Anda di halaman 1dari 7

CERAI DALAM FIKIH MUNAKAHAT

Teuku Muhammad Alvis Alden (220106037)

tmalvisalden@gmail.com

ABSTRACT: Cerai dalam fikih munakahat merujuk pada proses hukum yang memutuskan
ikatan perkawinan secara sah. Syarat-syarat cerai dalam Islam termasuk adanya sebab yang sah
seperti kekerasan fisik atau mental, perselingkuhan, dan ketidakcocokan antara suami dan istri
yang tidak dapat diatasi. Selain itu, cerai juga harus dilakukan secara sah melalui proses yang
ditentukan oleh syariat Islam, seperti melalui pengadilan atau dengan adanya saksi yang sah.

KATA KUNCI :Perceraian

PENDAHULUAN: Cerai atau talak adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh suami
atau istri untuk mengakhiri pernikahan secara sah dalam Islam. Hal ini tentu menjadi hal yang
sangat sensitif dan penting karena melibatkan hubungan suami istri serta keluarga yang telah
terjalin selama beberapa waktu. Dalam Islam, perceraian dianggap sebagai jalan terakhir dan
tidak diinginkan karena pernikahan dianggap sebagai ikatan yang suci dan dianjurkan untuk
dijaga dan dirawat dengan baik. Namun, dalam beberapa situasi, perceraian dapat dianggap
sebagai satu-satunya jalan keluar yang dapat dilakukan oleh suami atau istri jika tidak ada jalan
lain untuk memperbaiki hubungan pernikahan.
Pembahasan

1.Pengertian Cerai dalam fikih munakahat

Cerai dalam Fikih Munakahat merujuk pada tindakan suami yang mengucapkan kata talak
atau pengadilan yang memberikan putusan cerai terhadap pasangan yang sudah menikah secara
sah dalam Islam. Dalam konteks Fikih Munakahat, cerai dianggap sebagai satu-satunya cara
untuk mengakhiri pernikahan yang tidak lagi dapat diperbaiki.

Cerai dalam Fikih Munakahat memiliki beberapa persyaratan dan prosedur yang harus
diikuti, agar sah menurut hukum Islam. Hal ini termasuk syarat-syarat sahnya talak, seperti
jumlah dan cara pengucapan talak, serta kewajiban suami setelah memberikan talak kepada
istrinya, seperti memberikan nafkah dan hak asuh anak. Dalam Islam, cerai juga dianggap
sebagai tindakan yang sangat dihindari, karena dapat menimbulkan kerusakan dalam keutuhan
keluarga dan menyebabkan penderitaan bagi kedua belah pihak. Oleh karena itu, sebelum
mengambil keputusan cerai, pasangan yang mengalami masalah dalam pernikahan sebaiknya
mencoba untuk memperbaiki hubungan mereka dan berusaha menyelesaikan masalah dengan
cara yang baik dan bijak.

2.Hikmah Pembolehan Cerai dalam

Fikih Pembolehan cerai dalam fikih memiliki beberapa hikmah, di antaranya adalah
mencegah kerusakan lebih besar, memberikan keadilan bagi pasangan yang tidak bahagia,
memberikan kesempatan baru, dan mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Namun, perceraian tetap dianggap sebagai solusi terakhir dan harus dihindari sebisa mungkin.

3.Macam Macam Cerai dalam Fikih Munkahat

Dalam Fikih Munakahat, terdapat beberapa macam cerai yang diakui dan diatur oleh hukum
Islam. Berikut adalah beberapa macam cerai dalam Fikih Munakahat:
1) Talak: Talak adalah bentuk cerai yang dilakukan oleh suami dengan mengucapkan
kata-kata talak kepada istrinya. Talak dapat dilakukan dalam bentuk talak satu atau
talak tiga. Talak satu merupakan talak yang diberikan oleh suami satu kali, sedangkan
talak tiga adalah talak yang diberikan oleh suami sebanyak tiga kali.
2) Khulu: Khulu adalah bentuk cerai yang dilakukan oleh istri dengan meminta suami
untuk menceraikannya dengan memberikan mahar yang telah disepakati pada saat
pernikahan. Khulu dapat dilakukan apabila istri merasa tidak bahagia dalam pernikahan
dan tidak mampu lagi untuk memperbaiki hubungan suami istri.
3) Fasakh: Fasakh adalah bentuk cerai yang dilakukan melalui pengadilan karena suatu
alasan tertentu, seperti kekerasan atau perselingkuhan. Fasakh harus dilakukan melalui
proses pengadilan dan harus memenuhi syarat-syarat tertentu agar dapat diakui oleh
hukum Islam.
4) Mubazir: Mubazir adalah bentuk cerai yang dilakukan oleh suami dengan tujuan
merugikan istrinya. Tindakan cerai ini dianggap tidak sah menurut hukum Islam.

4.Macam Macam Konsekuensi Perceraian

Perceraian dapat memiliki beberapa konsekuensi, baik untuk suami maupun istri, dan juga
untuk anak-anak yang terlibat dalam perceraian tersebut. Beberapa konsekuensi perceraian
antara lain:

1) Dampak emosional: Perceraian dapat menyebabkan stres dan depresi pada suami, istri, dan
anak-anak yang terlibat. Hal ini dapat mempengaruhi kesehatan mental mereka dan dapat
mengganggu keseimbangan emosional mereka.
2) Status Perkawinan: Setelah perceraian, status perkawinan pasangan yang bercerai menjadi
batal dan tidak sah lagi. Pasangan tersebut dapat menikah lagi dengan orang lain jika mereka
memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku.
3) Dampak Psikologis: Perceraian dapat memiliki dampak psikologis yang berat pada
pasangan yang bercerai dan anak-anak yang terkait, seperti depresi, kecemasan, dan stres.
4) Dampak Sosial: Perceraian juga dapat memiliki dampak sosial yang signifikan, terutama
pada keluarga dan lingkungan sekitar pasangan yang bercerai. Hal ini dapat mempengaruhi
hubungan sosial pasangan dan orang-orang terdekat mereka.
5) Status Perkawinan: Setelah perceraian, status perkawinan pasangan yang bercerai menjadi
batal dan tidak sah lagi. Pasangan tersebut dapat menikah lagi dengan orang lain jika mereka
memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku.

5.Berlakunya Iddah

Iddah adalah periode penantian yang diwajibkan pada seorang wanita setelah ia diceraikan atau
setelah suaminya meninggal dunia sebelum ia dapat menikah lagi. Tujuan dari iddah adalah
untuk memberikan waktu bagi wanita untuk memperjelas status pernikahannya dan
memastikan bahwa ia tidak hamil sebelum menikah lagi. Selain itu, iddah juga memberikan
waktu bagi suami dan istri yang baru saja bercerai untuk memperbaiki hubungan mereka atau
untuk mempertimbangkan kembali keputusan mereka. (Berlakunya iddah tergantung pada
jenis perceraian yang terjadi):

• Cerai Talak: Setelah suami memberikan talak kepada istrinya, maka iddah dihitung selama
tiga kali haid atau tiga bulan jika ia tidak mengalami haid dalam jangka waktu tersebut. Selama
iddah, pasangan tersebut masih menjadi suami istri dan mereka tidak boleh melakukan
hubungan intim atau menikah dengan orang lain.

• Cerai Khulu: Setelah istri meminta cerai khulu dan suami menyetujuinya, maka iddah
dihitung selama satu kali haid atau satu bulan jika ia tidak mengalami haid dalam jangka waktu
tersebut. Setelah iddah berakhir, pasangan tersebut tidak lagi menjadi suami istri dan istri
diperbolehkan menikah lagi.

• Cerai Faskh: Jika cerai terjadi melalui pengadilan agama karena alasan tertentu seperti
kekerasan dalam rumah tangga atau perselingkuhan, maka iddah dihitung selama tiga bulan
setelah pengadilan memutuskan perceraian. Selama iddah, pasangan tersebut masih menjadi
suami istri dan mereka tidak boleh melakukan hubungan intim atau menikah dengan orang lain.

Dalam Islam, iddah dianggap sebagai sebuah kewajiban dan harus dijalankan oleh setiap
wanita yang mengalami perceraian atau kematian suami. Iddah memberikan waktu bagi wanita
untuk memikirkan masa depannya dan juga untuk memastikan bahwa ia tidak hamil sebelum
menikah lagi.
6.Hikmah Idah

Idah adalah masa tunggu bagi seorang wanita setelah bercerai sebelum dapat menikah lagi.
Berikut adalah beberapa hikmah dari idah:

 Mencegah Terjadinya Penyimpangan: Idah memberikan waktu bagi pasangan untuk


mempertimbangkan kembali keputusan perceraian dan mencegah terjadinya
penyimpangan seperti zina.
 Menjaga Kehormatan: Idah membantu menjaga kehormatan dan martabat wanita yang
bercerai dengan memberikan waktu bagi mereka untuk memulihkan diri dan
membiasakan diri dengan status baru sebagai janda.
 Menjaga Kesejahteraan Anak: Dalam idah, anak-anak masih bisa mendapatkan nafkah
dan perhatian dari ayahnya, sehingga kesejahteraan mereka tetap terjaga.
 Menjaga Kestabilan Sosial: Dengan memberikan waktu bagi pasangan untuk berpikir
kembali dan menghindari tindakan impulsif, idah dapat membantu menjaga kestabilan
sosial di masyarakat.

7.Pengasuhan Anak (Hadhanan) setelah perceraian

Hadhanan adalah istilah dalam fikih Islam yang merujuk pada pernikahan di mana wali atau
walinya (orang yang berwenang sebagai wali) menghalangi atau menghalang-halangi
pernikahan tersebut tanpa alasan yang dibenarkan oleh hukum Islam. Dalam konteks ini, "wali"
merujuk pada orang yang bertanggung jawab atas pernikahan seorang wanita, yaitu ayah,
kakek, saudara laki-laki, atau pemerintah dalam beberapa kasus. Pernikahan yang dihalangi
oleh wali tanpa alasan yang dibenarkan oleh hukum Islam, dianggap tidak sah menurut
pandangan mayoritas ulama Islam.

Dalam beberapa kasus, wali dapat menghalangi pernikahan jika memang ada alasan yang
dibenarkan oleh hukum Islam, seperti ketiadaan persetujuan dari suami atau keluarga dari calon
pengantin. Namun, jika wali menghalangi pernikahan tanpa alasan yang dibenarkan, maka
pernikahan tersebut dianggap hadhanan dan dapat mengakibatkan kerusakan bagi kedua belah
pihak yang ingin menikah. Oleh karena itu, ada beberapa pendapat dalam fikih yang
menyatakan bahwa jika wali menghalangi pernikahan tanpa alasan yang dibenarkan, maka
pengadilan Islam dapat memberikan izin untuk menikah tanpa persetujuan dari wali.
KESIMPULAN

Perceraian adalah proses hukum yang terjadi ketika suami istri memutuskan untuk mengakhiri
pernikahan mereka secara sah. Dalam Islam, perceraian tidak dianjurkan, namun dapat
dilakukan dalam keadaan-keadaan tertentu.
Referensi
al-Mawardi, Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib. "Adab al-Dunya wa al-Din" (Tata
Krama Dunia dan Agama). Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1996.
al-Zuhaili, Wahbah. "Fiqh al-Islami wa Adillatuhu" (Hukum Islam dan Dalil-Dalilnya).
Damascus: Dar al-Fikr, 2002.
Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum,Jakarta:UI,Press,1984 Peter
Marzuki,Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2010

Anda mungkin juga menyukai