Dosen Pengampu :
Dr.H.Mochamad Imamuddin,Lc.,M.A
Disusun Oleh :
Toifatin 19650029
Nurul Ismaya 19650121
Annisa Syafiqah 200605110021
Niken Dewi Sesanti 200605110040
Bukhori Mahfudh 200605110083
Nanda Afiq mukhdlor 200605110168
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………...1
1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………………..2
1.3 Tujuan……………………………………………………………………………..2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Takhrij Hadits ………………………………………………………3
2.2 Sejarah Ilmu Takhrij ……………………………………………………………4
2.3 Tujuan dan Manfaat Takhrij Hadits …………………………………………...6
2.4 Metode Pemahaman Hadis……………………………………………………...6
2.5 Pendekatan Interpretasi Hadis …………………………………………………7
2.6 Metode Pemahaman Hadis Melalui Pendekatan Historis…………………..…8
2.7 Metode Pemahaman Hadis Melalui Pendekatan Antropologis ………………9
2.8 Metode Pemahaman Hadis Melalui Pendekatan Sosiologis………………….10
2.9 Metode Pemahaman Hadis Melalui Pendekatan Filosofis …………………..11
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ……………………………………………………………………..12
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………….13
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1) Mengetahui dan memahami tentang takhrij hadits
2) Mengetahui dan memahami sejarah takhrij hadits
3) Mengetahui dan memahami tujuan dan manfaat takhrij hadits
4) Memahami macam-macam metode pemahaman hadis
5) Memahami pendekatan interpretasi hadits
6) Memahami metode pemahaman hadis melalui pendekatan historis
7) Memahami metode pemahaman hadis melalui pendekatan antropolis
8) Memahami metode pemahaman hadis melalui pendekatan sosiologis
9) Memahami metode pemahaman hadis melalui pendekatan filosofis
BAB II
PEMBAHASAN
1
Abdul Qadir ibn Abdul Hadi, Thuruq al-Takhrij al-Hadis Rasulullah,
Penerjemah: Said Aqil Husain al-Munawwar, Semarang, Dina Utama, 1994, hlm.2
2
Mahmud al-Thahhan, Ushul al-Takhrij wa al-Dirasah al-Asanid, Penerjemah:
Ridwan Nasir, Surabaya, Bina Ilmu 1995, hlm.5
2.2 Sejarah Ilmu Takhrij
Menurut al-Thahhan, di saat para ulama dan peneliti hadits terdahulu mempunyai
pengetahuan yang baik dan luas serta hubungan yang kuat dengan sumber hadits, mereka
tidak membutuhkan buku-buku takhrij. Sebab dengan pengetahuan yang luas serta hubungan
yang kuat tersebut mereka dengan mudah bisa membuktikan keshahihan sebuah hadits,
menjelaskan kitab-kitab yang menjadi sumbernya, bahkan mereka mengetahui metode dan
cara-cara penyusunan kitab-kitab sumber tersebut.3
Ulama yang pertama kali melakukan Takhrij menurut Mahmud At-Thahan adalah
Al-Khatib Al baghdadi (wafat pada tahun 436 H). Kemudian dilakukan pula oleh Muhammad
bin Musa Al-Hazimi (wafat pada tahun 584 H) dengan karyanya yang berjudul Takhrij
Ahaadits Al-Muhadzab. Beliau mentakhrij kitab fiqih Syafi’iyyah Karya Abu Ishaq
Asy-Syirazi. Ada juga Ulama lainnya seperti Abu Qasim Al-Mahrawani. Karya dua Ulama
ini hanya beberapa mahtutoh (manuscript) saja. Pada perkembangan selanjutnya, cukup
banyak bermunculan kitab yang berupaya mentakhrij kitab-kitab dalam berbagai Ilmu
Agama.4
Diantara kitab-kitab takhrij tersebut sebagai berikut
1) Takhrij Ahadits Al-Muhadzdzab, karya muhammad bin musa Al-Hazim Asy-syafi
(w.548 H).
2) Takhrij Ahadis Al-mukhtashar Al-kabir li Ibni Al-hajib, karya Muhammad bin
Ahmad Abdul Hadi Al-Maqdis (w.744 H).
3) Nashbu Ar-Rayah li Ahadits Al-Hidayah li Al-Marghinani, karya Abdullah bin yusuf
Az-Zaila’i (w.762 H).
Takhrij Hadits merupakan suatu kegiatan yang amat penting, khususnya bagi seorang
peneliti hadits. Tanpa dilakukan kegiatan Takhrij Hadits terlebih dahulu, maka kita akan
kesulitan untuk mengetahui asal-usul riwayat hadis yang akan diteliti, berbagai riwayat yang
telah meriwayatkan hadits itu, dan ada tidak adanya penguat, baik itu syahid atau mutabi’.
Bagi para ulama terdahulu, kegiatan Takhrij Hadits tidaklah diperlukan, mengingat luasnya
pengetahuan mereka dan adanya kedekatan hubungan dengan sumber-sumber hadits.
Luasnya pengetahuan dan kedekatan itulah mereka dapat dengan mudah menentukan kualitas
suatu hadits, menjelaskan kitab-kitab asal yang menjadi sumbernya, bahkan dapat
mengetahui metode-metode penyusun kitab asal.
3
Al-Thahhan, Ushul al-Takhrij Wa dirasaat al - Asanid, Riyadh, Maktabah al-Ma’arif, 1978, hal 113.
4
Al-Thahhan, Ushul al-Takhrij Wa dirasaat al - Asanid, Riyadh, Maktabah al-Ma’arif, 1979, hal 16.
Munculnya kegiatan Takhrij Hadits ini disebabkan berkembangnya berbagai macam
disiplin ilmu lain, seperti fiqh, tafsir, dan sejarah. Di dalam karya disiplin ilmu lain itulah
terkadang penulisnya tidak menyebutkan sumber-sumber hadits yang mereka kutip di
dalamnya. Hal inilah yang mendorong para ahli hadits untuk melakukan penelusuran hadis ke
sumber-sumber asalnya. Dari sinilah bermunculan kitab-kitab Takhrij Hadits, seperti yang
ditulis oleh al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) yang berjudul Takhrij al-Fawaid
al-Muntakhabah al Shihhah wa-al-Gharib, al-Zayla’i (w.762 H) yang berjudul Nashb
al-Rayah li-Ahadits al-Hidayah, atau karya Ibn al-Mulaqqin (w.804 H) yang berjudul al-Badr
al-Munir fi Takhrij al-Ahadits wa-al-Atsar al-Waqiah fi Syarh al-Kabir.
Para ahli hadits yang menyusun kitab-kitab Takhrij itu tidak memberikan
langkah-langkah atau metode melakukan Takhrij Hadits. Tercatat, baru pada abad ke-20 lah
ditemukan buku yang secara khusus menyusun metode Takhrij Hadits. Ada dua tokoh yang
dianggap menjadi inisiator atau perintis metode Takhrij Hadits, yaitu Ahmad bin Ash-Shiddiq
al-Ghumari (1320-1380 H/1902-2960 M) dengan bukunya yang berjudul Hushul al-Tafrij
bi-Ushul al-’Azwa-al-Takhrij dan Mahmud al-Thahhan (1353 H/1935 M-Sekarang) dengan
bukunya Ushul al-Takhrij wa-Dirasah al-Asanid.
Akan tetapi, buku yang ditulis oleh Ahmad al-Ghumari bukan berarti menjadi buku
pertama yang menulis tentang metode Takhrij Hadits, karena Mahmud al-Thahhan sendiri
dalam Muqaddimah bukunya mengaku belum menemukan buku yang secara khusus
menyusun tentang metode Takhrij Hadits. Abdullah bin Abdul Muhsin al-Tuwaijiri
memberikan jawaban atas permasalahan ini dalam artikelnya Nasy’ah ‘Ilm al-Takhrij
wa-Athwaruh. Menurutnya, perintis dari metode Takhrij adalah Ahmad al-Ghumari karena
Mahmud al-Thahhan baru menyelesaikan bukunya di tahun 1398 H/1978 M, sedangkan
Ahmad al-Ghumari wafat di tahun 1380 H/1960 M. Artinya, kitab yang ditulis oleh Ahmad
al-Ghumari tentang metode Takhrij, yaitu Ushul al-Takhrij bi-Ushul al-’Azw wa-al-Takhrij
sudah ada 18 tahun lebih dulu sebelum buku Mahmud al-Thahhan diselesaikan, yaitu Ushul
al-Takhrij wa-Dirasah al-Asanid.
Meskipun Ahmad al-Ghumari adalah perintis metode Takhrij Hadits, akan tetapi
bukunya kalah populer dengan buku yang ditulis oleh Mahmud al-Thahhan, termasuk di
Indonesia. Hal ini disebabkan karena buku Mahmud al-Thahhan dijadikan bahan ajar di
Universitas al-Imam Muhammad bin Sa’ud al-Islamiyyah, Riyadh, Arab Saudi, selama
hampir 20 tahun. Universitas tersebut merupakan salah satu Universitas terbesar di Arab
Saudi dan memiliki puluhan ribu Mahasiswa.
2.3 Tujuan dan Manfaat Takhrij Hadits
Tujuan utama dilakukannya Takhrij Hadits adalah
1) Mengetahui sumber asli hadits yang ditakhrij.
2) Mengetahui kualitas atau keadaan hadits yang berkaitan dengan maqbul/diterima
maupun mardudnya/ditolaknya.5
Sumber-sumber hadits yang asli dimaksud yaitu kitab-kitab hadits, dimana para
penyusunnya menghimpun hadits-hadits itu melalui penerimaan dari guru-gurunya dengan
rangkaian sanad yang sampai kepada Nabi Muhammad SAW, seperti kitab al-Sittah (sahih
al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa’I dan Ibnu Majah). Adapun penjelasan
terhadap nilai-nilai hadits, diterima atau tidaknya sebuah hadits atau sahih, hasan atau dhaif
nya dan lain-lain, dilakukan bila perlu saja dan tidak merupakan esensial dalam takhrij.
Takhrij hadits sangat beragam untuk memperluas pengetahuan seseorang tentang
seluk beluk kitab hadits dalam berbagai bentuk dan sistem penyusunannya, mempermudah
seseorang dalam mengembalikan sesuatu hadits yang ditemukannya kedalam sumber aslinya,
sehingga dengan demikian akan mudah pula mengetahui derajat keshahihan tidaknya dari
hadits tersebut.
Beberapa manfaat dari kegiatan takhrij hadits diantaranya adalah :
1) Mengetahui sumber-sumber hadits, kitab-kitab asal dimana suatu hadits berada,
beserta ulama yang meriwayatkannya.
2) Dapat menambah perbendaharaan sanad hadits melalui kitab-kitab yang dirujuk.
semakin banyak kitab asli yang memuat suatu hadits maka semakin banyak pula
perbendaharaan sanad yang kita miliki.
3) Dapat memperjelas keadaan sanad dengan membandingkan riwayat hadits yang
banyak itu, maka dapat diketahui apakah riwayat tersebut munqathi’, mu'dhal, dan
lain-lain, demikian juga dapat diketahui, apakah status riwayat tersebut shahih, hasan
dan dhaif.
4) Dapat memperjelas kualitas suatu hadits dengan banyaknya riwayat, suatu hadits
dhaif kadang diperoleh melalui suatu riwayat lain yang shahih, hadits yang shahih itu
mengangkat kualitas hadits yang dhaif tersebut ke derajat yang lebih tinggi.
5) Dapat memperjelas periwayat hadits yang samar, dengan adanya takhrij kemungkinan
dapat diketahui nama periwayat yang sebenarnya secara lengkap.
5
Nizar Ali, Makalah Studi al-Hadits Program Magister (Jakarta:2008), hlm 2
6) Dapat memperjelas periwayat hadits yang tidak diketahui namanya, yaitu melalui
perbandingan diantaranya sanad yang ada.
7) Dapat menafikkan pemakaian lembaga periwayatan dalam periwayatan hadits oleh
seorang mudallis.
8) Dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya riwayat dan memperjelas nama
periwayat yang sebenarnya.
9) Dapat memperkenalkan periwayatan yang tidak terdapat dalam satu sanad.
10) Dapat menghilangkan unsur syadz dan membedakan hadits yang mudraj.
11) Dapat menghilangkan keraguan dan kekeliruan yang dilakukan oleh periwayat.
12) Dapat membedakan antara periwayatan secara lafal dengan periwayatan secara
makna.
13) Dapat menjelaskan waktu dan tempat turunnya hadits dan lain-lain.6
6
Pojka Akademik UIN Sunan Kalijaga, Metodologi Penelitian (Yogyakarta:2006), hlm 11-14.
7
Fuad Hasan, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1997), 16.
8
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia cet.10, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), 580-581.
kelebihan dari metode ijmali adalah ringkas dan padat dalam memahami hadis.
Peneliti akan memperoleh pemahaman hadis dalam waktu yang sangat singkat tanpa
harus menampilkan aspek sanad maupun kritik matan.
b) Metode Tahlili (Analitis)
Secara etimologi, tahlili berarti menguraikan atau menganalisis. Metode tahlili
merupakan penjelasan secara rinci dan mendetail. Memahami hadis dengan
menggunakan metode ini berarti menjelaskan hadis dengan memaparkan segala aspek
yang berhubungan dengan hadis tersebut, baik itu dari aspek sanad (perawi), uraian
makna kosakata, makna kalimat dan ungkapan yang terkandung dalam matan, faidah,
sampai kepada penjelasan mengenai kualitas, asbab al-wurud, mukharrij, bahkan
pendapat ulama mengenai hadis yang dimaksud.
c) Metode Muqaran (Komparatif)
Secara bahasa, muqaran berarti perbandingan atau komparatif. Metode
muqaran menekankan kajiannya pada aspek perbandingan (komparatif). Metode
muqaran jika digunakan untuk memahami hadis berarti menjelaskan makna hadis
tersebut dengan cara membandingkannya dengan hadis-hadis lain atau dengan ayat
Al-Qur’an.
Dalam penerapannya, metode ini dapat dibagi menjadi tiga bentuk. Pertama,
membandingkan ayat-ayat al-Qur’an atau hadis yang memiliki kesamaan topik
dengan redaksi yang berbeda. Kedua, membandingkan ayat al-Qur’an dengan hadis,
atau antara hadis satu dengan yang lain yang secara lahir terlihat kontradiktif. Ketiga,
membandingkan pendapat para ulama tentang penafsiran suatu ayat atau hadis.
Kelebihan metode muqaran adalah memberikan pengetahuan yang lebih luas
dibanding metode-metode yang lain, metode ini mendorong seorang peneliti untuk
mengkaji berbagai macam hadis, ayat-ayat al-Qur’an serta pendapat-pendapat ulama
mengenai hadis yang diteliti. Selain itu, dengan metode ini dimaksudkan dapat
diketahui makna sebenarnya dari sebuah ayat atau hadis.
d) Metode Maudhu'i (Tematik)
Secara bahasa, maudhu’i berarti masalah atau pokok permasalahan. Metode
maudhu'i merupakan sebuah metode memahami hadis dengan menghimpun
hadis-hadis yang terjalin dalam sebuah tema tertentu, yang kemudian dibahas dan
dianalisis sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Misalnya, menghimpun
hadis-hadis yang berbicara tentang puasa ramadhan, ihsan (berbuat baik) dan lain
sebagainya. Menurut Yusuf Qardhawi untuk dapat memahami al-Sunnah dengan
benar adalah dengan cara harus menghimpun semua hadits shahih yang berkaitan
dengan suatu tema tertentu. Selanjutnya mengembalikan kandungannya yang
mutasyabih kepada yang muhkam, yang muthlaq dengan yang muqayyad, yang ‘aman
dan yang khas. Sehingga tidak ada hadis yang bertentangan dan dapat diperoleh
makna yang lebih jelas.9
Menurut al-Farmawi, Metode maudhu'i adalah mengumpulkan hadis-hadis
yang terkait dengan satu topik atau satu tujuan kemudian disusun sesuai dengan asbab
al-wurud dan pemahamannya yang disertai dengan penjelasan, pengungkapan dan
penafsiran tentang masalah tertentu. Dalam kaitannya dengan pemahaman hadis
pendekatan tematik (maudhu'i) adalah memahami makna dan menangkap maksud
yang terkandung di dalam hadis dengan cara mempelajari hadis-hadis lain yang
terkait dalam tema pembicaraan yang sama dan memperhatikan korelasi
masing-masing sehingga didapatkan pemahaman yang utuh.10
9
M. Quraish Shihab, Tafsir Tematik atas Berbagai Persoalan Umat, cet.2,
(Bandung: Mizan, 1996), 14.
10
Maizuddin, Metodologi Pemahaman Hadis, (Padang: Hayfa Press, 2008),
113.
11
Ghazali Adeng Mukhtar, Ilmu Perbandingan Agama, (Bandung: Pustaka
Setia, 2000), 27.
12
Agil Husain Al-Munawwar, Asba>b al-Wuru>d : Studi Kritis atas Hadis
Nabi, Pendekatan Sosio-Historis, Kontekstual cet.1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001), 24-25.
maka dapat dilakukan analisis pemahaman hadis (fiqh al hadis) dengan menggunakan
berbagai macam pendekatan, baik historis, sosiologis, ilmiah, filosofis, antropologis bahkan
pendekatan psikologis.
Pendekatan-pendekatan ini dapat membantu seorang peneliti untuk memperoleh
pemahaman hadis yang lebih tepat, apresiatif dan akomodatif terhadap perubahan dan
perkembangan zaman.13 Menurut Fajrul Munawir, pendekatan adalah pola pikir (al-Ittijah
al-Fikri) yang dipergunakan untuk membahas suatu masalah.14
13
Agil Husain Al-Munawwar, Asbab al-Wurud : Studi Kritis atas Hadis
Nabi, Pendekatan Sosio-Historis, Kontekstual, 25.
14
Fajrul Munawir, Pendekatan Kajian Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2009),
138.
15
Agil, 2001, hlm. 27
publik, tetapi hadits ini tidak lantas melarang secara mutlak kepemimpinan perempuan,
karena secara historis hadis tersebut mempunyai kompleksitas sejarah, yaitu diawali dari
kisah Buwaran binti Syairawih bin Kisra (cucu Kisra yang pernah dikirimi surat oleh Nabi)
sebagai Ratu Persia, ketika Nabi mengirim surat kepada kakeknya yang pada masanya
menjadi raja meremehkan dan menghina Nabi, dan ketika cucunya diangkat sebagai ratu,
masyarakat tidak mengakui dan menghargainya. Hal tersebut disebabkan kepemimpinan
wanita masih dianggap tabu dan kemampuan yang belum terbukti. Sehingga masyarakat
melarang perempuan menjadi pemimpin, dimana mayoritas laki-laki masih berpengaruh.
Dalam pendekatan historis, biasanya pertanyaan yang ditekankan adalah mengapa
Nabi SAW bersabda demikian, bagaimana kondisi sosio-kultural masyarakat atau bahkan
politik pada saat itu, serta mengamati proses terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut.16
16
Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadits (Yogyakarta: SUKA Pres UIN Sunan Kalijaga 2012), hlm. 69
17
Jajang A Rohmana, Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia : Sebuah Kajian
Awal.2015. hal 248-282.
18
Abdul Mustaqim, 2008.9
Kontribusi pendekatan antropologi terhadap hadits adalah ingin membuat uraian yang
meyakinkan tentang apa sesungguhnya yang terjadi dengan manusia dalam berbagai situasi
hidup dalam kaitan waktu dan ruang yang erat kaitannya dengan statement suatu hadits.19
Misalnya tentang haji, Perintah haji dalam hadits, terdapat beberapa praktik haji yang
meneruskan tradisi masyarakat Arab ketika itu. Dengan pendekatan tersebut diharapkan akan
memperoleh suatu pemahaman kontekstual progresif dan apresiasi terhadap perubahan
masyarakat yang merupakan implikasi dari adanya perkembangan ilmu pengetahuan.20
23
Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi; Suatu Pengantar, h. 27- 28.
24
Abu Zaid ‘Abd Rahman bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al{ad}rami al-Isybili; Ibn Khaldun,
Muqaddimah; al-‘Ubr wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar
(Beirut: Dar Ihya’ al-Turats| al- ‘Arabi, cet IV, t.th), h. 1-588.
25
Alfi Hidayah, “Metode Pemahaman Hadis NU dan Muhammadiyyah” (IAIN Tulungagung: Skripsi, 2015),
hlm.33
Kaidah-kaidah yang menyingkap tujuan dan hikmah syari’ah ini disebut dengan prinsip
maslahah.26
Walaupun pendekatan filosofis pada hakikatnya sama dengan prinsip maslahah, yaitu
sama-sama berorientasi pada tujuan dan kebermanfaatan, namun pendekatan filosofis dapat
memberikan perspektif baru tentang semangat teks secara keseluruhan yang pada gilirannya
akan memberikan pemahaman tentang maksud atau tujuan yang terkandung dalam sebuah
hadits.
Dalam pemahaman hadis Nabi, pendekatan filosofis atau prinsip maslahah, telah
banyak ditempuh oleh para ulama kontemporer, seperti Yusuf Qardhawi, Muhammad
al-Ghazali, dan lain-lain. Salah satu contohnya, yaitu pada hadits yang menyatakan bahwa
pemimpin itu harus berasal dari suku Quraisy. Apabila kandungan hadits tersebut dipahami
seperti itu, maka hal itu tidak sejalan dengan petunjuk yang terdapat dalam al-Qur’an yang
menyatakan bahwa pada dasarnya manusia itu sama, yang paling mulia dan utama di sisi
Allah dalam ketaqwaannya.27
Dengan demikian diperlukan pemaham secara filosofis bahwa hak kepemimpinan
bukan pada etnis Quraisy-nya, melainkan pada kemampuan dan kewibawaannya. Pada masa
Nabi, orang yang memenuhi syarat sebagai pemimpin dan dipatuhi oleh masyarakat adalah
dari kalangan Quraisy. Apabila suatu masa ada orang yang bukan suku Quraisy memiliki
kewibawaan dan kemampuan untuk memimpin, apalagi melebihi suku Quraisy, maka ia
dapat ditetapkan sebagai pemimpin atau kepala negara. Pemahaman kontekstual ini pertama
kali dipelopori oleh Ibnu Khaldun (808 H-1560 M).28
26
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam...op.cit, hlm 31
27
Lihat Q.S. al-Hujurat : 13
28
M. Syuhudi Ismail, “Metodologi Penelitian Hadis Nabi”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm 40
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Definisi takhrij yang dikemukakan oleh Mahmud Al-Thahan. Beliau mengatakan
bahwa takhrij adalah menunjukkan tempat hadist pada sumber-sumber aslinya, dimana hadist
tersebut dikeluarkan lengkap dengan sanad-sanadnya, kemudian menjelaskan derajatnya
ketika diperlukan. Adapun tujuan utama dilakukannya takhrij hadits diantaranya adalah
mengetahui sumber asli hadis yang ditakhrij dan mengetahui kualitas atau keadaan hadist
yang berkaitan dengan maqbul maupun mardudnya. Takhrij hadits juga memiliki beberapa
manfaat yaitu mengetahui sumber-sumber hadits, dapat memperjelas keadaan sanad dengan
membandingkan riwayat hadits yang telah ditemukan, dapat menjelaskan waktu dan tempat
turunnya hadits dan lain sebagainya.
Pada kegiatan takhrij hadits ini terdapat metode pemahaman hadis melalui beberapa
pendekatan yaitu pendekatan historis, antropologis, sosiologis dan filosofis. Metode dengan
pendekatan historis adalah metode memahami hadits dengan cara memperhatikan dan
mengkaji situasi atau peristiwa yang terkait dengan latar belakang munculnya hadits.
Pemahaman hadis melalui pendekatan antropologis adalah suatu pendekatan yang melihat
wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, tradisi dan budaya
yang berkembang pada saat hadis tersebut disabdakan. Pendekatan sosiologis dalam hadis
mengacu pada berbagai aspek kehidupan masyarakat yang hidup ketika hadis Nabi SAW
disabdakan. Sedangkan pemahaman hadis melalui pendekatan filosofis adalah upaya untuk
mencari inti, hakikat dan hikmah dalam memahami suatu hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin. 2001. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Pesada