Anda di halaman 1dari 29

FILSAFAT TIMUR DAN PARA TOKOH PEMIKIRNYA

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah General Philosophy


Dosen Pengampu: Muhammad Dwi Toriyono, S.Pd.I., M.Pd.

Disusun Oleh:
Kelompok 6

-Sabila Sinta Nuriya (1860203221056)


-Rico Wahyu Setiawan (1860203221069)
-

CLASS TBI 2-E


PROGRAM STUDI TADRIS BAHASA INGGRIS
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SAYYID ALI RAHMATULLAH
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang memberikan kami kemudahan sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya
kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam
semoga tercurahkah kepada Nabi Muhammad SAW yang kita nantikan syafa’atnya di yaumil
qiyamah nanti.

Tidak lupa kami mengucapkan banyak terima kasih pada dosen pembimbing yang telah
memberikan kami kesempatan dan kepercayaan untuk dapat menyusun makalah ini. Kami
ucapkan terima kasih juga untuk para teman-teman seperjuangan kami yang telah mendukung
kami untuk mengerjakan makalah ini sehingga dapat selesai tepat waktu.

Kami selaku penyusun makalah ini mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas
limpahan nikmat sehat-Nya, baik berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis
mampu untuk menyelesaikan makalah dengan judul “Filsafat Timur dan Para Tokoh
Pemikirnya”

Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
memiliki banyak kekurangan di dalamnya, untuk itu kami selaku penyusun makalah
mengharapkan kemakluman atas banyaknya kekurangan dalam makalah ini dan tentu saja kami
akan menerima dengan terbuka berbagai saran dan masukan.

Tulungagung, 9 April 2023

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................3
BAB I......................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................................4
Latar Belakang......................................................................................................................................4
Rumusan Masalah.................................................................................................................................5
Tujuan Pembahasan..............................................................................................................................5
BAB II.....................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN........................................................................................................................................6
Filsafat Arab..........................................................................................................................................6
Perkembangan Filsafat Islam...............................................................................................................6
a. Al-Kindi (801-873 M).................................................................................................................6
b. Al-Farabi (870-950 M)................................................................................................................7
c. Ibnu Sina (980-1037 M)..............................................................................................................8
d. Ibnu Miskawaih (932-1030 M)....................................................................................................9
e. Filosof berikutnya adalah al-Ghazali (1058-1111 M)................................................................10
Filsafat Jepang.....................................................................................................................................11
a. Sejarah perkembangan filsafat jepang...………………………………………………………12

b. Aliran-Aliran filsafat jepang…………………………………………………………………...13


c. Pemikiran ekonomi filosof jepang……………………………………………………………..14
Filsafat China……………………………..…………………………………………………………..15
a. Periode filsafat jepang……………………………………………………………………………16
Filsafat India…………………………………………………………………………………………..17

Filsafat Indonesia.................................................................................................................................12
a. Pemikiran M. Nasroen, Soenoto, R. Parmono terhadap Filsafat Indonesia...............................19
BAB III..................................................................................................................................................20
PENUTUP..............................................................................................................................................21
Kesimpulan…...............................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………………23
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Filsafat berasal dari kata Yunani, yaitu philosophia, kata berangkai dari kata philein yang
berarti mencintai, dan sophia berarti kebijaksanaan. Philosophia berarti: cinta akan kebijaksaan.
Orang yang berfilsafat atau orang yang melakukan filsafat disebut “filsuf” atau “filosof”, artinya
pencinta kebijaksaan.
Filsafat Timur merupakan cabang dari filsafat yang berasal dari wilayah Asia, yang
mencakup negara-negara seperti Arab Saudi, Jepang, China, India, dan Indonesia. Setiap negara
memiliki kekayaan dan keunikan tersendiri dalam filsafat Timur dan memiliki tokoh-tokoh
pemikir yang memperkaya dan memperluas pemahaman tentang filsafat Timur.
Di Arab Saudi, filsafat Timur terutama dipengaruhi oleh agama Islam dan pemikiran para
ulama. Ada juga tradisi filsafat Arab yang terkait dengan filsafat Timur seperti filsafat sufi yang
menekankan pada pengalaman spiritual, kesadaran diri, dan koneksi dengan Tuhan. Tokoh-tokoh
penting dalam filsafat Timur di Arab Saudi antara lain Ibnu Arabi, Al-Ghazali, dan Rumi.
Di Jepang, filsafat Timur terutama terkait dengan agama Buddha dan Zen. Pemikiran Zen
menekankan pada kesadaran diri, meditasi, dan pengalaman langsung yang menjadi dasar dari
filsafat Zen. Tokoh-tokoh penting dalam filsafat Timur di Jepang antara lain Dogen, Hakuin, dan
Suzuki.
Di China, filsafat Timur terkait dengan tiga tradisi utama, yaitu Konfusianisme, Taoisme,
dan Buddhisme. Konfusianisme menekankan pada etika dan moralitas, Taoisme menekankan
pada keselarasan dan keseimbangan, sedangkan Buddhisme menekankan pada kebijaksanaan dan
kebahagiaan. Tokoh-tokoh penting dalam filsafat Timur di China antara lain Konfusius, Laozi,
dan Buddha.
Di India, filsafat Timur terkait dengan agama Hindu, Budha, dan Jainisme. Pemikiran
Hindu menekankan pada konsep karma, dharma, dan moksha, sedangkan Budha menekankan
pada kebijaksanaan, meditasi, dan jalan menuju nirwana. Tokoh-tokoh penting dalam filsafat
Timur di India antara lain Mahatma Gandhi, Swami Vivekananda, dan Gautama Buddha.
Di Indonesia, filsafat Timur terkait dengan budaya tradisional dan agama seperti Islam,
Hindu, dan Budha. Pemikiran lokal Indonesia juga memperkaya filsafat Timur dengan konsep-
konsep seperti gotong royong, kearifan lokal, dan nilai-nilai religius. Tokoh-tokoh penting dalam
filsafat Timur di Indonesia antara lain Ki Hajar Dewantara, Nurcholish Madjid, dan
Soedjatmoko.
Dengan demikian, pemahaman tentang filsafat Timur dan para tokoh pemikirnya dari
berbagai negara dapat memberikan wawasan yang luas dan mendalam tentang pemikiran dan
tradisi filsafat Timur yang kaya dan bervariasi di wilayah Asia.
Rumusan Masalah
1. Apa itu Filsafat Timur dan bagaimana kontribusinya dalam dunia filsafat?
2. Siapa saja tokoh-tokoh pemikir penting dalam Filsafat Timur di Arab Saudi dan
bagaimana pemikirannya?
3. Siapa saja tokoh-tokoh pemikir penting dalam Filsafat Timur di Jepang dan bagaimana
pemikirannya?
4. Siapa saja tokoh-tokoh pemikir penting dalam Filsafat Timur di China dan bagaimana
pemikirannya?
5. Siapa saja tokoh-tokoh pemikir penting dalam Filsafat Timur di India dan bagaimana
pemikirannya?
6. Siapa saja tokoh-tokoh pemikir penting dalam Filsafat Timur di Indonesia dan bagaimana
pemikirannya?
7. Apa saja kesamaan dan perbedaan pemikiran dalam Filsafat Timur di negara-negara
tersebut?
8. Bagaimana relevansi dan aplikasi pemikiran Filsafat Timur dalam kehidupan sehari-hari?

Tujuan Pembahasan
Untuk memberikan pemahaman tentang Filsafat Timur sebagai sebuah disiplin ilmu
filsafat yang berkembang di beberapa negara seperti Arab Saudi, Jepang, China, India, dan
Indonesia. Pembahasan akan membahas tokoh-tokoh pemikir penting dalam Filsafat Timur di
setiap negara dan pemikiran mereka yang berkontribusi dalam dunia filsafat secara luas. Selain
itu, pembahasan juga akan mencakup kesamaan dan perbedaan pemikiran dalam Filsafat Timur
di setiap negara serta relevansi dan aplikasi pemikiran Filsafat Timur dalam kehidupan sehari-
hari. Dengan tujuan tersebut, diharapkan pembaca dapat memahami pentingnya kontribusi
Filsafat Timur dalam dunia filsafat serta aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari.
BAB II

PEMBAHASAN

Filsafat Arab
Pada abad ke-8 Masehi atau abad ke-2 Hijriah, Islam mengalami perkembangan yang
pesat dan berhasil menjangkau daerah-daerah baru. Pada saat itu, terjadi pertemuan antara kaum
Muslimin dengan filsafat, yang kemudian berlangsung hingga abad pertengahan. Selama periode
ini, umat Islam berhasil menguasai dunia kefilsafatan dengan mengumpulkan dan
menerjemahkan buku-buku filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab.
Minat dan gairah mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan pada saat itu sangat tinggi karena
pemerintah menjadi pelopor dan pionir utamanya. Dua imperium besar pada masa itu, Abbasiyah
di Timur dengan ibu kota Bagdad dan Umayyah di Barat dengan ibu kota Kordova, menjadi
pusat peradaban dunia yang menghasilkan banyak orang yang terlibat dalam dunia kefilsafatan.
Untuk memahami sejarah perkembangan filsafat Islam, perlu ditelusuri kehadiran para filosof
Muslim dari masa ke masa dalam dunia kefilsafatan. Dalam hal ini, ditemukan bahwa umat
Muslim memainkan peran penting dalam perkembangan filsafat pada masa itu dan memberikan
kontribusi besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan di seluruh dunia.

Perkembangan Filsafat Islam


a. Al-Kindi (801-873 M).

Al-Kindi (801-873 M) adalah seorang filsuf muslim awal yang dikenal sebagai
1

"the philosopher of the Arabs". Ia lahir di Kufah, Iraq dan merupakan seorang polymath
yang sangat terampil di berbagai bidang seperti matematika, fisika, logika, metafisika,
dan teologi. Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah "On First Philosophy" atau
"Fi al-Falsafah al-Ula".

Menurut Al-Kindi, filsafat adalah ilmu yang bertujuan untuk mencapai kebenaran
yang mutlak tentang realitas dan eksistensi. Ia mempercayai bahwa filsafat harus
didasarkan pada akal dan logika yang tepat, bukan pada keyakinan agama atau dogma.

Al-Kindi mengembangkan pandangan yang sangat rasionalis tentang dunia dan


eksistensi. Ia memandang bahwa segala sesuatu yang ada dalam dunia ini memiliki
sebab-akibat yang pasti, dan bahwa tidak mungkin ada sesuatu yang terjadi tanpa adanya
penyebab yang tepat. Oleh karena itu, ia menolak pandangan yang berdasarkan

Ismail, “Filsafat Islam (Tokoh Dan Pemikirannya).”


kebetulan, dan memandang bahwa setiap fenomena harus dapat dijelaskan secara
rasional.

Dalam pandangan metafisiknya, Al-Kindi mempercayai adanya satu Tuhan yang


maha kuasa dan maha bijaksana. Ia menganggap bahwa Tuhan adalah sumber dari segala
sesuatu yang ada di alam semesta, dan bahwa keberadaannya dapat dibuktikan melalui
akal dan logika.

Al-Kindi juga memandang bahwa manusia memiliki kemampuan yang unik untuk
memahami dan mengejar kebenaran. Ia mempercayai bahwa akal manusia adalah alat
yang paling penting untuk mencapai pengetahuan yang benar, dan bahwa manusia harus
menggunakan akalnya dengan benar untuk memahami alam semesta dan dirinya sendiri.

Dalam pandangan etika, Al-Kindi memandang bahwa tujuan utama kehidupan


manusia adalah mencapai kebahagiaan yang abadi. Ia mempercayai bahwa kebahagiaan
yang sejati hanya dapat dicapai dengan mencari kebenaran dan menjalani hidup yang
benar.

Dalam kesimpulannya, Al-Kindi memandang filsafat sebagai ilmu yang harus


didasarkan pada akal dan logika, dan bahwa tujuan akhir filsafat adalah mencapai
kebenaran yang mutlak tentang realitas dan eksistensi. Ia juga memandang bahwa
manusia memiliki kemampuan yang unik untuk memahami dan mengejar kebenaran, dan
bahwa kebahagiaan yang sejati hanya dapat dicapai dengan mencari kebenaran dan
menjalani hidup yang benar.

b. Al-Farabi (870-950 M).

Al-Farabi (870-950 M) adalah seorang filsuf muslim yang dikenal sebagai "the
second teacher" setelah Aristoteles. Ia lahir di Farab, Kazakhstan dan menjadi salah satu
tokoh penting dalam sejarah pemikiran Islam dan filsafat Yunani. Beberapa karya
terkenalnya antara lain "The Principles of the Opinions of the People of the Ideal City"
dan "The Book of Letters".

Menurut Al-Farabi, filsafat adalah ilmu yang bertujuan untuk mencapai


pemahaman yang tepat tentang alam semesta dan tujuan keberadaan manusia. Ia
mempercayai bahwa filsafat harus didasarkan pada akal dan logika yang tepat, serta harus
diintegrasikan dengan ajaran agama.

Dalam pandangan metafisiknya, Al-Farabi memandang bahwa segala sesuatu


yang ada di alam semesta memiliki satu sumber yang sama, yaitu Tuhan. Ia menganggap
bahwa Tuhan adalah sumber dari semua eksistensi dan keberadaan, dan bahwa segala
sesuatu yang ada di alam semesta memiliki "penyebab pertama" yang mengarahkan
eksistensinya.
Al-Farabi juga memandang bahwa manusia memiliki kemampuan yang unik
untuk mencapai kebenaran melalui akalnya. Ia mempercayai bahwa manusia dapat
mencapai pengetahuan yang benar melalui pengamatan, penalaran, dan refleksi yang
tepat. Namun, ia juga memandang bahwa kebenaran yang mutlak hanya dapat dicapai
dengan mengintegrasikan ajaran agama dan filsafat.

Dalam pandangan etika, Al-Farabi memandang bahwa tujuan utama kehidupan


manusia adalah mencapai kebahagiaan yang abadi. Ia mempercayai bahwa kebahagiaan
yang sejati hanya dapat dicapai dengan menjalani hidup yang benar dan mencapai potensi
manusia yang tertinggi. Ia juga memandang bahwa manusia harus hidup dalam
masyarakat yang baik dan harmonis, di mana setiap individu memiliki tanggung jawab
untuk menjaga kebaikan bersama.

Dalam kesimpulannya, Al-Farabi memandang filsafat sebagai ilmu yang harus


didasarkan pada akal dan logika, serta harus diintegrasikan dengan ajaran agama. Ia
mempercayai bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta memiliki satu sumber yang
sama, yaitu Tuhan. Ia juga memandang bahwa manusia memiliki kemampuan yang unik
untuk mencapai kebenaran melalui akalnya, dan bahwa kebahagiaan yang sejati hanya
dapat dicapai dengan menjalani hidup yang benar dan mencapai potensi manusia yang
tertinggi.

c. Ibnu Sina (980-1037 M).

Ibnu Sina (980-1037 M) adalah seorang filsuf muslim terkenal yang juga dikenal
2

di Barat dengan nama Avicenna. Ia lahir di Bukhara, Uzbekistan dan merupakan salah
satu tokoh penting dalam sejarah pemikiran Islam dan filsafat dunia. Beberapa karya
terkenalnya antara lain "Kitab al-Shifa" dan "Kitab al-Najat".

Menurut Ibnu Sina, filsafat adalah upaya untuk memahami alam semesta dan
tujuan keberadaan manusia. Ia memandang bahwa filsafat harus didasarkan pada akal dan
logika yang tepat, serta harus diintegrasikan dengan ajaran agama.

Dalam pandangan metafisiknya, Ibnu Sina mempercayai bahwa Tuhan adalah


sumber dari segala eksistensi dan keberadaan. Ia memandang bahwa Tuhan memiliki
sifat-sifat yang sempurna, seperti kekuasaan, pengetahuan, dan kebaikan. Ia juga
mempercayai bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengenal Tuhan melalui
akalnya.

Dalam pandangan epistemologisnya, Ibnu Sina memandang bahwa akal manusia


adalah alat utama untuk mencapai pengetahuan yang benar. Ia mempercayai bahwa

2
Gozali, “Agama Dan Filsafat Dalam Pemikiran Ibnu Sina.”
pengetahuan yang benar harus didasarkan pada pengamatan dan logika yang tepat, serta
harus diuji melalui pengalaman.

Dalam pandangan etikanya, Ibnu Sina memandang bahwa tujuan utama


kehidupan manusia adalah mencapai kebahagiaan yang abadi. Ia mempercayai bahwa
kebahagiaan yang sejati hanya dapat dicapai dengan mencapai potensi manusia yang
tertinggi dan hidup dalam kebaikan bersama. Ia juga memandang bahwa manusia harus
memiliki kemampuan untuk membedakan antara kebaikan dan keburukan, serta harus
memiliki tanggung jawab untuk bertindak sesuai dengan kebaikan.

Dalam kesimpulannya, Ibnu Sina memandang filsafat sebagai upaya untuk


memahami alam semesta dan tujuan keberadaan manusia. Ia mempercayai bahwa filsafat
harus didasarkan pada akal dan logika yang tepat, serta harus diintegrasikan dengan
ajaran agama. Ia juga memandang bahwa Tuhan adalah sumber dari segala eksistensi dan
keberadaan, dan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengenal Tuhan melalui
akalnya. Ia memandang bahwa kebahagiaan yang sejati hanya dapat dicapai dengan
mencapai potensi manusia yang tertinggi dan hidup dalam kebaikan bersama.

d. Ibnu Miskawaih (932-1030 M).

Ibnu Miskawaih (932-1030 M) adalah seorang filusuf muslim Persia yang


3

dikenal karena karyanya "Tahdhib al-Akhlaq" (Pembetulan Akhlak). Ia memandang


filsafat sebagai upaya untuk memahami hakikat keberadaan manusia dan tujuan
hidupnya.

Dalam pandangan metafisikanya, Ibnu Miskawaih mempercayai bahwa Tuhan


adalah sumber dari segala eksistensi dan keberadaan, dan bahwa segala yang ada berasal
dari Tuhan. Ia juga memandang bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat yang sempurna, seperti
kekuasaan, kebijaksanaan, dan kebaikan.

Dalam pandangan epistemologisnya, Ibnu Miskawaih memandang bahwa


pengetahuan yang benar dapat dicapai melalui akal dan pengalaman. Ia memandang
bahwa akal manusia adalah alat utama untuk mencapai pengetahuan yang benar, dan
bahwa pengalaman dapat membantu manusia untuk menguji kebenaran pengetahuannya.

Dalam pandangan etikanya, Ibnu Miskawaih memandang bahwa tujuan utama


kehidupan manusia adalah mencapai kebahagiaan yang abadi dengan cara hidup dalam
kebaikan dan kesalehan. Ia mempercayai bahwa manusia harus memiliki kemampuan
untuk membedakan antara kebaikan dan keburukan, dan bahwa manusia harus memiliki
tanggung jawab untuk bertindak sesuai dengan kebaikan.

3
Ismail, “Filsafat Islam (Tokoh Dan Pemikirannya).”
Ibnu Miskawaih juga memandang bahwa akhlak atau moralitas adalah bagian
penting dari filsafat. Ia menekankan pentingnya perilaku manusia yang baik dalam
kehidupan bermasyarakat, serta bahwa akhlak yang baik harus didasarkan pada
kepercayaan kepada Tuhan dan kesalehan.

Dalam kesimpulannya, Ibnu Miskawaih memandang filsafat sebagai upaya untuk


memahami hakikat keberadaan manusia dan tujuan hidupnya. Ia memandang bahwa
Tuhan adalah sumber dari segala eksistensi dan keberadaan, dan bahwa segala yang ada
berasal dari Tuhan. Ia juga memandang bahwa pengetahuan yang benar dapat dicapai
melalui akal dan pengalaman, serta bahwa tujuan utama kehidupan manusia adalah
mencapai kebahagiaan yang abadi dengan cara hidup dalam kebaikan dan kesalehan.

e. Al-Ghazali (1058-1111 M).

Al-Ghazali (1058-1111 M) adalah seorang cendekiawan Muslim terkemuka dari


abad ke-12. Ia adalah seorang filsuf, teolog, dan sufi yang terkenal dengan kontribusinya
terhadap filsafat Islam dan misticisme. Pandangannya mengenai filsafat mencakup
berbagai topik, termasuk metafisika, epistemologi, dan etika.

Dalam pandangan metafisikanya, Al-Ghazali memandang bahwa hanya Tuhan


yang benar-benar ada, dan bahwa segala sesuatu selain Tuhan hanyalah ilusi. Ia
memandang bahwa alam semesta dan segala sesuatu yang ada di dalamnya adalah
penciptaan Tuhan, dan bahwa manusia memiliki tanggung jawab untuk memahami dan
menghargai kebesaran Tuhan.

Dalam pandangan epistemologisnya, Al-Ghazali memandang bahwa pengetahuan


yang benar hanya dapat dicapai melalui pengalaman langsung dan wahyu dari Tuhan. Ia
memandang bahwa pengetahuan manusia terbatas dan tidak dapat mencapai kebenaran
absolut. Oleh karena itu, ia menolak beberapa konsep dan ajaran filsafat Yunani, yang
menurutnya bertentangan dengan ajaran Islam.

Dalam pandangan etikanya, Al-Ghazali memandang bahwa tujuan utama


kehidupan manusia adalah mencapai kebahagiaan abadi dengan cara hidup dalam
kepatuhan kepada Tuhan dan melakukan kebaikan. Ia menekankan pentingnya perilaku
manusia yang baik dalam kehidupan bermasyarakat, serta bahwa akhlak yang baik harus
didasarkan pada kepercayaan dan ketaatan kepada Tuhan.

Selain itu, Al-Ghazali juga memandang bahwa filsafat tidak dapat dipisahkan dari
spiritualitas dan praktik keagamaan. Ia menekankan pentingnya praktik ibadah sebagai
cara untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang keberadaan dan kebesaran
Tuhan. Ia juga menekankan pentingnya berpikir kritis dan refleksi pada diri sendiri
sebagai cara untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentang kebenaran dan
keberadaan.
Dalam kesimpulannya, Al-Ghazali memandang filsafat sebagai upaya untuk
memahami keberadaan manusia dan tujuan hidupnya. Ia menekankan pentingnya
ketaatan dan kepatuhan kepada Tuhan sebagai landasan etika dan moralitas, serta
menolak beberapa konsep dan ajaran filsafat Yunani yang dianggap bertentangan dengan
ajaran Islam. Ia juga menekankan pentingnya praktik keagamaan sebagai cara untuk
mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang keberadaan dan kebesaran Tuhan.

Berdasar dari uraian-uraian terdahulu, maka dapat dipahami bahwa perkembangan


filsafat Islam, pada mulanya terwariskan dari karangan-karangan filosof Yunani, kemudian
diterjemahkan kedalam bahasa Latin, dan berpengaruh bagi ahli-ahli fikir Eropa sehingga ia
diberi gelar penafsir (comentator), yaitu penafsir filsafat Aristoteles. Perkembangan filsafat
Islam, hidup dan memainkan peran signifikan dalam kehidupan intelektual dunia Islam. Jamal al-
Dīn al-Afgani, seorang murid Mazhab Mulla Shadra saat di Persia, menghidupkan kembali
kajian filsafat Islam di Mesir. Di Mesir, sebagian tokoh agama dan intelektual terkemuka seperti
Abd. al-Halim Mahmud, Syaikh al-Azhar al-marhum, menjadi pengikutnya. Filsafat Islam di
Persia, juga terus berkembang dan memainkan peran yang sangat penting meskipun terdapat
pertentangan dari kelompok ulama Syi’ah. Tetapi patut dicatat bahwa Ayatullah Khoemeni, juga
mempelajari dan mengajarkan al-hikmah (filsafat Islam) selama berpuluh puluh tahun di Qum,
sebelum memasuki arena politik, dan juga Murtadha Muthahhari, pemimpin pertama Dewan
Revolusi Islam, setelah revolusi Iran 1979, adalah seorang filosof terkemuka. Demikian pula di
Irak, Muhammad Baqir al-Shadr, pemimpin politik dan agama yang terkenal, adalah juga pakar
filsafat Islam.
Fillsafat jepang
Istilah filsafat di negara Jepang disebut Kitetsugaku yang berarti ilmu mencari kebenaran /
kebijaksanaan. Istilah ini diperkenalkan oleh Nishi Amane (1829-1897) pada tahun 1862. 12
tahun kemudian ia menyingkat istilah tersebut menjadi tetsugaku. istilah tersebut digunakan
untuk menggambarkan sesuatu yang dirasakan menguntungkan jepang, sebagai suatu kondisi
yang diperlukan untuk membangun masyarakat modern. Tetsugaku adalah kata dalam bahasa
Jepang untuk filsafat.
Tetsugaku digunakan untuk menggambarkan bahwa orang–orang Jepang terkadang memilih
terhadap hal-hal yang dapat membantu pembangunan masyarakat modern, terkadang muncul
ketidakpercayaan akibat hilangnya spiritualitas dan munculnya ancaman yang bersifat
etnosentris karena mereka tidak terbiasa dengan hal-hal yang baru.
Keberadaan sejarah filsafat di Jepang tidak cukup untuk membuktikan bahwa filsafat Jepang
cukup dikenal. Dapat dikatakan bahwa filsafat yang ada di Jepang diadopsi dari filsafat Cina
(dan juga mengadopsi dari Barat). Jepang tidak memiliki filsafat asli.
A. Sejarah Perkembangan Filsafat Jepang
a. Buddhisme
Buddhisme merupakan salah satu sumber-sumber utama filsafat Jepang. Meskipun berasal di
India, Buddhisme tersebar dan disesuaikan dengan budaya yang berbeda, dan itu adalah
Buddhisme Cina yang paling langsung mempengaruhi pemikiran Jepang.
Tokoh utama penyebaran agama buddha di Jepang adalah pangeran Shotoku Taishi (547-621 M)
yang naik tahta pada 593 M, yang peranannya dalam agama Buddha dapat disejajarkan dengan
Raja Asoka di India. Ia juga menetapkan agama Buddha sebagai agama negara, menerjemahkan
sendiri kitab suci Sadharma Pindarika, Vimalakirti dan Srimalasutra yang sangat berpengaruh
dalam pembentukan filsafat Buddhis di Jepang hingga sekarang. Ia mengirimkan para ahli
Jepang ke Korea dan Cina untuk mempelajari agama, seni dan ilmu pengetahuan. Pata tahun 607
M, ia mendirikan kuil-kuil di Nara da Haryuji yang merupakan kuil tertua dan masih berdiri
hingga sekarang4

Buddhisme mendorong pencapaian keadaan pencerahan di mana satu akhirnya menyadari bahwa
sifat utama realitas adalah Keesaan transenden. dipahami sebagai realitas empiris sebagai sesuatu
yang kosong. Tujuan akhir adalah untuk membuktikan kekosongan dari semua mode intelektual
- akar tentang keberadaan alam semesta- dengan menarik perhatian pada pengalaman nyata, yang
transenden.5

Dari perspektif filosofis, namun dampak yang paling penting dari Buddhisme adalah psikologi
nya. Buddhisme mengajarkan bahwa egoisme adalah penyebab utama dari penderitaan manusia
dan ketidakpuasan. Dengan mengontrol keinginan dan menghilangkan egoisme, seseorang dapat
mencapai perdamaian dan harmoni batin.( Ali Mukti hal : 1988: 140)
b. Konfusianisme
Kon Fu Tse memasuki Jepang dengan gelombang besar pertama pengaruh Cina antara abad ke-6
dan ke-9, tapi agama Kon Fu Tse tampaknya dikalahkan oleh agama Budha, sampai timbulnya
sistem Tokugawa yang terpusat dalam abad ke-17 membuatnya kelihatan lebih relevan dari pada
sebelumnya. Konfusianisme adalah sebuah agama disamping sebuah filsafat moral. Namun
setelah masuk ke Jepang, Unsur-unsur keagamaannya menjadi semakin lemah, dan yang dapat
hidup terus hanya aspek sekulernya seperti filsafat etikanya yang berhubungan dengan hubungan
antar manusia dan pemerintah dari suatu negara.( W.G. Beasley: 2003. Hlm. 218)
c. Shintoisme
Nama asli bagi agama itu ialah Kami no Michi, yang bermakna “jalan dewa”. Agama Shinto di
Jepang itu tumbuh dan hidup dan berkembang dalam lingkungan penduduk. Pada saat Jepang
4
Ali, “Filsafat Timur: Sebuah Pengantar Hinduisme Dan Buddhisme.”
5
Anwar, “Cara Berpikir Orang Jepang: Sebuah Perspektif Budhisme.”
berbenturan dengan kebudayaan Tiongkok maka nama asli itu terdesak kebelakang oleh nama
baru yaitu Shin-To. Nama baru itu perubahan dari Tien-Tao, yang bermakna “jalan langit”.
Perubahan bunyi kata itu seperti halnya dengan aliran Chan, sebuah sekte agama Budha mazhab
Mahayana di Tiongkok, menjadi aliran Zen sewaktu berkembang di Jepang. Dan nama Shinto itu
sendiri baru dipergunakan untuk pertama kalinya dalam menyebut agama asli bangsa Jepang itu
ketika agama Buddha dan agama konfusius (Tiongkok) sudah memasuki Jepang pada abad ke-6
M. Shinto adalah kata majemuk daripada “Shin” dan “To”. Arti kata “Shin” adalah “roh” dan
“To” adalah “jalan”. Jadi “Shinto” mempunyai arti lafdziah “jalannya roh”, baik roh-roh orang
yang telah meninggal maupun roh-roh langit dan bumi. Kata “To” berdekatan dengan kata “Tao”
dalam taoisme yang berarti “jalannya Dewa” atau “jalannya bumi dan langit”. Sedang kata
“Shin” atau “Shen” identik dengan kata “Yin” dalam taoisme yang berarti gelap, basah, negatif
dan sebagainya ; lawan dari kata “Yang”. Dengan melihat hubungan nama “Shinto” ini, maka
kemungkinan besar Shintoisme dipengaruhi faham keagamaan dari Tiongkok. Sedangkan
Shintoisme adalah faham yang berbau keagamaan yang khusus dianut oleh bangsa Jepang
sampai sekarang.Shintoisme merupakan filsafat religius yang bersifat tradisional sebagai warisan
nenek moyang bangsa Jepang yang dijadikan pegangan hidup. Tidak hanya rakyat Jepang yang
harus menaati ajaran Shintoisme melainkan juga pemerintahnya juga harus menjadi pewaris serta
pelaksana agama dari ajaran ini.6

d. Filsafat Jepang setelah periode Meiji


Setelah terjadi beberapa peristiwa buruk, maka pada tahun 1867 pemerintah Tokugawa
menyerahkan kekuasaan pada kaisar Meiji. Dengan demikian pemerintahan Tokugawa berakhir
dan kekuasaan penuh berada di tangan kaisar. Kemudian muncullah Restorasi Meiji. Restorasi
Meiji ini muncul akibat dari kekecewaan masyarakat terhadap pemerintahan Shogun yang
dianggap lemah. Hal tersebut diawali dengan peristiwa terjadinya pembukaan Jepang oleh
Commodore Perry (Perjanjian Shimoda, 30 Maret 1854). Hal tersebut disebabkan : (1)
Pemerintah Bakufu berpegang pada politik Isolasi, karena takut akan masuknya pedagang-
pedagang asing yang berakibat masuknya juga imperialisme asing. (2) Pada tahun 1842
Tiongkok telah dibuka untuk bangsa Asing oleh Inggris, dan habis dibagi dalam daerah-daerah
pengaruh antara Inggris, Perancis, Rusia. Jadi tinggal Jepang saja yang belum tersentuh. (3)
Amerika serikat membutuhkan tempat transit, dalam pelayaran antara panatai barat USA dan
kebetulan Jepang memiliki pelabuhan alam yang baik dan mengandung kemungkinan-
kemungkinan perdagangan (teh, sutera) yang sangat menguntungkan. (4) Kepulauan Jepang
merupakan batu loncatan ke Tiongkok yang baik. (Soebantardjo, 1958: 7)

B. Aliran-Aliran Filsafat Jepang


a. Aliran Zen

6
Havier, “Nilai-Nilai Shintoisme Pada Perbedaan Warna Dan Bentuk Gerbang Dunia Dewa Di Awal Dan Akhir Film
Spirited Away Karya Studio Ghibli.”
Madzhab Chan di Jepang disebut dengan madzhab Zen, dan masuk di Jepang kira-kira tahun
1200. Aliran ini mempunyai tujuan untuk memidahkan pikiran Buddha secara langsung ke dalam
pikiran para pemeluknya dan mengajarkan bahwa pencerahan hanya dapat diperoleh melalui
pemikiran yang intuitif. Oleh karena itu aliran ini lebih menekankan pada displin dalam
melakukan samadi untuk mencapai pencerahan, dan menolak doa-doa atau kepercayaan terhadap
adanya juru selamat. (Ali Mukti.1988 , h. 144)
Aliran ini terbagi menjadi dua golongan besar yaitu: Soto Zen, dengan tokohnya yang bernama
Dogen ( (19 January 1200 - 22 September 1253) yang merupakan seorang guru Zen termasyur di
Jepang. Tokoh ini pernah lama belajar dan memperdalam ilmunya di negeri China. (Ali
Mukti.1988 , h. 144)
Peninggalan salah satu kuil Zen yang sangat terkenal yaitu Eiheiji Temple di Perfecture Fukui,
dimana disitu terlihat jelas refleksi dari ajaran Zen tersebut... Dan yang kedua aliran Rinzai
dengan tokohnya yang bernama Eisai. Aliran yang tersebut akhirnya berkembang di kalangan
militer dan aristocrat serta menjadi tulang punngung kelas penguasa dan militer. Sementara yang
pertama yaitu aliran Soto Zen itu lebih banyak dianut oleh kalangan para petani dan bergerak
dalam kegiatan social, yang memiliki perguruan tinggi dan sekolah-sekolah yang cukup banyak.
(Ali Mukti.1988 , h. 144)

b. Aliran amida (Tanah Suci)


Madzhab amida berkembang di Jepang seseudah tahun 950. Aliran ini Amida atau Tanah Suci
mengengemukakan suatu ajaran keselamatan dalam istilah-istilah yang sederhana, yaitu: percaya
kepada Buddha secara mutlak. dan dengan menyebut Amida orang akan memperoleh
keselamatan. Aliran ini mendapat banyak pengikut di kalanagan petani dan menjadi semacam
agama messianis pada saat terjadi kemelut sosial. Objek pemujaan aliran ini adalah patung
Amida Buddha, yang dilengkapi dengan patung bodhisatwa Kwan On yang melambangkan
kemurahan dan patung Daiseishi sebagai lambang kebijaksanaan. (Ali Mukti.1988 , h. 143)

c. Aliran Nichiren Soshu


Sekte ini lahir di Jepang oleh pendirinya Nichiren Sozu Daishonin pada tahun (1222-1282) yang
asal mulanya dari sekte Tendai (Jep.) (T’ien-t’ai). Beliau anak dari keluarga nelayan yang
miskin, tinggal di desa kecil yang bernama Kominato, Tojo daerah Nagasa propinsi Awa
(prefecture Chiba Modern), Ia dilahirkan pada tanggal 16 Februari 1222. Dia menjadi murid
Dozenbo (12 mei 1233) di kuil koyosu-mi-dera yang terletak di atas Gunung Kiyosumi. Dalam
ruang Buddha dari kuil itu terdapat ruphang Bodhisattva Kokuzo (Bodhisatva dari angkassa,
karena kearifannya seluas angkasa). Dia bernazar di hadapan Bodhisatva ini bahwa kelak dia
akan menjadi seorang yang paling bujaksana di Jepang. Pada usia 15 tahun dia di-upasampada-
kan menjadi sramanera. Dengan seijin gurunnya Dozenbo, Nichiren Daishonin (dalam usia 17
tahun ) pergi ke tempat lain untuk pelajaran Buddhism yang lebih dalam. Pertama-tama dia pergi
ke Kamakura, hanya 4 bulan, dia belajar disini. Kemudian ia kembali lagi ke Kiyosumi-dera.
Selanjutnya ia pergi ke kuil Enryakuji yang terletak di atas gunung Hei, tempat ini di anggap
pusat terpenting ilmu pengetahuan Buddhism di Jepang pada waktu itu selama 12 tahun dia
belajar.Pada tahun 1253, Nichiren Sozu Daishonin kembali ke kuilnya Kiyosumi-dera. Beliau
dalam usia 30 tahun menyatakan hasil dari pelajarannya dan pengalamannya dengan
keyakinannya bahwa ‘Sutra Teratai’ (Saddharma Pundarika Sutra, Hokkekyo) dan mantera
‘Nam-myoho-renge-kyo’ merupakan inti sari dari Sutra Taratai. Dan Sutra Teratai adalah
jantung dari agama Buddha Shakyamuni di zaman Mappo (Mo Fa) atau Hari kemudian mrnjadi
Hukum.(Suwarto: 1995, h.520-521)
Nichiren Shō Shū yang artinya Sekte Benar Nichiren, Nichiren Sozu ini didirikan pada tahun
1253 oleh pendeta Nikkō, murid pendeta Nichiren. Sekte Nichiren adalah salah satu sekte
Buddha yang cukup unik. Keunikannya adalah sekte ini adalah tidak melakukan penyembahan
ke arca Buddha seperti yang umum dilakukan pada tradisi Buddha lainya. Sebagai gantinya
mereka meletakkan Mandara, tulisarn atau huruf Jepang yang berisikan mantra atau tulisan suci
yang dikeramatkan. Ajarannya Nichiren Sozu ini bertujuan mengembalikan agama Buddha
kepada bentuknya yang murni yang akan dijadikannya dasar bagi perbaikan masyarakat Jepang,
dan menolak ritualisme dan simentalisme aliran Tanah Suci, melawan semua kesalahan, agresif,
patriotis tetapi eksklusif.Selain ketiga aliran besar di atas, pada abad ke-14 muncul aliran
keagamaan yang bercorak Shinto yang di padukan dengan agama Buddha dan Konfusianisme
dengan nama Yosidha Shinto.Menurut aliran ini, agama Buddha dapat di anggap sebagai bunga
dan buah dari semua dharma di ala mini, Konfusianisme sebagai cabang rantingnya, dan agama
Shinto sebagai akar dan batangnya. (Ali Mukti: 1988, h.140)

d. Yosidha Shinto
Pada abad ke 14 muncul aliran keagamaan yang lebih bercorak Shinto yang dipadukan dengan
agama Buddha dan Konfusianisme. Menurut aliran ini, agama Buddha dapat dianggap sebagai
bunga dan buah dari semua dharma di alam ini. Konfusianisme sebagai cabang dan rantingnya,
dan agama Shinto sebagai akar dan batangnya. (Ali Mukti: 1988, h.142)

e. Aliran Neo-Konfusis
Ajaran memiliki daya tarik lebih besar dibandingkan dengan ajaran Budha. Dalam masa 200
tahun antara tahun 1608 dan abad XIX, pemikiran Konfusius ddi Jepang berkembang menjadi
bermacam ragam. Diantaranya:
a. Kelompok Kumazawa Banzan (1619-1691), menempatkan moral di atas kepentingan negara.
b. Kelompok Ogyu Sorai (1666-1728), ia menolak pemikiran tindakan penguasa harus
didasarkan pada filsafat moral, melihat Shogun sebagai penguasa mutlak yang didukung oleh
pejabat bukan faktor keturunan. Dengan demikian, Ogyu membandingkan kedudukan Shogun
dengan kedudukan raja-raja di Cina. Namun, Ogyu mengalami dua kesulitan, yaitu pertama,
Jepang memilikii raja yang kedudukannya lebih tinggi dari Shogun, kedua, pejabat pemerintah
pusat Jepang adalah Samurai, yang dipilih oleh Shogun berdasarkan status sosial mereka.
Olehsebab itu, situasi Jepang tidak sepenuhnya sesuai dengan kategori yang ada dalam ajaran
Konfusis. (W.G. Beasley: 2003. h. 218)
f. Aliran Mito
Dipelopori oleh Tokugawa Mitsukuni (1628-1700_. Para anggotanya terdiri dari para ahli sejarah
yang sangat berminat dalam mempelajari teks-teks Jepang kuno dan berusaha membangkitkan
perhatian masyarakat terhadapsejarah budaya dan agama asli. Kitab Nihongi diterbitakn dengan
ditambah beberapa komentar. Kelak, di abad ke-19 kitab yang berkenaan dengan mite “abad para
dewa”. Legenda-legendanya mengenai asal-usul kedewaan dijadikan dasar keagamaan dalam
pembaharuan sistem kekaisaran di Jepang.Pada akhir masa Tokugawa muncul rasa tidak puas
masyarakat terhadap pemerintah. Di sana-sini terjadi bebrapa pemberontakan kecil yang
berakibat memperlemah kekuasan pemerintah. Agama Buddha, yangsudah menajdi agama
negara, memeperoleh kesan buruk. Orang-orang Buddha banyak yang menjadi sasaran kritik,
sementara perhatian umum terhadap agama asli semakin meningkat. Pada masa Tokugawa
perasaaan anti Buddha itu sudah tumbuh meluas di kalangan masyarakat akibatnya banyak
kelentengt-kelenteng agama Buddha yang di tutup dan para pendetanya dipaksa meninggalkan
pos-pos mereka. Di samping itu juga hubungan Jepang dengan asing, yang selama ini dihentikan
sejak dimulainnya masa isolasi jepang di tahun 1639, itu dibuka kembali dengan
penandatanganan perjanjian antara komodor perry dan kaisar Jepang di tahun 1845.
(Djam’annuri: 1981, h.36-38)

D. Pemikiran Ekonomi Filosof Jepang


a. Pengaruh Sintoisme Terhadap Ekonomi
Ada bermacam bentuk dan bermacam kelas yang berbeda ketika membahas etika ekonomi di
Jepang dan saling berkaitan dengan etika politik dan religi, dampaknya terlihat pada rasionalisasi
ekonomi. Meskipun Shinto juga memiliki kontribusi besar terhadap bidang ekonomi, namun
sesungguhnya teori dari Konfusius-lah yang mempunyai pengaruh besar di Jepang. Dasar
pikiran konfusius tentang ini adalah “kemanunggalan ekonomi dan negara”. Para pemikir
Konfusian melihat adanya kaitan langsung antara kesejahteraan ekonomi dan moralitas, dan
inilah diatas segalanya, yang menurut mereka menentukan nilai politik dari kehidupan ekonomi.
Walaupun para pemikir Konfusian mengajarkan bahwa moralitas harus dipegang teguh tanpa
peduli kondisi ekonomi, mereka cukup realistis untuk menyadari bahwa prinsip seperti ini tidak
terlalu mudah untuk dipenuhi oleh orang kebanyakan.(http://gebypurnama.blogspot.com: 2012)
Menurut Mencius, jika mereka tidak mempunyai tingkat kesejahteraan hidup tertentu, rakyat
akan tidak bisa diatur. Ini adalah dasar ideologis yang kuat yang mendasari perhatian terhadap
kehidupan ekonomi rakyat yang merupakan ciri dari para penguasa Tokugawa. Inti dari
kebijakan ekonomi Konfusian secara rinci berarti “dorong produksi dan kurangi konsumsi.
Pengurangan konsumsi mengambil dua bentuk utama, lahir dan bathin”. Bentuk bathin adalah
pembatasan keinginan dan bentuk lahir adalah pembatasan pengeluaran, artinya ekonomi
ugahari. Konfusius pernah berkata, “ Sikap bermewah-mewah akan mengarah kepada
pembangkangan, dan sikap kikir kepada kehinaan. Lebih baik hina dari pada membangkang.” 7
Dari tinjauan singkat tentang pandangan Konfusian mengenai ekonomi politik diatas dapatlah
ditangkap bahwa sebetulnya yang diutamakan adalah system yang seimbang. Produksi
dimaksudkan agar kebutuhan terpenuhi penghematan diterapkan agar kecukupan itu tidak
terganggu.

b. Pengaruh Keizen Terhadap Ekonomi


Selain teori konfusius dan Shinto, yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan
ekonomi jepang adalah Keizen, merupakan istilah dalam bahasa Jepang yang bermakna
"perbaikan berkesinambungan" Filsafat kaizen berpandangan bahwa hidup kita hendaknya fokus
pada upaya perbaikan terus-menerus. Pada penerapannya dalam perusahaan, kaizen mencakup
pengertian perbaikan berkesinambungan yang melibatkan seluruh pekerjanya, dari manajemen
tingkat atas sampai manajemen tingkat bawah.
Landasan Kaizen diterapkan di Jepang setelah Perang Dunia Kedua , ketika negara itu
mencoba untuk membangun kembali pabrik dan memikirkan kembali sistem-sistemnya. Konsep
Kaizen mulai diterapkan pada 1950-an . Menurut Masaaki Imai , ayah dari strategi Kaizen , itu
adalah konsep yang paling penting dari manajemen Jepang dan kunci keberhasilan bisnis Jepang.
Prinsip Kaizen didasarkan pada tradisi Jepang kuno dan filsafat dalam mencari harmoni dengan
perbaikan terus-menerus . Dalam bentuk kontemporer, digunakan baik untuk meningkatkan dan
merampingkan proses perusahaan serta untuk mendapatkan perkembangan pada tingkat individu.
Makna peningkatan Kaizen tidak boleh dipandang secara terpisah, tetapi dipandang dalam
konteks yang lebih luas dan nyata, dengan fokus pada perbaikan pada semua masyarakat akan
membawa kebaikan untuk semua. Tradisi ini telah tetap hidup di Jepang hingga saat ini. Kaizen
adalah filosofi manajemen yang berpandangan bahwa setiap perbaikan tertentu tidak boleh
mengorbankan pelanggan dan masyarakat luas. Oleh karena itu, kita harus selalu memiliki
konteks yang lebih luas dalam pemikiran ketika berbicara tentang Konsep spesifik manajemen
Jepang yang mengintegrasikan semua komponen secara dinamis dan menjelaskan pentingnya
harmoni sosial di masyarakat.( Slobodan Prošić:2011)
Dalam kaizen manajemen memiliki dua fungsi utama: pertama Kegiatan pemeliharaan teknologi,
sistem manajemen, dan standar operasional yang ada sekaligus menjaga standar tersebut melalui
pelatihan serta disiplin dengan tujuan agar semua karyawan dapat mematuhi prosedur
pengoperasian standar (Standard Operating Procedure-SOP) yang telah ditetapkan. Kedua
kegiatan perbaikan yang diarahkan pada meningkatkan standar yang ada.
(http://id.wikipedia.org)

7
ACHMAD, SUPATMININGSIH, and ..., “UPAYA PENINGKATAN MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK PADA
MATA PELAJARAN EKONOMI MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN …”; Subakti, “PERKEMBANGAN
EKONOMI JEPANG PADA ERA SHOGUNAT TOKUGAWA.”
Kedua fungsi ini disimpulkan sebagai Pemeliharaan dan Perbaikan Standar. Perbaikan ini sendiri
dapat terbagi menjadi kaizen dan inovasi. Kaizen bersifat perbaikan kecil yang berlangsung oleh
upaya berkesinambungan, sedangkan inovasi merupakan perbaikan drastis sebagai hasil dari
investasi sumber daya berjumlah besar dalam teknologi atau peralatan. Kaizen menekankan pada
upaya manusia, moral, komunikasi, pelatihan, kerja sama, pemberdayaan dan disiplin diri, yang
merupakan pendekatan peningkatan berdasarkan akal sehat, berbiaya rendah.
Sasaran akhir kaizen adalah tercapainya Kualitas, Biaya, Distribusi (Quality, Cost, Delivery --
QCD), sehingga pada praktiknya kaizen menempatkan kualitas pada prioritas tertinggi. Kaizen
mengajarkan bahwa perusahaan tidak akan mampu bersaing jika kualitas produk dan
pelayanannya tidak memadai, sehingga komitmen manajemen terhadap kualitas sangat dijunjung
tinggi. Kualitas yang dimaksud dalam QCD bukan sekedar kualitas produk melainkan termasuk
kualitas proses yang ditempuh dalam menghasilkan produknya.
Kaizen menekankan bahwa tahap pemrosesan dalam perusahaan harus disempurnakan agar hasil
dapat meningkat, sehingga dapat disimpulkan bahwa filsafat ini mengutamakan proses. Dalam
kaizen dipercaya bahwa proses yang baik akan memberikan hasil yang baik pula.
Filsafat china
Filsafat Cina adalah salah satu dari filsafat tertua di dunia dan dipercaya menjadi salah satu
filsafat dasar dari tiga filsafat dasar yang mempengaruhi sejarah perkembangan filsafat dunia,
disamping filsafat India dan filsafat Barat. Filsafat Cina sebagaimana filsafat lainnya dipengaruhi
oleh kebudayaan yang berkembang dari masa ke masa. Ada tiga tema pokok sepanjang sejarah
filsafat Cina, yakni harmoni, toleransi, dan perikemanusiaan. Selalu dicarikankeseimbangan,
harmoni, suatu jalan tengah antara dua ekstrem: antara manusia dan sesama,antara manusia dan
alam, antara manusia dan surga. Toleransi kelihatan dalam keterbukaan untuk pendapat-pendapat
yang sama sekali berbeda dari pendapat-pendapat pribadi, suatu sikap perdamaian yang
memungkinkan pluralitas yang luar biasa, juga dalam bidang agama.Kemudian,
perikemanusiaan. Pemikiran Cina lebih antroposentris daripada filsafat India dan filsafat Barat.
Manusia-lah yang selalu merupakan pusat filsafat Cina. Ketika kebudayaan Yunani masih
berpendapat bahwa manusia dan dewa-dewa semua dikuasai oleh suatu nasib buta ("Moira"), dan
ketika kebudayaan India masih mengajar bahwa kita di dunia ini tertahan dalam roda reinkarnasi
yang terus-menerus, maka di Cina sudah diajarkan bahwa manusia sendiri dapat menentukan
nasibnya dan tujuannya.Filsafat Cina dibagi atas empat periode besar yaitu Jaman Klasik (600-
200 S.M.), Jaman Neo-Taoisme dan Buddhisme (200 S.M.-1000 M.), Jaman Neo-Konfusianisme
(1000-1900), dan Jaman Modern (setelah 1900). Jaman klasik sendiri terbagi atas Taoisme
(ajaran metafisika), Konfusianisme (ajaran etika), Yin-Yang (keharmonisan, keselarasan, dan
keseimbangan), Moisme (cinta universal), Ming Chia (sekolah dialektik), Fa Chia (sekolah
hukum). Salah satu ajaran yang terkenal dari filsafat Cina pada Jaman Klasik adalah Prinsip “Yin
Yang”. Ajaran “Yin Yang” berasal dari filsafat Tionghoa dan metafisika kuno yang menjelaskan
setiap benda di alam semesta memiliki polaritas abadi berupa dua kekuatan utama yang selalu
berlawanan tapi selalu melengkapi. Dalam filosofi Cina, konsep Yin-Yang biasanya di daerah
8
barat disebut Yin dan Yang. Biasanya digunakan untuk mendeskripsikan sifat kekuatan yang
saling berhubungan dan berlawanan di dunia ini dan bagaimana mereka saling membangun satu
sama lain. Konsep tersebut didasarkan pada asal muasal dari banyaknya cabang ilmu
pengetahuan klasik dah filosofi Cina serta dapat digunakan sebagai pedoman pengobatan Cina
dan menjadi prinsip dari seni bela diri yang ada di Cina, sebagai contoh Baguazhang, Taijiquan
(Tai Chi), dan qigong (Chi Kung) dan ramalan Ching. Yin dan Yang saling berlawanan dalam
interaksi dengan dunia yang lebih luas dan sebagai bagian dari sistem yang dinamis. Semua hal
memiliki kedua aspek tersebut yakni Yin dan Yang, tapi tidak setiap aspek tersebut memiliki
perwujudan yang jelas pada objek dan mungkin pasang surut atau mengalir dari waktu ke waktu.
Konsep Yin dan Yangsering dilambangkan dengan berbagai bentuk yang bervariasi dari simbol
Taijitu, yang mana lebih umum dikenal pada kebudayaan barat. Ada beberapa persepsi (terutama
di barat) yang mengatakan bahwa Yin dan Yang selalu dihubungkan dengan sesuatu yang baik
dan jahat. Namun, filsafat Taoist biasanya tidak memperhitungkan sesuatu yang baik atau jahat
dan penilaian moral, dalam kaitannya dengan konsep keseimbangan. Konfusianisme (Filosofi
dari Dong Zhongshu, c. Abad 2SM) tidak melampirkan dimensi moral dari Yin dan Yang. Tapi
dalam istilah modern, istilah ini sebagian besar telah teradaptasi olehfilosofi Budha Taoist.
a. Periodisasi Filsafat Cina
Pada perkembangan melewati rentan waktu panjang yang dilalui Filsafat di Cina, disini Filsafat
Cina dapat dikategorikan ke dalam empat periode besar.
1. Jaman Klasik (600-200 S.M.)
Menurut tradisi, periode ini ditandai oleh seratus sekolah filsafat:seratus aliran yang semuanya
mempunyai ajaran yang berbeda. Namun, kelihatan juga sejumlah konsep yang dipentingkan
secara umum, misalnya “tao” (”jalan”), “te” (”keutamaan” atau “seni hidup”), “yen”
(”perikemanusiaan”), “i” (”keadilan”), “t’ien” (”surga”) dan “yin-yang” (harmoni kedua prinsip
induk, prinsip aktif-laki-laki dan prinsip pasif-perempuan). Sekolah-sekolah terpenting dalam
jaman klasik adalah sebagai berikut.
a) Konfusianisme
Konfusius (bentuk Latin dari nama Kong-Fu-Tse, “guru dari suku Kung”) hidup antara 551 dan
497 S.M. Ia mengajar bahwa Tao (”jalan” sebagai prinsip utama dari kenyataan) adalah “jalan
manusia”. Artinya: manusia sendirilah yang dapat menjadikan Tao luhur dan mulia, kalau ia
hidup dengan baik. Keutamaan merupakan jalan yang dibutuhkan. Kebaikan hidup dapat dicapai
melalui perikemanusiaan (”yen”), yang merupakan model untuk semua orang. Secara hakiki
semua orang sama walaupun tindakan mereka berbeda.
b) Taoisme
8
Armawi, “Kajian Filosofis Terhadap Pemikiran Human-Ekologi Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Alam
(Philosophical Studies of Human Ecology Thinking on Natual Resource Use).”
Taoisme diajarkan oleh Lao Tse (”guru tua”) yang hidup sekitar 550 S.M. Lao Tse melawan
Konfusius. Menurut Lao Tse, bukan “jalan manusia” melainkan “jalan alam”-lah yang
merupakan Tao. Tao menurut Lao Tse adalah prinsip kenyataan objektif, substansi abadi yang
bersifat tunggal, mutlak dan tak-ternamai. Ajaran Lao Tse lebih-lebih metafisika, sedangkan
ajaran Konfusius lebih-lebih etika. Puncak metafisika Taoisme adalah kesadaran bahwa kita
tidak tahu apa-apa tentang Tao. Kesadaran ini juga dipentingkan di India (ajaran “neti”, “na-itu”:
“tidak begitu”) dan dalam filsafat Barat (di mana kesadaran ini disebut “docta ignorantia”,
“ketidaktahuan yang berilmu”).

c) Yin-Yang
“Yin” dan “Yang” adalah dua prinsip induk dari seluruh kenyataan. Yin itu bersifat pasif, prinsip
ketenangan, surga, bulan, air dan perempuan, simbol untuk kematian dan untuk yang dingin.
Yang itu prinsip aktif, prinsip gerak, bumi, matahari, api, dan laki-laki, simbol untuk hidup dan
untuk yang panas. Segala sesuatu dalam kenyataan kita merupakan sintesis harmonis dari derajat
Yin tertentu dan derajat Yang tertentu.
d) Moisme
Aliran Moisme didirikan oleh Mo Tse, antara 500-400 S.M. Mo Tse mengajarkan bahwa yang
terpenting adalah “cinta universal”, kemakmuran untuk semua orang, dan perjuangan bersama-
sama untuk memusnahkan kejahatan. Filsafat Moisme sangat pragmatis, langsung terarah kepada
yang berguna. Segala sesuatu yang tidak berguna dianggap jahat. Bahwa perang itu jahat serta
menghambat kemakmuran umum tidak sukar untuk dimengerti. Tetapi Mo Tse juga melawan
musik sebagai sesuatu yang tidak berguna, maka jelek.
e) Ming Chia
Ming Chia atau “sekolah nama-nama”, menyibukkan diri dengan analisis istilah-istilah dan
perkataan-perkataan. Ming Chia, yang juga disebut “sekolah dialektik”, dapat dibandingkan
dengan aliran sofisme dalam filsafat Yunani. Ajaran mereka penting sebagai analisis dan kritik
yang mempertajam perhatian untuk pemakaian bahasa yang tepat, dan yang memperkembangkan
logika dan tatabahasa. Selain itu dalam Ming Chia juga terdapat khayalan tentang hal-hal seperti
“eksistensi”, “relativitas”, “kausalitas”, “ruang” dan “waktu”.
f) Fa Chia
Fa Chia atau “sekolah hukum”, cukup berbeda dari semua aliran klasik lain. Sekolah hukum
tidak berpikir tentang manusia, surga atau dunia, melainkan tentang soal-soal praktis dan politik.
Fa Chia mengajarkan bahwa kekuasaan politik tidak harus mulai dari contoh baik yang diberikan
9
oleh kaisar atau pembesar-pembesar lain, melainkan dari suatu sistem undang-undang yang
keras sekali10.
Tentang keenam sekolah klasik tersebut, kadang-kadang dikatakan bahwa mereka berasal dari
keenam golongan dalam masyarakat Cina. Berturut-turut: (1) kaum ilmuwan, (2) rahib-rahib, (3)
okultisme (dari ahli-ahli magi), (4) kasta ksatria, (5) para pendebat, dan (6) ahli-ahli politik.

2.Jaman Neo-Taoisme dan Buddhisme (200 S.M.-1000 M.)


Bersama dengan perkembangan Buddhisme di Cina, konsep Tao mendapat arti baru. Tao
sekarang dibandingkan dengan “Nirwana” dari ajaran Buddha, yaitu “transendensi di seberang
segala nama dan konsep”, “di seberang adanya”.
3. Jaman Neo-Konfusianisme (1000-1900)
Dari tahun 1000 M. Konfusianisme klasik kembali menjadi ajaran filsafat terpenting. Buddhisme
ternyata memuat unsur-unsur yang bertentangan dengan corak berpikir Cina. Kepentingan dunia
ini, kepentingan hidup berkeluarga dan kemakmuran material, yang merupakan nilai-nilai
tradisional di Cina, sema sekali dilalaikan, bahkan disangkal dalam Buddhisme, sehingga ajaran
ini oleh orang dianggap sebagai sesuatu yang sama sekali asing.
4. Jaman Modern (setelah 1900)
Sejarah modern mulai di Cina sekitar tahun 1900. Pada permulaaan abad kedua puluh pengaruh
filsafat Barat cukup besar. Banyak tulisan pemikir-pemikir Barat diterjemahkan ke dalam bahasa
Cina. Aliran filsafat yang terpopuler adalah pragmatisme, jenis filsafat yang lahir di Amerika
Serikat. Setelah pengaruh Barat ini mulailah suatu reaksi, kecenderungan kembali ke tradisi
pribumi. Terutama sejak 1950, filsafat Cina dikuasai pemikiran Marx, Lenin dan Mao Tse Tung.
Inilah sejarah perkembangan filsafat China, yang merupakan filsafat Timur. Yang termasuk
kepada filsafat Barat misalnya filsafat Yunani, filsafat Helenisme, “filsafat Kristiani”, filsafat
Islam, filsafat jaman renaissance, jaman modern dan masa kini.

Filsafat India
Periodesasi Filsafat India Radhakrishnan membagi filsafat India menjadi enam tahapan, yaitu:
1) Periode Weda (1500-800 SM).

9
Ali, “Filsafat Timur: Sebuah Pengantar Hinduisme Dan Buddhisme.”
10
Burhanuddin, “Filsafat Ilmu.”
Masa ini melahirkan Mantra, Brahmana, Aranyaka, dan Upanishad sebagai bagian-bagian
dari Weda (Rg-Weda, Yajur-Weda, Sama-Weda dan Atharva Weda) yang berisi benih-
benih pemikiran filsafat mulai dari Mantra hingga Upanishad. Pandangan-pandangan
yang ada di dalamnya berupa pandangan filsafat dalam arti yang sebenarnya. Inilah masa
lahirnya filsafat India.
2) Periode Epos (600-400 SM).
Periode ini meluas hingga perkembangan Upanishad awal dan Darsana. Wiracarita dan
epos yang, sangat masyhur, yakni Ramayana dan Mahabharata menjadi media bagi
penyampaian pesan-pesan moralitas Upanishad dalam ketuhanan dan kemanusiaan.
Pesan-pean Upanishad memengaruhi Buddhisme dan Bhagavadgita. Sistem-sistem
religius, semacam Buddhisme, Jainisme, Sivaisme muncul pad masa ini.
3) Periode Sutra (300 SM-300 M)
Periode ini filsafat mulai ditulis dalam bentuk sutra, yakni ungkapan pendek, sederhana,
padat dan halus dalam bahasa Sansekerta. Sistematika Darsana juga ditulis dalam bentuk
sutra, missal, kerangka filsafat Mimamsa oleh Jaimini ditulis dalam Mimamsa-sutra.
Sutra sangat reflektif, bukan sekedar imajinasi konstruktif dan kebebasan spiritual,
bahkan sangat kritis. Yoga menerima Sankhya, Vaisesika mengakui Nyaya dan Sankhya.
Mimamsa dan Wedanta mengakui eksistensi lainnya. Ini terbuktimmanakala mencermati
tradisi sebelumnya (purva paksa) pada hampir seluruh sistem filsafat, Sankaracharya,
misalnya sebelum membangun sistem monoismenya (advaita), terlebih dahulu
mengevaluasi dan mencermati sistem-sistem yang telah ada. Kemudian dengan kekuatan
intuisi, analisis dan logika, ia mampu membawa sistem advaita melampaui sistem-sistem
lainnya
4) Periode Skolastik (300-1500 M).
Periode pemberian komentar dan eksplanasi pada sistematika-sistematika falsafi di India,
khususnya terhadap Guadapada (500), Islam (612) dan Shakara (700). Periode ini disebut
juga periode lahirnya nama-nama besar seperti Kumarila, Samkara, Ramanuja, Madhva
dan lain-lainnya. Masa ini diwarnai dengan perdebatan filsafat dan ilmu logika. Periode
ini disebut juga periode skolastik karena filsafat India berada di bawah pengaruh faylasuf
Muslim, seperti: al-Kindi (800- 870), ar-Razi (865- 925), alFarabi(872-950), Ibnu Sina
(980-1037), alGhazali (1059-1111) dan Ibnu Arabi (1165-1240). Pada periode ini juga
mulai berkembang filsafat Theistik dari Vhaisnavisme dan Shaivisme: Ramanuja (1100),
Madhva (1200), Kabir (1440-1518).
5) Periode Kegelapan (1500-1900).
Ini adalah periode lahirnya agama Sikh(isme) oleh Guru Nanak (1449-1538) serta
pengaruh Akbar (1556-1605) dan Syaikh Ahmad (1564-1624). Periode ini juga periode
kolonialisasi di bawah kekuasaan Barat; Ram Mohun Roy (1772-1833), pendiri
masyarakat Brahmo; Dayananda Saraswati (1824-1883), pendiri masyarakat Arya dan
Ramakrishna (1836-1886)
6) Periode Kontemporer (1850-2000).
Pada periode filsafat India mencapai puncak kematangannya. Ini ditandai dengan lahirnya
pemikir-pemikir fenomenal seperti: Rabindranath Tagore (1861-1941), Swami
Vivekananda28 (1863-1902) Mahandhas Karamchand (Mahatma) Gandhi (1869-1948),
Aurobindo Ghose (1872-1950), Muhammad Iqbal (1877-1938), Sarvepalli Radhakrisnan
(1888-1975). Puncaknya India meraih kemerdekaannya pada 1947.11

Filsafat Indonesia
Filsafat Indonesia hingga kini juga masih mencari wujud yang membawanya pada
ketidakpastian bentuk. Beberapa upaya ilmiah digaungkan untuk membangun ataupun
menemukan sosok dari filsafat Indonesia. Simposium International Filsafat Indonesia yang
diadakan di Jakarta pada 19-20 September 2014 menjadi contoh untuk mencari pemikiran yang
khas dari pemikiran-pemikiran di Indonesia. Simposium tersebut berakhir dengan usulan
penggunaan filsafat di Indonesia (Supelli, 2019).
Taufiqurrahman (2016) memberikan pandangan bahwa filsafat nusantara merupakan
salah satu kajian yang berkaitan dengan studi post-kolonialisme. Subaltern menjadi term yang
menjadi titik di mana pandangan tentang filsafat nusantara yang menjadi perwujudan dari suara
kaum pribumi. Subaltern menjelaskan bahwa pada perkembangannya, nusantara adalah subaltern
di mata barat yang sedang menguasai wacana filsafat (Taufiqurrahman, 2016). Upaya kritik
terhadap filsafat nusantara oleh Taufiqurrahman membawa pandangan yang baru karena
berkaitan dengan sisi historis dari kisah nusantara itu sendiri yakni kenyataan bahwa Indonesia
merupakan negara jajahan dan jika filsafat nusantara ada di atasnya, maka filsafat nusantara
berdiri di kaki post-kolonialisme. Hal ini juga merupakan asumsi yang melekat di dalam filsafat
nusantara untuk menggeneralisasi kebudayaan yang asli dan utuh dengan mitos-mitos dan cerita
yang dibangun oleh kolonialisme (Raja, 2019).
Semangat yang sama juga terdapat di dalam Antinomi Intitute. Banin D. Sukmono (2021)
mengajukan suatu solusi bagi perkembangan filsafat nusantara. Salah satu cara yang diajukan
adalah membangun filsafat Indonesia dengan berfokus pada penyelesaian masalah kontemporer.
Hal tersebut dianggap tidak hanya membangun filsafat Indonesia, tetapi juga menghasilkan filsuf
Indonesia (Sukmono, 2021). Tulisan Sukmono (2021) menuai berbagai tanggapan yang
dituangkan dalam esai-esai yang berkaitan filsafat Indonesia di dalam Antinomi Institute.
Kehidupan filsafat Indonesia dapat terlihat di dalam Antinomi Institute.
Jika diperhatikan dari upaya-upaya tersebut, filsafat nusantara, filsafat Indonesia, dan
filsafat di Indonesia dianggap sama dan setara. Oleh karena itu, artikel berusaha untuk
memberikan urun terhadap perkembangan filsafat nusantara yakni mengeksplorasi pemikiran
yang berkaitan dengan pendefinisian filsafat Indonesia. Tokoh-tokoh yang didalami adalah M.
Nasroen, R. Parmono, dan Soenoto karena pemikir-pemikir inilah yang pertama kali mencoba
untuk mendefinisikan filsafat Indonesia sejak tahun 1960an. Setelah didapati
11
Sudarto, “PERBANDINGAN FILSAFAT CINA DENGAN FILSAFAT INDIA.”
pemikiranpemikiran tersebut, penelitian ini juga ingin mendeskripsikan perkembangan filsafat
Indonesia hingga kini. Hal tersebut juga memperkuat posisi ketiga tokoh di atas sebagai 'pelopor'
filsafat Indonesia yang dikenal saat ini juga dengan filsafat nusantara. Pencarian atas wujud,
sosok, maupun bentuk filsafat nusantara membutuhkan perhatian tidak hanya terhadap apa yang
menjadi objek kajian di dalamnya, tetapi juga membutuhkan penguatan kembali atas asal mula
wacana filsafat ini.12

a. Pemikiran M. Nasroen, Soenoto, R. Parmono terhadap Filsafat Indonesia


Pengertian filsafat Indonesia memiliki perbedaan pada peletakan filsafat di dalam
kebudayaan. Nasroen menerjemahkan filsafat Indonesia merupakan filsafat yang bukan berjalan
pada jalur filsafat Barat, bahkan Timur. Oleh karena itu, filsafat Indonesia merupakan pemikiran
yang dikembangkan oleh masyarakat asli Indonesia. Filsafat tersebut termanifestasikan ke dalam
berbagai bentuk seperti pantun, konsep gotong royong, Pancasila, serta bentuk-bentuk
kebudayaan yang lain. Dalam perkembangannya, Parmono memberikan batasan terhadap
Filsafat Indonesia dengan lebih jelas. Bukan lagi dapat dipahami bahwa filsafat Indonesia
terpukul rata terhadap batasan suatu negara, namun menurut Parmono hal tersebut dibatasi oleh
daerah-daerah yang merupakan bagian dari Indonesia.
Sumbangan Parmono tersebut dapat menjawab keraguan atas orisinalitas masyarakat di
Indonesia, mengingat Indonesia melewati banyak garis waktu mulai dari sebelum datangnya
penjajah, berdirinya kerajaan-kerajaan yang tersebar hingga melewati garis Negara Indonesia itu
sendiri. Sunoto dalam pengertiannya terhadap filsafat Indonesia lebih menegaskan lagi bahwa
budaya kedaerahan yang dimaksudkan adalah daerah yang terdapat di dalam suatu negara yakni
Indonesia.
Antara ketiga tokoh tersebut, memiliki upaya untuk menunjukkan bahwa Filsafat
Indonesia memiliki batas-batas lahan untuk tumbuh. Pengertian yang telah disebutkan berupaya
untuk menunjukkan bahwa Bhinneka Tunggal Ika atau berbeda-beda tetap satu adalah suatu
gagasan yang bulat untuk menggali filsafat di Indonesia. Oleh karena itu, dari penjelasan ketiga
tokoh di atas, Fauroni (2019) memahami filsafat Indonesia merupakan kajian-kajian budaya dan
antropologi karena sebatas pandangan-pandangan asli dari kekayaan budaya saja (Fauroni,
2019).
Pengertian yang berkembang belum bisa menjelaskan tentang batas-batas pemikiran yang
dikatakan sesuai dengan batas geografis atau bahkan untuk menjelaskan keterlampauan
pemikiran khas Indonesia melampaui garis geografis. Butuh untuk menggali lebih dalam untuk
menemukan filsafat Indonesia yang terbatasi oleh ruang dan corak pemikiran. Hal tersebut
menjadi pertimbangan jika dilihat dari filsafat Jawa dan beberapa filsafat kebudayaan yang ada
di Indonesia dengan filsafat Jawa yang berkembang di luar dari garis geografis Indonesia atau
untuk pemikiran Jawa yang melintasi garis wilayah tempat filsafat tersebut berkembang. Filsafat
Indonesia harusnya dapat mengakomodasi keberagaman tersebut. Filsafat Indonesia
12
Alfariz and Permatasari, “Eksplorasi Pemikiran Tokoh Pelopor Filsafat Nusantara (m. Nasroen, Soenoto, Dan R.
Parmono).”
berkewajiban untuk menjadi wadah dan menjembatani keberagaman filsafat yang berkembang
per daerah. Hal tersebut menjadi kekosongan dalam ketiga pengertian karena jika diperhatikan
kedudukan filsafat dan kebudayaan yang ketiganya tidak memberikan margin terhadap suatu
daerah atau batas ruang. Akan tetapi, hal tersebut menjadi ambisi filsafat nusantara untuk
memberikan ciri khas atau label tersendiri bagi pemikiran yang khas ada di Indonesia (Raja,
2019).
Berkaitan dengan metode, Nasroen memiliki pemikiran bahwa apa yang terdapat di
dalam kebudayaan Indonesia bukanlah sesuatu hal yang bertentangan, tetapi semua hal tersebut
merupakan berlainan. Anti-dialektik merupakan sebutan yang disematkan bagi pemikiran
Nasroen berkaitan dengan harmoni. Pemikiran tersebut berpengaruh pula dengan pengembangan
ciri khas dari filsafat nusantara yakni menitikberatkan pada harmoni. Nasroen berpendapat
bahwa langkah tersebut untuk menghindari keberpihakan, sehingga menurutnya, filsafat
Indonesia seharusnya juga memiliki metode walaupun metode menggiring peneliti untuk
memiliki upaya dalam keberpihakan. Harmoni seharusnya tidak saling mengalahkan dan hal
tersebut merupakan dampak dari sebuah langkah keberpihakan. Hidayat (2010) menemukan
perbedaan yang cukup mencolok dari ketiga tokoh tersebut yakni metode yang digunakan oleh
Soenoto, yakni spiritualisme karena dari ketiga tokoh tersebut, hanya Soenoto yang
menggunakan metode tersebut (Hidayat, 2010).
Berkaitan dengan peletakan filsafat dan kebudayaan, ketiga pemikiran tersebut dapat
dianggap saling melengkapi dan memiliki kesimpulan yang sama. Kesimpulan yang dimaksud
adalah tidak menyangkal bahwa kebudayaan dan filsafat berjalan secara dinamis. Hal tersebut
didapati dari pemahaman Nasroen perihal kebudayaan merupakan produk dari pemikiran filsafat.
Tentu sebuah pemikiran akan berkembang serta mengalami perubahan. Soenoto berpendapat
bahwa filsafat merupakan bagian dari budaya. Mungkin pemikiran ini akan membawa pendapat
bahwa ada beberapa hal yang tidak menjadi bagian dari filsafat di dalam kebudayaan. Akan
tetapi, pemikiran tersebutlah yang mengantarkan penjelasan bahwa filsafat merupakan produk
sekaligus proses. Terakhir, pemikiran R. Parmono beranggapan bahwa pemikiran filsafatlah
yang menciptakan budaya dari pandangannya atas realitas. Kedinamisan budaya yang coba
digambarkan oleh Parmono cukup kental
Upaya untuk memposisikan kebudayaan dan filsafat tersebut dapat menjadi embrio dari
pemikiran-pemikiran filsafat Indonesia selanjutnya. Hanya R. Parmono yang dapat dipahami
bahwa peletakan filsafat dan budaya adalah hubungan antara produser dan produk. Filsafat tidak
diletakkan sebagai bagian dari budaya. Akan tetapi, untuk mendiskusikan lebih dalam lagi
perihal peletakan keduanya di dalam pemikiran Parmono, tentu membutuhkan penelitian lebih
spesifik lagi. Oleh karena itu, dari ketiga tokoh tersebut maka dua dari ketiganya menempatkan
filsafat sebagai sebuah produk budaya sekaligus proses dari kebudayaan itu sendiri.
Embrio masa depan dari filsafat Nusantara akan berkaca dari keduanya yang berpendapat
bahwa filsafat merupakan proses dan produk, sedangkan yang lain dihargai sebagai sebuah
proses. Perbedaan tersebut dapat memberikan warna-warna yang berbeda dalam pemahaman
sebuah pemikiran filsafat nusantara. Persepsi atas filsafat sebagai proses dan produk akan
mengembangkan pemahaman akan tingkat ketahanan suatu kebudayaan dalam upaya untuk
mempertahankan diri dari arus globalisasi yang menjadi kewaspadaan dari filsafat nusantara saat
ini.
Lain hal dengan filsafat yang dianggap sebagai proses saja, maka perkembangan filsafat
nusantara menjadi kurang tersentuh dalam pengembangan ilmu berkaitan budaya “berfilsafat”
dan dapat membuat garis tersendiri perihal urgensi dari pengembangan filsafat Indonesia yang
dapat berakibat perlambatan untuk perkembangan filsafat Indonesia atau nusantara. Hal tersebut
juga dapat memberikan hambatan dalam perkembangan filsafat nusantara untuk sadar bahwa
upayanya dalam menggeneralisasi budaya asli iIndonesia di samping sejarah kolonialisme yang
dimiliki karena bertalian dengan produk budaya hasil kolonialisme dan budaya asli yang utuh
serta proses perkembangan pemikiran di Indonesia selama dijajah.13

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Filsafat Timur merupakan bidang studi yang penting dan memiliki peran besar dalam
mengembangkan pemikiran manusia di berbagai negara, termasuk di Arab Saudi, Jepang, China,
India, dan Indonesia. Para tokoh pemikir dari negara-negara tersebut memberikan kontribusi
penting dalam pengembangan Filsafat Timur dengan pemikiran-pemikiran yang unik dan
beragam.
Pemikiran Filsafat Timur mempunyai nilai-nilai positif yang dapat membantu manusia dalam
mencari makna hidup, mengatasi masalah, serta mencapai keseimbangan dan kesadaran yang
lebih tinggi. Pemikiran-pemikiran seperti Tao, Karma, Zen, Tawhid, dan kearifan lokal Indonesia
memberikan kontribusi penting dalam mengembangkan pemikiran manusia tentang kehidupan
dan hakikat manusia.
Meskipun terdapat perbedaan dalam pemikiran dan pandangan antara negara satu dengan
lainnya, namun terdapat pula kesamaan dalam upaya untuk memahami hakikat manusia dan
kehidupan, serta mencari solusi dalam mengatasi berbagai masalah kehidupan. Selain itu,
pemikiran Filsafat Timur juga dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam
mengatasi stres, kecemasan, dan konflik interpersonal.
Dengan demikian, Filsafat Timur dan para tokoh pemikirnya memberikan sumbangan penting
dalam pengembangan pemikiran manusia di berbagai negara. Pemikiran Filsafat Timur memiliki
nilai-nilai positif yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dan berpotensi dalam
menciptakan kehidupan yang lebih harmonis, damai, dan berkelanjutan bagi manusia dan
lingkungan sekitar.

13
Alfariz and Permatasari.
DAFTAR PUSTAKA

ACHMAD, SN, T. SUPATMININGSIH, and ... “UPAYA PENINGKATAN MOTIVASI DAN


HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK PADA MATA PELAJARAN EKONOMI
MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN ….” … EKONOMI, SOSIAL &
…, 2020. https://www.jurnalintelektiva.com/index.php/jurnal/article/view/295.
Alfariz, Fitri, and Rr Yudistira Ayu Permatasari. “Eksplorasi Pemikiran Tokoh Pelopor Filsafat
Nusantara (m. Nasroen, Soenoto, Dan R. Parmono).” Jurnal Filsafat Indonesia 5, no. 2
(2022): 103–11.
Ali, M. “Filsafat Timur: Sebuah Pengantar Hinduisme Dan Buddhisme.” Tangerang: Sanggar
Luxor, 2013.
Anwar, SD (Siti). “Cara Berpikir Orang Jepang: Sebuah Perspektif Budhisme.” University of
Indonesia, 2004.
Armawi, A. “Kajian Filosofis Terhadap Pemikiran Human-Ekologi Dalam Pemanfaatan
Sumberdaya Alam (Philosophical Studies of Human Ecology Thinking on Natual
Resource Use).” Jurnal Manusia Dan Lingkungan, 2013.
https://journal.ugm.ac.id/JML/article/view/18474.
Burhanuddin, N. “Filsafat Ilmu.” books.google.com, 2018. https://books.google.com/books?
hl=en\&lr=\&id=O8NoDwAAQBAJ\&oi=fnd\&pg=PA1\
&dq=perkembangan+filsafat+china\&ots=lCki306pnr\
&sig=FtmOY0_HSIYS2eefFVl2GMWc6Ws.
Gozali, M. “Agama Dan Filsafat Dalam Pemikiran Ibnu Sina.” Jaqfi: Jurnal Aqidah Dan
Filsafat Islam, no. Query date: 2023-04-09 11:23:37 (2016).
http://journal.uinsgd.ac.id/index.php/jaqfi/article/view/1712.
Havier, M. R. “Nilai-Nilai Shintoisme Pada Perbedaan Warna Dan Bentuk Gerbang Dunia Dewa
Di Awal Dan Akhir Film Spirited Away Karya Studio Ghibli.” Jurnal Desain Indonesia.,
2021. https://jurnal-desain-indonesia.com/index.php/jdi/article/view/120.
Ismail, I. “Filsafat Islam (Tokoh Dan Pemikirannya),” no. Query date: 2023-04-09 11:23:37
(2013). http://repository.iainbengkulu.ac.id/8045/1/1.BUKU%20FILSAFAT
%20ISLAM.pdf.
Subakti, Y. R. “PERKEMBANGAN EKONOMI JEPANG PADA ERA SHOGUNAT
TOKUGAWA,” n.d.
Sudarto, Sudarto. “PERBANDINGAN FILSAFAT CINA DENGAN FILSAFAT INDIA.”
Jurnal Artefak 3, no. 2 (2019): 131–46.

Anda mungkin juga menyukai