Anda di halaman 1dari 19

LEGISLASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Legislasi Hukum

Indonesia Pada Fakultas Syariah & Hukum Islam Program Studi Hukum

Keluarga Islam (HKI) Kelompok Satu (I) Semester Enam (VI)

Institut Agama Islam Negeri

(IAIN) Bone

Oleh :

KELOMPOK V

AGUSTANG
01.18.1004

MEGAWATI
01.18.1014

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

(IAIN) BONE

2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. Karena

atas petunjuk dan kemudahan yang diberikan kepada kami dalam penyelesaian

salah satu tugas kuliah kami yaitu pembuatan makalah dalam hal ini materi yang

kami bahas mengenai mengenai “Legislasi Hukum Islam di Indonesia”

Tak lupa kami curahkan sholawat dan salam kepada junjungan Nabi

Muhammad SAW yang juga telah memberi petunjuk bagi kita semua, sehingga

bisa terselamatkan dari lembah kesesatan. Dalam penyusunan makalah ini, tak

semudah apa yang kami bayangkan. Banyak kesulitan dan hambatan yang kami

lalui dalam penyusunan makalah ini. Tapi berkat Izin dan Rahmat Allah SWT

saya mampu menyelesaikannya.

Harapan kami sebagai penyusun makalah, yaitu semoga apa yang terdapat

dalam lembaran kertas ini, dapat memberi manfaat bagi para pembaca. Tak lupa

pula kami haturkan maaf atas segala kekurangan dan kesalahan yang terdapat

dalam makalah ini. Karena pemilik kesempurnaan yang sesungguhnya adalah

Allah SWT.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Penulis

Kelompok 5

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 3

C. Tujuan Penulisan 3

BAB II PEMBAHASAN

A. Pro-Kontra Legislasi Hukum Islam di Indonesia 4

B. Kriteria Hukum Islam yang di legislasi Sebelum Reformasi 8

BAB III PENUTUP

A. Simpulan 14

B. Saran 15

DAFTAR RUJUKAN 16

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Syari’at adalah ketentuan yang ditetapkan oleh Allah swt yang dijelaskan

oleh rasul-Nya, tentang pengaturan semua aspek kehidupan manusia, dalam

mencapai kehidupan yang baik, di dunia dan di akhirat kelak. Ketentuan syari’at

terbatas dalam firman Allah dan sabda rasul-Nya. Nash-nash yang terdapat pada

keduanya banyak yang masih bersifat global dan umum sehingga perlu

interpretasi lebih lanjut.

Agar segala ketentuan (hukum) yang terkandung dalam syari’at tersebut

bisa diamalkan oleh manusia, maka manusia harus bisa memahami segala

ketentuan yang dikehendaki oleh Allah swt yang terdapat dalam syari’at tersebut.

Dari sinilah muncul fiqh (hukum Islam) sebagai sebuah hasil ijtihadi dari ulama

(fuqaha) dalam memahami kedua sumber ajaran Islam agar lebih dapat membumi

dan sesuai dengan realitas kehidupan masyarakat.

Fiqh sebagai sebuah hasil pemikiran tentu saja relatif kebenarannya dan

tidak sakral. Inipun diakui oleh para imam Mujtahid yang menghasilkan produk

hukum tersebut. Karenanya, apabila dikemudian hari pendapat-pendapat mereka

tidak sesuai dengan semangat syariah Islam (maqashid syari’ah) dan kehilangan

relevansinya dengan kondisi ruang, waktu dan keadaan, maka pendapat mereka

harus dipertanyakan, dikaji ulang dan bila perlu dirubah dengan tentu saja

berdasarkan pada kedua sumber utama ajaran Islam, Alquran dan sunnah.

Dalam kasus Indonesia, ada sebuah upaya untuk melegeslasikan fikih

(hukum Islam) ke tatanan hukum dan perundang-undangan di Indonesia. Ini


2

dimaksudkan agar seluruh umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk di

negeri ini mengamalkan ajaran agamanya dengan mendapatkan legalitasnya dari

pemerintah. Pelegeslasian ini diperlukan, agar hukum Islam dijalankan tidak

hanya sekadar kesadaran pribadi dan keyakinan tapi telah bersifat mengikat dan

memaksa, sehingga yang tidak menjalankannya akan mendapatkan sanksi dari

pemerintah.

Terjadi pasang surut perkembangan dan penerapan Hukum Islam di

Indonesia mulai masa kerajaan-kerajaan sebelum penjajahan Belanda, masa

penjajahan Belanda, era kemerdekaan dan hingga masa reformasi saat sekarang

ini. Karena bagaimanapun Islam tidak dapat dipisahkan dari Hukum Islam. Di

manapun Islam itu berada, secara inheren Hukum Islam ada dan diamalkan.

Pengamalan ini bisa saja dilakukan atas kesadaran pribadi atau karena dipaksakan

oleh lembaga Pengadilan dalam segala bentuknya yang memaksa berlakunya hu-

kum Islam itu. Dengan demikian di manapun Islam itu berada, hukum Islam itu

akan selalu dijumpai.

Hasil dari proses legislasi hukum Islam ini pada masa awal terlihat dari

Undang-Undang No.1/1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang No. 7/1989

tentang Peradilan Agama, Intruksi presiden No. 1 / 1991 tentang Kompilasi

hukum Islam yang berlaku dan menjadi pedoman bagi pengambilan keputusan

seluruh Peradilan Agama di Indonesia.


3

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, adapun rumusan masalah pada makalah

ini, yaitu :

1. Apa saja pro-kontra legislasi hukum Islam di Indonesia?

2. Bagaimana kriteria hukum Islam yang di Legislasi sebelum reformasi?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan pada maklah ini, yaitu :

1. Untuk mengetahui pro-kontra legislasi hukum Islam di Indonesia

2. Untuk mengetahui kriteria hukum Islam yang di Legislasi sebelum

reformasi
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pro-Kontra Legislasi Hukum Islam di Indonesia

Penolakan terhadap gerakan taqnin (legislasi atau kompilasi, kodifikasi,

dan unifikasi) hukum Islam hingga saat ini masih dianut oleh sebagian kalangan

ulama. Di antara mereka adalah Syekh Shalih Fauzan Al Fauzan, anggota Komite

Tetap Fatwa dan anggota Kibârul Ulama Kerajaan Saudi Arabia; Syekh Abdullah

bin Muhammad al Ghunaiman, mantan Ketua Pasca Sarjana Universitas

Islamiyah dan pengajar tetap di Mesjid Nabawi, Madinah; Syekh Abdurahman bin

Shalih al Mahmud, Guru Besar Universitas Islam Ibnu Sa’ud; Syekh Abdurahman

bin Abdullah al ‘Ajlan, mantan Ketua Pengadilan Tinggi Al Qashim dan pengajar

tetap Masjidilharam; Syekh Abdul Aziz bin Abdullah Ar Rajihi, Guru Besar

Universitas Islam Ibnu Sa’ud; dan lain-lainnya.

Di antara argumen mereka yang menolak taqnin hukum Islam adalah:

1. Bertentangan dengan sunnah generasi pertama Islam (salafussh shâlih) dari

kalangan shahabat, tâbi’în dan atbâ’ut tâbi’în dan generasi-generasi

sesudahnya pada masa-masa kejayaan Islam yang tidak melakukan taqnin

hukum fikih;

2. Legislasi hukum Islam berarti juga unifikasi hukum (fiqih) Islam dalam

masalah-masalah ijtihadiyah yang berpotensi merampas kebebasan

seseorang untuk menganut madzhab fiqih yang diyakini kebenarannya, hal

ini bertentangan dengan pendapat mayoritas ulama terdahulu yang menolak

penyeragaman madzhab fiqih dengan cara-cara menggunakan pemaksaan

kekuasaan negara;
5

3. Legislasi berpotensi membawa perubahan terhadap hukum syariat dengan

melakukan penambahan dan pengurangan di dalamnya. Sehingga membuka

peluang berhukum dengan selain hukum Allah;

4. Produk legislasi sangat rawan untuk direvisi, artinya syariat akan jadi objek

perubahan dan revisi dari generasi ke generasi berikutnya;

5. Legislasi membuka jalan meninggalkan fiqih Islam secara keseluruhan,

sebab hukum yang diakui seakan hanya yang telah diundangkan oleh

negara.

Adapun para ulama-cendekiawan muslim yang mendukung gerakan

lagislasi (taqnîn) hukum Islam dalam perundang-undangan negara seperti Syekh

Yusuf Al Qordhawi, Abdul Qadir Audah, Muhammad Abu Zahrah, Abdul Qadir

Audah, Mustafa Az Zuhaili, Abdurahman Abdul Aziz al Qasim, dan lain-lain,

mereka menyadari bahwa dalam pelegislasian hukum Islam terdapat beberapa

kelemahan dan resiko, tetapi kebutuhan atas taqnin dan kemaslahatannya dinilai

lebih besar. Diantara argumentasi mereka adalah:

1. Memberi kemudahan kepada para hakim dalam mengetahui hukum syariat,

terlebih lagi di saat para hakim bukan lagi para mujtahid. Dengan adanya

kompilasi hukum Islam para hakim tidak perlu menghabiskan waktu terlalu

banyak untuk mentelaah kitab-kitab fiqih di tengah menumpuknya perkara-

perkara hukum yang harus diselesaikan;

2. Untuk menjaga keseragaman dan kepastian hukum dalam satu wilayah

kekuasaan negara. Tanpa adanya kodifikasi hukum Islam akan

menimbulkan kekacauan hukum dan membuka peluang orang melarikan

diri dari suatu sanksi hukuman;


6

3. Akan memberi ketentraman hati dan kepastian kepada pihak-pihak yang

berperkara serta menghindarkan para qâdi dari kecurigaan-kecurigaan

mempermainkan hukum;

4. Dengan dilkodifikasikan hukum sudah diketahui oleh masyarakat sebelum

terjadinya pelanggaran, karena masyarakat akan mengetahui perbuatan apa

saja yang melanggar hukum serta sanksi-sanksinya;

5. Kodifikasi hukum Islam termasuk wilayah politik syariat (siyasah al

syar’iyah) yang merupakan kewenangan pemerintah Islam yang wajib

dita’ati oleh rakyatnya.

Di atas problem tersebut, usaha dan proses pengundangan hukum Islam

dalam perundang-undangan Indonesia terus dilakukan. Fakta historis menunjukan

bahwa telah terjadi perkembangan hukum Islam dalam tata hukum nasional dan

secara lebih nyata dalam formalisasi hukum Islam ke dalam hukum nasional

melalui legislasi di DPR. Terutama sejak disahkannya UU Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan, sampai kepada UU Nomor 21 Tahun 2008 Tentang

Perbankan Syariah.

Pro-kontra tentang legislasi syariat telah “berhasil” dilewati dalam sejarah

pembentukan hukum Islam di Indonesia terbukti dengan terus berlangsungnya

legislasi syariat. Tetapi problem pada tahap berikutnya, yaitu tahap penegakan

hukum juga tidak kalah penting. Dalam beberapa bidang hukum, masih terjadi

tumpang tindih pemahaman dan pengamalan hukum Islam di tengah masyarakat

antara hukum Islam dalam pengertian Hukum Fiqih yang terdapat pada kitab-

kitab dan madzhab-madzhab fiqih dengan hukum Islam dalam pengertian Hukum

Islam dalam bentuk perundang-undangan. Seperti yang nampak dalam kasus-


7

kasus perkara perkawinan, perceraian, warisan, perwakafan dan sebagainya.

Wallahu A’lamu bishowab.

Ada beberapa faktor pendukung bagi legislasi hukum Islam di Indonesia,

yaitu :1

1. Mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam sehingga memperjuangkan

hukum Islam dalam hukum nasional kemungkinan juga mendapat dukungan

mayoritas rakyat.

2. Pada tataran yuridis konstitusional, berdasarkan sila pertama Pancasila dan

pasal 29 UUD 1945, hukum Islam adalah bagian dari hukum nasional dan

harus ditampung dalam pembinaan hukum nasional.

3. Kesadaran beragama memiliki pengaruh terhadap kesadaran hukum

sehingga seharusnya hukum Islam menjadi kesadaran mayoritas rakyat

karena hukum mengemban fungsi ekspresif dan fungsi instrumental.

4. Sistem politik Indonesia memberikan peluang bagi tumbuh dan

berkembangnya aspirasi politik Islam, termasuk aspirasi untuk

melegislasikan hukum Islam.

5. Hukum Islam sendiri memiliki elastisitas dalam batas-batas tertentu

disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan umat islam Indonesia.

Sebaliknya, ada beberapa tantangan legislasi hukum Islam, yaitu :

1. Perbedaan pendapat dikalangan muslim sendiri, ada yang mendukung

gagasan legislasi hukum Islam dan ada yang menolaknya.

1
Jazuni, legislasi Hukum Islam di Indonesia (Cet. I; Bandung: Citra Aditiya Bakti,
2005), h. 489-490.
8

2. Perbedaan pendapat dikalangan muslim sendiri mengenai suatu masalah

fikih yang memang memungkinkan adanya perbedaan pendapat ketika akan

diundangkan.

3. Adanya resistensi dari kalangan non muslim yang menganggap legislasi

Hukum Islam di negara nasional akan menempatkan mereka seolah-olah

sebagai warga negara kelas dua dan ini juga dipicu oleh sikap dan

pernyataan sebagian gerakan Islam sendiri yang justru kontra produktif bagi

perjuangan hukum Islam.

4. Selama pandangan hidup, nilai-nilai budaya, dan apa yang ingin

dipertahankan dan dicapai melalui legislasi beragam karena heterogenitas

bangsa, selama itu pula legislasi hukum Islam lebih-lebih yang unikatif akan

sulit dilakukan.

5. Produk legislasi adalah prodak politik sehingga untuk berhasil

memperjuangkan legislasi hukum Islam harus mendapat dukungan suara

mayoritas dilembaga pembentuk hukum, dan fakta politik menunjukkan

bahwa aspirasi politik Islam bukan mayoritas di Indonesia, sebagaimana

tampak dari hasil pemilihan umum yang pernah diselenggarakan (partai

politik Islam tidak pernah memperoleh suara mayoritas sepanjang sejarah

pemilihan umum di Indonesia).

B. Kriteria Hukum Islam Yang di Legislasi Sebelum Reformasi

Dalam rentang waktu enampuluh tujuh tahun kemerdekaan Indonesia,

perkembangan hukum Islam mengalami pasang surut seiring gelombang politik

nasional. Peralihan era kekuasaan politik nampaknya memberi konstribusi besar

terhadap pasang surut legislasi hukum Islam di Indonesia. Era Orde lama yang

terbentang selama 21 tahun sejak kemerdekaan 1945 sampai 1966, tidak

menghasilkan legislasi hukum materil Islam yang penting selain UU Nomor 22


9

Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Ruju’ di Seluruh Daerah Luar

Jawa dan Madura yang kemudian diikuti dengan Undang-Undang Nomor 32

Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia

22 Tahun 1946 tersebut.

Sedang pada masa kekuasaan Orde Baru yang berlangsung sejak tahun

1966 sampai 1998 hanya dua produk hukum Islam dalam bentuk Undang-Undang

yang diproses melalui legislasi di Parlemen. Yaitu UU No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan dan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, serta satu

produk hukum yang ditetapkan melalui Inpres, yaitu Kompilasi Hukum Islam

(KHI). Pada masa kekuasaan Orde Reformasi yang sedang berlangsung sejak

tahun 1998 sampai sekarang telah melahirkan sepuluh produk legislasi berupa

Undang-Undang. Yaitu:2

1. Undang-Undang No.17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji

2. Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat

3. Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf

4. Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama Untuk

Ekonomi Syariah.

5. UU No.13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, revisi atas UU

No.17 Tahun 1999.

6. Undang-Undang No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara

7. Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari'ah.

8. UU No. 10 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Revisi atas UU No. 7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

2
Cik hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia (Cet. III; Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2000), h. 91-92.
10

9. UU No.2 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Ibadah haji, revisi kedua

terhadap UU No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibdah Haji

10. Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2011 tentang

Pengelolaan Zakat. Sebagai revisi atas UU No.38 Tahun 1999.

Ketika masa reformasi menggantikan orde baru (tahun 1998), keinginan

mem- positifkan hukum Islam sangat kuat. Perkembangan hukum Islam pada

masa ini mengalami kemajuan. Secara riil hukum Islam mulai teraktualisasikan

dalam kehidu- pan sosial. Wilayah cakupannya menjadi sangat luas, tidak hanya

dalam masalah hukum perdata tetapi masuk dalam ranah hukum publik. Hal ini

dipengaruhi oleh munculnya undang-undang tentang Oto- nomi Daerah. Undang-

undang otonomi daerah di Indonesia pada mulanya adalah UU No.22 tahun 1999

tentang pemerintah daerah, yang kemudian diamandemen melalui UU No.31

tahun 2004 tentang otonomi daerah. Menurut ketentuan Undang-undang ini, setiap

daerah memiliki kewenangan untuk mengatur wilayahnya sendiri termasuk dalam

bidang hukum.

Akibatnya bagi perkembangan hukum Islam adalah banyak daerah

menerapkan hukum Islam. Meskipun hukum Islam tidak berkembang lewat jalur

struktural partai, namun hukum Islam pada era reformasi sebagai kelanjutan dari

era sebelumnya dapat berkembang pesat melalui jalur kultural. Hal itu terjadi

sebagai konsekuensi logis dari kemajuan kaum muslim di bidang ekonomi dan

pendidikan.3Perkembangan Islam pada era reformasi diikuti perkem- bangan

hukum Islam secara kultural. Keadaan tersebut ditunjang oleh lahirnya beberapa

undang-undang sebagai hukum positif Islam, yaitu UU No. 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 jo No. 50 Tahun

Sudirman Tebba, Islam Pasca Orde Baru, (Yogyakarta; Tiara Wacana, 2001), h.17
3
11

2009; UU No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat; UU No. 17

Tahun 1999 tentang penyelenggaraan haji diubah dengan UU No. 13 Tahun 2008;

dan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankkan Syariah.4

Pada awal reformasi, kebijakan arah dan tujuan bangsa Indonesia diatur

dalam GBHN tahun 1999. Dengan berlakunya GBHN tahun 1999 ini, hukum

Islam mempunyai kedudukan lebih besar dan tegas lagi untuk berperan sebagai

bahan baku hukum nasional. Perkembangan hukum nasional pasca reformasi

mencakup tiga elemen sumber hukum yang mempunyai kedudukan yang sama

dan seimbang yaitu hukum adat, Barat dan Islam. Ketiganya berkompetisi bebas

dan demokratis, bukan pemaksaan.

Secara garis besar, pemberlakuan hukum Islam di berbagai wilayah

Indonesia dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu penegakan sepenuhnya dan

penegakan sebagian. Penegakan hukum Islam sepenuh- nya dapat dilihat di

provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Penegakan model ini bersifat menyeluruh

karena bukan hanya menetap- kan materi hukumnya, tetapi juga men- struktur

lembaga penegak hukumnya. Daerah lain yang sedang mempersiapkan adalah

Sulawesi selatan (Makassar) yang sudah membentuk Komite Penegak Syari’at

Islam (KPSI), dan kabupaten Garut yang membentuk Lembaga Pengkajian,

Penega- kan, dan Penerapan Syari’at Islam (LP3SyI).

Provinsi Nangroe Aceh Darussalam merupakan daerah terdepan dalam

pelak- sanaan hukum Islam di Indonesia. Dasar hukumnya adalah UU No.44

tahun 1999 tentang Keistimewaan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.

Keistimewaan tersebut meliputi empat hal, diantaranya ialah:5


4
Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam Di Tengah Kehidupan Sosial Politik Di
Indonesia, (Malang; Banyumedia Publishing, 2005), h. 223
A. Qadri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional (Jogjakarta; Gama Media, 2002), h.,
5

h.169
12

1. Penerapan syari’at Islam diseluruh aspek kehidupan beragama,

2. Penggunaan kurikulum pendidikan ber- dasarkan syari’at Islam tanpa

meng- abaikan kurikulum umum.

3. Pemasukan unsur adat dalam sistem pemerintah desa, dan

4. Pengakuan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.

Fenomena pelaksanaan hukum Islam juga merambah daerah-daerah lain di

Indonesia, meskipun polanya berbeda dengan Aceh. Berdasarkan prinsip otonomi

daerah, maka munculah perda-perda ber- nuansa syari’at Islam di wilayah tingkat

I maupun tingkat II. Daerah-daerah tersebut antara lain: Provinsi Sumatera Barat

Perda No. 11/2001 perihal Pemberantasan dan Pencegahan maksiat; Kota Solok

Perda No. 10/2001 perihal Kewajiban membaca al- Qur’an bagi siswa dan

pengantin; Kota Padang Pariaman Perda No. 2/2004 perihal Pemberantasan dan

Pencegahan maksiat; Riau jenis Surat Gubernur No. 003.1/ UM/08.01.2003

perihal Pembuatan papan nama arab; Pangkal Pinang Perda No. 6 Tahun 2006

perihal Pengawasan dan Pengendalian minuman beralkohol; Kab. Bulukumba

Perda No. 5/2003 perihal pakaian busana muslimah bagi pegawai instansi, toko

dan pelajar dan masih banyak lagi.

Jika diperhatikan seluruh perda-perda yang ada terlihat bahwa materi

perda syaria’at Islam tidak bersifat menyeluruh, tetapi hanya menyangkut

masalah-masalah luar saja. Jika dikelompokkan berdasarkan aturan yang

tercantum dalam perda-perda syari’at, maka isinya mencakup masalah:

kesusilaan, pengelolaan Zakat, Infaq dan Sadaqah, Penggunaan busana muslimah,

pelarangan peredaran dan penjualan minuman keras, pelarangan pelacuran, dan

sebagainya.

Penerapan perda-perda pun terkesan jalan di tempat, oleh karena


13

kurangnya perhatian dan kemauan masyarakat Islam untuk mengamalkannya

ditambah dengan tidak adanya saksi hukum bagi yang melanggarnya.


BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan pembahasan diatas, adapun kesimpulan pada makalah ini,

yaitu :

1. Pro-kontra tentang legislasi syariat telah “berhasil” dilewati dalam sejarah

pembentukan hukum Islam di Indonesia terbukti dengan terus

berlangsungnya legislasi syariat. Tetapi problem pada tahap berikutnya,

yaitu tahap penegakan hukum juga tidak kalah penting. Dalam beberapa

bidang hukum, masih terjadi tumpang tindih pemahaman dan pengamalan

hukum Islam di tengah masyarakat antara hukum Islam dalam pengertian

Hukum Fiqih yang terdapat pada kitab-kitab dan madzhab-madzhab fiqih

dengan hukum Islam dalam pengertian Hukum Islam dalam bentuk

perundang-undangan. Seperti yang nampak dalam kasus-kasus perkara

perkawinan, perceraian, warisan, perwakafan dan sebagainya.

2. pada masa kekuasaan Orde Baru yang berlangsung sejak tahun 1966 sampai

1998 hanya dua produk hukum Islam dalam bentuk Undang-Undang yang

diproses melalui legislasi di Parlemen. Yaitu UU No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan dan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, serta satu

produk hukum yang ditetapkan melalui Inpres, yaitu Kompilasi Hukum

Islam (KHI). Pada masa kekuasaan Orde Reformasi yang sedang

berlangsung sejak tahun 1998 sampai sekarang telah melahirkan sepuluh

produk legislasi berupa Undang-Undang.


15

B. Saran

Adapun saran yang bisa kami sampaikan pada makalah ini selaku penulis

yaitu agar kiranya para pembaca lebih menambah wawasan mengenai materi yang

kami bahas pada makalah ini, karena makalah yang kami buat masih jauh dari

kata sempurna.
DAFTAR RUJUKAN

Azizy, A. Qadri. Eklektisisme Hukum Nasional Jogjakarta; Gama Media, 2002.


Bisri, Cik hasan. Peradilan Agama di Indonesia Cet. III; Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2000.
Jazun., legislasi Hukum Islam di Indonesia Cet. I; Bandung: Citra Aditiya Bakti,
2005.
Sumitro, Warkum Perkembangan Hukum Islam Di Tengah Kehidupan Sosial
Politik Di Indonesia.Malang; Banyumedia Publishing, 2005.
Tebba, Sudirman. Islam Pasca Orde Baru. Yogyakarta; Tiara Wacana, 2001.

Anda mungkin juga menyukai