Anda di halaman 1dari 13

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan salah satu sunnah yang diperintahkan oleh Nabi

kita Muhammad saw, supaya umatnya jangan terjerumus kedalam dosa.

Perkawinan itu diperintahkan bagi mereka yang telah memiliki kemampuan,

yang hikmahnya adalah menghindarkan diri dari maksiat dan menjaga

kehormatan diri.

Dalam pandangan Islam perkawinan itu bukanlah hanya urusan perdata

semata, bukan pula sekedar urusan keluarga dan masalah budaya, tetapi

masalah dan peristiwa agama, oleh karena itu perkawinan dilakukan untuk

memenuhi sunnah Allah dan sunnah Nabi dan dilaksanakan sesuai petunjuk

Allah dan petunjuk Nabi. Di samping itu, perkawinan juga bukan untuk

mendapatkan ketenangan hidup sesaat, tetapi untuk selama hidup. Oleh karena

itu, seseorang yang akan melaksanakan perkawinan perlu mempersiapkan

beberapa hal merupakan proses menuju perkawinan.

Di antara persiapan itu adalah memilih pasangan yang tepat berdasarkan

ketentuan agama, melakukan pertunangan (khitbah), dan mempersiapkan

mahar bagi laki-laki untuk diberikan kepada perempuan yang dinikahinya.

Selengkapnya akan dijelaskan dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah

Dari pemaparan latar belakang diatas untuk membatasi pembahasannya

maka yang akan menjadi pokok bahasan dalam makalah ini adalah tentang

1
2

konsep peminangan (Khitbah) pada masa Rosulallah dikolerasikan dengan

sekarang yang akan diuraikan dengan beberapa pertanyaan diantaranya:

a. Apa Pengertian Pinangan?

b. Bagaimana Peminangan di Indonesia?

c. Apa Syarat Pinangan?

C. Tujuan Penulisan

a. Untuk Mengetahui Pengertian Pinangan

b. Untuk Mengetahui cara Peminangan di Indonesia

c. Untuk Mengetahui Syarat Pinangan

D. Manfaat Penulisan

Agar kiranya para pembaca semua bisa mengetahui Cara Meminang

sesuai ketentuan yang berlaku serta mengetahui berbagai perbedaan ca

meminang disetiap kebudayaan yang ada di Indonesia Dan juga lebih

memudahkan para pembaca untuk meminang sang pujaan Hati.


3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Meminang

Dalam keluarga, istri merupakan tempat penenang bagi suaminya,

pengatur rumah tangganya, ibu dari anak-anaknya, tempat tambatan hatinya.

Begitu besar peran seorang istri dalam keluarga, sehingga Islam selalu

memperhatikan hubungan antara seorang pria dengan wanita, baik sebelum

maupun sesudah terjadinya akad nikah.

Untuk mengenal karakter dan pribadi seorang wanita, sebelum menjadi

istri, maka Islam memberikan jalan dengan cara meminang.

1. Pengertian Meminang

Meminang maksudnya seorang laki-laki meminta kepada seorang

perempuan untuk menjadikan istrinya dengan cara yang sudah umum berlaku

di tengah-tengah masyarakat.

Ada pun pengertian lain pinangan biasa disebut khitbah ( ‫ ) ﺍﻟﺨﻄﺒﺔ‬adalah

bahasa arab standar yang terpakai pergaulan sehari-hari, Terdapat dalam firman

Allah dan terdapat pula dalam ucapan Nabi serta di syari’atkan dalam suatu

perkawinan yang waktu pelaksanaanya di adakan sebelum berlangsungnya

akad nikah. Keadaan ini pun sudah membudaya di tengah masyarakat dan di

laksanakan sesuai dengan tradisi masyarakat setempat. Jadi khitbah artinya

adalah peminang, yaitu melamar untuk menyatakan permintaan atau ajakan

perjodohan dari seorang laki-laki dengan seorang perempuan calon istrinya.

Hukum meminang adalah boleh, adapun dalil yang memperbolehkannaya

3
4

adalah yang Artinya : “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita

itu, dengan sindiran, atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini

mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut

mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan

mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka)

perkataan yang ma'ruf dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk

beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan Ketahuilah bahwasanya Allah

mengetahui apa yang ada dalam hatimu. Maka takutlah kepada-Nya dan

ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. Yang

suaminya Telah meninggal dan masih dalam 'iddah. Wanita yang boleh

dipinang secara sindiran ialah wanita yang dalam 'iddah Karena meninggal

suaminya, atau karena talak bain, sedang wanita yang dalam 'iddah talak raji'i

tidak boleh dipinang walaupun dengan sindiran, perkataan sindiran yang baik.

(QS. Al-Baqoroh: 235)

Meminang termasuk usaha pendahuluan sebelum dilakukan pernikahan,

agar kedua pihak saling mengenal sehingga pelaksanaan pernikahan nanti

benar-benar berdasarkan pandangan dan nilai yang jelas.

Adapun perempuan yang boleh dipinang apabila memenuhi syarat sebagai

berikut:

1. Tidak dalam pinangan orang lain.

2. Pada waktu dipinang tidak ada penghalang syar’i yang melarang

dilangsungkannya pernikahan.

3. Perempuan itu tidak dalam masa ‘iddah karena talak raj’i.


5

4. Apabila perempuan dalam masa ‘iddah karena talak bain, hendaklah

meminang dengan cara sirri.

2. Melihat Pinangan

Demi kebaikan dalam berumah tangga, kesejahteraan dan

kesenangannya, seyogyanya laki-lakinya melihat dulu perempuan yang akan

dipinangnya sehingga ia dapat menentukan apakah peminagan itu perlu

diteruskan atau diurungkan. Dalam agama islam, melihat peremuan yang akan

dipinang itu diperbolehkan selama dalam batasan tertentu.

3. Batas Yang Boleh Dilihat

Melihat perempuan yang akan dipinang itu mempunyai batas yang

boleh dilihat. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama.

Jumhur ulama menetapkan bahwa yang boleh dilihat hanyalah muka dan

telapak tangan.. Ini adalah batas yang umum aurat seorang perempuan.

Bagian badan yang boleh dilihat, menurut jumhur ulama adalah bagian

muka dan telapak tangan. Dengan melihat muka, maka dapat ditentukan cantik

atau tidaknya perempuan yang dipinang, dan dengan melihat telapak tangannya

dapat diketahui subur atau tidaknya badan perempuan itu. Sebagian fuqoha,

seperti Abu Dawud mengatakan bahwa seluruh badan perempuan itu boleh

dilihat kecuali kemaluannya. Sementara itu ada juga fuquha yang sama sekali

melarangnya.

Perbedan pendapat ini disebabkan adanya suruhan untuk melihat

perempuan secara mutlak, juga terdapat larangan secara mutlak pula. Ada juga

suruhan yang bersifat terbatas, yakni hanya muka dan kedua telapak tangan.
6

4. Larangan Menyendiri dengan Tunangan

Haram menyendiri dengan tunangan, karena bukan mahramnya. Agama

tidak memperbolehkan melakukan sesuatu terhadap pinangannya, kecuali

melihat saja, sedangkan perbuatan-perbuatan yang lainnya tetap haram. Akan

tetapi apabila ditemani oleh salah seorang mahramnya guna mencegah

terjadinya perbuatan-perbuatan maksiat, dibolehkan.

5. Jeda Waktu Antara Meminang (Khitbah) Dan Menikah

Secara dalil nash, kami belum menemukan dalil yang sharih dan shahih

tentang keharusan adanya jarak waktu tertentu antara khitbah dan akad.

Apakah harus sebulan, dua bulan, tiga bulan atau berapa lama waktu. Kalau

pun jarak waktu itu dibutuhkan, barangkali sekedar untuk memberikan

beberapa persiapan yang bersifat teknis. Sebab biasanya, setiap akad nikah

yang akan digelar memang membutuhkan persiapan-persiapan teknis yang

mutlak. Sebagian orang ada yang butuh waktu untuk mengumpulkan dana, atau

untuk mencari tempat yang akan disewa, atau keperluan-keperluan lain yang

manusiawi. Sehingga, jarak waktu ini dikembalikan kepada al-'urf (kebiasaan

dan kepantasan) serta tuntutan hal-hal yang bersifat teknis semata.

6. Menikahi Wanita Tunangan Orang Lain

Di atas tertera bahwa melamar wanita tunangan orang lain dilarang oleh

agama, hal itu demi untuk menjaga hak si lelaki pelamar pertama dan juga

upaya menghindari timbulnya sengketa umat manusia. Keadaan perempuan

yang dipinang dapat dibagi dalam tiga hal :


7

a) Perempuan tersebut menyukai laki-laki yang meminangnya dan menyetujui

pinangan itu secara jelas memberi izin kepada walinya untuk menerima

pinangan itu.

b) Perempuan tersebut tidak senang dengan laki-laki yang meminang dan

secara terus terang menyatakan ketidak setujuannya baik dengan ucapan

atau isyarat.

c) Perempuan itu tidak memberikan jawaban yang jelas, namun ada isyarat dia

menyenangi peminangan itu.

Perempuan dalam keadaan yang pertama tersebut tidak boleh dipinang

oleh seseorang. Sedangkan dalam keadaan kedua, boleh dipinang karena

pinangan pertama jelas ditolak. Adapun perempuan dalam keadaan yang

ketiga, menurut sebagian ulama diantaranya, Ahmad bin Hanbal berpendapat

tidak boleh dipinang sama keadaannya dengan perempuan dalam keadaan

pertama. Namun, sebagian ulama’ berpendapat bahwa tidak haram meminang

perempuan yang tidak secara jelas menerima pinangan pertama.

Tentang hukum pernikahan yang telah (terlanjur) dilaksanakan

(melangsungkan) akad pernikahan dengan wanita tunangan orang lain dalam

perbedaan pendapat ulama. Menurut Ahmad bin Hanbal dan Imam Asy

Syafi’ie serta Imam Abu Hanifah pernikahan tersebut adalah sah dan tidak

dapat dibatalkan.

7. Pembatalan Tali Pertunangan

Ulama berpendapat, boleh saja membatalkan tali pertunangan, namun

itu adalah makruh, sebab pertunangan ibarat ikatan janji setia dari kedua

mempelai untuk menjalin hidup bersama membina rumah tangga bahagia,


8

sedangkan pembatalan pertunangan ini adalah sebuah pengkhianatan ikatan

janji setia. Belum juga imbas dari pembatalan tali pertunangan ini, sudah tidak

asing lagi, tunangan yang batal adalah ajang percorengan muka, kebahagiaan

yang indah dan canda ria pun ikut hangus terbakar.

Meskipun Islam mengajarkan bahwa memenuhi janji adalah suatu

kewajiban, dalam masalah janji akan menikah ini kadang-kadang terjadi hal-

hal yang dapat menjadi alasan yang sah menurut Islam untuk memutuskan

hubungan petunangan. Misalnya, diketahui adanya cacat fisik atau mental pada

salah satu pihak beberapa waktu setelah pertunangan, yang dirasakan akan

mengganggu tercapainya tujuan itu tidak dipandang melanggar kewajiban

termasuk hak khiyar.

Berbeda halnya pemutusan pertunangan tanpa alasan yang sah menurut

ajaran Islam. Misalnya, karena ingin mendapatkan yang lebih baik dari segi

keduniaan. Ditinjau dari segi nilai moral Islam, pemutusan pertunangan seperti

itu sama sekali tidak dapat dibenarkan.

8. Perempuan Melamar Laki-laki

Biasanya prialah yang menentukan pilihanya pada seorang wanita,

inilah adat di Negara kita dan budaya ketimuran pada umumnya, sebab

mayoritas wanita dihiasi perasaan malu yang tinggi dan enggan mengutarakan

isi hatinya, justru karena tabiat inilah yang membuat kaum lelaki tertarik dan

ingin segera mempersuntingnya. Namun juga sering terjadi pihak keluarga

mempelai wanita yang memulai jalinan tali pertunangan.

Memang ini bukan hal yang baru atau imbas dari era modern, namun

budaya ini adalah warisan nenek moyang kita, karena masalah ini sudah
9

berjalan di zaman Nabiyullah Suaib a.s. tertera dalam Al Qur'an surat al-Qishos

ayat 27 bahwa Nabiyullah Suaib a.s. pernah menawarkan putrinya pada Nabi

Musa as. Begitu juga di zaman Rasulullah saw. ketika Ummul mukminin Siti

Khodijah ra, mengungkapkan cintanya terhadap Rasulullah dan memohon agar

Rasulullah berkenan menikahinya.

B. Peminangan di Indonesia

Akhir-akhir ini, proses peminangan (khitbah) biasanya diawali dengan

adanya pacaran. Dalam bahasa Indonesia, pacar diartikan sebagai teman lawan

jenis yang tetap dan mempunyai hubungan batin, biasanya untuk menjadi

tunangan dan kekasih. Dalam praktiknya, istilah pacaran dengan tunangan

sering dirangkai menjadi satu. Muda-mudi yang pacaran, kalau ada kesesuaian

lahir batin, dilanjutkan dengan tunangan. Sebaliknya, mereka yang

bertunangan biasanya diikuti dengan pacaran. Agaknya, pacaran di sini,

dimaksudkan sebagai proses mengenal pribadi masing-masing, yang dalam

ajaran Islam disebut dengan “ta’aruf” (saling kenal-mengenal).

Akibat pergeseran sosial, dewasa ini, kebiasaan pacaran masyarakat kita

menjadi terbuka. Terlebih saat mereka merasa belum ada ikatan resmi,

akibatnya bisa melampaui batas kepatutan. Kadangkala, seorang remaja

menganggap perlu pacaran untuk tidak hanya mengenal pribadi pasangannya,

melainkan sebagai pengalaman, uji coba, maupun bersenang-senang belaka. Itu

terlihat dari banyaknya remaja yang gonta-ganti pacar, ataupun masa pacaran

yang relatif pendek. Beberapa kasus yang diberitakan oleh media massa juga

menunjukkan bahwa akibat pergaulan bebas atau bebas bercinta (free love)

tidak jarang menimbulkan hamil diluar nikah, aborsi, bahkan akibat rasa malu
10

di hati, bayi yang terlahir dari hubungan mereka berdua lantas dibuang begitu

saja sehingga tewas.

Islam sebenarnya telah memberikan batasan-batasan dalam pergaulan

antara laki-laki dengan perempuan. Misalnya, kita dilarang untuk mendekati

zina. Seperti tersebut dalam surat Al-Isra’ ayat 32 yang Artinya : “Dan

janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan

yang keji, dan suatu jalan yang buruk”. (Q.S. Al-Isra’: 32)

Kesimpulannya, pacaran dalam islam itu diharamkan karena di ketakuti

terjadinya hal yang tidak diinginkan.

C. Syarat-Syarat Peminangan

Peminangan diperbolehkan oleh agama apabila terpenuhi syarat-syarat di

bawah ini

a). Tidak adanya penghalang antara kedua mempelai, yaitu tidak ada

hubungan keluarga (mahram), tunggal susuan (rodhoah), mushoharoh, atau

penghalang yang lain, sebab tunangan adalah langkah awal dari perkawinan

maka disamakan hukumnya dengan akad perkawinan.

b). Tidak berstatus tunangan orang lain, Tidak boleh bagi seorang lelaki

melamar tunangan orang lain sehingga ia menikahinya atau

meninggalkannya.Ketidak bolehan ini jika tidak mendapat izin dari pelamar

pertama atau ada unsur penolakan dari pihak mempelai wanita, itu tadi adalah

pendapat mayoritas ulama (Hanafiah, Malikiah dan Hambaliah), namun

sebagian ulama' lain memperbolehkan tunangan tersebut apabila tidak ada

jawaban yang jelas dari mempelai wanita.


11

Adapun cara menyampaikan ucapan peminangan terdapat dua cara :

a). Menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang dalam arti langsung

dipahami atau tidak mungkin dipahami dari ucapan itu kecuali untuk

peminangan seperti ucapan : “saya berkeinginan untuk menikahimu”.

b). Menggunakan ucapan yang kurang jelas dan tidak terus terang (kinayah)

yang berarti ucapan itu dapat mengandung arti bukan untuk peminangan,

seperti ucapan : “Tidak ada orang yang tidak senang kepadamu”.

Perempuan yang belum menikah atau sudah menikah dan telah habis masa

‘iddahnya boleh dipinang dengan ucapan terus terang dan boleh pula dengan

ucapan sindiran. Tidak boleh meminang seorang perempuan yang masih punya

suami, meskipun dengan janji akan dinikahinya pada waktu dia telah boleh

dinikahinya, baik dengan menggunakan bahasa terus terang seperti : “Bila

kamu dicerai suamimu saya akan menikahi kamu” atau dengan bahasa

sindiran, seperti : “Jangan khawatir diceraikan suamimu, saya yang akan

menjadi peggantinya”.

Perempuan yang telah dicerai suaminya dan sedang menjalani ‘iddah talak

raj’i, sama keadaannya dengan perempuan yang punya suami dalam hal

ketidak bolehannya untuk dipinang dengan bahasa terus terang atau bahasa

sindiran. Alasannya, ialah bahwa perempuan dalam ‘iddah talak raj’i statusnya

sama dengan perempuan yang sedang terikat dalam perkawinan. Sedangkan

perempuan yang sedang menjalani ‘iddah karena kematian suaminya, tidak

boleh dipinang dengan menggunakan bahasa terus terang, namun boleh

meminangnya dengan bahasa sindiran.


12

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

1. Meminang maksudnya seorang laki-laki meminta kepada seorang

perempuan untuk menjadikan istrinya dengan cara yang sudah umum

berlaku di tengah-tengah masyarakat.

2. Akhir-akhir ini, proses peminangan (khitbah) biasanya diawali dengan

adanya pacaran. Dalam bahasa Indonesia, pacar diartikan sebagai teman

lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan batin, biasanya untuk

menjadi tunangan dan kekasih. Dalam praktiknya, istilah pacaran dengan

tunangan sering dirangkai menjadi satu.

3. Tidak adanya penghalang antara kedua mempelai, Tidak berstatus tunangan

orang lain.

B. Saran

Disetiap negara memiliki banyak ragam budaya, maka dari itu saran

kami sebagai penulis ada baiknya kita mengetahui cara meminang sang pujaan

hati karena tidak menutup kemungkinan jodoh kita ialah orang yang

mempunyai budaya yang berbeda dengan kita.


13

DAFTAR PUSTAKA

Azhar Basyir, Ahmad. (1999). Hukum Perkawinan Islam. Cet. Ke-9. UII Press.
Yogyakarta
Dr. Sopyan, yayan M,Ag . 2010. Tarikh Tasyri (Sejarah Pmbentukan Hukum
Islam). Gramata Publishing. Depok.
Drs. Zuhri,Mohammad. 1980. Tarjemahan Tarikh Al-tasyri’ Al-islam (sejarah
pembinaan hukum islam). Darul Ikhya. Semarang
Drs.Abidin,slamet. Drs H.aminnuddin.1999. Fiqh munakahat 1.Bandung.
Jawad, muhamma mughniyah. 2008. Fiqh Lima Mazhab. Lentera Anggora
IKAPI.
Kompilasi Hukum islam Di Indonesia.Bab III peminangan. Hal.,182-183
Sabiq, Sayid. (1980). Fiqih Sunnah, Alih Bahasa: Muhammad Thalib. Cetakan
Pertama. PT Al Ma’arif. Bandung

Anda mungkin juga menyukai