Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH PERKAWINAN TENTANG NIKAH TAFWIDH MENURUT

HUKUM ISLAM

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan mempunyai arti penting dalam kehidupan

manusia. Manusia dapat menyalurkan keinginan untuk hidup

berpasang – pasangan dan meneruskan keturunan agar dapat

melestarikan kehidupan manusia. Ikatan perkawinan merupakan

unsur pokok dalam pembentukan keluarga yang harmonis dan

penuh rasa cinta kasih. Seorang pria dan wanita yang sebelum

melakukan perkawinan merupakan pribadi yang bebas tanpa ikatan

hukum, setelah perkawinan menjadi terikat lahir dan batin sebagai

suami istri. Ikatan yang ada diantara suami dan istri merupakan

ikatan lahiriah, rohaniah, spiritual,dan kemanusiaan.

Perkawinan yang dalam akadnya tidak dinyatakan

kesediaan untuk membayar mahar oleh pihak calon suami kepada

calon istri, dalam ajaran islam dinamakan nikah tafwidh. 1

Masyarakat Indonesia yang beragama islam, banyak yang belum

menyadari bahwa membayar mahar atau mas kawin adalah suatu

kewajiban yang harus dilakukan dalam perkawinan, masyarakat

1 Abd Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum


Indonesia, Kencana, Jakarta, 2010, Hlm. 275.
beranggapan bahwa mas kawin hanyalah pelengkap dari sebuah

perkawinan. Padahal islam sangat memperhatikan dan menghargai

kedudukan wanita dengan memberi hak kepadanya, diantaranya

adalah hak untuk menerima mahar. Mahar hanya diberikan oleh

calon suami kepada calon istri, bukan kepada wanita lain atau

siapapun. Orang lain tidak boleh menggunakan mahar tersebut

meskipun oleh suami sendiri, kecuali dengan kerelaan istri.2

B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimana keabsahan nikah tafwidh menurut hukum islam,

undang – undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, dan

kompilasi hukum islam ?

2 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakat, Kencana, Jakarta, 2006, Hlm.85.


BAB II

TINJAUAN UMUM PERKAWINAN MENURUT ISLAM DAN

PERUNDANG – UNDANGAN

A. Pengertian dan Tujuan Perkawinan

Pengertian Pernikahan atau Perkawinan menurut Ahmad

Ashar Bashir, Pernikahan adalah melakukan suatu akad atau

perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita

untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak,

dengan dasar sukarela dan keridhaan kedua belah pihak untuk

mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa

kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhai oleh

Allah.

Salah satu dari tujuan pernikahan atau perkawinan adalah

untuk memperoleh keluarga yang sakinah. Sakinah artinya tenang,

dalam hal ini seseorang yang melangsungkan pernikahan

berkeinginan memiliki keluarga yang tenang dan tentram. Dalam

Tafsirnya Al-Alusi mengatakan bahwa sakinah adalah merasa

cenderung kepada pasangan. Kecenderungan ini merupakan satu

hal yang wajar karena seseorang pasti akan merasa cenderung

terhadap dirinya.

Apabila kecenderungan ini disalurkan sesuai dengan aturan

Islam maka yang tercapai adalah ketenangan dan ketentraman,


karena makna lain dari sakinah adalah ketenangan. Ketenangan dan

ketentraman ini yang menjadi salah satu dari tujuan pernikahan atau

perkawinan. Karena pernikahan adalah sarana efektif untuk menjaga

kesucian hati agar terhindar dari perzinahan.

Tujuan pernikahan yang selanjutnya adalah untuk

memperoleh keluarga yang mawadah dan rahmah. Tujuan

pernikahan Mawadah yaitu untuk memiliki keluarga yang di

dalamnya terdapat rasa cinta, berkaitan dengan hal-hal yang bersifat

jasmaniah. Tujuan pernikahan Rahmah yaitu untuk memperoleh

keluarga yang di dalamnya terdapat rasa kasih sayang, yakni yang

berkaitan dengan hal-hal yang bersifat kerohanian.

Mengenai pengertian mawaddah menurut Imam Ibnu Katsir

ialah al mahabbah (rasa cinta) sedangkan ar rahmah adalah ar-

ra’fah (kasih sayang). Mawaddah adalah makna kinayah dari nikah

yaitu jima’ sebagai konsekuensi dilangsungkannya pernikahan.

Sedangkan ar rahmah adalah makna kinayah dari keturunan yaitu

terlahirnya keturunan dari hasil suatu pernikahan. Ada juga yang

mengatakan bahwa mawaddah hanya berlaku bagi orang yang

masih muda sedangkan untuk ar-rahmah bagi orang yang sudah tua.

Mawaddah wa rahmah ini adalah sikap saling menjaga, saling

melindungi, saling membantu, saling memahami hak dan kewajiban

masing-masing. Pernikahan adalah lambang dari kehormatan dan

kemuliaan. Fungsi pernikahan diibaratkan seperti fungsi pakaian,


karena salah satu fungsi pakaian adalah untuk menutup aurat. Aurat

sendiri bermakna sesuatu yang memalukan, karena memalukan

maka wajib untuk ditutup. Dengan demikian seharusnya dalam

hubungan suami istri, satu sama lainnya harus saling menutupi

kekurangan pasangannya dan saling membantu untuk

mempersembahkan yang terbaik.

B. Syarat Sahnya Perkawinan

Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang Rukun dan Syarat

Perkawinan Bab IV Pasal 14 telah tertulis sebagai berikut:

Pasal 14

Untuk melaksanakan perkawinan harus ada :

a. Calon Suami;

b. Calon Isteri;

c. Wali nikah;

d. Dua orang saksi dan;

e. Ijab dan Kabul.

Lima perkara yang ditetapkan oleh KHI ini adalah sesuai dengan

syariat Islam. Ini dikarenakan lima perkara ini adalah bagian dari

rukun nikah di dalam mazhab Syafi’i.

Rukun nikah menurut mazhab Hanafi pula ada dua (2) yaitu

ijab qabûl. Menurut mazhab Hanbali, rukun nikah ada tiga (3) yaitu

calon mempelai (suami dan istri) yang sepi dari penghalang

berlangsungnya nikah seperti mahram, ijab, dan qabûl. Menurut


mazhab Maliki, rukun nikah ada lima (5) yaitu wali, mahar (mas

kawin), calon suami, calon istri, dan shîghat.


BAB III

ANALISIS PELAKSANAAN NIKAH TAFWIDH MENURUT

HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG – UNDANGAN DI

INDONESIA

Secara etimologis, nikah tafwidh menurut Abdulrahman Al-

Jaziri mempunyai arti yaitu perkawinan yang ketika akadnya

berlangsung, suami meniadaka atau mengosongkan dari

menyebutkan mahar. Sayyid Sabiq mendefinisikan nikah tafwidh

sebagai suatu perkawinan yang tidak ditetapkan maharnya ketika

akad nikah berlangsung.

Menurut HM. Salim Umar, nikah yang didalam akadnya tidak

menyebutkan ketentuan membayar mahar tetap sah, karena mahar

bukan merupakan rukun dan syarat perkawinan. Keabsahan nikah

tanpa menyebutkan mahar ini didasarkan firman Allah yang terdapat

dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 236.

Dalam surat tersebut disebutkan bahwa tidak ada kewajiban

membayar mahar apabila terjadi perceraian sebelum bercampur dan

sebelum menentukan maharnya, maka dapat diartikan nikah yafwidh

diperbolehkan dalam hukum islam.

Kompilasi hukum islam dalam pasal 30 menyebutkan bahwa

calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai

wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua


belah pihak. Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai

wanita dan sejak saat itu menjadi hak pribadinya, diatur dalam pasal

32 KHI. Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai, diatur dalam

pasal 33 ayat (1) KHI. Jika ditarik kesimpulan dari ketiga pasal

tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pada dasarnya menurut

kopilasi hukum islam, pemberian mahar yang baik adalah yang

dilaksanakan pada saat berlangsungnya akad perkawinan dan

penyerahan dilakukan secara tunai.

Terdapat beberapa pengecualian terhadap ketentuan mahar

yang mengatakan bahwa apabila calon mempelai wanita menyetujui,

penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau

sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi

hutan calon mempelai pria, diatur dalam pasal 33 KHI. Pasal

tersebut memperbolehkan penangguhan penyerahan mahar asalkan

disetujui oleh calon mempelai wanita.

Pengaturan nikah tafwidh tidak dijelskan ketentuannya dalam

KHI, namun tersirat dalam pasal 35 ayat (2) KHI yang menyebutkan

bahwa apabila suami meninggal dunia tetapi besarnya mahar belum

ditentukan maka suami wajib membayar mahar mitsil. Kata “mahar

belum ditetapkan” dalam pasal ini menyiratkan bahwa kompilasi

hukum islam mengakui adanya perkawinan yang belum menetapkan

maharnya atau yang disebut dengan nikah tafwidh.


Dengan demikian kompilasi hukum islam memandang bahwa

nikah tafwidh adalah sah hukumnya dan tidak melanggar peraturan

yang ada. Perkawinan tersebut baru melanggar peraturan apabila

selama perkawinan mahar tersebut tidak dibayarkan. Jadi terhadap

kasus nikah tafwidh, perkawinan mereka adalah sah menurut

kompilasi hukum islam karena tidak melanggar pasal – pasal dalam

peraturan tersebut.

Kewajiban membayar mahar ini meski demikian tidak tercantum

dalam undang – undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan.

Undang – undang ini dalam pasal 6 hanya mensyaratkan

persetujuan kedua calon mempelai, pihak pria mencapai umur 19

tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun, izin kedua

orang tua, dan jika kedua orang tua telah meninggal dunia atau dala

keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin

diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang

mempunya hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas

selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan

kehendaknya.

Pasal 2 ayat (1) Undang – Undang perkawinan menyatakan

bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum

masing – masing agama dan kepercayaannya itu. Oleh karena itu,

sahnya perkawinan menurut Undang – Undan Perkawinan merujuk

kembali kepada syarat sah perkawinan menurut hukum islam. Dapat


ditarik kesimpulan bahwa nikah tafwidh menurut Undang – Undang

Perkawinan adalah sah karena nikah tafwidh merupakan perkawinan

yang sah secara islam.


BAB IV

KESIMPULAN

nikah tafwidh adalah sah menurut hukum Islam, Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan Kompilasi

Hukum Islam. Akibat hukum dari nikah tafwidh yaitu yang pertama,

terhadap hak dan kewajiban suami istri, suami bertanggung jawab

atas kesejahteraan keluarga serta menjadi pelindung bagi keluarga,

sementara istri berkewajiban untuk mengurus rumah tangga.

Kedua, terhadap hubungan orang tua dan anak, orang tua wajib

memelihara dan mendidik anak hingga dewasa dan anak wajib

menghormati orang tua dan mentaati kehendak orang tua dengan

baik. Ketiga, terhadap harta benda perkawinan, suami tidak wajib

untuk membayar mahar jika belum campur/ dukhul, cukup

membayar mut’ah (pemberian). Mahar penuh wajib diberikan

apabila telah dukhul atau diantara suami/ istri meninggal sebelum

dukhul.

Anda mungkin juga menyukai