Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH HAL KHUSUS DALAM PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN
Diajukan untuk memenuhi kelengkapan tugas
Pada mata kuliah HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN

Dosen Pengajar :

DR. AHMAD FAIQ, MH

Disusun oleh :
ROBI’ATUL ADAWIYAH /173200018
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah tuhan semesta alam ini yang masih memberikan kami
kesempatan untuk bias menyusun makalah tugas pasca presentasi ini. Tidak lupa
juga shalawat serta salam kita junjungkan ke nabi besar kita Nabi Muhammad SAW,
karena atas berkatnyalah kita terbebas dari jaman jahiliyah ke jaman terang-
benderang ini.
Pertama-tama saya ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada dosen
pembimbing mata kuliah Hukum Perundang-undangan, Bapak Dr. Ahmad Faiq, MH
berkat beliau saya dipercaya untuk menyampaikan materi serta menyusun makalah
tentang, Hal khusus dalam peraturan perundang-undangan ini.
Dalam makalah ini akan membahas tentang Hal khusus dalam peraturan perundang-
undangan sebagai contoh bagi pengaturan masyarakat khususnya yang ada di
Indonesia. Semoga makalah ini bermanfaat untuk memberikan kontribusi kepada
mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah sebagai bekal melakukan pemahaman atau
pedoman bagaimana peranan Negara dalam menerapkan Hukum.
Dan tentunya makalah ini masih sangat jauh dari sempurna. Untuk itu kepada dosen
pembimbing saya minta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah di masa
yang akan datang.

Jakarta, Oktober 2019

Penyusun
BAB I
PEDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Hukum mempunyai pengertian yang beraneka ragam, dari segi macam,
aspek dan ruang lingkupyang luas sekali cakupannya. Kebanyakan para ahli
hukum mengatakan tidak mungkin menbuat suatu definisi tentang apa
sebenarnya hukum itu Hukum memiliki ruang lingkup dan aspek yangluas.
Hukum dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan, disiplin, kaidah, tata hukum,
petugas(hukum), keputusan penguasa, proses pemerintahan, perilaku yang ajeg
atau sikap tindak yang teratur dan juga sebagai suatu jalinan nilai-nilai.
Hukum juga merupakan bagian dari norma, yaitu norma Hukum atau ilmu
hukum adalah suatu sistem aturan atau adat yang secara resmi dianggap
mengikat dan dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau otoritas melalui
lembagaatau institusi hukum.Untuk mendapatkan sumber-sumber tata hukum
di Republik Indonesia, yang berkaitan dengan sistem pemerintahan, dalam hal
ini terutama sistem pemerintahan pusat. Dan hukum di Indonesia juga di kenal
dengan tata perundang-undangan yaitu suatu susunan peraturan yang di buat
oleh pihak yang berwenang. Bahwa pembentukan peraturan perundang-
undangan merupakan suatu syarat dalam rangka pembentukan hukum nasional
yang hanya dapat terwujud apabila dengan cara metode yang baku, pasti dan
yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan
perundang-undangan.

1.2 Tujuan.
Adapun tujuan dari pembahasan makalah ini adalah untuk :
1. Memahami Penjelasan peraturan perundang-undangan.
2. Memahami Lampiran peraturan perundang-undangan.
3. Memahami Pendelegasian Wewenang.
4. Memahami Sanksi dalam peraturan perundang-undangan.
5. Memahami Bahasa Hukum dalam peraturan perundang-undangan.

1.3 Ruang lingkup materi.


Banyak orang menganggap bahwa menyusun peraturan perundang-
undangan adalah pekerjaan mudah. Apabila sudah tersusun pasal-pasal dan
ayat-ayat, maka selesailah pekerjaan menyusun peraturan perundang-
undangan. Dalam suatu seminar, seorang pakar mengatakan apabila tujuannya
sudah dirumuskan maka pembuatan peraturan dapat diselesaikan dalam waktu
2 (dua) jam. Namun ketika pakar itu mencoba merumuskan pemikirannya ke
dalam suatu pasal, dia tidak dapat menyelesaikan pasal itu bahkan sampai
seminar itu berakhir. Peraturan perundang-undangan bukanlah opini atau
artikel akademis yang dibuat berdasarkan pendapat atau teori semata. Opini
dan artikel tidak memiliki daya paksa atas orang lain untuk berbuat atau untuk
tidak berbuat. Sebaliknya, peraturan perundang-undangan merupakan
dokumen hukum yang memiliki konsekuensi sanksi bagi pihak yang diatur.
Peraturan perundang-undangan juga merupakan dokumen politik yang
mengandung kepentingan dari berbagai pihak. Apabila seseorang ingin
menyusun peraturan perundang-undangan yang baik, maka seseorang perlu
memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk menyusunnya. Berikut kami
uraikan secara singkat pengetahuan dan keterampilan tersebut.
BAB II
Pembahasan

2.1 Penjelasan peraturan perundang-undangan.


Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk
oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara
umum.Peraturan perundang-undangan mulai dikenal dan tumbuh sejak saat
berkembangnya organisasi, ada yang memiliki kekuasaan dan kewenangan
tertinggi dan untuk menguasai dan mengatur kehidupan masyarakat yang
disebut Negara. Jadi dapat dikatakan peraturan perundang-undangan tidak
lain adalah perwujudan kekuasaan dan kehendak yang berkuasa yang
berbentuk hukum. Perkembangan peranan bahwa peraturan perundang-
undangan di dorong pula oleh adanya badan-badan kenegaraan yang khusus
berwenang dalam membentuk peraturan perundang-undangan baik di tingkat
pusat maupun daerah.
Secara normatif tata cara dan syarat-syarat atau standar pembentukan
suatu peraturan perundang-undangan sudah diatur dalam Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan. Dalam undang-undang ini telah diatur bahwa setiap Undang-
Undang, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
diberi penjelasan.Sementara itu untuk peraturan perudang-undangan dibawah
undang-undang (selain Peraturan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota)
dapat diberi penjelasan jika diperlukan. Jika tidak dianggap perlu, peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang tidak dilengkapi dengan
penjelasan sama sekali.
Apabila diamati, hampir seluruh dari suatu peraturan perundang-undangan
(Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah) disertai dengan penjelasan yang
terdiri dari penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal. Penjelasan
umum berisi penjelasan yang bersifat umum, misalnya latar belakang
pemikiran secara sosiologis, politis, budaya, dan sebagainya, yang menjadi
pertimbangan bagi pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut.
Penjelasan pasal demi pasal, merupakan penjelasan dari pasal-pasal peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan. Mengenai pasal atau ayat yang
dianggap tidak memerlukan penjelasan biasanya dalam penjelasan ditulis
“cukup jelas“.
2.2 Lampiran peraturan perundang-undangan.
Kedudukan dan fungsi penjelasan suatu peraturan perundang-undangan
sudah diatur dalam Lampiran I UU 12/2011, antara lain dalam angka-angka:
176. Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan
Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh
karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa,
kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai
dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas
norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya
ketidakjelasan dari norma yang dimaksud.
177. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk
membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan
rumusan yang berisi norma.
178. Penjelasan tidak menggunakan rumusan yang isinya memuat
perubahan terselubung terhadap ketentuan Peraturan
Perundangundangan
186. Rumusan penjelasan pasal demi pasal memperhatikan hal sebagai
berikut:
a. tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang
tubuh;
b. tidak memperluas, mempersempit atau menambah pengertian
norma yang ada dalam batang tubuh;
c. tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam
batang tubuh;
d. tidak mengulangi uraian kata, istilah, frasa, atau pengertian yang
telah dimuat di dalam ketentuan umum; dan/atau
e. tidak memuat rumusan pendelegasian
Menurut Lampiran I Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 di atas maka
penjelasan bukanlah suatu norma, penjelasan berfungsi sebagai tafsiran resmi
dari pembentuk peraturan perundang-undangan atas norma yang dirumuskan
dalam batang tubuh (penjelasan hanya menjelaskan norma yang terdapat
dalam batang tubuh). Penjelasan tidak dapat menyebutkan lebih luas dari hal
yang disebutkan dalam suatu pasal yang terkandung dalam batang tubuh
peraturan perundang-undangan dan penjelasan tidak dapat berisi suatu
rumusan norma baru. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka yang
mengikat sebagai norma (dan dapat dijadikan suatu dasar hukum) adalah
pasal-pasal dalam batang tubuh peraturan perundang-undangan dan bukanlah
penjelasannya. Karena penjelasan hanya berfungsi sebagai tafsir resmi dari
pasal yang terdapat dalam batang tubuh dan tidak boleh mencantumkan suatu
rumusan norma.
2.3 Pendelegasian Wewenang
Hiererki dan pendelegasian peraturan perundang-undangan diperlukan
karena ketentuan yang lebih tinggi hanya mengatur ketentuan yang bersifat
umum, sedangkan ketentuan yang bersifat teknis didelegasikan ke peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah.
Pendelegasian tersebut diatur dalam lampiran II Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 angka 198 sampai dengan 216. Adapun perinciannya adalah
sebagai berikut:
1. Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan
kewenangan mengatur lebih lanjut kepada Peraturan Perundang-
undangan yang lebih rendah.
2. Pendelegasian kewenangan dapat dilakukan dari suatu Undang-Undang
kepada Undang-Undang yang lain, dari Peraturan Daerah Provinsi
kepada Peraturan Daerah Provinsi yang lain, atau dari Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota kepada Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang lain.
3. Pendelegasian kewenangan mengatur harus menyebut dengan tegas:
a. ruang lingkup materi muatan yang diatur; dan
b. jenis Peraturan Perundang-undangan.
4. Jika materi muatan yang didelegasikan sebagian sudah diatur pokok-
pokoknya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang
mendelegasikan tetapi materi muatan itu harus diatur hanya di dalam
Peraturan Perundang-undangan yang didelegasikan dan tidak boleh
didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang-undangan yang lebih
rendah (subdelegasi), gunakan kalimat “Ketentuan lebih lanjut
mengenai … diatur dengan ….”
5. Jika pengaturan materi muatan tersebut dibolehkan didelegasikan lebih
lanjut (subdelegasi), gunakan kalimat “Ketentuan lebih lanjut mengenai
… diatur dengan atau berdasarkan ….
6. Jika materi muatan yang didelegasikan sama sekali belum diatur
pokok-pokoknya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang
mendelegasikan dan materi muatan itu harus diatur di dalam Peraturan
Perundang-undangan yang diberi delegasi dan tidak boleh
didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang-undangan yang lebih
rendah (subdelegasi), gunakan kalimat “Ketentuan mengenai … diatur
dengan ….”
7. Jika pengaturan materi tersebut dibolehkan didelegasikan lebih lanjut
(subdelegasi) digunakan kalimat “Ketentuan mengenai … diatur
dengan atau berdasarkan …."
8. Jika terdapat beberapa materi muatan yang didelegasikan dan materi
muatan tersebut tercantum dalam beberapa pasal atau ayat tetapi akan
didelegasikan dalam suatu Peraturan Perundang-undangan, gunakan
kalimat “Ketentuan mengenai … diatur dalam …."
9. Jika terdapat beberapa materi muatan yang didelegasikan maka materi
muatan yang didelegasikan dapat disatukan dalam 1 (satu) peraturan
pelaksanaan dari Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan,
gunakan kalimat “(jenis Peraturan Perundang-undangan) … tentang
Peraturan Pelaksanaan ...”
10. Untuk mempermudah dalam penentuan judul dari peraturan
pelaksanaan yang akan dibuat, rumusan pendelegasian perlu
mencantumkan secara singkat tetapi lengkap mengenai apa yang akan
diatur lebih lanjut.
11. Jika pasal terdiri dari beberapa ayat, pendelegasian kewenangan dimuat
pada ayat terakhir dari pasal yang bersangkutan.
12. Jika pasal terdiri dari beberapa ayat, pendelegasian kewenangan dapat
dipertimbangkan untuk dimuat dalam pasal tersendiri, karena materi
pendelegasian ini pada dasarnya berbeda dengan apa yang diatur dalam
rangkaian ayat-ayat sebelumnya.
13. Dalam pendelegasian kewenangan mengatur tidak boleh adanya
delegasi blangko.
14. Pendelegasian kewenangan mengatur dari Undang-Undang kepada
menteri, pemimpin lembaga pemerintah nonkementerian, atau pejabat
yang setingkat dengan menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat
teknis administratif.
15. Kewenangan yang didelegasikan kepada suatu alat penyelenggara
negara tidak dapat didelegasikan lebih lanjut kepada alat penyelenggara
negara lain, kecuali jika oleh Undang-Undang yang mendelegasikan
kewenangan tersebut dibuka kemungkinan untuk itu.
16. Pendelegasian kewenangan mengatur dari suatu Peraturan Perundang-
undangan tidak boleh didelegasikan kepada direktur jenderal, sekretaris
jenderal, atau pejabat yang setingkat.
Berdasarkan ketentuan pendelegasian yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 diketahui beberapa hal tentang pendelegasian dalam
Undang-Undang KUP sebagai berikut.
1. Pendelegasian kewenangan ‘mengatur’ sudah sesuai dengan
ketentuan harus dengan tegas menyebut ruang lingkup materi
muatan yang diatur dan jenis Peraturan Perundang-undangan
sehingga mempermudah dalam penentuan judul dari peraturan
pelaksanaan yang akan dibuat.
2. Pendelegasian dari Undang-Undang kepada Peraturan Pemerintah
dan Peraturan Menteri Keuangan dibatasi untuk peraturan yang
bersifat teknis administratif.
3. Pengunaan kalimat dengan frasa:

Frasa Pendelegasian Jumlah


diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan 4
diatur dengan Peraturan Pemerintah 3
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan 41
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah 1
ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak 1

Jumlah 50

 Penggunaan frasa ‘diatur dengan’, ‘ditetapkan dengan’ tidak


diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 yang diatur adalah penggunaan frasa ‘ketentuan mengenai
… diatur dalam ….’ Penulis berpendapat bahwa frasa ‘diatur
dengan’ dan ‘ditetapkan dengan’ mirip dengan ‘diatur
dalam’ yang digunakan jika terdapat beberapa materi muatan
yang didelegasikan dan materi muatan tersebut tercantum dalam
beberapa pasal atau ayat tetapi akan didelegasikan dalam suatu
Peraturan Perundang-undangan.
 Penggunaan frasa ‘diatur dengan atau berdasarkan’ mempunyai
arti bahwa pengaturan dan/atau materi muatan tersebut
dibolehkan didelegasikan lebih lanjut (subdelegasi).
 Penggunaan frasa ‘diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah’ (Pasal 48 Undang-Undang KUP) tidak diatur secara
khusus dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang
diatur adalah penggunaan frasa ‘Ketentuan lebih lanjut mengenai
… diatur dengan ….’ Yang berarti jika materi muatan yang
didelegasikan sebagian sudah diatur pokok-pokoknya di dalam
Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan tetapi
materi muatan itu harus diatur hanya di dalam Peraturan
Perundang-undangan yang didelegasikan dan tidak boleh
didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang-undangan
yang lebih rendah (subdelegasi). Jadi Peraturan Pemerintah
sebagai pelaksanaan Pasal 48 Undang-Undang KUP tidak boleh
disubdelegasikan ke peraturan yang lebih rendah. Jika pengaturan
materi muatan dalam Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan
Pasal 48 Undang-Undang KUP dibolehkan didelegasikan lebih
lanjut (subdelegasi), gunakan kalimat ‘Ketentuan lebih lanjut
mengenai … diatur dengan atau berdasarkan ….’ Selain itu
dalam penjelasan Pasal 48 Undang-Undang KUP secara tegas
dijelaskan bahwa materi yang diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah adalah hal-hal yang belum cukup diatur
mengenai tata cara atau kelengkapan yang materinya sudah
dicantumkan dalam Undang-undang KUP.
4. Pendelegasian langsung kepada direktur jenderal atau pejabat yang
setingkat hanya dapat diberikan oleh Peraturan Perundang-
undangan yang tingkatannya lebih rendah daripada Undang-
Undang, sehingga penetapan Wajib Pajak dengan kriteria tertentu
sebagaimana dimaksud pada Pasal 17C ayat (2) Undang-Undang
KUP yang didelegasikan dalam bentuk Keputusan Direktur
Jenderal Pajak kurang tepat seharusnya didelegasikan dalam
Peraturan Menteri Keuangan. Selain itu sebuah Keputusan Direktur
Jenderal Pajak bukan merupakan peraturan perundang-undangan
tetapi lebih berupa beschikking atau Keputusan Tata Usaha Negara.

2.4 Sanksi dalam peraturan perundang-undangan.


Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (“UU 12/2011”) berbunyi:
“Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan
berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
baik, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.”

Selain asas-asas tersebut, dalam sebuah materi muatan perundang-


undangan harus pula tercermin asas-asas berikut yang terdapat dalam Pasal 6
ayat (1) UU 12/2011 yang berbunyi:
“Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan
asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.”

Lebih lanjut, Pasal 6 ayat (2) UU 12/2011 menegaskan:


“Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai
dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.”

Menurut Penjelasan Pasal 6 ayat [2] UU 12/2011, yang dimaksud dengan


“asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan
yang bersangkutan”, antara lain:
a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman
tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak
bersalah;
b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara
lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.
Melihat dari bunyi pasal tersebut dapat kita ketahui bahwa dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus mengacu pada
berbagai asas di atas, termasuk pula dalam pembentukan sebuah undang-
undang. Selain itu, asas-asas tersebut juga menjadi pedoman dalam
merumuskan suatu ketentuan pidana.
Menurut Maria Farida Indrati Soeprapto dalam bukunya yang
berjudul Ilmu Perundang-Undangan : Proses dan Teknik
Pembentukannya, mengatakan bahwa ketentuan pidana merupakan ketentuan
yang tidak mutlak ada dalam peraturan perundang-undangan, sehingga
perumusan ketentuan pidana tersebut tergantung pada masing-masing
peraturan perundang-undangan. Namun demikian, peraturan perundang-
undangan yang dapat mencantumkan Ketentuan Pidana hanya Undang-
Undang dan Peraturan Daerah (hal. 99). Kata “dapat” yang digunakan oleh
Maria Farida tersebut mengindikasikan bahwa undang-undang tidak
harus selalu ada ketentuan pidana di dalamnya.
Pendapat Maria Farida tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat
(1) UU 12/2011 yang mengatakan bahwa materi muatan mengenai ketentuan
pidana hanya dapat dimuat dalam:
a. Undang-Undang;
b. Peraturan Daerah Provinsi; atau
c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Pasal 15 ayat (1) UU 12/2011 tersebut mempertegas bahwa di dalam
undang-undang memang mencantumkan ketentuan sanksi di dalamnya.
Untuk menjawab pertanyaan Anda, di sepanjang penelusuran kami, sanksi
biasanya diatur di bab khusus dengan judul “Sanksi” atau dapat pula dengan
judul “Ketentuan Pidana”.
Contoh undang-undang yang di dalamnya terdapat ketentuan sanksi
adalah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (“UU 9/1998”) dan Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (“UU Merek”). Sebagian
undang-undang menamakan bab yang mengatur ketentuan sanksi dengan
nama “Sanksi” seperti UU 9/1998, yakni dalam Bab V, dan sebagian lainnya
menamakan bab tersebut dengan nama “Ketentuan Pidana” seperti UU
Merek, yakni dalam Bab XIV.
Pada sisi lain, ada pula undang-undang yang tidak memuat sanksi pidana
di dalamnya atau tidak dinyatakan secara eksplisit dalam undang-undang
tersebut, seperti pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia (“UU HAM”).
UU HAM hanya mengatur hak, kewajiban, larangan atau pembatasan.
Meskipun demikian, tidak berarti undang-undang itu tidak sah atau tidak
dijalankan dengan baik. Setiap undang-undang yang dibuat sudah selayaknya
memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik
dan harus tercermin dalam materi muatan undang-undang sebagaimana
ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU 12/2011 di atas.
Dalam Penjelasan Umum UU HAM disebutkan bahwa Undang-undang
tentang Hak Asasi Manusia ini adalah merupakan payung dari seluruh
peraturan perundang-undangan tentang hak asasi manusia. Oleh karena itu,
pelanggaran baik langsung maupun tidak langsung atas hak asasi
manusia dikenakan sanksi pidana, perdata, dan atau administratif sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dari penjelasan tersebut kita dapat ketahui bahwa UU HAM hanya
mengatur ketentuan pokok-pokok mengenai HAM secara umum saja, untuk
sanksi dapat diberlakukan peraturan perundang-undangan lain yang sesuai
konteks tindak pidana pelanggaran HAM apa yang dilakukan, misalnya
dengan mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
2.5 Bahasa Hukum dalam peraturan perundang-undangan.
Bahasa Hukum adalah bahasa aturan dan peraturan yang bertujuan
untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan, untuk mempertahankan
kepentingan umum dan kepentingan pribadi di dalam masyarakat.
Pada pokoknya, bahasa peraturan perundang-undangan tunduk kepada
kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar, baik yang menyangkut
pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan maupun
pengejaannya. Namun, bahasa peraturan dapat dikatakan mempunyai corak
tersendiri yang bercirikan kejernihan atau kejelasan penegertian, kelugasan,
kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum baik
dalam perumusan maupun penulisan.
Oleh karena itu, dalam merumuskan ketentuan-ketentuan peraturan
perundang-undangan para perancang biasanya diharuskan menggunakan
kalimat-kalimat yang singkat, tegas, jelas dan mudah dimengerti oleh
khalayak.
Ragam bahasa peraturan perundang-undangan ialah gaya bahasa yang
digunakan dalam membentuk suatu isi dalam peraturan perundang-undangan,
seperti yang telah diketahui bahwa bahasa dalam peraturan perundang-
undangan tunduk pada kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar
akan tetapi terkandung ciri-ciri khusus yang hanya ada di dalam peraturan
perundang-undangan, yaitu antara lain ialah sifat keresmian, sifat kejelasan
makna, dan sifat kelugasan.
1. Sifat keresmian : sifat ini menunjukkan adanya situasi
kedinasan, yang menuntut ketaatan dalam penerapan kaidah bahasa,
dan ketaatan kepada kaidah bahasa.
2. Sifat kejelasan makna : sifat ini menuntut agar informasi yang
disampaikan dinyatakan dengan kalimat-kalimat yang
memperlihatkan bagian-bagian kalimat secara tegas, sehingga
kejelasan bagian-bagian kalimat itu akan memudahkan pihak
penerima informasi dalam memahami isi atau pesan yang
disampaikan. Sifat kejelasan makna ini menuntut agar kalimat-
kalimat yang dirumuskan harus menunjukkan dengan jelas mana
subyek, predikat, obyek, pelengkap, atau keterangan yang lainnya.
3. Sifat kelugasan : sifat kelugasan ini menuntut agar
setiap perumusannya disusun secara wajar, sehingga tidak berkesan
berlebihan atau berandai-andai.
Sebagai suatu ragam bahasa, bahasa Indonesia perundang-undangan
mempunyai susunan kalimat yang menurut Jeremy Bentham sebagaimana
dikutip oleh E.A Driedger tidak mengandung ketidaksempurnaan tingkat
pertama dan tidak pula ketidaksempurnaan tingkat kedua (Ketidak
sempurnaan tingkat pertama meliputi kandungan makna ganda, kabur, dan
terlalu luas). Ketidaksempurnaan tingkat kedua meliputi ketidaktetapan kata
dan ungkapan (untuk hal yang sama digunakan kata dan ungkapan berbeda),
berlebihan, bertele-tele, kacau, ketiadaan bantuan tanda baca untuk kalimat-
kalimat panjang, dan ketidakteraturan susunan.
 Syarat-Syarat Bahasa Perundang-Undangan
Untuk menyusun atau merumuskan suatu peraturan perundang-
undangan Montesquieu mengemukakan beberapa batasan sebagaimana
dikutip oleh C.K Allen dijelaskan secara singkat sebagai berikut:
1. Gaya bahasa hendaknya selain ringkas juga sederhana
2. Istilah yang dipilih sedapat-dapat bersifat mutlak dan tidak
relative, dengan maksud agar meninggalkan sedikit mungkin
timbulnya perbedaan pendapat secara individual
3. Hendaknya membatasi diri pada yang riil dan actual, serta
menghindarkan diri dari kiasan dan dugaan
4. Hendaknya tidak halus sehingga memerlukan ketajaman
pikiran pembacanya, karena rakyat banyak mempunyai tingkat
pemahaman yang sedang-sedang saja hendaknya tidak untuk
latihan logika, melainkan untuk pikiran sederhana yang ada
rata-rata manusia
5. Hendaknya tidak merancukan yang pokok dengan yang
pengecualian, pembatasan, atau pengubahan, kecuali apabila
dianggap mutlak perlu
6. Hendaknya tidak ‘memancing perdebatan/perbantahan’:
adalah berbahaya memberikan alas an-alasan yang terlalu rinci
karena hal ini dapat membuka pintu pertentangan
7. Di atas segalanya, hendaknya betul-betul dipertimbangkan
apakah mengandung manfaat praktis; hendaknya tidak
menggoyahkan dasar-dasar nalar dan keadilan serta kewajaran
yang alami; karena peraturan yang lemah, tidak diperlukan,
dan yang tidak adil akan menyebabkan seluruh sistem
peraturan dalam reputasi yang jelek dan karena itu
mengguncangkan kewibawaan negara

Selain pendapat dari Montesquieu pengalaman modern dalam


penyusunan peraturan perundang-undangan menambahkan saran-saran
lagi. Mengingat bahwa penggunaan bahasa yang teknis-yuridis pada
umumnya tidak dapat dielakkan maka perlu diusahakan hal-hal berikut:

1. Perlu ada penjelasan dan penyuluhan lebih banyak mengenai


latar belakang lahirnya peraturan perundang-undangan serta
keadaan yang mempengaruhinya sehingga penggunaan kata-
kata, kalimat, dan ungkapan di dalamnya dapat dipahami lebih
baik
2. Penggunaan ragam bahasa teknis memang tidak dapat
dihindarkan dimana-mana tetapi penggunaan ragam bahasa
teknis perundang-undangan dapat diatur lebih baik daripada
ragam bahasa teknis lainnya jargon atau bahasa yang tipikal
dank has di bidang hukum dapat diganti misalnya, meskipun
‘ciptaan-ciptaan’ baru hendaknya tidak makin menyulitkan
3. Definisi yang dapat menjelaskan di sana-sini boleh digunakan
untuk memberikan ketepatan penegertian. Tetapi arti kata-kata
yang sudah diketahui masyarakat tidak perlu didefinisikan
apabila definisi sulit dirumuskan maka uraian pengertian dapat
digunakan

Selain pedoman yang telah disebutkan di atas, hal lain yang harus
diperhatikan bagi penyusun peraturan perundang-undangan ialah
kemampuan dalam mengantisipasi dan menafsirkan apa yang mungkin
akan terjadi dengan perumusan dalam peraturan perundang-undangan
tersebut agar tidak terjadi kekeliruan penafsiran oleh masyarakat.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
berdasarkan hal-hal yang telah saya jelaskan dapat disimpulkan bahwa
terbentuknya suatu undang-undang ataupun peraturan perundang-undangan
lainnya harus memperhatikan berbagai asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik, seperti yang sudah disebutkan dalam
Undang-Undang No 12 tahun 2011, termasuk pula dalam merumuskan
ketentuan mengenai sanksi dan bahasa hukum yang digunakan dalam
peraturan perundang-undangan.
Daftar Pustaka

 https://setkab.go.id/apa-yang-perlu-diketahui-untuk-membuat-peraturan-perundang-
undangan/
 https://bppk.kemenkeu.go.id/id/publikasi/artikel/167-artikel-pajak/20524-
memahami-lebih-jauh-mengenai-fungsi-penjelasan-suatu-peraturan-perundang-
undangan
 https://bppk.kemenkeu.go.id/id/publikasi/artikel/167-artikel-pajak/12454-
pendelegasian-peraturan-perundang-undangan-studi-kasus-pada-undang-undang-
kup
 https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt51b887f23d74a/apakah-
undang-undang-harus-memuat-sanksi/
 https://www.academia.edu/28817915/Bahasa_Hukum_Dalam_Peraturan_Perunda
ng-Undangan

Anda mungkin juga menyukai