Anda di halaman 1dari 5

BAHASAN PENYULUHAN

KELUARGA SAKINAH

PERNIKAHAN

“Diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu
sendiri, seupaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Allah jadikan bagimu
cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya yang demikian itu benar-bernar terdapat tanda-tanda
bagi orang-orang yang berfikir.” (QS Ar-Rum:21)

Dalam Hadist Tarmidzi dari Abu Hurairah, Rasulullah pernah bersabda : “Tiga golongan
yang berhak ditolong oleh Allah, yakni pejuang di jalan Allah, mukatib (budak yang membeli
dari tuannya) yang mau melunasi pembayarannya dan orang menikah karena mau
menjauhkan dirinya dari yang haram.”

Pernikahan atau perkawinan dalam pandangan Islam bukan hanya merupakan bentuk
formalisasi hubungan suami istri atau pemenuhan kebutuhan fitrah insani semata, tetapi lebih
dari itu, merupakan amal ibadah yang disyariatkan. Meskipun upacara yang sakral itu tidak
bisa dipisahkan dari statusnya sebagai ibadah, namun dalam pelaksanaannya seringkali
tampil dalam tata cara yang berbeda-beda, bahkan cenderung didominasi adat istiadat
setempat yang merusak nilai ibadah itu sendiri.

Adalah merupakan kewajiban bagi setiap muslim untuk memahami seluruh aspek peribadatan
dalam Islam, khususnya dalam masalah pernikahan. Apa pula hikmah dan rahasia dibaliknya
serta bagaimana etika penyelenggaraan pernikahan itu, Insya Allah akan diberkati Allah Azza
Wa Jalla, disamping terbebas dari aktivitas yang menyimpang dari ajaran Islam.
BAHASAN PENYULUHAN
KELUARGA SAKINAH

RUKUN NIKAH

Sebagaimana kita ketahui, rukun adalah bagian pokok dari suatu perbuatan yang membuat
perbuatan tersebut dinyatakan sah. Contohnya, shalat tidak akan sah tanpa takbiratul ihram,
karena takbiratul ihram merupakan bagian pokok dari shalat tersebut.

1. Mempelai pria
Mempelai pria yang dimaksud di sini adalah calon suami yang memenuhi persyaratan
sebagaimana disebutkan pula oleh Imam Zakaria al-Anshari dalam Fathul Wahab bi
Syarhi Minhaj al-Thalab (Beirut: Dar al-Fikr), juz II, hal. 42: ‫و شرط في الزوج حل واختيار‬
‫“ " وتعيين وعلم بحل المرأة له‬Syarat calon suami ialah halal menikahi calon istri (yakni Islam
dan bukan mahram), tidak terpaksa, ditertentukan, dan tahu akan halalnya calon istri
baginya.”
2. Mempelai wanita
Mempelai wanita yang dimaksud ialah calon istri yang halal dinikahi oleh mempelai pria.
Seorang laki-laki dilarang memperistri perempuan yang masuk kategori haram dinikahi.
Keharaman itu bisa jadi karena pertalian darah, hubungan persusuan, atau hubungan
kemertuaan.
3. Wali
Wali di sini ialah orang tua mempelai wanita baik ayah, kakek maupun pamannya dari
pihak ayah (‘amm), dan pihak-pihak lainnya. Secara berurutan, yang berhak menjadi wali
adalah ayah, lalu kakek dari pihak ayah, saudara lelaki kandung (kakak ataupun adik),
saudara lelaki seayah, paman (saudara lelaki ayah), anak lelaki paman dari jalur ayah.
4. Dua saksi
Dua saksi ini harus memenuhi syarat adil dan terpercaya. Wali dan dua saksi
membutuhkan enam persyaratan, yakni Islam, baligh, berakal, merdeka, lelaki, dan adil.
5. Shighat
Shighat di sini meliputi ijab dan qabul yang diucapkan antara wali atau perwakilannya
dengan mempelai pria.
BAHASAN PENYULUHAN
KELUARGA SAKINAH

WALI NIKAH

Seorang wanita diharamkan untuk menikahkan dirinya sendiri. Hal ini dikarenakan bahwa
menikah tanpa wali bagi wanita adalah sesuatu yang tidak sah. Dan tidak diperkenankan
mewakilkan seseorang untuk menikahkan dirinya. Tidak juga diperkanankan, selain wali
sebagai wali dari pernikahan perempuan tersebut. Jika seorang berwali kepada yang bukan
wali, maka pada saat itu pernikahannya tidak sah.

Persyaratan adanya wali bagi perempuan ini merupakan pendapat mayoritas para ulama.
Diantaranya para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu Umar bin Khattab, Ali
bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Abullah bin Umar dan juga yang lainnya. Bahkan
dinukilkan oleh Ibnul Mundzir bahwa tidak dikenal seorangpun dari sahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam yang menyelisihi akan hal ini.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

‫ك يُو َعظُ بِ ِه َمن َكانَ ِمن ُك ْم‬َ ِ‫ُوف ۗ ٰ َذل‬


ِ ‫ضوْ ا بَ ْينَهُم بِ ْال َم ْعر‬ َ ‫ضلُوه َُّن َأن يَن ِكحْ نَ َأ ْز َوا َجه َُّن ِإ َذا تَ َرا‬ ُ ‫وَِإ َذا طَلَّ ْقتُ ُم النِّ َسا َء فَبَلَ ْغنَ َأ َجلَه َُّن فَاَل تَ ْع‬
ٰ
ْ ‫﴾يُْؤ ِمنُ بِاللَّـ ِه َو ْاليَوْ ِم اآْل ِخ ِر ۗ َذلِ ُك ْم َأ ْز َك ٰى لَ ُك ْم َوَأ‬
٢٣٢﴿ َ‫طهَ ُر ۗ َواللَّـهُ يَ ْعلَ ُم َوَأنتُ ْم اَل تَ ْعلَ ُمون‬

“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu
(para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat
kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada
orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik
bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-
Baqarah[2]: 232)

Imam Syafi’i berkata, “Ini adalah sesuatu yang paling jelas yang ada dalam Al-Qur’an.
Bahwa wali memiliki bersama dengan perempuan hak didalam diri perempuan tersebut”.

Maksudnya adalah wali yang mempunyai wewenang untuk menikahkan perempuan tersebut.
Disaat yang bersamaan bahwa wali tidak diperbolehkan untuk menghalangi perempuan
tersebut jika dia sudah rela untuk dinikahi dengan cara yang makruf.

Wali di sini ialah orang tua mempelai wanita baik ayah, kakek maupun pamannya dari pihak
ayah (‘amm), dan pihak-pihak lainnya. Secara berurutan, yang berhak menjadi wali adalah
ayah, lalu kakek dari pihak ayah, saudara lelaki kandung (kakak ataupun adik), saudara lelaki
seayah, paman (saudara lelaki ayah), anak lelaki paman dari jalur ayah.
BAHASAN PENYULUHAN
KELUARGA SAKINAH

SYARAT SAKSI NIKAH

Dua saksi ini harus memenuhi syarat adil dan terpercaya. Wali dan dua saksi membutuhkan
enam persyaratan, yakni Islam, baligh, berakal, merdeka, lelaki, dan adil.

1. Islam
Pernikahan Tidak sah jika saksi tidak beragama Islam
2. Baligh
Karena itu, anak kecil meskipun sudah tamyiz tidak sah menjadi saksi nikah.
3. Berakal
Berakal normal. Karena itu, orang gila dan sejenisnya tidak sah menjadi saksi nikah.
4. Merdeka
Budak atau Hamba Sahaya tidak boleh menjadi saksi nikah.
5. Lelaki
Menurut kebanyakan ulama dari kalangan ulama Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah,
semua saksi nikah harus laki-laki, sementara perempuan tidak boleh menjadi saksi nikah.
Adapun menurut ulama Hanafiyah, dua perempuan dan satu laki-laki sudah memenuhi
syarat untuk menjadi saksi nikah. Namun jika semua saksi adalah perempuan, maka
semua ulama sepakat bahwa persaksiannya tidak diterima dan nikahnya tidak sah.
6. Adil
Secara lahir terlihat sebagai orang yang taat menjalankan aturan agama, dan secara lahir
tidak Nampak sebagai pelaku dosa besar.
BAHASAN PENYULUHAN
KELUARGA SAKINAH

MAHAR

Dalam perkawinan, istri mempunyai hak-hak dari suaminya yang bersifat materil maupun
moril. Di antara hak-hak materil adalah maskawin.

Mahar atau maskawin menurut bahasa seperti ganti (i'wadh). Kalau menurut istilah adalah
pengganti pembayaran dalam nikah atau sejenisnya yang dikendalikan oleh hakim atas
kerelaan kedua belah pihak. 

Islam mensyaratkan maskawin atau mahar bagi suami kepada istri sebagai tanda kebaikan
niat suci bagi hatinya, penghormatan bagi dirinya, pengganti aturan dari tradisi jahiliyah yang
berlaku sebelum kedatangan islam, Saat itu, perempuan dipandang rendah dan hina.

Bahkan tak jarang, hak perempuan diinjak-injak dirampas oleh suaminya.Padahal mahar
adalah milik penuh bagi istri yang tidak dapat diganggu gugat meskipun walinya. Perempuan
mempunyai kebebasan dan wewenang penuh atas hartanya ini untuk membelanjakan atau
bershadaqah sesukai hatinya, Jadi mahar dalam islam adalah lambang saling menghargai
antara suami istri menerima penghargaan itu. 

Namun, bukan berarti mahar menjadi sesuatu yang menyulitkan. Mahar atau maskawin
bukanlah satu syarat dan rukun dalam akad perkawinan, melainkan hanya salah satu hukum
dan akibat dari akad nikah. Oleh karena itu, penyebutan mahar pada saat akad nikah bukan
sesuatu yang wajib, bahkan suatu akad nikah di anggap sah, meski terjadi kesalahan dalam
penyebutan mahar. (QS Al-Baqarah:236)

Apa saja yang disebut harta dan bernilai bagi orang adalah sah untuk dijadikan mahar.
Dengan demikian, mahar bisa berupa emas,perak, barang tetap, seperti tanah yang diatasnya
bisa dibangun rumah. Kenyataan yang terjadi di masyarakat, mahar biasanya disesuaikan
dengan tradisi yang sudah berlaku. 

Namun perlu diingatkan, jangan sampai ketentuan mahar dalam tradisi itu membebankan
pihak laki-laki, sehingga ia tidak bisa melakukan perkawinan disebabkan
ketidakmampuannya membayar mahar karena terlalu mahal. 

Lebih jelasnya, dampak negatif di mahar yang berlebihan bisa menimbulkan dampak sosial
yang berbahaya. Sebab kebutuhan biologis antara perempuan dan laki-laki tidak dapat
terpenuhi. Padahal mereka sudah merasa siap secara moril untuk melakukkannya. 

Anda mungkin juga menyukai