Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tasawuf sebagai salah satu ilmu esoterik islam memang selalu menarik

untuk diperbincangkan. Terlebih pada saat ini dimana masyarakat seakan

mengalami banyak masalah sehingga tasawuf dianggaap sebagai satu obat manjur

untuk mengobati kehampaan tersebut.

Terlepas dari banyaknya pro dan kontra seputar asal mula munculnya

tasawuf harus kita akui bahwa nilai-nilai tasawuf memang sudah ada sejak zaman

Rasulullah SAW. Setidaknya tasawuf pada saat itu terlihat dari tingkah laku nabi

yang pada akhirnya kita namakan dengan nilai-nilai sufi. Hal tersebut sangatlah

wajar karena misi terpenting nabi adalah untuk memperbaiki dan sekaligus

meyempurnakan akhlak masyarakat arab dulu.

Diantara salah satu tokoh tasawuf islam yang sangat terkenal adalah

Muhammad ibn Ahmad al-Thusi atau yang kita kenal dengan sebutan Imam Al-

Ghazali. Beliau telah berhasil menggagas kaedah-kaedah tasawuf yang terkumpul

dalam karya yang terkenal Ihya’ U’lum al-Din (The Revival of Religion Sciences).

Karya al-Ghazali ini dianggap sebagai jembatan yang mendamaikan syari’at

dengan tasawuf yang sempat mengalami clash pada zaman itu.

1
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, adapun rumusan masalah pada makalah

ini, yaitu :

1. Bagaimana Riwayat Hidup Al-Ghazali?

2. Apa saja Konsep Ma’rifat Al-Ghazali?

3. Bagaimana hubungan Al-Ghazali dan Tasawuf?

4. Bagaimana Penyebaran ajaran Tasawuf Al-Ghazali?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan ruan masalah diatas, adapun tujuan dari penusan makalah ini,

yaitu sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui Riwayat Hidup Al-Ghazali

2. Untuk mengetahui Konsep Ma’rifat Al-Ghazali

3. Untuk mengetahui hubungan Al-Ghazali dan Tasawuf

4. Untuk mengetahui Penyebaran ajaran Tasawuf Al-Ghazali

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan pada makalah ini yaitu sebagai referensi untuk

para pembaca mengenai Tokoh Al-Gazali dengan Ilmu Tasawufnya agar para

pembaca lebih termotivasi untuk memahami ilmu tasawuf ban Cuma dari satu sisi

saja.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup Al-Ghazali

Nama lengkap adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad ta’us Ath-

thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Ia dipanggil Al-Ghazali karena ia lahir di Ghazalah

suatu kota di Kurasan, Iran, tahun 450 H/1058 M, ayahnya seorang pemintal kain

wol miskin yang taat, pada saat ayahnya menjelang wafat Al Ghazali dan adiknya

yang bernama Ahmad dititipkan kepada seorang sufi.1

Setelah lama tinggal bersama sufi itu, Al-Ghazali dan adiknya disarankan

untuk belajar pada pengelola sebuah madrasah, sekaligus untuk menyambung

hidup mereka, di sana ia mempelajari ilmu fiqih kepada Ahmad bin Muhammad

Ar-Rizkani, kemudian ia memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah dan berguru

kepada Imam Haramain (Al-Juwaini) hingga menguasi ilmu manthiq, ilmu kalam,

fiqh, ushul fiqh, filsafat, tasawuf dan retorika perdebatan, tak hanya itu ia pun

mengisi waktu belajarnya dengan belajar teori-teori tasawuf kepada Yusuf An-

Nasaj Imam Haramani menjuluki Al-Ghazali dengan sebutan Bahr Mu’riq (lautan

yang menghanyutkan) kemahirannya dalam menguasi ilmu didapatnya, termasuk

perbedaan pendapat dari para ahli ilmu serta mampu memberikan sanggahan-

sanggahan kepada para penentangnya.2

1
Kholid Syamhudi, Lc, “Sejarah Hidup Imam Al Ghazali : Bag pertama”
https://muslim.or.id/59-sejarah-hidup-imam-al-ghazali-1.html (diakses pada tanggal 29 April 2019,
pukul 19.11 wita).
2
Kholid Syamhudi, Lc, “Sejarah Hidup Imam Al Ghazali.

3
Setelah Imam Haramani Wafat (478 H/1068 M) Al-Ghazali pergi ke

Baghdad, yaitu tempat berkuasanya Perdana Menteri Nizham Al-Muluk (wafat

485 H/1091 M). Pada tahun 483 H/1090 M ia diangkat oleh Nizam Al-Muluk

menjadi guru besar di Universitas. Selama di Baghdad Al-Ghazali menderita

keguncangan batin sebagai akibat sikap keragu-raguan akan pencarian kebenaran

yang hakiki, kemudian ia pun memutuskan untuk melepaskan jabatannya dan

meninggalkan Baghdad menuju Syiria, Palestina dan kemudian ke Mekah untuk

mencari kebenaran yang hakiki yang selama ini dicarinya, setelah ia

memperolehnya maka tidak lama kemudian ia menghembuskan nafas terakhirnya

di Thus pada tanggal 19 Desember 1111 M/14 Jumadil Akhir tahun 505H.Al-

Ghazali banyak meninggalkan karya tulis menurut Sulaiman Dunya, karangan Al-

Ghazali mencapai 300 buah, ia mulai mengarang pada usia 25 tahun, sewaktu

masih di Nasisabur dan ia mempergunakan waktu 30 tahun untuk mengarang yang

meliputi beberapa bidang ilmu pengetahuan antara lain, filsafat, ilmu kalam, fiqh,

ushul fiqh, tafsir, tasawuf dan akhlaq.3

B. Konsep Ma’rifat Al-Ghazali

Konsep ma’rifat merupakan bagian dari finalitas maqomat seorang sufi.

Setelah seorang sufi melewati berbagai maqom mulai dari taubah, wira’i, zuhud,

faqru, sabar, tawakal, dan ridho maka sampailah ia pada satu tsamroh atau hasil

dari perjalanan kesufian tersebut. Tsamroh itulah yang dalam kitab Ihya’ U’lum al-

Din di namakan dengan mahabatullah.

3
Kholid Syamhudi, Lc, “Sejarah Hidup Imam Al Ghazali.

4
Keterikatan antara ‘mahabbah’ dan makrifat dalam pemikiran sufisme amat

erat seolah sepasang kembar yang tak dapat dipisahkan baik subtansi maupun

sifat-sifatnya. Dari makrifat lahir mahabbah, cinta. Tiada pengenalan yang tidak

melahirkan cinta. Ini berlaku dalam setiap taraf spritual.

Menurut al-Ghazali proses mengenal Allah tidak dapat dilakukan hanya

dengan menggunakn akal sebagaimana yang diyakini oleh para kaum filsafat. Al-

Ghazali mengaatakan bahwa pengenalan Allah dengan dhauq atau perantara

intuitif (batini) akan lebih dapat memberikan keyakinan dan ketenangan spiritual

dari pada hanya sebatas bersandar dengan akal Proses ma’rifat (pengenalan)

seseorang kepada tuhannya untuk mencapai mahabbah berbeda-beda. Al-Ghazali

membagi kelompok orang-orang yang sampai pada tingkat ma’rifat dan mahabbah

kepada dua tingkatan yaitu pertama tingkatan seseorang yang kuat dalam ma’rifat.

Dia adalah seseorang yang menjadikan Tuhan sebagai awal ma’rifatnya dan

kemudian dengan ma’rifat itu ia mengenal segala sesuatu yang selain Tuhan.

Kedua adalah tingkatan seseorang yang lemah ma’rifatnya. Yaitu seseorang yang

bermula dengan mengenal ciptaan Tuhan kemudian dengan ma’rifatnya ia

mengenal Tuhan.4

Untuk sampai pada mahabbah dan ma’rifat yang sempurna kepada Tuhan

tentunya seorang sufi terlebih dahulu harus melewati berbagi maqom dan melewati

batas fana’. Fana’ merupakan satu istilah yang menggambarkan seorang sufi yang

telah melakukan proses takhalli dan tahalli. Seorang yang mencintai Tuhan akan

berusaha bertakhalli atau membersihkan diri dan jiwa dari segala macam sifat

4
Abu Hamid al- Ghazali, Mutiara Ihya Ulumuddin (Cet. I; Bandung: PT Mizan Pustaka,
2008), h. 235.

5
yang dibenci oleh Tuhan. Begitu juga sebaliknya setelah seorang sufi melakukan

tahkalli (pembersihan) maka ia akan mengisi hidupnya dengan sifat-sifat yang

dicintai oleh Tuhan atau bertahalli.5

Finalitas dari sebuah mahabbah dan ma’rifat yang sempurna adalah

terbukanya hijab dan terjadinya tajalli atau penampakan Tuhan pada makhluknya.

Seorang yang telah sampai pada maqom ini akan merasa hidupnya terpenuhi oleh

cahaya Tuhan. Bahkan terkadang saat berada dalam kondisi sakran (mabuk)

seseorang akan mengeluarkan ucapan-ucapan teopatis atau dalam istilah tasawuf

syatotoh. Yang menarik dari konsep ma’rifat al-Ghazali adalah penolakannya pada

konsep-konsep tokoh sufi sebelum al-Ghazali seperti Abu Yazid dengan konsep

ittihad, al-Hallaj dengan konsep hulul, ibn Arabi dengan konsep wahdah al-wujud.

Menurut al-Ghazali paham tersebut berkecenderungan ke arah ketuhanan

yang bercorak panteistis-imanenis yang menggambarkan Tuhan sebagai Dzat yang

imanen dalam diri manusia. Al-Ghazali melihat itu semua sebagai paham yang

akan merusak konsep tauhid yang menjadi ciri khas dogma teologi dalam Islam.

Dalam bukunya, al-Munqidz, ia melihat rumusan mengenai kedua konsepsi

ini sebagai khayalan semata. Katanya, “sampailah ia ke derajat yang begitu dekat

dengan-Nya sehingga ada orang yang mengiranya sebagai hulul, ittihad atau

wushul. Semua persepsi itu adalah salah belaka. barang siapa mengalaminya,

hendaklah hanya mengatakan bahwa itu suatu hal yang tak dapat diterangkan,

indah, baik, utama, dan jangan lagi bertanya.”

5
Abu Hamid al- Ghazali, Mutiara Ihya Ulumuddin, h. 236.

6
Dengan batasan ini, bisa dilihat bahwa al-Ghazali mempertahankan

keyakinan mengenai Tuhan sebagai Dzat yang transenden. Artinya Tuhan adalah

Dzat yang mengatasi dan berbeda dengan manusia : Ada perbedaan mendasar

antara Tuhan dan makhluk (manusia) secara jelas dalam pandangan al-Ghazali.

Akan tetapi penolakan al-Ghazali terhadap hulul dan ittihad di atas tidak

otomatis merupakan penolakannya pada pengalaman orang-orang yang telah

mencapai maqom ma’rifat. Bagi al-Ghazali, pengalaman itu benar adanya. Kaum

`arifun, setelah pendakiannya ke langit hakekat, sepakat bahwa mereka tak lagi

melihat dalam wujud ini kecuali Tuhan. Adapun ucapan al-Hallaj ana al-Haq, dan

ucapan-ucapan tokoh sufi lainnya yang dianggap aneh dan menyesatkan

sebenarnya hanyalah merupakan kata-kata teopatis atau syafahat. Ia merupakan

ucapan yang terlepas di bawah kontrol kesadaran seseorang saat ia berada dalam

keadaan mabuk (sakran) akan cinta Tuhan. Ucapan-ucapan itulah yang selanjutnya

di sebut sebagai ajaran-ajaran ittihad, hulul dan wihdatul wujud.6

Menurut dia, ilmu sejati atau ma’rifat sebenarnya adalah mengenal Tuhan.

Mengenal Hadrat Rububiyah. Wujud Tuhan meliputi segala Wujud. Tidak ada

yang wujud melainkan Tuhan dan perbuatan Tuhan. Tuhan dan perbuatannya

adalah dua, bukan satu. Itulah koreksi al-Ghazali atas pendirian al-Hallaj dan

ulama sufi lainnya. Wujudnya ialah kesatuan semesta (wihdatul wujud). Alam

keseluruhan ini adalah makhluk dan ayat (bukti) tentang kekuasaan dan kebesaran-

Nya. Sedangkan penglihatan akan Tuhan melalui alam dan makhlukNya adalah

sebatas tajalli atau penampakan akan keberadaan Tuhan bukan berarti Tuhan

menyatu dengan alam apalagi mengalami perstuan ke dalam tubuh manusia.


6
Abu Hamid al- Ghazali, Mutiara Ihya Ulumuddin, h. 237.

7
C. Al-Ghazali dan Tasawuf

Dalam bidang tasawuf Al- Ghazali berusaha meletakkan kembali posisi

tasawuf ke tempat yang benar menurut syari’at Islam. Al-Ghazali membersihkan

ajaran tasawuf dari pengaruh faham-faham asing yang masuk mengotori

kemurnian ajaran Islam. Pada saat itu banyak yang beranggapan bahwa seorang

ahli tasawuf yang tidak beri’tikad dangan faham di atas, maka sebenarnya tidak

pantas diberi gelar sebagai ahli tasawuf Islam. Sehingga sebagian orientalis Barat

terpengaruh dengan pendapat ini. Contoh-nya Nicholson, ia berpendapat, “Al-

Ghazali tidak termasuk dalam golongan ahli tasawuf Islam, karena ia tidak

beri’tikad dengan wihdat al-wujud”.

Dalam usaha pembersihannya tersebut, Al Ghazali mengawali kitabnya

Ihya ‘Ulumiddin dengan pembahasan faraidh al-Diniyah, kemudian diikuti dengan

pembahasan Nawafil dan selanjutnya baru diikuti dengan cara-cara yang

sepatutnya diikuti untuk sampai ke martabat yang sempurna. Ketertarikan Al-

Ghazali pada tasawuf tidak saja telah membuatnya memperoleh pencerahan dan

ketenangan hati. Lebih jauh lagi, justru dia memiliki peran yang cukup signifikan

dalam peta perkembangan tasawuf selanjutnya. Jika pada awal pembentukannya

tasawuf berupaya menenggelamkan diri pada Tuhan dimeriahkan dengan tokoh-

tokohnya seperti Hasan Basri (khauf), Rabi`ah Al-Adawiyah (hub al-ilah), Abu

Yazid Al-Busthami (fana`), Al-Hallaj (hulul), dan kemudian berkembang dengan

munculnya tasawuf falsafi dengan tokoh-tokohnya Ibn Arabi (wahdat al-wujud),

Ibn Sabi`in (ittihad), dan Ibn Faridl (cinta, fana’, dan wahdat at-shuhud) yang

mana menitikberatkan pada hakikat serta terkesan mengenyampingkan syariah,

8
kehadiran Al-Ghazali justru telah memberikan warna lain; dia telah mampu

melakukan konsolidasi dalam memadukan ilmu kalam, fiqih,dan tasawuf yang

sebelumnya terjadi ketegangan.7

Peran terpenting yang di pegang al-Ghazali terjadi pada abad ke lima

hijriyah. Pada saat itu terjadi perubahan yang jauh oleh para sufi. Banyak dari

mereka yang tenggelam dalam dunia kesufian dan meninggalkan syariat.8

Kampanye al-Ghazali dalam mengembalikan tasawuf pada jalan aslinya

yaitu tidak menyimpang dari nash dan sunah Rasul telah membawa perubahan

besar pada zamannya. Ia berpendapat bahwa seorang yang ingin terjun dalam

dunia kesufian harus terlebih dahulu menguasai ilmu syariat. Karena praktek-

praktek kesufian yang bertentangan dengan syariat islam tidak dapat dibenarkan.

Menurut al-Ghazali tidak seharusnya antara syariat dan tasawuf terjadi

pertentangan karena kedua ilmu ini saling melengkapi. Dalam kitabnya Ihya’

U’lum al-Din al-Ghazali menjelaskan dengan detail hubungan antara syariat

dengan tasawuf. Ia memberikan contoh praktek syariat yang kosong akan nilai

tasawuf (hakikat) maka praktek itu tidak akan diterima oleh Allah dan menjadi sia-

sia. Sebaliknya praktek tasawuf yang meninggalkan aturan syariat islam maka

praktek itu akan mengarah pada bid’ah. Ibarat syariat adalah tubuh maka nilai-nila

tasawuf adalah jiwanya sehingga antara keduanya tidak dapat dipisahkan.9

7
M. Abdul Mujieb, dkk, Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali (Cet. I; Jakarta: PT Mizan
Publika, 2009) , h.124.
8
M. Abdul Mujieb, dkk, Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazal.
9
Abu Hamid al- Ghazali, Mutiara Ihya Ulumuddin, h. 9.

9
Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni berdasarkan Al-

Qur’an dan sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu Al Sunnah wa Al-jama’ah.

Corak tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral yang

dapat di lihat dalam karya-karyanya seperti Ihya’ullum, Al-Din, Minhaj

Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al Hidayah, M’raj Al Salikin, Ayyuhal

Wlad. Al Ghazali menilai negatif terhadap syathahat dan ia sangat menolak paham

hulul dan utihad (kesatuan wujud), untuk itu ia menyodorkan paham baru tentang

ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti

penyatuan dengan-Nya:10

1. Pandangan Al-Ghazali tentang Ma’rifat Menurut Al-Ghazali, ma’rifat adalah

mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang

segala yang ada, alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada sir-qolb dan

roh. Pada saat sir, qalb dan roh yang telah suci dan kosong itu dilimpahi cahaya

Tuhan dan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, kelak keduanya akan

mengalami iluminasi (kasyf) dari Allah dengan menurunkan cahayanya kepada

sang sufi sehingga yang dilihatnya hanyalah Allah, di sini sampailah ia ke

tingkat ma’rifat.

2. PandanganAl-Ghazali tentang-As-As’adah, Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan

kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah (ru’yatullah) di dalam

kitab Kimiya As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah (kebahagiaan) itu

sesuai dengan watak (tabiat). Sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan

10
Muhammad Sholikhin, 17 Jalan Menggapai Mahkota Sufi: Syaikh’ Abdul Qadir al-Jailani
(Cet. I; Yogyakarta: Mutiara Media, 2009), h. 46.

10
ciptaannya; nikmatnya mata terletak pada ketika melihat gambar yang bagus

dan indah, nikmatnya telinga terletak ketika mendengar suara merdu.

D. Penyebaran ajaran Tasawuf Al-Ghazali

Al Ghazali adalah salah satu ulama’ dan juga sufi yang terkenal di dunia.

Hal ini disebabkan salah satu faktornya adalah karangan kitab beliau yang terkenal

dengan nama Ikhya’ Ulumuddin (Menghidupkan ilmu-ilmu agama). Dalam kitab

ini pembahasannya dibagi menjadi empat bab dan masing-masing dibagi lagi

menjadi 10 pasal, yaitu:

1. Bab pertama: tentang Ibadah (rubu’ al – ibadah).

2. Bab kedua: tentang adat istiadat (rubu’ al – adat).

3. Bab ketiga: tentang hal -hal yang mencelakakan (rubu’ al – muhlikat).

4. Bab yang keempat: tentang maqamat dan ahwal (rubu’ al – munjiyat).

Namun yang menjadi isi pokok pada kitab tersebut adalah ikhlas dengan

tauhid Allah dan Ikhlas menjalankan tauhid Allah. Namun yang menjadi

kekurangannya adalah al ghazali tidak membahas tentang jihad dalam kitab

tersebut, padahal pada saat itu dalam keadaan perang.

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

11
1. Nama lengkap adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad ta’us Ath-thusi

Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Ia dipanggil Al-Ghazali karena ia lahir di Ghazalah

suatu kota di Kurasan, Iran, tahun 450 H/1058 M

2. Konsep ma’rifat merupakan bagian dari finalitas maqomat seorang sufi. Setelah

seorang sufi melewati berbagai maqom mulai dari taubah, wira’i, zuhud, faqru,

sabar, tawakal, dan ridho maka sampailah ia pada satu tsamroh atau hasil dari

perjalanan kesufian tersebut.

3. Dalam bidang tasawuf Al- Ghazali berusaha meletakkan kembali posisi tasawuf

ke tempat yang benar menurut syari’at Islam. Al-Ghazali membersihkan ajaran

tasawuf dari pengaruh faham-faham asing yang masuk mengotori kemurnian

ajaran Islam.

4. Al Ghazali adalah salah satu ulama’ dan juga sufi yang terkenal di dunia. Hal

ini disebabkan salah satu faktornya adalah karangan kitab beliau yang terkenal

dengan nama Ikhya’ Ulumuddin (Menghidupkan ilmu-ilmu agama).

B. Saran

Adapun saran kami selaku penulis makalah ini, agar kiranya para pembaca

lebih menambah referensinya agar pemahaman mengenai tasawuf Imam Al-

Ghazali semakin meluas.

DAFTAR PUSTAKA

al- Ghazali ,Abu Hamid. Mutiara Ihya Ulumuddin (Cet. I; Bandung: PT Mizan
Pustaka, 2008), h. 235.

12
Kholid Syamhudi, Lc, “Sejarah Hidup Imam Al Ghazali : Bag pertama”
https://muslim.or.id/59-sejarah-hidup-imam-al-ghazali-1.html diakses pada
tanggal 29 April 2019, pukul 19.11 wita.
Mujieb, M. Abdul, dkk. Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali Cet. I; Jakarta: PT
Mizan Publika, 2009.
Sholikhin, Muhammad. 17 Jalan Menggapai Mahkota Sufi: Syaikh’ Abdul Qadir al-
Jailani Cet. I; Yogyakarta: Mutiara Media, 2009.

13

Anda mungkin juga menyukai