A. Hukum Islam
Hukum
Istilah hukum Islam berasal dari dua kata dasar, yaitu ‘hukum’ dan ‘Islam’. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia kata ‘hukum’ diartikan dengan: 1) peraturan atau adat yang secara
resmi dianggap mengikat; 2) undang-undang, peraturan, dsb untuk mengatur pergaulan hidup
masyarakat; 3) patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa tertentu; dan 4) keputusan
(pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (di pengadilan) atau vonis (Tim Penyusun Kamus,
2001: 410).
Syariat
Fiqih
Fiqih adalah ilmu yang bertugas menentukan dan menguraikan norma-norma hukum
dasar yang terdapat dalam Al-Quran dan ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam
sunnah Nabi yang direkam dalam kitab-kitab hadis. Fiqih juga dapat diartikan sebagai ilmu
yang berusaha memahami hukum-hukum yang terdap dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi
Muhammad untuk diterapkan pada perbuatan manusia yang telah dewasa dan sehat akalnya
untuk berkewajiban melaksanakan hukum Islam. Contoh hukum fiqih Islam yang ditulis dalam
bahasa Indonesia, misalnya fiqh Islam karya H. Sulaiman Rasjid yang sejak diterbitkan pertama
kali tahun 1954 sampai 1998 telah puluhan kali dicetak ulang.
1. Asas-asas umum
Asas keadilan, merupakan asas terpenting dalam hukum Islam karena di dalam
Al-Quran, keadilan disebutkan lebih dari 1000 kali. Banyak ayat-ayat yang
menyuruh manusia untuk berlaku adil dan menegakkan keadilan. Dalam QS. An-
Nisa: 135. Tuhan memerintahkan manusia menegakkan keadilan, menjadi saksi
yang adil walaupun terhadap diri sendiri, orang tua dan keluarga dekat. Secara
singkat keadilan adalah asas, titik tolak, proses dan sasaran hukum.
Asas kepastian hukum, menyatakan bahwa tidak ada satu perbuatan pun dapat
dihukum kecuali atas kekuatan hukum atau peraturan perundang-undangan yang
ada dan berlaku untuk perbuatan itu. Asas ini sangat penting dalam ajaran hukum
islam.
Asas kemanfaatan, dalam menjalankan asas keadilan dan kepastian hukum
seharusnya dipertimbangkan asas kemanfaatannya, baik bagi yang bersangkutan
sendiri maupun kepentingan masyarakat.
Asas legalitas, merupakan asas yang menyatakan tidak ada pelanggaran dan
hukuman sebelum ada undang-undang yang mengaturnya. Asas ini didasarkan
pada QS. Al-Isra (17) ayat 15. Asas legalitas ini sudah ada dalam hukum Islam
sejak Al-Quran diturunkan.
Asas larangan memindahkan kesalahan pada orang lain, asas ini terdapat
dalam berbagai surat dan ayat Al-Quran (6:164, 35:18, 39:7, 53:38, 74:38) dari
ayat tersebut jelas bahwa orang tidak dapat diminta memikul tanggung jawab
mengenai kejahatan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang lain. Karena,
pertanggungjawaban pidana itu bersifat individual.
Asas praduga tidak bersalah, seseorang yang dituduh melakukan suatu
kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim dengan bukti-bukti
yang meyakinkan menyatakan dengan tegas kesalahan orang itu.
1. Prinsip Tauhid
Tauhid adalah prinsip umum hukum Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua
manusia ada dibawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam
kalimat La’ilaha Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah). Prinsip ini ditarik dari firman Allah
QS. Ali Imran Ayat 64. Berdasarkan atas prinsip tauhid ini, maka pelaksanaan hukum Islam
merupakan ibadah. Dalam arti perhambaan manusia dan penyerahan dirinya kepada Allah
sebagai manipestasikesyukuran kepada-Nya. Dengan demikian tidak boleh terjadi setiap
mentuhankan sesama manusia dan atau sesama makhluk lainnya. Pelaksanaan hukum Islam
adalah ibadah dan penyerahan diri manusia kepada keseluruhan kehendak-Nya.
Prinsip tauhid inipun menghendaki dan memposisikan untuk menetapkan hukum sesuai
dengan apa yang diturunkan Allah (Al-Qur‟an dan As-Sunah). Barang siapa yang tidak
menghukumi dengan hukum Allah, maka orang tersebut dapat dikateegorikan kedalam
kelompok orang-orang yang kafir, dzalim dan fasiq (Q.S. ke 5 Al-Maidah : 44, 45 dan 47).
2. Prinsip Persamaan/Egalite
Prinsip persamaan yang paling nyata terdapat dalam Konstitusi Madinah (al-Shahifah),
yakni prinsip Islam menentang perbudakan dan penghisapan darah manusia atas manusia.
Prinsip persamaan ini merupakan bagian penting dalam pembinaan dan pengembangan hukum
Islam dalam menggerakkan dan mengontrol sosial, tapi bukan berarti tidak pula mengenal
stratifikasi sosial seperti komunis.
3. Toleransi
Toleransi atu tasamuh merupakan dasar pembinaan masyarakat dalam hukum Islam ,
tasamuh dalam Islam adalah toleransi yang bertitik tolak dari agamanya bukan tasamuh karena
kebutuhan temporal.
Hukum Islam digerakkan untuk merekayasa umat manusia untuk menuju tujuan yang baik
dan benar yang dikehendaki dan ridloi Allah dalam filsafat hukum Barat diartikan sebagai
fungsi social engineering hukum. Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar didasarkan pada QS.
Al-Imran : 110, pengkategorian Amar Makruf Nahi Mungkar dinyatakan berdasarkan wahyu
dan akal.
Kemerdekaan dan kebebasan yang sesungguhnya dimulai dari pembebasan diri dari
pengaruh hawa nafsu dan syahwat serta mengendalikannya di bawah bimbingan akal dan iman.
Banyak hadits yang menyerukan pengendalian nafsu oleh akal sehat dan iman. Dengan
demikian kebebasan bukanlah kebebasan mutlak melainkan kebebasan yang bertanggung
jawab terhadap Allah dan terhadap kehidupan yang melihat dimuka bumi. Seperti alam Qs. al-
Baqarah: 256, Qs. Yunus: 99, Qs. an-Naml: 60-64.18
6. Prinsip Keadilan
7. Prinsip At-Ta‟awun
Prinsip ini memiliki makna saling membantu antar sesama manusia yang diarahkan sesuai
prinsip tauhid, terutama dalam peningkatan kebaikan dan ketakwaan.
1. Al-Quran
Al-Quran adalah sumber utama bagi ukum islam dan sekaligus juga sebagai dalil utama
hukum Islam. Al-Quran dengan seluruh ayatnya membimbing dan memberikan petunjuk untuk
menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam sebagian ayat-ayatnya. Perkataan Al-
Quran berasal dari kata kerja qara-a artinya (dia telah) membaca. Kata kerja qara-a ini berubah
menjadi kata kerja suruhan iqra-a artinya bacalah, dan berubah lagi menjadi kata benda
qur’an, yang secara harafiah berarti bacaan atau sesuatu yang harus dibaca atau dipelajari.
Kedudukan Al-Quran sebagai sumbe rpertama berarti bila seseorang ingin menemukan
hokum suatu kejadian, maka tindakan pertama ia harus mencari jalan penyelesaiannya dari Al-
Quran dan selama hukumnya dapat diselesaikan dengan Al-Quran maka ia tidak boleh mencari
jawaban lain diluar itu. Al-Quran sebagai sumber utama berarti ia adalah sumber dari segala
hukum. Syayyid Husein Nasr berkata :”Sebagai pedoman abadi Al-Quran mempunyai tiga
petunjuk bagi manusia, yaitu :
As-Sunnah atau Al- Hadis adalah sumber hukum Islam kedua setelah Al-Quran, berupa
capan, perbuatan serta ketetapan-ketetapan Nabi SAW. Sunnah atau hadis yang sekarang terdiri
dari dua bagian yaitu :
Bagian isnad , sandaran untuk menentukan kualitas suatu hadis terdiri rangkaian
orang-orang yang yang menyampaikan (meriwayatkan) sunnah secara lisan turun
menurun dari generasi ke generasi (sampai sunnah dibukukan)
Matan (matn) adalah materi atau isi sunnah
Melalui kitab kitab hadis, seorang Muslim mengenal nabi da nisi Al-Quran. Tanpa As-
Sunnah sebagian besar isi Al-Quran akan tersembunyi dari mata manusia. Di dalam Al-Quran
tertulis misalnya perintah untuk mendirikan salat. Tanpa As-Sunnah orang tidak akan tahu
bagaiman acara mengerjakan salat, yang menjadi tiang pusat semua ibadah Islam, tidak akan
dapat dikerjakan tanpa petunjuk berupa perbuatan nabi sehari-hari. Ini berlaku pula pada seribu
hal lainnya, sehingga hampir tidak perlu lagi untuk menyatakan hubungan yang vital antara Al-
Quran dengan Sunnah Rasulullah, yang telahdipilih Tuhan untuk menjadi pembawa dan
penerang petunjuk-Nya. Itulah sebabnya maka kedua sumber nilai dan norma Islam ini tidak
boleh dicerai pisahkan. Seorang muslim yang bvaik akan selalu menggunakan Al-Quran dan
As-Sunnah atau Al-Hadis sebagai pegangan hidupnya, mengikuti pesan nabi pada waktu
melakukan haji perpisahan sebelum beliau wafat.
Oleh karena itu pentingnya kedudukan Sunnah sebagai sumber nilai dan norma hukum
islam, terjadi gerakan untuk mencatat dan mengumpulkan Sunnah nabi yang disampaikan
secara lisan turun-menurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Muncullah kemudian
satu displin ilmu tersendiri mengenai ini yang disebut dengan istilah Ulum Al-Hadis. Ulumul
hadis adalah ilmu-ilmu yang berkenaan dengan hadis. Dalam perkataan sehari-hari, hadis dan
Sunnah adalah sama. Namun, para ahli ada yang membedakan kedua istilah tersebut. Sebab
menurut mereka arti perkataan Sunnah adalah adat istiadat atau tradisi. Jika dikaitkan dengan
nabi , istilah itu berarti perkataan, perbuatan, dan sikap diam beliau tanpa setuju.
Hadis artinya kabar, berita atau baru. Jika dihubungkan dengan nabi artinya kabar
mengenai sesuatu dari nabi. Hadis merupakan keterangan resmi yang berasal dari nabi yang
disampaikan secara lisan dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Sunnah dalam hukum
islam (Aghnides, 1984:28), adalah kebiasaan yang terdapat dalam masyarakat Arab. Perbedaan
makna secara etimologis ini tidak mengurangi pentingnya arti sunnah atau hadis, sebab
mayoritas ahli hadis berdasarkan penelitian mereka meyamakan hadis dan sunnah (Nasruddin
Razak, 1977:102)
Sumber hukum islam yang ketiga adalah akal pikiran manusia yang memenuhi syarat
untuk berusaha, berikhtiar dengan seluruh kemampuan yang ada padanya memahami kaidah-
kaidah hukum yang fundamental yang terdapat dalam Al-Quran, kaidah-kaidah hukum yang
bersifat umum yang terdapat dalam Sunnah nabi dan merumuskan garis-garis hukum yang
dapat diterapkan pada suatu kasus tertentu. Atau berusaha merumuskan garis-garis atau kaidah-
kaidah hukum yang “pengaturannya” tidak terdapat di dalam kedua sumber utama hukum
Islam itu.
Sebelum dibicarkan soal akal dan usaha manusia dengan mempergunakan akalnya,
perlu disinggung tentang akal manusia dan hubungannya dengan wahyu yang erat
hubungannya menurut ajaran Islam. Didalam bahasa arab, perkataan al-‘aql yang kemudian
menjadi akal dalam bahasa indonesia, mempunyai beberapa makna. Selain berarti pikiran dan
intelek, kata itu juga bermakna sesuatu yang mengikatkan manusia dengan Tuhan, sebab arti
lain perkataan ‘aql dalam bahasa Aarab adalah ikatan.
Akal adalah kunci untuk memahami agama, ajaran dan hukum islam. kita tidak akan
dapat memahami Islam tanpa mempergunakan akal. Oleh karena itu, Nabi Muhammad
menyatakan dengan jelas bahwa agama adalah aka, tidak ada agama bagi orang yang tidak
berakal. Perkataan ijtihad (dalam bahasa arab) berasal dari kata jahada artinya bersunguh-
sungguh atau mencurahkan segala daya dan berusaha (Othman Ishak, 1980 : 1). Dalam
hubungannya dengan huku, ijtihad adalah usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan
mempergunakan segenap kemampuan yang ada dilakukan oleh ahli hukum yang memenuhi
syarat untuk merumuskan garis hokum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya di dalam
Al-Quran dan Sunnah Rasulullah. Orang yang berijtihad disebut mujtahid.
Ijtihad merupakan dasar dan sarana pengembangan hokum Islam. Ia adalah kewajiban
hukum Islam. Ia adalah kewajiban umat Islam yang memenuhi syarat (karena pengetahuan dan
oengalamanya) untuk menunaikannya. Kewajiban itu tercermin dalam Sunnah Nabi
Muhammad yang mendorong mujtahid untuk berijtihad. Mujtahid yang berijtihad dan (hasil)
ijtihadnya itu benar, kata Nabi akan memperoleh dua pahala. Kalau ijtihadnya salah, dia akan
mendapatkan satu pahala (Othman Ishak, 1980:16). Adapun beberapa metode dalam berijtihad
adalah ijmak, qiyas, istidal, al-masalih al-mursalah, istihsan, istishab, ‘urf dan lain-lainnya.
Nikah (Kawin) menurut arti asli ialah hubungan seksual menurut arti majazi
(Mathaporic) atau arti hokum ialah akad (perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual
sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita.
- Harus ada persetujuan secara suka rela dari pihak-pihak yang mengadakan
perkawinan. Caranyanya adalah diadakan peminangan terlebuh dahulu untuk
mengetahui apakah kedua belah pihak setuju untuk melaksanakan perkawinan atau
tidak.
- Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang pria, sebab ada ketentuan
larangan-larangan perkawinan antara pria dan wanita yang harus diindahkan.
- Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan
tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan
dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri.
- Perkawinan pada dasarnya adalah untuk membentuk satu keluarga atau rumah
tangga tentram, damai, dan kekal untuk selam-lamanya.
- Hak dan kewajiban suami istri adalah seimbang dalam rumah tangga, dimana
tanggung jawab pimpinan keluarga ada pada suami.
Asal hukum melakukan perkawinan itu menurut pendapat sebagian besar para Fuqaha
(para sarjana Islam) adalah mubah atau ibahah (halal atau kebolehan). Namun asal hukum
perkawinan yang mubah bisa saja berubah status menjadi wajib, sunnah, makhruh dan haram
karena ada illah (sebab-sebab tertentu).
Hukum nikah dikatakan Sunnah apabila orang yang sudah baligh, sudah
memiliki kecukupan finansial belum memiliki pasangan, tetapi masih dapat
mengontrol syahwatnya, maka hukum nikah menjadi Sunah baginya.
Perkawinan menjadi haram hukumnya bila seorang pria atau wanita yang
sudah baligh dan mampu dari segi fisik maupun finansialnya namun niat ia
menikah itu tidak bermksud untuk menjalankan kewajibannya sebagai
suami istri atau ia berniat menikah hanya untuk menyakiti wanita atau pria
yang dinikahinya. Maka haram hukum menikah baginya.
Barang siapa memiliki perempuan karena hartanya dan rupanya yang cantik, niscaya
Allah melengkapkan harta dan kecantikannya itu. Dan barang siapa yang menikahinya karena
agamanya niscaya Allah akan memberikan karunia kepadanya dengan harta dan kecantikan.
Dan nikahilah mereka berdasarkan agamanya dan sesungguhanya hamba sahaya yang
hitam lebih baik asal ia beragama.
سدَّد َحدَّثَنَا
َ عبَيْد َع ْن يَحْ يَى َحدَّثَنَا ُم ُ ّللا َّ سعيد ُ َحدَّثَني قَا َل َ ُي ه َُري َْرة َ أَبي َع ْن أَبيه َع ْن َسعيد أَبي ْبن َّ َع ْن ُه َع ْن
َ ّللاُ َرض
صلَّى النَّبي
َ ُّللا َ سب َها ل َمال َها ِل َ ْر َبع ْال َم ْرأَة ُ ت ُ ْن َك ُح قَا َل َو
َّ س َّل َم َعلَيْه ْ َت الدين بذَات ف
َ اظفَ ْر َولدين َها َو َج َمال َها َول َح ْ َيدَاكَ ت َر َب
Artinya “ Di cerikan Musadad, diceritakan Yahya dari ‘abdulloh berkata bercerita kepadaku
Sa’id Ibn Abi Sa’id dari Abi Hurairah ra bahwasanya Nabi saw bersabda wanita dinikahi
karena empat perkara. Pertama hartanya, kedua kedudukan statusnya, ketiga karena
kecantikannya dan keempat karena agamanya. Maka carilah wanita yang beragama (islam)
engkau akan beruntung
Dapat kita ketahui bahwa dalam memilih jodoh kita dapat memilihnya dengan
pertimbangan yaitu :
1. Karena Rupanya
2. Karena Hartanya
3. Karena Nasabnya
4. Karena Agamanya
Mahram
Kata mahram secara Bahasa adalah yang haram, terlarang dan berasal dari kata Haroma-
Yahromu-Haroman. Menurut ibnu qudamah bahwa mahram adalah orang yang haram untuk
dinikahi, karena nasab dan sebab. Seringkali terjadi kerancuan dalam pemakaian kata muhrim
dan mahram. Padahal kata muhrim artinya adalah orang yang sedng berihram (dalam ibadah
haji)
Dasar hukum dari adanya mahram adalah Al-qur’an Surat An-Nisa ayat 23 :
Pembagian mahram
1. Muabbad
Yaitu orang-orang yang haram dinikahi untuk selamanya. Adapun yang termasuk
kategori ini ada tiga macam, yaitu :
- Ibu kandung, termasuk nenek, buyut, dan terus ke atas, baik itu dari jalur
ibu maupun bapak
- Anak kandung, termasuk cucu, cicitdan terus ke bawah.
- Saudara wanita, baik sekandung maupun saudara seibu ataupun saudara
sebapak.
- Bibi dari pihak bapak
- Bibi dari pihak ibu
- Keponakan wanita
Secara bahasa istilah ini diambil dari bahasa Arab yaitu Al-Kafa’ah ()الكفاءة. Jika dirujuk
ke dalam kamus besar Lisan Al-Arab, Ibnu Manzhur (w. 711) memberikan keterangannya
bahwa kata ini berarti misal, padanan, atau tandingan. istilah se-kufu’ maksudnya adalah
sepadan, sesuai, semisal. Sepadan disini adalah kesepadanan antara calon suami dan calon istri
satu dengan yang lainnya, dan kesepadanan yang dimaksud bisa ditinjau dalam banyak aspek
baik dari kualitas nasab, starata ekonomi yang terlampau jauh, pekerjaan, dan seterusnya.
Banyak dalil yang menunjukkan anjuran ini. Di antaranya firman Allah Ta’ala,
َّ طيبُونَ لل
طيبَات َّ طيبينَ َوال َّ ْالخَبيثَاتُ ل ْلخَبيثينَ َو ْالخَبيثُونَ ل ْلخَبيثَات َوال
َّ طيبَاتُ لل
“Wanita-wanita yang keji untuk laki-laki yang keji. Dan laki-laki yang keji untuk
wanita-wanita yang keji pula. Wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik. Dan laki-
laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik pula.” (QS. An Nur: 26)
Al Bukhari pun dalam kitab shahihnya membuat Bab Al Akfaa fid Diin (Sekufu dalam
agama) kemudian di dalamnya terdapat hadits,
فاظفر بذات الدين تربت يداك، لمالها ولحسبها وجمالها ولدينها:تنكح المرأة ِلربع
“Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya,
karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih karena agamanya
(keislamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi.” (HR. Bukhari-
Muslim)
Salah satu hikmah dari anjuran ini adalah kesetaraan dalam agama dan kedudukan
sosial dapat menjadi faktor kelanggengan rumah tangga
Meskipun demikian perkara kesepadanan ini sangat penting untuk dijadikan bahan
pertimbang dalam melangsungkan pernikahan, namun pada akhirnya semua kembali kepada
calon istri dan wali dari perempuan.
Karena hak menerima dan menolak lamaran itu ada ditangan istri dan walinya, jikapun
yang datang ternyata tidak memenui kriteria, dan tidak sepadan dengan kualitasn perempuan.
Jika mereka rela menikah dengan yang bukan sepadan dalam hal kualitas agama
(asalkan sesama muslim), juga berbeda kualitas nasab, starata ekonomi yang terlampau jauh,
pekerjaan, dan seterusnya, maka dalam hal ini menurut mayoritas ulama sah-sah saja, dan
status pernikahan mereka dinilai sah
1) Calon suami
Seorang calon suami yang akan menikah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
2) Calon istri
Bagi calon istri yang akan menikah juga harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- Tidak bersuami
- Bukan mahram
- Tidak dalam masa iddah
- Merdeka (atas kemauan sendiri)
- Jelas orangnya
- Tidak sedang ihram haji
3) Wali
Untuk menjadi seorang wali dalam sebuah pernikahan, harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
- Laki-laki
- Dewasa
- Waras akalnya
- Tidak dipaksa
- Adil
- Tidak sedang ihram haji
- Ijab kabul
Ijab adalah sesuatu yang diucapkan oleh wali, sedangkan kabul ialah sesuatu yang
diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi.
4) Mahar
Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik
dalam bentuk barang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Para Fuqaha
sependapat bahwa maskawin itu termasuk syarat sahnya nikah dan tidak boleh diadakan
persetujuan untuk meniadakannya.
Rukun Pernikahan
Rukun adalah sesuatu yang harus ada untuk menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan
(ibadah), namun sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan tersebut. Adapun rukun
dalam sebuah pernikahan, jumhur ulama sepakat ada empat, yaitu:
b) Keduanya harus jelas identitasnya dan bisa dibedakan dengan orang lain, baik
terkait dengan nama, keberadaan, jenis kelamin dan hal-hal lainnya yang berkenaan
dengan dirinya. Dengan adanya syariat peminangan sebelum berlangsungnya
pernikahan kiranya merupakan suatu syarat supaya kedua calon mempelai bisa
sama-sama tahu dan mengenal satu sama lain secara baik dan terbuka.
c) Kedua belah pihak telah setuju untuk menikah dan juga setuju dengan pihak yang
mengawininya.
- Memberikan Mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan
jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak
- Mengadakan Walimatul `Ursy
- Membuat dan Menyediakan Hidangan Sesuai Kemampuan
- Mengundang Karib Kerabat, Tetangga dan Rekan-rekan Seagama, Baik dari
Golongan Kaya Maupun Miskin
- Tidak berlebihan
Ketika seseorang telah berkomitmen untuk menikah dengan pasangan hidupnya, dan
bertekad untuk bisa mencapai tujuan pernikahan tersebut, agar mempunyai rumah tangga yng
harmonis. Maka masing-masing suami-istri mempunyai beberapa hak dan kewajiban, yang
mana hak seorang istri menjadi kewajiban suami begitu pula sebaliknya, hak suami menjadi
kewajiban istri.
1. Kematian
Putusnya perkawinan dapat pula disebabkan karena kematian suami atau isteri. Dengan
kematian salah satu pihak, maka pihak lain berhak waris atas harta peninggalan yang
meninggal.
2. Talak
Hukum Islam menentukan bahwa hak talak adalah pada suami dengan alasan bahwa
seorang laki-laki itu pada umumnya lebih mengutamakan pemikiran dalam
mempertimbangkan sesuatu daripada wanita yang biasanya bertindak atas dasar emosi. Dengan
pertimbangan yang demikian tadi diharapkan kejadian perceraian akan lebih kecil,
kemungkinannya daripada apabila hak talak diberikan kepada isteri.
Macam-macam Talak
a. Talak raj’i adalah talak, di mana suami boileh merujuk isterinya pada waktu iddah.
Talak raj’i ialah talak satu atau talak dua yang tidak disertai uang ‘iwald dari pihak
isteri.
b. Talak ba’in, ialah talak satu atau talak dua yang disertai uang ‘iwald dari pihak
isteri, talak ba’in sperti ini disebut talak ba’in kecil. Pada talak ba’in kecil suami
tidak boleh merujuk kembali isterinya dala masa iddah. Kalau si suami hendak
mengambil bekas isterinya kembali harus dengan perkawinan baru yaitu dengan
melaksanakan akad-nikah. Di samping talak ba’in kecil, ada talak ba’in besar, ialah
talak yang ketiga dari talak-talak yang telah dijatuhkan oleh suami. Talak ba’in
besar ini mengakibatkan si suami tidak boleh merujuk atau mengawini kembali
isterinya baik dalam masa ‘iddah maupun sesudah masa ‘iddah habis.
Seorang suami yang mentalak ba’in besar isterinya boleh mengawini isterinya
kembali kalau telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Talak khuluk atau talak tebus ialah bentuk perceraian atas persetujuan suami-isteri
dengan jatuhnya talak satu dari suami kepada isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak
isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak isteri yang menginginkan cerai dengan khuluk
itu.
Adanya kemungkinan bercerai dengan jalan khuluk ini ialah untuk mengimbangi hak
talak yang ada pada suami. Dengan khuluk ini si isteri dapat mengambil inisiatif untuk
memutuskan hubungan perkawinan dengan cara penebusan.
4. Zhihar
Zhihar secara bahasa berarti punggung. Sedangkan menurut istilah zhihar berarti suatu
ungkapan suami kepada istrinya, “Bagiku kamu seperti punggung ibuku”, dengan maksud dia
mengharamkan istrinya bagi dirinya. Zhihar ini merupakan talak yang berlaku di masyarakat
jahiliyah terdahulu. Kemudian diharamkan oleh Islam
5. Ila’
Ila’ adalah seorang laki-laki yang bersumpah untuk tidak menyentuhnya dengan
istrinya secara mutlak, atau selama lebih dari empat bulan. Hal ini dimaksud untuk menyakiti
istri, menyakiti kehormatan istri, lebih dari itu ia juga berpisah tempat tidur, menaruh
kebencian dan tidak memberikan hak-haknya.Jika telah berjalan empat bulan tidak kembali
dan menolak cerainya maka hakim menceriakannya dengan sekali cerai untuk menghilangkan
bahaya darinya.
6. Li’an
Li’an secara bahasa berarti saling melaknat, sedangkan menurut istilah berarti “Sumpah
suami yang menuduh istrinya berbuat zina”, sedangkan dia tidak mampu mendatangkan empat
orang saksi, setelah terlebih dahulu memberikan kesaksian empat kali bahwa ia benar dalam
tuduhnya.
7. Fasakh
Arti fasakh ialah merusakkan atau membatalkan. Ini berarti bahwa perkawinan itu
diputuskan/dirusakkan atas permintaan salah satu pihak oleh hakim Pengadilan Agama.
Biasanya yang menuntut fasakh di pengadilan adalah isteri. Adapun alasan-alasan yang
diperbolehkan seorang isteri menuntut fasakh di pengadilan:
b. Suami menderita penyakit menular yang tidak dapat diharapkan dapat sembuh.
d. Suami jatuh miskin hingga tidak mampu memberi nafkah pada isterinya.
e. Isteri merasa tertipu baik dalam nasab, kekayaan atau kedudukan suami.
f. Suami pergi tanpa diketahui tempat-tinggalnya dan tanpa berita, sehingga tidak
diketahui hidup atau mati dan waktunya sudah cukup lama.
Iddah
Iddah ialah masa menunggu atau tenggang waktu sesudah jatuh talak, dalam waktu
mana si suami boleh merujuk kembali isterinya. Sehingga pada masa iddah ini si isteri belum
boleh melangsungkan perkawinan baru dengan laki-laki lain.
a. Untuk memberi kesempatan berpikir kembali denagn pikiran yang jernih, setelah
mereka menghadapi keadaan rumah tangga yang panas dan yang demikian
keruhnya sehingga mengakibatkan perkawina mereka putus. Kalua sudaah
terpikirkan dengan jernih apakah ada kesempatan untuk rujuk
b. Dalam perceraian karena ditinggal mati suami, iddah ini diadakan untuk
menunjukkan rasa berkabung atas kematian suami.
c. Untuk mengetahui apakah dalam masa iddah yang berkisar antara tiga atau empat
bulan itu, isteri dalam keadaan mengandung atau tidak. Hal ini penting sekali untuk
ketegasan dan kepastian hukum mengenai bapak si anak yang seandainya telah ada
dalam kandungan wanita yang bersangkutan.
Macam-macam Iddah
a. Iddah kematian
Isteri yang ditinggal mati suaminya harus menjalani masa iddahnya sebagai berikut:
- Bagi isteri yang tidak sedang mengandung, iddahnya adalah 4 bulan 10 hari.
Ketentuan ini tercantum dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 234, yang
berbunyi:
- Bagi isteri yang sedang mengandung iddahnya adalah sampai melahirkan. Dasarnya
adalah Al-Quran syrat At-Talaaq ayat 4, yang bunyinya:
b. Iddah talak
Isteri yang bercerai dengan suaminya dengan jalan talak, iddahnya dalah sebagai
berikut:
Untuk isteri yang dicerai dalam keadaan mengandung maka iddahnya adalah sampai
melahirkan kandungannya.
- Istri yang masih mengalami haid (menstruasi), iddahnya adalah tiga kali suci;
termasuk suci pada saat terjadi talak, asal sebelumnya tidak dilakukan hubungan
suami-isteri, sesuai dengan ketentuan surat Al-Baqarah 228.
- Isteri yang tidak pernah atau tidak dapat lagi mengalami haid iddahnya adalah tiga
bulan. Ketentuan ini terdapat dalam Al-Quran Surat Al-Talaaq ayat 4.
- Bagi isteri yang belum pernah dikumpuli dan kemudian ditalak, maka menurut
ketentuan Al-Quran surat Al-Akrab ayat 49, isteri tersebut tidak perlu menjalani
masa iddah. Dan apabila pada waktu akad-nikah belum ditentukan berapa jumlah
maskawin yang akan diberikan kepadanya, maka suami yang mentalak itu wajib
memberikan sejumlah harta kepada isteri yang di talak sebelum dicampuri itu
Rujuk
Rujuk adalah berarti kembali artinya kembali hidup sebagai suami-isteri antara laki-laki
dan wanita yang melakukan perceraian dengan jalan talak raj’i selama masih dalam masa iddah
dan bukan talak ba’in.
Hukum rujuk ada lima, yakni:
- Wajib, apabila Suami yang menceraikan salah seorang istrinya dan dia belum
menyempurnakan pembagian waktunya terhadap istri yang diceraikan itu.
- Haram, apabila rujuk itu menjadi sebab mendatangkan kemudaratan kepada istri
tersebut.
- Makruh, apabila perceraian itu lebih baik diteruskan daripada rujuk.
- Jaiz (boleh), ini adalah hukum rujuk yang asli.
- Sunah, Sekiranya mendatangkan kebaikan.
Syarat Rujuk
Rujuk dapat terjadi selama istri masih dalam masa iddah talak raj’i , maka apabila
mantan suami hendak merujuk istrinya, maka hendaklah memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
d) Talak yang dijatuhkan oleh suami tidak disertai iwad dari istri
Rukun rujuk
1) Istri
a) Sudah dicampuri
b) Istri yang tertentu (bagi suami yang punya istri lebih dari satu)
2) Suami
Suami meminta rujuk atas kehendaknya sendiri, bukan paksaan dari pihak lain.
a) Ada saksi
b) Lafaz rujuk
Menurut UU No 1 Tahun 1974 perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.
Tujuan
Fungsi
Fungsi dari UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah mengesahkan tindak
perkawinan baik yang dilaksanakan secara agama tertentu maupun secara adat, sesuai dengan
yang diungkapkan pada pasal 1, dimana perkawinan berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa;
juga sebagaimana yang diungkapkan pada pasal 2 ayat (1) yang menyatakan Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu. Jadi fungsi UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah memberikan pengesahan
terhadap tindak perkawinan tersebut.
1. Didasarkan kepada persetujuan bebas antara calaon istri dan calon suami. Artinya
tidak sah jika ada unsur keterpaksaan.
2. Menganut asas monogami satu istri bagi satu suami dan satu suami bagi satu istri,
adapun pria dapat mempunyai istri lebih dari satu harus mendapat persetujuan dari
pengadilan agama dan tentunya dengan syarat-syarat yang berat.
3. Pria harus telah berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun
4. Harus mendapat izin masing-masing dari kedua orang tua mereka, kecuali dalam
hal tertentu dan calon pengantin telah berusia 21 tahun atau lebih, atau mendapat
dispensasi dari Pengadilan Agama apabila umur para calon kurang dari 19 dan 16
tahun
5. Tidak termasuk larangan-larangan perkawinan antara 2 orang yang :
- Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas
- Berhubungan darah dalam garis keturunan kesamping yaitu antara saudara, antara
saudara dengan saudara orang tua dan antara seseorang dengan saudar neneknya.
- Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dengan ibu/bapak tiri.
- Perhubungan susuan, yaitu orang tua susuan dan bibi/paman susuan
- Berhubungan saudara dengan istri (ipar) atau sebagai bibi atau keponakan dari istri,
dalam hal seorang suami beristri, lebih dari seorang.
- Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku
dilarang kawin
6. Seseorang yang masih terikat perkawinan dengan orang lain, tidak dapat kawin lagi
kecuali dengan dispensasi Pengadilan Agama
7. Seseorang yang telah cerai untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh
dilangsungkan perkawinan lagi.
8. Seorang wanita yang perkawinannya terputus untuk kawin lagi telah ampau
tenggang waktu tunggu
9. Perkawinan harus dilangsungkan menurut tata cara perkawinan yang diatur oleh
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
Hukum Kewarisan Islam atau yang dalam kitab-kitab fikih biasa disebut Faraid adalah
hokum kewarisn yang diikuti oleh umat islam dalam usaha mereka menyelesaikan pembagian
harta peninggalan keluarga yang meninggal dunia.
Tidak setiap harta yang ditinggalkan pewaris dapat langsung dibagikan kepada ahli
waris. Di sana masih ada hak-hak orang lain dan hak si mayit. Sebelum harta warisan dibagi
kepada ahli waris, ada tiga hal yang wajib dilakukan ahli waris yaitu :
1. Tajhizul janazah, Yang dimaksud dengan tajhizul janazah mulai dari pengurusan
biaya sakit, memandikan, mengkafani, menshalatkan dan terkahir menguburkan.
Seluruh biaya yang timbul dari pengurusan tersebut diambil dari harta yang
ditinggalkan oleh pewaris.
2. Kedua, melunasi utang. Kewajiban melunasi utang dilakukan oleh orang yang
berhutang sendiri. Orang lain tidak berkewajiban melunasi utang si mayit. Untuk
itu, keluarga berkewajiban sebatas pada melaksanakan pembayaran utang tersebut.
3. Menyelesaikan wasiat pewaris
Allah Subhanahu wa ta'ala menetapkan hak kewarisan dalam Al-Qur’an dengan angka
yang pasti yaitu 1/2; 1/4; 1/8; 1/3; 2/3; dan 1/6 dan menyebutkan pula orang yang memperoleh
harta warisan menurut angka-angka tersebut. Hal ini diatur langsung dalam surah An-nisa yaitu
ayat 11, 12, dan 176.
a. Kalalah didefinisikan sebagi “seseorang yang meninggal dunia dan tidak ada
meninggalkan anak”
b. Bila pewaris adalah kalalah, saudara menerima hak dengan uraian sebagai berikut
:
- Seorang saudara perempuan saja mendapat ½
- Dua orang (atau lebih) saudara perempuan mendapat 2/3
- Bila bergabung saudara laki-laki dan perempuan, mereka menerima dengan
bandingan seorang laki-laki sebesar dua perempuan
Masalah ‘Aul
Masalah ini terjadi karena jumlah furudh dari beberapa orang ahli waris yang
terkelompok pada satu kasus ternyata melebihi harta yang ada. Artinya harta yang ditinggalkan
tidak mencukupi untuk memenuhi furudh tersebut.
Teknik Penyelesaian Masalah : Untuk meghindarkan ‘aul itu Ibnu Abbas menjelaskan
siapa yang harus didahulukan dan siapa yang harus dikemudiankan. Orang-orang yang harus
didahulukan adalah ahli waris yang mendapat furudh tertentu dan tidaka ada kemungkinan
berubah menjadi ashabah jika mewarisi Bersama dengan saudara laki-lakinya.
Masalah Radd
Masalah ini timbul karena adanya sisa harta sesudah dibagikan kepada dzaul furudh
sedangkan ahli waris yang berhak atas sisa harta tidak ada. Semua sisa harta yang ada
dikembalikan kepada ahli waris furudh yang ada berdasarkan kadar furudh masing-masing.
Teknik penyelesaian masalah : diriwayatkan dari Usman bahwa pengembalian yang
bernama raad itu berlaku untuk hubungan Rahim dan juga untuk hubungan perkawinan
sehingga semua ahli waris furudh mendapat hak atas raad.
Masalah ‘Umariyah
Masalah ‘umariyah adalah salah satu bentuk masalah dalam kewarisan yang pernah
diputuskan oleh Umar dan diterima oleh mayoritas sahabat dan diikuti oleh jumhur ulama.
Masalah ini terjadi waktu penjumlahan beberapa furudh dalam satu kasus kewarisan yang
hasilnya tidak memuaskan beberapa pihak.
Masalah Himariyah
Seperti pada masalah umariyah, masalah himariyah ini timbul karena adanya benturan
antr prinsip dengan prnsip, sebenarnya tidak mesti timbul masalah karena pembagian harta
warisan dapat dilaksanakan sesuai dengan petunjuk yang ada dalam Al-Qur’an dan sunnah
Nabi, namun hasilnya tidak sesuai dengan anggapan umum yang berlaku sebelumnya.
Masalah ini timbul karena melihat kedudukan masing-masing dalam kewarisan. Di satu
sisi terlihat kedudukan saudara lebih tinggi dari kakek dengan melihat sumber hukum yang
menetapkannya. Saudara ditetapkan berdasarkan dalil yang qath’I dari Al-Qur’an sedangkan
kakek melalui sunnah Nabi. Kakek tertampung sebagai pengganti ayah jika ayah sudah tidak
ada, kedudukannya sebagai pengganti ayah dalam hal baik sebagai furudh atau ashabah telah
disepakati oleh ulama. Dalam hal kedudukannya sebagai penghijab saudara seibu juga
disepakati oleh para ulama.
Para ulama ushul fikih dalam membicarakan orang-orang yang pantas menjadi subjek
hukum atau mahkumu fih, membagi pada dua kategori yaitu pantas menerima hukum (ahliyatu
al-wujub) dan pantas menjalankan hukum (ahliyat al-ada’). Mereka kemudian membagi ahliyat
al-wujub itu kepada dua, yaitu pantas menerima hukum secara tidak sempurna dan yang pantas
menerima hukum secara sempurna. Bayi dalam kandungan dinyatakan oleh para ulama sebagai
orang yang pantas menerima hak, makai a ditetapkan sebagai ahli waris yang berhak menerima
harta warisan dari pewaris bila telah terdapat sebab dan syarat kewarisan pada dirinya. Masalah
kewarisan ini hanya berkaitan dengan mendapatkan hak dan bukan menguasai atau
mengendalikan hak, maka ditetapkan bahwa janin dalam kandungan adalah ahli waris yang
berhak.
Teknik Penyelesaian masalah : Abu Hamid al-Asfarini dan Abu Ishak al-Marwazi
dari kalangan pengikut Syafi’I berpendapat bahwa harta ditangguhkan sluruhnya sampai ada
kepastian dengan lahirnya janin tersebut.
Dalam faraidh dijelaskan di antara persyaratan ahli waris ialah ia jelas hidup pada saat
kematian pewaris dan di antara syarat pewaris ialah pasti pula kematiannya. Orang hilang tidak
diketahui secara pasti apakah masih hidup atau tidak, ketidak pastian tersebut menimbulkan
masalah dalam kewarisan. Pembicraan tentang maqfud dalam kewarisan ini menyangkut dua
hal yaitu pertama, dalam posisinya sebagai pewaris, berkaitan dengan peralihan hartanya
kepada ahli waris. Dan kedua, dalam posisi sebagai ahli waris, berkaitan dengan peralihan harta
pewaris kepadanya secara legal.
Kewarisan Khunsa
Khunsa adalah seseorang yang mempunyai dua alat kelamin di samping ia mempunyai
penis atau zakar ia juga mempunyai vagina atau faraj. Hal ini berhubungan dengan status dan
furudhnya sebagai ahli waris apakah ia laki-laki atau perempuan agar harta waris dapat dibagi
dengan jelas.
Li’an adalah sumpah dari seorang suami yang menuduh istrinya berzina dan tidak
mampu menghadirkan empat orang saksi sebagai penguat dakwaannya. Termasuk dalam
rangkaian tuduhan suami adalah pengingkaran terhadap anak yang dilahirkan. Dari defenisi
diatas dapat disimpulkan bahwa lian adalah sumpah seorang suami yang menuduh istrinya
berbuat zina, bahwa ia akan menerima laknat Allah Swt., apabila tuduhannya terhadap istrinya
berzina ternyata tidak benar. Apabila perzinaan yang dituduhkan suami terhadap istrinya itu
benar dan kemudian melahirkan anak, maka anak tersebut dinamakan anak li`an. Sebagai
akibat dari Li’an tersebut ada dua hal besar yang berkaitan dengan masalah kewarisan : Pertama
putus hubungan kewarisan antara suami-istri dan kedua, putus hubungan antara suami yang
meli’an dengan anak yang dilahirkan hal ini pun mempengaruhi hak kewarisannya.
anak Zina ialah anak yang dilahirkan karena hubungan seorang laki-laki dengan wanita
diluar pernikahan yang sah menurut ketentuan agama islam.
status hukum anak li`an disamakan dengan anak zina. Mereka hanya dapat mewarisi
kepada ibu dan saudara-saudaranya yang seibu saja, tidak bisa mewarisi kepada bapaknya dan
ahli waris lainya, karna tidak mempunyai hubungan kekerbatan dengan bapaknya.
Daftar Pustaka
Ali, M. D. (2015). Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia.
Jakarta: Rajawali.
Ash-Shabuni, M. A. (2013). Hukum Waris Dalam Islam. Depok: Fathan Prima Media.
Hamdani, A. (2002). Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Pustaka Amani.
Manshur, A. (2017). Hukum dan Etika Pernikahan dalam Islam. Malang: UB Press.
Razzaq, U. B. (2007). Panduan Lengkap Nikah dari A sampai Z, terjemahan dari kitab Isyratun
Nisaa Minal Alif ilal Ya. Bogor: Pustaka Ibnu Katsir.