Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH STUDI AL-QURAN DAN HADIST

“Teori Takhrij ; metode pemahaman Hadis melalui pendekatan


historis, antropologis, sosiologis dan filosofis”

Dosen Pengampu :
Dr.H.Mochamad Imamuddin,Lc.,M.A

Disusun Oleh :
Toifatin 19650029
Nurul Ismaya 19650121
Annisa Syafiqah 200605110021
Niken Dewi Sesanti 200605110040
Bukhori Mahfudh 200605110083
Nanda Afiq mukhdlor 200605110168

JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
TAHUN AJARAN 2021/2022
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat
dan karuniaNya, kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Studi
Al-Quran dan Hadist tepat waktu. Tidak lupa shalawat serta salam tercurah kepada
Rasulullah SAW yang syafaatnya kita nantikan kelak.
Penulisan makalah berjudul “Teori Takhrij ; metode pemahaman Hadis melalui
pendekatan historis, antropologis, sosiologis dan filosofis” dapat diselesaikan dengan baik.
Kami berharap makalah tentang metode pemahaman hadis ini dapat menjadi referensi bagi
pembaca untuk memahami lebih dalam lagi tentang metode pemahaman hadis. Selain itu,
kami juga berharap agar pembaca mendapatkan sudut pandang baru setelah membaca
makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih memerlukan penyempurnaan, terutama pada
bagian isi. Kami menerima segala bentuk kritik dan saran pembaca demi penyempurnaan
makalah. Apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, kami memohon maaf.
Demikian yang dapat kami sampaikan. Akhir kata, semoga makalah tentang metode
pemahaman hadis melalui pendekatan historis, antropologis, sosiologis dan filosofis ini dapat
bermanfaat. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Malang, 07 Desember 2021

Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………...1
1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………………..2
1.3 Tujuan……………………………………………………………………………..2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Takhrij Hadits ………………………………………………………3
2.2 Sejarah Ilmu Takhrij ……………………………………………………………4
2.3 Tujuan dan Manfaat Takhrij Hadits …………………………………………...6
2.4 Metode Pemahaman Hadis……………………………………………………...6
2.5 Pendekatan Interpretasi Hadis …………………………………………………7
2.6 Metode Pemahaman Hadis Melalui Pendekatan Historis…………………..…8
2.7 Metode Pemahaman Hadis Melalui Pendekatan Antropologis ………………9
2.8 Metode Pemahaman Hadis Melalui Pendekatan Sosiologis………………….10
2.9 Metode Pemahaman Hadis Melalui Pendekatan Filosofis …………………..11
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ……………………………………………………………………..12
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………….13
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hadits adalah salah satu dari 4 sumber hukum Islam yang disepakati para ulama
menjadi rujukan bagi umat muslim untuk menjelaskan hukum-hukum yang terdapat dalam Al
Quran. Dikutip dari buku Memahami Ilmu Hadits oleh Asep Herdi, secara etimologis hadits
dimaknai sebagai jadid, qorib, dan khabar. Jadid adalah lawan dari qadim yang artinya yang
baru. Sedangkan qarib artinya yang dekat, yang belum lama terjadi. Sementara itu, khabar
artinya warta yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada yang
lainnya.
Hadits memiliki beberapa fungsi yaitu Bayan at-taqrir, at-tafsir, at-tasyri dan
an-naskh. Bayan at-taqrir berfungsi untuk menetapkan dan memperkuat apa yang telah
diterangkan dalam Al Quran. Bayan at-tafsir berfungsi untuk memberikan rincian dan tafsiran
terhadap ayat-ayat Al-Quran yang masih mujmal (samar atau tidak dapat diketahui),
memberikan persyaratan ayat-ayat yang masih mutlak dan memberikan penentuan khusus
ayat-ayat yang masih umum. Bayan at-tasyri berfungsi untuk mewujudkan suatu hukum atau
ajaran yang tidak didapati dalam Al-Quran. Bayan an-nasakh, secara bahasa an-naskh
memiliki arti yang beragam, diantaranya al ibtal (membatalkan), al ijarah (menghilangkan), at
tahwil (memindahkan) atau at taghyir (mengubah). Adapun yang disebut dengan bayan an
nasakh adalah adanya dalil syara' (yang dapat menghapuskan ketentuan yang telah ada)
karena datangnya dalil berikutnya.
Dalam memahami sebuah hadits, terdapat beberapa pendekatan dalam metode
pemahaman hadis yaitu pendekatan historis, antropologis, sosiologis dan filosofis. Metode
dan pendekatan dalam memahami hadis menjadi urgen pada masa sekarang. Sehingga perlu
adanya pembahasan lebih lanjut mengenai metode pemahaman hadis melalui pendekatan
historis, antropologis, sosiologis dan filosofis melalui makalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
1) Apa yang dimaksud dengan takhrij hadits?
2) Bagaimana sejarah takhrij hadits?
3) Apa tujuan dan manfaat takhrij hadits?
4) Apa saja metode pemahaman hadis?
5) Bagaimana pendekatan interpretasi hadits?
6) Bagaimana metode pemahaman hadis melalui pendekatan historis?
7) Bagaimana metode pemahaman hadis melalui pendekatan antropolis?
8) Bagaimana metode pemahaman hadis melalui pendekatan sosiologis?
9) Bagaimana metode pemahaman hadis melalui pendekatan filosofis?

1.3 Tujuan
1) Mengetahui dan memahami tentang takhrij hadits
2) Mengetahui dan memahami sejarah takhrij hadits
3) Mengetahui dan memahami tujuan dan manfaat takhrij hadits
4) Memahami macam-macam metode pemahaman hadis
5) Memahami pendekatan interpretasi hadits
6) Memahami metode pemahaman hadis melalui pendekatan historis
7) Memahami metode pemahaman hadis melalui pendekatan antropolis
8) Memahami metode pemahaman hadis melalui pendekatan sosiologis
9) Memahami metode pemahaman hadis melalui pendekatan filosofis
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Takhrij Hadits


Secara bahasa kata takhrij berasal dari kata “kharaja” yang artinya nampak dari
tempatnya, atau keadaannya, dan terpisah, dan kelihatan. Demikian juga kata “al ikhraj” yang
artinya menyampaikan dan memperlihatkannya. Dan “al-makhraj” artinya tempat keluar serta
akhrajal-hadits wa kharrajahu artinya menampakkan dan memperlihatkan hadis kepada orang
dengan menjelaskan tempat keluarnya (asal-usulnya).
Secara terminologi, takhrij menurut ahli hadits adalah bagaimana seseorang
menyebutkan hadits dengan sanadnya sendiri dalam kitab yang dikarangnya.1 Misalnya,
Imam Bukhari mengeluarkan hadits berikut sanad-sanadnya dari kitab yang dikarangnya.
Dalam konteks ini tokoh hadist tersebut bertindak sebagai mukharrij.
Para pengkaji ilmu keislaman tentu sering mendengar istilah takhrij hadits Definisi
Takhrij sendiri adalah sebagai berikut :
‫ ثُ َّم بَيَانُ َمرْ تَبَتِ ِه ِع ْن َد ْال َحا َج ِة‬،‫صا ِد ِر ِه اَأْلصْ لِيَّ ِة الَّتِي َأ ْخ َر َج ْتهُ بِ َسنَ ِد ِه‬ ِ ‫ض ِع ْال َح ِدي‬
َ ‫ث فِي َم‬ َ ْ‫اَلدِّاَل لَةُ َعلَى َمو‬
Artinya, “Menunjukkan asal suatu hadits di dalam sumber aslinya yang meriwayatkan hadits
tersebut beserta sanadnya, lalu menjelaskan status hadits tersebut bila dibutuhkan.”
Definisi takhrij yang dikemukakan oleh Mahmud Al-Thahan. Beliau mengatakan
bahwa takhrij adalah menunjukkan tempat hadist pada sumber-sumber aslinya, dimana hadist
tersebut dikeluarkan lengkap dengan sanad-sanadnya, kemudian menjelaskan derajatnya
ketika diperlukan.2
Sebagai sebuah disiplin ilmu, takhrij hadis lebih tumbuh dan berkembang
dibandingkan ilmu-ilmu hadis lainnya seperti tarajim al-ruwat (kajian biografi para perawi)
dan nasikh wa mansukh. Namun sebenarnya praktek takhrij hadis sudah dilakukan pada awal
perkembangan ulum al-hadis. Penelusuran yang dilakukan dalam proses takhrij hadis,
bermuara kepada kitab atau literatur yang menyebutkan hadis beserta sanadnya yang dimiliki
sendiri oleh penulis kitab atau literatur tersebut, yang tersambung sampai Rasulullah.

1
Abdul Qadir ibn Abdul Hadi, Thuruq al-Takhrij al-Hadis Rasulullah,
Penerjemah: Said Aqil Husain al-Munawwar, Semarang, Dina Utama, 1994, hlm.2
2
Mahmud al-Thahhan, Ushul al-Takhrij wa al-Dirasah al-Asanid, Penerjemah:
Ridwan Nasir, Surabaya, Bina Ilmu 1995, hlm.5
2.2 Sejarah Ilmu Takhrij
Menurut al-Thahhan, di saat para ulama dan peneliti hadits terdahulu mempunyai
pengetahuan yang baik dan luas serta hubungan yang kuat dengan sumber hadits, mereka
tidak membutuhkan buku-buku takhrij. Sebab dengan pengetahuan yang luas serta hubungan
yang kuat tersebut mereka dengan mudah bisa membuktikan keshahihan sebuah hadits,
menjelaskan kitab-kitab yang menjadi sumbernya, bahkan mereka mengetahui metode dan
cara-cara penyusunan kitab-kitab sumber tersebut.3
Ulama yang pertama kali melakukan Takhrij menurut Mahmud At-Thahan adalah
Al-Khatib Al baghdadi (wafat pada tahun 436 H). Kemudian dilakukan pula oleh Muhammad
bin Musa Al-Hazimi (wafat pada tahun 584 H) dengan karyanya yang berjudul Takhrij
Ahaadits Al-Muhadzab. Beliau mentakhrij kitab fiqih Syafi’iyyah Karya Abu Ishaq
Asy-Syirazi. Ada juga Ulama lainnya seperti Abu Qasim Al-Mahrawani. Karya dua Ulama
ini hanya beberapa mahtutoh (manuscript) saja. Pada perkembangan selanjutnya, cukup
banyak bermunculan kitab yang berupaya mentakhrij kitab-kitab dalam berbagai Ilmu
Agama.4
Diantara kitab-kitab takhrij tersebut sebagai berikut
1) Takhrij Ahadits Al-Muhadzdzab, karya muhammad bin musa Al-Hazim Asy-syafi
(w.548 H).
2) Takhrij Ahadis Al-mukhtashar Al-kabir li Ibni Al-hajib, karya Muhammad bin
Ahmad Abdul Hadi Al-Maqdis (w.744 H).
3) Nashbu Ar-Rayah li Ahadits Al-Hidayah li Al-Marghinani, karya Abdullah bin yusuf
Az-Zaila’i (w.762 H).
Takhrij Hadits merupakan suatu kegiatan yang amat penting, khususnya bagi seorang
peneliti hadits. Tanpa dilakukan kegiatan Takhrij Hadits terlebih dahulu, maka kita akan
kesulitan untuk mengetahui asal-usul riwayat hadis yang akan diteliti, berbagai riwayat yang
telah meriwayatkan hadits itu, dan ada tidak adanya penguat, baik itu syahid atau mutabi’.
Bagi para ulama terdahulu, kegiatan Takhrij Hadits tidaklah diperlukan, mengingat luasnya
pengetahuan mereka dan adanya kedekatan hubungan dengan sumber-sumber hadits.
Luasnya pengetahuan dan kedekatan itulah mereka dapat dengan mudah menentukan kualitas
suatu hadits, menjelaskan kitab-kitab asal yang menjadi sumbernya, bahkan dapat
mengetahui metode-metode penyusun kitab asal.

3
Al-Thahhan, Ushul al-Takhrij Wa dirasaat al - Asanid, Riyadh, Maktabah al-Ma’arif, 1978, hal 113.
4
Al-Thahhan, Ushul al-Takhrij Wa dirasaat al - Asanid, Riyadh, Maktabah al-Ma’arif, 1979, hal 16.
Munculnya kegiatan Takhrij Hadits ini disebabkan berkembangnya berbagai macam
disiplin ilmu lain, seperti fiqh, tafsir, dan sejarah. Di dalam karya disiplin ilmu lain itulah
terkadang penulisnya tidak menyebutkan sumber-sumber hadits yang mereka kutip di
dalamnya. Hal inilah yang mendorong para ahli hadits untuk melakukan penelusuran hadis ke
sumber-sumber asalnya. Dari sinilah bermunculan kitab-kitab Takhrij Hadits, seperti yang
ditulis oleh al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) yang berjudul Takhrij al-Fawaid
al-Muntakhabah al Shihhah wa-al-Gharib, al-Zayla’i (w.762 H) yang berjudul Nashb
al-Rayah li-Ahadits al-Hidayah, atau karya Ibn al-Mulaqqin (w.804 H) yang berjudul al-Badr
al-Munir fi Takhrij al-Ahadits wa-al-Atsar al-Waqiah fi Syarh al-Kabir.
Para ahli hadits yang menyusun kitab-kitab Takhrij itu tidak memberikan
langkah-langkah atau metode melakukan Takhrij Hadits. Tercatat, baru pada abad ke-20 lah
ditemukan buku yang secara khusus menyusun metode Takhrij Hadits. Ada dua tokoh yang
dianggap menjadi inisiator atau perintis metode Takhrij Hadits, yaitu Ahmad bin Ash-Shiddiq
al-Ghumari (1320-1380 H/1902-2960 M) dengan bukunya yang berjudul Hushul al-Tafrij
bi-Ushul al-’Azwa-al-Takhrij dan Mahmud al-Thahhan (1353 H/1935 M-Sekarang) dengan
bukunya Ushul al-Takhrij wa-Dirasah al-Asanid.
Akan tetapi, buku yang ditulis oleh Ahmad al-Ghumari bukan berarti menjadi buku
pertama yang menulis tentang metode Takhrij Hadits, karena Mahmud al-Thahhan sendiri
dalam Muqaddimah bukunya mengaku belum menemukan buku yang secara khusus
menyusun tentang metode Takhrij Hadits. Abdullah bin Abdul Muhsin al-Tuwaijiri
memberikan jawaban atas permasalahan ini dalam artikelnya Nasy’ah ‘Ilm al-Takhrij
wa-Athwaruh. Menurutnya, perintis dari metode Takhrij adalah Ahmad al-Ghumari karena
Mahmud al-Thahhan baru menyelesaikan bukunya di tahun 1398 H/1978 M, sedangkan
Ahmad al-Ghumari wafat di tahun 1380 H/1960 M. Artinya, kitab yang ditulis oleh Ahmad
al-Ghumari tentang metode Takhrij, yaitu Ushul al-Takhrij bi-Ushul al-’Azw wa-al-Takhrij
sudah ada 18 tahun lebih dulu sebelum buku Mahmud al-Thahhan diselesaikan, yaitu Ushul
al-Takhrij wa-Dirasah al-Asanid.
Meskipun Ahmad al-Ghumari adalah perintis metode Takhrij Hadits, akan tetapi
bukunya kalah populer dengan buku yang ditulis oleh Mahmud al-Thahhan, termasuk di
Indonesia. Hal ini disebabkan karena buku Mahmud al-Thahhan dijadikan bahan ajar di
Universitas al-Imam Muhammad bin Sa’ud al-Islamiyyah, Riyadh, Arab Saudi, selama
hampir 20 tahun. Universitas tersebut merupakan salah satu Universitas terbesar di Arab
Saudi dan memiliki puluhan ribu Mahasiswa.
2.3 Tujuan dan Manfaat Takhrij Hadits
Tujuan utama dilakukannya Takhrij Hadits adalah
1) Mengetahui sumber asli hadits yang ditakhrij.
2) Mengetahui kualitas atau keadaan hadits yang berkaitan dengan maqbul/diterima
maupun mardudnya/ditolaknya.5
Sumber-sumber hadits yang asli dimaksud yaitu kitab-kitab hadits, dimana para
penyusunnya menghimpun hadits-hadits itu melalui penerimaan dari guru-gurunya dengan
rangkaian sanad yang sampai kepada Nabi Muhammad SAW, seperti kitab al-Sittah (sahih
al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa’I dan Ibnu Majah). Adapun penjelasan
terhadap nilai-nilai hadits, diterima atau tidaknya sebuah hadits atau sahih, hasan atau dhaif
nya dan lain-lain, dilakukan bila perlu saja dan tidak merupakan esensial dalam takhrij.
Takhrij hadits sangat beragam untuk memperluas pengetahuan seseorang tentang
seluk beluk kitab hadits dalam berbagai bentuk dan sistem penyusunannya, mempermudah
seseorang dalam mengembalikan sesuatu hadits yang ditemukannya kedalam sumber aslinya,
sehingga dengan demikian akan mudah pula mengetahui derajat keshahihan tidaknya dari
hadits tersebut.
Beberapa manfaat dari kegiatan takhrij hadits diantaranya adalah :
1) Mengetahui sumber-sumber hadits, kitab-kitab asal dimana suatu hadits berada,
beserta ulama yang meriwayatkannya.
2) Dapat menambah perbendaharaan sanad hadits melalui kitab-kitab yang dirujuk.
semakin banyak kitab asli yang memuat suatu hadits maka semakin banyak pula
perbendaharaan sanad yang kita miliki.
3) Dapat memperjelas keadaan sanad dengan membandingkan riwayat hadits yang
banyak itu, maka dapat diketahui apakah riwayat tersebut munqathi’, mu'dhal, dan
lain-lain, demikian juga dapat diketahui, apakah status riwayat tersebut shahih, hasan
dan dhaif.
4) Dapat memperjelas kualitas suatu hadits dengan banyaknya riwayat, suatu hadits
dhaif kadang diperoleh melalui suatu riwayat lain yang shahih, hadits yang shahih itu
mengangkat kualitas hadits yang dhaif tersebut ke derajat yang lebih tinggi.
5) Dapat memperjelas periwayat hadits yang samar, dengan adanya takhrij kemungkinan
dapat diketahui nama periwayat yang sebenarnya secara lengkap.

5
Nizar Ali, Makalah Studi al-Hadits Program Magister (Jakarta:2008), hlm 2
6) Dapat memperjelas periwayat hadits yang tidak diketahui namanya, yaitu melalui
perbandingan diantaranya sanad yang ada.
7) Dapat menafikkan pemakaian lembaga periwayatan dalam periwayatan hadits oleh
seorang mudallis.
8) Dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya riwayat dan memperjelas nama
periwayat yang sebenarnya.
9) Dapat memperkenalkan periwayatan yang tidak terdapat dalam satu sanad.
10) Dapat menghilangkan unsur syadz dan membedakan hadits yang mudraj.
11) Dapat menghilangkan keraguan dan kekeliruan yang dilakukan oleh periwayat.
12) Dapat membedakan antara periwayatan secara lafal dengan periwayatan secara
makna.
13) Dapat menjelaskan waktu dan tempat turunnya hadits dan lain-lain.6

2.4 Metode Pemahaman Hadis


Kata metode berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau jalan.7
Dalam bahasa Arab disebut thariqat atau manhaj. Dalam bahasa Indonesia, kata metode
mengandung arti cara yang teratur dan berpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam
ilmu pengetahuan dan sebagainya) cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan
satu kegiatan guna mencapai suatu yang ditentukan.8 Dalam memahami sebuah hadis
diperlukan metode dan pendekatan tertentu sebagai langkah metodologis. Metode diperlukan
dalam rangka mengetahui langkah apa saja yang hendak dilakukan seseorang, sedangkan
pendekatan adalah upaya praktis yang dilakukan dalam mewujudkan metode tersebut. Ada
beberapa macam metode dalam memahami hadis. Berikut penjelasan dari metode-metode
pemahaman hadis :
a) Metode Ijmali (Global)
Metode Ijmali adalah metode yang menjelaskan dengan ringkas makna yang
dikandung sebuah hadis secara keseluruhan dengan menggunakan bahasa yang mudah
dipahami. Metode ini juga menjelaskan secara global apa yang dimaksud tanpa
menerangkan lebih lanjut segala aspek yang berhubungan dengan hadis tersebut baik
itu sanadnya maupun matannya. Ciri-ciri metode ini adalah langsung melakukan
penjelasan hadis dari awal hingga akhir hadis tanpa ada perbandingan, adapun

6
Pojka Akademik UIN Sunan Kalijaga, Metodologi Penelitian (Yogyakarta:2006), hlm 11-14.
7
Fuad Hasan, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1997), 16.
8
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia cet.10, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), 580-581.
kelebihan dari metode ijmali adalah ringkas dan padat dalam memahami hadis.
Peneliti akan memperoleh pemahaman hadis dalam waktu yang sangat singkat tanpa
harus menampilkan aspek sanad maupun kritik matan.
b) Metode Tahlili (Analitis)
Secara etimologi, tahlili berarti menguraikan atau menganalisis. Metode tahlili
merupakan penjelasan secara rinci dan mendetail. Memahami hadis dengan
menggunakan metode ini berarti menjelaskan hadis dengan memaparkan segala aspek
yang berhubungan dengan hadis tersebut, baik itu dari aspek sanad (perawi), uraian
makna kosakata, makna kalimat dan ungkapan yang terkandung dalam matan, faidah,
sampai kepada penjelasan mengenai kualitas, asbab al-wurud, mukharrij, bahkan
pendapat ulama mengenai hadis yang dimaksud.
c) Metode Muqaran (Komparatif)
Secara bahasa, muqaran berarti perbandingan atau komparatif. Metode
muqaran menekankan kajiannya pada aspek perbandingan (komparatif). Metode
muqaran jika digunakan untuk memahami hadis berarti menjelaskan makna hadis
tersebut dengan cara membandingkannya dengan hadis-hadis lain atau dengan ayat
Al-Qur’an.
Dalam penerapannya, metode ini dapat dibagi menjadi tiga bentuk. Pertama,
membandingkan ayat-ayat al-Qur’an atau hadis yang memiliki kesamaan topik
dengan redaksi yang berbeda. Kedua, membandingkan ayat al-Qur’an dengan hadis,
atau antara hadis satu dengan yang lain yang secara lahir terlihat kontradiktif. Ketiga,
membandingkan pendapat para ulama tentang penafsiran suatu ayat atau hadis.
Kelebihan metode muqaran adalah memberikan pengetahuan yang lebih luas
dibanding metode-metode yang lain, metode ini mendorong seorang peneliti untuk
mengkaji berbagai macam hadis, ayat-ayat al-Qur’an serta pendapat-pendapat ulama
mengenai hadis yang diteliti. Selain itu, dengan metode ini dimaksudkan dapat
diketahui makna sebenarnya dari sebuah ayat atau hadis.
d) Metode Maudhu'i (Tematik)
Secara bahasa, maudhu’i berarti masalah atau pokok permasalahan. Metode
maudhu'i merupakan sebuah metode memahami hadis dengan menghimpun
hadis-hadis yang terjalin dalam sebuah tema tertentu, yang kemudian dibahas dan
dianalisis sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Misalnya, menghimpun
hadis-hadis yang berbicara tentang puasa ramadhan, ihsan (berbuat baik) dan lain
sebagainya. Menurut Yusuf Qardhawi untuk dapat memahami al-Sunnah dengan
benar adalah dengan cara harus menghimpun semua hadits shahih yang berkaitan
dengan suatu tema tertentu. Selanjutnya mengembalikan kandungannya yang
mutasyabih kepada yang muhkam, yang muthlaq dengan yang muqayyad, yang ‘aman
dan yang khas. Sehingga tidak ada hadis yang bertentangan dan dapat diperoleh
makna yang lebih jelas.9
Menurut al-Farmawi, Metode maudhu'i adalah mengumpulkan hadis-hadis
yang terkait dengan satu topik atau satu tujuan kemudian disusun sesuai dengan asbab
al-wurud dan pemahamannya yang disertai dengan penjelasan, pengungkapan dan
penafsiran tentang masalah tertentu. Dalam kaitannya dengan pemahaman hadis
pendekatan tematik (maudhu'i) adalah memahami makna dan menangkap maksud
yang terkandung di dalam hadis dengan cara mempelajari hadis-hadis lain yang
terkait dalam tema pembicaraan yang sama dan memperhatikan korelasi
masing-masing sehingga didapatkan pemahaman yang utuh.10

2.5 Pendekatan Interpretasi Hadis


Kata “pendekatan” secara bahasa berarti proses, perubahan, dan cara mendekati
(dalam kaitannya dengan perdamaian atau persahabatan), atau usaha dalam aktivitas
penelitian untuk mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti, atau metode untuk
mencapai pengertian tentang penelitian. Dalam bahasa Inggris disebut approach yang juga
berarti pendekatan.11
Pendekatan dalam penelitian hadis dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama melalui
asbab al-wurud untuk hadis-hadis yang memiliki asbab al-wurud khusus. Pendekatan ini
dilakukan dengan cara meneliti asbab al-wurud secara langsung dan dapat dipahami maksud
dari redaksi hadis yang disabdakan Nabi dengan mempertimbangkan situasi dan perkara yang
melatarbelakangi munculnya hadis. Namun tidak semua hadits memiliki asbabul-wurud
khusus dan dibutuhkan perangkat lain untuk melakukan pendekatan pemahaman hadis.12
Untuk melakukan pendekatan pada hadis-hadis yang tidak memiliki asbab al-wurud tertentu,

9
M. Quraish Shihab, Tafsir Tematik atas Berbagai Persoalan Umat, cet.2,
(Bandung: Mizan, 1996), 14.
10
Maizuddin, Metodologi Pemahaman Hadis, (Padang: Hayfa Press, 2008),
113.
11
Ghazali Adeng Mukhtar, Ilmu Perbandingan Agama, (Bandung: Pustaka
Setia, 2000), 27.
12
Agil Husain Al-Munawwar, Asba>b al-Wuru>d : Studi Kritis atas Hadis
Nabi, Pendekatan Sosio-Historis, Kontekstual cet.1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001), 24-25.
maka dapat dilakukan analisis pemahaman hadis (fiqh al hadis) dengan menggunakan
berbagai macam pendekatan, baik historis, sosiologis, ilmiah, filosofis, antropologis bahkan
pendekatan psikologis.
Pendekatan-pendekatan ini dapat membantu seorang peneliti untuk memperoleh
pemahaman hadis yang lebih tepat, apresiatif dan akomodatif terhadap perubahan dan
perkembangan zaman.13 Menurut Fajrul Munawir, pendekatan adalah pola pikir (al-Ittijah
al-Fikri) yang dipergunakan untuk membahas suatu masalah.14

2.6 Metode Pemahaman Hadis Melalui Pendekatan Historis


Pemahaman hadis melalui pendekatan historis adalah metode memahami hadits
dengan cara memperhatikan dan mengkaji situasi atau peristiwa yang terkait dengan latar
belakang munculnya hadits. Pendekatan historis dalam hal ini juga dapat dikatakan sebagai
upaya memahami hadits dengan cara mempertimbangkan kondisi empiris pada saat hadis itu
disampaikan Nabi Muhammad SAW. Dengan kata lain, pendekatan historis adalah
pendekatan yang dilakukan dengan cara mengaitkan antara ide atau gagasan yang terdapat
dalam hadits dengan determinasi-determinasi sosial dan situasi historis curtural yang
mengitarinya.
Pendekatan model ini sebenarnya sudah dirintis oleh para ulama hadits sejak dahulu,
yaitu dengan munculnya ilmu asbabul wurud, yakni suatu ilmu yang menerangkan
sebab-sebab mengapa Nabi Muhammad SAW menuturkan sabdanya dan waktu
menuturkannya. Ada yang mendefinisikan ilmu asbabul wurud sebagai ilmu yang berbicara
mengenai peristiwa-peristiwa atau pertanyaan-pertanyaan yang terjadi pada saat hadits
tersebut disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Namun, hal ini belum efektif karena tidak
semua hadits memiliki asbabul wurud. Dengan demikian, pendekatan histori dapat digunakan
untuk menganalisis hadis Nabi secara universal dengan memperhatikan sejarah Nabi pada
masa awal.Sehingga dibutuhkan untuk mendukung asbabul wurud.15 Hal tersebut
memperhatikan konteks Nabi bersabda yang dilatarbelakangi oleh pergumulan peradaban dan
kondisi masyarakat setempat.
Salah satu contoh pendekatan historis ialah hadits tentang kepemimpinan perempuan.
Meski sebagian besar ulama sepakat tidak bolehnya seorang perempuan menjadi pemimpin

13
Agil Husain Al-Munawwar, Asbab al-Wurud : Studi Kritis atas Hadis
Nabi, Pendekatan Sosio-Historis, Kontekstual, 25.
14
Fajrul Munawir, Pendekatan Kajian Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2009),
138.
15
Agil, 2001, hlm. 27
publik, tetapi hadits ini tidak lantas melarang secara mutlak kepemimpinan perempuan,
karena secara historis hadis tersebut mempunyai kompleksitas sejarah, yaitu diawali dari
kisah Buwaran binti Syairawih bin Kisra (cucu Kisra yang pernah dikirimi surat oleh Nabi)
sebagai Ratu Persia, ketika Nabi mengirim surat kepada kakeknya yang pada masanya
menjadi raja meremehkan dan menghina Nabi, dan ketika cucunya diangkat sebagai ratu,
masyarakat tidak mengakui dan menghargainya. Hal tersebut disebabkan kepemimpinan
wanita masih dianggap tabu dan kemampuan yang belum terbukti. Sehingga masyarakat
melarang perempuan menjadi pemimpin, dimana mayoritas laki-laki masih berpengaruh.
Dalam pendekatan historis, biasanya pertanyaan yang ditekankan adalah mengapa
Nabi SAW bersabda demikian, bagaimana kondisi sosio-kultural masyarakat atau bahkan
politik pada saat itu, serta mengamati proses terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut.16

2.7 Metode Pemahaman Hadis Melalui Pendekatan Antropologis


Pemahaman hadis melalui pendekatan antropologis adalah suatu pendekatan yang
melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, tradisi dan
budaya yang berkembang pada saat hadis tersebut disabdakan.17 Tepatnya yaitu dengan
memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku itu pada tatanan nilai yang dianut dalam
kehidupan masyarakat manusia.18 Salah satu contoh yang dapat diaplikasikan dengan
pendekatan antropologis adalah sabda Nabi tentang pelukis. Hadits tersebut berisi larangan
untuk melukis karena menyerupai makhluk Allah. Memperhatikan kondisi antropologis
masyarakat Arab pada masa tersebut adalah sebagai penyembah berhala. Dimana hampir
mayoritas dapat menggambar dan memahat untuk dibuat berhala dan disembah yang masih
percaya dengan keyakinan animisme dan dinamisme. Sehingga sangat wajar ketika terdapat
hadis yang melarang untuk melukis.
Apabila antropologi dihubungkan dengan hadis, maka hadis yang dipelajari adalah
hadis sebagai fenomena budaya. Pendekatan antropologi tidak membahas salah benarnya
suatu hadis dan segenap perangkatnya, seperti keshahihan sanad atau matan dan sebagainya.
Wilayah pendekatan ini hanya terbatas pada kajian terhadap fenomena yang muncul dan ada
kaitannya dengan hadis tersebut. Dengan kata lain, pendekatan terbatas pada memperhatikan
terbentuknya pola-pola perilaku itu pada tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan
masyarakat.

16
Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadits (Yogyakarta: SUKA Pres UIN Sunan Kalijaga 2012), hlm. 69
17
Jajang A Rohmana, Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia : Sebuah Kajian
Awal.2015. hal 248-282.
18
Abdul Mustaqim, 2008.9
Kontribusi pendekatan antropologi terhadap hadits adalah ingin membuat uraian yang
meyakinkan tentang apa sesungguhnya yang terjadi dengan manusia dalam berbagai situasi
hidup dalam kaitan waktu dan ruang yang erat kaitannya dengan statement suatu hadits.19
Misalnya tentang haji, Perintah haji dalam hadits, terdapat beberapa praktik haji yang
meneruskan tradisi masyarakat Arab ketika itu. Dengan pendekatan tersebut diharapkan akan
memperoleh suatu pemahaman kontekstual progresif dan apresiasi terhadap perubahan
masyarakat yang merupakan implikasi dari adanya perkembangan ilmu pengetahuan.20

2.8 Metode Pemahaman Hadis Melalui Pendekatan Sosiologis


Pemahaman terhadap hadis - hadis Nabi Muhammad saw dimungkinkan juga melalui
pendekatan sosiologis. Pendekatan sosiologis dalam hadis mengacu pada berbagai aspek
kehidupan masyarakat yang hidup ketika hadis Nabi SAW disabdakan. Kajian sosiologi
terkait dengan masyarakat karena segala sesuatu yang berasal dari masyarakat,yaitu dengan
mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara berbagai gejala sosial seperti
ekonomi dengan agama, politik dengan agama atau antara gejala sosial dengan gejala non
sosial misalnya gejala geografis, biologis dan sebagainya.Sosiologi sebagai disiplin ilmu
yang kategoris membatasi diri pada apa yang terjadi dan bukan apa yang seharusnya terjadi
karena sosiologi dapat menetapkan bahwa suatu masyarakat di suatu tempat dan waktu
memiliki nilai-nilai tertentu namun selanjutnya tak dapat ditentukan bagaimana nilai-nilai itu
semestinya.21
Sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami ajaran
suatu agama,namun perlu di pahami bahwa hasil penelitian sosiologi dalam hal ini sosiologi
agama tidak mesti sama hasilnya dengan doktrin yang terdapat dalam teks suci agama yang
diteliti, karena ilmu ini tidak mengkaji benar tidaknya suatu agama melainkan bagaimana
agama tersebut dihayati dan diamalkan oleh pemeluknya.22 Dalam studi hadis sebagaimana
dijelaskan bahwa memahami kandungan hadis dapat melalui pendekatan berbagai macam
disiplin ilmu sosiologi, semakin banyak ilmu terkait sosiologi yang digunakan semakin
mungkin penelitian hadis menemukan kandungan hadis yang tidak dipahami secara parsial
tetapi mendapati keterkaitan hadis satu dengan lainnya dalam suatu masalah yang dapat
dipahami secara universal.
19
Benny Afwadzi, “Membangun Integrasi Ilmu-Ilmu Sosial dan Hadits Nabi”. Dalam Jurnal Living Hadits,
Volume 1, November 1, Mei (2016), hlm. 113-114.
20
M.Alfatih Suryadilga, Ulumul Hadits, (Yogyakarta:Teras, 2010), hlm. 89-91
21
Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi; Suatu Pengantar Edisi Revisi (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2014, cet 46), h. 17-18.
22
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), h. 402-403.
Dalam sejarah Islam, kajian sosiologis telah Ibn Khaldun (w. 808 H/1406 M) lakukan
saat mengajukan beberapa prinsip pokok terkait dengan fenomena dan peristiwa sosial dalam
sejarah Islam.23 Dalam Muqaddimahnya, Ibn Khaldun merinci kajian sosiologi sejarahnya
dalam enam bagian: (1) Peradaban yang manusia ciptakan; (2) Peradaban Arab nomaden,
masyarakat liar serta kabilah-kabilah; (3) Pemerintahan secara umum dan tingkatan-tingkatan
kekuasaan; (4) Berbagai negeri dan kota serta peradabannya; (5) Beragam mata pencaharian,
usaha dan profesi dan (6) Beragam Ilmu sifat-sifatnya, proses belajar-mengajar serta metode
dengan berbagai aspeknya.24 Melalui karyanya tersebut, Ibn Khaldun sesungguhnya telah
meletakkan teori-teori sosiologi terkait dengan sejarah dan agama. Ibnu Khaldun
menginterpretasikan hadis melalui pendekatan sosiologi dengan teori sosial yang
diformulasikan di kitab muqaddimahnya tersebut, hal mana yang tak dilakukan oleh ulama
hadis dalam kitab mereka maupun kitab syarh secara khusus seperti syarh Bukhari dan
Muslim maupun lainnya.
Studi hadis masa kini dengan menggunakan teori-teori sosiologi akan menarik
disebabkan kajian-kajian agama masih banyak yang dipahami secara normatif tanpa melihat
aspek sosial. Padahal ajaran Islam selain berisi hubungan dengan sang pencipta, juga
mengatur dan menekankan hubungan antar manusia. Pendekatan sosiologis menjadi sebuah
keniscayaan untuk mendekati pemahaman yang tepat terhadap hadis Nabi saw sesuai dengan
konteks hadis saat disabdakan dan memperoleh inti ajaran yang dapat kita pahami dalam
konteks kekinian.

2.9 Metode Pemahaman Hadis Melalui Pendekatan Filosofis


Pemahaman hadis melalui pendekatan filosofis adalah upaya untuk mencari inti,
hakikat dan hikmah dalam memahami suatu hadits. Pemahaman hadis dengan pendekatan
filosofis dilakukan dengan cara menarik tujuan atau maksud sebuah ucapan Rasul.25
Pendekatan filosofis ini, bukanlah hal baru dalam wacana Islam. Ushul Fiqh sebagai
metode memahami kitab suci dan khazanah Islam yang ditulis dalam bahasa Arab, bisa
disebut sebagai kajian filosofis. Sebab di dalam Ushul Fiqh terdapat kaidah-kaidah syariah
yang mencoba mengungkap tujuan dan hikmah di balik segenap aturan formal.

23
Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi; Suatu Pengantar, h. 27- 28.
24
Abu Zaid ‘Abd Rahman bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al{ad}rami al-Isybili; Ibn Khaldun,
Muqaddimah; al-‘Ubr wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar
(Beirut: Dar Ihya’ al-Turats| al- ‘Arabi, cet IV, t.th), h. 1-588.
25
Alfi Hidayah, “Metode Pemahaman Hadis NU dan Muhammadiyyah” (IAIN Tulungagung: Skripsi, 2015),
hlm.33
Kaidah-kaidah yang menyingkap tujuan dan hikmah syari’ah ini disebut dengan prinsip
maslahah.26
Walaupun pendekatan filosofis pada hakikatnya sama dengan prinsip maslahah, yaitu
sama-sama berorientasi pada tujuan dan kebermanfaatan, namun pendekatan filosofis dapat
memberikan perspektif baru tentang semangat teks secara keseluruhan yang pada gilirannya
akan memberikan pemahaman tentang maksud atau tujuan yang terkandung dalam sebuah
hadits.
Dalam pemahaman hadis Nabi, pendekatan filosofis atau prinsip maslahah, telah
banyak ditempuh oleh para ulama kontemporer, seperti Yusuf Qardhawi, Muhammad
al-Ghazali, dan lain-lain. Salah satu contohnya, yaitu pada hadits yang menyatakan bahwa
pemimpin itu harus berasal dari suku Quraisy. Apabila kandungan hadits tersebut dipahami
seperti itu, maka hal itu tidak sejalan dengan petunjuk yang terdapat dalam al-Qur’an yang
menyatakan bahwa pada dasarnya manusia itu sama, yang paling mulia dan utama di sisi
Allah dalam ketaqwaannya.27
Dengan demikian diperlukan pemaham secara filosofis bahwa hak kepemimpinan
bukan pada etnis Quraisy-nya, melainkan pada kemampuan dan kewibawaannya. Pada masa
Nabi, orang yang memenuhi syarat sebagai pemimpin dan dipatuhi oleh masyarakat adalah
dari kalangan Quraisy. Apabila suatu masa ada orang yang bukan suku Quraisy memiliki
kewibawaan dan kemampuan untuk memimpin, apalagi melebihi suku Quraisy, maka ia
dapat ditetapkan sebagai pemimpin atau kepala negara. Pemahaman kontekstual ini pertama
kali dipelopori oleh Ibnu Khaldun (808 H-1560 M).28

26
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam...op.cit, hlm 31
27
Lihat Q.S. al-Hujurat : 13
28
M. Syuhudi Ismail, “Metodologi Penelitian Hadis Nabi”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm 40
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Definisi takhrij yang dikemukakan oleh Mahmud Al-Thahan. Beliau mengatakan
bahwa takhrij adalah menunjukkan tempat hadist pada sumber-sumber aslinya, dimana hadist
tersebut dikeluarkan lengkap dengan sanad-sanadnya, kemudian menjelaskan derajatnya
ketika diperlukan. Adapun tujuan utama dilakukannya takhrij hadits diantaranya adalah
mengetahui sumber asli hadis yang ditakhrij dan mengetahui kualitas atau keadaan hadist
yang berkaitan dengan maqbul maupun mardudnya. Takhrij hadits juga memiliki beberapa
manfaat yaitu mengetahui sumber-sumber hadits, dapat memperjelas keadaan sanad dengan
membandingkan riwayat hadits yang telah ditemukan, dapat menjelaskan waktu dan tempat
turunnya hadits dan lain sebagainya.
Pada kegiatan takhrij hadits ini terdapat metode pemahaman hadis melalui beberapa
pendekatan yaitu pendekatan historis, antropologis, sosiologis dan filosofis. Metode dengan
pendekatan historis adalah metode memahami hadits dengan cara memperhatikan dan
mengkaji situasi atau peristiwa yang terkait dengan latar belakang munculnya hadits.
Pemahaman hadis melalui pendekatan antropologis adalah suatu pendekatan yang melihat
wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, tradisi dan budaya
yang berkembang pada saat hadis tersebut disabdakan. Pendekatan sosiologis dalam hadis
mengacu pada berbagai aspek kehidupan masyarakat yang hidup ketika hadis Nabi SAW
disabdakan. Sedangkan pemahaman hadis melalui pendekatan filosofis adalah upaya untuk
mencari inti, hakikat dan hikmah dalam memahami suatu hadits.
DAFTAR PUSTAKA

Mahmud al-Tahhan. 1995. Ushul al-Takhrij wa al-Dirasah al-Asanid.


Penerjemah : Ridwan Nasir, Bina Ilmu : Surabaya

Mustaqim, A. 2008. Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam Memahami Hadis


Nabi. Yogyakarta:Bidang Akademik UIN SUKA

Nata, Abuddin. 2001. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Pesada

Nizar Ali, Makalah Studi al-Hadits Program Magister, (Jakarta, 2008)

Rohmana, Jajang A. 2015. Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadits


di Indonesia:Sebuah Kajian Awal. Dalam Jurnal Holistic al-Hadits,
Vol.01, No. 02, Juli-Desember

Suryadilaga, A. 2012.Metode Syarah Hadis. Yogyakarta : Suka Press

Anda mungkin juga menyukai