Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Allah telah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan, ada lelaki ada
perempuan.Islam mengajak manusia untuk membentuk kelurga, karena keluarga itu gambaran
kecil dalam kehidupan stabil yang menjadi pemenuhan keinginan manusia, tanpa
menghilangkan kebutuhannya. Keluarga merupakan tempat fithroh yang sesuai dengan
keinginan Allah bagi kehidupan manusia sejak keberadaan khalifah, Allah SWT. berfirman:

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami
memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. (QS. Ar-Rad (13): 38)
Dalam keluarga yang sakinah ketika terdapat masalah selalu diselesaikan dengan ajaran
Islam. Namun ketika masalah warisan, banyak yang tidak menyelesaikan masalah waris
tersebut dengan hukum waris Islam. Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang
sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia,
baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal.
Al-quran telah menjelaskan secara rinci tentang pembagian warisan untuk para anggota
keluarga sesuai hak masing. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai
kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu,
paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.

B. Rumusan Masalah
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Apakah pengertian nikah dalam islam?


Apakah hukum dan syarat pernikahan dalam islam?
Apakah hal-hal yang menyebabkan terlarangnya sebuah pernikahan?
Apakah yang dimaksud dengan thalak, rujuk, dan permasalahannya?
Apakah dasar hukum dan syarat mewariskan harta dalam islam?
Apakah hal yang menyababkan terlarangnya mendapatkan harta warisan?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian nikah dalam islam
2. Untuk mengetahui hukum dan syarat pernikahan dalam islam
1

3. Untuk mengetahui hal-hal yang menyebabkan terlarangnya sebuah pernikahan


4. Untuk mengetahui Apakah yang dimaksud dengan thalak, rujuk, dan
permasalahannya
5. Untuk mengetahui dasar hukum dan syarat mewariskan harta dalam islam
6. Untuk mengetahui hal yang menyababkan terlarangnya mendapatkan harta
warisan

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Nikah
Secara bahasa pernikahan diartikan sebagai berkumpul, wathi, dan akad. Menurut istilah
lain, juga dapat berarti Ijab Qobul (akad nikah) yang mengharuskan perhubungan antara
sepasang manusia yang diucapkan oleh kata-kata yang ditujukan untuk melanjutkan ke
pernikahan, sesusai peraturan yang diwajibkan oleh Islam. Menurut bahasa Indonesia, kata
nikah berarti berkumpul atau bersatu.
Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqih berbahasa arab disebut dengan dua kata,
yaitu nikah(), dan zawaj(). Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari
orang Arab dan banyak terdapat dalam al-Quran dan hadits Nabi.Dalam surat an-Nisa ayat
3:

Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil,
Maka (kawinilah) seorang saja.
Nikah termasuk perbuatan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. atau
sunnah Rasul. Dalam hal ini Rasulullahsaw bersabda:
Dari Anas bin Malik ra : Akan tetapi aku shalat, tidur, berpuasa, makan, dan menikahi
wanita, barang siapa yang tidak suka perbuatanku, maka bukanlah dia dari golonganku.
(HR. Al-Bukhari dan muslim). Setelah kita perhatikan dan kita telaah secara mendalam dari
berbagai definisi pernikahan, bahwa yang menjadi inti pokok dari perrnikahan itu adalah
aqad (perjanjian). Yaitu penyerahan dan penerimaan antara orang tua calon mempelai wanita
dengan calon mempelai pria.

B. Hukum dan syarat pernikahan dalam islam


Menurut sebagian besar ulama, hukum asal nikah adalah mubah, artinya boleh dikerjakan
boleh ditinggalkan. Dikerjakan tidak ada pahalanya dan ditingkalkan tidak berdosa. Meskipun
demikian, ditinjau dari segi kondisi orang yang akan melakukan pernikahan, hukum nikah
dapat berubah menjadi:

1. Sunat, yaitu apabila seseorang telah berkeinginan untuk menikah serta


memiliki kemampuan untuk memberikan nafkah lahir maupun batin. Dari
Abdillah ibn Masud berkata: Nabi Muhammad Saw. telah bersabda, Wahai
sekalian pemuda, barang siapa diantara kamu mampu al baaah maka
hendaklah menikah, dan barang siapa tidak mampu maka hendaklah
berpuasa, sesungguhmya puasa itu menjadi perisai baginya.
2. Wajib, yaitu bagi yang memiliki kemampuan memberikan nafkah dan ada
kekhawatiran akan terjerumus kepada perbuatan zina bila tidak segera
melangsungkan perkawinan. Misalnya, seorang pemuda memiliki banyak harta
dan berlimpahan materi, dan dia tidak mampu mnahan syahwatnya sehingga
akan dengan mudah terjerumus ke dalam lembah kemaksiatan. Pada saat
bersamaan dia juga memiliki kewajiban menunaikan ibadah haji karena syaratsyaratnya sudah terpenuhi. Maka, dalam keadaan seperti itu dia harus menikah
terlebih dahulu. Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan, jika seorang harus
menikah karena takut terjerumus ke lembah perzinaan maka dia harus
mendahulukannya daripada kewajiban berhaji.
3. Makruh, yaitu bagi yang tidak mampu memberikan nafkah.
4. Haram, yaitu apabila motivasi untuk menikah karena ada niatan jahat, seperti
untuk menyakiti istrinya, keluarganya serta niat-niat jelek lainnya. Dalam
sebuah hadits Rasulullah saw. pernah bersabda:
Barangsiapa yang tidak mampu menikah hendaklah dia puasa karena dengan
puasa hawa nafsunya terhadap prempuan akan berkurang. (HR. Jamaah Ahli
Hadits)
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut
dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut
mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus
diadakan. Dalam suatu acara perkawinan umpamanya rukun dan syaratnya tidak boleh
tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.
Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa rukun itu adalah sesuatu yang
berada di luarnya dan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun
dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat itu
berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur rukun.

Nikah tidak sah jika tidak terpenuhinya beberapa perkara (syarat-ayarat dan rukun
nikah), yaitu:
1. Ijab Qobul
Adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan
perkawinan dalam bentuk ijab dan qobul. Ulama sepakat menempatkan ijab
qobul sebagai rukun perkawinan. Akad ijab qabul merupakan rukun yang paling
menentukan dalam menjadikan sesuatu yang haram menjadi halal dan tidak sah
suatu pernikahan tanpa ijab qabul. Adapun akad ijab diucapkan si wali nikah,
sedangkan akad qabul di ucapakan calon suami.
2.Calon Suami
Islam hanya mengakui perkawinan antara laki-laki dan perempuan dan
tidak boleh lain dari itu, seperti sesama laki-laki atau sesama perempuan, karena
ini yang disebut dalam al-Quran. Adapun Syarat-syarat Menjadi Seorang Suami
adalah sebagai berikut:
a. Dia menikahi calon istrinya dengan sukarela bukan karena dipaksa.
b. Calon suami tersebut adalah laki-laki yang tulen, bukan banci.
c. Calon suami tresebut diketahui dengan jelas identitasnya oleh wali nikah calon
istri dan kedua saksi.
d. Calon suami harus mengetahui calon istrinya baik dengan mengetahui namanya
e.

atau melihatnya dengan cara ditunjuk.


Calon suami tidak sedang ihram baik dengan haji atau umroh. Sebagaimana
sabda Rosulullah SAW :
seorang yang sedang menjalankan ihram tidak boleh dikawinkan atau

mengawinkan
g. Calon istri bukan makhram atas suami baik makhrm karena nasab atau rodlo
(kesusuan)
h. Calon suami harus mengetahui bahwa calon isterinya adalah halal baginya.
i. Calon suami adalah seorang muslim jika calon isteri adaah seorang muslimah,
karena tidak sah nikahnya nikahnya seorang muslimah dengan non muslim.
Firman Allah Surah Al-Baqarah ayat 221:

Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanitawanita mukmin) sebelum mereka beriman.
3.Calon Istri
Syarat-syarat Wanita Menjadi Seorang Istri adalah sebagai berikut:
a. Seorang wanita tulen.
b. Wanita itu tidak sedang melakukan ihram, baik dengan ihram haji atau umrah.
c. Wanita itu bukan istri seseorang, maka tidak sah wanita yang sudah bersuami
menikah lagi sebelum diceraikan oleh suami yang pertama.
d. Wanita itu bukan mahram bagi calon pengantin pria, maka tidak sah perkawinan
seorang pria dengan wanita mahramnya, baik mahram dari nasab.
e. Wanita itu tidak sedang menjalankan iddah
f. Wanita itu diketahui oleh calon suaminya, maka tidak sah seseorang kawin
dengan wanita yang tidak diketahui sebelumnya.
g. Wanita itu bukan istri yang kelima bagi calon suami itu.
4.Wali
Wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang
untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain. Dalam akad perkawinan wali
itu adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu
akad nikah.
Keberadaan seorang wali secara umum adalah suatu yang mesti dan tidak sah
akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali itu ditempatkan sebagai
rukun dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama secara prinsip. Dalam akad
perkawinan itu sendiri wali dapat berkedudukan sebagai orang yang bertindak atas
nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai orang yang diminta
persetujuannya untuk kelangsungan perkawinan tersebut.
Terdapat banyak perbedaan pendapat dalam hal perwalian ini, diantaranya:
a. Ulama Hanafiyah dan ulama Syiah Imamiyah berpendapat bahwa, untuk
perkawinan anak kecil baik sehat akal atau tidak sehat akal diwajibkan adanya
wali yang akan mengakadkan perkawinannya. Sedangkan perempuan yang sudah

dewasa dan sehat akalnya dapat melangsungkan sendiri akad perkawinannya


b.

tanpa adanya wali.


Ulama Syafiiyah dan ulama Hanabilah berpendapat bahwa, setiap akad
perkawinan dilakukann oleh wali, baik perempuan itu dewasa atau masih kecil,
janda atau masih perawan, sehat akalnya atau tidak sehat. Tidak ada hak sama

c.

sekali bagi perempuan untuk mengakadkan perkawinannya.


Pendapat Imam Malik menurut riwayat Asyhab wali muthlaq dalam suatu
perkawinan tidak sah perkawinan tanpa adanya wali. Namun menurut riwayat
Ibnu Qosim, keberadaan wali hanyalah sunnah hukumnya dn tidak wajib.
Syarat-starat wali:

a. Islam, maka tidak diperbolehkan wali perempuan itu orang kafir. Hal ini berdalil
dari firman Allah dalam surat Ali Imron ayat 28:

Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi


wali[192] dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat
demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat)
memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah
memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah
b.
c.

kembali (mu).
Baligh, dalam arti tidak diperbolehkan wali perempuan dari golongan anak kecil.
Merdeka, maka juga tidak diperbolehkan wali perempuan itu budak dalam ijab

d.
e.

pernikahan, tetapi seorang budak tersebut boleh qobul dalam pernikahan.


Laki-laki. Tidak boleh seorang perempuan.
Adil.Maka orang fasiq tidak boleh menjadi wali. Dalam arti tidak pernah terlibat
dengan dosa besar dan tidak sering terlibat dengan dosa kecil serta memelihara

muruah atau sopan santun.


f. Tidak sedang melaksanakan ibadah ihram, untuk haji atau umroh.
Orang-orang yang berhak menjadi wali adalah:
1. Wali Nasab, yaitu wali yang berhubungan tali kekeluargaan dengan perempuan
yang akan menikah. Dalam KHI pasal 21 dijelaskan bahwa, Wali nasab terdiri
dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan
dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon
mempelai wanita.
7

Pertama: Kelompok kerabat lakilaki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah
dan seterusnya.
Kedua: Kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan
keturunan laki laki mereka.
Ketiga: Kelompo kerabat paman, yakni saudara lakilaki kandung ayah, saudara seayah
dan keturunan laki laki mereka.
Keempat: Kelompok saudara laki laki kandung kakek, saudara laki laki seayah kakek
dan keturunan laki- laki mereka.
Apabila dalam suatu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang
sama- sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah
yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
Apabila dalam suatu kelompok sama derajat kekerabatannya maka yang
paling berhak menjadi wali nikah adalah kerabat kandung dari kerabat yang hanya
seayah.
Apabila dalam suatu koelompok, derajat kekerabatannya sama, yakni samasama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat seayah. Mereka sama
sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan
memenuhi syarat-syarat wali.
Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannnya tidak memenuhi syarat
sebagai wali nikah atau oleh wali nikah itu menderita cacat tuna wicara, tuna
rungu atau sudah udzur. Maka hak wali nikah bergeser kepada wali nikah yang

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.

lain menurut derajat berikutnya.


Adapun urutan wali nasab adalah sebagai berikut:
Ayah kandung;
Kakek, bapaknya ayah atau bapaknya kakek;
Saudara laik-laki kandung;
Saudara Saudara laki-laki seayah, tidak berhak saudara laki-laki seibu;
Anak saudara laik-laki kandung (keponakan);
Anak saudara laki-laki seayah, tidak berhak anak saudara laki-laki seibu;;
Paman atau saudara ayah kandung;
Paman atau saudara ayah seayah, tidak berhak paman saudara laki-laki seibu;
Anak paman saudara laki-laki syah kandung;
Anak paman saudara laki-laki ayah seayah;
Paman ayah;
Anak paman ayah;
Paman kakek, kemudian anaknya;
Paman ayah kakek, kemudian anaknya dan begitu seterusnya.[42]

2. Wali Hakim, yaitu orang yang menjadi wali dalam kedudukannya sebagai hakim
atau pengusaha.
Dalam penetapannya terdapat beda pendapat di kalangan ulama. Beda
pendapat ini di sebabkan oleh tidak adanya petunjuk yang jelas dari nabi,

sedangkan Al-Quran tidak membicarakan sama sekali siapa-siapa yang berhak


menjadi wali. Dalam KHI pasal 23 dijelaskan bahwa Wali hakim beru bisa
bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin
menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adalah
atau enggan.
Jumhur ulama yang terdiri dari Syafiiyah, Hanabillah, Zhahiriyah dan
Syiah Imamiyah membagi wali itu kepada dua kelompok:
Pertama: Wali dekat atau wali qorib ( ;) yaitu ayah dan kalau tidak
ada ayah pindah kepada kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan yang mutlak
terhadap anak perempuan yang akan dikawinkannya. Ia dapat mengawinkan
anaknya yang masih berusia muda tanpa minta persetujuan dari anaknya tersebut
wali dalam kedududkan seperti ini disebut wali mujbir. Ketidak harusan minta
pendapat dari anaknya yang masih usia muda itu adalah karena orang yang masih
muda tidak mempunyai kecakapan untuk memberi persetujuan. Ulama hanabillah
menempatkan orang yang di beri wasiat oleh ayah untuk mengawinkan anaknya
berkedududkan sebagai ayah.
Kedua: Wali jauh atau wali abad ( ;) yaitu wali dalam garis kerabat
selain dari ayah dan kakek, juga selain dari anak dan cucu, karena anak menurut
ulama jumhur tidak boleh menjadi wali terhadap ibunya dari segi dia adalah anak,
bila anak berkedudukan sebagai wali hakim boleh dia mengawinkan ibunya
sebagai wali hakim.
Ulama Hanafiah menempatkan seluruh kerabat nasab, baik sebagai ashabah
dalam kewarisan atau tidak. Sebagai wali nasab, termasuk zaul arham. Menurut
mereka yang mempunyai hak ijbar bukan hanya ayah dan kakek tetapi semuanya
mempunyai hak ijbar, selama yang akan di kawinkan itu adalah perempuan yang
masih kecil atau tidak sehat akalnya. (ibnu al-humam: 285) berbeda dengan
pendapat umhur ulama, anak dapat menjadi wali terhadap ibunya yang akan
kawin.
Ulama Malikiyah menempatkan seluruh kerabat nasab yang ashabah sebagai wali
nasab dan membolehkan anak mengawinkan ibunya, bahkan kedudukannya lebih
utama dari ayah atau kakek. Golongn ini menambah orang yang diberi wasiat oleh
ayah sebagai wali dalamkedudukan sebagaimana kedudukan ayah. (ibnu
rasyid;19) berbeda dengan ulama hanafiyah golongan ini memberikan hak ijbar
hanya kepada ayah saja dan menempatkannya dalam kategori wali akrab.
5.Saksi

Sebagaimana dengan wali maka perkawinan dalam pelaksanaannya harus


dihadiri oleh saksi-saksi. Adapun Dasar hukum perwalian adalah sabada
rosulallah SAW,:
Imam Ahmad meriwayatkan hadits marfu' dari Hasan, dari Imran Ibnu alHushoin: "Tidak sah nikah kecuali dengan seorang wali dan dua orang saksi."
Para ahli fiqih sepakat bahwa pelaksanaan akad nikah hanya dihadiri oleh
saksi-saksi. Karena kehadiran saksi-saksi merupakan rukun atau hakikat dari
perkawinan itu sendiri.
Imam Syafii berpendapat bahwa perkawinan itu harus ada saksi, beliau
mendasarkan diri pada hadits Nabi.
Imam Abu hanifah berpendapat bahwa saksi dalam akad nikah adalah
merupakan rukun dari akad nikah. Beliau mengqiaskan persaksian dalam akad
nikah pada persaksian dalam akad muamalah. Kesaksian merupakan rukun dari
akad muamalah. Menurut beliau akad nikah lebih utama dari akad muamalah.
Oleh karena itu adanya saksi-saksi dalam akad muamalah. Beliau melakukan
qiyas dalam hal ini, karena menurut beliau tidak ada nash yang dapat disajikan
dasar hukum bagi persaksian itu.
Syarat-syarat menjadi saksi akad nikah
1. Sudah mencapai batas baligh (genap 15 tahun, bermimpi hingga
mengeluarkan air sperma)
2. Keduanya adalah orang yang berakal, maka tidak sah kesaksian seorang yang
gila sampai dia waras.
3. Keduanya dari kaum pria, dan tidak sah kesaksian seorang wanita atau banci
dalam pernikahan.
4. Keduanya beragama islam
5. Keduanya termasuk orang yang adil dan tidak fasik.
6. Keduanya bukan orang yang idiot.
7. Keduanya bukan orang yang tuli
8. Keduanya bukan orang yang buta
9. Keduanya tidak bisu.
10. Keduanya harus memahami bahasa yang digunakan oleh wali dan suami
maka tidak cukup hanya menghafal kalimat yang diucapkan si wali dan suami
tanpa memahami artinya.
11. Keduanya tidak memiliki ingatan yang lemah
12. Salah satu dari dua saksi tersebut bukan wali satu-satunya dari calon isteri.
Dan jika terjadi suatu pernikahan daengan kesaksian salah satu saksi atau
keduanya tidak memenuhi syarat salah satu dari syarat-syarat diatas, maka tidak

10

sah pernikahan tersebut dan harus diulang prosesi akad nikahnya dengan
kesaksian orang yang memenuhi syarat
Dan dapat diketahui bahwasanya satu atau keduanya tidak memenuhi syarat
dengan dua hal:
1. Jika ada dua saksi yang bersaksi bahwa dua saksi tersebut tidak memenuhi syarat.
2. Dengan pengakuan suami istri tersebut bahwa kedua saksi tersebut adalah orang
yang tidak memnuhi syarat, maka batalah nikahnya

C. Hal-hal yang menyebabkan terlarangnya sebuah pernikahan


Mahram (Arab: )adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selamanya karena
sebab keturunan, persusuan dan pernikahan dalam syariat Islam. Muslim Asia Tenggara sering
salah dalam menggunakan istilah mahram ini dengan kata muhrim, sebenarnya kata muhrim
memiliki arti yang lain. Dalam bahasa arab, kata muhrim (muhrimun) artinya orang yang
berihram dalam ibadah haji sebelum bertahallul. Sedangkan kata mahram (mahramun) artinya
orang-orang yang merupakan lawan jenis kita, namun haram (tidak boleh) kita nikahi
sementara atau selamanya. Namun kita boleh bepergian dengannya, boleh berboncengan
dengannya, boleh melihat wajahnya, boleh berjabat tangan, dan seterusnya.
Mahram terbagi menjadi dua macam yaitu:
a) Mahram muabbad ( ) adalah golongan mahram yang tidak boleh dinikahi
selamanya.
Mahram karena keturunan

Ibu, nenek dan seterusnya ke atas, baik jalur laki-laki maupun wanita

Anak perempuan (putri), cucu perempuan, dan seterusnya, ke bawah baik dari jalur
laki-laki-laki maupun perempuan

Saudara perempuan (kakak atau adik), seayah atau seibu

Saudara perempuan bapak (bibi), saudara perempuan kakek (bibi orang tua) dan
seterusnya ke atas baik sekandung

Saudara perempuan ibu (bibi), saudara perempuan nenek (bibi orang tua) dan
seterusnya ke atas baik sekandung

11

Putri saudara perempuan (keponakan) sekandung, seayah atau seibu, cucu


perempuannya dan seterusnya ke bawah, baik dari jalur laki-laki maupun wanita

Putri saudara laki-laki (keponakan) sekandung, seayah atau seibu, cucu perempuannya
dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita

Mahram karena pernikahan

1. Istri bapak (ibu tiri), istri kakek dan seterusnya ke atas


2. Istri anak (menantu), istri cucu dan seterusnya ke bawah
3. Ibu mertua, ibunya (nenek) dan seterusnya ke atas
4. Anak perempuan istri dari suami lain (anak tiri)
5. Cucu perempuan istri baik dari keturunan rabibah maupun dari keturunan rabib (anak
lelaki istri dari suami lain)
Mahram karena sepersusuan

1. Wanita yang menyusui dan ibunya


2. Anak perempuan dari wanita yang menyusui (saudara persusuan)
3. Saudara perempuan dari wanita yang menyusui (bibi persusuan)
4. Anak perempuan dari anak perempuan dari wanita yang menysusui (anak dari saudara
persusuan)
5. Ibu dari suami dari wanita yang menyusui
6. Saudara perempuan dari suami dari wanita yang menyusui
7. Anak perempuan dari anak laki-laki dari wanita yang menyusui (anak dari saudara
persusuan)

12

8. Anak perempuan dari suami dari wanita yang menyusui


9. Istri lain dari suami dari wanita yang menyesui
b) Mahram muaqqot ( ) adalah golongan mahram tidak boleh dinikahi pada
kondisi tertentu saja dan jika kondisi ini hilang maka menjadi halal.

Kakak atau adik ipar (saudara perempuan dari istri)

Bibi (ayah atau ibu mertua) dari istri

Istri yang telah bersuami dan istri orang kafir jika ia masuk Islam

Wanita yang telah ditalak tiga, maka ia tidak boleh dinikahi oleh suaminya yang dulu
sampai ia menjadi istri dari laki-laki lain

Wanita musyrik sampai ia masuk Islam

Wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki ahli kitab atau laki-laki kafir

Wanita pezina sampai ia bertaubat dan melakukan istibro (pembuktian kosongnya


rahim)

Wanita yang sedang ihrom sampai ia tahallul

Wanita dijadikan istri kelima sedangkan masih memiliki istri yang keempat

D. Thalak, rujuk, dan permasalahannya


I.

Talak

Talak secara bahasa berarti melepaskan ikatan. Kata ini adalah derivat dari kata

ithlaq, yang berarti melepas atau meninggalkan. Secara syari, talak berarti
melepaskan ikatan perkawinan.

13

Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil
kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau
keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu
khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum
Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri
untuk menebus dirinya[144]. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu
melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah
orang-orang yang zalim.
Apabila pergaulan suami istri tidak dapat mencapai tujuan pernikahan, maka hal itu
akan megakibatkan perpisahan dua keluarga. Karena tidak adanya kesepakatan antara suamiistri, maka dengan keadilan ALLAH SWT dibukakan-Nya suatu jalan keluar,yaitu pintu
perceraian.

Oleh karea itu, dengan menilik kemudratannya, maka hukum talak ada tiga, yaitu:
1) Wajib.
Apabila terjadi perselisihan antara suami-istri sedangkan dua hakim yang
mengurus perkara keduanya sudah memandang perlunya supaya keduanya bercerai.
2) Sunnah
Apabila suami tidak sanggup lagi membayar dan mencukupi kewajibannya, atau
perempuan tidak menjaga kehormatan dirinya.
3) Haram
Haram hukumnya dalam 2 keadaan, yaitu ketika istri sedang haid dan
menjatuhkan talak sewaktu suci yang telah dicampurinya pada waktu suci tersebut
Kalimat yang dipakai untuk percaraian ada macam, yaitu:

14

Sarih (terang), hysitu kalimat yang tidak ragu-ragu laginbahwa yang dmaksud adalah
memutuskan ikatan pernikahan.Seperti kataSaya ceraikan engkau. Kalimat sarih ini
tidak perlu dengan niat.Berarti, apabila dikatakan oleh suami berniat atau tidak
berniat, keduanya tetap bercerai.
Kinayah(sindiran), yaitu kalimat yang masih ragu-ragu. Seperti kata Pulanglah
engkau ke rumah orang tuamu. Kalimat ini bergantung pada niat,jika tidak diniatkan
untuk perceraian nikah, tidaklah jatuh talak.Kalau diniatkan untuk menjatuhkan talak,
maka barulah menjadi talak.
Ditinjau dari segi waktunya talak menjadi tiga macam yaitu :
1.

Talak Sunni yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntutan sunnah.

Dikatakan talak sunni jika memenuhi 4 (empat) syarat yaitu :


a)

isteri yang ditalak sudah pernah digauli, bila belum pernah digauli maka bukan

termasuk talak sunni.


b)

isteri dapat segera melakukan menunggu iddah suci setelah ditalak yaitu dalam

keadaan suci dari haid


c)

talak itu dijatuhkan ketika isteri dalam keadaan suci, baik dipermulaan,

dipertengahan maupun diakhir suci, kendati beberapa saat lalu datang haid.
d)

suami tidak pernah menggauli isteri selama masa suci di mana talak itu

dijatuhkan. Talak yang dijatuhkan oleh suami ketika isteri dalam keadaan suci dari
haid tetapi pernah digauli, tidak termasuk talak sunni.
2.

Talak Bidi yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau bertentangan dengan

tuntutan sunnah dan tidak memenuhi ketentuan syarat-syarat talak sunni. Termasuk
dalam talak bidi adalah :
a)

talak yang dijatuhkan terhadap isteri pada waktu haid (menstruasi) baik

dipermulaan haid maupun dipertengahannya.


b)

talak yang dijatuhkan terhadap isteri dalam keadaan suci tetapi pernah digauli

oleh suaminya dalam keadaan suci dimaksud.

15

Ditinjau dari segi ada atau tidak adanya kemungkinan bekas suami merujuk kembali
bekas isteri, maka talak dibagi menjadi dua macam, sebagai berikut :
1.

Talak Raji yaitu talak yang dijatuhkan suami terhadap isterinya yang telah pernah

digauli, bukan karena memperoleh ganti harta dari isteri, talak yang pertama kali dijatuhkan
atau yang kedua kalinya.
Setelah terjadi talak rajI, maka isteri wajib ber iddah, hanya bila kemudian suami hendak
kembali kepada isteri sebelum berakhir masa iddah, maka hal itru dapat dilakukan dengan
jalan rujuk, tetapi jika dalam masa iddah tersebut suami tidak menyatakan rujuknya, maka
talak tersebut berubah menjadi talak bain dengan berakhir iddahnya.: kemudian jika sesudah
berakhir iddahnya itu suami ingin kembali kepada bekas isterinya, maka wajib dilakukan
dengan akad nikah baru dan dengan mahar yang baru pula. Talak raji hanya terjadi dengan
talak yang pertama dan kedua saja`
2.

Talak Bain yaitu talak yang tidak memberi hak merujuk bagi bekas suami terhadap

bekas isterinya. Untuk mengembalikan bekas isteri ke dalam ikatan perkawinan harus melalui
akad nikah baru lengkap dengan rukun dan syarat-syaratnya.
Talak bain terbagi dua macam yaitu :
a. Talak Bain Sughra yaitu talak bain yang menghilangkan kepemilikan bekas suami terhadap
isteri tetapi tidak menghilangkan kehalalan bekas suami untuk menikahkan kembali dengan
bekas isterinya tersebut. Termasuk talak bain sughra adalah

talak sebelum berkumpul

talak dengan pergantian harta yang disebut khulu

talak karena aib (cacat badan), karena salah seorang dipenjara, talak karena

penganiayaan atau yang semacanya.


b.Talak Bain Kubra yaitu talak yang menghilangkan pemilikan bekas suami terhadap bekas
isteri serta menghilangkan kehalalan bekas suami untuk kawin kembali dengan bekas
isterinya, kecuali setelah bekas isteri itu kawin lagi dengan lelaki lain, telah berkumpul
dengan suami kedua serta telah bercerai secara wajar dan telah selesai menjalankan
iddahnya. Talak bain kubra terjadi pada talak yang ketiga.
16

Rukun talak adalah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terwujudnya talak
bergantung ada dan kelengkapannya unsur-unsur tersebut. Adapun rukun talak ada 4 (empat)
yaitu :
1.

Suami. Suami adalah yang memilki hak talak dan yang berhak

menjatuhkannya. Selain suami tidak berhak menjatuhkannya, oleh karena itu talak
bersifat menghilangkan ikatan perkawinan, maka talak tidak mungkin terwujud
kecuali setelah nyata adanya akad perkawinan yang sah
Untuk sahnya talak suami memilii 3 (tiga) syarat yaitu :
a.

berakal,. Suami yang gila tidak sah menjatuhkan talak. Yang dimaksud dengan

gila dalam hal ini adalah hilang ingatan atau rusak akal karena sakit, pitam, hilang
akal karena sakit panas, sakit ingatan karena rusak akal sarafnya.
b.

baligh. Harus sudah dewasa

c.

atas kemauan sendiri. Yang dimaksud ialah adanya kehendak pada diri sendiri

untuk menjatuhkan talak itu dan dijatuhkan atas pilihan sendiri bukan paksaan dari
orang lain. Kehendak dan kerelaan melakukan perbuatan menjadi dasar taklif dan
pertanggung jawaban. Oleh karena itu orang yang dipaksa melakukan sesuatu (dalam
hal ini menjatuhkan talak) tidak dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya
2.

Isteri. Masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan talak terhadap

isterinya sendiri. Tidak dipandang jatuh talak yang diucapkan terhadap isteri orang
lain.
Untuk sahnya talak, isteri memiliki syarat sebagai berikut :
a.

isteri itu masih tetap berada dalam perlindungan suami. Isteri yang menjalani

masa iddah talak raji dari suaminya oleh hukum Islam dipandang masih berada
dalam perlindungan kekuasaan suami. Karenanya bila dalam hal ini masa itu suami
menjatuhkan talak lagi, dipandang jatuh talaknya sehingga menambah jumlah talak
yang dijatuhkan dan mengurangi hak talak yang dimiliki suami. Dalam hal talak
bain, bekas suami tidak berhak menjatuhkan talak lagi terhadap bekas isterinya

17

meski dalam masa iddahnya, karena dengan talak bain itu bekas isteri tidak lagi
berada dalam perlindungan kekuasaan bekas suami.
b.

kedudukan isteri yang ditalak itu harus berdasarkan atas akad perkawinan yang

sah. Jika ia menjadi isteri dengan akad nikah yang batil, seperti akad nikah terhadap
wanita dalam masa iddahnya atau akad nikah dengan perempuan saudara isterinya
(memadu antar dua perempuan bersaudara), atau akad nikah dengan anak tirinya
padahal suami pernah menggauli ibu anak tirinya dan anak tiri itu berada dalam
pemeliharaannya, maka talak yang demikian dipandang tidak ada.
c.

sighat talak. Ialah kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap isterinya

yang menunjukan talak, baik itu sharih maupun kinayah, baik berupa ucapan maupun
tulisan, isyarat bagi suami yang tuna wicara atau pun dengan suruhan dia. Talak tidak
dipandang jatuh jika perbuatan suami terhadap isteri menunjukan kemarahannya,
semisal suami memarahi isteri, memukulnya, mengantarnya ke rumah orang tuanya,
menyerahkan barang-barangnya tanpa disertai penyertaan talak, maka yang demikian
itu bukan talak. Demikian pula niat talak atau masih berada dalam pikiran dan anganangan, tidak diucapkan tidak dipandang sebagai talak. Pembicaraan suami tentang
talak tetapi tidak ditujukan terhadap isterinya maka itupun bukan talak.
d.

qashdu (sengaja) artinya bahwa dengan ucapan talak itu memang dimaksudkan

oleh yang mengucapkannya untuk talak, bukan maksud lain. Oleh karena itu salah
ucap yang tidak dimaksud untuk talak dipandang tidak jatuh talak, seperti suami
memberikan buah salak kepada isterinya. Ia mengucapkan kepada isterinya ini buah
talak untuk mu maka ucapan tersebut tidak menjatuhkan talak.
II.

RUJUK

A. Pengertian Rujuk
Rujuk menurut bahasa artinya kembali, sedangkan menurut istilah adalah kembalinya
seorang suami kepada mantan istrinya dengan perkawinan dalam masa iddah sesudah ditalak
raji.

18

Bila sesorang telah menceraikan istrinya, maka ia dibolehkan bahkan di anjurkan


untuk rujuk kembali dengan syarat keduanya betul-betul hendak berbaikan kembali (islah).
Dalam KHI pasal 63 bahwa Rujuk dapat dilakukan dalam hal:
a. Putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali atau talak yang di
jatuhkan qabla al dukhul.
b. Putus perkawinan berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain
zina dan khuluk.
B. Pendapat Para Ulama tentang Rujuk
Karena rujuk merupakan hak suami, maka untuk merujuknya suami tidak perlu adanya
saksi, dan kerelaan mantan istri dan wali. Namun menghadirkan saksi dalam rujuk hukumnya
sunnah, karena di khawatirkan apabila kelak istri akan menyangkal rujuknya suami.
Rujuk boleh diucapkan, seperti: saya rujuk kamu, dan dengan perbuatan misalnya:
menyetubuhinya, merangsangnya, seperti menciummnya dan sentuhan-sentuhan birahi.
Imam Syafi;I berpendapat bahwa rujuk hanya diperbolehkan dengan ucapan terang
dan jelas dimengerti. Tidak boleh rujuk dengan persetubuhan, ciuman, dan rangsanganrangsangan nafsu birahi. Menurut Imam SyafiI bahwa talak itu memutuskan hubungan
perkawinan.
Ibn Hazm berkata: Dengan menyetubuhinya bukan berarti merujuknya, sebelum kata
rujuk itu di ucapkandan menghadirkan saksi, serta mantan istri diberi tahu terlebih dahulu
sebelum masa iddahnya habis. Menurut Ibn Hazm jika ia merujuk tanpa saksi bukan disebut
rujuk sebab allah berfirman.
Artinya: Apabila mereka telah mendekati akhir masa iddahnya, maka rujuklah
mereka dengan baik dan lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi yang adil di antara kamu. (Q.S. At-Thalaq: 2)
C. Syarat dan Rukun Rujuk
1. Syarat Rujuk

19

a) Saksi untuk rujuk


Fuqaha berbeda pendapat tentang adanya saksi dalam rujuk, apakah ia menjadi syarat
sahnya rujuk atau tidak. Imam malik berpendapat bahwa saksi dalam rujuk adalah
disunnahkan, sedangkan Imam syafiI mewajibkan. Perbedaan pendapat ini disebabkan
karena pertentangan antara qiyas dengan zahir nas Al-quran yaitu:
.dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil..
Ayat tersebut menunjukan wajibnya mendatangkan saksi. Akan tetapi pengkiasan haq
rujuk dengan hak-hak lain yang diterima oleh seseorang, menghendaki tidak adanya saksi.
Oleh karena itu, penggabungan antara qiayas dengan ayat tersebut adalah dengan membawa
perintah pada ayat tersebut sebagai sunnah.
b) Belum habis masa iddah
c) Istri tidak di ceraikan dengan talak tiga
d) Talak itu setelah persetubuhan
Jika istri yang telah di cerai belum perah di campuri, maka tidak sah untuk rujuk,
tetapi harus dengan perkawinan baru lagi.
Dalam rujuk, tidak disyaratkan keridhaan dari wanita. Sedangkan bila masih dalam
masa iddah, maka anda lebih berhak untuk diterima rujuknya, walaupun sang wanita tidak
menyukainya. Dan bila telah keluar (selesai) dari masa iddah tetapi belum ada kata rujuk,
maka sang wanita bebas memilih yang lain. Bila wanita itu kembali menerima mantan
suaminya, maka wajib diadakan nikah baru.
Allh Taala menyatakan dalam firman-Nya:

20

Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.
Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allh dalam rahimnya,
jika mereka beriman kepada Allh dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujuknya
dalam masa menanti itu jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah.
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
maruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.
Dan Allh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(Qs. al-Baqarah/2 ayat 228)
Cara untuk rujuk, ialah dengan menyampaikan rujuk kepada istri yang ditalak, atau
dengan perbuatan. Rujuk dengan ucapan ini disahkan secara ijma oleh para ulama, dan
dilakukan dengan lafazh yang sharih (jelas dan gamblang), misalnya dengan ucapan saya
rujuk kembali kepadamu atau dengan kinayah (sindiran), seperti ucapansekarang, engkau
sudah seperti dulu. Kedua ungkapan ini, bila diniatkan untuk rujuk, maka sah. Sebaliknya,
bila tanpa diniatkan untuk rujuk, maka tidak sah.
Sedangkan rujuk dengan perbuatan, para ulama masih bersilang pendapat, namun
yang rajih (kuat) -insya Allh- yaitu dengan melakukan hubungan suami istri atau
muqaddimahnya, seperti ciuman dan sejenisnya dengan disertai niat untuk rujuk.
Demikian ini pendapat madzhab Malikiyah dan dirajihkan oleh Syaikhul-Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullh dan Syaikh as-Sadi rahimahullh. Apabila disertai dengan saksi,
maka itu lebih baik, apalagi jika perceraiannya dilakukan di hadapan orang lain, atau sudah
diketahui khalayak ramai.
2. Rukun Rujuk
1. Suami yang merujuk

21

2. Istri yang dirujuk


3. Ucapan yang menyatakan rujuk
4. Saksi

Sumber hukum dan syarat mewariskan harta dalam Islam


Hukum Waris dalam Islam
Hukum Waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah
meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga dan masyarakat yang lebih
berhak. Sumber utama dalam hukum Waris Islam adalah Al Quran surat An-Nisa' ayat 11-12.
hukum Waris Islam atau ilmu faraidh adalah ilmu yang diketahui. siapa yang berhak
mendapat waris dan siapa yang tidak berhak, dan juga berapa ukuran untuk setiap ahli waris.
Dzawil Furudl
Dzawil Furudl adalah anggota keluarga yang memiliki hak atas harta peninggalan
seorang yang meninggal dunia, yaitu :

Laki-laki :
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki
3. Ayah
4. Kakek / ayahnya ayah
5. Saudara kandung
6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki
7. Suami

22

8. Paman
9. Anak dari paman laki-laki
10. Laki-laki yang memerdekakan budak

Perempuan :
1. Anak perempuan
2. Cucu perempuan dari anak laki-laki
3. Ibu
4. Nenek
5. Saudari kandung
6. Istri
7. Wanita yang memerdekakan budak

Pembagian Harta Waris dalam Islam


Adapun besar kecilnya bagian yang diterima bagi masing-masing ahli waris dapat
dijabarkan sebagai berikut:
Pembagian harta waris dalam islam telah ditetukan dalam al qur an surat an nisa
secara gamblang dan dapat kita simpulkan bahwa ada 6 tipe persentase pembagian harta
waris, ada pihak yang mendapatkan setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua
per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6), mari kita bahas satu per satu
1. Pembagian harta waris bagi orang-orang yang berhak mendapatkan waris separoh (1/2):
Seorang suami yang ditinggalkan oleh istri dengan syarat ia tidak memiliki keturunan
anak laki-laki maupun perempuan, walaupun keturunan tersebut tidak berasal dari
suaminya kini

(anak tiri).
Seorang anak kandung perempuan dengan 2 syarat: pewaris tidak memiliki anak lakilaki, dan anak tersebut merupakan anak tunggal.

23

Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki dengan 3 syarat: apabila cucu tersebut
tidak memiliki anak laki-laki, dia merupakan cucu tunggal, dan Apabila pewaris tidak

lagi mempunyai anak perempuan ataupun anak laki-laki.


Saudara perempuan dengan syarat: ia hanya seorang diri (tidak memiliki saudara lain)
baik perempuan maupun laki-laki, dan pewaris tidak memiliki ayah atau kakek

ataupun keturunan baik laki-laki maupun perempuan.


Saudara kandung perempuan se-ayah dengan syarat: Apabila ia tidak mempunyai
saudara (hanya seorang diri), pewaris tidak memiliki saudara kandung baik perempuan
maupun laki-laki dan pewaris tidak memiliki ayah atau kakek dan katurunan.

2. Pembagian harta waris dalam Islam bagi orang-orang yang berhak mendapatkan waris
seperempat (1/4): yaitu seorang suami yang ditinggal oleh istrinya dan begitu pula
sebaliknya
Seorang suami yang ditinggalkan dengan syarat, istri memilki anak atau cucu dari
keturunan laki-lakinya, tidak peduli apakah cucu tersebut dari darah dagingnya atau

bukan.
Seorang istri yang ditinggalkan dengan syarat, suami tidak memiliki anak atau cucu,
tidak peduli apakah anak tersebut merupakan anak kandung dari istri tersebut atau
bukan.

3. Pembagian harta waris bagi orang-orang yang berhak mendapatkan waris seperdelapan
(1/8): yaitu istri yang ditinggalkan oleh suaminya yang memiliki anak atau cucu, baik
anak tersebut berasal dari rahimnya atau bukan.
4. Pembagian harta waris dalam Islam bagi orang-orang yang berhak mendapatkan waris
duapertiga (2/3):

Dua orang anak kandung perempuan atau lebih, dimana dia tidak memiliki saudara

laki-laki (anak laki-laki dari pewaris).


Dua orang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki dengan syarat pewaris tidak

memiliki anak kandung, dan dua cucu tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki.
Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) dengan syarat pewaris tidak memiliki
anak, baik laki-laki maupun perempuan, pewaris juga tidak memiliki ayah atau kakek,

dan dua saudara perempuan tersebut tidak memiliki saudara laki-laki.


Dua saudara perempuan seayah (atau lebih) dengan syarat pewaris tidak mempunyai
anak, ayah, atau kakek. ahli waris yang dimaksud tidak memiliki saudara laki-laki seayah. Dan pewaris tidak memiliki saudara kandung.

24

5. Pembagian harta waris dalam Islam bagi orang-orang yang berhak mendapatkan waris
sepertiga (1/3):

Seorang ibu dengan syarat, Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dari
keturunan anak laki-laki. Pewaris tidak memiliki dua atau lebih saudara (kandung atau

bukan)
Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu, dua orang atau lebih dengan syarat
pewaris tidak memiliki anak, ayah atau kakek dan jumlah saudara seibu tersebut dua
orang atau lebih.

Sumber Hukum Waris


Sumber hukum hukum menurut al-Imam ahmad bin ruslan asy-Syafii dalam kitabnya
Mawahibus Shamad adalah dalam firman Alloh surat an-Nisa ayat 4:

....kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu
dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan)
yang sedap lagi baik akibatnya.
Juga dalam hadis Nabi SAW yang artinya:
Dari Numan bin Basyir r.a beliau berkata: seseungguhnya ayahnya membawa dia
menghadap Rasulullah, seraya beliau berkata: sesungguhnya saya memberikan anakku yang
ini seorang budak yang menjadi milik saya. Lalu Rasulullah bertanya, apakah semua anakmu
kamu berikan seorang budak seperti ini? Beliau menjawab, tidak! Lalu Rasulullah bersabda,
ambillah dia kembali.
Hadis tersebut sebagai dalil kewajiban berlaku adil antara anak-anak dalam
pemberian. Al-bukhari sudah menjelaskan dan beberapa ulama lain, sesungguhnya hibah itu
batal tanpa persamaan diantara anak-anak itu.

SYARAT-SYARAT MEWARISI HARTA

25

Menurut hukum islam , masalah waris mewarisi akan terjadi apabila di penuhinya
syarat- syarat mewarisi. Adapun syarat-syarat mewarisi ada 3 yaitu :
-

Meninggal dunianya muwarrits (pewaris).

Hidupnya warits (ahli waris).

Mengetahui status kewarisan.


Adapun dalam kompilasi hukum islam (KHI), syarat-syarat mewarisi terdapat dalam

pasal 171 huruf b.


1. Meninggal dunianya muwarrits (pewaris)
Matinya muwarrits (pewaris) mutlak harus di penuhi, jadi seseorang baru disebut
muwarrits apabila orang tersebut telah meninggal dunia. Adapun kematian muwarrits dapat
dibedakan menjadi 3 macam yaitu :
a.

Mati haqiqy (mati sejati)

Yaitu hilangnya nyawa seseorang dari jasadnya yang dapat di buktikan dengan panca indra
atau dapat di buktikan dengan alat pembuktian.
b. Mati hukmy (menurut putusan hakim)
Yaitu kematian yang disebabkab adanya vonnis dari hakim, walaupun pada hakekatnya ada
kemungkinan seseorang tersebut masih hidup atau dalam dua kemungkinan antara hidup dan
mati. Contoh vonis kematian seseorang, padahal ada kemungkinan orang tersebut masih hidup
ialah vonis kematian terhadap mafqud yaitu orang yang tidak diketahui kabar beritanya, tidak
dikenal domisilinya dan tidak pula diketahui hidup atau matinya[3].
c.

Mati taqdiry (menurut dugaan)

Yaitu kematian yang didasarkan pada dugaan yang kuat bahwa orang yang bersangkutan telah
mati. contohnya kematian seorang bayi yang baru dilahirkan akibat terjadi pemukulan
terhadap perut ibunya. Kematian tersebut hanya semata-mata berdasarkan dugaan yang kuat
saja, sebab kematian tersebut bisa juga di sebabkan oleh faktor-faktor yang lain.
2. Hidupnya warits (ahli waris)
Hidupnya ahli waris harus jelas pada saat muwarrits meninggal dunia. Ahli waris
merupakan pengganti untuk menguasai harta peninggalan, dan perpindahan hak itu di dapat
melalui jalur waris. Oleh karena itu, setelah muwarrits meninggal dunia, maka ahli warisnya
harus betul-betul hidup, agar pemindahan harta itu menjadi nyata.
Adapun masalah-masalah yang muncul berkaitan dengan syarat hidupnya ahli waris
ialah mengenai mafqud, anak dalam kandungan, dan keadaan mati bebarengan (mati secara
bersamaan).
26

Masalah mafqud terjadi dalam hal keberadaan seseorang waris tidak diketahui secara
pasti apakah masih hidup atau sudah mati ketika muwarrits meninggal dunia. Jika terjadi
kasus seperti ini, maka pembagian waris dilakukan dengan cara memandang si mafqud
tersebut masih hidup. Hal ini dilakukan untuk menjaga hak si mafqud jika ternyata dia masih
hidup. Bila di kemudian hari sebelum habis waktu maksimal untuk menunggu ternyata si
mafqud datang atau hadir dalam keadaan hidup, maka bagian waris yang telah disediakan
untuk si mafqud tersebut di berikan kepadanya. Jika dalam tenggang waktu yang telah
ditentukan ternyata si mafqud tersebut tidak datang, sehingga dia dapat diduga telah mati,
maka bagiannya tersebut di bagi di antara para ahli waris lainnya sesuai dengan perbandingan
furudh mereka masing-masing.
Masalah anak dalam kandungan terjadi dalam hal istri muwarrits dalam keadaan
mengandung ketika muwarrits meninggal dunia.dalam kasus seperti ini maka penetapan
keberadaan anak tersebut dilakukan pada saat kelahiran anak tersebut.oleh sebab itu maka
pembagian waris dapat di tangguhkan sampai anak tersebut dilahirkan.
Masalah mati secara bersamaan, hal ini terjadi jika dua orang atau lebih yang saling
mewarisi mati secara bersamaan. Misalnya seorang bapak dan anaknya tenggelam atau
terbakar bersama-sama, sehingga tidak diketahui secara pasti siapa yang meninggal terlebih
dahulu, dalam kasus ini mereka tidak boleh saling mewarisi, dan salah seorang dari mereka
tidak boleh memiliki tirkah yang lainnya. Maka, yang berhak untuk memiliki tirkah tersebut
adalah ahli waris masing-masing yang masih hidup. hal ini sesuai dengan yang di isyaratkan
oleh fuqaha bahwa : tidak saling waris antara dua orang yang mati tenggelam atau terbakar
atau sama-sama tertimpa reruntuhan. Demikianlah ketentuan dari hukum islam.
3. Mengetahui status kewarisan.
Agar seseorang dapat mewarisi harta orang yang meninggal dunia,haruslah jelas
hubungan antara keduannya, seperti hubungan suami istri, hubungan kerabat dan derajat
kekerabatannya. sehingga seorang hakim dapat menerapkan hukum sesuai dengan semestinya.
Dalam pembagian harta warisan itu berbeda-beda sesuai dengan jihat warisan dan status
derajat kekerabatannya. Dengan demikian, tidak cukup kita berkata : sesungguhnya orang itu
termasuk saudara orang yang mati, tetapi harus di ketahui juga apakah ia saudara sekandung,
saudara seayah atau seibu, karena masing- masing saudara tersebut mempunyai bagian
tersendiri, sebagian mereka ada yang mendapatkan waris sebagai ash-habul furudl, ada yang
sebagian golongan ashabah dan sebagian lagi ada yang mahjub (tidak mendapatkan warisan
karena terhalang oleh ahli waris yang lebih berhak)

27

Sebab-sebab terlarangnya seseorang mendapat harta warisan


Sebab-sebab mendapat warisan ada 3 (tiga), yaitu:
1. Nikah ( )
Artinya karena ada ikatan pernikahan, apabila seorang laki-laki telah menikah dengan
seorang perempuan maka laki-laki berhak menerima warisan dari perempuan atau
aebaliknya
2. Al-Wala ( ) memerdekakan sifat keabidan
Apabila seseorang telah memerdekakan seorang abid, maka orang tersebut berhak
mendapat warisan dari orang yang telah diperdekakan (dibebaskan)
3. An-Nasab ( ) keturunan
Adanya ikatan darah Seperti anak, cucu, ayah, ibu, kakek, nenek, paman, bibi, saudara
dan sebagainya. Namun tidak semua cucu berhak mendapatkan warisan, insya Allah d
kesempatan yang lain saya akan membahasnya.
Sebab-sebab
1.Ar-Riqqu

yang
(

menghalangi
)

warisan.

Sifat

keabidan

Artinya seorang abid tidak akan mendapat warisan dari siapapun walaupun dari orang
tuanya

sendiri.

2.Al-qotlu

membunuh

Seperti anak membunuh bapaknya, maka si anak tidak akan mendapat warisan dari
bapaknya
3.Ikhtilafuddin

berbeda

agama

Apabila seorang anak beragama kristen sedangkan bapaknya beragama islam maka si
anak tidak akan mendapat warisan dari bapaknya, begitu juga sebaliknya si bapak
tidak akan mendapatkan warisan dari anaknya. Yang di maksud beda agama di sini
adalah antara islam dan non islam, adapun antara non islam dengan non islam seperti
kristen dengan hindu maka mereka akan tetap saling mendapat warisan.

BAB III
PENUTUP

28

3.1

KESIMPULAN
Menikah dalam islam adalah sesuatu yang merupakan ibadah kepada Allah SWT.

Namun nikah tidak bisa dilakukan begitu saja, harus ada syarat, rukun dan ketentuan yang
dipenuhi oleh calon suami istri. Dalam perkawinan ada hal yang menyebabkan terlarangnya
sebuah pernikahan salah satunya apabila suami dan istri adalah mahram. Misalnya mahram
karena keturunan, karena sepersusuan, dan lain-lain.
Dalam suatu perkawinan juga dikenal istilah talak, dan rujuk. Talak berarti
melepaskan ikatan perkawinan. Sedangkan rujuk adalah kembalinya seorang suami kepada
mantan istrinya dengan perkawinan dalam masa iddah sesudah ditalak raji. Keduanya juga memiliki
syarat dan ketentuan yang diatur dalam islam.

Hukum Waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang
telah meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga dan masyarakat yang
lebih berhak. Islam sudah mengatur sedemikian rupa pembagian harta warisan seadil-adilnya
sesuai perintah Al-Quran.

DAFTAR PUSTAKA
www.asySyariah/HukumRujudanTataCaranya.co.id (Diakses pada 28 Oktober 2015)

29

www.my-dock/home/ilmufikih/macam-macamcerai(thalaq)dalamislam.co.id (Diakses pada 28


Oktober 2015)
Rasjid, Sulaiman. 1976. Fikih Islam. Jakarta: Kencana Jakarta
Ghazaly, Abdurrahman. 2003. Fiqih Munahakat. Jakarta: Kencana Jakarta
http://wikipedia.com (Diakses pada 28 Oktober 2015)
http://Abuhauramuafa.com (Diakses pada 28 Oktober 2015)

http://nurazizah22.blogspot.co.id/2012/12/rukun-syarat-dan-sebab-mewarisi.html

(Diakses

pada 3 November 2015)

https://kobonksepuh.wordpress.com/2013/02/02/sebab-sebab-mendapatmenghalangi-hartawarisan/ (Diakses pada 3 November 2015)


http://www.islamnyamuslim.com/2012/12/pembagian-harta-waris-dalam-islam.html (Diakses
pada 3 November 2015)

https://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Waris (Diakses pada 3 November 2015)

30

Anda mungkin juga menyukai