Anda di halaman 1dari 17

HADIS DAN SUNNAH: TINJAUAN EPISTEMOLOGIS

Makalah

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata kuliah Komunikasi Multikulturalisme


Program Studi Pascasarjana Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam
UIN Alauddin Makassar

Oleh :

Nurmadia Syam
NIM: 80800221001

Dosen Pengampu:
Dr. Muh. Tasbih, M.Ag.

PROGRAM PASCASARJANA
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2021
DAFTAR ISI

Prakata …………………………………………………………………………
Bab 1 Pendahuluan
A. Latar belakang …………………………………………………………
B. Rumusan Masalah ……………………………………………………..
C. Tujuan penulisan ………………………………………………………
D. Metode penulisan ………………………………………………………

Bab 2 Kajian Teori


A. Hadis ……………………………………………………………………
B. Sunnah ………………………………………………………………….
C. Epistemologi ……………………………………………………………

Bab 3 Pembahasan
A. Sumber Hadist dan Sunnah …………………………………………..
B. Metode Pengumpulan dan Penulisan Hadist dan Sunna ………………
C. Validitas Hadist dan Sunnah ..…………………………………………

Bab 4 Penutup ………………………………………………………………..


Daftar Pustaka …………………………………………………………………

2
PRAKATA

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kemudahan sehingga
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Salam dan shalawat beserta
salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi
Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat kelak.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat
kesehatan dan ketenangan pemikiran sehingga penulis menyelesaikan tugas ini
tepat waktu.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas kuliah Ulumul Hadist
dalam program studi pascasarjana jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam di
Universitas Islam Negeri Makassar. Makalah ini tentu masih dari sempurna dan
memiliki kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik
konstruktif serta saran dari pembaca untuk agar tulisan ini menjadi karya yang
lebih baik lagi dan memberi manfaat sebanyak mungkin.
Aamiin Ya Rabbal Aalamiin.

Makassar, 10 Januari 2022

Penulis

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari, kerap dijumpai situasi di mana orang
mempertanyakan hal yang tidak ia ketahui kepada seseorang yang
dianggapnya lebih kompeten. Terkait agama, pertanyaan mengenai
pengertian hadis dan sunnah, perbedaaan di antara keduanya, dan bagaimana
memverifikasi kebenarannya merupakan pertanyaan-pertanyaan mendasar
namun menuntut jawaban yang tepat. Pemberian jawaban itupun harus
disesuaikan dengan bahasa dan latar belakang orang menanyakannya.
Pemilihan kalimat yang lugas dan mudah dimengerti adalah keharusan
apabila pertanyaan semacam ini dilontarkan oleh orang awam dan baru
mulai mempelajari ilmu agama Islam.
Memaknai hadis dan sunnah dilakukan dengan banyak cara. Dari sisi
ilmu pengetahuan, ada beberapa sudut pandang yang bisa digunakan untuk
menjawab sebuah permasalahan. Sudut pandang terminologi digunakan
untuk meninjau dari segi bahasa, sudut pandang ontologi yang membahas
tentang keberadaan dan hakikat ilmu baik itu berupa realitas fisik maupun
metafisik, sudut pandang epistemologi yang mengkaji tentang sumber
pengetahuan atau asal mula ilmu (termasuk metode, struktur, dan valid
tidaknya suatu ilmu), dan sudut pandang aksiologi yang membahas tentang
hakikat manfaat dari ilmu tersebut. Makalah ini memuat penjelasan hadis
dan sunnah berdasarkan kajian dari sudut pandang epistemologi yang
diupayakan mampu memberi penjelasan secara sederhana namun efektif
agar bisa dipahami bagi kalangan awam.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, penulis kemudian merumuskan beberapa
masalah berikut:
1. Dari manakah sumber hadis dan sunnah?
2. Bagaimana metode penulisan dan pengumpulan hadis dan sunnah?

4
3. Bagaimana menilai validitas (kesahihan) hadis dan sunnah?
C. Tujuan Penulisan
Makalah ini ditulis dengan dua tujuan utama, yaitu:
1. Tujuan Umum
Untuk memaparkan secara rinci dan spesifik mengenai hadist dan sunnah
dari tinjauan epistemologis.
2. Tujuan Khusus
a. Mengeksplorasi berbagai referensi pustaka mengenai sumber hadis
dan sunnah;
b. Mengeksplorasi berbagai referensi pustaka mengenai metode
penulisan dan pengumpulan hadis dan sunnah;
c. Mengeksplorasi berbagai referensi pustaka mengenai validitas
(kesahihan) hadis dan sunnah.
D. Metode penulisan
Makalah ini disusun dengan beberapa metode penulisan, antara lain:
1. Pengumpulan data dan informasi
Data dan informasi yang mendukung penulisan dikumpulkan dengan
melakukan penelusuran pustaka, pencarian sumber-sumber yang relevan,
dan pencarian data melalui internet. Data yang digunakan adalah data
dari berbagai karya tulis ilmiah, jurnal, pemberitaan media, dan sumber
kepustakaan lainnya yang relevan.
2. Pengolahan data dan informasi
Data dan informasi yang penulis peroleh dari tahap pengumpulan data
kemudian diolah menggunakan metode analisis deskriptif.
3. Analisis dan Sintesis
Dalam melakukan analisis dan sintesis terhadap data-data yang telah
diolah, penulis menggunakan data referensi yang digunakan sebagai
acuan di mana data-data tersebut dikembangkan demi mencari kesatuan
materi sehingga diperoleh kesimpulan dan implikasi.

5
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Hadist
Secara etimologi, hadis mempunyai arti jaded (baru), qarib (dekat),
dan khabar (warta).1 Terkait istilah khabar, sebagian ahli hadis memaknainya
sebagai segala sesuatu yang diterima dari Nabi, sahabat atau tabi’in. Namun,
sebagian ahli membedakannya dengan memaknai hadis ialah yang diterima
dari Nabi Saw, sedangkan khabar ialah yang menyangkut selain Nabi Saw.
Subhi al-Shalih memformulasikan hadis menjadi dua pokok yaitu ilmu hadis
riwayah dan ilmu hadis dirayah.
Hadis merupakan simbol kewenangan Rasulullah Saw. dan
merupakan sumber kesinambungan dengan masa lalu. Ilmu hadis riwayah
adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw., baik berupa
perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat Nabi Saw., dan segala sesuatu yang
disandarkan kepada para sahabat dan tabi’in. Sedangkan, pembahasan yang
berkaitan dengan sanad dan matan hadis dimasukkan dalam kategori ilmu
hadis dirayah2. Secara garis besar, hadis merupakan berita ucapan, perbuatan,
dan hal ihwal Nabi Saw.
B. Sunnah
Sunnah pada dasarnya tidak sama dengan hadis. Dari segi bahasa,
sunnah adalah jalan keagamaan yang ditempuh oleh Nabi Saw. Yang
tercermin dalam perilakunya yang suci. Ulama mutaqaddimin menganggap
sunnah sebagai sesuatu yang diambil dari Nabi Saw. tanpa membatasi waktu.
Sementara, ulama mutaakhirin menganggap bahwa sunnah maupun hadis

1
Muhammad Ajjaj al-Khatib. Usul al-Hadis: Ulumuhu wa Mustalahuhu (Beirut: Dar al Fikr, 1975),
hal 27-28

2
Subhi al-Shalih. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. Terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2000) hal 101

6
memiliki pengertian yang sama yaitu segala ucapan, perbuatan, atau
ketetapan Nabi Saw.
Secara garis besar, sunnah adalah model kehidupan Nabi Saw. atau
dengan kata lain merupakan jejak dan langkah beliau yang terbentuk melalui
tindakan dan ucapannya.
C. Epistemologi
Kata epistemologi berasal dari bahasa Yunani yaitu episteme
(pengetahuan) dan logos (ilmu). Jadi, epistemologi merupakan suatu ilmu
yang mengkaji tentang sumber pengetahuan atau asal mula metode, struktur,
dan valid tidaknya suatu pengetahuan.
Dalam pembahasan hadis dan sunnah, kajian epistemologi diperlukan
untuk mengetahui sumber hadis dan sunnah, bagaimana metode penulisan atau
pengumpulannya, serta meneliti ke-sahih-an (validitas) hadis dan sunnah
tersebut.

7
BAB III
PEMBAHASAN

A. Sumber Hadist dan Sunnah


Penulisan hadits secara konstitusional dimulai pada masa khalifah
’Umar Ibn ’Abdul ’Aziz yang memerintahkan penulisan hadits kepada para
’Ulama. Hasil penulisan kemudian dikirim kepada Khalifah. Kebijakan ini
menjadi kebijakan pemerintahan yang kemudian disebar ke berbagai wilayah.
Beberapa ulama yang mendapatkan perintah untuk menulis hadits antara lain
Murrah Ibn Katsir dan Abu Bakar Ibn Muhammad Ibn Hazm.3
Pada masa Nabi Muhammad SAW, tradisi perekaman/penulisan hadits
sudah dilakukan oleh sahabat yang jumlahnya masih sedikit, dan itupun masih
dalam bentuk shahifah-shahifah. Meskipun sebenarnya ada semangat untuk
melakukan penghimpunan hadits Nabi, namun di lain pihak para sahabat lebih
berkonsentrasi pada penghimpunan Al-Qur’an. Hal ini semata-mata demi
menghindari kerancuan antara Al-Qur’an dengan Hadits. 4Terlebih lagi adanya
suatu riwayat hadits disebutkan bahwa Nabi SAW. melarang penulisan hadits
(al-Nawawi, tt:129). Adanya larangan penulisan hadits ini membuat para
sahabat mengandalkan daya ingat untuk menghafal hadits-hadist Rasulullah.
Sudah diakui bahwa masyarakat Arab pada masa itu masyhur dengan daya
hafal dan pengingatan yang kuat. Sehingga, dalam perkembangannya,
transmisi hadits dari pendengar awal kepada pendengar berikutnya
(masyarakat) dilakukan dengan cara periwayatan. Maka, kalau kita membaca
kitab hadits, akan ditemukan sanad (jalur) periwayatan dengan kalimat: ‫حدثنا‬
(telah berkata kepadaku).

3
al-Razzāq, Abd. (1966). Tamhīd li Tārīkh al-Islāmiyah. Kairo: Lajnah al-Ta’līf wa al-Tarjamah wa
al-Naṣr. Jil. IX

4
Al-Sholih, Subhi. (2009). Ulumul Hadits wa Mushtholahuhu, Beirut: Dar al-‘Ilmi al- Malayyin.

8
B. Metode Penulisan dan Pengumpulan Hadist dan Sunnah

Di dalam kitab Ar-Risalah Juz I halaman 10-11, terdapat sebuah

riwayat yang menjelaskan tentang sebuah surat yang ditujukan kepada Imam

Syafi’i. Surat itu berasal dari seorang Gubernur yang bernama Abdurrahman

Al-Mahdi. Melalui surat tersebut, Gubernur menyampaikan sebuah pertanyaan

tentang bagaimana memahami makna Al-Qur’an sebagai sumber syari’at. Atas

dasar surat ini, kemudian Ali bin al-Madini meminta kepada Imam Syafi’i

menjawab surat tersebut. Imam Syafi’I di dalam kitabnya ar-Risalah Juz II


halama 21-25 menjelaskan bahwa untuk memahami makna Al-Qur’an, maka

dibutuhkan suatu penjelasan (bayan), yaitu: 1) Bayan Ilahi, penjelasan Allah

yang terdapat dalam Al-Qur’an. 2) Bayan Nabawi, penjelasan dari Rasulullah

Saw. dan 3) Ijtihad.

Keberadaan Bayan Nabawi -dalam hal ini adalah hadits Nabi

Muhammad Saw.- berkaitan dengan peran para sahabat dan ulama dalam

melestarikannya. Upaya yang dilakukan oleh Ulama dalam melestarikan

hadits antara lain dengan tradisi rihlah ilmiyah. Yaitu suatu tradisi melakukan

perjalanan untuk melakukan validasi, melacak, mendengarkan dan

mendapatkan suatu hadits.

Pada masa Khulafaurrasyidin, empat khalifah awal pasca Nabi

Muhammad, kemurnian hadits masih sangat terjaga. Namun dalam

perkembangannya, perjalanan suksesi beberapa kekhalifahan berikutnya

diwarnai penyalahgunaan dan pemalsuan hadits. Hal ini lebih disebabkan oleh

nafsu politik kekuasaan.

Pada masa atba’ al-tabi’in, penghimpunan hadits disusun secara lebih

teratur. Pada masa ini lahir ulama seperti Imam al-Bukhori. Imam al-Bukhori

merupakan salah satu ulama perintis penghimpunan hadits yang sistematis. Ia

9
berhasil menyusun sebuah kitab Hadits dengan judul al-Jami’ ash-Shahih al-

Musnad min Hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam yang kemudian

dikenal dengan nama Shahih Bukhori. Kitab shahihnya dikenal sebagai afshoh

al-kutub ba’da Al-Qur’an (Kitab yang paling sahih setelah Al-Qur’an). Ia

melakukan kerja ilmiah untuk mencari hadits sejak usia 16 Tahun. Kitab

pertama yang ia susun adalah al-Tarikh al-Kabir, saat berada di Madinah yang

dilakukannya di samping makam Rasulullah. Dalam usahanya mencari hadits

lebih dari 16 tahun ia lakukan, dengan menjelajah ke berbagai negara antara

lain Khurasan, Mesir, Basrah, Kufah, Syam, Himsi dan ’Asqalan. Dari rihlah

’ilmiah-nya ini, ia berhasil menghimpun 600.000 hadits, 200.000 di antaranya

hafal di luar kepala beserta sanadnya.5

Di samping Imam Bukhori, masih banyak ulama-ulama hadits yang

lahir pada masa atba’ at-tabi’in. Antara lain Imam Muslim, lahir pada tahun

204 H dan juga salah satu murid Imam al-Bukhori, menyusun kitab ash-

Shahih (dikenal dengan Shahih Muslim). Imam Tirmidzi, lahir pada tahun 209

H, ia juga meriwayatkan hadits dari Imam Bukhori, menyusun kitab al-Jami’

al-Kabir (dikenal dengan Sunan Tirmidzi). Kemudian Imam Nasa’i, lahir

tahun 215 H, salah satu murid Imam Muslim, menyusun kitab as-Sunan al-

Kubra (dikenal dengan Sunan Nasa’i). Atas rahmat dan ridlo Allah Swt. serta
kerja keras mereka keotentikan hadits dapat terjaga hingga sekarang.

Berdasarkan sedikit penjelasan di atas, dapat diperoleh 3 hikmah,

yaitu: 1) Para sahabat, tabi’in dan atba’ at-tabi’in sangat berhati-hati untuk

menyampaikan suatu hadits dan selalu memastikan bahwa hadits yang akan

disampaikan benar-benar berasal dari Rasulullah baik dari segi lafadz maupun

5
Witono, Toton. Imam al-Bukhori dan Kitab Tarikh al-Kabir. Jurnal Studi Ilmu-Ilmi Al-Qur’an dan
Hadits. Vol. 6. No. 1., 2005

10
maknanya. 2) Para tabi’in dan atba’ at-tabi’in rela melakukan perjalanan jauh

dan membutuhkan waktu berhari-hari untuk melacak satu hadits. Hal ini

dilakukan semata-mata untuk menjaga keotentikan dan kesahihan hadits. 3)

Imam Bukhori, Imam Muslim, Imam Tirmidzi, Imam Nasa’i adalah contoh

ulama yang telah berjasa besar dalam menjaga keotentikan hadits.

C. Validitas Hadist dan Sunnah


Dalam filsafat ilmu, validitas sebuah ilmu pengetahuan bisa diukur
dengan menggunakan Teori Kebenaran (Theory of Truth). Dalam
perkembangannya, teori kebenaran (theory of truth)terbagi menjadi tiga:6
a. Teori Koherensi
Teori ini menyatakan bahwa suatu proposisi dianggap benar
apabila suatu pernyataaan tersebut koheren atau konsisten atau saling
berhubungan dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap
benar. Misalnya, terdapat sebuah statemen “Semua manusia membutuhkan
makanan” yang bernilai benar, maka statemen “Syarif adalah manusia,
maka ia memerlukan makanan” adalah benar juga, sebab sesuai dengan
statemen pertama. Metode yang dikembangkan adalah deduktif.
b. Teori Korespondensi
Teori ini menjelaskan bahwa suatu proposisi benar jika materi
pengetahuan yang dikandung pernyataan tersebut saling berkesesuaian
dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Misalnya saja
dikatakan bahwa “Lamongan ada di Jawa Timur”, proposisi ini bernilai
benar, karena sesuai dengan kenyataan. Metode yang digunakan adalah
induktif.
c. Teori Pragmatis
Teori kebenaran ini memberikan eksplanasi bahwa suatu proposisi
dianggap benar apabila pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam

6
Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), 133-135.

11
kehidupan praksis. Oleh sebab itu, kebenaran proposisi bisa berubah-ubah
selaras dengan masih memiliki fungsi atau tidak dalam kehidupan
manusia. Misalnya saja, teori hermeneutika dalam proses interpretasi
Alquran adalah benar, sebab ia menjadi solusi atas problem yang mendera
umat Islam di era kontemporer ini.
Untuk menjaga keotentikan hadits, para ulama di samping
melakukan klarifikasi hadits juga melakukan penghimpunan dan kemudian
dibukukan. Untuk hal ini, kadang seorang ulama harus melakukan
perjalanan jauh hanya untuk melakukan klarifikasi kebenaran sebuah
hadits. Kegigihan sahabat dan ulama dalam menggali dan memelihara
suatu hadits menggambarkan betapa berat perjuangan mereka untuk
mendapatkan suatu kebenaran. Oleh karena itu, merupakan suatu
keniscayaan apabila dikemudian hari ulama-ulama hadits memperoleh
kedudukan semestinya setelah sekian lama melakukan perjalanan ilmiah
untuk menyelamatkan salah satu sumber syariat ini.
Perjalanan mencari suatu hadist (yang merupakan ilmu syari’at) -
yang oleh ulama sebut dengan rihlah ‘ilmiah- telah di mulai abad pertama
Hijriyah. Dalam melakukan aktifitas ini, seorang sahabat rela melakukan
perjalanan jauh, menginap berhari-hari, naik unta atau berjalan kaki demi
mendapatkan 1 (satu) hadist (ilmu). Tradisi perjalanan ini berlanjut ke
masa tabi’in. Mengapa demikian? Hadist-hadits Rasulullah saw. telah
tersebar di berbagai daerah, sehingga bisa jadi di suatu daerah ada hadits
A, tapi di daerah lain tidak ada hadis A. inilah kemudian yang menggugah
para sahabat melakukan perjalanan tersebut.
Gambaran tradisi ulama mencari hadits dapat dilihat sebagaimana
diceritakan oleh ’Atho’ Ibn Abi Robbah dalam al Khathib (1977:176):

”Abu Ayub al-Anshari pergi menuju kepada ’Uqbah Ibn ’Amir, dia
menanyakan tentang yang didengarnya dari Rasulullah saw. dan
tidak ada seorang pun yang mendengarnya dari Rasulullah selain
Abu Ayub dan ’Uqbah. Ketika sampai kepada tempat Maslamah
bin Mukholid al-Anshori –Amir Mesir- dia mengabarkannya dan
segera menuju kepada Maslamah...(dan seterusnya).”

12
Al-Baghdadi (1975:78-80) menunjukan riwayat lain yang

menggambarkan kesungguhan usaha sahabat untuk memperoleh sebuah

hadits, yaitu hadits tentang keutamaan orang yang mencari ilmu.

”Dari Katsir Bin Qais berkata: Saya duduk bersama Abi Darda di
Masjid Damaskus, ada seorang laki-laki yang datang kepadanya
dan berkata : ”wahai Abi Darda, saya datang dari Madinah, kota
Rasulullah SAW untuk sebuah Hadits, sampaikan kepadaku bahwa
engkau meriwayatkannya dari Nabi SAW, Abi Darda berkata:
Apakah kamu datang dengan dagangan. Jawabnya: tidak. Abi
Darda’ berkata: dan kamu tidak datang dengan selainnya
(dagangan). Jawabnya: tidak. Abi Darda berkata : Saya mendengar
dari Rasulullah SAW berkata: ”barang siapa menapaki suatu
perjalanan dalam rangka mencari ilmu maka Allah akan
memudahkan jalannya menuju surga, dan para malaikat
meletakkan sayap-sayapnya karena rela mencari ilmu dan
sesungguhnya bagi pencari ilmu maka akan memohonkan
ampunan baginya apa yang dilangit dan di bumi, hingga dua
kehidupan di air, dan sesungguhnya keutamaan ahli ilmu terhadap
ahli ibadah seperti keutamaan Purnama terhadap bintang-bintang.
Sesunggunya ulama adalah para pewaris Nabi dan para Nabi tidak
meriwayatkan Dinar dan Dirham, sesungguhnya mereka
mewariskan ilmu. Siapa yang mengambilnya maka ia mengambil
sesuantu yang besar”.

Contoh fakta historis di atas menunjukan betapa sahabat pada saat

itu haus untuk mendapatkan kebenaran, sehingga mereka berusaha keras

untuk mendapatkannya. Mereka berusaha untuk melacak kebenaran satu


hadits tentang ilmu yang pernah didengar. Meskipun mereka harus

melakukan perjalanan yang cukup jauh. Mengapa demikian krusial mereka

mempertahankan keotentikan suatu hadits? Seperti disinggung di atas,

bahwa hadits merupakan salah satu sumber hukum Islam. Maka,

keotentikan (keaslian) suatu hadits harus dijaga agar terhindar dari tahrif

(penyimpangan). Bagaiman cara menjaganya? Salah satu caranya adalah

13
dengan melacak sanad (jalur) periwayatannya, hingga kemudian dapat

dipastikan bahwa suatu hadits benar-benar datang dari Rasulullah saw.

Demi menjaga keotentikan hadits, para periwayatpun sangat

berhati-hati dalam menyampaikan suatu hadits. Sikap sangat hati-hati juga

dicontohkan oleh sahabat Anas bin Malik yang mengatakan:

“seandainya saya tidak khawatir jatuh dalam kesalahan, sungguh


telah kusampaikan segala sesuatu dari Rasulullah” (Khatib,
1977:93).

Kehati-hatian dalam meriwayatkan yang dilakukan oleh para

sahabat, juga ditiru oleh generasi tabi’in dan atba’ at tabi’in. Dengan

kondisi lingkungan sosial yang berbeda, perkembangan masyarakat yang

semakin maju dan dinamika yang semakin komplek, generasi terbaik

terakhir (atba’ at tabi’in) tidak akan meriwayatkan suatu hadits jika sanad-

nya tidak jelas.

D. Para Periwayat Hadis Shahih yang Terkenal


Berikut ini adalah para periwayat hadist shahih yang diterima oleh
muslim Sunni, yaitu:
1. Imam Bukhari (194-256 H), penyusun Shahih Bukhari
2. Imam Muslim (204-262 H), penyusun Shahih Muslim
3. Abu Dawud (202-275 H), penyusun Sunan Abu Dawud
4. At-Aturmudzi (209-279), penyusun Sunan At-Aturmudzi
5. An-Nasa’i (215-303 H), penyusun Sunan An-Nasa’i
6. Ibnu Majah (209-273 H), penyusun Sunan Ibnu Majah
7. Imam Ahmad bin Hambal, penyusun Musnad Ahmad
8. Imam Malik, penyusun Muwatta Malik
9. Ad-Darimi, penyusun Sunan Darimi

14
Selain itu, ada pula para periwayat hadist yang diterima oleh muslim
Syi’ah. Muslim syi’ah hanya mempercayai hadist yang diriwayatkan oleh
keturunan Muhammad Saw., melalui Fatimah az-Zahra, atau oleh pemeluk
Islam awal yang memihak Ali bin Abu Thalib. Syi’ah tidak menggunakan
hadist yang berasal atau diriwayatkan oleh mereka yang menurut kaum Syi’ah
diklaim memusuhi Ali, seperti Aisyah r.a., istri Rasulullah, yangberseteru
dengan Ali pada perang Jamal. Ada beberapa sekte dalam Syi’ah, tetapi
sebagian besar menggunakan kitab Ushul al-Kafi, Al-Istibshar, Al-Tahdzib,
Man La Yahduruhu al-Faqih, dan juga menerima sebagian hadist-hadist
Sunni.

15
BAB 1V
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Hadis merupakan berita ucapan, perbuatan, dan hal ihwal Nabi Saw.
2. Sunnah adalah model kehidupan Nabi Saw. atau dengan kata lain
merupakan jejak dan langkah beliau yang terbentuk melalui tindakan dan
ucapannya.
3. Demi menjaga keotentikan hadits, para periwayatpun sangat berhati-hati
dalam menyampaikan suatu hadits.
4. Salah satu caranya adalah dengan melacak sanad (jalur) periwayatannya,
hingga kemudian dapat dipastikan bahwa suatu hadits benar-benar
datang dari Rasulullah saw.
B. Implikasi

Dengan mempelajari dan memahami epistemology hadist dan sunnah,


penulis mendapat beberapa hikmah, yaitu:
1. Para sahabat, tabi’in dan atba’ at-tabi’in sangat berhati-hati untuk
menyampaikan suatu hadits dan selalu memastikan bahwa hadits yang
akan disampaikan benar-benar berasal dari Rasulullah baik dari segi
lafadz maupun maknanya.
2. Para tabi’in dan atba’ at-tabi’in rela melakukan perjalanan jauh dan
membutuhkan waktu berhari-hari untuk melacak satu hadits. Hal ini
dilakukan semata-mata untuk menjaga keotentikan dan kesahihan hadits.
3. Imam Bukhori, Imam Muslim, Imam Tirmidzi, Imam Nasa’i adalah
contoh ulama yang telah berjasa besar dalam menjaga keotentikan
hadits.

16
DAFTAR PUSTAKA

al-Razzāq, Abd. Tamhīd li Tārīkh al-Islāmiyah. Kairo: Lajnah al-Ta’līf wa al-


Tarjamah wa al-Naṣr. Jil. IX, 1966.
Al-Sholih, Subhi. Ulumul Hadits wa Mushtholahuhu, Beirut: Dar al-‘Ilmi al-
Malayyin, 2009.
Amien, Miska Muhammad. Epistemologi Islam, Jakarta: UI Press, 2006
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu, cet. Ke-2, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2005
Dardiri, A. Humaniora, Filsafat, dan Logika, cet. ke-1, Jakarta: Rajawali, 1986
Hassan, A. Qadir. Ilmu Musthalah Hadis, Bandung: Diponegoro, 1983
Husai, Abu Lubabah. Pemikiran Hadis Mu’tazilah, Jakarta: PUstaka Firdaus,
2003
Ihsan, Fuad. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rineka Cipta, 2010
Ilyas (ed.), Yunahar. Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis, cet. ke-1,
Yogyakarta: LPPI UMY, 1996
l-Khothib, ’Ajaj. As-Sunnah Qobla at-Tadwiin, Beirut: Dar al-Fikr, 1990.
Muhammad Ajjaj al-Khatib. Usul al-Hadis: Ulumuhu wa Mustalahuhu, Beirut:
Dar al Fikr, 1975
Subhi al-Shalih. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. Terj. Tim Pustaka Firdaus, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2000
Witono, Toton. Imam al-Bukhori dan Kitab Tarikh al-Kabir. Jurnal Studi Ilmu-
Ilmi Al-Qur’an dan Hadits. Vol. 6. No. 1., 2005
Zuhri, Muh. Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis,Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2003

17

Anda mungkin juga menyukai