Anda di halaman 1dari 14

TATA CARA MEMINANG DALAM AJARAN ISLAM

PRESENTED TO :

Drs.Edy Kadarisman, M.Pdi

MUNAKAHAT

Penulis
Lindu Wahyu Prasetiyo (17020230063)
Florensa Widho Kuncoro (170202300

FAKULTAS KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS ISLAM KADIRI
2020
A. Pengertian Peminangan
Peminangan berasal dari kata pinang dengan kata kerja meminang.
Sinonim meminang adalah melamar yang dalam bahasa Arab disebut
dengan khitbah. Secara etimologi, meminang dapat diartikan meminta
wanita untuk dijadikan istri, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.
Ensiklopedi Hukum Islam menyebutkan bahwa khitbah adalah pernyataan
keinginan pihak laki-laki kepada pihak wanita tertentu untuk
mengawininya dan pihak wanita menyebarluaskan berita pertunangan ini.
Pengertian di atas hampir serupa dengan definisi yang
dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhailiy, bahwa khitbah adalah pernyataan
keinginan dari seorang lelaki untuk menikah dengan wanita tertentu, lalu
pihak wanita memberitahukan hal tersebut pada walinya. Pernyataan ini
bisa disampaikan secara langsung atau melalui keluarga lelaki tersebut.
Apabila wanita yang di khitbah atau keluarganya sepakat, maka sang lelaki
dan wanita yang dipinang telah terikat dan implikasi hukum dari adanya
khitbah berlaku diantara mereka.
Dalam Fiqh Sunnah”Sayyid Sabiq” maksud dari
meminang adalah seorang laki-laki meminta kepada
seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara
yang sudah umum berlaku di tengah-tengah masyarakat.
Meminang termasuk usaha pendahuluan dalam rangka
pernikahan. Peminangan itu disyari’atkan dalam suatu
perkawinan yang waktu pelaksanaannya diadakan sebelum
berlansungnya akad nikah. Keadaan ini pun sudah
membudaya di tengah masyarakat dan dilaksanakan
sesuai dengan tradisi masyarakat setempat. Khitbah
merupakan tahapan sebelum perkawinan yang dibenarkan oleh syara’
dengan maksud agar perkawinan dapat dilaksanakan berdasarkan
pengetahuan serta kesadaran masing-masing pihak.

B. Hukum Peminangan
Imam al-Nawawi menyatakan bahwa hukum peminangan adalah
sunnah, akan tetapi Imam an-Nawawi menegaskan bahwa pendapat dalam
Madzhab Syafi’iyah menghukumi peminangan sebagai sesuatu yang
mubah.
Syaikh Nada Abu Ahmad mengatakan bahwa pendapat yang
dipercaya oleh para pengikut Syafi’i yaitu pendapat yang mengatakan
bahwa hukum khitbah adalah sunnah, sesuai dengan perbuatan Rasulullah
dimana beliau meminang Aisyah binti Abu Bakar. Sebagian ulama yang
lain berpendapat bahwa hukum khitbah sama dengan hukum pernikahan,
yaitu wajib, sunnah, makruh, haram, atau mubah.
Menurut Syaikh Syihabuddin al-Qalyubi khitbah memiliki hukum
yang sama dengan pernikahan yaitu wajib, sunnah, makruh, haram, atau
mubah. Sunnah apabila pria yang akan meminang termasuk pria yang
sunnah untuk menikah, makruh apabila pria yang akan meminang
termasuk pria yang makruh untuk menikah, hal tersebut dikarenakan
hukum sarana mengikuti hukum tujuan.
Khitbah dihukumi haram apabila meminang wanita yang sudah
menikah, meminang wanita yang ditalak raj’i sebelum habis masa
iddahnya, dan peminangan yang dilakukan oleh lelaki yang telah memiliki
empat orang istri. Khitbah menjadi wajib bagi orang yang khawatir dirinya
akan terjerumus dalam perzinahan jika tidak segera meminang dan
menikah. Sedangkan khitbah dihukumi mubah apabila wanita yang
dipinang kosong dari pernikahan serta tidak ada halangan hukum untuk
dilamar.
C. Syarat-syarat Peminangan

Syarat-syarat meminang ada dua macam, yaitu:

1. Syarat mustahsinah
Syarat mustahsinah adalah syarat yang merupakan anjuran pada
laki-laki yang hendak meminang agar meneliti wanita yang akan
dipinangnya sebelum melangsungkan peminangan. Syarat mustahsinah
tidak wajib untuk dipenuhi, hanya bersifat anjuran dan baik untuk
dilaksanakan. Sehingga tanpa adanya syarat ini, hukum peminangan
tetap sah.
Syarat-syarat mustahsinah tersebut adalah:
a. Wanita yang dipinang hendaknya sekufu atau sejajar dengan laki-
laki yang meminang. Misalnya sama tingkat keilmuannya, status
sosial, dan kekayaan.
b. Meminang wanita yang memiliki sifat kasih sayang dan peranak.
c. Meminang wanita yang jauh hubungan kekerabatannya dengan
lelaki yang meminang. Dalam hal ini sayyidina ‘Umar bin Khattab
mengatakan bahwa perkawinan antara seorang lelaki dan wanita
yang dekat hubungan darahnya akan melemahkan jasmani dan
rohani keturunannya.
d. Mengetahui keadaan jasmani, akhlak, dan keadaan-keadaan
lainnya yang dimiliki oleh wanita yang akan dipinang.
2. Syarat lazimah
Syarat lazimah ialah syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan
dilakukan. Sah tidaknya peminangan tergantung pada adanya syarat-
syarat lazimah. Syarat-syarat tersebut adalah:
a. Tidak berada dalam ikatan perkawinan sekalipun telah lama
ditinggalkan oleh suaminya.
b. Tidak diharamkan untuk menikah secara syara’. Baik keharaman
itu disebabkan oleh mahram mu’abbad, seperti saudari kandung
dan bibi, maupun mahram mu’aqqat (mahram sementara) seperti
saudari ipar. Adapun penjelasan tentang wanita-wanita yang haram
dinikahi  terdapat dalam firman Allah surat an-Nisa’ ayat 22-23.
c. Tidak sedang dalam masa iddah. Ulama sepakat atas keharaman
meminang atau berjanji untuk menikah secara jelas (sarih) kepada
wanita yang sedang dalam masa iddah, baik iddah karena kematian
suami maupun iddah karena terjadi talaq raj’iy maupun ba’in.
Allah SWT. berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 235: 
Artinya: “Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-
perempuan itu dengan sindiran atau kamu sembunyikan
(keinginanmu) dalam hati. Allah mengetahui bahwa kamu
akan menyebut-nyebut kepada mereka. Tetapi janganlah kamu
membuat perjanjian (untuk menikah) dengan mereka secara
rahasia, kecuali sekedar mengatakan kata-kata yang baik”.
Adapun meminang wanita yang sedang dalam masa iddah
secara sindiran, maka ketentuannya adalah sebagai berikut:
a. Iddah wanita karena suaminya wafat. Dalam hal ini, ulama
sepakat bahwa boleh melakukan pinangan secara kinayah
(sindiran). Karena hak suami sudah tidak ada.
b. Tidak dalam talaq raj’iy. Ulama sepakat bahwa haram
meminang wanita yang dalam masa iddah karena talaq raj’iy,
sekalipun dengan cara sindiran. Karena dalam masa iddah
karena talaq raj’iy, suami wanita tersebut masih memiliki hak
atas dirinya.
c. Pendapat ulama mengenai hukum meminang wanita yang
sedang dalam talaq ba’in, baik sugra maupun kubra, yaitu:
 Ulama Hanafiyah mengharamkan pinangan pada
wanita yang sedang dalam talaq ba’in dengan alasan
dalam talaq ba’in sugra  suami masih memiliki hak
untuk kembali pada istri dengan akad yang baru.
Sedangkan dalam talaq ba’in kubra, keharamannya
disebabkan karena dikhawatirkan dapat membuat
wanita itu berbohong tentang batas akhir iddahnya, dan
bisa jadi lelaki yang meminang wanita tersebut
merupakan penyebab dari kerusakan perkawinan yang
sebelumnya.
d. Tidak dalam pinangan orang lain. Hukum meminang pinangan
orang lain adalah haram, karena dapat menghalangi hak dan
menyakiti hati peminang pertama, memecah belah hubungan
kekeluargaan, dan mengganggu ketentraman. Berdasarkan
hadits nabi saw.:
ِ ‫ع َْن َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن ْب ِن َش َما َسةَ أَنَّهُ َس ِم َع ُع ْقبَةَ ْبنَ عَا ِم ٍر َعلَى ْال ِم ْنبَ ِر يَقُو ُل إِ َّن َرسُو َل هَّللا‬
‫ال ْال ُم ْؤ ِمنُ أَ ُخو ْال ُم ْؤ ِم ِن فَالَ يَ ِحلُّ لِ ْل ُم ْؤ ِم ِن أَ ْن يَ ْبتَا َع َعلَى بَي ِْع‬
َ َ‫صلَّى هللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
َ
ْ ‫ب َعلَى ِخ‬
)‫طبَ ِة أَ ِخي ِه َحتَّى يَ َذ َر (رواه مسلم‬ َ ُ‫أَ ِخي ِه َوالَ يَ ْخط‬
Artinya: “Dari ‘Abdurrahman bin Syamasah, ia mendengar
‘Uqbah bin ‘A>mir mengatakan di Minbar bahwa Rasulullah
saw. bersabda: “Seorang mukmin adalah saudara bagi
mukmin lainnya, maka tidak halal baginya untuk membeli
barang yang dibeli saudaranya, dan jangan meminang
pinangan saudaranya hingga ia meninggalkannya.”
.
Meminang wanita yang telah dipinang orang lain dihukumi
haram apabila perempuan tersebut talah menerima pinangan
yang pertama dan walinya telah jelas-jelas mengizinkannya.
Sehingga peminangan tetap diperbolehkan apabila:
a. Wanita atau walinya menolak pinangan pertama secara
terang-terangan maupun sindiran.
b. Laki-laki kedua tidak tahu bahwa wanita tersebut telah
dipinang oleh orang lain.
c. Peminangan pertama masih dalam tahap musyawarah.
d. Lelaki pertama membolehkan lelaki kedua untuk
meminang wanita. Jika seorang wanita menerima pinangan
lelaki kedua dan menikah dengannya setelah ia menerima
pinangan pertama, maka ulama berbeda pendapat, yaitu:
 Menurut mayoritas ulama, pernikahannya tetap sah,
karena meminang bukan syarat sah perkawinan.
Oleh karena itu, pernikahannya tidak boleh difasakh
sekalipun mereka telah melanggar ketentuan
khitbah.
 Imam Abu Daud berpendapat bahwa pernikahan
dengan peminang kedua harus dibatalkan baik
sesudah maupun sebelum persetubuhan.
 Pendapat ketiga berasal dari kalangan Malikiyah
yang menyatakan bahwa bila dalam perkawinan itu
telah terjadi persetubuhan, maka perkawinan
tersebut tidak dibatalkan, sedangkan apabila dalam
perkawinan tersebut belum terjadi persetubuhan,
maka perkawinan tersebut harus dibatalkan.

Perbedaan pendapat diantara ulama di atas


disebabkan oleh perbedaan dalam menanggapi
pengaruh pelarangan terhadap batalnya sesuatu yang
dilarang. Pendapat yang mengatakan bahwa
perkawinannya sah beranggapan bahwa larangan tidak
menyebabkan batalnya apa yang dilarang, sedangkan
pendapat yang mengatakan bahwa perkawinan tidak sah
dan harus dibatalkan beranggapan bahwa larangan
menyebabkan batalnya sesuatu yang dilarang.

D. Tata Cara Peminangan


Seorang lelaki yang ingin menyampaikan kehendak untuk
meminang wanita, maka ia perlu mengetahui keadaan wanita tersebut. Jika
wanita yang ingin ia lamar termasuk wanita mujbiroh, maka kehendak
untuk meminangnya disampaikan pada wali wanita tersebut. Rasulullah
saw. bersabda:
ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫ى‬ َّ ِ‫ك ع َْن عُرْ َوةَ أَ َّن النَّب‬ ٍ ‫ْث ع َْن يَ ِزي َد ع َْن ِع َرا‬ ُ ‫َح َّدثَنَا َع ْب ُد هَّللا ِ بْنُ يُوسُفَ َح َّدثَنَا اللَّي‬
ِ ‫ فَقَا َل أَ ْنتَ أَ ِخى فِى ِدي ِن هَّللا‬، ‫ك‬ َ ‫ب عَائِ َشةَ إِلَى أَبِى بَ ْك ٍر فَقَا َل لَهُ أَبُو بَ ْك ٍر إِنَّ َما أَنَا أَ ُخو‬
َ َ‫َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َخط‬
‫َو ِكتَابِ ِه َو ِه َى لِى َحالَ ٌل‬
Artinya: ‘Abdullah bin Yusuf menceritakan bahwa Lays bercerita dari
Yazid dari ‘Irak dari ‘Urwah bahwa Nabi Muhammad saw. meminang
‘Aisyah pada Abu Bakr, lalu Abu Bakr berkata pada Nabi:
“Sesungguhnya aku adalah saudaramu”, lalu Nabi saw. bersabda:
“Engkau adalah saudaraku dalam agama dan kitab Allah, dan dia
(‘Aisyah) halal bagiku.”
Apabila wanita yang ingin ia lamar sudah baligh, maka ia bisa
menyampaikan kehendak untuk meminang kepada walinya atau
menyampaikan kepada wanita tersebut secara langsung, berdasarkan sabda
Rasulullah saw. berikut:
‫ت‬ٍ ‫ت أَىُّ ْال ُم ْسلِ ِمينَ َخ ْي ٌر ِم ْن أَبِى َسلَ َمةَ أَ َّو ُل بَ ْي‬ُ ‫ت فَلَ َّما َماتَ أَبُو َسلَ َمةَ قُ ْل‬ ْ َ‫ع َْن أُ ِّم َسلَ َمةَ أَنَّهَا قَال‬
‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه‬ َ ِ ‫ُول هَّللا‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ثُ َّم ِإنِّى قُ ْلتُهَا فَأ َ ْخلَفَ هَّللا ُ لِى َرس‬
َ ِ ‫هَا َج َر إِلَى َرسُو ِل هَّللا‬
ُ ‫ب ْبنَ أَبِى بَ ْلتَ َعةَ يَ ْخطُبُنِى لَهُ فَقُ ْل‬
‫ت إِ َّن لِى‬ ِ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َح‬
َ ‫اط‬ َّ َ‫ت أَرْ َس َل إِل‬
َ ِ ‫ى َرسُو ُل هَّللا‬ ْ َ‫َو َسلَّ َم قَال‬

‫بِ ْنتًا َوأَنَا َغيُو ٌر‬.


Artinya: Dari Ummu Salamah bahwasanya dia berkata “Ketika
Abu Salamah wafat, aku berkata siapakah diantara orang-orang islam
yang lebih baik dari Abu Salamah, dia dan keluarganya pertama kali
hijrah pada Rasulullah saw.? Kemudian aku mengucapkan kalimat
istirja’, lalu Allah memberi ganti kepadaku yakni Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.” Ummu Salamah berkata: “Rasulullah mengutus Hatib
bin Abi Balta’ah agar melamarku untuk beliau, lalu aku berkata:
Sesungguhnya aku memiliki seorang anak dan aku adalah wanita
pencemburu.”
Cara penyampaian kehendak peminangan dapat dibedakan menjadi
dua macam, yaitu secara jelas (sarih) dan secara sindiran (kinayah).
Peminangan dikatakan sarih apabila peminang melakukannya dengan
perkataan yang dapat dipahami secara langsung, seperti “aku ingin
menikahi Fulanah”. Peminangan secara kinayah dilakukan dengan cara
peminang menyampaikan kehendaknya secara sindiran atau memberi
tanda-tanda kepada wanita yang hendak dilamar (bi al-kinayah aw al-
qarinah). Seperti: kamu telah pantas untuk menikah.
Peminangan sunnah dimulai dengan bacaan hamdalah dan pujian-
pujian pada Allah SWT. serta salawat pada Rasulullah saw. yang
dilanjutkan dengan wasiat untuk bertaqwa kepada Allah SWT., setelah itu
barulah lelaki yang akan meminang menyampaikan keinginannya.
Kesunnahan ini hanya berlaku bagi khitbah yang boleh dilakukan secara
terang-terangan, tidak pada khitbah yang hanya boleh dilakukan dengan
cara sindiran
E. Akibat Peminangan
Khitbah adalah perjanjian untuk mengadakan pernikahan, bukan
pernikahan. Sehingga terjadinya khitbah tidak menyebabkan bolehnya hal-
hal yang dihalalkan sebab adanya pernikahan. Akan tetapi, sebagaimana
janji pada umumnya, janji dalam peminangan harus ditepati dan
meninggalkannya adalah perbuatan tercela.
Khitbah tidak memiliki implikasi hukum sebagaimana yang
dimiliki oleh akad nikah, hubungan seorang lelaki dan perempuan yang
terikat dalam khitbah tetap seperti orang asing, sehingga khalwat di antara
mereka dapat dihukumi haram. Akan tetapi, jika ada mahram yang
menemani mereka, maka hal ini diperbolehkan. Berdasarkan hadits
Rasulullah saw. yang berbunyi:
)‫اَل يَ ْخلُ َو َّن َر ُج ٌل بِا ْم َرأَ ٍة اَل ت َِحلُّ لَهُ فَإ ِ َّن ال َّش ْيطَانَ ثَالِثُهُ َما (رواه احمد‬
Artinya: “Jangan sekali-kali seorang lelaki menyendiri dengan
perempuan yang   tidak halal baginya, karena ketiganya adalah syaitan”
Khalwat adalah berduanya seorang lelaki dan perempuan yang
bukan mahram dan belum terikat dalam perkawinan dalam suatu tempat.
Oleh karena itu, sebelum melangsungkan perkawinan, mereka dilarang
untuk berdua dalam satu tempat.
Hadits di atas menyatakan bahwa hukum khalwat adalah haram,
namun ternyata ada pula khalwat yang diperbolehkan. Khalwat yang
diharamkan adalah khalwat yang tidak terlihat dari pandangan orang
banyak sedangkan khalwat yang diperbolehkan adalah khalwat yang
dilakukan di depan orang banyak, sekalipun mereka tidak mendengar apa
yang menjadi pembicaraan lelaki dan perempuan tersebut. Berdasarkan
hadits di bawah ini:
ِ‫ار ِإلَى َرسُوْ ِل هللا‬ ِ ‫ص‬ َ ‫ت ا ْم َرأَةٌ ِمنَ األَ ْن‬ ِ ‫ َجا َء‬: ‫ك يَقُوْ ُل‬ َ ‫ْت أَن‬
ٍ ِ‫َس ْبنَ َمال‬ ُ ‫ع َْن ِه َش ِام ْب ِن زَ ْي ٍد َس ِمع‬
‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َوقَا َل َوالَّ ِذيْ نَ ْف ِس ْي بِيَ ِد ِه إِنَّ ُك ْم‬ َ َ‫ ق‬.‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ‫ال فَخَاَل بِهَا َرسُوْ ُل هللا‬ َ
)‫ (رواه مسلم‬ ‫ت‬ َ ‫ي ثَاَل‬
ٍ ‫ث َمرَّا‬ ِ َّ‫أَل َ َحبُّ الن‬ 
َّ َ‫اس إِل‬
Artinya: “Datang seorang wanita dari kaum Ansar kepada Nabi
sallallahu ‘alaihi wa sallam lalu Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam
berkhalwat dengannya, kemudian berkata, “Demi Allah kalian (kaum
Ansar) adalah orang-orang yang paling aku cintai.”
Hal yang diperbolehkan bahkan disunnahkan dalam khitbah adalah
melihat wanita yang dikhitbah. Ada dua jenis melihat wanita yang
dikhitbah, yaitu:
1. Mengirim utusan untuk melihat keadaan wanita itu, baik sifat,
kebiasaan, akhlak, maupun penampilannya. Berdasarkan hadits
Rasulullah dalam riwayat Anas bin Malik yang artinya: “Rasulullah
saw. mengirim Ummu Sulaym kepada seorang wanita, lalu Rasulullah
memerintahkan untuk memperhatikan pundak, leher, dan bau wanita
tersebut”
2. Melihat pinangan secara langsung. Berdasarkan hadits dari Jabir bin
‘Abdillah r.a:
،‫ ا ْنظُرْ إِلَ ْيهَا‬: ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َّ ِ‫ يَ ْعنِي النَّب‬- ‫ فَقَا َل‬، ً‫ب ا ْم َرأَة‬
َ ‫ي‬ َ َ‫ َر ُج ٌل خَ ط‬: َ‫ع َْن أَبِي هُ َر ْي َرة‬
)‫ار َش ْي ًئ (رواه احمد‬ ِ ‫ص‬ َ ‫فَإ ِ َّن فِي أَ ْعيُ ِن األَ ْن‬

Artinya: “Dari Abi Hurayrah: Seorang lelaki meminang seorang


wanita, lalu Rasulullah saw. bersabda: Lihatlah wanita tersebut,
sesungguhnya pada mata orang-orang anshar terdapat sesuatu”.
Sekalipun ulama telah sepakat tentang kebolehan melihat wanita
yang dipinang, tetapi mereka memberi batasan terhadap apa saja yang
boleh dilihat. Ulama berbeda pendapat dalam menentukan batasan
yang boleh dilihat, yaitu:
a. Mayoritas ulama berpendapat bahwa yang boleh dilihat adalah
wajah dan kedua telapak tangan.
b. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa bagian yang boleh dilihat
adalah wajah, telapak tangan, dan kaki.
c. ‘Abdurrahman al-Awzai berpendapat bahwa boleh melihat daerah-
daerah yang berdaging.
d. Imam Daud az-Zahiri berpendapat bahwa seluruh badan wanita
yang dipinang boleh dilihat.
e. Menurut ulama Mazhab Hanbali bagian yang boleh dilihat terdapat
pada 6 tempat, yaitu muka, pundak, kedua telapak tangan, kedua
kaki, kepala (leher) dan betis.
Perbedaan pendapat diantara ahli fikih ini terjadi karena hadis yang
menjadi dasar kebolehan melihat pinangan hanya membolehkan secara
mutlak, tanpa menentukan anggota tubuh mana yang boleh dilihat.
Ulama fikih sepakat bahwa kebolehan melihat pinangan tidak hanya
berlaku pada lelaki saja, akan tetapi wanita juga boleh melihat lelaki
yang meminangnya.
Waktu melihat kepada perempuan yang hendak dipinang adalah
ketika hendak menyampaikan pinangan, bukan setelah menyampaikan
pinangan. Karena jika ia telah melihat perempuan tersebut sebelum
pinangan disampaikan, ia dapat meninggalkan perempuan itu tanpa
menyakitinya jika ternyata ia tidak suka pada perempuan itu setelah
melihatnya.
F. Meminang Perempuan dalam Masa Iddah
1. Wanita Ber-iddah Talak Raj’i
Para fuqoha’ sepakat keharaman meminang dalam masa tunggu
(iddah) talak raj’i (suami boleh kembali kepada istri karena talaknya
belum mencapai ketiga kalinya) baik menggunakan bahasa yang tegas
(sharih) atau bahasa sindiran (kinayah). Sang istri yang tertalak raj’I
masih berstatus istri dan hak suami atas istri masih eksis selama masih
dalam masa iddah. Suami boleh ruju’ (kembali) tanpa minta kerelaan
daripadanya kapanpun, tidak perlu akad dan mahar baru selama masih
berada dalam masa iddah.
Diharamkan bagi laki-laki lain melakukan khitbah pada wanita
dalam masa iddah karena khitbah dalam kondisi ini berarti melawan
hak suami pencerai, menodai perasaanya, dan merampas haknya dalam
mengembalikan istri tercerai ke pangkuannya karena terkadang wanita
itu mempunyai anak yang masih kecil yang kemudian bias terlantar
karenanya.
2. Wanita Ber-iddah Talak Ba’in
Tidak ada perselisihan di kalangan fuqoha’, bahwa tidak boleh
meminang wanita masa iddah talak ba’in qubro (talak ba’in besar
yakni talak tiga kali cerai) dengan kalimat yang jelas. Kecuali dengan
menggunakan kalimat samara atau sindiran, jumhur ulama
memperbolehkan sekalipun ulama Hanafiyah tidak
memperbolehkan. Jumhur ulama itu adalah ulama Al-Malikiyah, Asy-
Syafi’iyah, dan Hanabilah dengan dalil nash Al-Qur’an, sunnah, dan
rasio.
Di antara Al-Qur’an yang dijadikan dasar adalah firman Allah :

َ ِّ ‫خطْبَةِ الن‬
ِ‫سآء‬ ِ ‫ن‬
ْ ‫م‬
ِ ِ‫م بِه‬
ْ ُ ‫ضت‬
ْ ‫ما ع ََّر‬
َ ْ ‫م فِي‬ْ ُ ‫ح ع َلَيْك‬ َ ‫جنَا‬ ُ َ ‫وَال‬
ْ ْ ‫م فِى أَن‬
‫ف‬ Fْ ُ ‫أَوْ أَكْنَنْت‬
Artinya : “Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-
perempuan itu dengan sindiran atau kamu sembunyikan
(keinginanmu) dalam hati” (QS. Al-Baqarah : 235)
Pada ayat diatas, kalimat tidak dosa meminang wanita dengan
kalimat sindiran memberi paham boleh (boleh hukumnya). Kata
“perempuan-perempuan” dalam ayat memberi faedah umum meliputi
semua wanita ber-iddah termasuk ber-iddah talak ba’in.
Dalil rasio (aqli) bolehnya meminang wanita ber-iddah talak ba’in
qubra, bahwa talak ini memutus hubungan  pasangan suami istri
karena ia menjadi haram, sementara bagi suami pencerai tidak ada
harapan kembali sebelum dinikahi laki-laki lain.

3. Wanita Ber-iddah Talak Ba’in Shughra


Wanita yang tertalak ba’in sughra dimaksud adalah wanita yang
telah tercerai dua kali. Wanita yang telah tercerai dua kali seperti ini
halal bagi suami rujuk kembali dengan akad nikah dan mahar baru dan
tidak dipersyaratkan seperti talak bain qubra. Mantan suami pencerai
tidak boleh menikahi kembali mantan istrinya sebelum dinikahi laki-
laki lain sampai telah bercampur benar sebagai pasangan suami istri
dan masing-masing telah mencicipi madunya.
Dalam hal ini fuqoha’ berbeda pendapat, menurut ulama Malikiyah
dan sebagian Syafi’iyah boleh meminang sindiran terhadap wanita
dalam mas iddah talak ba’in sughra dianalogikan dengan talak bain
qubra. Talak ba’in memutus hubungan suami istri, pinangan sindiran
tidak mengandung makna pinangan secara jelas. Wanita tidak akan
berpegang pada kalimat sindiran itu dan tidak membuat pengakuan
bohong tentang habisnya masa iddah.
Mayoritas fuqoha’ berpendapat keharaman melakukan pinangan
sindiran terhadap wanita tersebut. Dikarenakan dengan bolehnya
pinangan bagi selain suami pencerai, akan menimbulkan terjadinya
permusuhan antara keduanya, sementara suami pencerai berhak
kembali dengan akad dan mahar baru dan lebih utama daripada yang
lain.
4. Wanita Ber-iddah karena Khulu’ atau Fasakh
Wanita ber-iddah khulu’ (talak karena permohonan istri dengan
hadiah) atau karena fasakh nikah (ada sesuatu yang merusak keabsahan
nikah) karena suami miskin atau menghilang, tidak pernah pulang.
Hukum meminang sindiran terhadap kedua wanita tersebut terjadi
perbedaan pendapat di kalangan ulama sebagaimana meminang
sindiran terhadap wanita pada masa iddah dari talak ba’in sughra.
Fuqoha’ sepakat bahwa masing-masing wanita tersebut tidak boleh
dipinang secara jelas dari selain suami pencerai. Bagi semua pencerai
boleh saja memperjelas atau menyindir pinangan selain wanita ber-
iddah talak ba’in qubra.
5.  Wanita Ber-iddah karena Kematian Suami
Fuqoha’ sepakat tidak boleh meminang dengan jelas kepada wanita
yang masih dalam masa iddah karena kematian suami. Hikmah adanya
larangan tersebut pada umumnya dikarenakan dapat mendatangkan
berbagai bencena. Fuqoha’ juga sepakat diperbolehkannya meminang
dengan sindiran, hikmah diperbolehkannya sindiran dalam pinangan
disini bahwa hubungan antara suami dan istri telah selesai disebabkan
kematian sehingga tidak ada jalan menyatukan kembali antarmereka
berdua. Oleh karena itu, tidak ada permusuhan pada hak suami yang

Anda mungkin juga menyukai