Anda di halaman 1dari 29

MODEL PENELITIAN HADIS

Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode dan Pendekatan
Studi Islam Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris
Samarinda

Oleh :
Hikmah Hasanuddin (2320100057)

Dosen Pengampu :
Dr. Dra. Siti Sagirah, M,Ag

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS SAMARINDA
2024
1

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN ............................................................................. 2

A. Latar Belakang ............................................................................ 2

B. Rumusan Masalah ....................................................................... 2

C. Tujuan Penulisan ......................................................................... 3

II. PEMBAHASAN ............................................................................... 3

A. Pengertian Hadis ......................................................................... 3

B. Metode Memahami Hadis ........................................................... 5

C. Model-model Penelitian Hadis .................................................. 13

III. PENUTUP ....................................................................................... 27

A. Kesimpulan................................................................................ 27

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 28
2

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Latar belakang makalah dari metode penelitian hadis dapat dimulai dengan

konteks pentingnya hadis dalam Islam sebagai sumber hukum kedua setelah Al-

Qur'an. Secara yuridis, hadis menjadi landasan penting dalam menetapkan

hukum-hukum syariat Islam. Dari segi filosofis, metode penelitian hadis

membantu dalam pemahaman mendalam terhadap ajaran Islam dan

kebijaksanaan yang terkandung di dalamnya. Dalam dimensi teoritis,

pengembangan metode penelitian hadis memberikan kontribusi penting terhadap

pemikiran keilmuan Islam. Sementara itu, dari segi empiris, metode penelitian

hadis memungkinkan para peneliti untuk mengaplikasikan metodologi yang tepat

guna dalam menganalisis keaslian dan kebenaran hadis-hadis yang disampaikan.

Aspek religius juga menjadi landasan penting dalam metode penelitian hadis,

karena tujuannya adalah untuk mendekati kebenaran dan kehendak Allah serta

mengambil hikmah dari sunnah Nabi Muhammad SAW yang terkandung dalam

hadis. Dengan demikian, pemahaman yang komprehensif terhadap metode

penelitian hadis menjadi penting bagi para peneliti dan cendekiawan Islam dalam

memahami dan mengembangkan ajaran Islam.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengertian dari hadis ?

2. Bagaimana metode memahami hadis ?

3. Bagaimana model-model penelitian hadis ?


3

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian hadis.

2. Untuk mengetahui metode memahami hadis

3. Untuk mengetahui model-model dari penelitian hadis.

II. PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadis

Hadis menurut bahasa, berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata haddatsa,

yahdutsu, hadtsan, haditsan dengan pengertian yang bermacam-macam. Kata

tersebut dapat berarti :

1. Al-jadid min al-asy ya' atau dapat diartikan sebgai sesuatu yang baru,

2. Al-qarib yang berarti menunjukkan pada waktu yang dekat atau waktu yang

singkat.

3. Al-khabar yang berarti ma yutahaddats bih wa yunqal, yaitu sesuatu yang

diperbincangkan, dibicarakan atau diberitakan, dan dialihkan dari seseorang

kepada orang lain.1

Berdasarkan beberapa definisi hadis tersebut, dapat disimpulkan dari segi

bahasa lebih ditekankan pada arti berita atau khabar, kata tersebut dapat berarti

sesuatu yang baru atau sesuatu yang menunjukkan waktu yang dekat.

1
Isma Hayati Daulay and Sulasmi, Hadis Dan Urgensinya Dalam Pendidikan, Al-Afkar,
Journal For Islamic Studies 6, no. 1 (January 20, 2023)
4

Sedangkan menurut istilah, dijumpai pendapat yang berbeda-beda. Hal ini

disebabkan karena perbedaan cara pandang yang digunakan oleh masing-masing

dalam melihat suatu masalah.

1. Para ulama ahli hadis misalnya berpendapat bahwa hadis adalah ucapan,

perbuatan dan keadaan Nabi Muhammad Saw. Sementara ulama ahli hadis

lainnya seperti Al-Thiby berpendapat bahwa hadis bukan hanya perkataan,

perbuatan, dan ketetapan Rasulullah Saw., akan tetapi termasuk perkataan,

perbuatan, dan ketetapan para sahabat dan tabi'in.

2. Para ulama ahli ushul fiqh berpendapat bahwa hadis adalah perkataan,

perbuatan dan ketetapan Rasulullah Saw yang berkaitan dengan hukum.

Dalam kaitan ini ulama ahli fiqih berpendapat bahwa hadis adalah sifat

syar'iyah untuk perbuatan yang dituntut mengerjakannya, akan tetapi tuntutan

melaksanakannya tidak secara pasti, sehingga diberi pahala orang yang

mengerjakannya dan tidak menyiksa orang yang meninggalkannya.2

Di antara pemikiran yang mendasari terjadinya perbedaan dalam

mendefinisikan hadis di atas antara yang lain, karena perbedaan mereka dalam

memandang pribadi Rasulullah Saw. Jika ulama ahli hadis memandang

Rasulullah Saw sebagai yang patut diteladani dan dijadikan contoh yang baik

(uswatun hasanah), apa saja yang berasal dari nabi dapat diterima sebagai hadis,

sedang ulama ahli ushul memandang pribadi Rasulullah Saw sebagai mengatur

undang-undang yang menjelaskan kepada manusia tentang undang-undang

2
Rakhmawati Zulkifli, Moderasi Pemahaman Hadis dalam Hukum Islam Menurut Al-
Qaradhawi, el-Buhuth: Borneo Journal of Islamic Studies, December 14, 2018
5

kehidupan (dustur al-hayat) dan menciptakan dasar-dasar bagi para mujtahid

yang akan hidup sesudahnya.3

Dikalangan ulama pula terdapat perbedaan pendapat seputar istilah hadis,

khabar dan atsar, namun demikian kalangan Jumhur Ulama umumnya

berpendapat bahwa hadis, sunnah, khabar dan atsar tidak ada perbedaannya atau

sama saja pengertiannya, yaitu segala sesuatu yang dinukilkan dari Rasulullah

Saw., sahabat atau tabi'in baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan,

baik semuanya itu dilakukan sewaktu-waktu saja, maupun lebih sering dan

banyak diikuti oleh para sahabat.

B. Metode Memahami Hadis

Hadis sebagai sumber hukum kedua dalam Islam harus dipahami dengan

seksama. Menurut Yusuf Qardhawi, ada beberapa metode yang dapat digunakan

untuk memahami hadis, yaitu sebagai berikut :

1. Memahami Hadis Sesuai dengan Petunjuk Al-Qur’an

Untuk dapat memahami hadis dengan pemahaman yang benar, jauh dari

penyimpangan, pemalsuan, dan penafsiran yang keliru haruslah dipahami sesuai

dengan petunjuk Al-Qur’an, yaitu dalam kerangka bimbingan Ilahi dengan

kebenaran dan keadilan yang bersifat pasti.

Al-Qur’an adalah sumber hukum Islam yang pertama dan menjadi rujukan

bagi setiap perundang-undangan dalam Islam. Adapun hadis merupakan

penjelasan terperinci bagi hukum-hukum di dalam Al-Qur’an. Rasulullah

3
Leni Andariati, Hadis dan Sejarah Perkembangannya, Diroyah : Jurnal Studi Ilmu Hadis 4,
no. 2 (April 13, 2020)
6

bertugas menjelaskan tuntunan-tuntunan Al-Qur’an kepada umat manusia.

Penjelasan Nabi berkisar pada Al-Qur’an dan tidak pernah melampauinya. Oleh

karena itu, tidak ada hadis shahih yang bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an.

Apabila sebagian umat beranggapan bahwa hadis mengatakan cara Nabi

bertentangan dengan Al-Qur’an, hal itu disebabkan hadis tersebut tidak shahih

atau pemahaman yang tidak benar. Berarti hadis Nabi harus dipahami dalam

konteks Al-Qur’an.4

2. Menghimpun Hadis-Hadis yang Bertema Sama (Metode Maudhu'i)

Salah satu metode memahami hadis, yaitu dengan cara menghimpun

hadis-hadis yang sejenis atau dikenal dengan metode maudhu'i. Hadis-hadis yang

mutasyabih (samar) dikembalikan kepada yang muhkam (jelas), hadis yang

muthlaq (bebas, tidak terikat) dihubungkan dengan yang muqayyad (terikat dan

dibatasi), yang 'am (umum) ditafsirkan dengan yang khash (khusus). Dengan

demikian, makna yang dimaksud akan semakin jelas antara satu sama lain dan

tidak ada pertentangan. Contohnya adalah hadis yang berkaitan dengan isbal,

yaitu memakai pakaian yang melebihi mata kaki. Sebagian ulama mengharamkan

perilaku isbal secara mutlak dan sebagian lainnya mengharamkan perilaku isbal

karena kesombongan. Perhatikan hadis dibawah ini.

Terjemahan : Tiga jenis manusia yang kelak pada hari kiamat tidak akan

diajak bicara oleh Allah: (1) Seorang mannan (pemberi) yang tidak memberi

sesuatu kecuali yang untuk diungkit-ungkit; (2) Seorang pedagang yang berusaha

4
Muhammad Asriady, Metode Pemahaman Hadis, Ekspose: Jurnal Penelitian Hukum Dan
Pendidikan 16, no. 1 (April 13, 2019)
7

melariskan barang dagangannya dengan mengucapkan sumpah-sumpah bohong;

dan (3) seorang yang membiarkan sarungnya terjulur sampai di bawah kedua

mata kakinya. (HR.Muttafaq Alaih)

Terjemahan : Barang siapa menyeret sarungnya (yaitu menjulurkannya

sampai menyentuh atau hampir menyentuh tanah) karena sombong, maka Allah

tidak akan memandang padanya, pada hari kiamat. (HR. Muttafaq Alaih)

Apabila hadis di atas tidak dikumpulkan di tempat yang sama atau tidak

dipahami secara bersama-sama maka dari hadis pertama dapat diambil

kesimpulan bahwa perbuatan itu isbal haram secara mutlak. Akan tetapi, dari

hadis kedua terdapat 'illat yang menjelaskan bahwa yang diharamkan itu adalah

perbuatan isbal yang disebabkan adanya kesombongan dalam diri.5

3. Menggabungkan atau Menarjih Hadis-Hadis yang Bertentangan

Yusuf Al-Qardhawi berpendapat bahwa pada dasarnya nash syariah tidak

saling bertentangan. Apabila ada pertentangan, hal itu hanya tampak dari luar,

bukan dalam kenyataan yang hakiki. Ada tiga cara yang dapat digunakan apabila

terdapat nash syariah yang kelihatannya bertentangan, yaitu sebagai berikut.

a. Al-Jam'u, yaitu dengan melakukan penggabungan hadis yang dianggap

bertentangan. Misalnya, hadis tentang larangan seseorang menghadap ke

kiblat ketika buang air kecil atau besar, sementara ada hadis-hadis lain yang

membolehkan hal tersebut. Dengan menggabungkan hadis-hadis yang

bertentangan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa maksud dari hadis-

5
Danni Nursalim, Tinjauan Metodologi Pemahaman Hadis Dari Berbagai Aspek Terhadap
Ilmu Pengetahuan, TAMMAT (Journal Of Critical Hadith Studies) 1, no. 1 (March 6, 2023): 34–47.
8

hadis larangan adalah bila dilakukan di tempat terbuka, sedangkan maksud

dari hadis-hadis yang membolehkan adalah bila dilakukan di dalam suatu

tempat yang ada pembatasnya (seperti WC).

b. Apabila hadis-hadis tersebut tidak dapat digabungkan maka dilakukan

metode yang kedua, yaitu dengan cara menarjihnya. Tarjih merupakan suatu

cara memenangkan salah satu dari dua hadis atau lebih yang dianggap lebih

kuat dengan berbagai cara penarjihan yang telah ditentukan oleh para ulama.

c. An-Nasikh wa Al-Mansukh merupakan metode memahami hadis yang

berbeda dengan cara menghapus salah satu hadis. Hadis yang datang

kemudian dianggap menghapuskan hukum pada hadis yang datang

belakangan. Hadis yang mansukh (dihapus) bisa dalam arti sebenarnya atau

dalam arti yang lain, yaitu dengan memahami mansukh berarti karena situasi

dan kondisi yang berbeda. Salah satu contohnya adalah tentang hukum ziarah

kubur. Pada awalnya Nabi melarang karena takut aqidah umat Islam belum

kuat, khawatir terjerumus pada kemusyrikan, tetapi kemudian Nabi

membolehkannya sebagai sarana untuk mengingat mati.6

4. Memahami Hadis Sesuai dengan Latar Belakang, Situasi, dan Kondisi,

serta Tujuannya

Sesuatu yang melatarbelangi keluarnya suatu hadis disebut asbabu al-

wurud. Salah satu metode yang tepat dalam memahami hadis Nabi adalah melihat

sebab-sebab khusus atau alasan tertentu yang menjadi latar belakang atau alasan

6
Mohamad Anas and Imron Rosyadi, Metode Memahami Hadis-Hadis Kontradiktif,
Mutawatir : Jurnal Keilmuan Tafsir Hadith 3, no. 1 (June 1, 2013)
9

tertentu dalam suatu hadis, baik yang tersirat maupun yang tersurat, atau yang

dipahami dari kejadian yang menyertainya. Salah satu contohnya adalah larangan

Nabi bagi perempuan untuk bepergian tanpa mahram. Latar belakang larangan

ini adalah kekhawatiran akan keselamatan perempuan yang bepergian sendiri

tanpa ditemani suami atau mahramnya. Pada zaman dahulu sarana

transportasinya adalah unta, bighal, dan keledai. Mereka biasanya menempuh

perjalanan selama waktu yang lama, dan melalui daerah-daerah sepi dan padang

pasir tak berpenghuni. Jika dalam kondisi perjalanan seperti ini seorang wanita

tidak disertai mahramnya maka keselamatan perempuan tersebut akan terancam,

luput dari bahaya, dan namanya akan tercemar. Akan tetapi, kondisi telah berubah

seperti pada perjalanan jauh ditempuh dengan pesawat terbang yang dapat

mengangkut zaman sekarang, ketika banyak penumpang dan perjalanan dapat

ditempuh dalam waktu yang singkat. Maka tidak akan ada lagi alasan yang

mengkhawatirkan keselamatan wanita yang bepergian sendiri, secara syariat hal

itu tidak dapat menjadi masalah bagi Wanita tersebut, dan juga tidak dianggap

menyalahi hadis.7

5. Membedakan Antara Sarana yang Berubah-ubah dan Tujuan yang

Tetap

Salah satu penyebab kekeliruan dan kekacauan dalam memahami hadis

adalah sebagian orang mencampur antara tujuan tetap yang hendak dicapai

dengan sarana yang menunjang pencapaian tujuan. Adapun sarana bisa berubah

7
Ahmad Sobari Ahmad Sobari, Metode Memahami Hadis, Mizan: Journal of Islamic Law 2,
No. 2 (June 12, 2018)
10

sesuai dengan perubahan lingkungan, zaman, adat, kebiasaan, dan sebagainya.

Misalkan saja, hadis yang menyatakan bahwa sebaik-baik obat adalah bekam dan

kayu-kayuan laut. Maksud dari hadis di atas adalah resep-resep obat yang

digunakan, yaitu berbekam dan kayu-kayuan laut. Dalam hadis lain menyebutkan

kayu-kayuan India, jintan hitam, itsmid (bahan untuk celak) juga sebagai obat.

Akan tetapi, tujuan dari semua obat itu adalah memelihara kesehatan. Sesuai

perkembangan zaman, semakin banyak sarana yang digunakan untuk memelihara

kesehatan. Untuk itu, obat-obatan tersebut bisa diubah diganti dengan sarana

yang lain. Dalam memelihara kesehatan juga perlu memperhatikan aspek

pencegahan, misalnya menjaga kebersihan manusia, rumah, dan lingkungan

sekitarnya.8

6. Pemahaman Hadis Menurut Hakikat dan Majaz

Dalam ilmu balaghah (retorika) dinyatakan bahwa ungkapan dalam

bentuk majaz, lebih berkesan ketimbang dalam bentuk hakiki atau biasa.

Pengertian majaz mencakup majaz lughawi, aqli, isti'arah, kinayah, dan berbagai

ungkapan lainnya yang tidak menunjukkan makna secara langsung. Apabila

ungkapan-ungkapan majaz tidak dipahami dalam makna majaz, artinya akan

menyimpang dari makna yang dimaksud dan akan terjadi kekeliruan dalam

penafsiran. Kekeliruan pemahaman hadis Nabi karena tidak memperhatikan

majaz, juga sudah muncul pada zaman Rasulullah. Ketika Beliau bersabda pada

istri-istri Beliau "Yang paling cepat menyusulku di antara kalian sepeninggalanku

8
Neneng Nurhasanah, Amrullah Hayatuddin, Yayat Rahmat Hidayat, Metodologi Studi Islam,
(Jakarta : AMZAH, Cetakan kedua, Februari 2022), 170.
11

adalah yang paling panjang tangannya." Mereka mengira yang dimaksud adalah

orang yang tangannya paling panjang. Seperti dikatakan Aisyah ra. mereka saling

mengukur siapa di antara mereka yang tangannya paling panjang. Padahal

Rasulullah tidak bermaksud seperti itu. Maksud dari tangan yang paling panjang

adalah yang paling baik dan paling dermawan. Sabda Nabi tersebut memang

sesuai dengan fakta, di antara istri-istri Nabi yang meninggal dunia setelah Beliau

adalah Zainab binti Zahsyi ra. ia dikenal sebagai wanita yang sangat terampil

bekerja dan suka bersedekah. Apalagi di Indonesia makna majazi dari panjang

tangan adalah mencuri.9

7. Membedakan Antara yang Gaib dan yang Nyata

Di antara matan hadis ada yang mengabarkan pada sesuatu yang gaib,

seperti malaikat dan tugasnya, jin yang dapat melihat manusia dan manusia tidak

dapat melihatnya, setan atau iblis yang bersumpah ingin menyesatkan manusia,

hal-hal yang terkait tentang alam kubur, dan lain sebagainya. Kekeliruan

mendasar sebagian umat adalah menganalogikan sesuatu yang gaib terhadap

yang nyata atau akhirat terhadap dunia. Analogi seperti itu tidak tepat karena

keduanya berbeda dan memiliki hukum sendiri-sendiri. Contoh hadis tentang

pohon di surga yang apabila seseorang berjalan di bawah keteduhannya dalam

waktu seratus tahun pun, belum cukup untuk melewatinya. Menurut Yusuf Al-

Qardhawi, "seratus tahun" dalam hadis di atas adalah menurut tahun-tahun di

Neneng Nurhasanah, Amrullah Hayatuddin, Yayat Rahmat Hidayat, Metodologi…, (Jakarta :


9

AMZAH, Cetakan kedua, Februari 2022), 170-171.


12

dunia, dan tidak diketahui perbandingan antara waktu di dunia dan waktu di sisi

Allah.10 Sesuai dengan Surah Al-Hajj ayat 47:

َِّ َ ََْ َ َ ْ َّ َ ْ ُ ‫ه‬ َ ْ ُّ َ َ َْ َ َُْ َْ ََْ


‫اّٰلل َوعدهۗٗ َواِ ن َي ْو ًما ِعند َر ِ ِبك كال ِف َسن ٍة ِّما‬ ‫اب َول ْن يخ ِلف‬
ِ ‫ويستع ِجلونك ِبالع‬
‫ذ‬
َ ُّ ُ َ
‫تعد ْون‬
Terjemahan : Dan mereka meminta kepadamu (Muhammad) agar azab itu
disegerakan, padahal Allah tidak akan menyalahi janji-Nya. Dan
sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut
perhitunganmu. (QS. Al-Hajj : 47).11

8. Memahami Makna Istilah dalam Hadis

Untuk memahami hadis dengan baik, penting sekali untuk memastikan

makna yang ditunjukkan oleh kata-kata hadis. Namun, makna kata-kata tersebut

bisa berubah dari waktu ke waktu dan dari suatu lingkungan ke lingkungan yang

lain. Hal ini diketahui oleh mereka yang mempelajari perkembangan bahasa dan

kata-katanya serta pengaruh waktu dan tempat. Sebagian orang menggunakan

kata-kata tertentu untuk menunjukkan suatu makna tertentu. Akan tetapi, yang

dikhawatirkan adalah apabila mereka menafsirkan kata-kata yang digunakan

dalam hadis sesuai dengan istilah sekarang, akibatnya akan timbul kekacauan dan

kekeliruan. Contohnya adalah hadis tentang siksaan di neraka pada orang yang

membuat gambar. Makna dari kata "tashwir" (pembuatan gambar atau

pembentukan rupa) yang disebutkan dalam hadis shahih yang disepakati telah

berubah maknanya. Pada zaman sekarang, kata "tashwir" digunakan untuk

menyatakan pengambilan gambar dengan kamera. Teknologi fotografi ini belum

10
Neneng Nurhasanah, Amrullah Hayatuddin, Yayat Rahmat Hidayat, Metodologi…,
(Jakarta : AMZAH, Cetakan kedua, Februari 2022), 171.
11
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahan Dilengkapi dengan Asbabul Nuzul
dan Hadis Sahih, (Bogor : PPPA Daarul Qur”an, 2007).
13

ada pada zaman Nabi tidak mungkin ditujukkan kepada ahli foto saat ini.

Ancaman siksa dalam hadis tersebut tidak tepat bagi ahli foto yang menggunakan

kamera untuk gambar-gambar tertentu.12

C. Model-model Penelitian Hadis

Sebagaimana halnya Al-Qur’an, Al-Hadis pun telah banyak diteliti oleh

para ahli, bahkan dapat dikatakan penelitian terhadap Al-Hadis lebih banyak

kemungkinannya dibandingkan penelitian terhadap Al-Qur’an. Hal ini antara lain

dilihat dari segi datangnya Al-Qur’an dan hadis berbeda. Kedatangan (wurud),

atau turun (nuzul)nya Al-Qur’an diyakini secara mutawatir berasal dari Allah.

Tidak ada satu ayat Al-Qur’an yang diragukan sebagai yang bukan berasal dari

Allah Swt. Atas dasar ini, maka dianggap tidak perlu meneliti apakah ayat-ayat

Al-Qur’an itu berasal dari Allah atau bukan.13

Hal ini berbeda dengan Al-Hadis. Dari segi datang (al-wurud) hadisnya

tidak seluruhnya diyakini berasal dari nabi, melainkan ada yang berasal dari

selain nabi. Hal ini selain disebabkan sifat lafal-lafal hadis yang tidak bersifat

mukjizat, juga disebabkan perhatian terhadap penulisan hadis pada zaman

Rasulullah agak kurang, bahkan beliau pernah melarangnya; dan juga karena

sebab-sebab yang bersifat politis dan lainnya. Inilah yang menyebabkan para

ulama seperti Imam Bukhari dan Muslim yang mencurahkan segenap tenaga,

pikiran, dan waktunya bertahun-tahun untuk meneliti hadis, dan hasil

12
Neneng Nurhasanah, Amrullah Hayatuddin, Yayat Rahmat Hidayat, Metodologi…,
(Jakarta : AMZAH, Cetakan kedua, Februari 2022), 172.
13
Abduddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Depok : PT. Rajagrafindo Persada, Cetakan ke-
23, November 2019), 237.
14

penelitiannya itu dibukukan dalam Kitabnya Sahih Bukhari (810-870) dan Sahih

Muslim (820-875).14

Karena begitu luasnya peredaran dan pengaruhnya dari kedua macam

kitab tersebut, belakangan datang para peneliti yang selain menggunakan

pendekatan perbandingan (comparative) juga melakukan kritik. Ulama yang

paling keras mengeritik Bukhari adalah Al-Daruquthni. Ia mengatakan bahwa

tidak semua hadis yang terdapat dalam Sahih Bukhari dan Muslim diterima oleh

ulama secara sepakat. Di antara ulama yang tidak menerima adalah dia sendiri,

karena di dalamnya terdapat hadis mu'allaq. Bagian-bagian lain yang dikritiknya

antara lain: a) Berkaitan dengan lebih atau kurangnya rawi; b) Berkaitan dengan

perbedaan rawi menyebabkan perubahan sanad; c) Berkaitan dengan

penyendirian (fardhu) rawi; dan d) Sebagian rijalnya ada yang dituduh wahm

(kurang jelas identitasnya). Sementara ulama yang membela dan kagum pada

Bukhari antara lain Ibnu Hajar Al-Haitami. Menurutnya, hadis mu'allaq (yang

terputus sanadnya) yang terdapat dalam kitab Sahih Bukhari sebenarnya bukan

masalah pokok yang perlu diperdebatkan, karena pada tempat lain hadis serupa

itu ada sanadnya; dan penyebutannya pada kali yang lain tanpa sanad hanya

sebagai syahid saja. Sama halnya pada Bukhari, pada Muslim pun datang pula

ulama yang memuji dan mengeritiknya. Ulama yang memuji Muslim antara

ulama lain dari Al-Maghriby dan Al-Naisaburi. Sedangkan ulama yang

mengeritiknya adalah seperti Al-Daruquthny yang mengatakan, “Seandainya

Abduddin Nata, Metodologi…, (Depok : PT. Rajagrafindo Persada, Cetakan ke-23,


14

November 2019), 238.


15

tidak ada Bukhari, Muslim tidak akan pernah ada Kritik yang bernada

meremehkan Imam Muslim ini berkisar pada masalah sanad dan matan. Namun,

kritik terhadap kedua kitab tersebut tidak akan sampai menjatuhkan kesahihan

kitab tersebut, dengan dua alasan: a) Kritik pada sanad itu muncul karena Bukhari

menerima riwayat seseorang yang oleh orang lain dianggap memiliki kelemahan

karena dia menganggap lebih dekat dan lebih tahu terhadap rawi tersebut; b)

Terdapatnya hadis-hadis mu'allaq dalam Sahih Bukhari hanyalah sekedar untuk

menjelaskan hadis-hadis lainnya yang sanadnya sudah ada. Selanjutnya, terdapat

pula penelitian terhadap hadis Bukhari Muslim dengan menggunakan pendekatan

perbandingan.

Menurut hasil penelitian Jumhur Ulama, bahwa Sahih Bukhari lebih

tinggi nilainya dari Sahih Muslim dengan alasan: 1) Persyaratan yang

dikemukakan Bukhari lebih ketat dibandingkan persyaratan yang dikemukakan

Muslim; 2) Kenyataan menunjukkan bahwa kritik terhadap Bukhari lebih sedikit

dibandingkan kritik yang ditujukan pada Imam Muslim. Hal ini dapat dilihat,

misalnya: a) Rijal hadis Bukhari yang dikritik hanya 80 orang, sedangkan Muslim

180 orang; b) Kritik terhadap matan Al-Bukhari hanya 76 orang, sedangkan

terhadap Muslim 180 orang; 3) Perawi hadis Bukhari yang dikritik adalah orang-

orang yang diketahui keadaannya oleh Bukhari atau Bukhari lebih kenal pada

orang tersebut daripada orang yang mengritiknya.15

Abduddin Nata, Metodologi…, (Depok : PT. Rajagrafindo Persada, Cetakan ke-23,


15

November 2019), 240.


16

Pada sisi lain ada yang menilai bahwa Sahih Muslim jauh lebih memiliki

kelebihan dibandingkan dengan yang dimiliki Bukhari. Kelebihan tersebut antara

lain: 1) Sistematikanya lebih baik; 2) Dari segi redaksi, Muslim lebih diterima

daripada Bukhari karena Muslim lebih banyak meriwayatkan dengan lafal,

sedangkan Bukhari lebih banyak meriwayatkan dengan makna, sehingga

redaksinya memiliki kelemahan. Hal ini antara lain, karena Bukhari setelah

mendengar hadis dari salah seorang perawi tidak langsung menuliskannya

sehingga kemungkinan lupa bisa terjadi. Oleh karena itu, jika dijumpai perbedaan

matan yang terdapat pada kedua kitab tersebut, yang dipakai adalah matan yang

berasal dari Iman Muslim.

Melihat beberapa kelebihan yang terdapat pada Imam Muslim tersebut,

ulama Maghriby menganggap bahwa hadis Sahih Muslim lebih tinggi

kedudukannya dibandingkan hadis Sahih Bukhari, karena meskipun persyaratan

Muslim dalam menerima hadis lebih sedikit dibandingkan dengan persyaratan

Bukhari, namun sudah dianggap memenuhi persyaratan minimal, sedangkan

penambahan liqa' yakni harus berjumpa antara sesama perawi dalam hadis

Bukhari, mereka menganggapnya sebagai berlebih-lebihan.16

Demikianlah berbagai penilaian yang diberikan para ahli mengenai

kelebihan dan kekurangan yang terdapat pada masing-masing kitab tersebut. Hal

ini hendaknya semakin menyadarkan kepada kita, bahwa betapapun hebatnya

penelitian tersebut tetap memiliki kelemahan, di samping kelebihannya masing-

Abduddin Nata, Metodologi…, (Depok : PT. Rajagrafindo Persada, Cetakan ke-23,


16

November 2019), 241.


17

masing. Yang jelas mereka adalah peneliti-peneliti awal di bidang hadis. Peneliti

hadis berikutnya dapat diikuti pada uraian berikut ini.

1. Model H.M.Quraish Shihab

Penelitian yang dilakukan Quraish Shihab terhadap hadis menunjukkan

jumlahnya tidak lebih banyak jika dibandingkan dengan penelitian terhadap Al-

Qur’an. Dalam bukunya berjudul Membumikan Al-Qur'an, Quraish Shihab

hanya meneliti dua sisi dari keberadaan hadis, yaitu mengenai hubungan hadis

dan Al-Qur’an serta fungsi dan posisi sunnah dalam tafsir. Bahan-bahan

penelitian yang beliau gunakan adalah bahan kepustakaan atau bahan bacaan,

yaitu sejumlah buku yang ditulis para pakar di bidang hadis termasuk pula Al-

Qur’an. Sedangkan sifat penelitiannya adalah deskriptif analitis. 17

Hasil penelitian Quraish Shihab tentang fungsi hadis terhadap Al-Qur’an,

menyatakan bahwa Al-Qur’an menekankan bahwa hadis Rasul Saw, berfungsi

menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS 16:44). Penjelasan atau bayan

tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beragam bentuk dan sifat serta

fungsinya. Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-

Sunnah Fi Makanatiha wa Fi Tarikhikha, sebagaimana dikutip H.M. Quraish

Shihab, menulis bahwa sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-

Qur’an dan fungsi yang berhubungan dengan pembinaan hukum syara'. Dengan

menunjuk pendapat Imam Syafi'i dalam Al-Risalah, Abdul Halim menegaskan

bahwa dalam kaitannya dengan Al-Qur’an ada fungsi Al-Sunnah yang tidak

Abduddin Nata, Metodologi…, (Depok : PT. Rajagrafindo Persada, Cetakan ke-23,


17

November 2019), 241.


18

diperselisihkan, yang pertama sekedar memperkuat dan menggarisbawahi

kembali apa yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Ulama lain menyebutnya sebagai

menegakkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-

Qur’an. Dalam keadaan demikian, Al-Qur’an dan Al-Sunnah kedua-duanya

bersama-sama menjadi sumber hukum. Untuk contoh fungsi Al-Sunnah yang

pertama ini dapat diambil hadis yang berbunyi sebagai berikut.


ُ َ
َ َ َ ْ َ َ ْ ُ ْ ُ ُ َ َِ ُ َ ْ ْ َ َ َ َ ْ ُ َ َ
َ َْ َ ْ ُ َُِ َ
‫اّٰلل وعقوق الوالِدي ِن وكان‬
ِ ‫ قال ال ِإشراك ِب‬. ‫ألا أن ِبئكم ِبأكب ِر الكبا ِئ ِر ؟ قالوا بلى‬
ْ ُ ِ ُ ْ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ً َِ ُ
‫مت ِكئا وجلس وقال ألا وقول الزو ِر‬

Terjemahan : Tidakkah kamu sekalian ingin aku menjelaskan tentang dosa

yang paling besar? Sahut kami (para sahabat): Ya Rasulullah. Beliau meneruskan

sabdanya: (1) Menyekutukan Allah; (2) Berbuat durhaka kepada kedua orang tua

(saat itu Rasulullah sedang bersandar, tiba-tiba duduk seraya bersabda lagi: Awas

ingat pula) yaitu (2) bersaksi palsu. (HR Bukhari dan Muslim).

Hadis tersebut sebagai penetapan dan menggarisbawahi ayat Al-Qur’an

yang berbunyi :

ٰ ْ ُ َ َّ ُ َ ْ َ ْ ُ ُ َ ْ َّ ُ َ ِ َ َ ْ َّ ٌ ْ َ َ ُ َ ‫ه‬ ُ ِ َ َ ٰ
ِ ‫ذ ِلك َو َم ْن ُّيع ِظ ْم ح ُر ٰم ِت‬
‫اّٰلل فهو خير له ِعند ر ِبهۗٗ وا ِحلت لكم الانعام ِالا ما يتلى‬
ْ ُّ َْ َ ْ ُ َ ْ َ َْ َْ َ َ ْ ِ ُ َ ْ َ ْ ُ ََْ
ۙ‫ان واجت ِنبوا قول الزو ِر‬
ِ ‫الرجس ِمن الاوث‬ ِ ‫عليكم فاجت ِنبوا‬
Terjemahan : Demikianlah (petunjuk dan perintah Allah). Siapa yang

mengagungkan apa yang terhormat di sisi Allah (ḥurumāt)500) lebih baik baginya

di sisi Tuhannya. Semua hewan ternak telah dihalalkan bagi kamu, kecuali yang
19

diterangkan kepadamu (keharamannya). Maka, jauhilah (penyembahan) berhala-

berhala yang najis itu dan jauhi (pula) perkataan dusta. (QS Al-Hajj, ayat:30).18

Adapun fungsi yang kedua dari Al-Sunnah adalah memperjelas pengertian

yang lahir dari ayat-ayat Al-Qur’an. Yaitu memberikan perincian dan penafsiran

ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mujmal, memberikan taqyid (persyaratan) ayat-

ayat Al-Qur’an yang masih muthlaq dan memberikan takhshish (penentuan

khusus) ayat- ayat Al-Qur’an yang masih umum. Misalnya perintah mengerjakan

sembahyang, membayar zakat, dan menunaikan ibadah haji di dalam Al-Qur’an

tidak dijelaskan jumlah rakaat dan bagaimana cara-cara pelaksanaannya; tidak

diperincikan nisab-nisab zakat, dan juga tidak dipaparkan cara-cara melakukan

ibadah haji. Tetapi semuanya itu telah ditafshil (diterangkan secara terperinci) dan

dicatat sejelas-jelasnya oleh Al-Hadis. Misalnya hadis yang artinya “Dihalalkan

bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Sedangkan dua macam

bangkai itu adalah bangkai ikan dan bangkai belalang. Sedangkan dua macam

darah itu adalah hati dan limpa” (HR Ibnu Majah dan Al-Hakim). Hadis ini

merupakan pengecuali terhadap ayat Al-Qur’an yang sifat umum sebagai berikut:

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging babi (QS Al-Maidah,

5:3).

Selain itu Al-Hadis juga dapat mengambil peran sebagai menetapkan

hukum atau aturan yang tidak didapati di dalam Al-Qur’an. Dalam hubungan ini

misalnya membaca hadits yang artinya: "Tidak boleh seseorang mengumpulkan

18
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahan Dilengkapi dengan Asbabul
Nuzul dan Hadis Sahih, (Bogor : PPPA Daarul Qur”an, 2007).
20

(memadu) seorang wanita dengan 'ammah (saudari bapak) nya dan seorang wanita

dengan khalah (saudari ibu) nya". (HR Bukhari Muslim), dan hadits yang artinya:

“Sungguh Allah telah mengharamkan mengawini seseorang karena sepersusuan,

sebagaimana halnya Allah telah mengharamkannya karena senasab” (HR Bukhari

dan Muslim). Materi hukum yang ditetapkan keharamannya oleh kedua hadis

tersebut sepanjang penelitian yang dilakukan para ahli hadis tidak dijumpai di

dalam Al-Qur’an, sehingga nabi Muhammad Saw mengambil inisiatif untuk

mengharamkannya.19

2. Model Musthafa Al-Siba'iy

Musthafa Al-Siba'iy yang dikenal sebagai tokoh intelektual Muslim dari

Mesir dan disebut-sebut sebagai pengikut gerakan Ikhwanul Muslimin, selain

banyak menulis (meneliti) tentang masalah-masalah sosial ekonomi dari sudut

pandang Islam, juga menulis buku-buku materi kajian agama Islam. Di antara

bukunya yang berkenaan dengan hadis adalah Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-

Tasyri'i al-Islami yang diterjemahkan oleh Nurcholish Madjid menjadi Sunnah

dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam Sebuah Pembelaan Kaum Suni

dan diterbitkan oleh Pustaka Firdaus, Jakarta pada tahun 1991, cetakan pertama.

Penelitian yang dilakukan Mushthafa Al-Siba'iy dalam bukunya itu bercorak

eksploratif dengan menggunakan pendekatan historis dan disajikan secara

deskriptif analitis. Yakni dalam sistem penyajiannya menggunakan pendekatan

kronologi urutan waktu dalam sejarah. Ia berupaya mendapatkan bahan-bahan

19
Abduddin Nata, Metodologi…, (Depok : PT. Rajagrafindo Persada, Cetakan ke-23,
November 2019), 242-244.
21

penelitian sebanyak-banyaknya dari berbagai literatur hadis sepanjang perjalanan

kurun waktu yang tidak singkat. Penerjemah buku ini, Nurcholish Madjid,

mengatakan: "Seperti dapat kita baca dari buku Mushthafa Al-Siba'iy ini, proses

pencatatan dan pengumpulan bahan "laporan" itu memakan waktu cukup panjang,

selama 200 tahun, sejak dari masa rintisan Syihab Al-Din Al-Zuhri (wafat 124

H./742 M.) sampai penyelesaian Al-Nasa'iy (wafat 303 H./916 M.), salah seorang

tokoh Al-Kuttab Al-Sittah.

Hasil penelitian yang dilakukan Mushthafa Al-Siba'iy antara lain mengenai

sejarah proses terjadi dan tersebarnya hadis mulai dari Rasulullah sampai

terjadinya upaya pemalsuan hadis dan usaha para ulama untuk membendungnya,

dengan melakukan pencatatan sunnah, dibukukannya Ilmu Musthalah al-Hadis,

Ilmu Jarh dan al-Ta'dil, Kitab-kitab tentang hadis-hadis palsu dan para pemalsu

dan penyebarannya.

Selanjutnya, Al-Siba'iy juga menyampaikan hasil penelitiannya mengenai

pandangan kaum Khawarij, Syi'ah, Mu'tazilah, dan Mutakallimin, para penulis

modern dan kaum Muslimin pada umumnya terhadap Al-Sunnah. Dilanjutkan

dengan laporan tentang sejumlah kelompok di masa sekarang yang mengingkari

kehujjahan Al-Sunnah disertai pembelaannya.

Dengan melihat isi penelitian yang dikemukakan di atas, Al-Siba'iy tampak

tidak netral. Ia berupaya mengumpulkan bahan-bahan kajian sebanyak mungkin

untuk selanjutnya, diarahkan untuk melakukan pembelaan kaum sunni terhadap


22

Al-Sunnah. Seharusnya ia menyajikan data apa adanya, sedangkan penilaiannya

diserahkan kepada pembaca.20

3. Model Muhammad Al-Ghazali

Muhammad Al-Ghazali yang menyajikan hasil penelitiannya tentang

hadis dalam bukunya berjudul al-Sunnah al-Nabawiyah Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl

al-Hadits, Muhammad Al-Ghazali adalah salah seorang ulama jebolan

Universitas Al-Azhar Mesir yang disegani di dunia Islam, khususnya Timur

Tengah, dan salah seorang penulis Arab yang sangat produktif. Menurut Quraish

Shihab, buku ini telah menimbulkan tanggapan yang berbeda, sehingga menjadi

salah satu buku terlaris dengan lima kali naik cetak dalam waktu antara Januari-

Oktober 1989.

Dilihat dari segi kandungan yang terdapat dalam buku tersebut, nampak

bahwa penelitian hadis yang dilakukan Muhammad Al-Ghazali termasuk

penelitian eksploratif, yaitu membahas, mengkaji dan menyelami sedalam-

dalamnya berbagai persoalan aktual yang muncul di masyarakat untuk kemudian

diberikan status hukumnya dengan berpijak pada konteks hadis tersebut. Dengan

kata lain, Muhammad Al-Ghazali terlebih dahulu memahami hadis yang

ditelitinya itu dengan melihat konteksnya kemudian baru dihubungkan dengan

berbagai masalah aktual yang muncul di masyarakat. Corak penyajiannya masih

bersifat deskriptif analitis. Yakni mendeskripsikan hasil penelitian sedemikian

rupa, dilanjutkan menganalisisnya dengan menggunakan pendekatan fiqih,

20
Abduddin Nata, Metodologi…, (Depok : PT. Rajagrafindo Persada, Cetakan ke-23,
November 2019), 244-245.
23

sehingga terkesan ada misi pembelaan dan pemurnian ajaran Islam dari berbagai

paham yang dianggapnya tidak sejalan dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang

mutawatir.

Permasalahan yang terdapat dalam buku hasil penelitian Muhammad Al-

Ghazali nampaknya cukup banyak. Setelah ia menjelaskan tentang kesahihan

hadis dan persyaratannya, ia mengemukakan tentang mayit yang diazab karena

jeritan keluarganya, tentang hukum qishash, salat tahiyah masjid, tentang sekitar

dunia wanita yang meliputi antara kerudung dan cadar, wanita keluarga dan

profesi, hubungan wanita dengan masjid, kesaksian wanita dalam kasus-kasus

pidana dan qishash, perihal nyanyian, etika makan, minum, berpakaian, dan

membangun rumah, kemasukan setan: esensi dan cara pengobatannya,

memahami Al-Qur’an secara serius, hadis-hadis tentang masa kekacauan, antara

sarana dan tujuan, serta takdir dan fatalisme.

Berbagai masalah yang dimuat dalam buku tersebut tampak didominasi

oleh masalah-masalah fiqih yang aktual. Sedangkan masalah-masalah yang

berkaitan dengan etika dan teologi hanya disinggung secara sepintas saja. Di sini

menunjukkan kecenderungan peniliti menekuni masalah fiqih.21

4. Model Zain Al-Din 'Abd Al-Rahim bin Al-Husain Al-Iraqiy

Al-Hafidz Zain Al-Din 'Abd Al-Rahim bin Al-Husain Al-Iraqy yang hidup

tahun 725-806 tergolong ulama generasi pertama yang banyak melakukan

penelitian hadis. Bukunya berjudul al-Taqyid wa al-Idlah Syarh Muqaddiman Ibn

Abduddin Nata, Metodologi…, (Depok : PT. Rajagrafindo Persada, Cetakan ke-23,


21

November 2019), 245-246.


24

al-Shalah adalah termasuk kitab ilmu hadis tertua yang banyak mengemukakan

hasil penelitian dan banyak dijadikan rujukan oleh para peneliti dan penulis hadis

generasi berikutnya. la disebutkan sebagai penganut mazhab Syafi'i, belajar di

Mesir dan mendalami bidang fiqih. Di antara gurunya adalah Al-Asnawiy dan Ibn

'Udlan yang keduanya termasuk pendiri mazhab Syafi'i. Selain itu ia juga dikenal

menguasai ilmu al-nahwu (gramatika), ilmu qira'at dan hadis.

Mengingat sebelum zaman Al-Iraqy belum ada hasil penelitian hadits, maka

nampak ia berusaha membangun ilmu hadis dengan menggunakan bahan-bahan

hadis nabi serta berbagai pendapat para ulama yang dijumpai dalam kitab tersebut.

Dengan demikian, penelitiannya bersifat penelitian awal, yaitu penelitian yang

ditujukan untuk menemukan bahan-bahan untuk digunakan membangun suatu

ilmu. Buku inilah buat pertama kali mengemukakan macam-macam hadis yang

didasarkan pada kualitas sanad dan matannya, yaitu ada hadis yang tergolong

sahih, hasan, dan dhaif. Kemudian dilihat pula dari keadaan bersambung atau

terputusnya sanad yang dibelahnya menjadi hadis musnad, muttasil, marfu',

mauquf, mursal, al-munqatil. Selanjutnya dilihat pula dari keadaan kualitas

matannya yang dibagi menjadi hadis yang syadz dan munkar.

Dalam buku tersebut dikemukakan tentang sifat dan karakteristik orang

yang dapat diterima riwayatnya, cara menerima dan menyampaikan hadiah, etika

dan tatakrama kesopanan para ahli hadis, dan lainnya yang berkaitan dengan
25

adanya hadis-hadis yang secara lahiriah bertentangan dan cara

mengkompromikannya.22

5. Model Penelitian Lainnya

Selanjutnya, terdapat pula model penelitian hadis yang diarahkan pada

fokus kajian aspek tertentu saja. Misalnya, Rif'at Fauzi Abd Al- Muthallib pada

tahun 1981, meneliti tentang perkembangan Al-Sunnah pada abad ke-2 Hijriah.

Hasil penelitiannya itu dilaporkan dalam bukunya berjudul Tautsiq Al-Sunnah fi

al-Qurn al-Tsaniy al-Hijri Ususuhu wa Itijahat. Selanjutnya, Mahmud Abu

Rayyah melalui telaah kritis atas sejumlah hadis Nabi Muhammad Saw. dalam

bukunya berjudul Adlwa'a 'Ala Al- Sunnah al-Muhammadiyah, tanpa

menyebutkan tahun terbitnya. Sementara itu, Mahmud Al-Thahhan khusus

meneliti cara menyeleksi hadis serta penentuan sanad yang disampaikan dalam

bukunya berjudul Ushul al- Takhrij wa Dirasat al-Asanid, diterbitkan tanpa tahun.

Disusul pula oleh Ahmad Muhammad Syakir yang meneliti buku Ikhtishar 'Ulum

al-Hadits karya Ibn Katsir (701-774 H.) dalam bukunya berjudul al-Baits al-

Hadits Syarh Ikhtishar Ulum al-Hadits yang diterbitkan di Beirut, tanpa tahun.

Dalam pada itu ada pula yang menyusun buku-buku hadis dengan

mengambil bahan-bahan pada hasil penelitian tersebut. Di antaranya Muhammad

Ajjaj Al-Khatib menulis buku Ushul al-Hadits Ulumuhu Wa Mushthalahuhu;

Adib Shalih menulis buku berjudul Lahmat fi Ushul al-Hadits; dan Nur Al-Din

Abduddin Nata, Metodologi…, (Depok : PT. Rajagrafindo Persada, Cetakan ke-23,


22

November 2019), 247-248


26

Atar menulis buku berjudul Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits, yang diterbitkan

Dar Al-Fikr tanpa tahun.

Berdasarkan pada hasil-hasil penelitian tersebut, maka kini ilmu hadis

tumbuh menjadi salah satu disiplin ilmu keislaman. Penelitian hadis tampak

masih terbuka luas terutama jika dikaitkan dengan permasalahan aktual dewasa

ini. Penelitian terhadap kualitas hadis yang dipakai dalam berbagai kitab

misalnya belum banyak dilakukan. Demikian pula penelitian hadis-hadis yang

ada hubungannya dengan berbagai masalah aktual tampak masih terbuka luas.

Berbagai pendekatan dalam memahami hadis juga belum banyak digunakan.

Misalnya pendekatan sosiologis, paedagogis, antropologis, ekonomi, politik,

filosofis, tampaknya belum banyak digunakan oleh para peneliti hadis

sebelumnya. Akibat dari keadaan demikian, tampak bahwa pemahaman

masyarakat terhadap hadis pada umumnya masih bersifat parsial.23

Abduddin Nata, Metodologi…, (Depok : PT. Rajagrafindo Persada, Cetakan ke-23,


23

November 2019), 248-249.


27

III. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berbagai penelitian yang dilakukan oleh para peneliti-peneliti terdahulu

tentunya tidak lepas dari kritik dan saran, peneliti hadis berikut peneliti hadis

berikutnya dengan model-model penelitiannya : Model H.M. Quraish Shihab,

model Mustafa Al-Siba’iy, model Muhammad Al-Ghazali, model Zain Al-Din Abd

Al-Rahim bin Al-Husain Al-Iraqiy dan lain sebagainya.

Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk memahami hadis,

yaitu : memahami hadis sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an, menghimpun hadis-

hadis yang bertema sama, menggabungkan atau menarjih hadis-hadis bertentangan,

memahami hadis sesuai dengan latar belakang, situasi dan kondisi, serta tujuannya,

membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan tujuan yang tetap, pemahaman

hadis menurut hakikat dan majaz, membedakan antara gaib dan yang nyata,

memastikan makna istilah dalam hadis.


28

DAFTAR PUSTAKA

Anas, Mohamad, and Imron Rosyadi. “Metode Memahami Hadis-Hadis


Kontradiktif.” Mutawatir : Jurnal Keilmuan Tafsir Hadith 3, no. 1 (June 1,
2013)
Andariati, Leni. “Hadis dan Sejarah Perkembangannya.” Diroyah : Jurnal Studi
Ilmu Hadis 4, no. 2 (April 13, 2020).
Asriady, Muhammad. “METODE PEMAHAMAN HADIS.” Ekspose: Jurnal
Penelitian Hukum Dan Pendidikan 16, no. 1 (April 13, 2019)
Daulay, Isma Hayati, and Sulasmi. “Hadis Dan Urgensinya Dalam Pendidikan.” Al-
Afkar, Journal For Islamic Studies 6, no. 1 (January 20, 2023)
Nata Abuddin, Metodologi Studi Islam, (Depok : PT. Rajagrafindo Persada,
Cetakan ke-23, November 2019).
Nurhasanah Neneng, Hayatuddin Amrullah, Hidayat Yayat Rahmat, Metodologi
Studi Islam, (Jakarta : AMZAH, Cetakan kedua, Februari 2022).
Nursalim, Danni. “Tinjauan Metodologi Pemahaman Hadis Dari Berbagai Aspek
Terhadap Ilmu Pengetahuan.” TAMMAT (Journal Of Critical Hadith Studies)
1, no. 1 (March 6, 2023)
Sobari, Ahmad Sobari Ahmad. “Metode Memahami Hadis.” Mizan: Journal of
Islamic Law 2, no. 2 (June 12, 2018).
Zulkifli, Rakhmawati. “Moderasi Pemahaman Hadis dalam Hukum Islam Menurut
Al-Qaradhawi.” el-Buhuth: Borneo Journal of Islamic Studies

Anda mungkin juga menyukai