hadits sama

artinya dengan hadis, keduanya dapat dipakai untuk sesuatu marfu'. Mauquf, dan maqthu',

mencakup segala yang datang dari Nabi SAW., sahabat dan tabi'in, baik perkataan,

perbuatan, maupun ketetapannya. Ulama lain mengatakan bahwa khabar adalah sesuatu yang

datang selain dari Nabi SAW., sedang yang datang dari Nabi SAW. disebut hadis. Ada juga

yang mengatakan bahwa hadis lebih umumdan lebih luas daripada khabar, sehingga tiap

hadis dapat dikatakan khabar, tetapi tidak setiap khabar dikatakan hadis. Hadits marfu’

(hadits yang disandarkan kepada Nabi SAW), hadits mauquf (hadits yabg disandarkan hanya

kepada sahabat Nabi SAW) dan hadits maqthu’ (hadits yang disandarkan hanya kepada tab'in)

bisa disebut dengan khabar. Dan oleh karena itu pula ada yang berpendapat bahwa khabar

adalah segala bentuk berita (warta) yang diterima bukan dari nabi SAW saja.

Contoh hadits yang berbunyi :

‫ َفُطوَبى ِلْلُغ َرَباِء‬،‫ َو َسَيُعوُد َك َم ا َبَد َأ َغ ِريًبا‬،‫َبَد َأ اِإْل ْس اَل ُم َغ ِريًبا‬


“Islam itu mulanya asing dan akan kembali asing seperti semula. Maka beruntunglah

bagi orang-orang yang asing”.

2. Pengertian Atsar

Atsar menurut pendekatan bahasa sama pula artinya dengan khabar, hadis, dan sunnah,

Sedangkan atsar menurut istilah terjadi perbedaan pendapat di antara pendapat para ulama.

Sedangkan menurut istilah: umhur ulama mengatakan bahwa atsar sama dengan khabar,

yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat, dan tabi'in. Sedangkan menurut

ulama Khurasan bahwa atsar untuk yang mauquf dan khabar untuk yang marfu'.
5

Contoh Atsar perkataan Hasan Al-Bashri rahimahullaahu tentang hukum shalat di

belakang ahlul bid’ah:

‫ َص ِّل َو َع َلْيِه ِبَدَع ُتُه‬: ‫َو َقاَل اْلَح َس ُن‬


“Shalatlah (di belakangnya), dan tanggungan dia bid’ah yang dia kerjakan.”

Contoh doa nabi SAW yang diriwayatkan oleh Annas, r.a :

‫ كان اكثر دعاء الّنبّي صّلى هللا عليه وسّلم‬: ‫وعن انس رضي هللا عنه قال‬

‫الّلهّم آتنا فى الّد نيا حسنة و فى اآلخرة حسنة وقنا عذاب الّنار (متفق عليه‬
Dari Anas r.a, ia berkata : doa nabi SAW yang paling banyak (dibaca) adalah “wahai Allah,

berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa

neraka”. (HR. Bukhari Muslim)

3. Persamaan dan Perbedaan Hadis, Khabar, dan Atsar

Di kalangan jumhur ulama umumnya berpendapat bahwa hadis, khabar, dan atsar

tidak ada perbedaannya atau sama saja pengertiannya, yaitu segala sesuatu yang dinukilkan

dari Rasululloh SAW, sahabat atau tabi’in baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun

ketetapan, baik semuanya itu dilakukan sewaktu- waktu saja, maupun lebih sering dan

banyak diikuti oleh para sahabat. Di kalangan para ulama, terdapat pula perbedaan pendapat

di sekitar istilah hadis, khabar, dan atsar. Pada umumnya para ulama berpendapat bahwa

hadis dan khabar mempunyai pengertian yang sama, yaitu berita baik yang berasal dari Nabi,

sahabat, maupun tabi’in. Berita yang berasal dari Nabi mereka sebut hadis marfu’, berita

yang berasal dari sahabat mereka sebut hadis mauquf , dan berita yang berasal dari tabi’in

mereka sebut hadis maqtu'. Lanjutnya ada pula yang berpendapat bahwa khabar cakupannya

lebih umum daripada hadis. khabar mencangkup segala berita yang berasal dari Nabi

sahabat, maupun tabi’in. Sedangkan hadis, cakupannya hanya sesuatu yang berasal dari Nabi

saja. Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa atsar cakupannya lebih luas daripada

khabar. Atsar meliputi segala yang datang dari Nabi dan selainnya, sedangkan khabar

cakupammya hanya sesuatu yang datang dari Nabi saja.


6

B. Bentuk-Bentuk Hadits

Berdasarkan pengertian istilah yang dikemukakan oleh ulama, secara lebih

mendetail bentuk – bentuk (cara-cara) yang termasuk kedalam kategori hadis menurut

Muhammad Abdul Rauf, seperti dikutip Syuhudi Ismail, ialah:

1. Sifat-siat Nabi SAW. yang dikemukakan sahabat;

2. Perbuatan dan akhlak Nabi SAW. yang diriwayatkan oleh para sahabat;

3. Sikap dan perbuatan para sahabat yang didiamkan/dibiarkan Nabi SAW. (disebut juga dengan

taqrir an-nabiy);

4. Timbulnya beragam pendapat sahabat di hadapan Nabi SAW. lalu beliau mengemukakan

pendapatnya sendiri atau mengakui salah satu pendapat sahabat itu.

5. Sabda Nabi SAW. yang keluar dari lisan beliau sendiri;

6. Firman Allah selain al-Qur'an yang disampaikan oleh Nabi SAW. yang biasa disebut dengan

hadis qudsy;

7. Surat-surat Nabi SAW. yang dikirimkan kepada para sahabat yang bertugas di daerah-daerah

atau kepada pihak di luar Islam.

Sebagaimana dalam uraian di atas telah disebutkan bahwa Hadits mencakup segala

perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi SAW. Oleh karena itu, pada bahasan ini akan diuraikan

tentang bentuk Hadits Qouli, Fi'li, Taqriri, Hammi, dan Ahwali.

1. Hadits Qouli

Yang dimaksud dengan Hadits Qouli adalah segala yang disandarkan kepada Nabi

SAW. yang berupa perkataan atau ucapan yang memuat berbagai maksud syara', peristiwa,

dan keadaan, baik yang berkaitan dengan aqidah, syari'ah, akhlak, maupun yang lainnya. Di

antara contoh Hadits Qouli ialah Hadits tentang do'a Rosul SAW. yang ditujukan kepada

yang mendengar , menghafal, dan menyampaikan ilmu

Hadits tersebut berbunyi:

‫ َفَو َع اها َو َح ِفَظها‬: ‫– َنَّض َر ُهللا اْمَر ءًا َسِمَع ِم َّنا َحِد ْيثًا َفَح ِفَظُه – وفي لفٍظ‬

‫ َو ُرَّب حاِم ِل ِفْقٍه َلْيَس ِبَفِقْيٍه‬،‫ َفُرَّب حاِم ِل ِفْقٍه إَلى َم ْن ُهَو َأْفَقُه ِم ْنُه‬،‫َح َّتى ُيَبِّلَغ ُه‬

"Semoga Allah member kebaikan kepada orang yang mendengarkan perkataan dariku

kemudian menghafal dan menyampaikannya kepada orang lain, karena banyak orang

berbicara mengenai fiqh padahal ia bukan ahlinya. ". (HR. Ahmad)


7

Contoh lain Hadits tentang bacaan al-Fatihah dalam shalat, yang berbunyi:

‫َال َص َالَة ِلَم ْن َلْم َيْقَر ْأ ِبَفاِتَحِة اْلِكَتاِب‬


"Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca Fatihah Al- Kitab". (HR. Muslim)

2. Hadits Fi'li

Dimaksudkan dengan hadits Fi'li adalah segala yang disandarkan kepada Nabi SAW

berupa perbuatannya yang sampai kepada kita. Seperti Hadits tenta shalat dan haji. Contoh

Hadits Fi'li tentang shalat adalah sabda Nabi SAW. yang berbunyi:

‫ َص ُّلوا َك َم ا َر َأْيُتُم وِني ُأَص ِّلي‬: ‫َقاَل َر ُسوُل ِهَّللَا صلى هللا عليه وسلم‬
Rasulullah berkata "Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat". (HR.

Bukhari)

Contoh lainnya, Hadits yang berbunyi:

– ‫ – َر َأْيُت َر ُسوَل ِهَّللَا – صلى هللا عليه وسلم‬: ‫َو َع ْن َعاِم ِر ْبِن َر ِبيَع َة – رضي هللا عنه – َقاَل‬

‫ُيَص ِّلي َع َلى َر اِح َلِتِه َح ْيُث َتَو َّج َهْت ِبِه‬
"Nabi SAW shalat diatas tunggangannya, ke mana saja tunggangannya itu menghadap". (HR.

Al=Tirmidzi)

‫َع ْن َج اِبر ْبن َع ْبِد ِهَّللا‬:

‫ َفِإَذ ا َأَر اَد َأْن ُيَص ِّلَي‬،‫َأَّن الَّنِبَّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َك اَن ُيَص ِّلي َع َلى َر اِح َلِتِه َنْح َو اْلَم ْش ِرِق‬

‫اْلَم ْك ُتوَبَة َنَز َل َفاْسَتْقَبَل اْلِقْبَلَة‬.

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW salat di atas kendaraannya

menuju ke arah Timur. Namun ketika beliau mau shalat wajib, beliau turun dan shalat

menghadap kiblat. (HR Bukhari)

3. Hadits Taqriri

Yang dimaksud dengan hadits taqriri adalah segala hadits yang berupa ketetapan Nabi

SAW. terhadap apa yang datang dari sahabatnya. Nabi SAW. membiarkan suatu perbuatan

yang dilakukan oleh para sahabat, setelah memenuhi beberapa syarat, baik mengenai

pelakunya maupun perbuatannya. Diantara contoh Hadits Taqriri, ialah sikap Rasul SAW.

membiarkan para sahabat melaksanakan perintahnya, sesuai dengan penafsirannya masing-

masing sahabat terhadap sabdanya, yang berbunyi:


8

‫ ُكَّنا َنْش َتِري الَّطَع اَم ِم َن الُّر ْك َباِن ِج َز اًفا َفَنَهاَنا َر ُسْو ُل‬: ‫َع ِن ْبِن ُع َم َر َرِض َي ُهللا َع ْنُهَم ا َقاَل‬

‫ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َأْن َنِبْيَع ُه َح َّتى َنْنُقَلُه ِم ْن َم َك اِنِه‬

“Dahulu kami (para sahabat) membeli makanan secara taksiran, maka Rasulullah melarang

kami menjual lagi sampai kami memindahkannya dari tempat belinya.” (HR. Muslim: 1526)

Sebagian sahabat memahami larangan tersebut berdasarkan pada hakikat perintah

tersebut, sehingga mereka tidak melaksanakan shalat 'Asar pada waktunya. Sedang

segolongan sahabat lainnya memahami perintah tersebut dengan perlunya segera menuju

Bani

Quraizah dan jangan santai dalam peperangan, sehingga bisa shalat tepat pada waktunya.

Sikap para sahabai ini dibiarkan oleh Nabi SAW. tanpa ada yang disalahkan atau

diingkarinya.

4. Hadis Hammi

Yang dimaksud dengan hadis hammi adalah hadis yang berupa hasrat Nabi SAW.

yang belum terealisasikan, seperti halnya hasrat berpuasa tanggal 9 'Asyura. Dalam riwayat

Ibn Abbas, disebutkan sebagai berikut:

‫ ِح يَن َص اَم َر ُس وُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم َي ْو َم‬: ‫َعْبَد ِهَّللا ْبَن َع َّباٍس َر ِض َي ُهَّللا َع ْنُهَم ا َيُقواُل‬

‫َعاُشوَر اَء َو َأَم َر ِبِص َياِمِه َقاُلوا َيا َر ُس وَل ِهَّللا ِإَّنُه َيْو ٌم ُتَعِّظُم ُه اْلَيُهوُد َو الَّنَص اَر ى َفَقاَل َرُس وُل ِهَّللا‬

‫َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َفِإَذ ا َك اَن اْلَعاُم اْلُم ْقِبُل ِإْن َشاَء ُهَّللا ُص ْم َنا اْلَيْو َم الَّتاِس َع َقاَل َفَلْم َي ْأِت اْلَع اُم‬

‫اْلُم ْقِبُل َح َّتى ُتُو ِّفَي َر ُس وُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬

" Ketika Nabi SAW. berpuasa pada hari 'Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk

berpuasa, mereka berkata: Ya Nabi! Hari ini adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang

Yahudi dan Nasrani. Nabi SAW, bersabda: Tahun yang akan datang insya' Allah aku akan

berpuasa pada hari yang kesembilan ". (HR. Muslim)"

Nabi SAW, belum sempat merealisasikan hasratnya ini, karena wafat sebelum

sampai bulan 'Asyura. Menurut Imam Syafi'I da para pengikutnya, bahwa menjalankan hadis

hammi ini disunnahkan, sebagaimana menjalankan sunnah- sunnah yang lainnya.


9

. 5. Hadis Ahwali

Yang dimaksud dengan hadis ahwali ialah hadis yang berupa hal ihwal Nabi SAW.

yang menyangkut keadaan fisik, sifat-sifat dan kepribadiannya. Tentang keadaan fisik Nabi

SAW. dalam beberapa hadis disebutkan, bahwa fisiknya tidak terlalu tinggi dan tidak

pendek, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Barra' dalam sebuah hadis riwayat Bukhari,

sebagai berikut:

‫ وال بالقصير‬،‫ ليس بالطويل البائن‬،‫ وأحسنهم خلقا‬،‫كان النبى ﷺ أحسن الناس وجها‬

"Rasul SAW. adalah manusia yang sebaik-baiknya rupa dan tubuh. Keadaan fisiknya tidak

tinggi dan tidak pendek". (HR. Bukhari)

C. Macam-Macam Hadits

Ditnjau dari segi perawinya, hadits terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu seperti berikut.

1. Hadits Mutawatir

Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi, baik dari

kalangan para sahabat maupun generasi sesudahnya dan dipastkan di antara mereka tidak

bersepakat dusta. Contohnya adalah hadits yang berbunyi: Artinya: “Dari Abu Hurairah ra.

bahwa Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka

tempatnya adalah neraka.” (H.R. Bukhari, Muslim)

2. Hadits Masyhur

Hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang sahabat atau lebih yang

tidak mencapai derajat mutawatr, namun setelah itu tersebar dan diriwayatkan oleh sekian

banyak tabi’in sehingga tidak mungkin bersepakat dusta. Contoh hadits jenis ini adalah hadits

yang artnya, “Orang Islam adalah orang-orang yang tidak mengganggu orang lain dengan lidah

dan tangannya.” (H.R. Bukhari, Muslim dan Tirmizi)

3. Hadits Ahad

Hadits ahad adalah hadits yang hanya diriwayatkan oleh satu atau dua orang

perawi, sehingga tidak mencapai derajat mutawatr. Dilihat dari segi kualitas orang yang

meriwayatkannya (perawi), hadits dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu sebagai berikut.
10

a. Hadits sahih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kuat hafalannya,

tajam penelitannya, sanadnya bersambung kepada Rasulullah saw., tidak tercela, dan

tidak bertentangan dengan riwayat orang yang lebih terpercaya. Hadits ini dijadikan

sebagai sumber hukum dalam beribadah (hujjah).

b. Hadits hasan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, tetapi kurang kuat

hafalannya, sanadnya bersambung, tidak cacat, dan tidak bertentangan. Sama sepert

hadits sahih, hadits ini dijadikan sebagai landasan mengerjakan amal ibadah.

c. Hadits da’if, yaitu hadits yang tidak memenuhi kualitas hadits sahih dan hadits hasan.

Para ulama mengatakan bahwa hadits ini tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, tetapi

dapat dijadikan sebagai motivasi dalam beribadah.

d. Hadits Maudu’, yaitu hadits yang bukan bersumber kepada Rasulullah saw. atau hadits

palsu. Dikatakan hadits padahal sama sekali bukan hadits. Hadits ini jelas tidak dapat

dijadikan landasan hukum, hadits ini tertolak.

D. Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an

Fungsi hadits terhadap al-Qur’an dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu sebagai

berikut.

1. Menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum Contohnya adalah ayat al-

Qur’anyang memerintahkan salat. Perintah salat dalam al-Qur’an masih bersifat umum

sehingga diperjelas dengan hadits-hadits Rasulullah saw. tentang salat, baik tentang tata

caranya maupun jumlah bilangan raka’at-nya. Untuk menjelaskan perintah salat tersebut,

misalnya keluarlah sebuah hadits yang berbunyi,

‫ َر َو اُه الُبَخاِر ُّي‬،»‫َص ُّلوا َك َم ا َر َأْيُتُم وِني ُأَص ِّلي‬.

“salatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku salat”. (H.R. Bukhari)

2. Memperkuat pernyataan yang ada dalam al-Qur’an Seperti dalam al-Qur’an terdapat ayat

yang menyatakan, “Barangsiapa di antara kalian melihat bulan, maka berpuasalah!”

Kemudian ayat tersebut diperkuat oleh sebuah hadits yang berbunyi, “... berpuasalah

karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya ...” (H.R. Bukhari dan Muslim)

3. Menerangkan maksud dan tujuan ayat yang ada dalam al-Qur’an Misal, dalam Q.S. at-

Taubah/9:34 dikatakan, “Orang-orang yang menyimpan emas dan perak, kemudian tidak

membelanjakannya di jalan Allah Swt., gembirakanlah mereka dengan azab yang


11

pedih!” Ayat ini dijelaskan oleh hadits yang berbunyi, “Allah Swt. tidak mewajibkan

zakat kecuali supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakat.” (H.R. Baihaqi)

4. Menetapkan hukum baru yang tidak terdapat dalam al-Qur’an Maksudnya adalah bahwa

jika suatu masalah tidak terdapat hukumnya dalam al-Qur’an, diambil dari hadits yang

sesuai. Misalnya, bagaimana hukumnya seorang laki-laki yang menikahi saudara

perempuan istrinya. Hal tersebut dijelaskan dalam sebuah hadits Rasulullah saw.:

Artnya: “Dari Abi Hurairah ra. Rasulullah saw. bersabda: “Dilarang seseorang

mengumpulkan (mengawini secara bersama) seorang perempuan dengan saudara dari

ayahnya serta seorang perempuan dengan saudara perempuan dari ibunya.” (H.R.

Bukhari)

E. Ulumul Hadist

Ulumul Hadis adalah istilah ilmu hadis di dalam tradisi ulama hadits. (Arabnya:

‘ulumul al-hadist). ‘ulum al-hadist terdiri dari atas 2 kata, yaitu ‘ulum dan Al-hadist. Kata

‘ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berarti “ilmu-ilmu”; sedangkan

al-hadist di kalangan Ulama Hadis berarti “segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi

SAW dari perbuatan, perkataan, taqir, atau sifat.” Dengan demikian, gabungan kata ‘ulumul-

hadist mengandung pengertian “ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan Hadis nabi SAW”.

Pada mulanya, Ilmu hadist memang merupakan beberapa ilmu yang masing-masing

berdiri sendiri, yang berbicara tentang Hadist Nabi Saw dan para perawinya, seperti Ilmu al-

Hadist al-Shahih, Ilmu al-Mursal, Ilmu al-Asma wa al-kuna, dan lain-lain. Penulisan ilmu-

ilmu hadist secara parsial dilakukan, khususnya, oleh para ulama abad ke-3 H.

Ilmu-ilmu yang terpisah dan bersifat persial tersebut disebut dengan Ulumul Hadist, karena

masing-masing membicarakan tentang Hadist dan para perawinya. Akan tetapi, pada masa

berikutnya, ilmu-ilmu yang terpisah itu mulai digabungkan dan dijadikan satu, serta

selanjutnya, dipandang sebagai satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Terhadap ilmu yang

sudah digabungkan dan menjadi satu kesatuan tersebut tetap dipergunakan nama Ulumul

Hadist, sebagaimana halnya sebelum disatukan. Jadi, penggunaan lafaz jamak Ulumul

Hadist, setelah mengandung makna mufrad atau tunggal, yaitu ilmu hadist, karena telah

terjadi perubahan makna lafaz tersebut dari maknanya yang pertama – beberapa ilmu yang

terpisah – menjadi nama dari suatu disiplin ilmu yang khusus, yang nama lainnya

adalah Mushthalah al-Hadist


12

F. Cabang-Cabang Ulumul Hadist

Diantara cabang-cabang besar yang tumbuh dari Ilmu Hadits adalah hadits Riwayah

dan Dirayah. Ilmu Hadits Riwayah ialah ilmu yang meliputi pemindahan (periwayatan)

perkataan Nabi Muhammad saw dan perbuatannya, serta periwayatannya, pencatatannya, dan

penguraian lafadz-lafadznya. Inti dari ilmu ini memang membahas tentang pemindahan

riwayat, penukilan riwayat, baik secara lisan maupun tulisan. Kitab Kuning yang banyak

dipelajari di pesantren mengulas masalah ini dengan sebutan Syarah Hadis,

dan Hasyiyah atau Ta’liqat. Syarah atau interpretasi hadis banyak ditulis oleh para ulama

yang muncul sekarang, dalam bentuk buku atau kitab dengan bahasa yang beraneka macam.

Perintis pertama ilmu hadis Riwayah ini adalah Muhammad bin Syihab Az-Zuhry yang wafat

pada tahun 124 Hijriyah.

Sedangkan Ilmu Hadis Dirayah ialah ilmu yang membahas tentang seperangkat

kaidah atau teori mengenai Sanad Hadis (mata rantai periwayatan) berdasarkan penelitian

sosio-historis, yang dilakukan oleh seorang ahli hadis.

Diantara cabang-cabang besar yang tumbuh dari Ilmu Hadits Riwayah dan Dirayah

adalah sebagai berikut:

1. Ilmu Rijalul Hadits

Yaitu ilmu yang membahas para perawi hadits, baik dari sahabat, dari tabi`in,

mupun dari angkatan-angkatan sesudahnya. Hal yang terpenting di dalam ilmu Rijal al-

Hadits adalah sejarah kehidupan para tokoh tersebut, meliputi masa kelahiran dan wafat

mereka, negeri asal, negeri mana saja tokoh-tokoh itu mengembara dan dalam jangka

berapa lama, kepada siapa saja mereka memperoleh hadits dan kepada siapa saja mereka

menyampaikan hadits. Ada beberapa istilah untuk menyebut ilmu yang mempelajari

persoalan ini. Ada yang menyebut Ilmut Tarikh, ada yang menyebut Tarikh al-Ruwat,

ada juga yang menyebutnya Ilmu Tarikh al-Ruwat.

Ilmu Rijalul Hadits, dinamakan juga dengan Ilmu Tarikh Ar-Ruwwat (Ilmu Sejarah

Perawi) adalah ilmu yang diketaui dengannya keadaan setiap perawi hadits, dari segi

kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, orang yang meriwayatkan darinya, negeri dan

tanah air mereka, dan yang selain itu yang ada hubungannya dengan sejarah perawi dan

keadaan mereka.
13

2. Ilmu Tarikh Rijal Al-Hadits

Adalah ilmu yang sangat membantu untuk mengetahui derajat hadits dan sanad (apakah

sanadnya muttashil atau munqathi’).

 Hadis Muttashil

Hadis yang muttashil yaitu hadis yang diriwayatkan dengan sanad yang

bersambung dari awal hingga akhir sanadnya. Yang dimaksud bersambung adalah

tiap perawinya mendengar hadis tersebut dari orang yang diatasnya demikian hingga

berakhirnya. Dengan demikian hadis yang terdapat ketidak sambungan pada

sanadnya tidak dapat dikategorikan sebagai hadit muttashil.

Dalam definisi diatas yang perlu digaris bawahi adalah kata ‘hingga akhir

sanad’. Ungkapan ini menunjukkan bahwa hadis muttashil bisa marfu’ bisa juga

mauquf bahkan bisa juga maqthu’. Jika sanadnya berakhir pada nabi maka

dimakamkan marfu’, jika berakhir pada sahabat maka disebut mauquf, dan jika

berakhir pada tabi’in berarti maqthu’.

 Musnad

Hadis musnad adalah hadis yang diriwayatkan dengan sanad yang bersambung

hingga sampai pada Nabi SAW. Ungkapan terakhir ini ‘ sampai pada Nabi ‘ menjadi

syarat dalam hadis musnad. Dengan kata lain, hadis musnad adalah hadis yang

bersambung dan marfu’, dan jika tidak dikatakan musnad jika tida marfu’. Inilah

yang membedakan musnad dengan muttashil. Setiap musnad pasti muttashil, namun

tidak semua uttashil itu musnad. Musnad juga berarti kitab yang berisikan hadis-

hadis yang bersanad dan disusun oleh penyusunnya berdasarkan nama sahabat (rawi

al a’la) atu disusun berdasarkan nama guru (asma’ al-syuyukh).

 Hadis Munqothi’

Adalah hadis yang sanadnya terputus, maksud dari sanad yang terputus

adalah bila dalam periwayatan terdapat perowi yang gugur dari rentetan sanad.

Gugurnya perowi dalam sanad dapat berbeda-beda tempatnya. Ada yang gugur di

awal, di tengah, atau di akhir. Bisa juga terjadi di beberapa tempat secara berurutan

atau tidak berurutan.

3. lmu al-Jarh wa al-Ta`dil

Secara bahasa, Al-Jarh adalah ism masdhar yang berarti luka yang mengalirkan

darah atau sesuatu yang dapat menggugurkan ke ‘adalahan seseorang.


14

Menurut istilah, Al-Jarh yaitu terlihatnya sifat seseorang perawi yang dapat menjatuhkan

ke‘adalahannya, dan merusak hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur

riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudan ditolak.

At-Tajrih yaitu memberikan sifat kepada seseorang perawi dengan sifat yang

menyebabkan pendhaifan riwayatnya, atau tidak diterima riwayatnya.

Secara bahasa, Al-‘Adlu adalah apa yang lurus dalam jiwa, lawan dari durhaka, dan

seorang yang ‘adil artinya kesaksiannya diterima, dan At-ta’dil artinya mensucikannya

dan membersihkannya.

Menurut istilah, Al ‘Adlu adalah orang yang tidak nampak padanya apa yang

dapat merusak agamanya dan perangainya, maka oleh sebab itu diterima beritanya dan

kesaksiannya apabila memenuhi syarat-syarat menyampaikannya hadits. At-Ta’dil yaitu

pensifatan perawi dengan sifat sifat yang mensucikannya, sehingga nampak

ke’adalahannya, dan diterima beritanya. Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil yaitu ilmu yang

menerangkan tentang hal cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang

penta`dilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus

dan tentang martabat-martabat kata-kata itu.

4. Ilmu Mukhtalif al-Hadits

Adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang tampaknya saling

bertentangan. Lalu menghilangkan pertentangan itu atau mengkompromikannya,

disamping membahas hadits-hadits yang sulit difahami atau dimengerti. Kemudian

menghilangkan kesulitan tersebut serta menjelaskan hakikatnya.

Oleh karena itu sebagian ulama menamai ilmu ini dengan ilmu musykilul Hadits,

ada juga yang menamainya ilmu Ikhtilaful hadits, ilmu Ta’wilul Hadits dan ilmu

Talfiqul Hadits.Seangkan obyek pembahasan ilmu ini adalah hadits-hadits yang

tampaknya berlawanan, untuk kemudian dikompromikan kandungan dengan jalan

membatasi (taqyid) kemutlakannya, mengkhususkan (takhshish) keumumannya dan lain

sebagainya. Atau mentakwilkan hadits-hadits yang musykil hinga hilang

kemusykilannya.

5. Ilmu `Ilalil Hadits

‘Ilal adalah jamak dari ‘illah, artinya penyakit. ‘Illah menurut istilah ahli hadits

adalah suatu sebab yang tersembunnyi yang dapat mengurangi status keshahihan hadits
15

padahal zhahirnya tidak nampak ada cacat. Ilmu ‘Illal hadits yaitu ilmu yang membahas

tentang sebab-sebab tersembunyi dari segi keberadaannya mencacatkan hadits, me-

muttasil-kan (menyambung hadits) yang munqathi’(terputus sanadnya), me-marfu’-kan

(menyandarkan kepada Nabi SAW) hadits yang mauquf(tidak sampai kepada Nabi SAW

atau terhenti pada sahabat), memasukkan suatu hadits kedalam hadits lain,

mencampuradukkan sanad dengan matan atau yang lainnya.

6. Ilmu Gharibul-Hadits

Yaitu ilmu (pengetahuan) untuk mengetahui lafadz-lafadz dalam matan-matan

hadits yang sulit lagi sukar difahami disebabkan karena jarang sekali digunakan. Dari

ta’rif (definisi) diatas, nyata bagi kita bahwa obyek dari ilmu gharibul hadits adalah

kata-kata yang musykil (sukar) dan susunan kalimat yang sulit difahami maksudnya. Hal

ini dimaksudkan agar orang tidak menafsirkan secara menduga-duga dan mentaqlidi

pendapat orang yang bukan ahlinya.

7. Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadits

Nasikh artinya menghapus atau menghilangkan, sedangkan masukh adalah yang

dihapus atau dihilangkan. Menurut ulama ushul Naskh adalah penghapusan oleh syari’

(pembuat hukum dalam hal ini adalah Allah dan Rasul-Nya SAW) terhadap suatu

hukum syara’ dengan dalil syar’iy yang datang kemudian.

Ilmu nasikh dan mansukh hadits yaitu ilmu yang membahas Hadits-hadits yang

bertentangan dan tidak mungkin di ambil jalan tengah. Hukum hadits yang satu

menghapus (menasikh) hukum Hadits yang lain (mansukh). Yang datang dahulu disebut

mansukh, dan yang muncul belakangan dinamakan nasikh. Nasikh inilah yang berlaku

selanjutnya.

8. Ilmu Asbab Wurud al-Hadits (sebab-sebab munculnya Hadits)

Yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan

masa-masanya Nabi menuturkan itu. Seperti di dalam Al Qur`an dikenal adalah Ilmu

Asbab al-nuzul, di dalam Ilmu hadits ada Ilmu Asbab wurud al-Hadits. Terkadang ada

hadits yang apabila tidak di ketahui sebab turunnya, akan menimbulkan dampak yang

tidak baik ketika hendak di amalkan.


16

9. Ilmu Mushthalah Hadits

Ilmu musthalah hadits adalah ilmu tentang dasar dan kaidah yang dengannya

dapat diketahui keadaan sanad dan matan dari segi diterima dan ditolaknya. Obyeknya

adalah sanad dan matan dari segi diterima dan ditolaknya. Manfaat ilmu ini adalah

membedakan hadits shahih dari yang tidak shahih.

G. Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits

Sesuai dengan perkembangan hadits, ilmu hadits selalu mengiringinya sejak masa

Rasulullah S.A.W, sekalipun belum dinyatakan sebagai ilmu secara eksplisit. Ilmu hadits

muncul bersamaan dengan mulainya periwayatan hadits yang disertai dengan tingginya

perhatian dan selektivitas sahabat dalam menerima riwayat yang sampai kepada mereka.

Dengan cara yang sangat sederhana, ilmu hadits berkembang sedemikian rupa seiring

dengan berkembangnya masalah yang dihadapi.

Pada masa Nabi SAW masih hidup di tengah-tengah sahabat, hadits tidak ada

persoalan karena jika menghadapi suatu masalah atau skeptis dalam suatu masalah mereka

langsung bertemu dengan beliau untuk mengecek kebenarannya atau menemui sahabat lain

yang dapat dipercaya untuk mengonfirmasinya. Setelah itu, barulah mereka menerima dan

mengamalkan hadits tersebut. Sekalipun pada masa Nabi tidak dinyatakan adanya ilmu

hadits, tetapi para peneliti hadits memperhatikan adanya dasar-dasar dalam Alquran dan

hadits Rasulullah S.A.W. Misalnya firman Allah S.W.T dalam Q.S. Al-Hujurat/49: 6 “Hai

orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka

periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum

tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

Demikian juga dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 282 “Dan persaksikanlah dengan dua

orang saksi dari orang-orang lelaki di antara. Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh)

seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika

seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.” Ayat-ayat di atas berarti perintah

memeriksa, meneliti, dan mengkaji berita yang datang dibawa seorang fasik yang tidak adil.

Tidak semua berita yang dibawa seseorang dapat diterima sebelum diperiksa siapa

pembawanya dan apa isi berita tersebut.


17

Jika pembawanya orang yang jujur, adil, dan dapat dipercaya maka diterima. Akan

tetapi sebaliknya, jika pembawa berita itu orang fasik, tidak objektif, pembohong dan lain-

lain, maka tidak diterima karena akan menimpakan musibah terhadap orang lain yang

menyebabkan penyesalan dan merugikan. Setelah Rasulullah SAW wafat, para sahabat

sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits karena konsentrasi mereka kepada Alquran

yang baru dikodifikasi pada masa Abu Bakar tahap awal, khalifah Abu Bakar tidak mau

menerima suatu hadits yang disampaikan oleh seseorang, kecuali orang tersebut mampu

mendatangkan saksi untuk memastikan kebenaran riwayat yang disampaikannya. Dan masa

Utsman tahap kedua, masa ini terkenal dengan masa taqlîl ar-riwayâh (pembatasan

periwayatan), para sahabat tidak meriwayatkan hadits kecuali disertai dengan saksi dan

bersumpah bahwa hadits yang ia riwayatkan benar-benar dari Rasulullah SAW. Para sahabat

merupakan rujukan yang utama bagi dasar ilmu riwayah hadits. Yakni, karena hadits pada

masa Rasulullah SAW merupakan suatu ilmu yang didengar dan didapatkan langsung dari

beliau.

Maka setelah beliau wafat hadits di sampaikan oleh para sahabat kepada generasi

berikutnya dengan penuh semangat dan perhatian sesuai dengan daya hafal mereka masing-

masing. Para sahabat juga telah meletakkan pedoman periwayatan hadits untuk memastikan

keabsahan suatu hadits. Mereka juga berbicara tentang para rijal-nya, hal ini mereka tempuh

supaya dapat diketahui hadits makbul untuk diamalkan dan hadits yang mardud untuk

ditinggalkan.

Pada masa awal Islam belum diperlukan sanad dalam periwayatan hadits karena

orangnya masih jujur-jujur dan saling mempercayai satu dengan yang lain. Akan tetapi,

setelah terjadinya konflik fisik (fitnah) antar elite politik, yaitu antara pendukung Ali dan

Mu’awiyah dan umat berpecah menjadi beberapa sekte; Syi’ah, Khawarij, dan Jumhur

Muslimin. Setelah itu mulailah terjadi pemalsuan hadits (hadits mawdhû’) dari

masingmasing sekte dalam rangka mencari dukungan politik dari masa yang lebih luas.

Melihat kondisi seperti hal di atas para ulama bangkit membendung hadits dari pemalsuan

dengan berbagai cara, di antaranya rihlah checking kebenaran hadits dan mempersyaratkan

kepada siapa saja yang mengaku mendapat hadits harus disertai dengan sanad. Sebagaimana

ungkapan ulama hadits ketika dihadapan suatu periwayatan: Sebutkan kepada kami para

pembawa beritamu. Ibnu AlMubarak berkata: Isnad/sanad bagian dari agama, jikalau tidak
18

ada isnad sungguh sembarang orang akan berkata apa yang dikehendaki. Keharusan sanad

dalam penyertaan periwayatan hadits tidak diterima, tuntutan yang sangat kuat ketika Ibnu

Asy-Syihab Az-Zuhri menghimpun hadits dari para ulama di atas lembaran kodifikasi.

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa periwayatan hadits tidak di terima, kecuali

disertai sanad. Pada periode Tabi’in, penelitian dan kritik matan semakin berkembang

seiring dengan berkembangnya masalah-masalah matan yang para Tabi’in hadapi.

Demikian juga dikalangan ulama-ulama hadits selanjutnya. Perkembangan ilmu hadits

semakin pesat ketika ahli hadits membicarakan tentang daya ingat para pembawa dan

perawi hadits kuat atau tidak (dhâbit), bagaimana metode penerimaan dan penyampaiaan

(thammul wa adâ), hadits yang kontra bersifat menghapus (nâsikh dan mansûkh) atau

kompromi, kalimat hadits yang sulit dipahami (gharîb al-hadîts), dan lain-lain. Akan tetapi,

aktivitas seperti itu dalam perkembangannya baru berjalan secara lisan (syafawî) dari mulut

ke mulut dan tidak tertulis. Ketika pada pertengahan abad kedua Hijriyah sampai abad

ketiga Hijriyah, ilmu hadits mulai di tulis dan dikodifikasi dalam bentuk yang sederhana,

belum terpisah dari ilmu-ilmu lain, belum berdiri sendiri, masih campur dengan ilmu-ilmu

lain atau berbagai buku atau berdiri secara terpisah. Tetapi pada dasarnya, penulisan hadits

baru dimulai pada abad kedua Hijriyah. Imam Syafi’i adalah ulama pertama yang

mewariskan terori-teori ilmu haditsnya secara tertulis sebagaimana terdapat dalam karyanya.

Misalnya ilmu hadits bercampur dengan ilmu ushul fiqih, seperti dalam kitab Ar-

Risâlah yang ditulis oleh Asy-Syafi’i, atau campur dengan fiqih seperti kitab Al-Umm. Dan

solusi hadits-hadits yang kontra dengan diberi nama Ikhtilâf Al-Hadîts karya Asy-Syafi’I

(w. 204 H). Hanya saja, teori ilmu haditsnya tidak terhimpun dalam pembahasan kitab Ar-

Risâlah dan kitab Al-Umm. Sesuai dengan pesatnya perkembangan kodifikasi hadits yang

disebut pada masa kejayaan atau keemasan hadits, yaitu pada abad ketiga Hijriyah,

perkembangan penulisan ilmu hadits juga pesat, karena perkembangan keduannya secara

beriringan. Namun, penulisan ilmu hadits masih terpisahpisah, belum menyatu dan menjadi

ilmu yang berdiri sendiri, ia masih dalam bentuk bab-bab saja.

Mushthafa As-Siba’I mengatakan orang pertama kali menulis ilmu hadits adalah Ali

bin Al-Madani, syaikhnya Al-Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi. Dr. Ahmad Umar Hasyim

juga menyatakan bahwa orang pertama yang menulis ilmu hadits adalah Ali bin Al-Madani

dan permasalahannya sebagaimana yang ditulis oleh Al-Bukhari dan Muslim.. Di antara
19

kitab-kitab ilmu hadits pada abad ini adalah kitab Mukhtalif Al-Hadîts, yaitu Ikhtilâf Al-

Hadîts karya Ali bin Al-Madani, dan ta’wîl Mukhtalif Al-Hadîts karya Ibnu Qutaibah (w.

276 H). Kedua kitab tersebut ditulis untuk menjawab tantangan dari serangan kelompok

teolog yang sedang berkembang pada masa itu, terutama dari golongan Mu’tazilah dan ahli

bid’ah.

Di antara ulama ada yang menulis ilmu hadits pada mukadimah bukunya seperti

Imam Muslim dalam kitab Shahîh-nya dan At-Tirmidzi pada akhir kitab Jâmi’-nya. Diantara

mereka Al-Bukhari menulis tiga Târîkh, yaitu AtTârîkh Al-Kabîr, At-Târîkh AlAwsâth dan

At-Târîkh Ash-Shaghîr, Muslim menulis Thabaqât AtTâbi’in dan Al-‘Ilal, AtTirmidzi

menulis Al-Asmâ’ wa Al-Kunâ dan KitâbAt-Tawârikh, dan Muhammad bin Sa’ad menulis

Ath-Thabaqât Al-Kubrâ. Dan di antara mereka ada yang menulis secara khusus tentang

periwayat yang lemah seperti Ad-Dhu’afâ’ ditulis oleh Al-Bukhari dan Ad-Dhu’afâ’ ditulis

oleh An-Nasa’i, dan lain-lain. Banyak sekali kitab-kitab ilmu hadits yang ditulis oleh para

ulama abad ke-3 Hijriyah ini, namun buku-buku tersebut belum berdiri sendiri sebagai ilmu

hadits, ia hanya terdiri dari bab-bab saja.

Perkembangan ilmu hadits mencapai puncak kematangan dan berdiri sendiri pada

abad ke-4 H yang merupakan penggabungan dan penyempurnaan berbagai ilmu yang

berkembang pada abad-abad sebelumnya secara terpisah dan berserakan. Al-Qadhi Abu

Muhammad Al-Hasan bin Abdurrahman bin Khalad Ar-Ramahurmuzi (w. 360 H) adalah

orang yang pertama kali memunculkan ilmu hadits yang berdiri sendiri dalam karyanya Al-

Muhaddits Al-Fâshil bain Ar-Râwî wa Al-Wâî. Akan tetapi, tentunya tidak mencakup

keseluruhan permasalahan ilmu, kemudian diikuti oleh Al-Hakim Abu Abdullah

AnNaisaburi (w. 405 H) yang menulis Ma’rifah “ulûm Al-Hadîts tetapi kurang sistematik,

Al-Khathib Abu Bakar Al-Baghdadi (w. 364 H) yang menulis Al-Jâmi li Adâb Asy-Syaikh

wa As-Sâmi’ dan kemudian diikuti oleh penulis-penulis lain.

H. Ruang Lingkup Ulumul Hadist

Hadits dapat di artikan sebagai perkataan (aqwal), perbuatan (af’al), pernyataan

(taqrir) dan sifat, keadaan, himmah dan lain-lain yang diidhafatkan kepada Nabi SAW.

Salah satu ruang lingkup atau objek pembahasan Hadits adalah al-ihwal hadits dalam

criteria qauliyah, fi’liyah, taqririyah, kauniyah dan hamiyah Nabi itu sendiri. Pada

periwayatan Hadits harus terdapat empat unsur yakni:


20

1. Rawi ialah subjek periwayatan, rawi atau yang meriwayatkan Hadits.

2. Sanad atau thariq ialah jalan menghubungkan matan Hadits kepada Nabi Muhammad

SAW. Sanad ialah sandaran hadits, yakni referensi atau sumber yang memberitahukan

Hadits, yakni rangkaian para rawi keseluruhan yang meriwayatkan Hadits.

3. Matan adalah materi berita, yakni lafazh (teks) Haditsnya, berupa perkataan, perbuatan

atau taqrir, baik yang diidhafahkan kepada Nabi SAW, sahabat atau tabi’in, yang

letaknya suatu Hadits pada penghujung sanad.

4. Rijalul Hadits ialah tokoh-tokoh terkemuka periwayat hadits yang di akui ke absahannya

dalam bidang hadits. Dengan demikian untuk mengetahui seseorang di sebut sebagai

rijalul hadits ditentukan oleh ilmu rijalul hadits

Ruang lingkup pembahasan mengenai Hadits harus juga sampai pada penelaahan

mengenai aspek-aspek dari materi isi kandungan tersebut. Adapun ruang lingkup

pembahasan ilmu Hadits atau ilmu musthalah Hadits pada garis besarnya meliputi ilmu

Hadits Riwayah dan ilmu Hadits Dirayah. Manfaat mempelajari ilmu Hadits Riwayah ini

ialah untuk menghindari adanya kemungkinan salah kutip terhadap apa yang disandarkan

kepada Nabi Muhammad SAW. Adapun obyek ilmu Hadits Dirayah terutama ilmu

musthalah yang khas, ialah meneliti kelakuan para perawi, keadaan sanad dan keadaan

marwi (matan)-nya.

I. Manfaat Mempelajari Ilmu Hadits

Banyak sekali faedah dan manfaat yang diperoleh dalam mempelajari ilmu hadits,

di antaranya sebagai berikut:

1. Mengetahui istilah-istilah yang disepakati ulama hadits dalam penelitian hadits.

Demikian juga dapat mengenal nilai-nilai dan kriteria hadits; mana hadits dan mana

yang bukan hadits. 2. Mengetahui kaidah-kaidah yang disepakati para ulama dalam

menilai, menyaring (filterasi) dan mengklasifikasi ke dalam beberapa macam, baik

dari segi kuantitas maupun kualitas sanad dan matan hadits sehingga dapat

menyimpulkan mana hadits yang diterima dan mana hadits yang ditolak.

2. Mengetahui usaha-usaha dan jerih payah yang ditempuh para ulama dalam menerima

dan menyampaikan periwayatan hadits, kemudian menghimpun dan mengodifikasi ke

dalam berbagai kitab hadits.


21

3. Mengenal tokoh-tokoh ilmu hadits, baik dirâyah maupun riwâyah yang mempunyai

peran penting dalam perkembangan pemeliharaan hadits sebagai sumber syari’ah

Islamiyah sehingga hadits terpelihara dari pemalsuan tangantangan kotor yang tidak

bertanggung jawab. Seaindainya terjadi hal tersebut, mereka pun dapat mengungkap

dan meluruskan yang sebenarnya

4. Mengetahui hadits yang shahîh, hasan, dha’îf, muttashil, mursal, munqati’, mu’dal,

maqlûb, masyhûr, gharîb, ‘azîz mutawâtir, dan lain-lain. Demikian pentingnya ilmu

hadits untuk dipelajari bagi semua umat Islam, terutama bagi yang ingin mempelajari

ilmu agama secara dalam sehingga tidak goyah dalam menghadapi goyangan iman

yang meragukan otentisitas hadits.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Menurut ahli hadits, pengertian hadits adalah “Seluruh perkataan, perbuatan, dan hal

ihwal tentang Nabi Muhammad SAW”, sedangkan menurut yang lainnya adalah “Segala

sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuataan, maupun

ketetapannya. Khabar menurut bahasa adalah “Semua berita yang disampaikan oleh

seseorang kepada orang lain.” Menurut ahli hadits, khabar sama dengan hadits. Keduanya

dapat dipakai untuk sesuatu yang marfu’, mauquf, dan maqthu’, dan mencakup segala

sesuatu yang datang dari Nabi, sahabat, dan tabi’in. Adapun atsar berdasarkan bahasa sama

pula dengan khabar, hadits, dan sunnah. Dari pengertian menurut istilah, terjadi perbedaan

pendapat di antara ulama. “Jumhur ahli hadits mengatakan bahwa Atsar sama dengan

khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat, dan tabi’in. Sedangkan

menurut ulama Khurasan, bahwa Atsar untuk yang mauquf dan khabar untuk yang marfu

Hadits mencakup segala perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi SAW. Oleh karena itu,

pada bahasan ini akan diuraikan tentang bentuk Hadits Qouli, Fi'li, Taqriri, Hammi, dan

Ahwali.

ulum al-hadist terdiri dari atas 2 kata, yaitu ‘ulum dan Al-hadist. Kata ‘ulum dalam

bahasa arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berarti “ilmu-ilmu”; sedangkan al-hadist di

kalangan Ulama Hadis berarti “segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi SAW dari

perbuatan, perkataan, taqir, atau sifat.”

Diantara cabang-cabang besar yang tumbuh dari Ilmu Hadits Riwayah dan Dirayah

adalah sebagai berikut: Ilmu Rijalul Hadits, Ilmu Tarikh Rijal Al-Hadits, lmu al-Jarh wa al-

Ta`dil, Ilmu Mukhtalif al-Hadits, Ilmu `Ilalil Hadits, Ilmu Gharibul-Hadits, Ilmu Nasikh dan

Mansukh Hadits, Ilmu Asbab Wurud al-Hadits (sebab-sebab munculnya Hadits), Ilmu

Mushthalah Hadits

B. Saran

Dalam makalah ini masih banyak kekurangan, pembaca diharapkan lebih banyak

membaca buku-buku tentang Pengertian Hadits, Khobar, dan Atsar, sehingga lebih banyak

menambah ilmu dan wawasan tentang pengertian tersebut, Kritik dan saran juga kami

harapkan dari pembaca, untuk membuat makalah-makalah selanjutnya agar lebih baik lagi.

22
23

DAFTAR PUSTAKA

Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Kitab Pakaian. Bab Perhiasan yang ditampakkan oleh wanita.
CD. Ensiklopedia Hadis Kitab Sembilan Imam. t.t: Lidw Pustaka i-Software, t.th

Ahmad, Zackiyah, Safinah Simple Series, Jawa Timur: Guepedia, 2021

Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, Kriteria Busana Muslimah Mencakup Bentuk Ukuran,


Mode Corak dan Warna sesuai Standar Syar’I, Jakarta: CV Jejak 2017

Al-Azdi, Sulaiman bbin al-Asy’asy Abu al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, Juz IV t.t: Dar al-Fikr,
t.th

Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail. al-Jami’ al-Sahih, Juz I Cet. III; Beirut: Dar
Ibn Kasir, 1987 M

Al-Dimasyqi, Abu al-Fida’ Isma’il ibn Kasir ibn al-Qursyi. Tafsir Al-Qur’an alAzim, Juz VI Cet.
II ;Dar Tayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1999 M

Al-Hamawi, Musyrifah. Menjadi Wanita Seindah Bidadari Surga: Tips dan Trik Menjadi
Muslimh Cerdas, Yogyakarta: Araska, 2020

Al-Suyuti, Abd al-Rahman al-Kamal Jamal al-Din. al-Dur al-Mansur. Beirut : Dar al-Fikr. 1993.

Al-Safadi, Abu al-Safa Salah al-Din Khalil ibn ‘Izz al-Din Ubaik ibn ‘Abdullah alAlbaki, Al-
Syu’ur bi al-Ur, Juz1 1. Cet. I; al-Urdun: Dar ‘Imar, 1997 M

Al-Tabari, Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Kasir ibn Galib al-Amili Abu Ja’far, Jami’ al-
Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, Juz 20, Cet. I; Beirut: Muassasah alRisalah, 1420 H/2000 M

An-Nawawi, Imam. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Hajjaj, Jakarta: Dar alSunnah. 2014

A.R, Anton. The Miracle of Jilbab (Hikmah Cantik & Sehat), Jakarta; Shahara Digital
Publishing, 2020

Asy-Syayi’, Khalid bin Abdurrahman. Bidadari Dunia Potret Ideal Wanita Muslim. Jakarta :
Qultum Media. 2005

Abdllah ibn Baz, Taharatuhu, Abd al-Aziz ibn, Ahka Salah al-Marid wa Juz 1 cet. I; al-
Su’udiyyah: wazarah al-Syu’un al-Islamiyyah wa al-Aufaq wa alDa’wah wa al-Irsyad,
1422 H

Anda mungkin juga menyukai