OLEH:
AKHWALUL SYAKSIYAH
MEDAN
2020
kATA PENGANTAR
Puji syukur yang dalam kami sampaikan kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Pemurah,
yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan sebuah
makalah yang berjudul Sejarah Peradilan Islam Pasa Masa Bani Umayyah dengan baik. Shalawat
dan salam saya persembahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang membawa risalah Islam
sebagai pedoman hidup untuk meraih keselamatan hidup di dunia dan juga di akhirat kelak.
Alhamdulillah, atas izin Allah SWT, kami dapat menyelesaikan tugas ini. Sebuah
makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Sejarah Peradilan Islam. Tugas ini
disusun untuk bertujuan sebagai alternatif dalam memahami dan mengetahui lebih dalam tentang
salah satu materi daripada mata kuliah.
Dalam penyusunan tugas ini, juga tidak luput dari adanya berbagai macam sumber seperti
mengenai sebagai referensi untuk memperkuat dan membuka cakrawala kami dalam
menganalisis tentang materi dalam karya tulis ini. Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini
dengan mudah dan menyusunnya menjadi sebuah tugas seperti ini. Semoga dengan kehadiran
tugas ini dapat menambah ilmu tentang hal tersebut..
Dengan segala keterbatasan yang ada, kami menyadari bahwa dalam penulisan ini masih
jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik senantiasa kami harapkan. Semoga tugas
yang kami kerjakan dapat bermanfaat bagi kami dan pembacanya. Aamiin.
Medan,November 2020
Penyusun
Kelompok IV
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan......................................................................................... 13
B. Saran................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 14
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Muawiyah bin Abu Sufyan adalah sosok manusia yang cerdas dan cerdik. Ia seorang
politisi ulung yang mampu membangun peradaban besar melalui politik kekuasaannya. Ia pendiri
sebuah dinasti besar yang mampu bertahan selama hampir satu abad. Dialah pendiri dinasti
Umayyah, seorang pemimpin yang paling berpengaruh pada abad 7 H.
Muawiyah berhasil membangun pemerintahan melebihi apa yang telah dibangun oleh
saudaranya, Muhammad. Dengan mencontoh model pemerintahan Persia dan Byzantium,
dinastinya mampu memperluas kekuasaan Islam yang tidak bias dilakukan oleh pemimpin Islam
sebelum dan sesudahnya. Khalifah-khalifah besar itu seperti Muawiyah I, Abdul Malik, Al-
Walid I, dan Umar bin Abdul Aziz melakukan revolusi pemerintahan yang melahirkan
peradaban Islam yang luar biasa.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
4
BAB II
PEMBAHASAN
Setelah masa khalifah al-Rasyidin berakhir, fase selanjutnya adalah zaman tabi’in yang
pemerintahannya dipimpin olei Dinasti Umayah. Dengan khalifah pertama Muawiyah bii Abi
Sofyan, dinasti ini beribukota di Damaskus. Muawiyah telah mencurahkan segala tenaganya
untuk memperkuat diri nya dan menyiapkan daerah Syria sebagai pusat kekuasaanny di
kemudian hari.1 Dinasti ini berkuasa selama lebih kuran 91 tahun dengan 14 orang khalifah:1
Dengan berdirinya daulah Umayah, maka sistem politik dan pemerintahan berubah.
Pemerintahan tidak lagi dilakukan secara musyawarah sebagaimana proses pergantian khalifah
sebelumnya. Suksesi pemerintahan dilakukan secara turun temurun. Seorang khalifah tidak lagi
harus sekaligus pemimpin agama sebagaimana khalifah sebelumnya. Urusan agama diserahkan
kepada ulama, dan ulama hanya dilibatkan dalam pemerintahan jika dipandang perlu oleh
khalifah.
Mu’awiyah tumbuh sebagai pemimpin karier. Pengalaman politik telah memperkaya
dirinya dengan kebijasanaan-kebijasanaan dalam memerintah, mulai dari menjadi salah seorang
pemimpin pasukan dibawah pasukan komando panglima besar Abu Ubaidah Ibn Jarrah yang
berhasil merebut negara Palestina, Suriah dan Mesir dari tanggan imperium romawi yang telah
mengguasai ketiga daerah itu sejak tahun 63 SM. Lalu menjabat sebagai kepala wilayah di Syam
yang dibawahi Suriah dan Palestina yang berkedudukan di Damaskus selama kira-kira 20 tahun
semenjak diangkat oleh Khalifah Umar. Khalifah Usman telah menobatkannya sebagai ”amir al-
bahr” yang memimpin armada besar dalam penyerbuan kekota konstantinopel walau gagal.2
1
Alaidin Koto. Sejarah Peradilan Islam. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011) h. 77
2
Ali Mufrodi, Islam Dikawasan kebudayaan Arab, (Jakarta: Perpustakan Nasional, 1997), hlm. 69.
5
Keberhasilan Mu’awiyah medirikan Dinasti Umaiyyah bukan hanya akibat dari
kemenangan diplomasi di Siffin yang terbunuhnya khalifah Ali saja, dari sejarah semula
gubernur Suriah itu memiliki ”basis rasional” yang solid bagi landasan pembangunan politiknya
di masa depan. Petama adalah berupa dukungan yang kuat dari rakyat Suriah dan dari keluarga
Bani Umaiyyah sendiri. Penduduk Suriah yang lama diperintahkan oleh Mu’awiyah mempunyai
ketentaraan yang kokoh, terlatih dan disiplin di garis depan dalam peperangan melawan romawi.
Mereka bersama-sama dengan kelompok bangsa karya Makkah dari keturunan Umaiyyah berada
sepenuhnya di belakang Mu’awiyah dan memasukkannya sumber-sumber kekuatan yang tidak
habis-habisnya, baik morenal, tenaga manusia maupun kekayaan. Negeri Suriah sendiri terkenal
makmur dan menyimpan sumber alam yang berlimpah. Di tambah lagi bumi mesir yang berhasil
dirampas, maka sumber-sumber kemakmuran dan suplai bertambah bagi Mu’awiyah.
Pada masa Dinasti Umayah, al-qadha dikenal dengan Nizham al-Qadhaaiy (organisasi
kehakiman), di mana kekuasaan pengadilan telah dipisahkan dari kekuasaan politik. Ada di ciri
khas bentuk peradilan pada masa Bani Umayah, yaitu:3
1. Hakim memutuskan perkara menurut hasil ijtihadnya sendiri, dalam hal-hal yang tidak
ada nash atau ijma’. Ketika itu mazhab belum lahir dan belum menjadi pengikat bagi
keputusan-keputusan hakim. Pada waktu itu hakim hanya berpedoman kepada Al-Qur’an
dan Sunnah.
2. Lembaga peradilan pada masa itu belum dipengaruhi oleh penguasa. Hakim memiliki hak
otonom yang sempurna tidak dipengaruhi oleh keinginan-keinginan penguasa Keputusan
mereka tidak hanya berlaku pada rakyat biasa, tetapi juga pada penguasa-penguasa
sendiri. Dalam hal itu, khalifah selalu mengawasi gerak-gerik hakim dan memecat hakim
yang menyeleweng dari garis yan ditentukan.
3
Alaidin Koto. Sejarah Peradilan Islam. … h. 79
6
Adapun instansi dan tugas kekuasaan kehakiman di masa Bani Umayah ini dapat
dikategorikan menjadi tiga badan, yaitu:4
Pada masa Rasulullah Saw., embrio peradilan hisbah sudah ada. Diriwayatkan dalam sebuah
hadis, Rasululla Saw. pernah ke pasar dan memasukkan tangannya ke dalam gandum seorang
penjual, dan ternyata basah. Maka beliau bersabda: “jangan mencampur yang baik dengan yang
buruk”. Pada masa Dinasti Umayah wilayah hisbah sudah menjadi satu lembaga khusus dari
lembaga peradilan yang ada dengan kewenangan mengatur dan mengontrol pasar dari perbuatan-
perbuatan yang tidak sesuai dengan syariat Islam.
Pada pengadilan kategori ke tiga ini dalam melakukan sidangnya langsung di bawah
pimpinan khalifah. Ketika itu Abdul Malik bin Marwan atau orang yang ditunjuk olehnya, yang
pada awainya diadakan di dalam masjid. Dalam menjalankan tugasnya ketua mahkamah
mazhalim ini dibantu oleh lima orang pejabat penting lainnya, yaitu: 5
1. Kelompok ini dipilih dari orang-orang yang mampu mengalahkan pihak terdakwa yang
menggunakan kekerasan atau melarikan diri dari pengejaran pengadilan.
4
Muhammad Sakam Madkur, Peradilan Dalam Islam (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1998), hlm. 47.
5
Alaidin Koto. Sejarah Peradilan Islam. … h. 81
7
2. Hakim yang berprofesi sebagai penasihat bagi kepala mahkamah al-mazhalim, sehingga
dengan berbagai cara, apa yang menjadi hak pihak yang teraniaya dapat dikembalikan.
Kepada seluruh yang hadir dapat dijelaskan tentang kasus yang terjadi dengan
sesungguhnya. Kejayaan Dinasti Umayah, termasuk dalam hal peradilan adalah ketika
khalifahnya dipegang oleh Umar bin Abdul Aziz, yang terkenal wara’ ini menetapkan
siapa dan bagaimana karakter seorang hakim, Beliau pernah mengatakan: “Apabila
terdapat pada seorang hakim lima perkara, maka itul hakim yang sempuma Lima perkara
itu adalah:
1. Mengetahui hukum-hukum yang telah diputusk oleh hakim-hakim yang telah lalu.
2. Bersih dari sifat tamak.
3. Dapat menahan amarah
4. Meneladani pemimpin-pemimpin agama yang terk nal.
5. Selalu merundingkan seseuatu dengan para ahli.
3. Ahli fikih. Sebagai tempat para hakim mahkamah al-mazhalim mengembalikan perkara
syariah yang sulit menentukan hukumnya. Ada beberapa catatan pada peradilan di masa Umayah
yang menggambarkan perlunya ahli fikih, yaitu: Pertama, Setiap kota memiliki ahli fikih baik
dari kalangan sahabat maupun tabi’in, yang memiliki kemampuan untuk berijtihad dalam
mengistimbatkan hukum, mereka inilah yang dijadikan qadhi untuk menyelesaikan perkara yang
masuk. Mereka ahli ijtihad dan bukan taqlid. Kedua, Qadha dan fatwa dipandang sederajat.
Fatwa dalam periode ini sama dengan qadha; yaitu fatwa qadhi dipandang putusan. Fatwa yang
dikeluarkan qadhi menjadi hukum. Ketiga, Putusan seorang qadhi tidak bisa dibatalkan oleh
keputusan qadhi yang lain. Karena ijtihad tidak bisa membatalkan ijtihad.
4. Sekretaris yang bertugas mencatat perkara yang diperselisihkan dan mencatat ketetapan
apa yang menjadi hak dan kewajiban pihak-pihak yang berselisih.
6
Ali Mufrodi, Islam Dikawasan kebudayaan Arab, (Jakarta: Perpustakan Nasional, 1997), hlm. 69.
8
5. Saksi yang bertugas memberikan kesaksian terhadap ketetapan hukum yang disampaikan
oleh hakim yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Ulama mencatat bahwa orang yang pertama melaksanakan keberadaan wilayah mazhalim
dan hisb; adalah khalifah Abdul Malik bin Marwan dan kemudian di sempurnakan oleh Umar
bin Abdul Aziz.Suatu perkara yang diselesaikan melalui mahkamah mazhah ini dinyatakan tidak
sah, apabila salah satu unsur sidang diatas tersebut tidak hadir. Selanjutnya, ada yang berbeda
dengan para qadhi di Andalusia, yaitu untuk memelihara qadhi dan kesalahan dalam menetapkan
putusan perkara dibentuk dewan syura (pembantu hakim) yang terdiri dari ulama-ulama yang
terkenal keilmuan dan wawasannya. Sehingga muncullah sistem baru pertemuan hakim-hakim
dalam mengadakan persidangan terbuka.Hukuman yang biasanya diputuskan pengadilan adalah
dalam bentuk denda, skorsing, penjara, pemotongan anggota tubuh dan dalam beberapa kasus
khusus seperti bid’ah dan murtad hukuman mati menjadi hukuman final.7[
Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa sistem peradilan telah berjalan dengan
detail dan kuatnya putusan yan diambil oleh hakim dalam menetapkan suatu perkara. Penilaiaian
ini kalau dirujuk dalam kitab fikih, maka dalam menetapkan suatu kasus harus ada hakim,
hukum, mahkum bih, mahkum ‘alaih, mahkum lahu, dan sumber hukum.
Dalam catatan sejarah diketahui bahwa hakim mendapatkan kesejahteraan yang terus
membaik dari negara, seperti; qadhi Suraih yang bertugas di Kufah menerima gaji 100 dirham
sebulan (pada masa Umar), kemudian dinaikkan menjadi 500 dirham pada masa Ali bin Abi
Thalib, seterusnya naik menjadi 10 dinar pada masa Umayah. Bahkan gaji para hakim naik 30-
1.000 dinar pada masa keemasan Dinasti Abbasiyah.
Hanya saja dalam sejarah, juga ada para hakim yang tidak mengambil gajinya disebabkan
dorongan keagamaan, menjaga diri dari hal yang syubhat, atau ada hakim yang menganggap
cukup dengan apa yang dimilikinya seperti Abu Huzaimah bin Ibrahim seorang hakim yang
bertugas di Mesir waktu itu. Tetapi pada masa Umar bin Abdul Aziz kebanyakan hakim sama
sekali tidak mendapat gaji, karena menurut pendapatnya bahwa seorang hakim tidak boleh
mendapat gaji sebagai imbalan atas pengabdian keagamaan yang disandangnya.16Untuk
menjamin kebersihan hakim itu pulalah sebab- nya khalifah menganjurkan untuk mengangkat
hakim dari kalangan orang kaya dengan maksud supaya terbebas dari keinginan menguasai harta
rakyat. Hal ini sesuai dengan pesan Umar bin Khattab ketika menulis surat kepada Abu Musa al-
Asy’ari: “Janganlah kamu mengangkat hakim melainkan orang yang memiliki harta dan
kehormatan, sebab orang yang memiliki harta tidak akan menginginkan harta milik umat.”8
7
Ali Mufrodi, Islam Dikawasan kebudayaan Arab, …. hlm. 72
8
Alaidin Koto. Sejarah Peradilan Islam. … h. 83
9
. Ciri Khas Peradilan di Zaman Mu’awiyah dan Zaman Bani Umayyah Secara Umum
a. Peradilan di zaman ini masih sama dengan peradilan di zaman sebelumnya, zaman Nabi dan
zaman Khulafaurrasyidin dalam pijakan-pijakan utamanya, aturan protokolernya, sarana dan
tujuannya, kepanjangan dari peradilan sebelumnya dalam menegakkan kebenaran dan keadilan,
kebersihan, tematik, disamping tetap mempertimbangkan perkembangan dan kondisi yang ada di
zaman kekhalifahan Bani Umayyah.
b. Para hakim di zaman ini tetap menggunakan sarana-sarana pembuktian yang digunakan di
zaman sebelumnya, zaman Khulafaurrasyidin, ditambah dengan firasat, menggunakan taktik atas
tertuduh untuk membuka kebenaran dan mengungkap keadilan.
c. Di zaman ini muncul sumber-sumber baru bagi hukum syar’i, yaitu urf (kebiasaan yang
berlaku), ucapan sahabat, ijma’, penduduk Madinah dalam beberapa kondisi, disamping sumber-
sumber pokok yang diamalkan di zaman Nabi yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi serta sumber
ijtihadi di zaman Khulafaurrasyidin yaitu ijma’, qiyas, keputusan-keputusan peradilan
sebelumnya dan pertimbangan akal.
d. Para khalifah menunjuk hakim di Syam, terkadang mereka juga menunjuk hakim di daerah. Para
gubernur juga menunjuk para hakim di wilayahnya dan berwenang memakzulkannya.
e. Para khalifah dan gubernur berusaha memilih orang terbaik sebagai hakim dari kalangan para
ulama, fuqaha, para tokoh dan orang-orang terpilih dimana mereka memiliki sifat-sifat syar’i
sebagai hakim: takut kepada Allah, berpegang kepada kebenaran, mengamalkan syariat, dan
menegakkan keadilan di antara manusia.
f. Ada beberapa perubahan yang terlihat dalam proses peradilan di zaman ini, dan perubahan ini di
tambahkan untuk pertama kalinya, yaitu:
1. Dicatatnya keputusan pengadilan karena di khawatirkan terlupakan, juga demi
menepis pengingkaran, dan meletakkan catatan ini dalam arsip khusus.
2. Mengawasi wakaf agar ditangani secara baik dan tepat sasaran.
3. Mengawasi hak anak yatim dan memonitor para wali yatim.
4. Menyusun gugatan, menggunakan sistem antrian untuk masuk bagi pihak yang
berperkara dan memanggil mereka dengan tertib.
5. Adanya para pembantu bagi hakim, mereka adalah pemanggil, pengawal dan polisi.
6. Bekerjasama dengan pihak kepolisian dalam menerapkan keputusan atas pihak yang
berperkara
g. Para hakim berijtihad dalam menetapkan keputusan pengadilan, mereka memiliki kebebasan
mutlak dalam menggali hukum dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan tujuan-tujuan dasar syari’ah dan
sumber-sumber hukum lainnya, mereka tidak terikat dengan pendapat khalifah, tidak berpegang
kepada mazhab fikih tertentu, namun mereka tetap berunding dengan para ulama dan fuqaha dan
mengundang mereka untuk hadir di majelis peradilan
h. Para hakim tidak terpengaruh oleh kebijakan para penguasa dan khalifah. Para hakim bekerja
secara independen. Kecenderungan politik, pemberontakan, perbedaan pemikiran, dan fitnah-
fitnah dalam negeri tidak mempengaruhi kerja mereka.9
9
Ali Muhammad Ash-Shallabi, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, (Jakarta:Darul Haq, 2013), hlm. 508.
10
C. Kodifikasi Putusan Hakim
Putusan-putusan hakim pada masa ini belum lagi disusun dan dibukukan secara
sempurna. Orang-orang yang berperkara biasanya mengajukan perkaranya kepada hakim, maka
hakim memeriksa serta memberikan putusannya dengan cara menerangkan kepada yang
terhukum tentang fatwa sebagai dasar pegangan hakim.
Seorang hakim yang bertugas di Mesir bernama Salii bin Ataz, merasa perlu
meregistrasikan putusan yang telah ditetapkan, seiring dengan meningkatnya perkara-perkai
rakyat (sudah rusak akhlaknya), karena dalam masalah yang sama tentang pembagian harta
warisan terhadap putusa hakim yang berbeda, sehingga mereka kembali lagi kepada hakim untuk
meminta keadilannya. Setelah hakim memutuska sekali perkara itu, maka putusan itu ditulis dan
dibuka Sehingga dapat dikatakan bahwa dialah permulaan hakim yang mencatat putusannya.
Dan menyusun yurisprudensi pada masa Muawiyah tersebut.
Hakim-hakim yang Terkenal dan Contoh Kasus yang Diselesaikan pada Masa Bani
Umayah. Adapun tokoh qadhi/hakim yang terkenal pada masa ini cukup banyak yang tersebar di
berbagai daerah seperti Madinah, Basrah, Kufah, dan Mesir, antara lain: 10
1. Al-Qadhi Suraih
Dengan nama lengkap Suraih bin al-Harits al-Kindi, beliau diangkat menjadi qadhi di
daerah Kufah selama 75 tahun, meliputi periode khalifah Umar bin Khattab, Usman bin Affan,
Ali bin Abi Thalib, serta khalifah Bani Umayah. Suraih merupakan salah seorang tabi’in besar
dan banyak meriwayatkan hadis dari Umar, Ali dan Ibnu Mas’ud. Beliau juga merupakan
seorang qadhi yang cerdas, dan cepat dalam menyelesaikan suatu perkara dengan tepat.
Suraih adalah hakim yang sangat berwibawa, karena beliau menyamaratakan antara
rakyat dan penguasa dalam sidang pengadilannya. Suatu hari Asy’ats bin Qais datanj menemui
Syuraih di pengadilan dan disambut dengan ramal dan dipersilakan duduk di sampingnya. Tidak
lama kemudiar datanglah seorang laki-laki yang mengadukan tentang Asy’at: bin Qais ini. Maka
Syuraih memerintahkan kepada Asy’at: bin Qais untuk berdiri dari sampingnya dan duduk di
10
Alaidin Koto. Sejarah Peradilan Islam. … h. 86
11
tempa terdakwa, akan tetapi Asy’ats bin Qais menolaknya dar mengatakan akan menjawab
pertanyaan dari samping tempa duduk Syuraih saja. Lalu hakim menjawab: “kamu berdiri dar
tempat ini dan duduk di tempat terdakwa atau saya perintahkai orang lain menegakkanmu dan
memaksamu pindah”. Mendenga hal ini Asy’ats bin Qais berdiri dan pindah ke tempat dudul
terdakwa.
2. Al-Qadhi Asisabi
Nama lengkapnya adalah Amir bin Surah bin asy-Sya’bi Beliau merupakan seorang
ulama tabi’in yang terkenal, lahi tahun 17 H. Beliau adalah seorang hakim di Kufah meng
gantikan Suraih. Beliau juga banyak menerima hadis dari Abi Hurairah, Ibnu Abbas, Aisyah, dan
Ibnu Umar. Dia juga adalal ahli fikih termasuk guru tertua Imam Abu Hanifah. 11
3. Al-Qadhi Ijas
Nama lengkapnya; Abu Wailah Ijas bin Muawiyah bii Qurrah, merupakan qadhi dari
khalifah Bani Umayah yan paling adil, cerdas, dan paling tepat firasatnya. Beliau hidu di masa
pemerintahan khaliah Umar bin Abdul Aziz.
11
Alaidin Koto. Sejarah Peradilan Islam. … h. 86
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang panjang lebar diatas, maka pembahasan tentang peradilan
dimasa Bani Umayyah dan Abbasiyah dapat disimpulkan sebagai berikut :
B. Saran
13
DAFTAR PUSTAKA
Koto,Alaidin.2011. Sejarah Peradilan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mufrodi, Ali. 1997. Islam Dikawasan kebudayaan Arab. Jakarta: Perpustakan Nasional.
Madkur , Muhammad Sakam. 1998. Peradilan Dalam Islam. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Ash-Shallabi, Ali Muhammad. 2013. Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Jakarta: Darul Haq.
14