Anda di halaman 1dari 12

KANDUNGAN AYAT TENTANG ILA’ DAN DZIHAR

Nuraini
Nuaini.tane@gmail.com

Syahbana Syarif Palkan


syahbanaplkan@gmail.com

Ulfatuz Zahra
Zahraulfa15@gmail.com

ABSTRAK

Ila dan zhihar adalah salah satu penyebab putusnya perkawinan pada
masa jahiliyah. Pada artikel ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif
yang pendekatannya nenggunakan kajian pustaka. Penulis bertujuan untuk
menguraikan penjelasan tentang ayat-ayat, asbabun nuzul dan hikmah mengenai
ila‟ dan dzihar, supaya semua orang bisa memahami tentang ila‟ dan dzihar
terutama bagi orang yang sudah berkeluarga, karena hal ini sangat penting
baginya. Ila merupakan sumpah sumpah untuk tidak menggauli istrinya lagi.
Sedangkan zhihar merupaka perkataan suami yang menyamakan punggung istri
sama dengan punggung ibunya. Pada zaman dahulu para suami semena-mena
terhadap para istri. Ila pada masa jahiliyah yaitu selama 2 tahun bahkan lebih.
Sehingga istrinya terluntang lantung tanpa kepastian dalam waktu yang begitu
lama, tanpa suami karena tidak diperbolehkan menikah lagi selama ila. Sama
halnya dengan zhihar pada masa jahiliyah. Para suami semena-mena menzhihar
istrinya. Dan menjadikan itu putus perkawinan setelah turun quran surat al-
baqarah ayat 226-227 tentang ila, semenjak itu suami meng ila istrinya menjadi
selama 4 bulan, dan jika ia ingin kembali maka ia harus membayar kafarat. Dan
dalam quran surat al-mujadalah ayat 2-4 tentang zhihar, bahwa hukum zhihar
adalah dosa besar , tidak di hukumi talak dan yang ingin kembali harus
membayar kafarat. Dari asbabun nuzul tersebut maka islam telah mengangkat
derajat perempuan.

kata kunci : ila, zhihar, suami, istri, Al-baqarah, Al-mujadalah


PENDAHULUAN

Islam adalah agama yang mengatur segala aspek kehidupan manusia,


khususnya umat Islam. Mengatur tata cara ibadah dan juga muamalah, hal ini
berkaitan dengan Allah dan aturan hubungan antar sesame manusia. Dalam
masalah perkawinan islam mengatur secara gamblang mulai dari aturan pranikah
dan padasaat pernikahan itu tengah berlangsung, sampai pernikahan itu tengah
berjalan atau aturan tentang berumah tangga, bahkan sampai putusnya
perkawinan hingga urusan pembagian waris.

Perkawinan adalah fitrah. Keterikatan antara seorang lelaki dan seorang


perempuan merupakan kebutuhan setiap orang yang bersifat naluriah. Lebih dari
itu, ia bahkan menjadi kebutuhan bagi kesempurnaan hidup manusia. Dalam
ajaran Islam, perkawinan merupakan anjuran bagi mereka yang telah dewasa
lagi mampu. Allah memerintahkan kepada orang tua untuk mendukung
perkawinan anak-anak mereka, dan jangan terlalu mempertimbangkan
kemampuan materi calon pasangan. Namun, pada saat yang sama Allah swt.
juga memerintahkan mereka yang ingin menikah tetapi tidak memiliki
kemampuan material, untuk menahan diri dan memelihara kesuciannya. 1

Allah swt. menjadikan perkawinan yang diatur menurut syari„at Islam


sebagai penghormatan dan penghargaan yang tinggi terhadap harga diri yang
diberikan oleh Islam khusus untuk manusia di antara makhlukmakhluk lainnya. 2

Perkawinan merupakan fondasi untuk membina rumah tangga, oleh


karenanya Islam mensyari'atkan perkawinan untuk melanjutkan keturunan
secara sah dan mencegah perzinaan. Adapun tujuannya ialah agar tercipta
rumah tangga yang penuh kedamaian, ketentraman, cinta dan kasih sayang.
Allah swt. tidak berkeinginan menjadikan manusia seperti makhluk lainnya, yang
hidup bebas mengikuti nalurinya tanpa suatu aturan. Kemudian, demi menjaga
kehormatan dan kemuliaan manusia, Allah swt. menciptakan hukum sesuai
martabatnya, sehingga hubungan antara pria dan wanita diatur secara terhormat
dan berdasarkan saling meridhai.3

M.Quraish Shihab, Pengantin Al-Qur‟an (Jakarta: Lentera Hati, 2007)


1

Mahmud asy-Syubbag, Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam, Terj. Bahruddin


2

Fanani, cet.III (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994), h. 23


3
As-Sayyid Sa‟biq, Fikih Sunnah, Terj. Mohammad Thalib (Jakarta: PT al-Ma'arif, 1980),
h. 8
RUMUSAN MASALAH

Didalam artikel ini penulis akan berusaha menguraikan tentang ayat-ayat,


asbabun nuzul dan penjelasan ulama tentang ila‟ dan dzihar. Karena ila‟ dan
dzihar sangat penting bagi hubungan suami istri, dan masih banyak orang yg
belum mengetahui ila‟ itu apa, dan batas waktu ila‟ berapa, Dan dzihar apa?

TUJUAN

Penulis bertujuan untuk menguraikan penjelasan tentang ayat-ayat,


asbabun nuzul dan hikmah mengenai ila‟ dan dzihar, supaya semua orang bisa
memahami tentang ila‟ dan dzihar terutama bagi orang yang sudah berkeluarga,
karena hal ini sangat penting baginya.

METODE PENELITIEN

Pada artikel ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif yang


pendekatannya nenggunakan kajian pustaka. Berdasarkan pendekatan ini penulis
tidak hanya menggunakan satu refrensi, tetapi menggunakan berbagai refrensi
yang sudah disaring menggunakan Bahasa penulis untuk menjadi bahan
pertimbangan dari artikel ini.

PEMBAHASAN
AYAT TENTANG ILA’

ِِ‫ِِواِنِِعِِزمِواِالطِلِقِِفِاءِنِِللا‬4)222(ِِ‫لِلِذِيِنِِيِ ِؤلِِونِِمِنِِنِسِاءِهِمِِتِِربِصِِاِِربِعِةِِاِشِهِرِِفِاءِنِِفِآءِوِفِاءِنِِللاِِغِفِِورِِِرحِيِم‬
5
)222(ِِ‫سِيِعِِعِلِيِم‬
Artinya: kepada orang-orang yang mengila‟ istrinya, diberi Tangguh empat bulan
(lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya
allah maha pengampun lagi maha penyayang. Dan jika mereka ber‟azam
(bertatap hati untuk) talak, maka sesungguhnya allah maha mendengar lagi
maha mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 226-227).
TAFSIR PERAYAT AL-BAQOROH: 2266
‫“ ( ِللَذ ِِْنََ يُْذلن ُي َيي ِم ن‬kepada orang-orang yang mengila‟ istrinya”.
Allah berfirman, )‫ذَي ِنسذَ َ ِِ ِِ ني‬
Yakni bersumpah untuk tidak menyetubuhi istrinya. Didalam ayat ini terdapat
pengertian yang menunjukan bahwa ila‟ hanya untuk istri, tidak berlaku pada
budak perempuan.

ُ ‫“ (ت ََرب‬diberi Tangguh empat bulan (lamanya)”. Pihak suami menunggu


‫َّصيا َ نربَعَ ِةيا َ نش ُه ٍر)ي‬
selama empat bulan sejak ia mengucap sumpahnya, kemudian dihentikan, lalu
dituntut untuk menyetubuhi istrinya atau menceraikan istrinya.

ِ َ‫“ (ف‬kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya)”. Yaitu hubungan


)‫ذَِ ن يفذَ َ ُِ)ا‬
mereka berdua kembali seperti semula sebagai suami istri secara utuh. Kalimat

44
Q.S. Al-Baqoroh: 226
5
Q.S Al-Baqoroh: 227
6
www.ibnukatsironline.com
ini berupa sindiran yang menunjukan pengertian bersetubuh. Demikian menurut
pendapat ibnu abbas, masruq,asy-sya‟bi, said ibnu jubair, dan ulama lainnya
kecuali ibnu jarir.

) ُ )‫ير ِيذذ ن‬ ‫غفُ ر‬


َ ‫ذذر‬ ِ ‫“ (فَذ‬maka sesungguhnya allah maha pengampun lagi maha
َ ‫ذَِ َّ يهللاَي‬
penyayang”. Allah maha penga,pun dan penyayang atas semua kelalaian yang
dilakukan terhadap hak para istri disebabkan sumpah ila‟.

TAFSIR PERKATA AL-BAQOROH: 227


َّ
Allah berfirman ) َ)َ‫ذاايالَّذق‬ ‫ع َّز ُم‬ َ “dan jika mereka ber‟azam (bertetap hati untuk)
َ ‫() ِاي ن ي‬
talak”. Artinya mereka tidak mau rujuk (dan melakukan bersetubuh) yang
merupakan tanda kebencian mereka terhadap istri-istri mereka dan tidak
kesukaan terhadap mereka. Ini tidaklah terjadi kecuali karena ketetapan hati
yang kuat untuk talak. Apabila ini terjadi maka ini adalah hak yang wajib
dilaksanakan secara langsung dan bila tidak, hakimlah yang memaksanya untuk
melakukan talak atau melakukan untuknya.

) ُ )‫ع ِلذذ‬
َ ‫ذذع ن) رَي‬
ِ ‫م‬ ِ َ‫“ (ف‬maka sesungguhnya allah maha mendengar lagi maha
َ ‫ذذَِ َّ يهللاَي‬
mengetahui”. Ayat ini merupakan ancaman dan peringatan bagi seseorang yang
bersumpah seperti ini dan dia bermaksud itu menyusahkan dan memberatkan.7

TAFSIR SURAH AL-BAQARAH 226-227

al i‟laa‟” berarti sumpah. Jika seseorang bersumpah tidak mencampuri


istrinya dalam waktu tertentu, baik kurang atau lebih dari empat bulan. Jika
kurang dari empat bulan, maka ia harus menunggu berakhirnya masa yang telah
ditentukan. Setelah itu ia boleh mencampuri isterinya kembali. Dalam hal ini istri
harus bersabar, dan tidak berhak mengajukan untuk ruju‟ pada masa itu.

Demikian itulah yang telah ditegaskan dalam Shahihain (al-Bukhari danMuslim),


dari Aisyah radhiallahu „anha, Rasulullah pernah meng-ilaa‟ (bersumpah untuk
tidak mencampuri) isterinya selama satu bulan. Kemudian beliau turun (dari
biliknya) pada hari kedua puluh sembilan. Dan beliau bersabda, “Satu bulan itu
dua puluh sembilan hari.” Tetapi jika lebih dari empat bulan, maka bagi sang
isteri boleh menuntut suaminya mencampurinya setelah masa empat bulan atau
menceraikannya. Dan untuk itu, hakim boleh memaksa suami. Hal ini agar tidak
menimbulkan dampak negatif bagi isterinya tersebut. Firman-Nya: fa in faa-uu fa
innallaaHa ghafuurur rahiim (“Kemudian jika mereka kembali [kepada istrinya],
maka sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”)

Menurut salah satu dari beberapa pendapat ulama, di antaranya pendapat


lama dari asy-Syafi‟i, ayat ini mengandung dalil bahwa jika seseorang yang
meng-ilaa‟ isterinya kembali setelah empat bulan, maka tiada kafarat (denda)
baginya. Dan hal itu diperkuat dengan hadits yang diriwayatkan dari Amr bin
Syu‟aib, dari kakeknya, bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Barangsiapa
bersumpah atas suatu hal, lalu ia melihat hal lainnya lebih baik daripada

7
Tafsir ibnu katsir surat al-baqarah ayat: 226-227
sumpahnya tersebut, maka meninggalkan sumpahnya itu adalah kafaratnya.‟”
(Dha‟if: Didha‟ifkan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab Dha‟iiful Jaami‟.)

Hikmah surah Al-Baqarah ayat 226-227

Penetapan hukum „Ilaa‟, karena Allah Ta‟ala menentukan waktunya yaitu 4 bulan.
„Ilaa‟ adalah seseorang bersumpah untuk tidak menggauli (menjima‟i) istrinya.

‟Ilaa‟ hukumnya adalah diperbolehkan yaitu dengan tujuan memberikan pelajaran


kepada seorang istri, akan tetapi waktunya tidak boleh sampai 4 bulan, dan
rasulullah shallallahu „alaihi wasallam juga pernah melakukan „ilaa‟ pada sebagian
istri-istri beliau selama satu bulan yang tujuannya adalah memberikan pelajaran
kepada mereka. Sebagaimana hal itu diriwayatkan oleh Aisyah radhiallahu „anha
dalam kitab Shahihain (Bukhari dan Muslim).

Seorang yang melakukan „ilaa‟, ditunggu apabila telah melebihi 4 bulan maka
diberikan dua pilihan; kembali menggaulinya atau menceraikannya.

Dalam ayat diatas terdapat isyarat bahwa kembali menggauli istrinya adalah
lebih Allah sukai daripada ia menceraikannya.

Penjelasan adanya penetapan 4 nama bagi Allah Ta‟ala, yaitu Al-Ghafur (Maha
pengampun), Ar-Rahim (Maha Penyayang), As-Sami‟ (Maha Mendengar), dan Al-
„Alim (Maha Mengetahui) dan apa-apa yang terkandung dalam nama-nama
tersebut berupa sifat dan hukum-hukum. Wallahu a‟lam.

ASBABUN NUZUL AL-BAQOROH:226-227

Sebab turunnya ayat ini adalah pada zaman dahulu Rasulullah Saw.
pernah meng-ila istri-istrinya selama satu bulan. Maka beliau baru turun setelah
dua puluh sembilan hari, lalu bersabda,

"Bulan ini bilangannya dua puluh sembilan hari.”

Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan pula hal yang semisal melalui
Umar ibnul Khattab r.a.

Jika masa ila lebih dari empat bulan, maka pihak istri boleh meminta
kepada pihak suami agar menggaulinya setelah habis masa empat bulan. Setelah
habis masa empat bulan, pihak suami hanya ada salah satu pilihan: Adakalanya
menyetubuhi istrinya dan adakalanya menceraikan istrinya, pihak hakim boleh
menekan pihak suami untuk melakukan hal tersebut. Demikian itu agar pihak istri
tidak mendapat mudarat karenanya. Oleh sebab itulah maka disebutkan oleh
Allah dalam firman-Nya surat al-baqarah 226-227.
AYAT-AYAT TENTANG DZIHAR

SURAT AL-MUJADALAH AYAT 2- 4

ِ‫الذينِيظاِهروِنِمنكمِمنِِنساِئهمِماِهنِامهاِِتمِانِامهاِت همِاالِاِللِئيِولدِن همِلي قِوِلوِنِمنكًراِمن‬


ِ‫)ِوالذينِيظاهرونِمنِنسائهمُِثِي عودونِلماِقالواِف تحِري رِرق بةِمنِق بلِان‬2(ِ‫القولشِوز ًوراِوانِللاِلعف ٌّوِغفور‬
ِ‫)ِفمنَِلَِيدِفصيامِشهرينِمت تابعْيِمنِق بلِانِي تماساِفمن‬3(ِ‫ي تماساِذلكمِتوِعظونِبهِوللاِِباِت عمِلونِخبي ر‬
)4(ِ‫َلِيستطعِفأطعِامِستْيِمسكي نًاِذلِكِلت ؤمنواِابللاِورسولهِوتلكِحدودِللاِوللكافرينِعذابِأليم‬

Artinya: orang-orang yang mengdzahir istrinya diantara kamu, (mengangap


istrinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu
mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya
mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta.
Dan seungguhnya allah maha pemaaf lagi maha pengampun (2) orang-orang
yang mengdzihrar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa
yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak
sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada
kamu, dan allah maha mengetahui apa yang kita kerjakan (3) barng siapa yang
tidak mendapatkan (budak) maka (wajib atasnya) memberi makan enam puluh
orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rosul-Nya.
Dan itulah hukum-hukum allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat
pedih.(4). (Q.S. Al-Mujadallah: 2-4)

TAFSIR PERKATA AL- MUJADALAH:2-48

ِ ‫يم نن ُك ن‬
َ ‫يم نَي ِن‬
Allah berfirman, ) ‫سَي ِئ ِه ن‬ َ ُْ‫“ (اَلَّ ِِْنََ ي‬Orang-orang yang men-zihar istrinya
ِ َ )‫ظَي ِِ ُر ن‬
di antara kamu. (Al-Mujadilah: 2)”
Kata zihar berasal dari zahar, artinya punggung, Dahulu di masa Jahiliah
apabila seseorang dari mereka men-zihar istrinya, ia mengatakan kepada
istrinya, "Engkau menurutku sama dengan punggung ibuku," yakni
punggungnya sama dengan punggung ibunya. Kemudian menurut istilah
syara' kata zihar ini bisa saja diberlakukan terhadap anggota tubuh lainnya
secara analogi (kias). Dahulu di masa Jahiliah zihar dianggap sebagai talak,
kemudian Allah Swt. memberikan kemurahan bagi umat ini. Dia tidak
menjadikannya sebagai talak, dan pelakunya hanya dikenai sanksi
membayar kifarat, berbeda dengan apa yang berlaku di kalangan mereka di
masa Jahiliah. Hal yang sama telah dikatakan oleh bukan hanya seorang dari
kalangan ulama Salaf.

)‫” ( َما ِه َّن أ َ َّم َها ِت ِه ْم ا ِْن أ ُ َّم َها ت ُ ُه ْم اِال الال ئي َولَ ْدنَ ُه ْم‬padahal tiadalah istri mereka itu ibu
mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan
mereka. (Al-Mujadilah: 2)”
Yakni seorang wanita tidaklah menjadi seorang ibu bagi seorang lelaki yang
mengatakan kepadanya, "Engkau bagiku seperti punggung ibuku, atau
engkau mirip ibuku, atau engkau seperti ibuku," sesungguhnya ibu lelaki yang

8
www.ibnukatsironline.com
bersangkutan hanyalah wanita yang melahirkannya. Karena itulah disebutkan
oleh firman-Nya:

ً ‫(وأِنَّ ُه ْم لَيَقُولُو نُ ُم ْنك ًَرا ِمنَ ْالقَ ْو ِل َو ُز‬


)‫ورا‬ َ ”Dan sesungguhnya mereka benar-benar
mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. (Al-Mujadilah: 2)”
Maksudnya, ucapan yang keji lagi batil.

ٌ ُ‫غف‬
)‫ور‬ َ ‫لَعَفُ ٌّو‬
‫هللا‬
َ َ ”Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha
‫(وأ ِّن‬
Pengampun. (Al-Mujadilah: 2)”
Yaitu terhadap apa yang telah kamu kerjakan di masa Jahiliah. Demikian pula
halnya kata-kata yang keluar dari lisan tanpa disengaja karena terpeleset lidah,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Daud, bahwa Rasulullah Saw. pernah
mendengar seorang lelaki berkata kepada istrinya, "Hai saudaraku." Maka Nabi
Saw. bertanya, "Dia saudara perempuanmu?" Ini merupakan protes, tetapi kata-
kata tersebut tidak menjadikan istrinya sebagai saudara perempuannya hanya
dengan kata-kata itu, mengingat dia mengucapkan kata-katanya itu tanpa
sengaja. Dan seandainya dia mengeluarkan kata-katanya itu dengan sengaja,
niscaya istrinya itu haram baginya, karena sesungguhnya menurut pendapat
yang sahih tidak ada bedanya antara ibu dan wanita lainnya dari kalangan para
mahram seperti saudara perempuan, bibi dan ayah, dan bibi dari ibu, dan lain
sebagainya yang serupa.

Firman Allah Swt.


:)‫سائِ ِه ْم ث ُ َّم يَعُو ٌدونَ ِلما َ قَالُوا‬ َ ُ‫(والَّ ِذيْنَ ي‬
َ ِ‫ظاه ُِرونَ ِم ْن ن‬ َ
“Dan orang-orang yang men-zihar istri mereka, kemudian mereka hendak
menarik kembali apa yang mereka ucapkan. (Al-Mujadilah: 3)”

Ulama Salaf dan para imam berbeda pendapat mengenai makna yang dimaksud
oleh firman-Nya: kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka
ucapkan. (Al-Mujadilah: 3) Sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan 'kembali' ialah kembali mengulangi kata-kata zihar-nya, tetapi pendapat
ini batil. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Hazm dan pendapat Daud yang
diriwayatkan oleh Abu Umar ibnu Abdul Bar, dari Bukair ibnul Asyaj dan Al-Farra,
serta segolongan ulama ilmu kalam (tauhid).
Imam Syafii mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah hendaknya si suami
tetap memegang istrinya sesudah ia men-zihar--nya selama suatu masa yang
memungkinkan baginya dalam masa itu menjatuhkan talaknya, tetapi dia tidak
menjatuhkannya.
Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan, makna yang dimaksud ialah bila suami
yang bersangkutan hendak kembali menyetubuhi istri yang telah di-zihar-
nya, atau bertekad akan menyetubuhinya, maka istrinya itu tidak halal baginya
sebelum ia membayar kifarat zihar-nya.

Firman Allah Swt. )‫ة‬ ٍ َ‫َحسِ ْي ُس ز ََقب‬ َ “maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang
ْ ‫(فت‬
budak. (Al-Mujadilah: 3)”
Yakni memerdekakan seorang budak secara utuh, sebelum yang bersangkutan
menggauli istri yang telah di-zihar-nya.
ُ ‫ع‬
َ ‫ظ ْو‬
Firman Allah Swt.: )ِ‫ن بِه‬ ْ ‫“ ( َذل ُِك‬Demikianlah yang diajarkan kepadamu. (Al-
َ ‫م ُتو‬
Mujadilah: 3)”
Yakni sebagai peringatan bagimu.

)‫هللا بِ َمات َ ْع َملُونَ َخبِي ٌْر‬


ُ ‫(و‬ َ “dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-
Mujadilah: 3)”
Yaitu mengetahui semua yang bermaslahat lagi sesuai dengan keadaan kalian.

Firman Allah Swt.:

ْ ِ‫سا فَ َم ْن لَ ْم يَ ْست َِط ْع فَإ‬


َ‫طعَا ُم ِستِ ّين‬ َّ ‫ش ْه َري ِْن ُمتَت َابِعَي ِْن ِم ْن قَب ِْل أَ ْن يَت َ َما‬ ِ َ‫(فَ َم ْن لَ ْم يَ ِج ْد ف‬
َ ‫صيَا ُم‬
)‫ِم ْس ِكينًا‬
“Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa
dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak
kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. (Al-
Mujadilah: 4)”
Dalam penjelasan yang lalu telah dikemukakan hadis-hadis yang memerintahkan
hal ini secara tertib.

)‫سو ِل ِه‬ ِ َّ ‫( َذلِكَ ِلتُؤْ ِمنُوا ِب‬


ُ ‫اَّلل َو َر‬
Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. (Al-Mujadilah:
4)
Artinya, Kami perintahkan demikian itu agar kamu beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya.

ِ َ ‫ح ُدو ُد‬
Firman Allah Swt.: )‫ّللا‬ َ ‫“ ( َوت ِْل‬Dan itulah hukum-hukum Allah. (Al-Mujadilah:
ُ ‫ك‬
4)”
Yakni batasan-batasan yang diharamkan-Nya, maka janganlah kamu
melanggarnya.

ٌ ‫اب أَلِي‬
)‫م‬ ٌ ‫ع َر‬ َ ‫“ ( َول ِْل‬dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat
َ َ‫كاف ِِسين‬
pedih. (Al-Mujadilah: 4)”

Yaitu orang-orang yang tidak beriman dan tidak mau menetapi hukum-hukum
syariat ini serta tidak meyakini bahwa mereka akan selamat dari musibah.
Keadaan yang sebenarnya tidaklah seperti apa yang diduga oleh mereka, bahkan
bagi mereka azab yang pedih di dunia dan akhirat nanti.

TAFSIR SURAH AL-MUJADILAH AYAT 2-4

Tafsir Ibnu Katsir: Imam Ahmad meriwayatkan dari Yusuf bin „Abdullah
bin Salam, dari Khaulah binti Tsa‟labah, ia bercerita: “Demi Allah, mengenai
diriku dan suamiku, Aus bin ash-Shamit, Allah telah menurunkan ayat yang
terdapat pada permulaan surah al-Mujaadilah.”

Lebih lanjut, ia bercerita: “Aku hidup bersamanya, sedang dia adalah


seorang lelaki yang sudah tua renta, akhlaknya sangat buruk sekali.” Lalu ia
mengatakan: “Pada suatu hari ia masuk menemui diriku, namun aku menolak
keinginannya. Maka iapun marah seraya mengatakan: „Engkau bagiku seperti
punggung ibuku.‟” Selanjutnya ia mengatakan:“Kemudian dia keluar dan duduk-
duduk di warung kaumnya sejenak, kemudian masuk lagi menemuiku. Ternyata
dia ingin bercampur denganku. Kukatakan: “Tidak. Demi yang diri Khaulah
berada di tangan-Nya, engkau tidak boleh lagi denganku. Engkau telah
mengatakan apa yang telah engkau katakan tadi. Sehingga Allah dan Rasul-Nya
memberikan keputusan mengenai urusan kita dengan hukum-Nya.” lalu ia
mendekapku, namun aku tetap bertahan. Aku pun melumpuhkannya dengan
cara yang dapat digunakan untuk mengalahkan laki-laki yang sudah tua renta.

Akupun menjatuhkan diri darinya. Kemudian aku keluar untuk bertemu


dengan sebagian tetanggaku. Aku meminjam darinya beberapa potong pakaian.
Setelah itu aku keluar rumah hingga aku mendatangi Rasulullah saw. Selanjutnya
aku duduk di hadapan beliau dan kuceritakan kepada beliau perlakuan yang aku
terima dari suamiku tersebut. Mulailah aku mengadukan kepada beliau tentang
akhlaknya yang jelek.” Rasulullah saw. bersabda: “Wahai Khaulah, putera
pamanmu itu adalah laki-laki yang sudah tua renta. Bertakwalah engkau kepada
Allah dalam menghadapinya.”Khaulah melanjutkan ceritanya: Lalu Rasulullah
saw. bersabda kepadaku: “Perintahkanlah dia agar memerdekakan seorang
budak.” Kukatakan: “Ya Rasulallah, dia tidak mempunyai apa-apa untuk
memerdekakan budak.”

Maka Rasulullah saw. bersabda: “Kalau begitu perintahkanlah kepadanya


untuk berpuasa dua bulan berturut-turut.” Lalu kukatakan lagi:“Demi Allah dia
adalah seorang yang sangat tua. Dia tidak akan mampu puasa sebanyak itu.”
Lebih lanjut Rasulullah saw. bersabda: “Kalau begitu perintahkanlah kepadanya
untuk memberi makan kepada enam puluh orang miskin dengan satu wasaq
kurma.” Dan kukatakan: “Ya Rasulallah, dia tidak mempunyai apa-apa untuk itu.”
Beliau pun kemudian mengatakan: “Kalau begitu kami akan menolongnya
dengan satu keranjang kurma.” Maka aku katakan: “Ya Rasulullah, aku pun akan
menolongnya dengan satu keranjang kurma lagi.” Rasulullah saw. bersabda:

“Sungguh engkau telah berbuat benar dan berbuat baik. Pergilah dan
bersedekahlah untuknya. Kemudian nasehatilah putera pamanmu itu dengan
kebaikan.” Maka akupun segera melakukan hal tersebut.

Menurut istilah syariat, zhihar ini dinisbatkan kepada seluruh anggota


badan, sebagai qiyas kepada punggung. Hukum zhihar pada masa jahiliyah
berkedudukan sebagai talak. Kemudian Allah memberikan keringanan untuk
umat Muhammad ini dengan memberlakukan kaffarat padanya dan tidak
dikategorikan sebagai talak, sebagaimana yang menjadi sandaran mereka pada
masa jahiliyah. Demikianlah hal tersebut dikemukakan oleh sebagian ulama salaf.

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu „Abbas, ia bercerita: Jika pada masa
jahiliyah seorang suami mengatakan kepada istrinya: “Kamu bagiku seperti
punggung ibuku.” Maka istrinya telah diharamkan baginya. Dan orang yang
pertama kali menzhihar istrinya adalah Aus bin ash-Shamit yang memperistri
puteri pamannya, Khaulah binti Tsa‟labah. Dia yang telah menjatuhkan zhihar
kepadanya. Ia mengatakan: “Aku tidak melihat dirimu melainkan telah haram
bagiku.” Dan istrinya pun mengatakan hal yang sama kepadanya. Sa‟id bin Jubair
mengatakan: “Ila‟ dan zhihar merupakan bentuk talak orang-orang Jahilyah.
Kemudian Allah Ta‟ala menetapkan empat bulan bagi ila‟ dan kaffarat bagi
zhihar.”

Tafsir Kemenag: Ayat ini mencela suami-suami yang telah menzihar


istrinya dengan mengatakan bahwa orang-orang yang telah menzihar istrinya
adalah perkataan yang tidak benar yang dikatakan oleh orang-orang yang tidak
menggunakan akal sehatnya. Apakah mungkin istri itu sama dengan ibu? Istri
adalah teman hidup yang dihubungkan oleh akad nikah, sedang ibu adalah orang
yang melahirkannya sehingga ada hubungan darah.

Oleh karena itu, orang yang demikian adalah orang yang mengatakan
perkataan yang tidak etis dan tidak dibenarkan oleh agama, akal, maupun adat
kebiasaan. Perkataan itu adalah perkataan yang tidak etis, tidak mempunyai
alasan sedikit pun. Sekalipun demikian, Allah akan mengampuni dosa orang yang
telah menzihar istrinya, jika ia mengikuti ketentuan-ketentuan-Nya.

Jika seorang suami telah menzihar istrinya, tidak berarti telah terjadi
perceraian antara kedua suami-istri itu. Masing-masing masih terikat oleh hak
dan kewajiban sebagai suami dan istri. Mereka hanya terlarang melakukan
persetubuhan. Demikian pula untuk menghindarkan diri dari perbuatan haram,
maka haram pula kedua suami-istri itu berkhalwat (berduaan di tempat sunyi)
sebelum suami membayar kafarat.

Agar istri tidak terkatung-katung hidupnya dan menderita karena zihar


itu, sebaiknya ditetapkan waktu menunggu bagi istri. Waktu menunggu itu dapat
dikiaskan kepada waktu menunggu dalam ila‟, yaitu empat bulan. Apabila telah
lewat waktu empat bulan sejak suami mengucapkan ziharnya, sedang suami
belum lagi menetapkan keputusan, bercerai atau melanjutkan perkawinan
dengan membayar kafarat, maka istri berhak mengajukan gugatan kepada
pengadilan.
ASBABUN NUZUL SURAT AL-MUJADALAH AYAT 2-4

Sebab Turunnya ayat Ini ialah berhubungan dengan persoalan seorang


wanita bernama Khaulah binti Tsa´labah yang Telah dizhihar oleh suaminya Aus
ibn Shamit, yaitu dengan mengatakan kepada isterinya: Kamu bagiku seperti
punggung ibuku dengan maksud dia tidak boleh lagi menggauli isterinya,
sebagaimana ia tidak boleh menggauli ibunya. menurut adat Jahiliyah kalimat
zhihar seperti itu sudah sama dengan menthalak isteri. Maka Khaulah
mengadukan hal itu kepada Rasulullah s.a.w. Rasulullah menjawab, bahwa
dalam hal Ini belum ada Keputusan dari Allah. dan pada riwayat yang lain
Rasulullah mengatakan: Engkau Telah diharamkan bersetubuh dengan dia. lalu
Khaulah berkata: Suamiku belum menyebutkan kata-kata thalak Kemudian
Khaulah berulang kali mendesak Rasulullah supaya menetapkan suatu Keputusan
dalam hal ini, sehingga Kemudian turunlah ayat Ini dan ayat-ayat berikutnya.
Diriwayatkan oleh al-Hakim yang menyahihkannya, yang bersumber dari
„Aisyah bahwa Siti „Aisyah berkata: “Maha suci Allah yang pendengaran-Nya
meliputi segala sesuatu. Aku mendengar Khaulah binti Tsa‟labah mengadu
tentang suaminya (Aus bin Ash-Shamit) kepada Rasulullah saw. Akan tetapi aku
tidak mendengar seluruh pengaduannya. Ia (Khaulah) berkata: “Masa mudaku
telah berlalu. Perutku telah keriput. Aku telah tua bangka dan tidak akan
melahirkan anak lagi, sedang suamiku men-zihar-ku. Allahumma (ya Allah), aku
mengadu kepada-Mu.‟ Tiada henti-hentinya ia mengadu sehingga turunlah Jibril
membawa ayat ini (al-Mujadalah: 1-6) yang melukiskan bahwa Allah Mendengar
pengaduannya, Menetapkan hukum zihar, serta melarang berbuat zihar.

PENUTUP

al i‟laa‟” berarti sumpah. Jika seseorang bersumpah tidak mencampuri


istrinya dalam waktu tertentu, baik kurang atau lebih dari empat bulan. Jika
kurang dari empat bulan, maka ia harus menunggu berakhirnya masa yang telah
ditentukan. Setelah itu ia boleh mencampuri isterinya kembali. Dalam hal ini istri
harus bersabar, dan tidak berhak mengajukan untuk ruju' pada masa itu.
Menurut imam asy-Syafi‟i, jika seseorang yang meng-ilaa‟ isterinya kembali
setelah empat bulan, maka tiada kafarat (denda) baginya. Dan hal itu diperkuat
dengan hadits yang diriwayatkan dari Amr bin Syu‟aib, dari kakeknya, bahwa
Rasulullah pernah bersabda: “Barangsiapa bersumpah atas suatu hal, lalu ia
melihat hal lainnya lebih baik daripada sumpahnya tersebut, maka meninggalkan
sumpahnya itu adalah kafaratnya. (Dha‟if: Didha‟ifkan oleh Syaikh al-Albani
dalam kitab Dha‟iiful Jaami‟.)

Seorang suami telah menzihar istrinya, tidak berarti telah terjadi


perceraian antara kedua suami-istri itu. Masing-masing masih terikat oleh hak
dan kewajiban sebagai suami dan istri. Mereka hanya terlarang melakukan
persetubuhan. Demikian pula untuk menghindarkan diri dari perbuatan haram,
maka haram pula kedua suami-istri itu berkhalwat (berduaan di tempat sunyi)
sebelum suami membayar kafarat. Agar istri tidak terkatung-katung hidupnya
dan menderita karena zihar itu, sebaiknya ditetapkan waktu menunggu bagi
istri. Waktu menunggu itu dapat dikiaskan kepada waktu menunggu dalam ila‟,
yaitu empat bulan. Apabila telah lewat waktu empat bulan sejak suami
mengucapkan ziharnya, sedang suami belum lagi menetapkan keputusan,
bercerai atau melanjutkan perkawinan dengan membayar kafarat, maka istri
berhak mengajukan gugatan kepada pengadilan
DAFTAR PUSTAKA
M.Quraish Shihab, Pengantin Al-Qur‟an (Jakarta: Lentera Hati, 2007)
Mahmud asy-Syubbag, Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam, Terj. Bahruddin
Fanani, cet.III (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994), h. 23
As-Sayyid Sa‟biq, Fikih Sunnah, Terj. Mohammad Thalib (Jakarta: PT al-Ma'arif, 1980),
h. 8
Q.S. Al-Baqoroh: 226
Q.S Al-Baqoroh: 227
www.ibnukatsironline.com
Tafsir ibnu katsir surat al-baqarah ayat: 226-227
www.ibnukatsironline.com
http://www.alsofwah.or.id/?pilih=lihatquran&id=129
https://pecihitam.org/surah-al-mujadalah-ayat-2-4-terjemahan-dan-tafsir-al-quran/

Anda mungkin juga menyukai