اَلْ ُمْؤ ِم ُن اَ ُخو اْملْؤ ِم ِن فَالَ حَيِ ُّل لِْل ُمْؤ ِم ِن:ال ِ عن ع ْقبةَ ب ِن ع ِام ٍر اَ َّن رسو َل
َ َاهلل ص ق ُْ َ َ ْ َ ُ َْ
ُ ِِ ِ ِ ِِ
امحد و مسلم.حىَّت يَ َذ َر َ ب َعلَى خطْبَة اَخْيه َ ُاع َعلَى َبْي ِع اَخْيه َو الَ خَي ْط
َ َاَ ْن َيْبت
Dari Uqbah bin Amir r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda: “Orang mukmin adalah
saudara mukmin yang lain. Maka tidak halal bagi seorang mukmin menjual barang
yang sudah dibeli saudaranya, dan tidak halal pula meminang wanita yang sudah
dipinang saudaranya, sehingga saudaranya itu meninggalkannya”.
Apabila seorang wanita memiliki dua syarat di atas maka haram bagi seorang laki-
laki untuk meminangnya. Islam adalah agama yang hanif yang mensyariatkan
pelamar untuk melihat wanita yang dilamar dan mensyariatkan wanita yang dilamar
untuk melihat laki-laki yang meminangnya, agar masing-masing pihak benar-benar
mendapatkan kejelasan tatkala menjatuhkan pilihan pasangan hidupnya.
Hal ini berdasarkan dari hadis Rasulullah saw yang berasal dari Jabir r.a., Rasulullah saw
bersabda:
َّ َ ُأ ُ َ ً ُ
فخطبت جارية فكنت أتخبَّ لها حتى: قا َل.كاحها فليفعل َ
ِ ِخطب أحدُك ُم المرأة فإ ِن استطا َع أن ينظ َر إلى ما يدعوهُ إلى ن
َ إذا
ُ
وتزو ِجها فتزوَّجتها
ُّ ْ ُ
رأيت منها ما دعاني إلى نِكا ِحها
“Apabila salah seorang di antara kalian meminang seorang wanita, maka apabila ia
mampu hendaknya ia melihat kepada apa yang mendorongnya untuk menikahinya.”
Jabir berkata: “Maka aku meminang seorang budak wanita dan aku bersembunyi
untuk bisa melihat apa yang mendorong aku untuk menikahinya. Lalu aku
menikahinya.” (HR. Abu Daud dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani di dalam
Shahih Sunan Abu Daud).
Adapun ketentuan hukum yang diletakkan Islam dalam masalah pinangan ini
diantaranya adalah:
1) Dilarang berkhalwat dengan laki-laki peminang tanpa disertai mahram
2) Wanita yang dipinang tidak boleh berjabat tangan dengan laki-laki yang
meminangnya.
Apabila suatu peminangan telah disampaikan oleh laki-laki peminang kepada wanita
yang dipinang, walinya atau penanggungjawabnya, kemudian pinangan itu telah diterima
dan disetujui oleh wanita yang dipinang dan wali atau penanggungjawabnya, berarti
proses peminangan telah selesai dan telah terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak
untuk pada suatu ketika di masa yang akan datang melaksanakan akad nikah sesuai
dengan peraturan hukum syara’ yang berlaku. Dengan demikian kesepakatan dalam
peminangan hanyalah merupakan janji akan melaksanakan akad perkawinan pada waktu
yang akan datang, belum merupakan akad nikah yang sah yang menyebabkan kehalalan
hubungan sebagai suami isteri.
Oleh karena itu, meskipun peminangan telah berjalan dan diterima sebagaimana
mestinya, namun diterimanya peminangan tidak mengeluarkan wanita yang dipinang dari
kedudukannya sebagai wanita ajnabiyah (wanita lain yang bukan mahram laki-laki
peminang) sehingga berlaku sebagai wanita lain sebagaimana lazimnya orang bergaul.
Keadaan darurat wajib diukur sekedar yang diperlukan saja, setelah peminangan
terjadi, berarti telah hilang dengan sendirinya sifat darurat itu. Oleh karenanya menurut
syari’at Islam antara lak-laki peminang dan wanita yang dipinang tidak boleh berkhalwat
berdua (menyepi berdua tanpa dihadiri orang lain), meskipun keduanya telah bertunangan
dan hampir dipastikan akan kawin. Berkhalwat hanya dibenarkan antara suami isteri atau
antara pihak-pihak yang berhubungan mahram saja.
Dalam hal ini berlaku ketentuan Rasulullah saw bahwasanya dilarang seorang laki-
laki berkhalwat (menyepi) dengan seorang wanita kecuali bersama mahramnya, juga
berlaku sabda Rasulullah saw yang menyatakan bahwa dua orang berlainan jenis yang
telah sama-sama dewasa jika berkhalwat berdua, maka setanlah yang akan menjadi orang
ketiga. Hal ini menujukkan bahwa godaan setan akan menyelinap di hati keduanya yang
menyepi tersebut, sehingga memberi jalan terjadinya perbuatan mesum atau perbuatan
keji dan terkutuk oleh agama.
Berdasarkan hal tersebut, sekiranya peminang ingin bertemu dengan wanita yang
dipinang sekedar berbincang-bincang, haruslah di hadapan atau dihadiri oleh salah
seorang di antara keluarga atau mahram wanita tersebut. Hal ini diperlukan untuk saling
menjaga nama baik dan memelihara diri dari pergunjingan orang banyak. Ikatan dalam
peminangan belum merupakan ikatan hukum yang kokoh, masih terdapat kemungkinan
dan peluang, baik pada peminang maupun yang dipinang, untuk mencabut kembali
pinangannya, yakni pembatalan peminangan dan pengurungan akad perkawinan
Hal ihwal peminangan dalam hukum perkawinan Islam diatur berdasarkan Alquran, As Sunnah
serta ijtihad yakni upaya mujtahid dalam mengistinbatkan hukum.Ayat Alquran yang menjadi
dasar peminangan ialah surat al-Baqarah ayat 235:
طبَ ِة ٱلنِّ َسٓا ِء َأوْ َأ ْكنَنتُ ْم فِ ٓى َأنفُ ِس ُك ْم ۚ َعلِ َم ٱهَّلل ُ َأنَّ ُك ْم َست َْذ ُكرُونَه َُّن َو ٰلَ ِكن اَّل
ْ َواَل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم فِي َما َعرَّضْ تُم بِ ِهۦ ِم ْن ِخ
اح َحتَّ ٰى يَ ْبلُ َغ ْٱل ِك ٰتَبُ َأ َجلَهۥُ ۚ َوٱ ْعلَ ُم ٓو ۟ا َأ َّن ٱهَّلل َ يَ ْعلَ ُم َما ۟ وا قَوْ اًل َّم ْعرُوفًا ۚ َواَل تَع
ِ ْز ُموا ُع ْق َدةَ ٱلنِّ َك ِ
۟ ُتُ َوا ِعدُوه َُّن ِس ًّرا ٓاَّل َأن تَقُول
ِإ
ُ هَّلل َأ ۟
فِ ٓى نف ِس ُك ْم فَٱحْ َذرُوهُ ۚ َوٱ ْعلَ ُم ٓوا َّن ٱ َ َغفو ٌر َحلِي ٌم ُ َأ
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita itu (yang suaminya telah meninggal dan masih
dalam masa iddah) dengan sindiran yang baik atau kamu menyembunyikan dalam hatimu. Allah
mengetahui bahwa kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar
mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf (baik). Dan janganlah kamu berazam
(bertetap hati) untuk berakad nikah sebelum habis iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah
mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah
maha Pengampun lagi Maha Penyantun”.
As Sunnah yang menjadi dasar bagi peminangan antara lain ialah hadis riwayat
Ibnu Umar yang menyatakan bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
الر ُج ُل َعلَى ِخطْبَ ِة اَ ِخْي ِه َحىَّت َيْتُر َك
َّ بُ ُ الَ خَي ْط:ال
ِ ع ِن اب ِن عمر رض اَ َّن رسو َل
َ َاهلل ص ق ُْ َ ََ ُ ْ َ
ِ ِ
امحد و البخارى و النسائى.بُ ب َقْبلَهُ اَْو يَْأ َذ َن لَهُ اْخَلَاط
ُ اْخلَاط
“Janganlah seorang di antaramu meminang di atas pinangan saudaranya sehingga
peminang yang terdahulu itu melepaskannya atau mengizinkannya”.
Hadis riwayat Jabir yang menyatakan bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
“Jika salah seorang di antaramu meminang seorang wanita, maka kiranya dapat
melihat sesuatu pada waktu itu yang menarik untuk mengawininya, hendaklah hal itu
dilakukan”.
Hadis riwayat Abu Hanifah yang menyatakan bahwasanya Nabi Muhammad saw
bersabda kepada seorang laki-laki yang akan mengawini seorang: “Apakah engkau
sudah melihatnya?” Laki-laki itu menjawab: “belum, lalu Rasulullah saw bersabda:
“Pergilah, kemudian lihatlah wanita itu”.
Ayat 235 surat al-Baqarah menerangkan boleh meminang secara ta’ridl wanita
yang ditinggal mati oleh suaminya dalam menjalani iddahnya dan larangan meminang
secara tashrih sampai berakhirnya iddah wanita tersebut.
Hadis riwayat Ibnu Umar menjadi petunjuk adanya larangan Rasulullah saw bagi
kaum muslimin agar tidak melakukan peminangan di atas peminangan saudaranya
sesama muslim, berarti kewajiban menghormati hak peminangan yang telah ada serta
tidak melanggar hak dimaksud. Hadis ini juga mengandung makna pengokohan yang
jelas dari Rasulullah saw, bahwa peminangan itu disyariatkan dalam Hukum Islam
dan dibolehkan (mubah) dalam arti peminangan merupakan perbuatan hukum yang
dibenarkan, yang pada akhirnya melahirkan konsekuensi orang lain wajib
menghormatinya serta dilarang mengganggunya.
Hadis riwayat Abu Hurairah menjadi petunjuk adanya anjuran Rasulullah saw
bagi peminang untuk melihat dan memerhatikan hal ihwal wanita yang dipinang agar
lebih memantapkan hati peminang, sebagai sarana penunjang bagi keserasian hidup
bersama yang akan dibina.
Mayoritas fuqaha (ahli hukum Islam) berpendapat bahwa hukum asal
peminangan adalah mubah (boleh) dan dalam keadaan tertentu menjadi haram.
Peminangan secara ta’ridl kepada wanita yang ditalak raj’i oleh suaminya (talak yang
memungkinkan suami merujuk kembali bekas isterinya) dalam menjalani iddahnya
tidak dibolehkan, lebih-lebih peminangan secara tashrih. Juga diharamkan
peminangan di atas peminangan jika wanita terpinang mempunyai kecenderungan
kepada peminang pertama, sedangkan peminang pertama itu bukan orang fasik.
Diharamkan pula peminangan secara tashrih kepada wanita dalam menjalani iddah
talak atau pun iddah wafat (ditinggal mati).
Ulama mazhab Syafi’iyah menurut pendapat yang kuat menyatakan, bahwa
hukum peminangan sama dengan hukum perkawinan, karena peminangan itu
berkaitan dengan perkawinan. Oleh karena itu jika akad perkawinan yang akan
dilaksanakan itu hukumnya sunnat, maka peminangannya pun menjadi sunnat
hukumnya, jika akad perkawinan dimaksud makruh, maka peminangannya pun
menjadi makruh, jika akad perkawinan yang dimaksud wajib, maka peminangannya
pun menjadi wajib pula. Dalam hal ini dipergunakan kaidah menetapkan hukum bagi
sarana, sama dengan kedudukan hukum sesuatu yang dituju.
Perlu dicatat bahwa pada hakikatnya secara hukum, wanita yang ditalak dengan
talak raj’i selama dalam menjalani masa iddahnya dipandang sebagai isteri bekas
suami yang menalaknya, sebab si suami masih mempunyai hak untuk mengawini
kembali bekas istrinya, sehingga orang lain tidak boleh meminang bekas isteri
dimaksud sama dengan keharaman meminang wanita yang bersuami.
Ada pun wanita yang ditalak tiga kali suaminya, atau telah terjadi talak ba’in atau
ditinggal mati suaminya, oleh karena masih terikat status perkawinan selama dalam
masa iddah tersebut, yakni adanya pengaruh perkawinan yang pernah dijalaninya,
maka dalam masa dimaksud, orang lain dilarang meminangnya demi menghormati
hak bekas suami yang menalaknya atau suami yang telah meninggal dunia.
Disamping itu juga untuk menghilangkan berbagai prasangka.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dalam kaitannya dengan status
hukum peminangan, dapat dirumuskan beberapa hal sebagai berikut:
Dihalalkan meminang wanita yang tidak terikat oleh perkawinan, tidak dalam
menjalani iddah, tidak terdapat larangan kawin, serta tidak dalam peminangan
orang lain.
Diharamkan meminang wanita bersuami, baik peminangan secara tashrih
maupun ta’ridl.
Diharamkan laki-laki selain bekas suami meminang secara tashrih terhadap
wanita (bekas isteri) yang menjalani masa iddah, baik karena talak ba’in, talak
raj’i, ditinggal mati oleh suami, ataupun karena perkawinan yang difasakhkan.
Dihalakan meminang secara ta’ridl terhadap isteri yang ditinggal mati oleh
suaminya selama menjalani iddah.
Dihalalkan meminang secara ta’ridl terhadap isteri yang ditinggal mati oleh
suaminya selama dalam menjalani iddah.
Diharamkan laki-laki selain bekas suami meminang secara ta’ridl terhadap
bekas isteri yang sedang menjalani iddah raj’i.
Seorang muslim apabila berkehendak untuk menikah dan mengarahkan niatnya
untuk meminang seorang perempuan tertentu, diperbolehkan melihat perempuan
tersebut sebelum ia melangkah ke jenjang perkawinan, supaya dia dapat menghadapi
perkawinannya itu dengan jelas dan terang, dan supaya tidak tertipu. Sehingga
dengan demikian, dia dapat selamat dari berbuat salah dan jatuh ke dalam sesuatu
yang tidak diinginkan. Ini adalah justru karena mata merupakan duta hati dan
kemungkinan besar bertemunya mata dengan mata itu menjadi sebab dapat
bertemunya hati dan berlarutnya jiwa.
Dari Mughirah bin Syu’bah bahwa dia pernah meminang seorang perempuan.
Kemudian Nabi saw mengatakan kepadanya: “Lihatlah dia! Karena melihat itu lebih
dapat menjamin mengekalkan kamu berdua”. Kemudian Mughirah pergi kepada dua
orang tua perempuan tersebut, dan memberitahukan apa yang diomongkan di atas,
tetapi tampaknya kedua orang tuanya itu tidak suka. Si perempuan tersebut
mendengar dari dalam biliknya, kemudian ia mengatakan: “Kalau Rasulullah
menyuruh kamu supaya melihat aku, maka lihatlah. Kata Mughirah: “Saya lantas
melihatnya dan kemudian mengawininya”. (Riwayat Ahmad, Ibnu Majah, Tarmizi
dan ad-Darimi).
Dalam hadis ini Rasulullah tidak menentukan batas ukuran yang boleh dilihat,
baik kepada Mughirah maupun kepada lain-lainnya. Justru itu sebagian ulama ada
yang berpendapat: yang boleh dilihat yaitu muka dan dua telapak tangan, tetapi muka
dan dua tapak tangan yang boleh dilihat itu tidak ada syahwat pada waktu tidak
bermaksud meminang. Selama peminangan itu dikecualikan, maka sudah seharusnya
si laki-laki tersebut boleh melihat lebih banyak dari hal-hal yang biasa. Dalam hal ini
Rasulullah saw pernah bersabda dalam salah satu hadisnya sebagai berikut: “Apabila
salah seorang di antara kamu hendak meminang seorang perempuan, kemudian dia
dapat melihat sebahagian apa yang kiranya dapat menarik untuk mengawininya, maka
kerjakanlah”. (Riawayat Abu Daud).
Sementara ulama ada yang sangat ekstrim dalam memberikan kebebasan batas
yang boleh dilihat, dan sementara ada juga yang ekstrim dengan mempersempit dan
keras. Tetapi yang lebih baik ialah tengah-tengah. Justru itu sebahagian ulama
memberikan batas bahwa seorang laki-laki di zaman sekarang ini boleh melihat
perempuan yang hendak dipinang dengan berpakaian yang boleh dilihat oleh ayah
dan mahram-mahramnya yang lain.
Selanjutnya mereka berkata si laki-laki itu boleh pergi bersama wanita tersebut
dengan syarat disertai oleh ayah atau salah seorang mahramnya dengan pakaian
menurut ukuran syara’ ke tempat yang boleh dikunjungi untuk mengetahui
kecerdikannya, perasaannya dan kepribadiannya. Semua ini termasuk kata sebagian
yang disebut dalam hadis Nabi di atas yang mengatakan: “kemudian dia dapat melihat
sebagian apa yang kiranya dapat menarik dia untuk mengawininya”.
Dibolehkan juga si laki-laki melihat perempuan dengan sepengetahuan
keluarganya; atau sama sekali tanpa sepengetahuan dia atau keluarganya, selama
melihatnya itu bertujuan untuk meminang. Seperti apa yang dikatakan Jabir bin
Abdullah tentang isterinya. “Saya bersembunyi di balik pohon untuk melihat dia”
Bahkan dari hadis Mughirah di atas kita tahu, bahwa seorang ayah tidak boleh
menghalang-halangi anak gadisnya untuk dilihatnya oleh orang yang berminat
hendak meminang dengan dalih tradisi. Sebab yang harus diikuti ialah tradisi agama,
bukan agama harus mengikuti tradisi manusia.
2. Al-Kafã’ah ()الكفاءة
Secara bahasa, al-kafā’ah berarti kesamaan dan kesetaraan ( )المساواه و المماثلة. Secara
istilah, ulama fiqh mendefinisikannya dengan “kesetaraan antara suami istri dalam hal-
hal tertentu, untuk mencegah terjadinya pertikaian ( المماثلة بين الزوجين دفعا للعار فى أمور
”)مخصوصة. Namun demikian, ulama berbeda pendapat tentang hal-hal khusus tersebut.
Menurut Ḥanafiyah ada enam jenis kafā’ah, yakni nasab, Islam, ḥirfah (mata
pencaharian suami seimbang dengan mata pencaharian keluarga istri), merdeka,
diyānah (ada keseimbangan dalam ketaatan beragama, misalnya wanita salihah
tidak dikawinkan dengan laki-laki fasik seperti penjudi, pemabuk, dan lain-lain),
dan harta.
Menurut Mālikiyah, kafā’ah meliputi agama dan al-salāmah, yakni tidak ada cacat
yang menyebabkan pihak istri berhak atas khiyār (memilih untuk meneruskan
pernikahan atau membatalkannya), misalnya gila, impoten, dan lain-lain.
ٰيََٓأيُّهَا ٱلنَّاسُ ِإنَّا خَ لَ ْق ٰنَ ُكم ِّمن َذ َك ٍر َوُأنثَ ٰى َو َج َع ْل ٰنَ ُك ْم ُشعُوبًا َوقَبَٓاِئ َل لِتَ َعا َرفُ ٓو ۟ا ۚ ِإ َّن َأ ْك َر َم ُك ْم ِعن َد ٱهَّلل ِ َأ ْتقَ ٰى ُك ْم ۚ ِإ َّن ٱهَّلل َ َعلِي ٌم خَ بِي ٌر
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi
Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha mengenal”.
3. Mahar
A. Bentuk mahar dan jumlahnya
Hal lain yang terkait dengan pernikahan adalah mahar. Mahar adalah pemberian seorang
suami kepada istri sebagai hadiah. Wabah al-Zuḥaily mendefinisikan mahar dengan, “harta yang
menjadi hak seorang isteri karena terjadinya akad atau persetubuhan secara nyata. (المال الذي تستحقه
) الزوجة على زوجها ﺑﺎلعقد عليها أو ﺑﺎلدخول ﺑﻬا حقيقة. Beberapa istilah mahar adalah ṣadāq ()صداق,
ṣadaqah ( ) قةدص, niḥlah ()نحلة, ḥibā’ ()حباء, ‘uqr ()عقر, ‘alā’iq ()عالئق, ṭawl ()طول, nikāḥ ()نكاح, ajr
()أجر, farīḍah ()فريضة.
Dasar pemberian mahar adalah al-Qur’an dan sunnah, diantaranya Q.S. al-Nisa’ [4]:4 ; 25:
ص ُد ٰقَتِ ِه َّن نِحْ لَةً ۚ فَِإن ِط ْبنَ لَ ُك ْم عَن َش ْى ٍء ِّم ْنهُ نَ ْفسًا فَ ُكلُوهُ هَنِ ٓيـًٔا َّم ِر ٓيـًٔا ۟ َُو َءات
َ وا ٱلنِّ َسٓا َء
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
dengan penuh kerelaan...”
ت ۚ َوٱهَّلل ُ َأ ْعلَ ُمِ َت َأ ْي ٰ َمنُ ُكم ِّمن فَتَ ٰيَتِ ُك ُم ْٱل ُمْؤ ِم ٰن ِ َت ْٱل ُمْؤ ِم ٰن
ْ ت فَ ِمن َّما َملَ َك ِ َص ٰن
َ َْو َمن لَّ ْم يَ ْست َِط ْع ِمن ُك ْم طَوْ اًل َأن يَن ِك َح ْٱل ُمح
ت َواَلٍ ت َغ ْي َر ُم ٰ َسفِ ٰ َح ٍ َص ٰنَ ُْوف ُمح ِ ْض ۚ فَٱن ِكحُوه َُّن بِِإ ْذ ِن َأ ْهلِ ِه َّن َو َءاتُوه َُّن ُأجُو َره َُّن بِ ْٱل َم ْعر
ٍ ض ُكم ِّم ۢن بَع ُ بِِإي ٰ َمنِ ُكم ۚ بَ ْع
ٰ
ٍ ت َأ ْخد
َان ِ ُمتَّ ِخ َذ
“Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya
untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang
beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu;
sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka
dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang
merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula)
wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya...”
Sebuah riwayat dari Sahl b. Sa’d menyatakan bahwasanya Nabi bersabda kepada
seorang sahabat yang hendak menikah namun tidak memiliki apa-apa:
ْالتَ ِمسْ َولَوْ خَاتَ ًما ِم ْن َح ِد ْي ٍـد
“Berikan (mas kawinnya) walau berupa cincin dari besi...”
Mālikiyah berpendapat bahwa mahar termasuk rukun nikah, sementara menurut
pandangan jumhur, mahar bukan rukun ataupun syarat nikah, melainkan kewajiban
yang harus diberikan. Dalil yang menjadi argumentasi jumhur di antaranya adalah
Q.S. al-baqarah [2]: 236:
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-
isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan
maharnya...”
Ayat tersebut menunjukkan bahwa talak dapat dilakukan sebelum terjadinya
hubungan suami isteri dan sebelum menentukan mahar. Hal itu menunjukkan bahwa
mahar bukan rukun atau pun syarat dalam pernikahan. Jika terjadi talak, berarti
pernikahan tersebut sah. Jika talak dapat terjadi sebelum mahar ditentukan, berarti
mahar bukan syarat atau rukun.
Karena mahar bukan syarat atau rukun nikah, maka mahar dapat dibayar tunai
ataupun kredit dan hanya disunnahkan disebutkan dalam akad. Jika tidak disebutkan,
maka sang suami wajib membayar mahar mithil, yakni mahar yang berlaku
dikalangan keluarga atau lingkungan istri.
Q.S. al-Nisa’ [4]:4 ; 25 menunjukkan bahwa kewajiban memberi mahar berlaku
umum bagi semua suami yang harus diberikan kepada isteri, baik orang merdeka
maupun budak. Jika mahar ini tidak diberikan maka menjadi hutang bagi suami yang
bersangkutan. Adapun riwayat adanya wanita yang dinikahi Nabi tanpa mahar,
merupakan kekhususan yang hanya berlaku bagi Nabi sebagaimana yang disebutkan
Q.S. al-Aḥzāb [33] :50:
ت
ِ ك َوبَنَا َ ت َع ِّم
ِ ك َوبَنَا َ ك ِم َّمٓا َأفَٓا َء ٱهَّلل ُ َعلَ ْي
َ ُت يَ ِمين ْ ك ٱ ٰلَّتِ ٓى َءاتَيْتَ ُأجُو َره َُّن َو َما َملَ َك َ ك َأ ْز ٰ َو َج َ َٰيََٓأيُّهَا ٱلنَّبِ ُّى ِإنَّٓا َأحْ لَ ْلنَا ل
ٰ
ت نَ ْف َسهَا لِلنَّبِ ِّى ِإ ْن َأ َرا َد ٱلنَّبِ ُّى َأن يَ ْستَن ِك َحهَا ْ َك َوٱ ْم َرَأةً ُّمْؤ ِمنَةً ِإن َوهَب َ ك ٱلَّتِى هَا َجرْ نَ َم َع َ ِت ٰخَ ٰلَتِ ك َوبَنَا َ ِت خَال ِ ك َوبَنَا َ َِع ٰ َّمت
ۗ ك َح َر ٌج َ ت َأ ْي ٰ َمنُهُ ْم لِ َك ْياَل يَ ُكونَ َعلَ ْي
ْ ُون ْٱل ُمْؤ ِمنِينَ ۗ قَ ْد َعلِ ْمنَا َما فَ َرضْ نَا َعلَ ْي ِه ْم فِ ٓى َأ ْز ٰ َو ِج ِه ْم َو َما َملَ َك ِ ك ِمن د َ َّصةً لَ ِخَال
ُ هَّلل
ِ َو َكانَ ٱ ُ َغفورًا ر
َّحي ًما
“ Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri- isterimu yang
telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang
termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah
untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu,
anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari
saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu
yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya
kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan
untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami
wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka
miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. dan adalah Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”.
Dalam pandangan jumhur, disamping berupa materi, mahar juga dapat berupa
jasa/manfaat, berdasarkan Q.S. al-qaṣaṣ [{28]:27 serta beberapa hadis Nabi:
“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah
memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah
kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan
mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung)
dosa yang nyata?”
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa suatu ketika ‘Umar bicara di atas mimbar
menjelaskan bahwa mahar tidak boleh lebih dari 400 dirham. Penjelasan itu diprotes
oleh seorang wanita Quraish, “apakah anda tidak tahu ayat ( ? )قِ ْنطَارًا اِحْ دَاه َُّن َوٓاتَ ْيتُ ْمUmar
segera minta maaf dan meralat penjelasannya, “(Tadi) saya melarang pemberian
mahar melebihi 400 dirham. Barangsiapa yang ingin memberi mahar berapapun yang
ia mau, silahkan)”. Sebuah riwayat dari ‘Amir b. Rabī’ah, bahwa seorang dinikahi
dengan mahar sandal dan diperbolehkan oleh Nabi.
ُي َو ُم َح َّم ُد ب ُْن َج ْعفَ ٍر قَالُوا َح َّدثَنَاـ ُش ْعبَة ٍّ ار َح َّدثَنَاـ يَحْ يَىـ بْنُ َس ِعي ٍـد َو َع ْب ُد الرَّحْ َم ِن ب ُْن َم ْه ِد ش ٍـ َّ ََح َّدثَنَاـ ُم َح َّم ُد بْنُ ب
َْت َع ْب َد هَّللا ِ ْبنَ عَا ِم ِر ْب ِـن َربِي َعةَـ ع َْن َأبِي ِـه َأ َّن ا ْم َرَأةً ِم ْن بَنِيـ فَ َزا َرة ُ ص ِم ْب ِـن ُعبَ ْي ِـد هَّللا ِ قَال َس ِمعِ ع ْـَن عَا
ت نَ َع ْم قَا َلك بِنَ ْعلَ ْي ِـن قَالَ ْـ ِ ت ِم ْـن نَ ْف ِس
ك َو َمالِ ِـ ضي ِـ ِ صلَّىـ هَّللا ُ َعلَ ْي ِـه َو َسلَّ َم َأ َر
َ ِ ت َعلَىـ نَ ْعلَ ْي ِـن فَقَا َـل َرسُو ُل هَّللا ْ تَ َز َّو َج
ُفََأ َجا َزه
“Dari Abdullah b. ‘Amir b. Rabi’ah dari ayahnya, bahwasanya, ada seorang wanita
yang menikah dengan mahar sepasang sandal, kemudian didatangkan pada Nabi.
Beliau bertanya, ‘pakah engkau dan keluargamu rela diberi mahar dua sandal? Wanita
itu menjawab, ‘iya’. Maka Rasul memperbolehkan (mahar berupa sandal)”.
Dalil-dalil di atas menurut Sayyid Sābiq setidaknya menunjukkan dua hal. Pertama;
tidak ada batas minimal dan maksimal tentang jumlah mahar. Kedua; mahar dapat
berupa materi ataupun manfaat/jasa. Beberapa hadis Nabi bahkan menunjukkan
bahwa hendaknya mahar itu sederhana saja dan tidak berlebihan:
"خيرهن ايسرهن صداقا: قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم:عن ابن عباس قال
“Dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rasul bersabda, ‘sebaik-baik mereka (wanita) adalah yang
paling mudah maharnya”.
َ اَ َّن َرسُوْ ُل هّللا، َع َْن عَاِئ َشة
ِ اِ َّن اَ ْعظَ َم النِّ َك:صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل
ًاح بَ َر َكةً اَ ْي َس ُرهُ َمُؤونَة
“Dari Aishah bahwasanya Rasul bersabda, ‘sesungguhnya pernikahan yang paling
besar barokahnya adalah yang paling mudah (ringan) biayanya”.
Berbeda dengan pandangan di atas, Ḥanafī berpendapat bahwa mahar harus berupa
materi dengan jumlah minimal 10 dirham. Jumlah ini mengacu kepada jumlah batas
minimal pencurian yang menyebabkan pelakunya mendapatkan hukuman potong
tangan. Sementara itu, menurut Mālik, jumlah minimal mahar adalah seperempat
dinar, atau tiga dirham. Ḥanafiyah juga menolak mahar berupa jasa/manfaat.
Argumen yang diajukan di antaranya adalah Q.S. al-nisa’ {[4]:24:
َصنِين ِ ْوا بَِأ ْم ٰ َولِ ُكم ُّمح ۟ ب ٱهَّلل ِ َعلَ ْي ُك ْم ۚ َوُأ ِح َّل لَ ُكم َّما َو َرٓا َء ٰ َذلِ ُك ْم َأن تَ ْبتَ ُغ
َ َت َأ ْي ٰ َمنُ ُك ْم ۖ ِك ٰت ُ َص ٰن
ْ ت ِمنَ ٱلنِّ َسٓا ِء ِإاَّل َما َملَ َك َ َْو ْٱل ُمح
ۚ ض ِة ْ
َ ض ْيتُم بِ ِهۦ ِم ۢن بَ ْع ِد ٱلفَ ِري َ ضةً ۚ َواَل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم فِي َما تَ ٰ َر ُأ
َ َغ ْي َر ُم ٰ َسفِ ِحينَ ۚ فَ َما ٱ ْستَ ْمتَ ْعتُم بِ ِهۦ ِم ْنه َُّن فَـَٔاتُوه َُّن جُو َره َُّن فَ ِري
هَّلل
ِإ َّن ٱ َ َكانَ َعلِي ًما َح ِكي ًما
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-
budak yang kamu miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya
atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-
isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang
telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya
(dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu
terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar
itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Menurut mereka, ayat itu menyebutkan “dengan hartamu” (’) باموالكم, sementara
jasa seperti mengajarkan al-Qur’an, bukanlah harta, melainkan jalan untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Oleh sebab itu, tidak bisa dijadikan sebagai mahar.
Namun demikian, pendapat ini ditolak oleh tokoh Ḥanafiyah belakangan. Dalam
pandangan mereka, sejalan dengan perubahan zaman, jasa seperti mengajarkan al-
Qur’an serta keilmuan lainnya memiliki nilai harta, karena orang yang mengajarkan
al-Qur’an serta ilmu-ilmu agama yang lain boleh menerima upah. Oleh sebab itu,
mereka sepakat bahwa mahar dapat berupa jasa sebagaimana hadis Sahl di atas.
B. Macam macam mahar
Mahar ada dua macam, yakni mahar musammā ( )المهر المسمىdan mahar mithil ( المهر
)المثل. Mahar musammā adalah mahar yang disebutkan jenis dan jumlahnya secara
jelas dalam akad atau setelahnya, atau ditentukan hakim, dan telah disepakati oleh
kedua belah pihak, berdasarkan Q.S. al-baqarah {[2]:237:
َ طلَّ ْقتُ ُموه َُّن ِمن قَب ِْل َأن تَ َمسُّوه َُّن َوقَ ْد فَ َرضْ تُ ْم لَه َُّن فَ ِري
ً ضة َ وَِإن
Bagaimana jika terjadi perceraian sebelum dilakukannya hubungan suami isteri dan
mahar sudah ditentukan saat akad?. Dalam kasus seperti ini, seorang suami hanya
berkewajiban membayar separuh dari jumlah mahar yang harus diserahkan, baik karena
talak atau karena fasakh (seperti karena kasus ila’, li’ān, riddah, dan lain-lain), sepanjang
perceraian itu berasal dari kehendak suami, berdasarkan Q.S. al-Baqarah [2]:237:
ضةً فَنِصْ فُ َما فَ َرضْ تُ ْم ِإٓاَّل َأن يَ ْعفُونَ َأوْ يَ ْعفُ َو ۟ا ٱلَّ ِذى بِيَ ِد ِهۦ
َ طلَّ ْقتُ ُموه َُّن ِمن قَب ِْل َأن تَ َمسُّوه َُّن َوقَ ْد فَ َرضْ تُ ْم لَه َُّن فَ ِري
َ وَِإن
ُ هَّلل ْ ۟ ْ ْ َأ ۟ ُ َأ
ِ َاح ۚ َو ن تَ ْعف ٓوا ق َربُ لِلتَّق َو ٰى ۚ َواَل تَن َس ُوا ٱلفَضْ َل بَ ْينَ ُك ْم ۚ ِإ َّن ٱ َ بِ َما تَ ْع َملونَ ب ْ
صي ٌر ِ ُعق َدةُ ٱلنِّ َك
Namun demikian, dalam kasus yang mewajibkan mahar mithil (mahar tidakditentukan
dalam akad, atau maharnya tidak bernilai harta menurut agama, atau ada kesepakatan
nikah tanpa mahar), kemudian terjadi perceraian sebelum dilakukannya hubungan suami
isteri, maka sang isteri tidak berhak mendapatkan mahar. Dalam kasus seperti ini, sang
isteri hanya berhak mendapatkan mut’ah (pesangon), berdasarkan Q.S. al-baqarah
{[2]:236:
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri
kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan
maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang
yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya
(pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan
bagi orang-orang yang berbuat kebajikan”.
Jika perceraian tersebut berasal dari pihak isteri sebelum terjadinya hubungan suami
isteri, seperti murtad, atau men-fasakh pernikahan akibat suami miskin, atau ada cacat,
atau cacat itu berasal dari pihak isteri, maka dalam hal ini, mahar menjadi gugur.