Anda di halaman 1dari 5

KATA NIKAH DALAM AL-QUR’AN

(Bernaldi layarda,Yuda fadhila ramadhan)

A. qPENDAHULUAN

Pernikahan sebagai kegiatan menyatukan dua insan manusia secara sah di dalam
suatu mata hukum maupun agama. Tak hanya kegiatan biasa saja, kegiatan ini juga
dipandang sebagai sebuah ibadah yang terpanjang di dalam hidup yang bisa jadi gudang
pahala. Dalam Al-Quran juga terdapat bahasan mengenai pernikahan tak hanya satu dua
kali saja disebut, melainkan 21 ayat yang menyinggung tentang pernikahan. Pernikahan
adalah amalam ibadah yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah Saw., karena pernikahan
amalan ibadah yang bersifat dengan hablu min an – nas dan juga bisa menjadi ibadah
yang bersifat hablu min Allah. Oleh karena itu, penafsiran tentang ayat – ayat nikah
sangatlah penting untuk dikaji dikarenakan pada saat ini, mayoritas manusia menganggap
pernikahan adalah suatu kebutuhan.

B. Pembahasan

Jika kita tinjau dari kitab rujukan mu'jam Al-mufahras Li alfadz Al-Qur'an maka kita
akan menemukan kata shalat yang disebutkan dengan berbagai macam derivasi dalam al-
Qur’an.berikut beberapa penguraian tentang kata nikah dan berbagai derevasinya, yaitu:

1. Kata ‫نَ َكح‬

Terdapat dalam Qur’an surah an-nisa ayat 22


ࣖ ‫اح َشةً َّو َم ْقتً ۗا َو َس ۤا َء َسبِ ْياًل‬
ِ َ‫َواَل تَ ْن ِكحُوْ ا َما نَ َك َح ٰابَ ۤاُؤ ُك ْم ِّمنَ النِّ َس ۤا ِء اِاَّل َما قَ ْد َسلَفَ ۗ اِنَّهٗ َكانَ ف‬
Terjemahan

Janganlah kamu menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali
(kejadian pada masa) yang telah lampau. Sesungguhnya (perbuatan) itu sangat keji dan dibenci
(oleh Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
Kata ( ‫ ) َمانَ َك َح‬ma nakaha yang diterjemahkan dengan apa yang dinikahi, menggunakan
kata apa bukan siapa, adalah karena ayat ini bermaksud melarang pernikahan itu begitu telah
berlangsung akad nikah. Jadi tinjauannya pada akad bukan pada siapa yang dinikahi. Memang
kata nikah dapat berarti akad dan dapat juga berarti hubungan seks. Keduanya digunakan oleh al-
Qur'an. 1Hubungan seks tidak dapat terjadi tanpa kehadiran siapa yang dinikahi, sedang akad
nikah dapat sah, walau salah satu pasangan tidak hadir. Akad nikah juga dapat terlaksana dan sah
walau tanpa hubungan seks, sedang hubungan seks tidak boleh terlaksana sebelum akad nikah.
1
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, jilid 2 hal 388
Demikian hemat penulis mengenai rahasia pemilihan'kata apa dan bukan siapa. Tidaklah tepat
memahami kata apa di sini sebagaimana dipahami oleh al-Biqa’i bahwa itu untuk
mengisyaratkan galibnya pada wanita kelemahan akal yang dapat mencapai tingkat yang tidak
berakal.
Bermula dari ayat 19 hingga ayat 21 yang Allah telah melarang mempusakai wanita
dengan jalan paksa dan menyusahkan mereka untuk mengambil kembal.maskawin yang mereka
janjikan atau berikan. Kali ini larangan lebih tegas dan bersinambung diarahkan kepada adat
buruk yang lain, yaitu menikahi bekas istri ayah sendiri, yakni ibu tiri baik setelah kematian sang
ayah, maupun akibat perceraian hidup, baik pernikahan itu dengan paksa, seperti bunyi ayat yang
lalu, maupun suka sama suka.
Allah menyiksa mereka yang melakukan atau mempertahankan pernikahan semacam itu,
karena sesungguhnya perbuatan itu sejak dahulu hingga kini sebagaimana dipahami dari kata (
َ‫ ) َكان‬kana — amat keji dalam pandangan agama dan akal dan dibenci oleh Allah dan orang-orang
yang memiliki muru'ah/harga diri dan nama baik serta seburuk-buruk jalan yang ditempuh dalam
kehidupan masyarakat
2. ‫تَ ْن ِك َح‬
Terdapat dalam Qur’an surah Al-Baqarah ayat 230

‫ٓا اِ ْن ظَنَّٓا‬jj‫اج َع‬ َ ‫فَاِ ْن طَلَّقَهَا فَاَل ت َِحلُّ لَهٗ ِم ۢ ْن بَ ْع ُد َح ٰتّى تَ ْن ِك َح َزوْ جًا َغي َْر ٗه ۗ فَاِ ْن طَلَّقَهَا فَاَل ُجن‬
َ ‫ٓا اَ ْن يَّت ََر‬jj‫َاح َعلَ ْي ِه َم‬
َ‫اَ ْن يُّقِ ْي َما ُح ُدوْ َد هّٰللا ِ ۗ َوتِ ْلكَ ُح ُدوْ ُد هّٰللا ِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْ ٍم يَّ ْعلَ ُموْ ن‬
Jika dia menceraikannya kembali (setelah talak kedua), perempuan itu tidak halal
lagi baginya hingga dia menikah dengan laki-laki yang lain. Jika (suami yang lain itu)
sudah menceraikannya, tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan mantan istri)
untuk menikah kembali jika keduanya menduga akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang
(mau) mengetahui.

ْ in yang di atas diterjemahkan dengan seandainya. Kata iri


Ayat ini menggunakan kata ( ‫)إن‬
biasanya digunakan untuk sesuatu yang diragukan atau jarang terjadi. Dengan demikian, ayat ini
mengisyaratkan bahwa sebenarnya perceraian itu merupakan satu hal yang jarang terjadi di
kalangan mereka yang memperhatikan tuntunan-tuntunan Ilahi, atau perceratan adalah sesuatu
yang diragukan terjadi di kalangan orang-orang beriman. 2
Tuntunan dan tuntutan ayat ini memberi pelajaran yang sangat pahit bagi suami-istri yang
bercerai untuk ketiga kalinya. Kalaulah perceraian pertama terjadi, maka peristiwa itu kiranya
menjadi pelajaran bagi keduanya untuk introspeksi dan melakukan perbaikan. Kalaupun masih
terjadi perceraian untuk kedua kalinya, maka kesempatan terakhir harus dapat menjamin
kelangsungan perkawinan, sebab kalau tidak, dan perceraian itu terjadi lagi untuk ketiga kalinya,
maka tidak ada jalan lain untuk kembali menyatu, kecuali memberi kesempatan kepada istri untuk
kawin dengan pria lain. Di sini peranan bekas suami sudah habis. Kini dengan perkawinan bckas
istri dengan pria lain, suami baru itulah yang berperan. Kehormatan bekas suami pun kini sedikit
tersinggung jika masih ada sisa cinta dalam hatinya karena perkawinan bekas istrinya dengan pria

2
Muhammad Fuad,Abd al-Baqi’, mu’jam al-mufahras li al-fazi Qur’an al-karim, al-Qahirah,1996 hal 718
lain itu, bukan sekadar proforma, atau“sekadar pencatatan dan kesaksian tentang terlaksananya
ijab kabul, tetapi lebih dari itu, keduanya setelah jab dan kabul harus saling menyatu, dan dalam
bahasa hadits Rasulullah saw. “merasakan madu masing-masing.” Tentu saja untuk merasakannya
dibutuhkan persebadanan yang mengharuskan dalam istilah halus para ulama “masuknya pedang
ke dalam sarungnya.”
Seandainya dia menceraikannya, yakni jika suami yang baru itu menceraikag wanita
tersebut, maka tidak ada halangan dan dosa bagi keduanya, yakni suami yang lalu dan bekas
istrinya itu, untuk kawin, yakni melakukan perkawinan baru dengan akad nikah yang baru,
setelah selesai iddahnya dari suami yang kedua. Ini selama keduanya menduga bahwa mereka
dapat menjalankan bukum-hukum Allah, yakni selama mereka menduga akan mampu serta
bertekad untuk hidup harmonis, melaksanakan fungsi perkawinan yang merupakan ketetapan
Allah.

3. َّ‫َت ْن ِك ُح ْوهُن‬
Terdapat dalam Qur’an surah An-Nisa 127
‫ ۤا ِء ٰالّتِ ْي اَل‬jjj‫ب فِ ْي يَ ٰت َمى النِّ َس‬ ‫هّٰللا‬
ِ ‫ا يُ ْت ٰلى َعلَ ْي ُك ْم فِى ْال ِك ٰت‬jjj‫ ِل ُ يُ ْفتِ ْي ُك ْم فِ ْي ِه َّن َۙو َم‬jjjُ‫ ۤا ۗ ِء ق‬jjj‫تَ ْفتُوْ نَكَ فِى النِّ َس‬jjj‫َويَ ْس‬
‫وْ ا لِ ْليَ ٰتمٰ ى‬jj‫دَا ۙ ِن َواَ ْن تَقُوْ ُم‬jj‫ َعفِ ْينَ ِمنَ ْال ِو ْل‬jj‫َض‬ ْ ‫وْ ه َُّن َو ْال ُم ْست‬jjُ‫وْ نَ اَ ْن تَ ْن ِكح‬jjُ‫ب لَه َُّن َوتَرْ َغب‬ َ ِ‫ا ُكت‬jj‫وْ نَه َُّن َم‬jjُ‫تُْؤ ت‬
‫ْط ۗ َو َما تَ ْف َعلُوْ ا ِم ْن َخي ٍْر فَاِ َّن هّٰللا َ َكانَ بِ ٖه َعلِ ْي ًما‬ِ ‫بِ ْالقِس‬
Mereka meminta fatwa kepada engkau (Nabi Muhammad) tentang perempuan.
Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, 169) dan apa yang
dibacakan kepadamu dalam Al-Qur’an tentang para perempuan yatim yang tidak
kamu berikan sesuatu (maskawin) yang ditetapkan untuk mereka, sedangkan kamu
ingin menikahi mereka, 170) serta (tentang) anak-anak yang tidak berdaya. (Allah
juga memberi fatwa kepadamu) untuk mengurus anak-anak yatim secara adil.
Kebajikan apa pun yang kamu kerjakan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.

Menurut adat Arab Jahiliah, seorang wali berkuasa atas perempuan yatim yang
dalam asuhannya dan berkuasa atas hartanya. Jika perempuan yatim itu cantik, wali
akan menikahi dan menguasai hartanya. Jika perempuan yatim itu buruk rupanya,
wali menghalanginya menikah dengan laki-laki lain agar dia tetap dapat menguasai
hartanya. Ayat ini melarang kebiasaan itu.

Ia dimulai dengan pertanyaan, karena masyarakat ketika itu belum terbiasa


dengan ketentuan-ketentuan hukum apalagi tentang hukum-hukum yang berkaitan
dengan wanita yang sungguh jauh berbeda dengan keyakinan serta adat istiadat
mereka. Dari sini ditemukan banyak pertanyaan dari kaum muslimin, yang ingin
melaksanakan secara sempurna tuntunan Allah swt. Salah satu di antaranya
diabadikan oleh ayat ini yaitu bahwa mereka minta fatwa, yakni penjelasan hukum
tentang persoalan yang musykil kepadamu tentang hal-hal yang berkaitan dengan
para wanita seperti hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka.
Katakanlah, wahai Muhammad, “Tenanglah kalian, bukan aku yang akan
memberi fatwa, tetapi “Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan
demikian juga apa yang terus-menerus dibacakan kepada kamu dalam al-Kitab, yakni
al-Qur'an seperti firman-Nya yang lalu. “Dan jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil terhadap perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka
nikahilah wanita- wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, atau empat.” 3 Ini juga
memberi fatwa kepadamu tentang para wanita yatim yang kamu tidak atau belum
memberikan kepada mereka oleh satu dan lain sebab apa yang ditetapkan untuk
mereka, seperti harta warisan, mahar yang wajar dan lain-lain yang merupakan hak
mereka sedang kamu ingin atau enggan menikahi mereka karena harta dan
kecantikannya atau karena kemiskinan dan keburukannya dan juga memberi fatwa
tentang yang amat lemah dari anak-anak. Dan Allah juga memfatwakan dengan
menyuruh kamu supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil.

3
Tafsir Al-Misbah jilid 2- Dr. M. Quraish Shihab hal 127
DAFTAR PUSTAKA
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jakarta : Lentera Hati, 2012
l-Maraghi, Musthafa, Terj. Tafsir al-Maraghi jilid 4, Cet. II, PT. Karya Toha Putra, Semarang,
1993.
Abu Abdullah Muhammad Ibn Ahmad al-Qrthubi, Tafsir Qurthubi, Kairo : Dar al-kitab al-
Mishri, 1964
Al-Asfahani, ar-Raghib, 2009, Mu’jam Al- AlFadh Al-Qur’an Al-Karim. Damaskus: Dar
AlQalam
Al- Baqiy, Syaikh Ilmi zadeh Fuad, Fathur rahmah Li Thalibi Ayatil Qur’an Al-Fauzan,Shalih
bin Fauzan, Tafsir Juz Amma Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, 1986.
Tafsir A-Maraghi. Jakarta: Toha Putra Al-Qurthubi, Imam, 2007, Tafsir Al-Qurthubi. Jakarta:
Pustaka Azzam Ar-Rifa’I, MuhammadNasib, 2000,
Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: GemaInsani As-Suyuthi, Imam, 2016. AsbabunNuzul.
Solo: Insan Kamil Az-Zuhaili,Wahabah, 2016, Tafsir Al-Wajiz. Jakarta: LajnahPentashihan
Mushaf Alqur’an Baqi,

Anda mungkin juga menyukai