Anda di halaman 1dari 40

Bab 1

FIKIH DAN MUNAKAHAT

A. Pengertian Fikih
Fikih adalah ilmu yang menjelaskan tentang hukum syari’ah yang
berhubungan dengan segala tindakan manusia baik berupa ucapan ataupun
perbuatan yang bersumber dari alqur’an maupun hadis. Fiqih sendiri
berbeda dengan syari’ah.
kalau fiqih merupakan hasil dari pemikiran para fukaha dan
kebenarannya relatif, fikih terdiri dari beberapa mazhab, fiqih mengalami
perubahan seiring perkembangan zaman, dan fikih memliki ruang lingkup
berupa perbuatan manusia. Sedangkan syari’ah diturunkan dari Allah dan
kebenarannya bersifat mutlak, syari’ah itu hanya satu, syari’ah bersifat
tetap, dan syari’ah memiliki ruang lingkup yang luas.

B. Pengertian Munakahat.
Munakahat berarti nikah. Nikah artinya menghimpun, nikah juga berarti
akad dan bersetubuh. Sesuai dalam Q.S. An – Nur ayat 32 :

“ Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara


kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba
sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan
memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah
Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui” .

C. Dasar Hukum Menikah


Menikah dengan sunnah Nabi terdapat dalam Q.S. Al-Ra’d ayat 38 :
“ Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum
engkau (Muhammad) dan Kami berikan kepada mereka istri-istri dan
keturunan. Tidak ada hak bagi seorang rasul mendatangkan sesuatu
bukti (mukjizat) melainkan dengan izin Allah” .

D. Hukum Menikah
1. Wajib ; Nikah menjadi wajib hukumnya bagi mereka terpenuhi dua
syaratnya, yaitu dikhawatirkan jatuh ke dalam zina dan seorang yang
sudah mampu secara finansial
2. Sunnah ; Kesunahan nikah diperuntukkan bagi orang yang memiliki
kemampuan untuk menikah, mau, dan punya keinginan untuk
menyalurkan gairah seksualitas, namun tidak sampai pada taraf
dikhawatirkan akan terjatuh ke dalam kemaksiatan
3. Makruh ; khawatir akan berlaku zalim kepada istrinya jika menikah
namun tidak sampai pada tingkat yakin.
4. Mubah ; tidak ada faktor penghalang dan pendorong untuk menikah
5. Haram ; Keharaman nikah berlaku bagi orang yang menikah dengan
tujuan menyakiti atau tujuan-tujuan lain yang melanggar ketentuan
agama. Misalnya, jika ada orang yang berkeinginan kuat (berniat)
untuk menyakiti dan menyiksa pasangan dalam pernikahan, maka ia
diharamkan untuk menikah.

E. Jenis – Jenis Perkawinan Dalam Islam


1. Nikah Mut’ah ; Nikah mut'ah adalah nikah atau perkawinan yang
dilakukan antara laki-laki dan wanita dengan akad dan jangka waktu
tertentu.
2. Nikah Syighar ; seorang pria mengawinkan wanita yang telah dibawah
perwaliannya dengan pria lain, dengan syarat pria ini mengawinkan
pula wanita yang dibawah perwaliannya dikawinkan dengannya tanpa
adanya mahar dari keduanya.
3. Nikah Muhallil ; nikah yang dimaksudkan untuk menghalalkan bekas
istri yang telah ditalak tiga kali. Imam Malik berpendapat bahwa nikah
muhallil dapat dibatalkan. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa
nikah muhallil itu sah.
4. Nikah al Muhrim ; semua orang yang haram untuk dinikahi selama-
lamanya karena sebab nasab, persusuan dan pernikahan
5. Nikah Dalam Masa Iddah ; menikahi perempuan yang sedang dalam
masa iddah hukumnyya tidak sah. Ulama' fikih (madhhab yang empat)
sepakat, bahwa tidak boleh bagi pria lain menikahi wanita yang sedang
dalam masa iddah.
6. Nikah Siri ; pernikahan yang dilangsungkan oleh suami istri tanpa
kehadiran wali dan saksi-saksi, atau hanya dihadiri wali tanpa
diketahui oleh saksi-saksi. Kemudian pihak-pihak yang hadir (suami-
istri dan wali) menyepakati untuk menyembunyikan pernikahan
tersebut. tetapi ia berartikan “tidak sah”.
7. Nikah Beda Agama ; pernikahan yang dilakukan oleh orang yang
berlainan Agama atau berbeda keyakinan, seperti pernikahan antara
muslim dengan Musyrikah, dan Musyrikah dengan Muslim.
Pernikahan disebut sah apabila telah memenuhi setiap persyaratan
yang ditentukan.

F. Tujuan dan Hikmah


Dalam KHI Pasal 3 menjelaskan bahwa perkawinan bertujuan
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan
warahmah. Selain itu tujuan pernikahan ialah sebagai ibadah kepada Allah
menjalankan sunnah Rasulullah, menjaga dari perbuatan zina, dan
mendapatkan ketururnan.
Hikmah pernikahan diantaranya :
1. memperbanyak keturunan,
2. tumbuhnya naluri keibuan dan kebapaan,
3. menyadari tanggung jawab istri dan mendidik anak – anak
4. adanya pembagian tugas antara suami istri
5. dengan pernikahan, dapat membuahkan tari kekeluargaan.
Bab 2

KHITBAH DAN KAFA’AH

A. Khitbah

Khitbah adalah melamar atau meminang. Secara terminologi khitbah


adalah menyatakan permintaan untuk menikah dari seorang laki- laki kepada
seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantara seseorang yang dipercaya.
Sungguh islam menjadikan khitbah sebagai perantara untuk mengetahui sifat –
sifat perempuan yang dicintai, yang laki –laki menjadi tenang terhadapnya.

B. Dasar Hukum Khitbah


Q.S. Al- Baqarah : 235

“Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan


amu sembunyikan (keinginanmu) dalam hati. Allah mengetahui bahwa kamu
akan menyebut-nyebut kepada mereka. Tetapi janganlah kamu membuat
perjanjian (untuk menikah) dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar
mengucapkan kata-kata yang baik. Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah,
sebelum habis masa idahnya. Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada
dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Pengampun, Maha Penyantun.”

Hadis Rasulullah : “ dari Jabir bin Abdullah berkata : Rasulullah


bersabda jika seseorang meminang perempuan maka jika mampu hendaknya ia
melihatnya sehingga ia menginginkannya untuk melihatnya, maka lakukanlah
sehingga engkau melihatnya sesuatu yang menarik untuk menikahinya maka
nikahilah”. Perlu di pahami bahwa hukum khitbah sama dengan hukum menikah (
wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram )
C. Wanita Yang Boleh Dipinang
Syarat dari wanita yang dipinang adalah :
1. Tidak dalam pinangan orang lain
Dijelaskan bahwa tidak halal baginya meminang yang telah dipinang oelh
saudaranya sampai dia yakin melepaskan pinangannya.
2. Pada waktu dipinang, perempuan tidak ada penghalang syar’i yang melarang
dilangsungkan pernikahan seperti ; masih status istri orang, tidak dalam masa
iddah,dll.
3. Perempuan itu tidak dalam masa iddah karena talak raj’i.

D. Kriteria Wanita Yang Dipinang


1. Menikahi perempuan yang karena keshalehahannya, shalehah disini berarti
taat, canti, patuh, dan amanah
2. Memilih calon istri yang berbadan sehat dan baik, dan tidak cacat
3. Memilih calon istri yang subur
4. Memilih istri yang pecinta lagi bisa beranak banyak, penyayang
5. Memilih istri yang cantik dan perawan
6. Dan memilih istri yang baik dan lingkungan yang baik.

E. Pembatalan Khitbah
Khitbah hanyalah langkah pertama menuju pernikahan, membatalkan khitbah
tidak menimbulkan pengaruh apapun selagi belum terjadi akad. Dijelaskan dalam
KHI Pasal 13 bahwa :
1. Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas
memutuskan hubungan peminangan. Seperti keduanya tidak atau
belum boleh berkhalwat sebab mereka belum sah menjadi suami
istri.
2. Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan
tata cara yang baik dan sesuai dengan tuntutan agama dengan
kebiasaan setempat sehingga tetap rukun.
F. Kompilasi Hukum Islam Khitbah

Dalam KHI Pasal 1 disebutkan bahwa khitbah adalah kegiatan upaya kearah
terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dan wanita. Selanjutnya Pasal 11
menjelaskan bahwa peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang
berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang
dipercaya.

G. Kafa’ah Dalam Perkawinan

Kafa’ah menurut bahasa artinya “setaraf, seimbang, atau keserasian/ serupa


sederajat, sebanding. Kafa’ah dalam pernikahan adalah bahwa suami harus sekufu
atau sederajat bagi istrinya, artinya dia memiliki kedudukan yang sama dan sepadan
dengan istrinya dalam hal tingkatan sosial, moral dan ekonomi.

Hadis yang jadi sandaran adanya kafa’ah dalam islam berbunyi, “ perempuan itu
dinikahi karena empat hal, karena harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya.
Pilihlah wanita yang taat kepada agamanya, maka kamu akan beruntung”.( H.R. Abu
Hurairah )

H. Sifat –Sifat Kafa’ah


1. Segi agama dan ketaqwaan
2. Segi nasab
3. Segi kekayaan
4. Segi pekerjaan
5. Kesempurnaan anggota tubuh
Bab 3

MAHAR

A. Pengertian Mahar

Mahar secara etimologi berarti maskawin. Sedangkan secara


terminologi pemberian yang wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai
ketulusan hati calon suami, untuk menimbulkan rasa cinta kasih dan sayang bagi
seorang istri kepada calon suaminya dalam kaitannya dengan pernikahan.

Dengan pengertian diatas mahar merupakan pemberian yang wajib


diberikan oleh laki laki kepada calon istrinya tidak ditentukan besar kecilnya,
sebab disesuaikan dengan tingkat kemampuan calon pengantin laki laki atas dasar
kerelaan dari pihak calon pengantin istri. Konsep mahar ini diatur dalam KHI
Nomor 1 Tahun 1991 “ mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada
calon mempelai wanita, baik dalam bentuk barang, uang atau jasa yang tidak
bertentangan dengan hukum islam”.

B. Dasar Hukum Mahar


Q.S. An- Nisa : 4

ُ‫سا فَ ُكلُ ْوه‬


ً ‫ش ْيءٍ ِّم ْنهُ نَ ْف‬ َ ‫س ۤا َء‬
َ ‫صد ُٰق ِّت ِّه َّن ِّن ْحلَةً ۗ فَا ِّْن ِّطبْنَ لَ ُك ْم َع ْن‬ َ ‫الن‬ ِّ ‫َو ٰاتُوا‬
‫َهنِّ ۤ ْيـًٔا َّم ِّر ۤ ْيـًٔا‬
“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati,
maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.”

C. Syarat Mahar

1. Mahar harus sesuatu yang ada harga dan bisa diambil manaatnya.
Meskipun sedikit, tetapi ada harga dan manfaatnya.
2. Mahar harus suci
3. Mahar harus milik pribadi calon suami bukan arang ghasab
D. Kadar Mahar

Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan jumlah maksimum dari


mahar/ maskawin. Ukuran mahar diserahkan kepada kemampuan suami, hal
ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam
memberikannya. Mahar juga tidak di perbolehkan berlebih lebihan sehingga
memberatkan pihak calon suami, serta hal itu dapat menghambat pernikahan.

Dengan tidak diperbolehkannya mematok mahar dengan harga tinggi


maka akan memudahkan anak muda untuk menikah dan mereka tidak
menghindari pernikahan dan dapat menghindari perzinahan ataupun tabattul
(melajang).

E. Jenis –Jenis Mahar


1. Mahar Musamma, mahar yang sudah disebut atau dijanjikan serta
disebutkan kadar dan besarnya ketika akad nikah dan ulama berpendapat
mahar itu harus diberikan secara penuh apabila telah bercampur dan salah
satu dari keduanya meninggal dan apabila nikahnya rusak seperti istrinya
ternyata mahram sendiri. Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum
kamu sentuh padahal kamu sudah menentukan maharnya maka bayarlah
seperdua dari yang telah kamu tentukan.
2. Mahar Mitsli, mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum
ataupun ketika terjadi pernikahan. Hal ini karena memerhatikan status
sosial, kecantikan dan sebagainya.
Pemberian mahar ini apabila tidak disebutkan kadarnya saat berlangsung
akad nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri atau meninggal
sebelum bercampur. Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan
keduanya telah bercampur ternyata nikahnya tidak sah.

F. Kedudukan Mahar Dalam Perkawinan


1. Mahar sebagai satu hukum dalam sebuah pernikahan yang sah
2. Mahar diwajibkan kepada calon suami kepada calon istri dengan akad
yang sah sebelum melakukan hubungan suami istri
3. Momen sakral dan pentingnya dalam hubungan suami istri
4. Diwajibkan kepada suami karna suami lebih mampu memberi nafkah .
Bab 4

WALIMATUL ‘URSY

A. Pengertian Walimatul ‘Ursy

Walimah secara bahasa artinya berkumpul. Sedangkan secara


istilah walimah artinya makan makan yang dihidangkan dalam undangan.
Ibnu atsir dalam kitabnya An –Nihayah mengungkapkan walimah adalah
makanan yang dibuat untuk pesta perkawinan. Walimah sendiri bisa
diadakan ketika akad nikah atau pun sesudahnya, walimah juga bisa
diadakan menurut adat dan kebiasaan yang berlaku dimasyarakat.

B. Dasar Hukum Walimatul ‘Ursy


Jumhur ulama sepakat bahwa mengadakan walimah itu hukumnya
sunnah muakkad. Sebagaimana dalam hadis Rasulullah “ dari Anas, ia
berkata : Rasulullah SAW bersabda, belum pernah mengadakan walimah
untuk istri –istrinya, seperti beliau mengadakan walimah untuk zainab,
beliau mengadakan walimah untuknya dengan seekor kambing”. ( H.R.
Bukhari )
Selain itu “ Rasulullah mengadakan walimah untuk sebagian
istrinya dengan 2 mud gandum”. ( H.R.Bukhari ) dari hadis berikut dharus
dipahami bahwa walimah boleh diadakan dengan makanan apa saja sesuai
kemampuan.

C. Bentuk Walimah
1. Walimah Sederhana
Islam mengajarkan kesederhanaan dalam melakukan walimah
tidak berlebih –lebihan dan tidak ada ukuran minimum dan maksimum.
Disarankan walimah diadakan sesuai kemampuan saja untuk
menghindari yang namanya pemborosan, mubadzir dan
membanggakan diri.
2. Walimah Modern
Walimah modern ini walimah yang sudah terpengaruh budaya
barat dan menimbulkan banyak pelanggaran dalam pelaksanaanya
seperti, tukar cincin, seperti yang kita ketahui bahwa laki laki
diharamkan memakai emas, selain itu kebebasan bepergian ketika
sudah khitbah, nyanyian ( hiburan ) yang diluar batas, bercampurnya
wanita dan pria, makan sambil berdiri, dan hanya mengundang orang
kaya saja.

D. Perubahan Sosial Dalam Perkawinan


Kalau pada zaman dahulu perkawinan itu mudah dan sangat
sederhana. Namun pada masa sekarang perkawinan itu sulit dan rumit.
Rumit dan sulit disini membawa kita pada peraturan yang mana kalau dulu
cukup mengundang kerabat dekat, tetangga, namum sekarang harus
membuat undangan yang bagus, menikah dengan menyewa gedung,
makanan yang dihidangkan juga banyak dan bermacam macam.
Selain itu, dulu kalau menikah cukup ada ijab qabul, wali, dan
saksi saat ini sudah ada yang namanya pencatatan nikah dalam KHI Pasal
5 ayat 1 agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam dan
pencatatan dilakukan oleh PPN (pegawai pencatatan nikah).
Nah, yang terakhir yang paling berubah dengan signifikan yang
dulunya terkait pemilihan calon menantu itu ditanya seputar pengetahuan
agama, kini berubah menjadi kerja dimana, lulusan apa, sekolahnya
sampai mana, bahkan pertanyaan tentang seputar agama tadi tidak
dipertanyakan lagi.

E. Hukum Menghadiri Walimah


Jadi, hukum menghadiri walimah wajib apabila tidak ada uzur
syar’i, tidak ada diadakan yang berbau perbuatan munkar. Hadis dari Abu
Hurairah “ Rasulullah bersabda barangsiapa yang tidak menghadiri
walimah sesungguhnya ia telah durhakan kepada Allah dan RasulNya”.
Dihadis lain “ Abu Hurairah berkata sejelek –jeleknya makanan ialah
makanan walimah yang hanya mengundang orang kaya dan meninggalkan
orang miskin”. (H.R.Bukhari)

F. Hikmah Walimah
Sebagai rasa syukur, tanda resminya telah menikah, pengumuman bagi
masyarakat, motivasi bagi yang belum menikah, terciptanya silaturahmi.
Bab 5

MUHARRAMAT

A. Pengertian Muharramat
Mahram adalah orang yang diharamkan untuk dinikahi baik karena
nashab (keturunan) maupun sesusuan. Muharramat terbagi 3 yaitu; karena
nasab, karena pernikahan, dan karena persusuan.

B. Dasar Hukum Muharramat

"Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang


perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu
yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui
kamu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua),
anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu
dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan
istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
(menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu
(menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua
perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.
Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang."

C. Wanita Yang Haram Dinikahi


1. Wanita yang haram dinikahi untuk selamanya, ( Almuharramat
Almuabbadah ). Yaitu wanita yang tidak boleh dinikahi untuk waktu
yang tidak terbatas karena adanya sebab sifat pengharaman yang tidak
bisa hilang seperti, anak perempuannya, saudara perempuannya dll.
2. Wanita yang haram dinikahi untuk sementara. ( Almuharramat
Almu’aqattah ). Yaitu wanita yang haram dinikiahi karena sebab
pengharamannya dapat hilang karena suatu sebab dan bila sebab
pengharaman itu hilang maka sama sama halnya wanita itu bisa
dinikahi seperti, istri orang, wanita musyrik, sedang dalam masa iddah,
sudah ditalak 3 .

D. Wanita Yang haram Dinikahi Sebab Nasab


Wanita yang diharamkan sebab nasab terbagi menjadi 7 , yaitu :
1. Ibu
2. Anak perempuan
3. Saudara perempuan
4. Saudara perempuan dari bapak
5. Saudara perempuan dari ibu
6. Anak anak perempuan dari saudara laki –laki
7. Anak anak perempuan dari saudara perempuan.

E. Wanita Yang Haram Dinikahi Sebab Musaharah ( melalui pernikahan )


Mushaharah adalah orang yang awalnya tidak termasuk keluarga atau
kerabat dekat namun setelah terjadi pernikahan disalah satu anggota
keluarganya menyebabkan mereka tergolong kerabat. Hal ini terbagi
menjadi 4 yaitu :
1. Mertua ( ibu dari istri )
2. Anak tiri
3. Menantu
4. Ibu tiri ( istri bapak )
F. Wanita Yang Haram Dinikahi Sebab Rada’ah ( sesusuan )
Adapun wanita yang haram dinikahi sebab rada’ah ini sama seperti
wanita yang diharamkan sebab nashab.
Syarat rada’ah yang harus terpenuhi agar susuan dapat menjadikan
mahram syarat tersebut adalah:
1. Minimal disusu sebanyak lima kali susuan yang mengenyangkan
2. Penyusuan terjadi pada dua tahun pertama dari usia anak

G. Kompilasi Hukum Islam


Dalam KHI Pasal 40 dilarang melangsungkan pernikahan antara
seorang laki –laki dan seorang perempuan antara lain:
1. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan
dengan pria lain
2. Seorang wanita itu masih dalam masa iddah dengan pria lain
3. Karena seorang wanita itu tidak beragam islam

Dan dilanjut dalam Pasal 42 kalau seorang pria dilarang


melangsungkan pernikahan apabila ia sedang memiliki 4 orang istri
yang keempatnya masih memiliki tali pernikahan dan untuk menikah
lagi dia harus menceraikan salah satu istrinya dan menunggu masa
iddah istri tersebut.
Bab 6

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI

A. Pengertian Hak Dan Kewajiban

Hak adalah sesuatu yang seharusnya diterima seseorang setelah ia


memenuhi kewajibannya. Sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang
seharusnya dilaksanakan oleh seseorang untuk mendapatkan hak. Akad nikah
menimbulkan akibat hukum bagi suami istri artinya akan ada hak dan
kewajiban yang dijalankan keduanya dalam hubungan pernikahan tersebut.

B. Hak Bersama Suami Istri


1. Hak bersama dalam pemenuhan hubungan biologis antara suami istri
2. Terjadinya hubungan waris mewarisi
3. Bergaul dengan baik antara suami istri
4. Hubungan nasab bagi anak yang lahir dari istri

C. Kewajiban Suami Istri


Sesuai dalam KHI Pasal 77 :
1. Suami istri memikul kewajiban untuk menegakkan rumah tangga
yang sakinah, mawaddah, warahmah.
2. Suami istri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia, dan
memberi bantuan lahir batin
3. Mengasuh dan memelihara anak anak mereka
4. Wajib memelihara kehormatan dan keharmonisan rumah tangga
5. Jika melalaikan kewajiban maka dapat mengajukan gugatan ke
pengadilan agama.

Dilanjutkan dalam Pasal 78 :

1. Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap


2. Rumah kediaman tersebut ditentukan suami istri bersama

Dilanjutkan dalam Pasal 79 :

1. Suami kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga


2. Hak dan kedudukan suami istri seimbang
3. Masing –masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

D. Hak dan Kewajiban Istri


Hak istri terbagi dua, ada yang berupa materi dan ada yang tidak
berupa materi. Hak yang berupa materi adalah : mahar dan nafkah,
sedangkan hak yang tidak berupa materi adalah : dihargai, dihormati,
diperlakukan dengan baik, dilindungi dan dijaga nama baik istri dan dipenuhi
kebutuhan biologisnya.
Adapun kewajiban istri sesuai dalam KHI Pasal 83 : kewajiban utama
istri adalah berbakti lahir batin kepada suami, dan istri menyelenggarakan
dan mengatur keperluan rumah tangga dengan sebaik –baiknya.

E. Hak dan Kewajiban Suami


Adapun hak suami yaitu : ditaati, taat kepada perintah suami, berdiam
dirumah dan tidak keluar tanpa izin suami, tidak menerima seseorang
kerumah tanpa izin suami. Dan adapun kewajiban suami yang sesuai dalam
KHI Pasal 80 yaitu : suami adalah pembimbing istri dalam rumah tangga,
wajib melindungi istri dan memberikan segala keperluan istri, wajib
memberikan pendidikan agama, sesuai kemampuan penghasilannya suami
menanggung nafkah tempat kediaman, biaya rumah tangga, dan pendidikan
anak.
Bab 7

TALAK

A. Pengertian Talak
Talak berasal dari bahasa arab ithlaq artinya melepaskan atau
meninggalkan menurut istilah syara’ talak adalah menghilangkan ikatan
perkawinan atau mengurani pelepasan ikatanyya dengan menggunakan kata
kata tertentu. Menurut Wahbah al – Zuhaily, salasan mengapa hak talak ada
ditangan laki laki, yang pertama karena perempuan itu perasaannya sangat
halus sehinggat dikhawatirkan akan sangat mudah menjatuhkan talak akibat
terbawa perasaan.

B. Dasar Hukum Talak


Al –Baqarah : 229

“ Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat)
menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu
mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali
keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-
hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu
menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas
bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah
hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa
melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zalim”.
C. Macam – Macam Talak
1. Talak Raj’i yaitu talak dimana suami masih memiliki hak untuk kembali
kepada istrinya (ruju’) sepanjang istrinya tersebut dalam masa iddah
tanpa akad nikah baru baik istri itu bersediha ruju’ ataupun tidak.
2. Talak Ba’in. Talak ini terbagi 2 :
a. Ba’in Sughra : yakni tidak dapat ruju’ kecuali dengan nikah yang
baru sekalipun dalam masa iddah. Karena khulu’
b. Ba’in Kubra : yakni tidak dapat diruju’ kecuali mantan istrinya telah
menikah dan melakukan hubungan suami istri dengan suami baru,
bercerai dan selesai menjalankan masa iddah. Talaq tiga yang
dijatuhkan sekaligus ataupun bertahap
3. Talak Sunni ialah talak ketika istri suci dan belum pernah dicampuri (sah)
4. Talak Bid’i ialah talak ketika istri haid atau suci yang sudah dicampuri
(haram).

D. Hukum Talak Dalam Islam


1. Wajib apabila terjadi pertikaian antara suami istri dan juru damai pun
tidak dapat mendamaikan mereka dan bahkan semakin memanas maka
ketika itu suami wajib mentalakkan istrinya.
2. Mustahhab ketika istri melalaikan hak – hak Allah. Seperti meninggalkan
shalat serta melalaikan hak suaminya.
3. Mubah ketika akhlak atau perilaku istri kepada suami nya sangat buruk
sementara suami melihat sepertinya tidak ada harapan untuk berubah
maka ketika itu talak hukumnya mubah.
4. Makruh ketika dilakukan karena kebutuhan
5. Haram ketika suami menjatuhkan talak kepada istrinya dalam keadaan
haidh / nifas atau dalam masa suci yang telah dijima’ dan belum jelas
kehamilannya.

E. Talak Dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI


1. Dalam Pasal 38 perkawinan dapat putus karena : kematian, perceraian,
atau keputusan pengadilan.
2. Pasal 39 (1) perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan
setelah berusaha untuk mendamaikan dan tidak berhasil. (2) untuk
melakukan perceraian harus ada alasan yang cukup bahwa suami istri itu
tidak dapat rukun. (3) tata cara perceraian didepan sidang pengadilan
diatur dalam peraturan perundangan tersebut.
3. Pasal 40 (1) gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan
4. Pasal 41 apabila bapak yang bertanggung jawab untuk menafkahi atas
semua biaya pemeliharaan yang pada nyatanya tidak terlaksananya
kewajiban itu.
Dalam KHI Pasal 113 perkawinan dapat putus karena : kematian,
perceraian, dan keputusan pengadilan. Pasal 115 perceraian hanya dapat
dilakukan didepan pengadlan agama. Pasal 117 talak adalah ikrar suami
dihadapan sidang pengadilan agama yang menjadi sebab putusnya tali
perkawinan.
Bab 8

NUSYUZ DAN SYIQAQ

A. Pengertian Nusyuz dan Syiqaq


Nusyuz artinya membangkang, durhaka. Artinya seorang istri
melakukan perbuatan menentang suami tanpa alasam yang dapat diterima
oleh syara’ dalam artian tidak mentaati suami, bahkan menolak ketempat
tidur juga termasuk dalam nusyuz dan nusyuz hukumnya haram.

B. Dasar Hukum Nusyuz


Q.S. An- Nisa: 128

“ Dan jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz atau


bersikap tidak acuh, maka keduanya dapat mengadakan perdamaian
yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun
manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu memperbaiki
(pergaulan dengan istrimu) dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan
sikap acuh tak acuh), maka sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang
kamu kerjakan”.

C. Tanda – Tanda Istri Nusyuz


1. Istri tidak mau diajak pindah mengikuti suami untuk menempati
rumah yang telah disediakan sesuai dengan kemampuan suami, atau
istri meninggalkan rumah suami.
2. Apabila istri bepergian tanpa suami atau mahramnya walaupun itu
perjalananwajib seperti haji karena perjalanan istri tanpa suami atau
mahramnya termasuk maksiat.
Nusyuz istri itu seperti tidak taat kepada suami, sikap durhaka
yang dinampakknya, keluar tanpa izin suami, tidak menjalankan apa
yang diperintahkan Allah.
Nusyuz itu juga ada pada laki – laki seperti sikap suami yang
telah meninggalkan kewajibannyaa, bertindak kasar kepada istri,
tidak menggaulinya dengan baik, tidak pula memberi nafkah dan
bersikap acuh tak acuh kepada istri.

D. Penyelesaian Nusyuz
1. Memberi nasihat
2. Berpisah tempat tidur / ranjang sampai istrinya sadar dan berubah
3. Memukulnya. Dalam hal memukul ada beberapa hal yang harus
diperhatikan:
a. Diyakini pukulan yang dapat memberikan efek jera pada
istri
b. Pukulan tidak melukai
c. Tidak memukul wajah dan bagian yang membahayakan
d. Pukulan tersebut tidak melebihi 10 kali pukulan
e. Pukulan tidak dijadikan sebagai kebiasaan

E. Syiqaq
Syiqaq artinya perselisihan antara suami istri yang diselesaikan melalui
2 orang hakam baik dari pihak suami dan dari pihak istri.
Dasar hukum syiqaq :
Q.S. An – Nisa : 35

“ Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara


keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki
dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru
damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi
taufik kepada suami-istri itu. Sungguh, Allah Maha teliti, Maha
mengenal”.

F. Hakamain
Hakam adalah juru damai yang dikirim dari kedua belah pihak baik
pihak istri maupun pihak suami. Hakam ini juga ada yang dari suami istri
dan ada juga dari hakim atau pemerintah.
Syarat hakamain :
1. Adil
2. Mengadakan perdamaian dengan ikhlas
3. Disegani oleh pihak suami dan istri.

G. Kompilasi Hukum Islam


1. Istri dianggap nusyuz jika tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana dalam Pasal 83 ayat 1 kecuali dengan alasan yang
sah.
2. Apabila istri nusyuz suami tidak lagi berhak memberikan nafkah
tapi itu hanya terkait istri saja, kecuali kepentingan anak dan
kewajiban suami berlaku ketika istri tidak nusyuz lagi dalam
Pasal 80 ayat 4
3. Pasal 83 ayat 1 kewajiban utama istri adalah berbakti kepada
suaminya lahir dan batin
4. Pasal 80 ayat 4 masalah nafkah, biaya rumah tangga, dan biaya
pendidikan anak
Bab 9

IDDAH DAN RUJU’

A. Pengertian Iddah
Secara bahasa iddah adalah perhitungan atau hari – hari suci seorang
perempuan. Secara istilah berarti masa menunggu bagi wanita untuk
melakukan perkawinan setelah terjadinya perceraian dengan suaminya baik
cerai hidup atau cerai mati dengan tujuan untuk mengetahui kondisi
rahimnya atau untuk berfikir bagi suami.

B. Macam – Macam Iddah dan Dasar Hukumnya.


1. Iddah istri yang masih haid iddah nya 3 kali haid / quru’/suci
2. Istri yang sudah menopause iddah nya 3 bulan
Sesuai dalam Q.S. Al- Talaq ayat 4 :

“Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di


antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya) maka
idahnya adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid. Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah
mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”.
3. perempuan yang sama sekali tidak pernah haid iddah nya selama 3
bulan.
4. Istri yang ditinggal karena kematian suami iddah nya 4 bulan 10 hari
Sesuai dalam Q.S. Al – Baqarah ayat 234 :
“Dan orang-orang yang mati di antara kamu serta
meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu empat
bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah sampai (akhir) idah mereka,
maka tidak ada dosa bagimu mengenai apa yang mereka lakukan
terhadap diri mereka menurut cara yang patut”.
5. Istri yang sedang hamil atau mengandung iddahnya sampai ia
melahirkan kandungannya .
Sesuai dalam Q.S. A- Talaq ayat 4 :

“Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara is


“Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di
antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya) maka
idahnya adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid. Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah
mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”.
6. Perempuan yang diceraikan tetapi belum digauli maka ini tidak beriddah
Sesuai dalam Q.S.Al – Ahzab ayat 49 :

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu menikahi


perempuan-perempuan mukmin, kemudian kamu ceraikan mereka
sebelum kamu mencampurinya maka tidak ada masa idah atas mereka
yang perlu kamu perhitungkan. Namun berilah mereka mut'ah dan
lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya” .
7. Istri yang diceraikan yang belum digauli dan ditinggal mati suaminya
maka iddahnya sama dengan kematian suami ( Q.S. Al-Baqarah ayat
234 )

C. Hak dan Kewajiban Suami Dalam Masa Iddah.


1. Berhak untuk tinggal dirumah suaminya selama menjalani masa iddah
2. Berhak mendapatkan nafkah
3. Berhak mendapatkan warisan, apabila suami meninggal dalam keadaan
istri dalam masa iddah.

D. Hikmah Iddah
1. Menjaga keturunan dan menghindari percampuran nasab serta demi
menjaga kesucian para istri
2. Menjaga pendengaran istri dari gunjingan orang lain
3. Berfikir ulang dan bisa merujuk istri

E. Kompilasi Hukum Islam Tentang Iddah


Pasal 153 (1) bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku
waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla al dukhul dan perkawinan nya putus
bukan karena kematian suami.

F. Ruju’
Ruju’ adalah kembali atau mengembalikan, secara harfiah ruju’ berarti
kembali kepada istri yang sudah dicerai. Sesuai dalam Q.S. At – Talaq ayat
2 yang artinya :
“Maka apabila mereka telah mendekati akhir idahnya, maka rujuklah
(kembali kepada) mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik
dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan
hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah”.

G. Ruju’ Dalam KHI


1. Pasal 163 (1) seorang suami dapat meruju’ istrinya yang dalam masa
iddah.
2. Pasal 163 (2) ruju’ dapat dilakukan apabila putusnya perkawinan karna
talak, putusnya perkawinan berdasarkan keputusan pengadilan.
3. Pasal 167 (1) suami yang hendak meruju’ istrinya datang bersama ke
pegawai pencatatan nikah yang mewilayahi tenpat tinggal suami istri
dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat yang
diperlukan lainnya (2) ruju’ dengan persetujuan istri dihadapan pegawai
pencatatan nikah (3) pegawai pencatatan nikah memeriksa apakah suami
tersebut sudah memenuhi syarat untuk ruju’ (4) setelah itu suami
mengucapkan ruju’nya dan para saksi menandatangani buku pendaftaran
ruju’

H. Hikmah Ruju.
1. Menghindari murka Allah karena perceraian adalah perbuatan yang
dibenci Allah
2. Bertaubat dan menyesali perbuatan dan adanya tekad untuk
memperbaikinya
3. Menjaga keutuhan keluarga sehingga menghindari perpecahan keluarga
4. Mewujudka islah atau perdamaian.
Bab 10

NAFKAH DALAM PERKAWINAN

A. Pengertian Nafkah
Nafkah merupakan pemenuhan kebutuhan istri berupa makanan,
tempat tinggal, pakaian, pelayanan, pengobatan, meskipun istri serba
berkecukupan. Nafkah merupakann kewajiban yang harus ditunaikan
olehsuami sesuai dengan ketentuan dalam al- qur’an, sunnah, dan ijma’.
Adanya akad nikah yang menimbulkan munculnya hak dan kewajiban dalam
sebuah ikatan pernikahan. Maka adanya kewajiban nafkah dalam pernikahan
tersebut.

B. Syarat – Syarat Wajib Nafkah


1. Adanya hubungan kerabat yang mewajibkan adanya hubungan waris
mewarisi
2. Adanya kebutuhan kerabat yang menuntut nafkah
3. Kerabat yang menuntut nafkah tidak mampu berusaha sendiri
4. Orang yang dibebani kewajiban nafkah cukup mampu

C. Nafkah Anak
1. Anak anak membutuhkan nafkah ( fakir ) dan tidak mampu bekerja
2. Ayah mempunyai harta dan berkuasa memberi nafkah yang menjadi
tulang punggung kehidupannya
3. Apabila anak fakir sampai umur mampu bekerja, dan tidak ada halangan
untuk bekerja, maka gugurlah kewajiban ayah untuk memberi nafkah
kepada anak
4. Anak perempuan dibebankan kepada ayahnya untuk memberi nafkah
sampai ia menikah.
Dijelaskan dalam KHI pasal 156 mengatur bahwa salah satu
akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah semua biaya
hadhonah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut
kemampuannya, sekurang –kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan
dapat mengurus diri sendiri ( 21 tahun ).
D. Nafkah Orang Tua
Dijelaskan dalam Q.S. lukman ayat 15 :

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan


sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah
engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik,
dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku”.
1. Kewajiban anak memberi nafkah kepada orang tuanya termasuk dalam
pelaksanaan perintah al-qur’an untuk berbuat baik kepada orang tuanya
2. Ayat ini menyuruh agar anak berbuat ma’ruf terhadap kedua
orangtuanya
3. Kewajiban ini bisa gugur apabila anak tidak mampu bekerja baik karena
sakit atau lainnya
Dalam Kompilasi Hukum Islam UU No 1 tahun 1974 tentang
perkawinan pasal 46 ayat (2) secara implisit menjelaskan tentang
kewajiban anak memberi nafkah kepada orangtua nya yaitu kata
“memelihara” tergantung dari kesadaran.

E. Nafkah Suami Atas Istri Yang Beriddah


Dijelaskan dalam Q.S. At- Talaq ayat 6 :

“ Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat


tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan
mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri
yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka
nafkahnya sampai mereka melahirkan, kemudian jika mereka
menyusukan (anak-anak)mu maka berikanlah imbalannya kepada
mereka; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan
baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh
menyusukan (anak itu) untuknya” .

1. Perempuan dalam masa iddah talak raj’i atau hamil berhak


mendapatkan nafkah.
2. Sebagaimana telah dijelaskan pada ayat diatas yaitu tempatkanlah
mereka ( para istri ) dimana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu
3. Dan apabila istri yang ditalak sedang hamil , maka berikan
nafkahnya hingga ia bersalin.
Dalam Pasal 149 bilamana perkawinan putus karena talak maka
bekas suami : a. wajib memberikan mut’ah yang layak kepada bekas
istrinya baik berupa uang atau benda kecuali istri tersebut qobla
aldukhul. b. memberi nafkah, maskan, dan kiswah kepada bekas istri.
Pasal 81 suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri
dan anaknya atau bekas istri yang dalam masa iddah. Dan Pasal 80
ayat (4) menjelaskan bahwa kewajiban suami terhadap istri
diantaranya adalah memberikan nafkah, kiswah, dan tempat
kediaman bagi istri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya
pengobatan bagi istri dan anak.
Bab 11

LI’AN, ILLA’, DAN ZIHAR

A. Pengertian Li’an
Li’an berarti laknat atau kutukan. Li’an adalah sumpah seorang suami
terhadap istrinya dengan tuduhan berzina dan tidak mamp mendatangkan
4 orang saksi. Li’an dilakukan dengan dua keadaan yakni:
1. Apabila seorang suami menuduh istrinya telah berzina, sedangkan
dia tidak mempunyai 4 orang saksi.
2. Apabila suami tidak bersedia mengakui kehamilan istrinya berasal
dari si suami sendiri, melainkan berasal dari laki laki lain.

B. Dasar Hukum Li’an


Q.S.An –Nur ayat 6 :

“ Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal


mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka
kesaksian masing-masing orang itu ialah empat kali bersumpah
dengan (nama) Allah, bahwa sesungguhnya dia termasuk orang yang
berkata benar”.

C. Rukun dan Syarat Li’an


Rukun li’an :
1. Suami
2. Istri
3. Sighat / lafadz li’an

Syarat li’an :
Menurut ualam Mazhab Syafi’i dan Madzhab Hanbali
mengemukakan 3 syarat dalam li’an yaitu : status mereka masih suami
istri, sekalipun belum bergaul. Adanya tuduhan berbuat zina dari suami
terhadap istri. Istri mengingkari tuduhan tersebut sampai berakhirnya
proses hukum dari li’an.

D. Lian Dalam KHI


1. Dalam KHI Pasal 126 li’an terjadi karena suami menuduh istri
berzina atau mengingkari anak dalam kandungan yang sudah lahir
dari istrinya sedangkan istri menolak dari pengingkaran tersebut.
2. Dalam UU Pasal 125 li’an menyebabkan putusnya perkawinan suami
istri untuk selama lamanya
3. Pasal 128 KHI li’an hanya sah jika dilakukan dihadapan sidang
pengadilan agama.

E. Pengertian Illa’
Illa’ adalah sumpah suami tidak mau menggauli istri. Illa’ ini
bersumpah tidak mau menggauli istrinya selama 4 bulan dan apabila
belum 4 bulan sang suami balik kepada istrinya maka suami wajib
membayar kafarat. Yang mana pilihan dalam li’an ini balik kepada istri
dengan membayar kafarat atau cerai dengan istrinya.

F. Dasar Hukum Illa’


Q.S. Al-Maidah ayat 89 :

“ Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang


tidak disengaja (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu
disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafaratnya (denda
pelanggaran sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu
dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau
memberi mereka pakaian atau memerdekakan seorang hamba sahaya.
Barangsiapa tidak mampu melakukannya, maka (kafaratnya) berpuasalah
tiga hari. Itulah kafarat sumpah-sumpahmu apabila kamu bersumpah.
Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan hukum-
hukum-Nya kepadamu agar kamu bersyukur (kepada-Nya)”.

G. Rukun Illa’
1. Suami yang meng- illa’ ( al – muliy )
2. Yang menjadi sasaran ila’ ( al-mula’ minhu )
3. Sighat atau ucapan ila’.

H. Kafarat Illa’
Kafarat ila’ sama dengan kafarat sumpah . Sesuai dalam Q.S. Al-
Baqarah ayat 226 yang artinya :
“ Bagi orang yang meng-ila' istrinya harus menunggu empat bulan.
Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sungguh, Allah
Maha Pengampun, Maha Penyayang”.

I. Pengertian Zihar.
Secara bahasa zihar adalah punggung. Artinya zihar adalah suami yang
menyamakan istrinya yang halal baginya dengan ibu kandungnya yang
haram baginya, dan apabila tidak ditarik kata – katanya maka jatuh talak.
Dan hal ini jika suami tidak diteruskannya kepada talak maka ia wajib
membayar kafarat dan haram bercampur dengan istrinya sebelum
membayar kaafarat itu.

J. Dasar Hukum Zihar Serta Kafarat Zihar


Q.S. Al –Mujadalah ayat 3 dan 4 :
“ Dan mereka yang menzihar istrinya, kemudian menarik kembali apa
yang telah mereka ucapkan, maka (mereka diwajibkan) memerdekakan
seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah
yang diajarkan kepadamu, dan Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu
kerjakan (3) . Maka barangsiapa tidak dapat (memerdekakan hamba
sahaya), maka (dia wajib) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum
keduanya bercampur. Tetapi barangsiapa tidak mampu, maka (wajib)
memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah agar kamu
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (4)”.

K. Penyelesaian Dalam Zihar.


1. Suami harus memenuhi kafarat dengan batasan waktu 4 bulan
2. Hendaklah suami menjatuhkan talak apabila menurut suami tidak
memungkin kan lagi untuk memperbaiki hubungan
3. Apabila suami tidak mencabut kembali ziharnya dan tidak
menceraikannya maka setelah 4 bulan hakimlah yang menceraikan
mereka.
Bab 12

HADHONAH
( Pemeliharaan Anak )

A. Pengertian Hadhanah
Secara etimologi merengkuh sesuatu ke dada atau ke pangkuan.
Sedangkan secara terminologi pengasuhan anak baik laki – laki atau
perempuan pada usia tertentu bagi siapapun yang menjaga dan
merawatnya mulai dari menyiapkan makanan, minuman serta menjaga
kebersihannya. Hadhanah adalah memelihara, mendidik, mengatur,
mengurus segala kepentingan anak yang belum mumayyiz.

B. Dasar Hukum Hadhanah


Q.S. At – Tahrim ayat 6 :

“ Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan


keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia
dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang
tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” .

C. Syarat Hadhanah
1. Baligh
2. Berakal
3. Mempunyai kemampuan dalam mengasuh anak
4. Bersikap amanah
5. Terbebas pengasuh dari hal – hal yang bisa menyakiti anak asuh
6. Hendaknya pengasuh tidak menikah dengan suami yang bukan
mahram sianak
7. Pengasuh tidak boleh tinggal bersama orang – orang yang membenci
anak asuh.

D. Masa Berhentinya Hadhanah


1. Hilangnya satu syarat dari berbagai syarat pengasuhan anak seperti
sakitnya pengasuh yang mengakibatkan tidak mampu mengurus si
anak
2. Penolakannya untuk mengasuh, selama tugas pengasuhan belum
ditetapkan kepadanya
3. Kematian pengasuh
4. Cukupnya anak asuh dari proses asuhan karena usia yang sudah
melebihi batas
5. Pengasuhan anak berhenti apabila seorang pengasuh meminta upah,
sedangkan ada pengasuh lain yang siap tidak meminta upah. ( ulama
hanafi ) .

E. Upah Hadhanah
1. Ulama Hanafiyah : berhak mendapatkan upah atas tugas nya mengasuh
anak sama seperti ketika ia menyusui anak. Namun ada kondisi
pengasuh tidak mendapatkan upah jika pengasuh itu adalah ibu dari
sianak.
2. Yang wajib membayar upah adalah yang wajib memberi nafkah
kepada si anak jika anak memiliki harta, boleh menggunakan harta
anak.

F. Masa Pengasuhan
1. Ulama Hanafiyah menginjak usia baligh laki – laki 7 tahun dan
perempuan 9 tahun
2. Ulama Malikiyah berhenti karena baligh bagi laki – laki dan
perempuan ketika dia telah menikah
3. Ulama Syafi’iyah usia 7 tahun
4. Ulama Hanbali usia 7 tahun, namun untuk perempuan dikembalikan
kepada ayah untuk mendapatkan perawatan.

G. Hadhanah Dalam KHI


Pasal 105 :
1. Pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum berumum 12
tahun adalah hak ibunya.
2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayiz diserahkan kepada anak
untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaannya.
Bab 13

POLIGAMI DAN PROBLEMATIKA

A. Pengertian Poligami
Poligami secara bahasa berarti kawin banyak atau dengan kata lain
poligami adalah suatu perkawinan yang banyak dan bisa jadi dalam jumlah
yang tak terbatas. Adapun poligami secara istilah bahwa poligami
merupakan perkawinan antara seorang laki laki dengan lebih dari seorang
perempuan dalam waktu yang sama. Didalam islam diperbolehkan bagi
laki – laki untuk berpoligami tapi dengan pengecualian dan keadaan yang
mendesak.

B. Dasar Hukum Poligami.


Q. S. An – Nisa ayat 3 :

“ Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka
nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.
Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka
(nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki.
Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim” .

C. Alasan dan Syarat Berpoligami


1. Jumlah istri yang dipoligami tidak lebih dari empat wanita.
2. Pembatasan empat wanita ini didasarkan pada q.s. annisa ayat 3
3. Sanggup berbuat adil kepada para istri perihal makanan, minum,
pakaian, tempat tinggal, dan nafkah.
4. Wanita yang dipoligami tidak ada hubungan saudara dengan istrinya
baik susuan maupun nasab, karena dilarang mengumpulkan istri
dengan saudaranya
5. Memiliki harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhan para istri
6. Persetujuan dari istri.
Sedangkan konidi - kondisi yang diperbolehkan poligami
adalah :
1. Bila suami beristri mandul sedangkan ia sangat
mengharapkan keturunan
2. Bila istro sudah tua mencapai umur menopause ( tidak haid)
dan suami mampu memberi nafkah lebih dari seorang istri
3. Demi terpeliharanya kehormatan diri ( tidak terjerumus
dalam perzinahan )
4. Bila diketahui dari hasil sensus pendudk bahwa kam wanita
lebih banyak dari pada kaum pria.

D. Poligami Dalam Undang – Undang


Dalam poligami terdapat pada Bab IX ( KHI ) Pasal 55 yang berbunyi:
1. beristri lebih dari satu orang terbatas hanya sampai empat orang
istri.
2. Syarat utama adalah adil terhadap istri dan anak – anaknya. Jika
tidak mampu maka dilarang berpoligami.

Dalam Pasal 56 berbunyi :


1. Suami yang hendak beroligami harus mendapat izindari
pengadilan agama.

Dalam Pasal 57 berbunyi :


Pengadilan mengizinkan berpoligami apabila :
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri
2. Istri mendapat cacat badan, penyakit yang tidak bisa
disembuhkan
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
E. Hikmah Poligami.
1. Merupakan karunia Allah dan rahmat kepada manusia untuk
kemakmuran dan kemashlahatan
2. Memperbesar jumlah ummat
3. Mengurangi jumlah janda sambil menyantuni mereka
4. Mengantisipasi kenyataan bahwa jumlah wanita berlebih dibandingkan
pria.
Bab 14

KEENGGANAN MENIKAH

PROBLEM SOSIAL KONTEMPORER

A. Kewajiban Menikah dan Larangan Tabattul


Menikah berarti mengumpulkan, menggabungkan, ikatan lahir batin
antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga dan memperoleh keturunan. Dijelaskan dalam
Q.S.Al- A’raf ayat 189 :

“ Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (Adam) dan
daripadanya Dia menciptakan pasangannya, agar dia merasa senang
kepadanya. Maka setelah dicampurinya, (istrinya) mengandung kandungan
yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu)”.
Tabattul berarti sebutan untuk seseorang yang belum menikah
(membujang). Yang mana tabattul ini menjauhi manusia lain, tidak
bersosialisasi, tidak berhubungan seksual, menempuh kehidupan layaknya
biarawan dan tidak menikah.

B. Faktor Tidak Menikah


1. Trauma, trauma akan masa lalu yang mungkin membuat dia merasa
takut untuk melakukan yang kedua kalinya.
2. Merasa tidak butuh pasangan, merasa nyaman dengan kesendirian
sehingga muncul perasaan tidak membutuhkan pasangan hidup.
3. Keuangan, memikirkan bagaimana menghidupi seorang istri
sedaangkan untuk dirinya aja sulit sehingga takut untuk menikah.
4. Masalah seksual, ketika mengalami masalah seksual seperti disfungsi
atau impotensi menyebabkan hilangnya harapan untuk menikah.
5. Belum mendapatkan perempuan yang cocok dengan keinginannya
6. Belum mendapatkan pekerjaan yang layak dan mapan

C. Analisis Problem Sosial Kontemporer


Pasal 3 dalam KHI merumuskan bahwa tujuan dari perkawinan adalah
untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang samawa, tejalinnya
keharmonisan diantara suami istri dan saling berkasih sayang. Adapun
penyebab tidak menikah berdasarkan analisis sosial kontemporer adalah:
1. Faktor kebutuhan ekonomi atau keuangan, karena menikah tidak
hanya perihal cinta tapi juga tanggung jawab untuk menghidupi
keluarga kedepannya
2. Dampak psikologis ( kejiwaan )
3. Agar tetap merasa bebas, orang yang tabattul ingin kehidupannya
bebas tanpa memikirkan beban yang ia alami, ingin bebas dari
kewajiban memberi nafkah dan tanggung jawab sebagai suami.

D. Solusi
Keluarga, sahabat, kerabat dan lainnya berperan penting dalam
hal ini, dengan banyak memberikannya nasehat, contoh, dan cara –
cara serta membantu dalam mencari pasangan yang meyakinkannya
bahwa menikah itu penting dan tidak seburuk ya ia kira. Karena orang
yang terdekat lah yang dapat memahaminya.

Anda mungkin juga menyukai