Anda di halaman 1dari 17

Konsep Peminangan, Kafaah an Mahar Dalam Pernikahan

1. Konsep Peminangan (khitbah) dalam hukum islam


A. Pengertian meminang
Meminang maksudnya seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan
untuk menjadi isterinya dengan cara yang sudah umum berlaku di tengah-tengah
masyarakat. Meminang termasuk usaha pendahuluan sebelum dilakukan pernikahan,
agar kedua belah pihak saling mengenal sehingga pelaksanaan pernikahan nanti
benar-benar berdasarkan pandangan dan penilaian yang jelas.
Dikatakan oleh Hamdani bahwa meminang artinya permintaan seorang laki-laki
kepada anak perempuan orang lain atau seorang perempuan yang ada di bawah
perwalian untuk dikawini, sebagai pendahuluan nikah. Meminang adalah kebiasaan
Arab lama yang diteruskan oleh Islam. Meminang dilakukan sebelum terjadinya akad
nikah dan setelah dipilih masak-masak.
Dalam Islam istilah peminangan dikenal dengan nama Khitbah. Ulama fikih
mendefinisikannya dengan “menyatakan keinginan pihak laki-laki kepada pihak
wanita tertentu untuk mengawininya dan pihak wanita menyebarluaskan berita
pertunangan ini”.
Tata cara peminangan pada setiap daerah dan suku bangsa bisa berbeda,
karenanya ulama fikih tidak menyinggung permasalahan ini dalam uraian mereka
tentang peminangan. Bahkan Sayyid Sabiq menyatakan bahwa tata cara peminangan
ini dikembalikan kepada urf masing-masing masyarakat
Khitbah atau peminangan sebagai langkah awal suatu perkawinan dimaksudkan
agar masing-masing pihak (laki-laki dan perempuan) saling mengenal pribadi dan
identitas masing-masing sesuai dengan langkah-langkah yang dibolehkan syara’.
Melalui peminangan ini, masing-masing pihak bisa saling mengerti kondisi masing-
masing, sehingga dalam kehidupan runah tangga mereka nantinya dapat saling
menyesuaikan diri dan keharmonisan rumah tangga yang diinginkan Islam dapat
mereka ciptakan. Akan tetapi, ulama fikih menyatakan bahwa pertunangan yang
terjadi setelah peminangan tidak menimbulkan hak dan kewajiban apapun, sehingga
keduanya tetap menjadi orang asing satu sama lain yang belum terikat hak dan
kewajiban. Oleh sebab itu, apabila terjadi saling memberi hadiah dalam masa
pertunangan, sifatnya hanya pemberian biasa, dan tidak bisa diminta kembali apabila
pertunangan diputuskan kecuali dengan kerelaan masing-masing pihak.
Dilihat dari segi cara menyampaikan peminangan serta rumusan kata yang
dipergunakan dalam peminangan, terdapat dua macam peminangan, yaitu:
1) Peminangan secara tashrih
2) Peminangan secara ta’ridl
Peminangan tashrih ialah peminangan yang dilaksanakan dengan mempergunakan
rumusan kata yang secara jelas menunjukkan pernyataan permintaan untuk
memperisterikan seorang wanita yang dimaksud, serta menampakkan kesungguhan
hati untuk melakukannya sehingga dari rumusan kata tersebut tidak mungkin
difahamkan selain pernyataan kehendak memperisteri wanita yang dipinang itu.
Peminangan ta’ridl ialah peminangan yang dilaksanakan dengan mempergunakan
rumusan kata yang mengandung dua kemungkinan makna, yakni makna yang
nampak dari rumusan kata yang tidak dimaksud oleh peminang dan makna yang
dimaksud oleh peminang tetapi tidak nampak dari rumusan kata. Maksud peminang
tidak dipahamkan dari rumusan kata melainkan dari qarinah atau gejala lain.
B. Peminangan Menurut Hukum Islam
Peminangan atau disebut dengan istilah khitbah adalah sebagai langkah awal
suatu perkawinan dimaksudkan agar masing-masing pihak (laki-laki dan perempuan)
saling mengenal pribadi dan identitas masing-masing sesuai dengan langkah-langkah
yang diberikan oleh syara’. Melalui pinangan ini, masing-masing pihak bisa saling
mengerti kondisi masing-masing, sehingga dalam kehidupan rumah tangga mereka
nantinya dapat saling menyesuaikan diri dan keharmonisan rumah tangga yang
diinginkan Islam dapat mereka ciptakan.
Akan tetapi ulama fikih menyatakan bahwa pertunangan yang terjadi setelah
adanya peminangan tidak menimbulkan hak dan kewajiban. Oleh sebab itu, apabila
terjadi saling memberi hadiah dalam masa pertunangan, dan tidak bisa diminta
kembali apabila pertunangan diputuskan kecuali dengan kerelaan masing-masing
pihak.
Setelah seseorang mendapat kemantapan dalam menentukan wanita pilihannya,
maka hendaklah segera meminangnya. Laki-laki tersebut harus menghadap orang
tua/wali dari wanita pilihannya itu untuk menyampaikan kehendak hatinya, yaitu
meminta agar ia direstui untuk menikahi anaknya. Adapun wanita yang boleh
dipinang adalah bilamana memenuhi dua syarat sebagai berikut, yaitu:
 Pada waktu dipinang tidak ada halangan syar’i yang menyebabkan laki-laki
dilarang memperisterinya saat itu. Seperti karena suatu hal sehingga wanita
tersebut haram dinikahi selamanya (masih mahram) atau sementara (masa
iddah/ditinggal suami dan lain-lain).
 Belum dipinang orang lain secara sah, sebab Islam mengharamkan seseorang
meminang pinangan saudaranya.

‫ اَلْ ُمْؤ ِم ُن اَ ُخو اْملْؤ ِم ِن فَالَ حَيِ ُّل لِْل ُمْؤ ِم ِن‬:‫ال‬ ِ ‫عن ع ْقبةَ ب ِن ع ِام ٍر اَ َّن رسو َل‬
َ َ‫اهلل ص ق‬ ُْ َ َ ْ َ ُ َْ
ُ ِِ ِ ِ ِِ
‫ امحد و مسلم‬.‫حىَّت يَ َذ َر‬ َ ‫ب َعلَى خطْبَة اَخْيه‬ َ ُ‫اع َعلَى َبْي ِع اَخْيه َو الَ خَي ْط‬
َ َ‫اَ ْن َيْبت‬
Dari Uqbah bin Amir r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda: “Orang mukmin adalah
saudara mukmin yang lain. Maka tidak halal bagi seorang mukmin menjual barang
yang sudah dibeli saudaranya, dan tidak halal pula meminang wanita yang sudah
dipinang saudaranya, sehingga saudaranya itu meninggalkannya”.
Apabila seorang wanita memiliki dua syarat di atas maka haram bagi seorang laki-
laki untuk meminangnya. Islam adalah agama yang hanif yang mensyariatkan
pelamar untuk melihat wanita yang dilamar dan mensyariatkan wanita yang dilamar
untuk melihat laki-laki yang meminangnya, agar masing-masing pihak benar-benar
mendapatkan kejelasan tatkala menjatuhkan pilihan pasangan hidupnya.

Hal ini berdasarkan dari hadis Rasulullah saw yang berasal dari Jabir r.a., Rasulullah saw
bersabda:
َّ َ ‫ُأ‬ ُ َ ً ُ
‫ فخطبت جارية فكنت أتخبَّ لها حتى‬:‫ قا َل‬.‫كاحها فليفعل‬ َ
ِ ِ‫خطب أحدُك ُم المرأة فإ ِن استطا َع أن ينظ َر إلى ما يدعوهُ إلى ن‬
َ ‫إذا‬
ُ
‫وتزو ِجها فتزوَّجتها‬
ُّ ْ ُ
‫رأيت منها ما دعاني إلى نِكا ِحها‬

“Apabila salah seorang di antara kalian meminang seorang wanita, maka apabila ia
mampu hendaknya ia melihat kepada apa yang mendorongnya untuk menikahinya.”
Jabir berkata: “Maka aku meminang seorang budak wanita dan aku bersembunyi
untuk bisa melihat apa yang mendorong aku untuk menikahinya. Lalu aku
menikahinya.” (HR. Abu Daud dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani di dalam
Shahih Sunan Abu Daud).
Adapun ketentuan hukum yang diletakkan Islam dalam masalah pinangan ini
diantaranya adalah:
1) Dilarang berkhalwat dengan laki-laki peminang tanpa disertai mahram
2) Wanita yang dipinang tidak boleh berjabat tangan dengan laki-laki yang
meminangnya.

Apabila suatu peminangan telah disampaikan oleh laki-laki peminang kepada wanita
yang dipinang, walinya atau penanggungjawabnya, kemudian pinangan itu telah diterima
dan disetujui oleh wanita yang dipinang dan wali atau penanggungjawabnya, berarti
proses peminangan telah selesai dan telah terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak
untuk pada suatu ketika di masa yang akan datang melaksanakan akad nikah sesuai
dengan peraturan hukum syara’ yang berlaku. Dengan demikian kesepakatan dalam
peminangan hanyalah merupakan janji akan melaksanakan akad perkawinan pada waktu
yang akan datang, belum merupakan akad nikah yang sah yang menyebabkan kehalalan
hubungan sebagai suami isteri.

Oleh karena itu, meskipun peminangan telah berjalan dan diterima sebagaimana
mestinya, namun diterimanya peminangan tidak mengeluarkan wanita yang dipinang dari
kedudukannya sebagai wanita ajnabiyah (wanita lain yang bukan mahram laki-laki
peminang) sehingga berlaku sebagai wanita lain sebagaimana lazimnya orang bergaul.

Keadaan darurat wajib diukur sekedar yang diperlukan saja, setelah peminangan
terjadi, berarti telah hilang dengan sendirinya sifat darurat itu. Oleh karenanya menurut
syari’at Islam antara lak-laki peminang dan wanita yang dipinang tidak boleh berkhalwat
berdua (menyepi berdua tanpa dihadiri orang lain), meskipun keduanya telah bertunangan
dan hampir dipastikan akan kawin. Berkhalwat hanya dibenarkan antara suami isteri atau
antara pihak-pihak yang berhubungan mahram saja.

Dalam hal ini berlaku ketentuan Rasulullah saw bahwasanya dilarang seorang laki-
laki berkhalwat (menyepi) dengan seorang wanita kecuali bersama mahramnya, juga
berlaku sabda Rasulullah saw yang menyatakan bahwa dua orang berlainan jenis yang
telah sama-sama dewasa jika berkhalwat berdua, maka setanlah yang akan menjadi orang
ketiga. Hal ini menujukkan bahwa godaan setan akan menyelinap di hati keduanya yang
menyepi tersebut, sehingga memberi jalan terjadinya perbuatan mesum atau perbuatan
keji dan terkutuk oleh agama.

Berdasarkan hal tersebut, sekiranya peminang ingin bertemu dengan wanita yang
dipinang sekedar berbincang-bincang, haruslah di hadapan atau dihadiri oleh salah
seorang di antara keluarga atau mahram wanita tersebut. Hal ini diperlukan untuk saling
menjaga nama baik dan memelihara diri dari pergunjingan orang banyak. Ikatan dalam
peminangan belum merupakan ikatan hukum yang kokoh, masih terdapat kemungkinan
dan peluang, baik pada peminang maupun yang dipinang, untuk mencabut kembali
pinangannya, yakni pembatalan peminangan dan pengurungan akad perkawinan

C. Kedudukan Peminangan Ditinjau dari Hukum Islam

Hal ihwal peminangan dalam hukum perkawinan Islam diatur berdasarkan Alquran, As Sunnah
serta ijtihad yakni upaya mujtahid dalam mengistinbatkan hukum.Ayat Alquran yang menjadi
dasar peminangan ialah surat al-Baqarah ayat 235:
‫طبَ ِة ٱلنِّ َسٓا ِء َأوْ َأ ْكنَنتُ ْم فِ ٓى َأنفُ ِس ُك ْم ۚ َعلِ َم ٱهَّلل ُ َأنَّ ُك ْم َست َْذ ُكرُونَه َُّن َو ٰلَ ِكن اَّل‬
ْ ‫َواَل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم فِي َما َعرَّضْ تُم بِ ِهۦ ِم ْن ِخ‬
‫اح َحتَّ ٰى يَ ْبلُ َغ ْٱل ِك ٰتَبُ َأ َجلَهۥُ ۚ َوٱ ْعلَ ُم ٓو ۟ا َأ َّن ٱهَّلل َ يَ ْعلَ ُم َما‬ ۟ ‫وا قَوْ اًل َّم ْعرُوفًا ۚ َواَل تَع‬
ِ ‫ْز ُموا ُع ْق َدةَ ٱلنِّ َك‬ ِ
۟ ُ‫تُ َوا ِعدُوه َُّن ِس ًّرا ٓاَّل َأن تَقُول‬
‫ِإ‬
ُ ‫هَّلل‬ ‫َأ‬ ۟
‫فِ ٓى نف ِس ُك ْم فَٱحْ َذرُوهُ ۚ َوٱ ْعلَ ُم ٓوا َّن ٱ َ َغفو ٌر َحلِي ٌم‬ ُ ‫َأ‬

“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita itu (yang suaminya telah meninggal dan masih
dalam masa iddah) dengan sindiran yang baik atau kamu menyembunyikan dalam hatimu. Allah
mengetahui bahwa kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar
mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf (baik). Dan janganlah kamu berazam
(bertetap hati) untuk berakad nikah sebelum habis iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah
mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah
maha Pengampun lagi Maha Penyantun”.

As Sunnah yang menjadi dasar bagi peminangan antara lain ialah hadis riwayat
Ibnu Umar yang menyatakan bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
‫الر ُج ُل َعلَى ِخطْبَ ِة اَ ِخْي ِه َحىَّت َيْتُر َك‬
َّ ‫ب‬ُ ُ‫ الَ خَي ْط‬:‫ال‬
ِ ‫ع ِن اب ِن عمر رض اَ َّن رسو َل‬
َ َ‫اهلل ص ق‬ ُْ َ ََ ُ ْ َ
ِ ِ
‫ امحد و البخارى و النسائى‬.‫ب‬ُ ‫ب َقْبلَهُ اَْو يَْأ َذ َن لَهُ اْخَلَاط‬
ُ ‫اْخلَاط‬
“Janganlah seorang di antaramu meminang di atas pinangan saudaranya sehingga
peminang yang terdahulu itu melepaskannya atau mengizinkannya”.
Hadis riwayat Jabir yang menyatakan bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
“Jika salah seorang di antaramu meminang seorang wanita, maka kiranya dapat
melihat sesuatu pada waktu itu yang menarik untuk mengawininya, hendaklah hal itu
dilakukan”.
Hadis riwayat Abu Hanifah yang menyatakan bahwasanya Nabi Muhammad saw
bersabda kepada seorang laki-laki yang akan mengawini seorang: “Apakah engkau
sudah melihatnya?” Laki-laki itu menjawab: “belum, lalu Rasulullah saw bersabda:
“Pergilah, kemudian lihatlah wanita itu”.
Ayat 235 surat al-Baqarah menerangkan boleh meminang secara ta’ridl wanita
yang ditinggal mati oleh suaminya dalam menjalani iddahnya dan larangan meminang
secara tashrih sampai berakhirnya iddah wanita tersebut.
Hadis riwayat Ibnu Umar menjadi petunjuk adanya larangan Rasulullah saw bagi
kaum muslimin agar tidak melakukan peminangan di atas peminangan saudaranya
sesama muslim, berarti kewajiban menghormati hak peminangan yang telah ada serta
tidak melanggar hak dimaksud. Hadis ini juga mengandung makna pengokohan yang
jelas dari Rasulullah saw, bahwa peminangan itu disyariatkan dalam Hukum Islam
dan dibolehkan (mubah) dalam arti peminangan merupakan perbuatan hukum yang
dibenarkan, yang pada akhirnya melahirkan konsekuensi orang lain wajib
menghormatinya serta dilarang mengganggunya.
Hadis riwayat Abu Hurairah menjadi petunjuk adanya anjuran Rasulullah saw
bagi peminang untuk melihat dan memerhatikan hal ihwal wanita yang dipinang agar
lebih memantapkan hati peminang, sebagai sarana penunjang bagi keserasian hidup
bersama yang akan dibina.
Mayoritas fuqaha (ahli hukum Islam) berpendapat bahwa hukum asal
peminangan adalah mubah (boleh) dan dalam keadaan tertentu menjadi haram.
Peminangan secara ta’ridl kepada wanita yang ditalak raj’i oleh suaminya (talak yang
memungkinkan suami merujuk kembali bekas isterinya) dalam menjalani iddahnya
tidak dibolehkan, lebih-lebih peminangan secara tashrih. Juga diharamkan
peminangan di atas peminangan jika wanita terpinang mempunyai kecenderungan
kepada peminang pertama, sedangkan peminang pertama itu bukan orang fasik.
Diharamkan pula peminangan secara tashrih kepada wanita dalam menjalani iddah
talak atau pun iddah wafat (ditinggal mati).
Ulama mazhab Syafi’iyah menurut pendapat yang kuat menyatakan, bahwa
hukum peminangan sama dengan hukum perkawinan, karena peminangan itu
berkaitan dengan perkawinan. Oleh karena itu jika akad perkawinan yang akan
dilaksanakan itu hukumnya sunnat, maka peminangannya pun menjadi sunnat
hukumnya, jika akad perkawinan dimaksud makruh, maka peminangannya pun
menjadi makruh, jika akad perkawinan yang dimaksud wajib, maka peminangannya
pun menjadi wajib pula. Dalam hal ini dipergunakan kaidah menetapkan hukum bagi
sarana, sama dengan kedudukan hukum sesuatu yang dituju.
Perlu dicatat bahwa pada hakikatnya secara hukum, wanita yang ditalak dengan
talak raj’i selama dalam menjalani masa iddahnya dipandang sebagai isteri bekas
suami yang menalaknya, sebab si suami masih mempunyai hak untuk mengawini
kembali bekas istrinya, sehingga orang lain tidak boleh meminang bekas isteri
dimaksud sama dengan keharaman meminang wanita yang bersuami.
Ada pun wanita yang ditalak tiga kali suaminya, atau telah terjadi talak ba’in atau
ditinggal mati suaminya, oleh karena masih terikat status perkawinan selama dalam
masa iddah tersebut, yakni adanya pengaruh perkawinan yang pernah dijalaninya,
maka dalam masa dimaksud, orang lain dilarang meminangnya demi menghormati
hak bekas suami yang menalaknya atau suami yang telah meninggal dunia.
Disamping itu juga untuk menghilangkan berbagai prasangka.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dalam kaitannya dengan status
hukum peminangan, dapat dirumuskan beberapa hal sebagai berikut:
 Dihalalkan meminang wanita yang tidak terikat oleh perkawinan, tidak dalam
menjalani iddah, tidak terdapat larangan kawin, serta tidak dalam peminangan
orang lain.
 Diharamkan meminang wanita bersuami, baik peminangan secara tashrih
maupun ta’ridl.
 Diharamkan laki-laki selain bekas suami meminang secara tashrih terhadap
wanita (bekas isteri) yang menjalani masa iddah, baik karena talak ba’in, talak
raj’i, ditinggal mati oleh suami, ataupun karena perkawinan yang difasakhkan.
 Dihalakan meminang secara ta’ridl terhadap isteri yang ditinggal mati oleh
suaminya selama menjalani iddah.
 Dihalalkan meminang secara ta’ridl terhadap isteri yang ditinggal mati oleh
suaminya selama dalam menjalani iddah.
 Diharamkan laki-laki selain bekas suami meminang secara ta’ridl terhadap
bekas isteri yang sedang menjalani iddah raj’i.
Seorang muslim apabila berkehendak untuk menikah dan mengarahkan niatnya
untuk meminang seorang perempuan tertentu, diperbolehkan melihat perempuan
tersebut sebelum ia melangkah ke jenjang perkawinan, supaya dia dapat menghadapi
perkawinannya itu dengan jelas dan terang, dan supaya tidak tertipu. Sehingga
dengan demikian, dia dapat selamat dari berbuat salah dan jatuh ke dalam sesuatu
yang tidak diinginkan. Ini adalah justru karena mata merupakan duta hati dan
kemungkinan besar bertemunya mata dengan mata itu menjadi sebab dapat
bertemunya hati dan berlarutnya jiwa.
Dari Mughirah bin Syu’bah bahwa dia pernah meminang seorang perempuan.
Kemudian Nabi saw mengatakan kepadanya: “Lihatlah dia! Karena melihat itu lebih
dapat menjamin mengekalkan kamu berdua”. Kemudian Mughirah pergi kepada dua
orang tua perempuan tersebut, dan memberitahukan apa yang diomongkan di atas,
tetapi tampaknya kedua orang tuanya itu tidak suka. Si perempuan tersebut
mendengar dari dalam biliknya, kemudian ia mengatakan: “Kalau Rasulullah
menyuruh kamu supaya melihat aku, maka lihatlah. Kata Mughirah: “Saya lantas
melihatnya dan kemudian mengawininya”. (Riwayat Ahmad, Ibnu Majah, Tarmizi
dan ad-Darimi).
Dalam hadis ini Rasulullah tidak menentukan batas ukuran yang boleh dilihat,
baik kepada Mughirah maupun kepada lain-lainnya. Justru itu sebagian ulama ada
yang berpendapat: yang boleh dilihat yaitu muka dan dua telapak tangan, tetapi muka
dan dua tapak tangan yang boleh dilihat itu tidak ada syahwat pada waktu tidak
bermaksud meminang. Selama peminangan itu dikecualikan, maka sudah seharusnya
si laki-laki tersebut boleh melihat lebih banyak dari hal-hal yang biasa. Dalam hal ini
Rasulullah saw pernah bersabda dalam salah satu hadisnya sebagai berikut: “Apabila
salah seorang di antara kamu hendak meminang seorang perempuan, kemudian dia
dapat melihat sebahagian apa yang kiranya dapat menarik untuk mengawininya, maka
kerjakanlah”. (Riawayat Abu Daud).
Sementara ulama ada yang sangat ekstrim dalam memberikan kebebasan batas
yang boleh dilihat, dan sementara ada juga yang ekstrim dengan mempersempit dan
keras. Tetapi yang lebih baik ialah tengah-tengah. Justru itu sebahagian ulama
memberikan batas bahwa seorang laki-laki di zaman sekarang ini boleh melihat
perempuan yang hendak dipinang dengan berpakaian yang boleh dilihat oleh ayah
dan mahram-mahramnya yang lain.
Selanjutnya mereka berkata si laki-laki itu boleh pergi bersama wanita tersebut
dengan syarat disertai oleh ayah atau salah seorang mahramnya dengan pakaian
menurut ukuran syara’ ke tempat yang boleh dikunjungi untuk mengetahui
kecerdikannya, perasaannya dan kepribadiannya. Semua ini termasuk kata sebagian
yang disebut dalam hadis Nabi di atas yang mengatakan: “kemudian dia dapat melihat
sebagian apa yang kiranya dapat menarik dia untuk mengawininya”.
Dibolehkan juga si laki-laki melihat perempuan dengan sepengetahuan
keluarganya; atau sama sekali tanpa sepengetahuan dia atau keluarganya, selama
melihatnya itu bertujuan untuk meminang. Seperti apa yang dikatakan Jabir bin
Abdullah tentang isterinya. “Saya bersembunyi di balik pohon untuk melihat dia”
Bahkan dari hadis Mughirah di atas kita tahu, bahwa seorang ayah tidak boleh
menghalang-halangi anak gadisnya untuk dilihatnya oleh orang yang berminat
hendak meminang dengan dalih tradisi. Sebab yang harus diikuti ialah tradisi agama,
bukan agama harus mengikuti tradisi manusia.
2. Al-Kafã’ah (‫)الكفاءة‬
Secara bahasa, al-kafā’ah berarti kesamaan dan kesetaraan ( ‫)المساواه و المماثلة‬. Secara
istilah, ulama fiqh mendefinisikannya dengan “kesetaraan antara suami istri dalam hal-
hal tertentu, untuk mencegah terjadinya pertikaian ( ‫المماثلة بين الزوجين دفعا للعار فى أمور‬
‫”)مخصوصة‬. Namun demikian, ulama berbeda pendapat tentang hal-hal khusus tersebut.

 Menurut Ḥanafiyah ada enam jenis kafā’ah, yakni nasab, Islam, ḥirfah (mata
pencaharian suami seimbang dengan mata pencaharian keluarga istri), merdeka,
diyānah (ada keseimbangan dalam ketaatan beragama, misalnya wanita salihah
tidak dikawinkan dengan laki-laki fasik seperti penjudi, pemabuk, dan lain-lain),
dan harta.
 Menurut Mālikiyah, kafā’ah meliputi agama dan al-salāmah, yakni tidak ada cacat
yang menyebabkan pihak istri berhak atas khiyār (memilih untuk meneruskan
pernikahan atau membatalkannya), misalnya gila, impoten, dan lain-lain.

 Menurut Shāfi’iyah, kafā’ah meliputi nasab, agama, merdeka, dan ḥirfah.


Sementara menurut Hanabilah, kafā’ah terdiri dari lima hal, yakni al-diyānah, al-
ṣinā’ah (seorang putri pemilik usaha/industri kelas atas, misalnya, dinilai tidak
seimbang jika dinikahkan dengan putra seorang pembekam, dan lain-lain), harta,
merdeka, serta nasab.

Tujuan kafā’ah dalam pernikahan adalah untuk menjaga keseimbangan dalam


mewujudkan hak dan kewajiban suami istri dalam kehidupan berkeluarga. Namun
ulama berbeda pendapat tentang fungsi kafā’ah dalam pernikahan, sebagai berikut:
Pertama, beberapa ulama, di antaranya Imam al-Thaurī, Ḥasan Baṣrī, serta al-Karkhī
dari kalangan Ḥanafiyah berpendapat bahwasanya kafā’ah bukan merupakan syarat
dalam pernikahan, baik syarat sah, maupun syarat keniscayaan. Diantara alasan yang
dikemukakan mereka adalah Q.S. al-Ḥujurāt [49]:13:

‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلنَّاسُ ِإنَّا خَ لَ ْق ٰنَ ُكم ِّمن َذ َك ٍر َوُأنثَ ٰى َو َج َع ْل ٰنَ ُك ْم ُشعُوبًا َوقَبَٓاِئ َل لِتَ َعا َرفُ ٓو ۟ا ۚ ِإ َّن َأ ْك َر َم ُك ْم ِعن َد ٱهَّلل ِ َأ ْتقَ ٰى ُك ْم ۚ ِإ َّن ٱهَّلل َ َعلِي ٌم خَ بِي ٌر‬

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi
Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha mengenal”.

Ayat di atas menyatakan bahwa tingkat ketakwaan manusia-lah yang membedakan


mereka, bukan hal-hal lain, semisal nasab, harta, dan lain-lain. Riwayat lain menyebutkan
bahwa Nabi memerintahkan salah seorang keluarga Ansar untuk menikahkan putrinya
dengan sahabat Bilal yang semula mereka tolak sekalipun mereka tidak setara (Bilal
adalah mantan budak berkulit hitam).
Pendapat kedua dikemukakan mayoritas ulama, di antaranya mazhab empat.
Menurut mereka, kafā’ah merupakan syarat keniscayaan dalam pernikahan, namun bukan
menjadi syarat sahnya pernikahan. Alasan jumhur di antaranya beberapa riwayat yang
menunjukkan bahwa kafā’ah menjadi sebuah keniscayaan dalam pernikahan:
َ‫ع َْن ُع َم َر اَنَّهُ نَهَى اَ ْن يَتَ َز َّو َج ْال َع َربِ ُّي اَأل َمة‬.
‘’Dari ‘Umar bahwasanya beliau melarang bangsa Arab menikahi budak”
Alasan kedua adalah bahwa secara logika hubungan suami istri yang harmonis pada
umumnya akan tercipta jika kedua pihak merupakan pasangan yang seimbang. Namun
demikian, dari sisi laki-laki, dalam posisinya sebagai kepala keluarga, maka status sosial
istri tidak penting, karena sebagai kepala keluarga, dialah yang akan membawa status
sosial istrinya, sebaliknya, jika laki-laki memiliki status sosial lebih rendah atau tidak
seimbang dengan istri, maka ia tidak akan memiliki kewibawaan.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwasanya akad nikah tetap sah
sekalipun tidak terdapat kafā’ah. Hanya saja, wali dapat mengajukan pembatalan
pernikahan, jika ia memandang bahwa hal tersebut menyebabkan mudharat bagi putrinya
dan keluarganya. Artinya, kafa’ah dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengajukan
pembatalan pernikahan. Sebaliknya, seorang wanita juga dapat mengajukan pembatalan
pernikahan jika walinya menikahkannya dengan laki-laki yang tidak kufū (seimbang).
Dengan demikian, menurut pandangan jumhur, kafā’ah merupakan hak wanita dan
walinya.
Hikmah kafâ`ah dalam pernikahan di antaranya adalah sebagai berikut :
 Kafâ`ah merupakan wujud keadilan dan konsep kesetaraan yang ditawarkan Islam
dalam pernikahan.
 Dalam Islam, suami memiliki fungsi sebagai imam dalam rumah tangga dan
perempuan sebagai makmumnya.
 Naik atau turunnya derajat seorang istri, sangat ditentukan oleh derajat suaminya.
Tujuan utama kafâ`ah adalah ketenteraman dan kelanggengan sebuah rumah tangga.
Karena jika rumah tangga didasari dengan kesamaan persepsi, kekesuaian pandangan,
dan saling pengertian, maka niscaya rumah tangga itu akan tentram, bahagia dan selalu
dinaungi rahmat Allah Swt. Namun sebaliknya, jika rumah tangga sama sekali tidak
didasari dengan kecocokan antar pasangan, maka kemelut dan permasalahan yang kelak
akan selalu dihadapi.
Kebahagiaan adalah istilah umum yang selalu diidam-idamkan oleh tiap pasangan
dalam kehidupan mereka, namun itu semua harus diawali dengan kafâ`ah, kesesuaian,
kecocokan dan kesinambungan antar pasangan, sehingga segala hal yang dihadapi dapat
terselesaikan dengan baik, tanpa dibumbui dengan perbedaan yang besar diantara kedua
insan.Pernikahan juga merupakan ibadah, jika partner dalam melakukan ibadah itu adalah
orang yang sekufu`, maka insya allah ibadah yang dijalankan akan senantiasa
mendapatkan curahan pahala dari Allah Swt.
Adanya kafâ`ah dalam perkawinan dimaksudkan sebagai upaya untuk menghindari
terjadinya krisis rumah tangga. Keberadaannya dipandang sebagai aktualisasi nilai-nilai
dan tujuan perkawinan. Dengan adanya kafâ`ah dalam perkawinan diharapkan masing-
masing calon mampu mendapatkan keserasian dan keharmonisan. Berdasarkan konsep
kafâ`ah, seorang calon mempelai berhak menentukan pasangan hidupnya dengan
mempertimbangkan segi agama, keturunan, harta, pekerjaan maupun hal yang lainnya.
Adanya berbagai pertimbangan terhadap masalah-masalah tersebut dimaksudkan agar
supaya dalam kehidupan berumah tangga tidak didapati adanya ketimpangan dan ketidak
cocokan. Selain itu, secara psikologis seseorang yang mendapat pasangan yang sesuai
dengan keinginannya akan sangat membantu dalam proses sosialisasi menuju tercapainya
kebahagiaan keluarga, yaitu keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.

3. Mahar
A. Bentuk mahar dan jumlahnya

Hal lain yang terkait dengan pernikahan adalah mahar. Mahar adalah pemberian seorang
suami kepada istri sebagai hadiah. Wabah al-Zuḥaily mendefinisikan mahar dengan, “harta yang
menjadi hak seorang isteri karena terjadinya akad atau persetubuhan secara nyata. (‫المال الذي تستحقه‬
‫) الزوجة على زوجها ﺑﺎلعقد عليها أو ﺑﺎلدخول ﺑﻬا حقيقة‬. Beberapa istilah mahar adalah ṣadāq (‫)صداق‬,
ṣadaqah ( ‫) قةدص‬, niḥlah (‫)نحلة‬, ḥibā’ (‫)حباء‬, ‘uqr (‫)عقر‬, ‘alā’iq (‫)عالئق‬, ṭawl (‫)طول‬, nikāḥ (‫)نكاح‬, ajr
(‫)أجر‬, farīḍah (‫)فريضة‬.
Dasar pemberian mahar adalah al-Qur’an dan sunnah, diantaranya Q.S. al-Nisa’ [4]:4 ; 25:
‫ص ُد ٰقَتِ ِه َّن نِحْ لَةً ۚ فَِإن ِط ْبنَ لَ ُك ْم عَن َش ْى ٍء ِّم ْنهُ نَ ْفسًا فَ ُكلُوهُ هَنِ ٓيـًٔا َّم ِر ٓيـًٔا‬ ۟ ُ‫َو َءات‬
َ ‫وا ٱلنِّ َسٓا َء‬
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
dengan penuh kerelaan...”

An nisa ayat 25:

‫ت ۚ َوٱهَّلل ُ َأ ْعلَ ُم‬ِ َ‫ت َأ ْي ٰ َمنُ ُكم ِّمن فَتَ ٰيَتِ ُك ُم ْٱل ُمْؤ ِم ٰن‬ ِ َ‫ت ْٱل ُمْؤ ِم ٰن‬
ْ ‫ت فَ ِمن َّما َملَ َك‬ ِ َ‫ص ٰن‬
َ ْ‫َو َمن لَّ ْم يَ ْست َِط ْع ِمن ُك ْم طَوْ اًل َأن يَن ِك َح ْٱل ُمح‬
‫ت َواَل‬ٍ ‫ت َغ ْي َر ُم ٰ َسفِ ٰ َح‬ ٍ َ‫ص ٰن‬َ ْ‫ُوف ُمح‬ ِ ‫ْض ۚ فَٱن ِكحُوه َُّن بِِإ ْذ ِن َأ ْهلِ ِه َّن َو َءاتُوه َُّن ُأجُو َره َُّن بِ ْٱل َم ْعر‬
ٍ ‫ض ُكم ِّم ۢن بَع‬ ُ ‫بِِإي ٰ َمنِ ُكم ۚ بَ ْع‬
ٰ
ٍ ‫ت َأ ْخد‬
‫َان‬ ِ ‫ُمتَّ ِخ َذ‬

“Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya
untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang
beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu;
sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka
dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang
merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula)
wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya...”
Sebuah riwayat dari Sahl b. Sa’d menyatakan bahwasanya Nabi bersabda kepada
seorang sahabat yang hendak menikah namun tidak memiliki apa-apa:
‫ْالتَ ِمسْ َولَوْ خَاتَ ًما ِم ْن َح ِد ْي ٍـد‬
“Berikan (mas kawinnya) walau berupa cincin dari besi...”
Mālikiyah berpendapat bahwa mahar termasuk rukun nikah, sementara menurut
pandangan jumhur, mahar bukan rukun ataupun syarat nikah, melainkan kewajiban
yang harus diberikan. Dalil yang menjadi argumentasi jumhur di antaranya adalah
Q.S. al-baqarah [2]: 236:

ً ‫ضة‬ ۟ ‫طلَّ ْقتُ ُم ٱلنِّ َسٓا َء ما لَ ْم تَمسُّوه َُّن َأوْ تَ ْفرض‬


َ ‫ُوا لَه َُّن فَ ِري‬ َ ‫ۚ اَّل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم ِإن‬
ِ َ َ

“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-
isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan
maharnya...”
Ayat tersebut menunjukkan bahwa talak dapat dilakukan sebelum terjadinya
hubungan suami isteri dan sebelum menentukan mahar. Hal itu menunjukkan bahwa
mahar bukan rukun atau pun syarat dalam pernikahan. Jika terjadi talak, berarti
pernikahan tersebut sah. Jika talak dapat terjadi sebelum mahar ditentukan, berarti
mahar bukan syarat atau rukun.
Karena mahar bukan syarat atau rukun nikah, maka mahar dapat dibayar tunai
ataupun kredit dan hanya disunnahkan disebutkan dalam akad. Jika tidak disebutkan,
maka sang suami wajib membayar mahar mithil, yakni mahar yang berlaku
dikalangan keluarga atau lingkungan istri.
Q.S. al-Nisa’ [4]:4 ; 25 menunjukkan bahwa kewajiban memberi mahar berlaku
umum bagi semua suami yang harus diberikan kepada isteri, baik orang merdeka
maupun budak. Jika mahar ini tidak diberikan maka menjadi hutang bagi suami yang
bersangkutan. Adapun riwayat adanya wanita yang dinikahi Nabi tanpa mahar,
merupakan kekhususan yang hanya berlaku bagi Nabi sebagaimana yang disebutkan
Q.S. al-Aḥzāb [33] :50:

‫ت‬
ِ ‫ك َوبَنَا‬ َ ‫ت َع ِّم‬
ِ ‫ك َوبَنَا‬ َ ‫ك ِم َّمٓا َأفَٓا َء ٱهَّلل ُ َعلَ ْي‬
َ ُ‫ت يَ ِمين‬ ْ ‫ك ٱ ٰلَّتِ ٓى َءاتَيْتَ ُأجُو َره َُّن َو َما َملَ َك‬ َ ‫ك َأ ْز ٰ َو َج‬ َ َ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلنَّبِ ُّى ِإنَّٓا َأحْ لَ ْلنَا ل‬
ٰ
‫ت نَ ْف َسهَا لِلنَّبِ ِّى ِإ ْن َأ َرا َد ٱلنَّبِ ُّى َأن يَ ْستَن ِك َحهَا‬ ْ َ‫ك َوٱ ْم َرَأةً ُّمْؤ ِمنَةً ِإن َوهَب‬ َ ‫ك ٱلَّتِى هَا َجرْ نَ َم َع‬ َ ِ‫ت ٰخَ ٰلَت‬ِ ‫ك َوبَنَا‬ َ ِ‫ت خَال‬ ِ ‫ك َوبَنَا‬ َ ِ‫َع ٰ َّمت‬
ۗ ‫ك َح َر ٌج‬ َ ‫ت َأ ْي ٰ َمنُهُ ْم لِ َك ْياَل يَ ُكونَ َعلَ ْي‬
ْ ‫ُون ْٱل ُمْؤ ِمنِينَ ۗ قَ ْد َعلِ ْمنَا َما فَ َرضْ نَا َعلَ ْي ِه ْم فِ ٓى َأ ْز ٰ َو ِج ِه ْم َو َما َملَ َك‬ ِ ‫ك ِمن د‬ َ َّ‫صةً ل‬َ ِ‫خَال‬
ُ ‫هَّلل‬
ِ ‫َو َكانَ ٱ ُ َغفورًا ر‬
‫َّحي ًما‬

“ Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri- isterimu yang
telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang
termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah
untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu,
anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari
saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu
yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya
kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan
untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami
wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka
miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. dan adalah Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”.
Dalam pandangan jumhur, disamping berupa materi, mahar juga dapat berupa
jasa/manfaat, berdasarkan Q.S. al-qaṣaṣ [{28]:27 serta beberapa hadis Nabi:

‫ك ۖ َو َمٓا ُأ ِري ُد َأ ْن‬ ‫ْأ‬ َ ‫قَا َل ِإنِّ ٓى ُأ ِري ُد َأ ْن ُأن ِك َح‬


ٍ ‫ك ِإحْ دَى ٱ ْبنَتَ َّى ٰهَتَي ِْن َعلَ ٰ ٓى َأن تَ ُج َرنِى ثَ ٰ َمنِ َى ِح َج‬
َ ‫ج ۖ فَِإ ْن َأ ْت َم ْمتَ َع ْشرًا فَ ِم ْن ِعن ِد‬
َ‫صلِ ِحين‬ َّ ٰ ‫ك ۚ َست َِج ُدنِ ٓى ِإن َشٓا َء ٱهَّلل ُ ِمنَ ٱل‬ َّ ‫َأ ُش‬
َ ‫ق َعلَ ْي‬

“Berkatalah dia (Shu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan


salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku
delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun, maka itu adalah (suatu
kebaikan) dari kamu, Maka aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah
akan mendapatiku termasuk orang- orang yang baik".
Sebuah riwayat dari Sahl b. Sa’d menyatakan bahwa ketika seseorang hendak
menikahi seorang wanita dan tidak punya apa-apa, Nabi bertanya :
‫هل لك من القرأن شيء؟ قال نعم سورة كذا لسورة يسميها فقال النبي قد زوجتكما بما معك من القرأن‬
“Apakah engkau punya sesuatu dari al-Qur’an? Laki-laki itu menjawab, ‘ia surat ini
dan surat ini dari al-Qur’an’, kemudian Nabi menjawab, ‘saya nikahkan kalian berdua
dengan apa yang engkau kuasai dari al-Qur’an”.
Persoalan berikutnya adalah, adakah ketentuan tentang jumlah mahar yang dapat
diberikan kepada isteri? Dalam pandangan jumhur, agama tidak menentukan tentang
jumlah mahar, namun tiap barang yang berharga dapat dijadikan mahar.Sayyid Sābiq
mendukung pendapat tersebut. Dalam analisisnya, tidak ada naṣṣ yang menjelaskan
tentang jumlah mahar, baik jumlah minimal maupun maksimal. Ketentuan tentang
jumlah mahar, diserahkan kepada kebiasaan masyarakat setempat dan disesuaikan
dengan tingkat kemampuan masing-masing. Argumen jumhur didasarkan pada Q.S.
al-nisa’ {[4]:20 dan hadis Nabi:
۟ ‫و ْن َأ َردتُّ ُم ٱ ْستِ ْبدَا َل َزوْ ج َّم َكانَ َزوْ ج َو َءاتَ ْيتُ ْم حْ َد ٰىه َُّن قِنطَارًا فَاَل تَْأ ُخ ُذ‬
‫وا ِم ْنهُ َش ْيـًٔا ۚ َأتَْأ ُخ ُذونَهۥُ بُ ْه ٰتَنًا وَِإ ْث ًما ُّمبِينًا‬ ‫ِإ‬ ٍ ٍ ‫َِإ‬

“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah
memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah
kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan
mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung)
dosa yang nyata?”
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa suatu ketika ‘Umar bicara di atas mimbar
menjelaskan bahwa mahar tidak boleh lebih dari 400 dirham. Penjelasan itu diprotes
oleh seorang wanita Quraish, “apakah anda tidak tahu ayat (‫ ? )قِ ْنطَارًا اِحْ دَاه َُّن َوٓاتَ ْيتُ ْم‬Umar
segera minta maaf dan meralat penjelasannya, “(Tadi) saya melarang pemberian
mahar melebihi 400 dirham. Barangsiapa yang ingin memberi mahar berapapun yang
ia mau, silahkan)”. Sebuah riwayat dari ‘Amir b. Rabī’ah, bahwa seorang dinikahi
dengan mahar sandal dan diperbolehkan oleh Nabi.

ُ‫ي َو ُم َح َّم ُد ب ُْن َج ْعفَ ٍر قَالُوا َح َّدثَنَاـ ُش ْعبَة‬ ٍّ ‫ار َح َّدثَنَاـ يَحْ يَىـ بْنُ َس ِعي ٍـد َو َع ْب ُد الرَّحْ َم ِن ب ُْن َم ْه ِد‬ ‫ش ٍـ‬ َّ َ‫َح َّدثَنَاـ ُم َح َّم ُد بْنُ ب‬
َ‫ْت َع ْب َد هَّللا ِ ْبنَ عَا ِم ِر ْب ِـن َربِي َعةَـ ع َْن َأبِي ِـه َأ َّن ا ْم َرَأةً ِم ْن بَنِيـ فَ َزا َرة‬ ُ ‫ص ِم ْب ِـن ُعبَ ْي ِـد هَّللا ِ قَال َس ِمع‬ِ ‫ع ْـَن عَا‬
‫ت نَ َع ْم قَا َل‬‫ك بِنَ ْعلَ ْي ِـن قَالَ ْـ‬ ِ ‫ت ِم ْـن نَ ْف ِس‬
‫ك َو َمالِ ِـ‬ ‫ضي ِـ‬ ِ ‫صلَّىـ هَّللا ُ َعلَ ْي ِـه َو َسلَّ َم َأ َر‬
َ ِ ‫ت َعلَىـ نَ ْعلَ ْي ِـن فَقَا َـل َرسُو ُل هَّللا‬ ْ ‫تَ َز َّو َج‬
ُ‫فََأ َجا َزه‬ 
“Dari Abdullah b. ‘Amir b. Rabi’ah dari ayahnya, bahwasanya, ada seorang wanita
yang menikah dengan mahar sepasang sandal, kemudian didatangkan pada Nabi.
Beliau bertanya, ‘pakah engkau dan keluargamu rela diberi mahar dua sandal? Wanita
itu menjawab, ‘iya’. Maka Rasul memperbolehkan (mahar berupa sandal)”.
Dalil-dalil di atas menurut Sayyid Sābiq setidaknya menunjukkan dua hal. Pertama;
tidak ada batas minimal dan maksimal tentang jumlah mahar. Kedua; mahar dapat
berupa materi ataupun manfaat/jasa. Beberapa hadis Nabi bahkan menunjukkan
bahwa hendaknya mahar itu sederhana saja dan tidak berlebihan:
‫ "خيرهن ايسرهن صداقا‬: ‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم‬:‫عن ابن عباس قال‬
“Dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rasul bersabda, ‘sebaik-baik mereka (wanita) adalah yang
paling mudah maharnya”.
َ ‫ اَ َّن َرسُوْ ُل هّللا‬، َ‫ع َْن عَاِئ َشة‬
ِ ‫ اِ َّن اَ ْعظَ َم النِّ َك‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل‬
ً‫اح بَ َر َكةً اَ ْي َس ُرهُ َمُؤونَة‬
“Dari Aishah bahwasanya Rasul bersabda, ‘sesungguhnya pernikahan yang paling
besar barokahnya adalah yang paling mudah (ringan) biayanya”.
Berbeda dengan pandangan di atas, Ḥanafī berpendapat bahwa mahar harus berupa
materi dengan jumlah minimal 10 dirham. Jumlah ini mengacu kepada jumlah batas
minimal pencurian yang menyebabkan pelakunya mendapatkan hukuman potong
tangan. Sementara itu, menurut Mālik, jumlah minimal mahar adalah seperempat
dinar, atau tiga dirham. Ḥanafiyah juga menolak mahar berupa jasa/manfaat.
Argumen yang diajukan di antaranya adalah Q.S. al-nisa’ {[4]:24:

َ‫صنِين‬ ِ ْ‫وا بَِأ ْم ٰ َولِ ُكم ُّمح‬ ۟ ‫ب ٱهَّلل ِ َعلَ ْي ُك ْم ۚ َوُأ ِح َّل لَ ُكم َّما َو َرٓا َء ٰ َذلِ ُك ْم َأن تَ ْبتَ ُغ‬
َ َ‫ت َأ ْي ٰ َمنُ ُك ْم ۖ ِك ٰت‬ ُ َ‫ص ٰن‬
ْ ‫ت ِمنَ ٱلنِّ َسٓا ِء ِإاَّل َما َملَ َك‬ َ ْ‫َو ْٱل ُمح‬
ۚ ‫ض ِة‬ ْ
َ ‫ض ْيتُم بِ ِهۦ ِم ۢن بَ ْع ِد ٱلفَ ِري‬ َ ‫ضةً ۚ َواَل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم فِي َما تَ ٰ َر‬ ‫ُأ‬
َ ‫َغ ْي َر ُم ٰ َسفِ ِحينَ ۚ فَ َما ٱ ْستَ ْمتَ ْعتُم بِ ِهۦ ِم ْنه َُّن فَـَٔاتُوه َُّن جُو َره َُّن فَ ِري‬
‫هَّلل‬
‫ِإ َّن ٱ َ َكانَ َعلِي ًما َح ِكي ًما‬

“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-
budak yang kamu miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya
atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-
isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang
telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya
(dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu
terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar
itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Menurut mereka, ayat itu menyebutkan “dengan hartamu” (‫’) باموالكم‬, sementara
jasa seperti mengajarkan al-Qur’an, bukanlah harta, melainkan jalan untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Oleh sebab itu, tidak bisa dijadikan sebagai mahar.
Namun demikian, pendapat ini ditolak oleh tokoh Ḥanafiyah belakangan. Dalam
pandangan mereka, sejalan dengan perubahan zaman, jasa seperti mengajarkan al-
Qur’an serta keilmuan lainnya memiliki nilai harta, karena orang yang mengajarkan
al-Qur’an serta ilmu-ilmu agama yang lain boleh menerima upah. Oleh sebab itu,
mereka sepakat bahwa mahar dapat berupa jasa sebagaimana hadis Sahl di atas.
B. Macam macam mahar
Mahar ada dua macam, yakni mahar musammā (‫ )المهر المسمى‬dan mahar mithil ( ‫المهر‬
‫)المثل‬. Mahar musammā adalah mahar yang disebutkan jenis dan jumlahnya secara
jelas dalam akad atau setelahnya, atau ditentukan hakim, dan telah disepakati oleh
kedua belah pihak, berdasarkan Q.S. al-baqarah {[2]:237:

َ ‫طلَّ ْقتُ ُموه َُّن ِمن قَب ِْل َأن تَ َمسُّوه َُّن َوقَ ْد فَ َرضْ تُ ْم لَه َُّن فَ ِري‬
ً ‫ضة‬ َ ‫وَِإن‬ 

“Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka,


padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya...”
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa mahar dapat dibayar tunai, dapat juga
dicicil, ataupun dihutang. Namun demikian, mahar musammā harus sudah lunas
dalam kondisi berikut:
1) Sudah terjadi hubungan suami isteri (Q.S. al-nisa’ [{4]:21-22:
۟ ‫و ْن َأ َردتُّ ُم ٱ ْستِ ْبدَا َل َزوْ ج َّم َكانَ َزوْ ج َو َءاتَ ْيتُ ْم حْ َد ٰىه َُّن قِنطَارًا فَاَل تَْأ ُخ ُذ‬
‫وا ِم ْنهُ َش ْيـًٔا ۚ َأتَْأ ُخ ُذونَهۥُ بُ ْه ٰتَنًا وَِإ ْث ًما‬ ‫ِإ‬ ٍ ٍ ‫َِإ‬
‫ُّمبِينًا‬
‫ْض َوَأ َخ ْذنَ ِمن ُكم ِّمي ٰثَقًا َغلِيظًا‬ ٍ ‫ض ُك ْم ِإلَ ٰى بَع‬ ُ ‫ض ٰى بَ ْع‬ َ ‫َو َك ْيفَ تَْأ ُخ ُذونَهۥُ َوقَ ْد َأ ْف‬
Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah
memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah
kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan
mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung)
dosa yang nyata?”
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri, dan mereka (isteri-isterimu) telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”
2) Salah seorang dari suami atau isteri meninggal sebelum terjadinya hubungan
suami isteri. Seluruh ulama sepakat bahwa kematian tidak merusak akad,
melainkan hanya mengakhiri saja, karena waktunya sudah berakhir dengan
kematian. Oleh sebab itu, seluruh hukum yang berkaitan dengannya harus
ditetapkan (dijalankan), termasuk mahar. Ketentuan ini juga didasarkan pada
ijma’ sahabat. Dalam pandangan jumhur, ketentuan ini berlaku, baik kematian itu
terjadi secara alami, maupun karena bunuh diri, sebab mahar berkaitan dengan
hak waris. Sementara itu, Shāfi’ī dan Zufar salah seorang ulama Ḥanafiyah--
berpendapat bahwa kematian akibat bunuh diri dari seorang isteri, menggugurkan
hak-nya untuk mendapatkan mahar. Kasus ini mereka kiyaskan pada kasus
murtadnya seseorang yang menggugurkan hak maharnya
Bagaimana jika dalam akad tidak disebutkan jumlah mahar (nikah tafwīḍ)
kemudian salah seorang pasangan meninggal sebelum terjadi hubungan suami isteri?
Dalam kasus seperti ini maka tidak ada kewajiban memberi mahar menurut
Mālikiyah, dengan alasan mengkiyaskan kematian pada talak. Jika terjadi perceraian
sebelum terjadinya hubungan suami isteri sementara mahar tidak ditentukan dalam
akad, maka tidak ada kewajiban memberi mahar. Namun jumhur berpendapat bahwa
dalam kasus seperti ini wajib membayar mahar mithil. Alasan jumhur adalah sebuah
riwayat bahwa ketika ada seorang wanita ditinggal mati suaminya sebelum
berhubungan suami isteri dan mahar belum ditentukan, Ibnu Mas’ūd memutuskan
bahwa wanita tersebut berhak mendapatkan mahar mithil. Keputusan ini mendapat
penguat dari Ma’qil b. Sinān, “Rasulullah juga memutuskan seperti itu pada Barwa’
binti Wāshiq”. (‫)قضيت ما مثل واشق بنت بروع فى ﷲ رسول قضى‬. Adapun mahar mitsil
adalah mahar yang jumlah, jenis, dan bentuknya sebagaimana mahar yang berlaku di
kalangan keluarga atau lingkungan isterinya. Mahar jenis ini diberikan dalam tiga
kasus:
1. Nikah tafwīḍ (‫)نكاح التفويض‬, yakni pernikahan yang tidak menyebutkan mahar
dalam akad. Dengan demikian, mahar diserahkan sepenuhnya kepada pihak
suami. Dalam hal ini, suami harus memberi mahar sesuai dengan mahar yang
berlaku di kalangan keluarga atau lingkungan isterinya.
2. Ada kesepakatan untuk menikah tanpa mahar. Kesepakatan seperti ini tidak dapat
dibenarkan karena melanggar perintah agama, namun pernikahan tetap sah,
karena mahar bukan syarat atau rukun nikah. Oleh sebab itu, jika terjadi
kesepakatan seperti ini, suami tetap wajib memberikan mahar mithil, jika sudah
terjadi hubungan suami isteri atau suami tersebut meninggal.
3. Mahar yang disebutkan dalam akad adalah sesuatu yang tidak bernilai harta
menurut pandangan agama, misalnya benda-benda yang diharamkan seperti
khamr, bangkai, dan lain-lain, atau benda yang tidak mungkin diserahkan, seperti
burung di udara, ikan di laut, dan lain-lain. Jika terjadi kasus seperti ini maka
suami wajib membayar mahar mitsil
4. Seluruh ulama sepakat bahwa sepanjang sudah terjadi hubungan suami isteri
dalam pernikahan fāsid, maka suami wajib membayar mahar mithil, berdasarkan
hadis Nabi yang diriwayatkan Oleh sayyidah Aisyah Ra
“Dari ‘Aishah—isteri Nabi—bahwa Rasulullah bersabda, ‘jangan menikahi
wanita tanpa perintah/izin walinya, jika menikahi wanita tanpa izin walinya, maka
pernikahan itu batal’. Pernyataan ini diulang tiga kali oleh Nabi. Kemudian beliau
melanjutkan’ jika terjadi hubungan suami isteri, maka dia berhak mendapat mahar
mithil, dan jika terjadi perselisihan dengan walinya, maka sultan adalah wali bagi
mereka yang tidak punya wali”.
Dalam hadis tersebut, Nabi mengharuskan pembayaran mahar mithil terhadap
pernikahan fasid dan menghubungkannya dengan terjadinya hubungan suami
isteri.
C. mahar akibat perceraian

Bagaimana jika terjadi perceraian sebelum dilakukannya hubungan suami isteri dan
mahar sudah ditentukan saat akad?. Dalam kasus seperti ini, seorang suami hanya
berkewajiban membayar separuh dari jumlah mahar yang harus diserahkan, baik karena
talak atau karena fasakh (seperti karena kasus ila’, li’ān, riddah, dan lain-lain), sepanjang
perceraian itu berasal dari kehendak suami, berdasarkan Q.S. al-Baqarah [2]:237:

‫ضةً فَنِصْ فُ َما فَ َرضْ تُ ْم ِإٓاَّل َأن يَ ْعفُونَ َأوْ يَ ْعفُ َو ۟ا ٱلَّ ِذى بِيَ ِد ِهۦ‬
َ ‫طلَّ ْقتُ ُموه َُّن ِمن قَب ِْل َأن تَ َمسُّوه َُّن َوقَ ْد فَ َرضْ تُ ْم لَه َُّن فَ ِري‬
َ ‫وَِإن‬
ُ ‫هَّلل‬ ْ ۟ ْ ْ ‫َأ‬ ۟ ُ ‫َأ‬
ِ َ‫اح ۚ َو ن تَ ْعف ٓوا ق َربُ لِلتَّق َو ٰى ۚ َواَل تَن َس ُوا ٱلفَضْ َل بَ ْينَ ُك ْم ۚ ِإ َّن ٱ َ بِ َما تَ ْع َملونَ ب‬ ْ
‫صي ٌر‬ ِ ‫ُعق َدةُ ٱلنِّ َك‬

“jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka,


padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari
mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau
dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat
kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan”.

Namun demikian, dalam kasus yang mewajibkan mahar mithil (mahar tidakditentukan
dalam akad, atau maharnya tidak bernilai harta menurut agama, atau ada kesepakatan
nikah tanpa mahar), kemudian terjadi perceraian sebelum dilakukannya hubungan suami
isteri, maka sang isteri tidak berhak mendapatkan mahar. Dalam kasus seperti ini, sang
isteri hanya berhak mendapatkan mut’ah (pesangon), berdasarkan Q.S. al-baqarah
{[2]:236:

‫وس ِع قَ َد ُرهۥُ َو َعلَى ْٱل ُم ْقتِ ِر‬


ِ ‫ضةً ۚ َو َمتِّعُوه َُّن َعلَى ْٱل ُم‬ ۟ ‫طلَّ ْقتُ ُم ٱلنِّ َسٓا َء ما لَ ْم تَمسُّوه َُّن َأوْ تَ ْفرض‬
َ ‫ُوا لَه َُّن فَ ِري‬ َ ‫اَّل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم ِإن‬
ِ َ َ
ْ ً
َ‫ُوف ۖ َحقّا َعلَى ٱل ُمحْ ِسنِين‬ ْ ۢ ٰ
ِ ‫قَ َد ُرهۥُ َمتَ ًعا بِٱل َم ْعر‬

“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri
kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan
maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang
yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya
(pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan
bagi orang-orang yang berbuat kebajikan”.
Jika perceraian tersebut berasal dari pihak isteri sebelum terjadinya hubungan suami
isteri, seperti murtad, atau men-fasakh pernikahan akibat suami miskin, atau ada cacat,
atau cacat itu berasal dari pihak isteri, maka dalam hal ini, mahar menjadi gugur.

Anda mungkin juga menyukai