Disusun oleh:
Dengan menyebut nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala Yang Maha Pemurah dan Lagi
Maha Penyayang, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang
telah melimpahkan Hidayah, Inayah dan Rahmat-Nya sehingga kami mampu menyelesaikan
penyusunan makalah dengan judul "Perceraian dalam Islam ” tepat pada waktunya.
Penyusunan makalah sudah kami lakukan semaksimal mungkin dengan dukungan dari
banyak pihak serta didukung dari berbagai referensi, sehingga bisa memudahkan dalam
penyusunannya. Untuk itu kami pun tidak lupa mengucapkan terima kasih dari berbagai
pihak yang sudah membantu kami dalam rangka menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa kami
ucapkan terima kasih kepada Bapak Rahmad Setyawan M.H atas bimbingannya kepada kami
dalam penyusunan makalah ini.
Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dan kami sadar sepenuhnya bahwa
dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa serta
aspek-aspek lainnya. Maka dari itu, dengan kami membuka seluas-luasnya pintu bagi para
pembaca yang ingin memberikan kritik ataupun sarannya demi penyempurnaan makalah ini.
Terima kasih.
Kelompok 8
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. LATAR BELAKANG 1
B. RUMUSAN MASALAH 2
C. TUJUAN 2
BAB II PEMBAHASAN 3
A. Pengertian perceraian dalam Islam 3
B. Jenis-jenis perceraian 4
C. Hukum-hukum perceraian dalam Islam 5
D. Syarat perceraian dalam Islam………………………………………………….... 6
E. Akibat hukum perceraian………………………………………………………… 8
BAB III PENUTUP 11
A. KESIMPULAN 11
B. SARAN 11
DAFTAR PUSTAKA 12
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Perkawinan adalah hal yang penting dalam kehidupan manusia, karena disamping
perkawinan sebagai sarana untuk membentuk keluarga, perkawinan juga merupakan
kodrati manusia untuk memenuhi kebutuhan biologis. Pada dasarnya, perkawinan
tidak hanya tentang hubungan manusia dengan manusia yaitu hubungan keperdataan
tetapi disisi lain perkawinan juga memuat unsur sakralitas yaitu hubungan manusia
dengan Tuhannya. Hal ini terbukti bahwa semua agama mengatur tentang
pelaksanaan perkawinan dengan peraturannya masing-masing. Perkawinan telah
berlangsung selama berabad-abad pada suatu kebudayaan dan komunitas agama.
Perkawinan merupakan salah satu tahapan yang dianggap sakral bagi kehidupan
manusia, seperti halnya kelahiran dan kematian yang diusahan hanya sekali seumir
hidup.
Namun, terkadang realita seringkali berjalan tidak sesuai harapan. Dikarenakan
oleh berbagai faktor, perpisahan atau perceraian sering kali terjadi sebagai akhir dari
perkawinan. Banyak hal yang dapat meruntuhkan bahtera rumah tangga sehingga
berusaha untuk mempertahankannya adalah sesuatu yang sia-sia. Tidak jarang kita
temukan bahtera rumah tangga yang saling membenci antara suami dan isteri. Hal ini
dapat disebabkan kerena adanya ketidakseimbangan mengenai porsi pelaksanaan
kewajiban dan penerimaan hak, adanya perbedaan besar dalam watak, kepribadian,
pengalaman dan intelektual masing masing suami isteri.
Perceraian atau talak dalam hukum Islam pada prinsipnya boleh tapi dibenci oleh
Allah, namun perceraian merupakan solusi terakhir yang boleh ditempuh manakala
kehidupan rumah tangga tidak bisa dipertahankan lagi. Islam menunjukkan agar
sebelum terjadi perceraian, ditempuh usaha-usaha perdamaian antara kedua belah
pihak, karena ikatan perkawinan adalah ikatan yang paling suci dan kokoh.
iv
B. Rumusan masalah
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan permasalahan diatas, tujuan penulisan makalah ini untuk:
v
vi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Perceraian
Perceraian menurut ahli fikih disebut talaq atau firqoh. Talak diambil dari kata اطالق,
artinya melepaskan, atau meninggalkan. Sedangkan dalam istilah syara’, talak adalah
melepaskan ikatan perkawinan, atau rusaknya hubungan perkawinan. Perceraian dalam Islam
adalah melepaskan status ikatan perkawinan atau putusnya hubungan pernikahan antara
suami dan istri. Menurut Sayyid Sabiq, perceraian adalah pelepasan tali perkawinan dan
mengakhiri hubungan suami istri. Menurut Abdurrahman Al-jaziri, talak adalah hilangnya
ikatan perkawinan sehingga tidak halal lagi suami bercampur dengan istri. Dari beberapa
pengertian tentang perceraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perceraian adalah
putusnya iakatan perkawinan antara suami istri sehingga antara keduanya tidak halal lagi
bergaul sebagaimana layaknya suami istri.
Dengan adanya perceraian, maka gugurlah hak dan kewajiban keduanya sebagai suami
dan istri. Islam memang mengizinkan perceraian, tapi Allah membencinya. Itu artinya,
bercerai adalah pilihan terakhir bagi pasangan suami istri ketika memang tidak ada lagi jalan
keluar lainnya. Allah berfirman dalam Q.S Al-Baqarah: 227 yang berbunyi :
هّٰللا
َ َ َّق فَاِن
س ِم ۡي ٌع َعلِ ۡي ٌم َ َعزَ ُموا الطَّاَل
“Dan jika mereka berketetapan hati hendak menceraikan, maka sungguh, Allah Maha
Mendengar, Maha Mengetahui.”
Pada umumnya di Indonesia penyebab terjadinya perceraian karena alasan- alasan
ketidakcocokan, faktor ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan bahkan
disebabkan poligami di bawah tangan. Di dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun
1975 pasal 19 tentang Kompilasi Hukum Islam diatur tentang alasan-alasan perceraian yang
dibenarkan oleh hukum di Indonesia. Adapun alasan-alasan perceraian tersebut adalah:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang
sukar di sembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturutturut tanpa izin
pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
3
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
pihak lain.
e. Salah satu pihak cacat badan atau penyakit dengan akibat-akibat tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami/isteri.
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran serta tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
4
e. Talak Taklik. Pada talak ini, suami akan menceraikan istrinya dengan syarat-syarat
tertentu. Dalam hal ini, jika syarat atau sebab yang ditentukan itu berlaku, maka terjadilah
perceraian atau talak.
Hukum perceraian dalam Islam bisa beragam. Perceraian bisa bernilai wajib, sunnah,
makruh, mubah, hingga haram, tergantung dari permasalahan dan situasinya.
Perceraian menjadi wajib hukumnya jika pasangan suami istri tidak bisa lagi berdamai dan
tidak punya jalan keluar lain selain bercerai untuk menyelesaikan masalahnya. Biasanya,
5
masalah ini akan dibawa ke Pengadilan Agama setempat. Jika pengadilan memutuskan
bahwa talak adalah keputusan yang terbaik, maka perceraian itu menjadi wajib hukumnya.
Selain adanya masalah yang tidak bisa diselesaikan, alasan lain perceraian menjadi wajib
hukumnya ialah ketika suami atau istri melakukan perbuatan keji dan tidak mau bertaubat
atau ketika salah satu pasangan murtad alias keluar dari agama Islam, maka perceraian
menjadi wajib hukumnya.
Terkadang perceraian itu dianjurkan dan mendapatkan hukum sunnah dalam beberapa
keadaan. Salah satu penyebab perceraian menjadi sunnah hukumnya ialah ketika seorang
suami tidak mampu menanggung kebutuhan istrinya. Selain itu, ketika istri tidak dapat
menjaga kehormatannya atau tidak mau menjalankan kewajibannya kepada Allah, dan sang
suami tidak mampu lagi membimbingnya, maka disunnahkan untuk seorang suami
menceraikannya.
Hukum perceraian menjadi makruh jika dilakukan tanpa adanya sebab syar’i. Contohnya, jika
seorang istri memiliki akhlak yang mulia dan mempunyai pengetahuan agama yang baik,
hukum menceraikannya adalah makruh. Pasalnya, suami dianggap nggak memiliki sebab
yang jelas mengapa harus menceraikan istrinya jika rumah tangga mereka sebenarnya masih
bisa dipertahankan.
Ada beberapa sebab yang menjadikan hukum perceraian adalah mubah. Misalnya, jika istri
tidak bisa mematuhi suami dan berperilaku buruk. Jika suami tidak dapat menahan atau
bersikap sabar, maka perceraian hukumnya mubah atau boleh dilakukan. Selain itu,
perceraian jadi mubah jika suami sudah tidak lagi memiliki nafsu untuk berhubungan intim
atau istrinya sudah tidak subur lagi atau menopause.
Meski awalnya cerai itu tidak dilarang dalam Islam, tapi perceraian menjadi haram
hukumnya jika talak yang dijatuhkan suami tidak sesuai dengan syariat Islam. Perceraian
hukumnya haram dalam beberapa kondisi. Misalnya, menceraikan istri dalam kondisi sedang
haid atau nifas, serta menjatuhkan talak pada istri setelah berhubungan intim tanpa diketahui
6
hamil atau tidak. Selain itu, seorang suami juga haram menceraikan istrinya jika tujuannya
untuk mencegah sang istri menuntut hak atas hartanya.
Dalam islam perceraian memang tidak dilarang. Karena bagaimanapun dalam membangun
rumah tangga dalam islam tidak akan mampu bertahan tanpa adanya kecocokan dan
timbulnya percekcokan secara terus menerus. Meskipun begitu Ad-Dailami meriwayatkan
dari Muqatil bin Sulaiman dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi saw :
“Tidak ada hal yang Allah halalkan yang lebih Dia cintai daripada pernikahan. Dan tidak ada
hal yang Allah halalkan yang lebih Dia benci daripada perceraian.” Hadist tersebut
mengartikan bahwa Allah SWT sangat membenci perceraian. Perceraian tidak dapat terjadi
tanpa ada syarat yang dipenuhi oleh kedua belah pihak. Karena itulah, dalam islam sendiri
diatur mengenai syarat perceraian yang akan dijelaskan dalam poin-poin berikut.
Dalam islam proses perceraian dimulai dengan tahap tahap menjatuhkan talak. Talak
merupakan hal yang hanya dapat dilakukan oleh suami atau pihak laki-laki. Talak merupakan
hal yang diperbolehkan hukumnya jika suami meragukan kebersihan tingkah laku dari
istrinya. Dalam hal ini, syarat perceraian dalam islam yang pertama ialah adanya ucapan talak
dari suami kepada istri. Tanpa adanya ucapan talak maka perceraian tidak akan pernah
terjadi. Yang berhak menjatuhkan talak ialah mereka yang merupakan suami sah baik di mata
agama ataupun hukum.
“Semua bentuk talak berlaku, kecuali talak (cerai) yang diucapkan orang mabuk dan orang
gila”
Artinya bahwa dalam syarat perceraian maka talak yang diucapkan harus dalam keadaan
sadar. Jika talak atau ucapan perceraian di ucapkan dalam kondisi mabuk, maka hal tersebut
tidak dapat berlaku sebagai talak. Pada dasarnya orang mabuk tidak berada dalam tingkat
kesadarannya, karenanya semua ucapan yang di ucapan tidak memiliki kekuatan apakah
7
benar-benar ingin diucapkan atau sekadar bualan saja. Karena itulah talak yang diucapkan
oleh seoranf yang sedang mabuk tidak dapat di terima sebagai talak yang sesungguhnya.
Marah merupakan salah satu sifat manusiawi. Terkadang karena sesuatu yang menyakitkan
hati atau perasan di bohongi seseorang akan bisa merasa sangat merah pada pasangannya.
Terlebih lagi jika ada unsur penghianatan, maka sudah pasti kemarahan akan memuncak.
Namun, jika dalam kondisi tersebut seseorang mengucapkan ucapan perceraian atau talak,
maka talak tersebut akan tidak berlaku. Salah satu syarat perceraian yang sah adalah ucapan
talak yang diucapkan dalam kondisi sadar dan tidak diliputi amarah.
Perceraian merupakan sebuah proses terjadinya perpisahan antara suami dan istri yang
sebelumnya telah menjalani ikatan pernikahan. Tentunya hal ini dapat berlangsung sangat
berat bagi kedua belah pihak. Yang pertu ditekankan di sini adalah bahwa syarat perceraian
yang sah ialah kedua belah pihak berkenginan sendiri dan dengan kesadaran serta tanpa
paksaan untuk bercerai. Karena jika terdapat unsur paksaan, maka perceraian tersebut akan
gugur. Sebagai mana hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dibawah ini:
“Sesungguhnya Allah menggugurkan (pahala atau dosa) atas umtku dalam beberapa
perbuatan yang dilakukan karena kesalahan, lupa, dan dipaksa.” (HR. Ibnu Majah).
Syarat perceraian dalam islam yang sah berikutnya adalah, bahwa keputusan perpisahan
tersebut diambil oleh kedua belah pihak tanpa ada campur tangan dari pihak lain. Karena
tidak jarang, pada kenyataannya malah ada beberapa pihak terutama berasal dari lingkungan
keluarga yang menginginkan adanya perceraian tersebut. Ada berbagai kepentingan yang
mendasari campur tangan tersebut, apalagi jika kedua belah pihak tidak ada yang mau
mengakui kesalahan dan kekurangan masing-masing.
8
1. Terhadap Anak
Berdasarkan Pasal 105 Instruksi Presiden RI Nomor 1 tahun 1991 tentang kompilasi Hukum
Islam dijelaskan bahwa :
Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-
sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan
selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa pun.
Mengenai pengaturan tentang harta kekayaan dalam perkawinan secara tegas diatur dalam
Pasal 85 sampai dengan Pasal 90 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut :
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkin adanya harta milik
masing-masing suami atau isteri.
9
(1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena
perkawinan.
(2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta
suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.
(1) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-
masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang
para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
(2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas
harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodakah, atau lainnya.
Apabila terjadi perselisihan antara suami-isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian
perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.
Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri, maupun hartanya sendiri.
Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada padanya.
3. Terhadap Nafkah
Menurut pendapat umum sampai sekarang biaya isteri yang telah ditalak oleh suaminya
tidak menjadi tanggungan suaminya lagi, terutama dalam perceraian itu si-isteri yang
bersalah. Namun dalam hal isteri tidak bersalah, maka paling tinggi yang diperolehnya
mengenai biaya hidupnya ialah pembiayaan hidup selama ia masih dalam masa iddah yang
lebih kurang selama 90 (sembilan puluh) hari. Tetapi sesudah masa iddah, suami tidak perlu
lagi membiayai bekas isterinya lagi. Bahkan sesudah masa iddah, bekas isteri itu harus keluar
dari rumahsuaminya andaikata ia masih hidup di rumah yang disediakan oleh suaminya. Jadi
10
baik wanita yang masih dalam masa iddah ataupun masa iddahnya telah habis asal dalam
perceraian ia bukan berada di pihak yang bersalah, maka ia berhak menerima atas biaya
penghidupan. Ketentuan itu bisa dengan damai atas persetujuan bekas suami begitupun
mengenai jumlah biaya hidupnya atau dapat pula dengan putusan perdamaian apabila bekas
suami tidak dengan sukarela menyediakan diri untuk memberi biaya hidup tersebut.
Ketentuan kemungkinan pembiayaan sesudah bercerai itu dalam Undangundang Perkawinan
diatur dalam Pasal 41 huruf C, yang berbunyi “Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas
suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi
bekas isteri”. Kemudian apabila bekas isteri tidak mempunyai mata pencaharian untuk nafkah
sehari-harinya, maka bekas suami harus memberikan biaya hidup sampai bekas isterinya itu
menikah lagi dengan pria lain.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami istri sehingga antara keduanya
tidak halal lagi bergaul sebagaimana layaknya suami istri. Di Indonesia penyebab terjadinya
perceraian karena alasan- alasan ketidakcocokan, faktor ekonomi, kekerasan dalam rumah
tangga, perselingkuhan bahkan disebabkan poligami di bawah tangan. Perceraian dapat
terjadi karena dua hal yaitu, adanya talak dari suami atau gugatan dari istri. Meskipun
diperbolehkan, Allah sangat membenci perceraian. Hukum-hukum perceraian dalam Islam
antara lain hukum perceraian wajib, hukum perceraian sunnah, hukum perceraian makruh,
hukum perceraian mubah, dan hukum perceraian haram. Dalam perceraian, ada 3 akibat
hukum yang muncul yaitu terhadap anak, terhadap harta bersama, dan terhadap nafkah.
B. Saran
Perceraian selain merupakan hal yang menyakitkan, juga sesuatu yang dibenci Allah
SWT. Oleh karena itu, sebelum mengambil langkah untuk menikah calon pasangan harus
memikirkan segala sesuatunya dengan baik. Pun setelah menikah, hendaknya pasangan suami
11
istri selalu saling menghormati dan melaksanakan segala kewajibannya serta
mengkomunikasikan setiap persoalan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Azizah, Linda. 2021. Analisis Perceraian dalam Kompilasi Hukum Islam. IAIN Raden Intan
Lampung, Bandar Lampung.
Anwar, Saiful. 2015. Tinjauan Hukum Islam terhadap Perceraian atas Kehendak Orang
Tua. Universitas Islam Negeri Walisongo. Semarang.
12