Anda di halaman 1dari 14

Makalah Sejarah Peradilan Islam

SEJARAH PERADILAN ISLAM PADA MASA


DINASTI UMAYYAH
Dosen pengampu:

IBNU RIDWAN SIDDIQ T,M.Ag


DISUSUN

OLEH:

SAPHIRA HUSNA NST : 0201192047

ULFAH ASYAF :0201193149

ANDRA NUGRAHA :0201193144

FARID ADAM :0201196162

AKHWALUL SYAKSIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

MEDAN

2020
kATA PENGANTAR

Puji syukur yang dalam kami sampaikan kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Pemurah,
yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan sebuah
makalah yang berjudul Sejarah Peradilan Islam Pasa Masa Bani Umayyah dengan baik. Shalawat
dan salam saya persembahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang membawa risalah Islam
sebagai pedoman hidup untuk meraih keselamatan hidup di dunia dan juga di akhirat kelak.

Alhamdulillah, atas izin Allah SWT, kami dapat menyelesaikan tugas ini. Sebuah
makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Sejarah Peradilan Islam. Tugas ini
disusun untuk bertujuan sebagai alternatif dalam memahami dan mengetahui lebih dalam tentang
salah satu materi daripada mata kuliah.

Dalam penyusunan tugas ini, juga tidak luput dari adanya berbagai macam sumber seperti
mengenai sebagai referensi untuk memperkuat dan membuka cakrawala kami dalam
menganalisis tentang materi dalam karya tulis ini. Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini
dengan mudah dan menyusunnya menjadi sebuah tugas seperti ini. Semoga dengan kehadiran
tugas ini dapat menambah ilmu tentang hal tersebut..

Dengan segala keterbatasan yang ada, kami menyadari bahwa dalam penulisan ini masih
jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik senantiasa kami harapkan. Semoga tugas
yang kami kerjakan dapat bermanfaat bagi kami dan pembacanya. Aamiin.

Medan,November 2020

Penyusun

Kelompok IV

2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...................................................................................................... 2

Daftar Isi ............................................................................................................ 3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah........................................................................... 4


B. Rumusan Masalah.................................................................................... 4
C. Tujuan Penulisan...................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah Bani Umayah………………………………………….. 5

B. Bentuk Dan Praktik Peradilan……………………………….…... 6

C. Kodifikasi Putusan Hakim…………………………….……… 11

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan......................................................................................... 13
B. Saran................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 14

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Muawiyah bin Abu Sufyan adalah sosok manusia yang cerdas dan cerdik. Ia seorang
politisi ulung yang mampu membangun peradaban besar melalui politik kekuasaannya. Ia pendiri
sebuah dinasti besar yang mampu bertahan selama hampir satu abad. Dialah pendiri dinasti
Umayyah, seorang pemimpin yang paling berpengaruh pada abad 7 H.

Muawiyah berhasil membangun pemerintahan melebihi apa yang telah dibangun oleh
saudaranya, Muhammad. Dengan mencontoh model pemerintahan Persia dan Byzantium,
dinastinya mampu memperluas kekuasaan Islam yang tidak bias dilakukan oleh pemimpin Islam
sebelum dan sesudahnya. Khalifah-khalifah besar itu seperti Muawiyah I, Abdul Malik, Al-
Walid I, dan Umar bin Abdul Aziz melakukan revolusi pemerintahan yang melahirkan
peradaban Islam yang luar biasa.

Namun, sehebat-hebatnya sebuah kekuasaan pada akhirnya mengalami kemunduran atau


kehancuran. Kehebatan dinasti Umayyah hanya bisa dirasakan sampai khalifah Umar bin Abdul
Aziz. Setelah pemerintahannya, kekuasaan dinasti Umayyah semakin surut dan mengalami
kemudian hancur pada masa raja terakhir, Marwan II, setelah direbut oleh para pemegang
bendera hitam, yaitu koalisi antara bani Abbasyah, Syi’ah dan kelompok Khurasan. 

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana tentang sejarah Bani Ummayah?


2. Bagaimana sistem peradilan pada dinasti Bani Ummayah?
3. Bagaimana kodifikasi putusan hakim pada  dinasti Bani Ummayah?
4. Siapa saja hakim-hakim yang terkenal dan contoh kasus yang diselesaikan pada masa
Bani Umayah?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui tentang sejarah Bani Umayyah


2. Untuk mengetahui sistem peradilan pada masa dinasti Bani Umayyah
3. Untuk mengetahui tentang kodifikasi putusan hakim pada masa dinasti Bani Umayyah
4. Untuk mengetahui hakim-hakim yang terkenal dan contoh kasus yang diselesaikan pada
masa Bani Umayyah

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sekilas tentang Sejarah Bani Umayah

Setelah masa khalifah al-Rasyidin berakhir, fase selanjutnya adalah zaman tabi’in yang
pemerintahannya dipimpin olei Dinasti Umayah. Dengan khalifah pertama Muawiyah bii Abi
Sofyan, dinasti ini beribukota di Damaskus. Muawiyah telah mencurahkan segala tenaganya
untuk memperkuat diri nya dan menyiapkan daerah Syria sebagai pusat kekuasaanny di
kemudian hari.1 Dinasti ini berkuasa selama  lebih kuran 91 tahun dengan 14 orang khalifah:1

1. Muawiyah bin Abu Sofyan 661 s.d. 680


2. Yazid bin Muawiyah 680 s.d. 683
3. Muawiyah bin Yazid 683 s.d. 684
4. Marwan bin Hakam 684 s.d. 685
5. Abdul Malik bin Marwan 685 s.d. 705
6. Walid I bin Abdul Malik 705 s.d. 715
7. Sulaiman bin Abdul Malik 715 s.d. 717
8. Umar bin Abdul Aziz 717 s.d. 720
9. Yazid bin Abdul Malik 720 s.d. 724
10. Hisyam bin Abdul Malik 724 s.d. 743
11. Walid II bin Yazid II 743 s.d. 744
12. Yazid III 744 s.d. 745
13. Ibrahim bin Walid II 745 s.d. 747
14. Marwan II bin Muhammad II 747 s.d. 7502

Dengan berdirinya daulah Umayah, maka sistem politik dan pemerintahan berubah.
Pemerintahan tidak lagi dilakukan secara musyawarah sebagaimana proses pergantian khalifah
sebelumnya. Suksesi pemerintahan dilakukan secara turun temurun. Seorang khalifah tidak lagi
harus sekaligus pemimpin agama sebagaimana khalifah sebelumnya. Urusan agama diserahkan
kepada ulama, dan ulama hanya dilibatkan dalam pemerintahan jika dipandang perlu oleh
khalifah.
Mu’awiyah tumbuh sebagai pemimpin karier. Pengalaman politik telah memperkaya
dirinya dengan kebijasanaan-kebijasanaan dalam memerintah, mulai dari menjadi salah seorang
pemimpin pasukan dibawah pasukan komando panglima besar Abu Ubaidah Ibn Jarrah yang
berhasil merebut negara Palestina, Suriah dan Mesir dari tanggan imperium romawi yang telah
mengguasai ketiga daerah itu sejak tahun 63 SM. Lalu menjabat sebagai kepala wilayah di Syam
yang dibawahi Suriah dan Palestina yang berkedudukan di Damaskus selama kira-kira 20 tahun
semenjak diangkat oleh Khalifah Umar. Khalifah Usman telah menobatkannya sebagai ”amir al-
bahr” yang memimpin armada besar dalam penyerbuan kekota konstantinopel walau gagal.2

1
 Alaidin Koto. Sejarah Peradilan Islam. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011) h. 77

2
Ali Mufrodi, Islam Dikawasan kebudayaan Arab, (Jakarta: Perpustakan Nasional, 1997),  hlm. 69.

5
Keberhasilan Mu’awiyah medirikan Dinasti Umaiyyah bukan hanya akibat dari
kemenangan diplomasi di Siffin yang terbunuhnya khalifah Ali saja, dari sejarah semula
gubernur Suriah itu memiliki ”basis rasional” yang solid bagi landasan pembangunan politiknya
di masa depan. Petama adalah berupa dukungan yang kuat dari rakyat Suriah dan dari keluarga
Bani Umaiyyah sendiri. Penduduk Suriah yang lama diperintahkan oleh Mu’awiyah mempunyai
ketentaraan yang kokoh, terlatih dan disiplin di garis depan dalam peperangan melawan romawi.
Mereka bersama-sama dengan kelompok bangsa karya Makkah dari keturunan Umaiyyah berada
sepenuhnya di belakang Mu’awiyah dan memasukkannya sumber-sumber kekuatan yang tidak
habis-habisnya, baik morenal, tenaga manusia maupun kekayaan. Negeri Suriah sendiri terkenal
makmur dan menyimpan sumber alam yang berlimpah. Di tambah lagi bumi mesir yang berhasil
dirampas, maka sumber-sumber kemakmuran dan suplai bertambah bagi Mu’awiyah.

Kedua, sebagai seorang administrator, Mu’awiyah sangat bijaksana dalam menempatkan


para pembantunya pada jabatan-jabatan penting. Tiga orang patutlah mendapat perhatian khusus,
yaitu ‘Amir Ibn As, Mugirah Ibn Syu’bah dan Ziyad Ibn Abihi. Ketiga pembantu ini dengan
Mu’awiyah merupakan empat politikus yang sangat menggagumkan di kalangan muslimin arab.

B. Bentuk dan Praktik Peradilan

Pada masa Dinasti Umayah, al-qadha dikenal dengan Nizham al-Qadhaaiy (organisasi
kehakiman), di mana kekuasaan pengadilan telah dipisahkan dari kekuasaan politik. Ada di ciri
khas bentuk peradilan pada masa Bani Umayah, yaitu:3
1. Hakim memutuskan perkara menurut hasil ijtihadnya sendiri, dalam hal-hal yang tidak
ada nash atau ijma’. Ketika itu mazhab belum lahir dan belum menjadi pengikat bagi
keputusan-keputusan hakim. Pada waktu itu hakim hanya berpedoman kepada Al-Qur’an
dan Sunnah.
2. Lembaga peradilan pada masa itu belum dipengaruhi oleh penguasa. Hakim memiliki hak
otonom yang sempurna tidak dipengaruhi oleh keinginan-keinginan penguasa Keputusan
mereka tidak hanya berlaku pada rakyat biasa, tetapi juga pada penguasa-penguasa
sendiri. Dalam hal itu, khalifah selalu mengawasi gerak-gerik hakim dan memecat hakim
yang menyeleweng dari garis yan ditentukan.

Pengangkatan hakim dipisah dari gubernur. Khalifah mengangkat qadhi-qadhi yang bertugas


di ibukota pemerintahan sementara qadhi yang bertugas di daerah diserahkan pengangkatannya
pada kepala daerah tersebut. Permasalahan yang bisa ditangani oleh qadhi ini terbatas pada
masalah-masalah khusus, sementara yang melaksanakan keputusan itu adalah khalifah. Lembaga
peradilan dipegang oleh orang Islam, sedangkan kalangan non-Muslim mendapatkan otonomi
hukum di bawah kebijakan masing-masing pemimpin agama mereka. Hal inilah yang mendasari
mengapa hakim hanya ada di kota- kota besar.

3
Alaidin Koto. Sejarah Peradilan Islam.  … h. 79

6
Adapun instansi dan tugas kekuasaan kehakiman di masa Bani Umayah ini dapat
dikategorikan menjadi tiga badan, yaitu:4

Pertama, al-Qadhaa’ merupakan tugas qadhi dalam menyelesaikan perkara-perkara yang


berhubungan dengan agama. Di samping itu, badan ini juga mengatur institusi wakaf, harta anak
yatim, dan orang yang cacat mental.

Kedua, al-Hisbah merupakan tugas al-muhtasib (kepala hisbah). Dalam menyelesaikan


perkara-perkara umum dan soal-soal pidana yang memerlukan tindakan cepat. Menurut Al-
Syaqathi dalam bukunya Fi Adaab al-Hisbah, seperti yang dikutip oleh Philip K. Hitty bahwa
tugas al-Muhtasib selain mengarahkan polisi juga bertindak sebagai pengawas perdagangan dan
pasar, memeriksa takaran dan timbangan serta ikut mengurusi kasus-kasus perjudian, seks
amoral, dan busar yang tidak layak di depan umum.Terbentuknya peradilan yang menangani
kasus hisbah,  sebagaimana sebelumnya belum berbentuk lembaga resmi negara Kewenangan
wilayah hisbah sesungguhnya merupakan kewenangan untuk menyuruh berbuat baik dan
melarang berbuat munkar, serta menjadikan kemaslahatan dalam masyarakat. Upaya ini
digolongkan pada usaha untuk memberikan penekanan terhadap ketentuan-ketentuan hukum
agar dapat terealisasi dalam masyarakat secara maksimal. Di samping iti wilayah hisbah dapat
memberikan tindakan secara langsung bagi pihak-pihak yang melakukan pelanggaran. Artinya,
terlihat betapa urgen keberadaban wilayah hisbah dalam membina masyarakat untuk menaati
aturan-aturan syara’.

Pada masa Rasulullah Saw., embrio peradilan hisbah sudah ada. Diriwayatkan dalam sebuah
hadis, Rasululla Saw. pernah ke pasar dan memasukkan tangannya ke dalam gandum seorang
penjual, dan ternyata basah. Maka beliau bersabda: “jangan mencampur yang baik dengan yang
buruk”. Pada masa Dinasti Umayah wilayah hisbah sudah menjadi satu lembaga khusus dari
lembaga peradilan yang ada dengan kewenangan mengatur dan mengontrol pasar dari perbuatan-
perbuatan yang tidak sesuai dengan syariat Islam.

Ketiga, al-Nadhar fi al-Mazhalim. Merupakan mahkamah tinggi atau mahkamah banding


dari mahkamah di bawahnya (ial-qadha dan al-hisbah). Lembaga ini juga dapat mengadili para
hakim dan pembesar negara yang berbuat salah.

Pada pengadilan kategori ke tiga ini dalam melakukan sidangnya langsung di bawah
pimpinan khalifah. Ketika itu Abdul Malik bin Marwan atau orang yang ditunjuk olehnya, yang
pada awainya diadakan di dalam masjid. Dalam menjalankan tugasnya ketua mahkamah
mazhalim ini dibantu oleh lima orang pejabat penting lainnya, yaitu: 5

1. Kelompok ini dipilih dari orang-orang yang mampu mengalahkan pihak terdakwa yang
menggunakan kekerasan atau melarikan diri dari pengejaran pengadilan.
4
Muhammad Sakam Madkur, Peradilan Dalam Islam (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1998), hlm. 47.

5
Alaidin Koto. Sejarah Peradilan Islam.  … h. 81

7
2. Hakim yang berprofesi sebagai penasihat bagi kepala mahkamah al-mazhalim, sehingga
dengan berbagai cara, apa yang menjadi hak pihak yang teraniaya dapat dikembalikan.
Kepada seluruh yang hadir dapat dijelaskan tentang kasus yang terjadi dengan
sesungguhnya. Kejayaan Dinasti Umayah, termasuk dalam hal peradilan adalah ketika
khalifahnya dipegang oleh Umar bin Abdul Aziz, yang terkenal wara’ ini menetapkan
siapa dan bagaimana karakter seorang hakim, Beliau pernah mengatakan: “Apabila
terdapat pada seorang hakim lima perkara, maka itul hakim yang sempuma Lima perkara
itu adalah:

1. Mengetahui hukum-hukum yang telah diputusk oleh hakim-hakim yang telah lalu.
2. Bersih dari sifat tamak.
3. Dapat menahan amarah
4. Meneladani pemimpin-pemimpin agama yang terk nal.
5. Selalu merundingkan seseuatu dengan para ahli.

Wewenang hakim dalam catatan sejarah peradil; Dinasti Umayah, di antaranya


pada masa Al-Muktasir adalah menyerahkan urusan penganiayaan kepada hakimnya
Yahya bin Hats Asy’ats bin Qasim dan Ahm; bin Abu Daud. Khalifah Abdurrahman
menyerahkan urusan tentara kepada hakimnya Munzir bin Khalid bin Rabi’ah hakim
Mesir memegang urusan qadha di kepolisian. Pada masa Abdul Aziz bin Marwan, qadhi-
Abdurrahman bin Muawiyah diserahi tugas tentang anak yatim di Mesir. Urusan
pernikahan dan perceraian  perkawinan tidak termasuk dalam tugas pengadilan, kecuali
terjadi perselisihan.

Wewenang seorang hakim hanyalah memutuskan hukum suatu perkara, namun


yang melaksanakan hasil putusan tersebut adalah khalifah atau gubernur atau orang yang
diberikan perintah untuk melaksanakannya. Contoh: Hakim memutuskan hukuman
terdakwa adalah qishash, sementara yang menjalankan hukum qishash tersebut adalah
khalifah sendiri.6

3. Ahli fikih. Sebagai tempat para hakim mahkamah al-mazhalim mengembalikan perkara
syariah yang sulit menentukan hukumnya. Ada beberapa catatan pada peradilan di masa Umayah
yang menggambarkan perlunya ahli fikih, yaitu: Pertama, Setiap kota memiliki ahli fikih baik
dari kalangan sahabat maupun tabi’in, yang memiliki kemampuan untuk berijtihad dalam
mengistimbatkan hukum, mereka inilah yang dijadikan qadhi untuk menyelesaikan perkara yang
masuk. Mereka ahli ijtihad dan bukan taqlid. Kedua, Qadha dan fatwa dipandang sederajat.
Fatwa dalam periode ini sama dengan qadha; yaitu fatwa qadhi dipandang putusan. Fatwa yang
dikeluarkan qadhi menjadi hukum. Ketiga, Putusan seorang qadhi tidak bisa dibatalkan oleh
keputusan qadhi yang lain. Karena ijtihad tidak bisa membatalkan ijtihad.
4. Sekretaris yang bertugas mencatat perkara yang diperselisihkan dan mencatat ketetapan
apa yang menjadi hak dan kewajiban pihak-pihak yang berselisih.
6
Ali Mufrodi, Islam Dikawasan kebudayaan Arab, (Jakarta: Perpustakan Nasional, 1997),  hlm. 69.

8
5. Saksi yang bertugas memberikan kesaksian terhadap ketetapan hukum yang disampaikan
oleh hakim yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

Ulama mencatat bahwa orang yang pertama melaksanakan keberadaan wilayah mazhalim
dan hisb; adalah khalifah Abdul Malik bin Marwan dan kemudian di sempurnakan oleh Umar
bin Abdul Aziz.Suatu perkara yang diselesaikan melalui mahkamah mazhah ini dinyatakan tidak
sah, apabila salah satu unsur sidang diatas tersebut tidak hadir. Selanjutnya, ada yang berbeda
dengan para qadhi di Andalusia, yaitu untuk memelihara qadhi dan kesalahan dalam menetapkan
putusan perkara dibentuk dewan syura (pembantu hakim) yang terdiri dari ulama-ulama yang
terkenal keilmuan dan wawasannya. Sehingga muncullah sistem baru pertemuan hakim-hakim
dalam mengadakan persidangan terbuka.Hukuman yang biasanya diputuskan pengadilan adalah
dalam bentuk denda, skorsing, penjara, pemotongan anggota tubuh dan dalam beberapa kasus
khusus seperti bid’ah dan murtad hukuman mati menjadi hukuman final.7[

Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa sistem peradilan telah berjalan dengan
detail dan kuatnya putusan yan diambil oleh hakim dalam menetapkan suatu perkara. Penilaiaian
ini kalau dirujuk dalam kitab fikih, maka dalam menetapkan suatu kasus harus ada hakim,
hukum, mahkum bih, mahkum ‘alaih, mahkum lahu, dan sumber hukum.

Dalam catatan sejarah diketahui bahwa hakim mendapatkan kesejahteraan yang terus
membaik dari negara, seperti; qadhi Suraih yang bertugas di Kufah menerima gaji 100 dirham
sebulan (pada masa Umar), kemudian dinaikkan menjadi 500 dirham pada masa Ali bin Abi
Thalib, seterusnya naik menjadi 10 dinar pada masa Umayah. Bahkan gaji para hakim naik 30-
1.000 dinar pada masa keemasan Dinasti Abbasiyah.

Hanya saja dalam sejarah, juga ada para hakim yang tidak mengambil gajinya disebabkan
dorongan keagamaan, menjaga diri dari hal yang syubhat, atau ada hakim yang menganggap
cukup dengan apa yang dimilikinya seperti Abu Huzaimah bin Ibrahim seorang hakim yang
bertugas di Mesir waktu itu. Tetapi pada masa Umar bin Abdul Aziz kebanyakan hakim sama
sekali tidak mendapat gaji, karena menurut pendapatnya bahwa seorang hakim tidak boleh
mendapat gaji sebagai imbalan atas pengabdian keagamaan yang disandangnya.16Untuk
menjamin kebersihan hakim itu pulalah sebab- nya khalifah menganjurkan untuk mengangkat
hakim dari kalangan orang kaya dengan maksud supaya terbebas dari keinginan menguasai harta
rakyat. Hal ini sesuai dengan pesan Umar bin Khattab ketika menulis surat kepada Abu Musa al-
Asy’ari: “Janganlah kamu mengangkat hakim melainkan orang yang memiliki harta dan
kehormatan, sebab orang yang memiliki harta tidak akan menginginkan harta milik umat.”8

7
Ali Mufrodi, Islam Dikawasan kebudayaan Arab,  …. hlm. 72

8
Alaidin Koto. Sejarah Peradilan Islam.  … h. 83

9
.  Ciri Khas Peradilan di Zaman Mu’awiyah dan Zaman Bani Umayyah Secara Umum

a.       Peradilan di zaman ini masih sama dengan peradilan di zaman sebelumnya, zaman Nabi dan
zaman Khulafaurrasyidin dalam pijakan-pijakan utamanya, aturan protokolernya, sarana dan
tujuannya, kepanjangan dari peradilan sebelumnya dalam menegakkan kebenaran dan keadilan,
kebersihan, tematik, disamping tetap mempertimbangkan perkembangan dan kondisi yang ada di
zaman kekhalifahan Bani Umayyah.
b.      Para hakim di zaman ini tetap menggunakan sarana-sarana pembuktian yang digunakan di
zaman sebelumnya, zaman Khulafaurrasyidin, ditambah dengan firasat, menggunakan taktik atas
tertuduh untuk membuka kebenaran dan mengungkap keadilan.
c.       Di zaman ini muncul sumber-sumber baru bagi hukum syar’i, yaitu urf (kebiasaan yang
berlaku), ucapan sahabat, ijma’, penduduk Madinah dalam beberapa kondisi, disamping sumber-
sumber pokok yang diamalkan di zaman Nabi yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi serta sumber
ijtihadi di zaman Khulafaurrasyidin yaitu ijma’, qiyas, keputusan-keputusan peradilan
sebelumnya dan pertimbangan akal.
d.      Para khalifah menunjuk hakim di Syam, terkadang mereka juga menunjuk hakim di daerah. Para
gubernur juga menunjuk para hakim di wilayahnya dan berwenang memakzulkannya.
e.       Para khalifah dan gubernur berusaha memilih orang terbaik sebagai hakim dari kalangan para
ulama, fuqaha, para tokoh dan orang-orang terpilih dimana mereka memiliki sifat-sifat syar’i
sebagai hakim: takut kepada Allah, berpegang kepada kebenaran, mengamalkan syariat, dan
menegakkan keadilan di antara manusia.
f.       Ada beberapa perubahan yang terlihat dalam proses peradilan di zaman ini, dan perubahan ini di
tambahkan untuk pertama kalinya, yaitu:
1. Dicatatnya keputusan pengadilan karena di khawatirkan terlupakan, juga demi
menepis pengingkaran, dan meletakkan catatan ini dalam arsip khusus.
2. Mengawasi wakaf agar ditangani secara baik dan tepat sasaran.
3. Mengawasi hak anak yatim dan memonitor para wali yatim.
4. Menyusun gugatan, menggunakan sistem antrian untuk masuk bagi pihak yang
berperkara dan memanggil mereka dengan tertib.
5. Adanya para pembantu bagi hakim, mereka adalah pemanggil, pengawal dan polisi.
6. Bekerjasama dengan pihak kepolisian dalam menerapkan keputusan atas pihak yang
berperkara
g.      Para hakim berijtihad dalam menetapkan keputusan pengadilan, mereka memiliki kebebasan
mutlak dalam menggali hukum dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan tujuan-tujuan dasar syari’ah dan
sumber-sumber hukum lainnya, mereka tidak terikat dengan pendapat khalifah, tidak berpegang
kepada mazhab fikih tertentu, namun mereka tetap berunding dengan para ulama dan fuqaha dan
mengundang mereka untuk hadir di majelis peradilan
h.      Para hakim tidak terpengaruh oleh kebijakan para penguasa dan khalifah. Para hakim bekerja
secara independen. Kecenderungan politik, pemberontakan, perbedaan pemikiran, dan fitnah-
fitnah dalam negeri tidak mempengaruhi kerja mereka.9

9
Ali Muhammad Ash-Shallabi, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, (Jakarta:Darul Haq, 2013), hlm. 508.

10
C. Kodifikasi Putusan Hakim

Putusan-putusan hakim pada masa ini belum lagi disusun dan dibukukan secara
sempurna. Orang-orang yang berperkara biasanya mengajukan perkaranya kepada hakim, maka
hakim memeriksa serta memberikan putusannya dengan cara menerangkan kepada yang
terhukum tentang fatwa sebagai dasar pegangan hakim.

Seorang hakim yang bertugas di Mesir bernama Salii bin Ataz, merasa perlu
meregistrasikan putusan yang telah ditetapkan, seiring dengan meningkatnya perkara-perkai
rakyat (sudah rusak akhlaknya), karena dalam masalah yang sama tentang pembagian harta
warisan terhadap putusa hakim yang berbeda, sehingga mereka kembali lagi kepada hakim untuk
meminta keadilannya. Setelah hakim memutuska sekali perkara itu, maka putusan itu ditulis dan
dibuka Sehingga dapat dikatakan bahwa dialah permulaan hakim yang mencatat putusannya.
Dan menyusun yurisprudensi pada masa Muawiyah tersebut.

Selain pencatatan dan penyusunan yurisprudensi, Muawiyah membuat sebuah biro


registrasi, karena ada yang berusaha memalsukan tandatangannya. Adapun tugas biro registrasi
adalah membuat dan menyimpan setiap salinan dokumen resmi sebelum distempel, dan
mengirimkan lembaran aslinya. Pada masa Abdul Malik, Dinasti Umayah membangun gedung
arsip negara di Damaskus.

Hakim-hakim yang Terkenal dan Contoh Kasus yang Diselesaikan pada Masa Bani
Umayah. Adapun tokoh qadhi/hakim yang terkenal pada masa ini cukup banyak yang tersebar di
berbagai daerah seperti Madinah, Basrah, Kufah, dan Mesir, antara lain: 10

1. Al-Qadhi Suraih
Dengan nama lengkap Suraih bin al-Harits al-Kindi, beliau diangkat menjadi qadhi di
daerah Kufah selama 75 tahun, meliputi periode khalifah Umar bin Khattab, Usman bin Affan,
Ali bin Abi Thalib, serta khalifah Bani Umayah. Suraih merupakan salah seorang tabi’in besar
dan banyak meriwayatkan hadis dari Umar, Ali dan Ibnu Mas’ud. Beliau juga merupakan
seorang qadhi yang cerdas, dan cepat dalam menyelesaikan suatu perkara dengan tepat.

Suraih adalah hakim yang sangat berwibawa, karena beliau menyamaratakan antara
rakyat dan penguasa dalam sidang pengadilannya. Suatu hari Asy’ats bin Qais datanj menemui
Syuraih di pengadilan dan disambut dengan ramal dan dipersilakan duduk di sampingnya. Tidak
lama kemudiar datanglah seorang laki-laki yang mengadukan tentang Asy’at: bin Qais ini. Maka
Syuraih memerintahkan kepada Asy’at: bin Qais untuk berdiri dari sampingnya dan duduk di

10
Alaidin Koto. Sejarah Peradilan Islam.  … h. 86

11
tempa terdakwa, akan tetapi Asy’ats bin Qais menolaknya dar mengatakan akan menjawab
pertanyaan dari samping tempa duduk Syuraih saja. Lalu hakim menjawab: “kamu berdiri dar
tempat ini dan duduk di tempat terdakwa atau saya perintahkai orang lain menegakkanmu dan
memaksamu pindah”. Mendenga hal ini Asy’ats bin Qais berdiri dan pindah ke tempat dudul
terdakwa.

2. Al-Qadhi Asisabi
Nama lengkapnya adalah Amir bin Surah bin asy-Sya’bi Beliau merupakan seorang
ulama tabi’in yang terkenal, lahi tahun 17 H. Beliau adalah seorang hakim di Kufah meng
gantikan Suraih. Beliau juga banyak menerima hadis dari Abi Hurairah, Ibnu Abbas, Aisyah, dan
Ibnu Umar. Dia juga adalal ahli fikih termasuk guru tertua Imam Abu Hanifah. 11

3. Al-Qadhi Ijas
Nama lengkapnya; Abu Wailah Ijas bin Muawiyah bii Qurrah, merupakan qadhi dari
khalifah Bani Umayah yan paling adil, cerdas, dan paling tepat firasatnya. Beliau hidu di masa
pemerintahan khaliah Umar bin Abdul Aziz.

4. Salim bin Ataz


Seorang hakim di daerah Mesir yang terkenal piawai dalam menyelesaikan perkara-
perkara dan dialah permulaan hakim yang mencatat putusannya. Dan menyusun yurisprudensi
pada masa pemerintahan Muawiyah.
Salah satu kasus yang pernah terjadi pada masa Dinasti Umayah adalah kasusnya Ibnu
Futhais. Kasus ini terjadi pada masa kekhalifahan Al-Hakam bin Hisyam. Seorang qadhi yang
bernama Muhammad bin Basyir al-Mu’arifi menghukum Ibnu Futhais dengan tidak
menghadirkan saksi. Ibnu Futhais ketika itu berpangkat wazir (menteri). Karena tidak menerima
putusan tersebut Ibnu Futhais naik banding/mengajukan perkaranya ini kepada khalifah dengan
alasan dia telah dianiaya. Kemudian al-Hakam mengirim surat kepada Muhammad bin Basyir al-
Mu’arifi dengan menerangkan keberatan Ibnu Futhais. Maka surat khalifah itu dibalas oleh
Muhammad bin Basyir al-Mu’arifi dengan mengatakan: “Ibnu Futhais tidak mengetahui siapa-
siapa yang menjadi saksi atas kasusnya, karena jika dia tahu siapa yang menjadi saksinya, maka
dia akan mencari saksi tersebut dan tidak segan-segan menyakitinya”. Dari salah satu contoh
kasus di atas terlihat bahwa seorang hakim memiliki hak untuk berijtihad dan mempunyai
wewenang penuh dalam penerapan hukumnya.

11
Alaidin Koto. Sejarah Peradilan Islam.  … h. 86

12
 

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang panjang lebar diatas, maka pembahasan tentang peradilan
dimasa Bani Umayyah dan Abbasiyah dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, ketatalaksanaan peradilan makin disempurnakan,


badan peradilan mulai berkembang menjadi lembaga yang mandiri.
2. Pada masa Bani Umayyah belum ada hakim yang khusus yang memutuskan perkara
pidana dan hukuman penjara kaarena kekuasaan ini dipegang oleh Khalifah sendiri.
3. Ciri-ciri menonjol peradilan pada masa Bani Umayyah, yaitu : Pertama, Hakim
memutuskan perkara menurut hasil ijtihadnya sendiri, Kedua, Lembaga peradilan pada
masa itu belum lagi dipengaruhi oleh penguasa.

B. Saran

Demikianlah pembahasan mengenai  sistem peradilan pada masa Bani Ummayah,


semoga dapat menjadi bahan rujukan rekan pembaca dalam menambah wawsan mengenai sistem
peradilan. Kritik dan saran sangat pemaklah  harapkan demi untuk perbaikan makalah kami
selanjutnya.

13
DAFTAR PUSTAKA
 
Koto,Alaidin.2011. Sejarah Peradilan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mufrodi, Ali. 1997. Islam Dikawasan kebudayaan Arab. Jakarta: Perpustakan Nasional.
Madkur , Muhammad Sakam. 1998. Peradilan Dalam Islam. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Ash-Shallabi, Ali Muhammad. 2013. Mu’awiyah bin Abu Sufyan.  Jakarta: Darul Haq.

14

Anda mungkin juga menyukai