Anda di halaman 1dari 11

Pertemuan 2

Al-ahwal al Syahsiyah tentang Syarat Sah Nikah (Perkawinan)


Perkawinan adalah rasa cinta kasih, kewajiban, pemenuhan
hasrat seksual dan pelanjutan keturunan. Bagi islam, rasa cinta kasih
Pengertian adalah rukun pertama sebuah perkawinan.

Nikah Perkawinan menurut hukum Islam adalah suatu akad atau


perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki
(Perkawinan) dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup
keluarga, yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan
cara yang diridhai Allah SWT.
Menurut istilah, nikah adalah akad untuk menghalalkan hubungan serta membatasi
hak dan kewajiban, tolong menolong antara laki-laki dan perempuan, dimana antara keduanya
bukan muhrim atau lebih tegasnya, pernikahan adalah suatu akad suci dan luhur antara laki-laki
dan perempuan yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami isteri dan dihalalkannya
hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga sakinah, penuh kasih sayang, kebajikan
dan saling menyantuni.
Nikah (kawin) menurut arti asli ialah hubungan seksual, sedangkan menurut majazi
(mathaporic) atau arti hukum ialah akad (perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual
sebagai suami isteri antara seorang pria dengan seorang wanita.
Pengertian perkawinan menurut Imam Syafi’i adalah suatu akad yang dengannya
menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita sedangkan menurut arti majazi
nikah artinya hubungan seksual.
Dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir
bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Pernikahan adalah sunnah karuniah yang apabila
dilaksanakan akan mendapat pahala tetapi apabila tidak dilakukan
tidak mendapatkan dosa tetapi dimakruhkan karna tidak mengikuti
sunnah rosul.
Asy-Syairazi Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata, “Siapa
yang dibolehkan untuk menikah dan jiwanya sangat berkeinginan
untuk melangsungkannya sementara ia mampu memberikan mahar
dan nafkah kepada wanita yang dinikahinya maka mustahab
Dasar Hukum baginya untuk menikah, berdasarkan hadits Abdullah. Juga, karena
dengan menikah lebih menjaga kemaluannya dan lebih
menyelamatkan agamanya. Namun hukum nikah tidak sampai
diwajibkan atasnya.”
Dalam fikih sebenarnya dikenal dua istilah yang berbeda
kendati hukumnya sama yaitu nikah al-fasid dan nikah al-batil. Al-
jaziry menyatakan bahwa nikah fasid adalah nikah yang tidak
memenuhi salah satu syaratdari syarat-syaratnya, sedangkan nikah
al-batil adalah apabila tidak terpenuhinya rukun.
Ibnu Hazm Azh-Zhahiri rahimahullahu berkata, “Diwajibkan kepada setiap orang yang
mampu untuk jima’ bila ia mendapatkan jalan untuk menikah atau mendapatkan budak agar
melakukan salah satunya, dan ini suatu keharusan. Namun bila ia tidak bisa mendapatkan jalan
untuk menikah atau mendapatkan budak, hendaklah ia memperbanyak puasa.
Hukum nikah ada 5 (Lima) :
1. Wajib kepada orang yang mempunyai nafsu yang kuat sehingga bias menjerumuskannya
ke lembah maksiat (zina dan sebagainya) sedangkan ia seorang yang mampu.disini mampu
bermaksud ia mampu membayar mahar (mas berkahminan/dower) dan mampu nafkah
kepada calon istrinya.
2. Sunat kepada orang yang mampu tetapi dapat mengawal nafsunya.
3. Harus kepada orang yang tidak ada padanya larangan untuk berkahwin dan ini merupakan
hukum asal perkawinan,
4. Makruh kepada orang yang tidak berkemampuan dari segi nafkah batin dan lahir tetapi
sekadar tidak memberi kemudaratan kepada isteri,
5. Haram kepada orang yang tidak berkempuan untuk memberi nafkah batin dan lahir dan ia
sendiri tidak berkuasa (lemah), tidak punya keinginan menikah serta akan menganiaya
isteri jika dia menikah.
Syarat adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan
sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak
termasuk dalam rangkaian pekerjaan tersebut. Adapun syarat sah
dalam pernikahan sebagai sebagaiman diatur dalam KOmpilasi
Hukum Islam Pasal 14 bahwa perkawinan apabila terpenuhi: 1)
adanya calon suami, 2) adanya calon istri, 3) wali nikah, 40 saksi
nikah dan 5) ijab Kabul.

Syarat dan 1. Calon Suami


Seorang calon suami yang akan menikah harus memenuhi
Rukun Nikah syarat-syarat sebagai berikut:
Bukan mahram dari calon istri
a. Bukan mahram dari calon istri
b. Tidak terpaksa (atas kemauan sendiri)
c. Jelas orangnya (bukan banci)
d. Tidak sedang ihram haji
2. Calon Istri
Bagi calon istri yang akan menikah juga harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Tidak bersuami
b. Bukan mahram
c. Tidak dalam masa iddah
d. Merdeka (atas kemauan sendiri)
e. Jelas orangnya
f. Tidak sedang ihram haji
3. Wali
Untuk menjadi seorang wali dalam sebuah pernikahan, harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
a. Laki-laki
b. Dewasa
c. Waras akalnya
d. Tidak dipaksa
e. Adil
f. Tidak sedang ihram haji
4. Saksi Nikah
Dalam Hadits disyaratkan dua orang saksi yang bertugas dalam perkawinan, secara
teknis maksudnya adalah, saksi terdiri dari satu orang dari pihak calon mempelai pria dan satu
orang lagi dari pihak calon mempelai istri. Hal ini bertujuan untuk melakukan justification
terhadap para calon suami atau istri yang akan menikah. Ia harus orang yang mengetahui betul
asal usul keluarga kedua calon mempelai, Jangan sampai para calon suami dan istri karena
ketidaktahuan menikah dengan orang yang dilarang dalam hukum Islam, khususnya bagi yang
ada hubungan darah atau saudara se susuan. Hal kerap terjadi di masyarakat dan diketahui
setelah mereka menikah.
Hal esensial yang diharapkan adalah, untuk menjaga keabsahan para calon mempelai,
jangan sampai melakukan larangan menikah, seperti hubungan darah perkawinan calon
mempelai yang akan menikah ada larangan menikah karena t

5. Ijab Kabul
Ijab adalah sesuatu yang diucapkan oleh wali, sedangkan kabul ialah sesuatu
yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi.
Rukun adalah sesuatu yang harus ada untuk menentukan sah atau tidaknya
suatu pekerjaan (ibadah), namun sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan
tersebut. Adapun rukun-rukut dalam sebuah pernikahan, yang disepakati jumhur
ulama, yaitu:
1. Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan pernikahan. Syarat-syarat
yang harus dipenuhi oleh kedua mempelai adalah:
a. Laki-laki dan perempuan yang melangsungkan pernikahan haruslah sama-
sama beragama Islam.
b. Keduanya harus jelas identitasnya dan bisa dibedakan dengan orang lain,
baik terkait dengan nama, keberadaan, jenis kelamin dan hal-hal lainnya
yang berkenaan dengan dirinya. Dengan adanya syariat peminangan
sebelum berlangsungnya pernikahan kiranya merupakan suatu syarat
supaya kedua calon mempelai bisa sama-sama tahu dan mengenal satu
sama lain secara baik dan terbuka.
c. Kedua belah pihak telah setuju untuk menikah dan juga setuju dengan
pihak yang mengawininya. Tentang izin dan persetujuan dari kedua belah
pihak yang akan melangsungkan pernikahan ulama fikih berbeda pendapat
dalam menyikapinya.
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam ditegaskan mengenai
persyaratan persetujuan kedua mempelai pada pasal 16, yaitu:
a. Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.
b. Bentuk persetujuan calon mempelai wanita berupa pernyataan tegas dan
nyata dengan tulisan, lisan, atau isyarat tapi dapat juga dengan berupa
diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.
c. Antara kedua belah pihak tidak ada hal-hal yang terlarang untuk
melangsungkan pernikahan.
d. Kedua belah pihak telah mencapai usia yang pantas dan layak untuk
melangsungkan pernikahan. Untuk syarat yang terakhir ini akan dibahas
sendiri pada penjelasan selanjutnya.
2. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.
Akad nikah dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakilnya yang akan
menikahkannya, sabda Nabi saw.:
“Diriwayatkan dari Hasan dari Ibn Lahi’ah dari Ja’far ibn Rabi’ah dari Ibn Syihab
dari ’Urwah ibn al-Zubair dari ’Aisyah berkata: Rasulullah SAW bersabda:
Perempuan mana saja yang menikah tanpa seizin walinya maka pernikahannya
batal. Jika suaminya telah menggaulinya, maka maskawinnya adalah untuknya
(wanita) terhadap apa yang diperoleh darinya. Apabila mereka bertengkar,
maka penguasa menjadi wali bagi mereka yang tidak mempunyai wali”. (HR.
Ahmad).

Anda mungkin juga menyukai