Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PERJANJIAN DALAM PERKAWINAN


Dosen Pembimbing:
Drs. H. Sumarkan, M.Ag

Disusun Oleh :
Yufi Tania Kusuma (05010420019)
Ahmad Wildan Firdaus S. (0502040420059)
Zumrotul Muthoharoh (05020420054)

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM


PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2021/2022
KATA PENGANTAR

Puju dan syukur selalu tercurah limpah kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-nya kepada seluruh makhluknya, sehingga pada saat ini saya dapat
menyelesaikan tugas makalah ini dengan lancar.

Sholawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada nabi akhir zaman yaitu
nabi Muhammad SAW. Kepada keluarganya, para sahabatnya dan sampai kepada kita selaku
ummatnya yang senantiasa mengikuti ajarannya serta taat dan patuh kepadanya.

Hasil Tugas Makalah ini dimaksud untuk memenuhi tugas mata kuliah “HUKUM
PERKAWINAN ISLAM” yang berjudul “ PERJANJIAN DALAM PERKAWINAN”, Dalam
penulisan kali ini, saya tidak luput dari berbagai kesulitan. Namun, berkat pertolongan Allah
SWT. serta bimbingan dari beberapa pihak yang pada akhirnya kami dapat menyelesaikan Tugas
ini dengan tepat waktu.

Lamongan, 19 Mei 2021

Zumrotul Muthoharoh
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Perjanjian perkawinan yaitu, persetujuan yang dibuat oleh kedua calon mempelai pada
waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, dan masingmasing berjanji akan mentaati
apa yang tersebut dalam persetujuan itu, yang disahkan oleh pegawai pencatat nikah. 1
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah “persetujuan tertulis atau dengan
lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa
yang tersebut dalam persetujuan itu.”2
Secara teoritis perjanjian perkawinan bisa dibuat bermacam-macam mulai dari aturan
yang tercantum dalam BW, maupun Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974. Bila
seseorang mengadakan janji kemudian ada orang lain yang menyetujui janji tersebut serta
menyatakan pula suatu janji yang berhubungan dengan janji yang pertama, maka terjadilah
perikatan dua buah janji dari dua orang yang mempunyai hubungan antara yang satu dengan
yang lain. 3
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian perjanjian hukum perkawinan
2. bagaimana kedudukan hukum perkawinan
3. Apa fungsi perjajian dalam hukum perkawinan
4. apa alasan dibuat sebuah perjajian dalam hukum perkawinan
5. bagaimanaMateri yang dapat diatur dalam Perjanjian Perkawinan
6. Waktu dalam membuat Perjanjian Perkawinan

C. TUJUAN MASALAH
 Apa pengertian perjanjian hukum perkawinan
 bagaimana kedudukan hukum perkawinan
 Apa fungsi perjajian dalam hukum perkawinan

1
Abd Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Bogor: Kencana, 2003), 119.
2
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ikthasar Indonesi Edisi Ketiga, Jakarta : Balai Pustaka. 2005. hal.
458
3
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), 45.
 apa alasan dibuat sebuah perjajian dalam hukum perkawinan
 bagaimanaMateri yang dapat diatur dalam Perjanjian Perkawinan
 Waktu dalam membuat Perjanjian Perkawinan

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN PERJANJIAN PERKAWINAN

Perjanjian perkawinan sering dikenal sebagai perjanjian pranikah atau dalam Bahasa
Inggris Prenuptial Agreement pada umumnya jarang terjadi di dalam masyarakat Indonesia
asli,dikarena masih teratnya hubungan kekerabatan dan adanya rasa saling percaya antara
calon suami istri, karena perjanjian perkawinan masih dianggap pentangan yang masih
sangat jarang dipakai dalam perkawinan orang Indonesia. Perjanjian perkawinan asal
mulanya berasal dari masyarakat Barat yang memiliki sifat individualistik dan kapitalistik,
individualistik karena melalui perjanjian perkawinan mengakui kemandirian dari harta
suami dan harta istri, kapitalistik karena tujuannya untuk melindungi rumah tangga dari
kepailitan dalam dunia usaha, artinya bilamana salah satu pihak diantara suami istri jatuh
pailit maka yang lain masih bisa diselamatkan. 4

Akan tetapi semakin lajunya arus modernisasi perjanjian perkawinan dewasa ini banyak
dianggap oleh generasi muda sebagai hal yang patut diperhitungkan sebelum melaksanakan
perkawinan, karena pada dasarnya perjanjian perkawinan adalah bentuk proteksi atau
perlindungan apabila dikemudian hari terjadi hal yang tidak diinginkan dalam perkawinan
seperti perceraian, kematian atau salah satu pihak mengalami kepailitan. Pembuatan
perjanjian perkawinan bukanlah suatu keharusan yang harus ada dalam perkawinan, tetapi

4
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan Di
Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 1988, hlm. 4.
lebih kepada sebuah pilihan hukum bagi calon pasangan suami istri untuk melakukannya
atau tidak.

Rumusan tentang pengertian perjanjian perkawinan tidak dijelaskan dalam Undang-


Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun KUHPerdata tidak menyebutkan
secara jelas dan tegas mengenai pengertian perjanjian perkawinan maupun isi perjanjian
perkawinan itu sendiri. Adanya ketidakjelasan pengertian perjanjian perkawinan
menimbulkan perbedaan pendapat dari para ahlihukum mengenai pengertian perjanjian
perkawinan.

Perjanjian perkawinan dalam undang-undang perkawinan diatur dalam Bab V dan hanya
terdiri satu pasal saja yaitu Pasal 29. Dijelaskan pada pasal tersebut,

“Pada waktu sebelum perkawinan berlangsung kedua pihak atas persetujuan bersama dapat
mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah
mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”.

Menurut Pasal 139 KUHPerdata, calon suami istri sebelum melakukanperkawinan dapat
membuat perjanjian kawin. Dari pengertian Pasal 139 KUHPerdata dapat diuraikan, bahwa
perjanjian kawin (howelijksvorwaaerden) sebenarnya merupakan persetujuan antara calon
suami istri untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka. Dari bunyi
pasal-pasal yang mengatur mengenai perjanjian perkawinan sebenarnya masih tidak begitu
jelas maksud dari perjanjian perkawinan, berikut pengertian perjanjian perkawinan menurut
pendapat beberapa ahli hukum mengenai pengertian perjanjian perkawinan.

Menurut H. A. Damanhuri, pada prinsipnya pengertian perjanjian perkawinan sama


dengan perjanjian pada umumnya, yaitu suatu perjanjian bagi dua orang calon suami istri
untuk mengatur harta kekayaan pribadi masingmasing yang dibuat menjelang perkawinan,
serta disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah. 5

5
H. A. Damanhuri, Op. Cit, hlm. 7.
Dalam arti formal perjanjian perkawinan adalah setiap perjanjian yang dilangsungkan
sesuai ketentuan undang-undang antara calon suami istri mengenai perkawinan mereka,
tidak dipersoalkan apa isinya. 6

Soetojo Prawirohamidjojo, mengatakan bahwa perjanjian perkawinan ialah perjanjian


(persetujuan) yang dibuat oleh calon suami istri sebelum atau pada saat perkawinan
dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka. 7

Sementara itu Soetojo Prawirohamidjojo berpendapat, bahwa perjanjian kawin umumnya


dibuat:

1. Bilamana terdapat sejumlah kekayaan yang lebih besar pada salah satu pihak dari pihak
lain;

2. Kedua belah pihak masing-masing membawa masukan (inbreng) yang cukup besar;

3. Pihak mempunyai usaha atau bisnis masing-masing, yang apabila salah satu pihak jatuh
pailit atau mengalami kebangkrutan pihak lain tidak tersangkut;

4. Dan apabila pihak memiliki utang sebelum perkawinan, masingmasing akan bertanggung
jawab sendiri-sendiri terhadap utang masing-masing.8

Subekti berpendapat, perjanjian perkawinan adalah suatu perjanjian mengenai harta


benda suami istri selama perkawinan mereka yang menyimpangi dari asas atau pola yang
ditetapkan oleh Undang-Undang. 9

Islam sangat menghormati terhadap setiap perjanjian yang dibuat, bahkan hukumnya
wajib, melihat pengaruh positif dan peranannya yang besar dalam memelihara perdamaian.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “perjanjian” berasal dari kata dasar “janji'' yang
berarti ''perkataan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat (seperti

6
Ibid, hlm. 1
7
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Op. Cit, hlm. 57.
8
Ibid, hlm.u 58
9
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1996, hlm. 9.
hendak memberi, menolong, datang, bertemu), atau persetujuan antara dua pihak (masing-
masing menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu).
Dua subjek hukum atau lebih apabila mempunyai kemauan atau kesanggupan yang
dipadukan dalam satu ketentuan dan dinyatakan dengan kata-kata, atau sesuatu yang bisa
dipahami, maka dengan itu terjadilah peristiwa hukum yang disebut dengan perikatan. Para

ulama ahli fiqh menyebutnya dengan 'aqdun, Definisi yang mereka kemukakan adalah:
Akad adalah sesuatu yang dengannya akan sempurna perpaduan antara dua macam
kehendak, baik dengan kata atau yang lain, dan kemudian karenanya timbul ketentuan atau
kepastian pada dua sisinya. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991 : 401)

Secara etimologi perjanjian (yang dalam bahasa Arab diistilahkan dengan Mu'ahadah
ittifa', akad) atau kontrak yang dikemukakan para ahli diantaranya:

Dalam Kamus Hukum, Yan Pramudya Puspa mendefinisikan perjanjian adalah: “Suatu
perbuatan dimana seseorang atau lebih mengikatkan diri terhadap seseorang yang lain”. 10

2.2 Kedudukan Perjanjian Perkawinan

a. Kedudukan Perjanjian Perkawinan menurut KHI & Undang-undang

Perkawinan tahun 1974. Dalam pasal 29, 47 (1) KHI disebutkan bahwa, Pada waktu atau
sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak dapat mengadakan perjanjian tertulis
yang disahkan pegawai pencatat nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
Perjanjian perkawinan mempunyai syarat sah, yaitu:

1) Tidak menyalahi hukum Syari’ah yang disepakati perjanjian yang dibuat itu tidak
bertentangan dengan syari’at Islam atau hakikat perkawinan. Jika syarat perjanjian yang
dibuat bertentangan dengan syari’at Islam atau hakikat perkawinan, apapun bentuk
perjanjian itu maka perjanjian itu tidak sah, tidak perlu diikuti, sedangkan akad nikahnya
sendiri sah. Dengan sendirinya tidak ada kewajiban bagi masing-masing pihak untuk
menempati atau melaksanakan perjanjian tersebut dan dengan sendirinya batal demi
hukum.

10
Yan Pramudya Puspa, 1977, Kamus Hukum, Semarang, CV Aneka, hlm. 248.
2) Harus sama ridha dan ada pilihan Masing-masing pihak rela atau ridha terhadap isi
perjanjian tersebut, dan tidak ada paksaan dari pihak manapun.

3) Harus jelas dan gamblang Bahwa isi dari perjanjian tersebut harus jelas apa yang
diperjanjikan, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman di antara para pihak tentang
apa yang mereka perjanjikan di kemudian hari.

b. Kedudukan Perjanjian Perkawinan Menurut KUH Perdata. Sumber perikatan yang


terpenting adalah perjanjian, sebab dengan melalui perjanjian pihak-pihak dapat membuat
segala macam perikatan, sesuai dengan asas kebebasan berkontarak yang terkandung
dalam Buku III BW, tetapi seperti juga telah dikemukakan kebebasan berkontrak tersebut
bukan berarti boleh membuat perjanjian secara bebas, melainkan harus memenuhi syarat-
Dalam perjanjian yang sah syarat sahnya suatu perjanjian diatur

dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang mengemukakan empat syarat, yaitu :

1) Adanya kesepakatan kedua belah pihak.

2) Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.

3) Adanya suatu hal tertentu.

4) Adanya sebab yang halal.

Kedua syarat yang pertama disebut syarat subjektif karena kedua syarat tersebut mengenai
subjek perjanjian sedangkan dua syarat terakhir merupakan syarat objektif karena mengenai
objek dari perjanjian. syarat tertentu untuk sahnya suatu perjanjian. 11

Kempat syarat tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:

1) Adanya kesepakatan kedua belah pihak Syarat pertama dari sahnya suatu perjanjian
adalah adanya kesepakatan para pihak. Kesepakatan adalah bahwa para pihak yang
membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui
kehendak masing-masing yang dilahirkan oleh para pihak dengan tidak ada paksaan,

11
Riduan, Syahrani, Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: PT. Alumni,
2003), 205.
kekeliruan dan penipuan. 12 Persetujuan dapat dinyatakan secara tegas maupun secara
diam-diam. Perjanjian tersebut tidak sah apabila terjadi karena paksaan, kekhilafan atau
penipuan. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1321 KUH Perdata yang menyatakan
jika di dalam perjanjian terdapat kekhilafan, paksaan atau penipuan, maka berarti di
dalam perjanjian itu terjadi cacat kehendak dan karena itu perjanjian tersebut dapat
dibatalkan. Cacat kehendak artinya“bahwa salah satu pihak sebenarnya tidak
menghendaki isi perjanjian yang demikian. Seseorang dikatakan telah membuat kontrak
secara khilaf manakala dia ketika membuat kontrak tersebut dipengaruhi olehpandangan
atau kesan yang ternyata tidak benar.13

2) Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum Menurut 1329 KUH Perdata kedua belah
pihak harus cakap menurut hukum. Kecakapan bertindak adalah kecakapan untuk
melakukan perbuatan hukum. Dimana perbuatan hukum ialah perbuatan yang
menimbulkan akibat hukum.

3) Adanya suatu hal tertentuSuatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi
obyek suatu perjanjian. 14 Yang diperjanjikan haruslah suatu hal atau suatu barang yang
cukup jelas atau tertentu. Menurut Pasal 1332 KUH Perdata, hanya barang-barang yang
dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokokpokok perjanjian. Pasal 1333 KUH
Perdata menyatakan bahwa suatu persetujuan itu harus mempunyai pokok suatu barang
yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Tidak menjadi halangan bahwa jumlah
barang tidak tentu asal barang kemudian dapat ditentukan atau dihitung.

4) Adanya sebab yang halal Di dalam Undang-undang tidak disebutkan pengertian mengenai
sebab (orzaak, causa). Yang dimaksud dengan sebab bukanlah sesuatu yang mendorong
para pihak untuk mengadakan perjanjian. Tetapi menurut riwayatnya, yang dimaksud
adalah tujuan, yaitu apa yang dikehendaki oleh kedua pihak dengan mengadakan

12
Ibid., 205-206.
13
H.R. Daeng Naja. Op.Cit, .86.
14
Riduan, Syahrani, Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: PT. Alumni, 2003),
209
.
perjanjian itu, dengan kata lain causa berarti isi perjanjian itu sendiri. 15 Adapun sebab
yang tidak diperbolehkan ialah jika isi perjanjian bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan dan ketertiban umum. Dari uraian di atas, apabila syarat subjektif tidak
terpenuhi, maka salah satu pihak dapat meminta supaya perjanjian itu dibatalkan, namun,
apabila para pihak tidak ada yang keberatan, maka perjanjian itu tetap dianggap sah.
Sementara itu, apabila syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi
hukum.

Keempat syarat tersebut haruslah dipenuhi oleh para pihak dan apabila syarat-syarat
sahnya perjanjian tersebut telah terpenuhi, maka menurut Pasal 1338 KUH Perdata,
perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum samadengan kekuatan suatu Undang-
undang. Berakhirnya Perjanjian karena hal-hal berikut: Dalam Pasal 1381 KUH Perdata
menyebutkan tentang cara berakhirnya

suatu perikatan, yaitu : “Perikatan-perikatan hapus karena

1) pembayaran;

2) karena penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau

penitipan;

3) karena pembaharuan hutang;

4) karena kompensasi atau perhitungan hutang timbal balik;

5) karena percampuran hutang;

6) karena pembebasan hutangnya;

7) karena musnahnya barang yang terhutang;

8) karena kebatalan atau pembatalan;

9) karena berlakunya suatu syarat batal, yang diatur dalam bab kesatu buku ini;

10) karena lewatnya waktu, hal mana akan diatur dalam suatu bab tersendiri". Adanya
putusan pengadilan dan atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan

15
Subekti, Pokok-pokok hukum perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1983), 137.
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau adanya keadaan atau kejadian tertentu
yang dicantumkan dalam perjanjian yang dapat menyebabkan berakhirnya perjanjian.

2.3 FUNGSI PERJANJANJIAN DALAM PERKAWINAN

Fungsi Perjanjian Perkawinan Terhadap Status Kepemilikan Harta Pada Perkawinan


Campuran UU Perkawinan sendiri mengatur kepemilikan harta benda dalam perkawinan
yang dirumuskan dalam Pasal 35 yakni:

(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing
sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Pengaturan lain yakni berdasarkan Pasal 119 Kitab UndangUndang Hukum Perdata
(KUHPerdata) yang menyebutkan bahwa: Sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka
menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami istri, sejauh tentang hal itu
tidak diadakan ketentuanketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu,
selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan
antara suami isteri.

Untuk harta bersama, suami dan istri dapat melakukan perbuatan hukum atas harta
tersebut dengan persetujuan dari kedua pihak, sedangkan terhadap harta bawaan, suami atau
istri memiliki hak penuh apabila suami atau istri ingin melakukan perbuatan hukum atas
harta tersebut, maka dapat dilakukan tanpa persetujuan dari suami atau istri. 16

Dalam perkawinan kedua pihak yakni suami dan istri dapat memutuskan untuk
memisahkan kepemilikan harta mereka. Pemisahan harta ini mengakibatkan masing-masing
pihak dapat melakukan perbuatan hukum atas kepemilikan harta tersebut tanpa persetujuan
dari suami atau istri. Pemisahan harta benda ini dapat dilakukan sebelum perkawinan, pada

16
Soerjono Soekanto, 1980, Intisari Hukum Keluarga, Alumni, Bandung, h. 61.
saat melangsungkan perkawinan maupun dalam masa perkawinan, dimana pemisahan harta
tersebut dituangkan dalam suatu perjanjian perkawinan. 17

2.4 Alasan Mengapa harus membuat Perjanjian Perkawinan

Perjanjian Perkawinan dibuat semata-mata untuk menjaga kepentingan usaha dan


menghargai martabat masing-masing pihak. Perjanjian Perkawinan dapat memastikan bahwa
pasangan Anda menikah dengan Anda, bukan dengan kekayaan Anda. Sehingga niatan tulus
Anda dan calon pasangan dapat dibuktikan sebelum membangun rumah tangga. Lebih lanjut,
urgensi dari dibuatnya Perjanjian Perkawinan adalah sebagai berikut:

Menjamin keamanan dan kepentingan usaha. Contoh kecilnya adalah jika salah satu
pasangan merupakan pemilik usaha (atau menjabat sebagai pemimpin usaha, meskipun bukan
pemilik usaha), dan suatu hari usahanya tersebut dituntut kerugian maka kedua pasangan akan
terlibat. Perjanjian Perkawinan dapat mencegah terjadinya hal tersebut, sehingga pasangan dan
buah hati Anda tidak turut terlibat kerugian usaha.

Menjamin berlangsungnya harta peninggalan keluarga. Dalam pasal 35 ayat (2) UU


Perkawinan dijelaskan, harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-
masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Melalui Perjanjian Perkawinan dapat
ditegaskan kembali sehingga dipastikan tidak akan ada hadiah atau warisan keluarga yang
berpindah. Karena dalam prakteknya, dalam hal pasangan pemilik warisan keluarga meninggal
maka peninggalan tersebut akan dimiliki oleh pasangannya yang masih hidup. Belum lagi ada
kemungkinan pasangan tersebut menikah kembali, sehingga warisan keluarga Anda akan hilang
dan menimbulkan perseteruan. Perjanjian juga menjamin harta perolehan dari warisan atau
pusaka turun temurun milik keluarga tetap dalam kekuasaan Anda.

Melindungi kepentingan seorang istri dalam hal suami melakukan poligami. Perjanjian
Perkawinan dapat memastikan pemisahan harta peninggalan terhadap istri, baik untuk
perkawinan yang pertama, kedua, ketiga bahkan untuk perkawinan yang keempat. Masing-

17
J. Andy Hartanto, 2012, Hukum Harta Kekayaan Perkawinan, Cet Ke II, Laksbang Grafika.
Yogyakarta, h. 40.
masing isteri akan tenang dan hidup terjamin. Jauh dari pertikaian dan perselisihan antar ahli
waris.

Menjaga hubungan kemitraan dalam political marriage. Bagi kalangan petinggi


pemerintahan maupun kalangan high profile investor, seringkali pernikahan dilakukan untuk
memperoleh nama baik, membangun hubungan, maupun saling bertukar atribut imateril lainnya
yang melekat pada calon besan. Pernikahan politik dilakukan untuk menjaga reputasi maupun
memperluas relasi dengan prinsip saling memberikan manfaat antar calon besan. Namun
seringkali hubungan kemitraan tersebut kandas dikarenakan munculnya sengketa akibat
percampuran kekayaan. Dengan dibuatnya perjanjian perkawinan, para calon besan dapat
memperoleh nilai-nilai imateril yang diharapkan atas pernikahan politik tersebut tanpa khawatir
terhadap permasalahan yang dipicu oleh harta kekayaan. Perjanjian perkawinan akan melindungi
semangat dan cita-cita kemitraan yang diselenggarakan.

Menjamin kondisi finansial Anda setelah perkawinan putus atau berakhir. Banyak
ditemui pihak perempuan tidak lagi bekerja setelah menikah dengan harapan agar calon istri
dapat berperan sebagai ibu rumah tangga dengan lebih maksimal. Dalam hal ini Perjanjian
Perkawinan sangat bermanfat bagi perempuan yang tidak bekerja, dan saat vonis pengadilan
menolak tuntutan nafkah dan biaya pendidikan anak yang diajukan seorang ibu yang memegang
hak pengasuhan anak dan lebih memilih menetapkan jumlah biaya hidup dan biaya pendidikan
anak berdasarkan pertimbangan keputusan hakim. Dalam Perjanjian Perkawinan hal ini dapat
dibicarakan dengan baik sejak awal, baik jumlah dan mekanismenya. Eksekusinya hanya perlu
mengajukan perjanjian tersebut dan meminta hakim untuk memerintahkan suami agar
menjalankan kewajiban yang telah ditetapkan dalam Perjanjian Perkawinan.

Menghindari motivasi perkawinan yang tidak sehat. Dengan dibuatnya Perjanjian


Perkawinan maka dapat menghindari niat tidak tulus dari calon pasangan yang ternyata memiliki
maksud untuk melunasi hutang-hutang debiturnya melalui kekayaan hasil pernikahan. Janji
manis calon pasangan sebelum pernikahan belum tentu seutuhnya benar, dan dalam prakteknya
seringkali permasalahan muncul setelah rumah tangga berlangsung. Perjanjian Perkawinan dapat
melindungi Anda dari niatan tidak sehat seperti ini, dimana niatan tersebut tidak akan pernah
diutarakan oleh calon pasangan Anda sebelumnya.

2.5 Materi yang dapat diatur dalam Perjanjian Perkawinan


Materi yang diatur di dalam perjanjian tergantung pada pihak-pihak calon suami-istri,
asal tidak bertentangan dengan hukum, undang-undang, agama, dan kepatutan atau kesusilaan.

Perjanjian perkawinan yang lazim disepakati antara lain berisi harta bawaan dalam
perkawinan, utang yang dibawa oleh suami atau istri, dan lain sebagainya. Dalam penerapannya
berikut adalah hal-hal yang umumnya diatur dalam perjanjian perkawinan:

Harta bawaan dalam perkawinan, baik harta yang diperoleh dari usaha masing-masing
maupun dari hibah, warisan ataupun cuma-cuma yang diperoleh masing-masing selama
perkawinan.

Semua hutang dan piutang yang dibawa oleh suami atau istri dalam perkawinan mereka,
sehingga tanggung jawab yang dibuat oleh mereka selama perkawinan tetap akan menjadi
tanggungan masing-masing atau tanggung jawab keduanya dengan pembatasan tertentu.

Hak istri dalam mengurus harta pribadinya baik yang bergerak maupun yang tidak
bergerak dan dengan tugas memungut (menikmati) hasil serta pendapatan baik dari pekerjaannya
sendiri atau sumber lain

Kewenangan istri dalam mengurus hartanya, agar tidak memerlukan bantuan atau
pengalihan kuasa dari suami.

Pencabutan wasiat, serta ketentuan-ketentuan lain yang dapat melindungi kekayaan


maupun kelanjutan bisnis masing-masing pihak (dalam hal salah satu/kedua pihak merupakan
pemegang saham/pemimpin usaha pada suatu entitas bisnis).

2.6 Waktu dalam membuat Perjanjian Perkawinan

Dalam Pasal 29 UU Perkawinan disebutkan bahwa Perjanjian Perkawinan merupakan


suatu perjanjian yang dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan dan lebih
lanjut dijelaskan bahwa Perjanjian Perkawinan tersebut wajib untuk disahkan oleh pegawai
pencatat perkawinan. Berdasarkan ketentuan dalam pasal tersebut maka perjanjian perkawinan
dibuat pada saat maupun sebelum perkawinan dilangsungkan.

Namun hal tersebut sempat menimbulkan permasalahan terkait kepemilikan tanah dalam
pernikahan campuran antara WNI dengan WNA, dimana keduanya tidak sempat membuat
Perjanjian Perkawinan sebelum perkawinan dilangsungkan. Tanpa dilakukannya Perjanjian
Perkawinan maka harta yang diperoleh setelah perkawinan akan menjadi harta bersama, namun
dalam kasus kepemilikan tanah hanya WNI yang dapat diizinkan untuk memiliki tanah dengan
status hak milik (Vide: Pasal 21 (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria). Hal ini menyebabkan pasangan yang berkewarganegaraan WNI tidak
dapat membeli tanah dengan status hak milik.

Permasalahan tersebut kini telah memperoleh solusi dengan dikeluarkannya Putusan


Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 Tahun 2015 (“Putusan MK 69/2015”). Dengan
adanya Putusan MK 69/2015, maka ketentuan Pasal 29 UU Perkawinan berubah menjadi sebagai
berikut:

(1) Pada waktu, sebelum dilangsungkan, atau selama dalam ikatan perkawinan, kedua belah
pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh
Pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak
ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama
dan kesusilaan.

(3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan
lain dalam Perjanjian Perkawinan.

(4) Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta


perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua
belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau
pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.

Putusan MK 69/2015 ini mengatasi keresahan dari para WNI yang menikah dengan
pasangan berbeda kewarganegaraan. Putusan MK 69/2015 memberikan kesempatan bagi
pasangan suami istri untuk dapat membuat suatu perjanjian perkawinan selama dalam ikatan
perkawinan atau yang biasa dikenal dengan Postnuptial Agreement, selama pasangan tersebut
masih terikat di dalam perkawinan yang sah. Perjanjian Perkawinan ini harus disahkan oleh
notaris atau pegawai pencatat pernikahan.
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Dalam sebuah perkawinan harus ada sebuah perjajian baik dari pihak laki-laki
maupun perempuan dikarenakan Perjanjian Perkawinan dapat memastikan bahwa pasangan
Anda menikah dengan Anda, bukan dengan kekayaan Anda. Sehingga niatan tulus Anda dan
calon pasangan dapat dibuktikan sebelum membangun rumah tangga.

Serta Melindungi kepentingan seorang istri dalam hal suami melakukan


poligami. Perjanjian Perkawinan dapat memastikan pemisahan harta peninggalan terhadap
istri, baik untuk perkawinan yang pertama, kedua, ketiga bahkan untuk perkawinan yang
keempat. Jauh dari pertikaian dan perselisihan antar ahli waris. Menjaga hubungan kemitraan
dalam political marriage. Pernikahan politik dilakukan untuk menjaga reputasi maupun
memperluas relasi dengan prinsip saling memberikan manfaat antar calon besan. Namun
seringkali hubungan kemitraan tersebut kandas dikarenakan munculnya sengketa akibat
percampuran kekayaan.
DAFTAR PUSTAKA
http://kcaselawyer.com/seputar-perjanjian-perkawinan-dasar-hukum-fungsi-materi-yang-diatur-
dan-waktu-pembuatan/

Abd Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Bogor: Kencana, 2003), 119.


Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ikthasar Indonesi Edisi Ketiga, Jakarta : Balai
Pustaka. 2005. hal. 458
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), 45.
J. Andy Hartanto, 2012, Hukum Harta Kekayaan Perkawinan, Cet Ke II, Laksbang Grafika.
Yogyakarta, h. 40.

Soerjono Soekanto, 1980, Intisari Hukum Keluarga, Alumni, Bandung, h. 61.

Anda mungkin juga menyukai