Anda di halaman 1dari 17

EKSISTENSI HAK ULAYAT MASYARAKAT ADAT

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Adat

Dosen pengampu:

Dr. Iim Siti Masyitoh, M.Si

Sri Wahyuni Tanshzil, M.Pd

Kanigara Hawari, S.H., M.H

Disusun oleh:

Aditya Perdana 1808199

Dina Marina 1805943

Istiana Bella 1805578

Muhammad Hanifan 1805508

Muhammad Muflih 1805076

Sri Wahyuni 1802445

PKn 2018 B

DEPARTEMEN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN


FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat rahmat dan kasih sayang-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah dengan
judul ”Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Adat”. Makalah ini dibuat untuk
memenuhi tugas mata kuliah Hukum Adat.
Pada kesempatan ini, kami menyampaikan terima kasih atas saran, bantuan
serta bimbingan yang telah diberikan selama penyusunan makalah ini, yaitu
kepada:
1. Dr. Iim Siti Masyitoh, M.Si., Sri Wahyuni Tanshzil, S.Pd., M.Pd., dan
Kanigara Hawari, S.H., M.H., sebagai dosen pembimbing mata kuliah Hukum
Adat
2. Semua pihak yang turut membantu penyusunan makalah ini baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Kami sadar karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami
masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh sebab itu, dengan terbuka
untuk menerima kritik dan saran yang membangun dari pembaca, sehingga kami
dapat menulis makalah dengan lebih baik lagi untuk kedepannya.
Akhir kata, kami berharap semoga makalah dapat dipahami, menambah
pengetahuan dan menambah pengalaman bagi pembaca.

Bandung, September 2019

Tim Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan masalah.........................................................................................2
C. Tujuan Penulisan...........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3
A. Kedudukan Hak Ulayat dalam Undang-Undang Pokok Agraria..................3
B. Cara Mempertahankan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat......................5
C. Transaksi Tanah dalam Hukum Adat............................................................7
BAB III PENUTUP................................................................................................11
A. Kesimpulan.................................................................................................11
B. Saran............................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................13

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan ini, tanah mempunyai hubungan yang erat sekali dengan
manusia. Setiap orang tentu memerlukan tanah bukan hanya dalam kehidupannya,
untuk mati pun manusia masih memerlukan tanah. Jumlah luas tanah yang dapat
dikuasai manusia sangat terbatas sekali sedangkan jumlah manusia yang berhajat
dengan tanah semakin lama semakin bertambah. Kondisi yang tidak seimbang
antara persediaan tanah dengan kebutuhan akan tanah itu telah menimbulkan
berbagai persoalan dan kasus-kasus persengketaan tanah yang memerkukan
penyelesaian yang baik, benar dan memberikan perlindungan serta kepastian
hukum juga keadilan.

Menurut Wantijk Saleh (1982, hlm. 7) mengatakan tanah dalam arti hukum
memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena dapat
menentukan keberadaan dan kelangsungan hubungan dan perbuatan hukum, baik
dari segi individu maupun dampak bagi orang lain. Untuk mencegah masalah
tanah tidak sampai menimbulkan konflik kepentingan dalam masyarakat,
diperlukan pengaturan, penguasaan dan penggunaan tanah atau dengan kata lain
disebut dengan hukum tanah.

Konsep tanah dalam hukum adat juga dianggap merupakan benda berjiwa
yang tidak boleh dipisahkan dari persekutuannya dengan manusia. Tanah dan
manusia, meskipun berbeda wujud dan jati diri, namun merupakan suatu kesatuan
yang saling mempengaruhi dalam jalinan susunan keabadian tata alam (cosmos),
besar (macro cosmos), dan kecil (micro cosmos). Tanah dipahami secara luas
meliputi semua unsur bumi, air, udara, kekayaan alam, serta manusia sebagai
pusat, maupun roh-roh di alam supranatural yang terjalin secara menyeluruh dan
utuh.

1
Tanah adat secara umum diartikan sebagai tanah yang berada di wilayah
masyarakat hukum adat (desa) dan merupakan hak bersama kepunyaan warganya
yang biasa disebut pula sebagai Hak Ulayat. Sementara dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia tanah adat diartikan sebagai tanah milik yang diatur oleh hukum
adat.

Secara teknis yuridis,hak ulayat merupakan hak yang melekat sebagai


kompetensi khas pada masyarakat hukum adat, berupa wewenang/kekuasaan
untuk mengurus dan mengatur tanah dan isinya dengan daya laku ke dalam dan ke
luar masyarakat hukum adat itu (Sumardjono, 2007, hlm. 55)

Hubungan tanah dengan manusia mengandung karakter spesifik. Karakter


spesifik inilah menjadi basis lahirnya hubungan hukum antara manusia dengan
tanah, seperti yang terjadi di dalam lingkungan masyarakat yang masih mengakui
dan melaksanakan hukum adat.

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana kedudukan hak ulayat dalam Undang-Undang Pokok Agraria?
2. Bagaimana cara mempertahankan hak ulayat masyarakat hukum adat?
3. Bagaimana transaksi tanah dalam hukum adat?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui kedudukan hak ulayat dalam Undang-Undang Pokok
Agraria
2. Untuk mengetahui cara mempertahankan hak ulayat masyarakat hukum
adat
3. Untuk mengetahui transaksi tanah dalam hukum adat

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kedudukan Hak Ulayat dalam Undang-Undang Pokok Agraria

Ketentuan pengakuan hak‐hak masyarakat hukum adat atas tanah dan


sumber daya alam di Indonesia, sangat terkait dengan ketentuan Pasal 18 B ayat
(2) Undang‐Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang
menentukankan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan‐kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak‐hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang‐undang”.

Ketentuan tersebut memberikan posisi konstitusional bagi masyarakat


hukum adat dalam hubungannya dengan negara dan landasan konstitusional bagi
penyelenggara negara, bagaimana seharusnya masyarakat hukum adat
diperlakukan, serta mandat konstitusi yang harus ditaati oleh penyelenggara
negara, untuk mengatur pengakuan dan penghormatan atas keberadaan
masyarakat hukum adat dalam suatu bentuk undang-undang.

Hak ulayat persekutuan hukum diakui dengan tegas di dalam Undang-Undang


Pokok Agraria (Undang-undang No. 5/1960, LN Tahun 1960 No. 104) yang mulai
berlaku 24 September 1960. Ini dapat kita lihat dalam pasal-pasal tertentu dalam
UUPA tersebut.

3
Dalam pasal 3 UUPA dinyatakan: "Dengan mengingat ketentuan-ketentuan
dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari
masyarakat- masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada
harus sedemikian rupa, sehingga sesuai kepentingan nasional dan Negara yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, serta tidak boleh bertentangan dengan undang-
undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi"

Di dalam pasal 5 UUPA, dijelaskan tentang pelaksanaan hak ulayat ini


sebagai berikut: "Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa
ialah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia
serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan
dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan
unsur-unsur yang berdasarkan hukum Agama".

Dapat kita tafsirkan bahwa hak ulayat yang bersumberkan hukum adat,
masyarakat hukum yang bersangkutan tidak boleh menghalangi pemberian hak
guna usaha yang hendak dilakukan pemerintah. Karena usaha pemerintah itu
adalah untuk kepentingan bangsa pada umumnya, jadi lebih tinggi dari hanya
untuk kepentingan sekelompok orang saja.

Misalnya, jika pemerintah hendak melaksanakan pembukaan hutan secara


besar-besaran dan teratur dalam rangka proyck pembangunan semesta, demi
kepentingan penambahan bahan-bahan makanan, transmigrasi, pertanian,
perindustrian besar dan lain usaha pembangunan seperti pembuatan waduk-waduk
untuk pembangkit tenaga listrik dan lain-lain maka hal ulayat dari suatu
masyarakat hukum adat tidak boleh dijadikan penghalang. Jika hak ulayat dari
masyarakat-masyarakat hukum itu dapat menghambat dan menghalangi sesuatu,
maka kepentingan umum akan dikalahkan oleh kepentingan masyarakat hukum
yang bersangkutan. Ini tidak dapat dibenarkan; dengan kata lain kepentingan
sesuatu masvarakat hukum harus tunduk kepada kepentingan nasional dan negara.

4
Pada prinsipnya hak ulayat itu tidak boleh berhubungan dengan asas
pokok yang tercantum dalam pasal 2 ayat (1) UUPA yang berbunyi : "Atas dasar
ketentuan dalam pasal 33 (3) UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud
dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai
organisasi kekuasaan scluruh rakyat".

Sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat (3) UUPA, tetapi penguasaan ini
memang harus "digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat,
dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemudian dalam masyarakat dan
Negara Hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur"

Setelah kita lihat, pasal-pasal UUPA tersebut, diakui secara tegas


berlakunya hak ulayat (beschikkingsrecht). Dalam UUPA disebut bahwa hak
ulayat akan dihormati sepanjanghak ini masih ada menurut kenyataan. Seperti
diketahui menurut Hukum Adat yang berlaku, maka hak ulayat ini tidak terdapat
secara sama kuatnya di semua lingkungan Hukum Adat. Ada lingkungan-
lingkungan hukum adat di mana hak ulayat ini masih kuat tetapi ada juga
lingkungan-lingkungan hukum adat di mana hak ulayat ini sudah luntur sama
sekali dan tidak nampak lagi

Dengan diakuinya hak ulayat ini maka jika misalnya dilakukan pemberian
sesuatu hak atas Negara (umpamanya hak guna usaha), maka sebelumnya
dilakukan hal itu, masyarakat hukum yang bersangkutan akan di dengar dahulu
pendapatnya. Kepada masyarakat hukum itu akan diberikan recognitie (uang
pengkuan) yang memang ia berhak untuk menerimanya selaku pemegang hak
ulayat terscbut Tetapi pengakuan hak ulayat ini tidak boleh sedemikian jauh
hingga masyarakat hukum yang bersangkutan berdasarkan hak ulayat ini dapat
menghalang-halangi pemberian hak guna usaha itu, sedangkan pemberian hak
tersebut di daerah itu sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas.

5
Dalam hal ini berlakunya hak ulayat harus dibatasi, kepentingan
masyarakat hukum adat itu harus tunduk kepada kepentingan yang lebih tinggi,
yaitu kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan Pancasila. Jadi dalam
negara kita sekarang inı hak ulayat masih berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi dan kepentingan negara pada umumnya yang
lebih luas.

B. Cara Mempertahankan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

Eksistensi hak ulayat sebagai tanah adat yang dimiliki oleh sutau
masyarakat hukum adat tertentu telah membuktikan adanya sutau hubungan
hukum antara masyarakat hukum adat sebagai subyek hukum, dan tanah sebagai
obyek hukum. Hak ulayat menunjukkan hubungan hukum antara masyarakat
hukum adat sebagai subjek hak dan tanah/wilayah tertentu sebagai obyek hak.

Menurut Darwis (2008, hlm. 227) terdapat beberapa cara yang dapat
dilakukan oleh masyarakat adat untuk mempertahankakn hak ulayatnya, yaitu
sebagai berikut:

1. Persekutuan berusaha meletakkan batas-batas disekeliling wilayah


kekuasaannya itu. Tetapi usaha ini pada lazimnya sulit dilaksanakan secara
sempurna, terlebih-lebih apabila masyarakat persekutuan tersebut tempat
tinggalnya tersebar dalam pedukuhan-pedukuhan kecil atau apabila daerah
persekutuan tersebut meliputi tanah-tanah kosong yang luas.

2. Menunjuk pejabat-pejabat tertentu yang khusus bertugas mengawasi wilayah


kekuasan persekutuan hukum yang bersangkutan. Pejabat ini di Minangkabau
disebut “jaring”, di Minahasa disebut “teterusan” dan di Ambon disebut
“kepala kewang”, serta di Tuganan Bali disebut “lelipis lembukit”.

3. Dilakukan patroli-patroli perbatasan, juga cara lain sebagai salah satu cara
penegasan wilayah kekuasaan surat-surat pikukuh atau piagam yang

6
dikeluarkan oleh raja-raja dahulu yang dikeluarkan sebagai keputusan hakim-
hakim kerajaan ataupun hakim-hakim pemerintahan kolonial Belanda atau
oleh-oleh pejabat-pejabat Pamong Praja lainnya yang berwenang.

Saptomo (hlm 15) mengutarakan bahwa hak ulayat meliputi semua tanah
yang dalam lingkungan masyarakat hukum adat yang bersangkutan, baik yang
sudah dihaki seseoang maupun yang belum dihaki. Namun kadangkala batas
wilayah teritorial hak ulayat masyarakat hukum adat tidak dapat ditemukan secara
pasti.

Ada 3 (tiga) unsur pokok yang harus dipenuhi untuk dapat menyatakan
bahwa suatu hak ulayat di suatu tempat tertentu masih ada, yaitu:

1. Unsur masyarakat, yaitu sekelompok orang yang merasa terkait tananan hukum
adanya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu yang
mengkaui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalalm
kehidupan sehari-hari;

2. Unsur wilayah, yaitu adanya tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan
hidup para warga persekutuan hukum tersebut, sekaligus sebagai tempat
anggota masyarakat hukum adat yang bersangkutan untuk mengambil
keperluan hidupnya sehari-hari; dan

3. Unsur hubungan antara masyarakat adat dengan wilayahnya, yaitu adanya


tatanan hukum adat tentang pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah
ulayatnya masih berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum yang
berssangkutan. (Harsono, 2009, hlm 10).

Penghormatan dan pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat sebagai hak


asasi manusia secara implisit juga diatur dalam Pasal 28 I ayat (3) Undang-
Undang Dasar 1945 Amandemen II, yang menentukan bahwa “identitas budaya

7
ddan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman
dan peradaban.” Pendekatan Konstitusional terhadap ketentuan pasal tersebut
adalah pendekatan HAM. Hal tersebut nampak jelas dalam sistematika Undang-
Undang Dasar 1945 yang meletakkan Pasal 28 I ayat (3) Undang-Undang Dasar
1945 di dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia bersamaan dengan hak-hak
asasi manusia lainnya.
Selain Pasal 18 B, Pasal 28 I ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
Amandemen II, Pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV juga
merupakan landasan yuridis bagi pengakuan atas keberadaan masyarakat hukum
adat beserta hak ulayatnya. Pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV,
menentukan bahwa:

(1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengah


peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam
memlihara dan mengembangakn nilai-nilai budayanya.
(2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan
budaya nasional.
Ketentuan tersebut , tidak terikat langsung dengan hak ulayat masyarakat
hukum adat, namun dalam kehidupan keseharian masyarakaat hukum adat, pola-
pola pengelolaan sumber daya alam tradisional sudah menjadi budaya tersendiri
yang berbeda dengan pola-pola yang dikembangkan oleh masyarakat industri.
Pola-pola pengelolaan sumber daya alam inilah yang kemudia menjadi salah satu
kearifan lokal/tradisional dalam pengelolaan sumbe daya alam dan lingkungsn
hidup. Ketentuan tersebut menjadi landasan konstitusional dalam melihat
masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya dari dimensi kebudayaan.

C. Transaksi Tanah dalam Hukum Adat

Transaksi tanah dalam hukum adat pada hakikatnya terdiri dari dua aspek,
yaitu:

1. Transaksi tanah yang merupakan perbuatan hukum sepihak


2. Transaksi tanah yang merupakan perbuatan hukum dua pihak

8
Transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum sepihak adalah pendirian
suatu desa dan pembukaan tanah oleh seorang warga persekutuan. Sedangkan
mengenai transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum dua pihak contohnya
adalah pengoperan atau penyerahan sebidang tanah yang disertai oleh
pembayaran kontan dari pihak lain pada saat itu juga kepada pihak penerima
tanah dan pembayaran tanah. Perbuatan hukum ini dalam hukum tanah disebut
“transaksi jual” dalam bahasa Jawa disebut “adol” atau “sade”.

Transaksi jual ini menurut isinya dapat dibedakan dalam tiga macam, yaitu
sebagai berikut:
a) Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan disertai ketentuan bahwa yang
menyerahkan tanah dapat memiliki kembali tanah tersebut dengan
pembayaran sejumlah uang (sesuai dengan perjanjian yang disepakati)
b) Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan tanpa syarat, jadi untuk
seterusnya atau selamanya dimiliki oleh pembeli tanah, di Riau disebut
“menjual lepas”
c) Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan disertai perjanjian bahwa
apabila kemudian tidak ada perbuatan hukum lain, sesudah satu dua tahun
atau beberapa kali panen, tanah itu kembali lagi kepada pemilik tanah
semula yang dalam bahsa Jawa disebut “menjual tahunan adok ayodan”
Agar transaksi ini sah, artinya dalam perbuatan hukum atau mendapat
perlindungan hukum, wajib dilakukan dengan bantuan kepala persekutuan agar
perbuatan hukum ini menjadi terang, dan atas bantuan kepala persekutuan
lazimnya ia menerima uang saksi atau dalam bahasa Batak disebut “pago-pago”.
Apabila transaksi ini diluar pengetahuan kepala persekutuan, maka transaksi
tersebut tidak diakui oleh hukum adat dan oleh karenanya pihak ketiga tidak
terikat olehnya serta oleh umum, si penerima tanah tidak diakui haknya atas tanah
yang besangkutan, perbuatan ini dianggap perbuatan yang tidak terang.
Pada umumnya yang menjadi sebab seorang pemilik tanah melakukan
transaksi itu adalah terdesak akan kebutuhan akan uang. Apabila tidak dapat
memperoleh pinjaman uang, maka dilakukan transaksi rumah. Transaksi ini dapat
diakui sejak si penjual dihadapkan kepala persekutuan dan menerangkan, bahwa
ia mengakui menyerahkan tanahnya serta telah menerima uangnya, maka

9
transaksi itu sudah ditutp dan mulai saat itu si pembeli mendapatkan hak tanah
bersangkutan.
Lebih dalam lagi macam transaksi di atas disebut sebagai berikut:
1. Menjual gadai
Dalam hal ini yang menerima tanah berhak untuk mengerjakan tanah serta
untuk memungut hasil dari tanah itu dan ia hanya terikat oleh janjinya bahwa
tanah hanya dapat ditebus oleh yang menjual gadai. Jika si penerima
membutuhkan uang, boleh menjual tanah itu kepada orang lain, tetapi tidak
secara lepas.
2. Menjual lepas
Dalam hal ini yang membeli lepas memperoleh hak milik atas tanahyang
dibelinya, sedangkan pembayaran dilakukan di hadapan kepala persekutuan.
3. Menjual tahunan

Ini merupakan satu bentuk menyewakan tanah. Transaksi tanah yang seperti ini
di luar Jawa tidak begitu dikenal, mengenai lamanya waktu transaksi ini tidak
tentu.

Dalam UU No. 5 Tahun 1960 (UU Pokok Agraria), Pemerintah RI


menetapkan suatu kebijaksanaan baru terhadap masalah jual gadai. Dalam Pasal
16 Ayat (1) poin h dan Pasal 53 Ayat (1) undang-undang di atas ditetapkan bahwa
hak gadai bersifat sementara. Artinya, dalam waktu yang akan datang diusahakan
dihapuskan. Dan pada saat ini mengingat keadaan masyarakat Indonesia belum
dapat dihapuskan dan diberi sifat sementara yang akan diatur dalam undang-
undang, kemudian ternyata PERPU No. 56 Tahun 1960 yang menetapkan
ketentuan tersebut dalam Pasal 7 sebagai berikut:

“Barang siapa menguasai tanah pertanian dengan gadai yang pada mulai
berlakunya peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun atau lebih, wajib
mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan sesudah
tanaman-tanaman yang ada selesai dipanen dengan tidak ada hak untuk menuntut
pembayaran uang tebusan”.

10
Mengenai hak gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini belum
berlangsung 7 tahun, maka pemilik yanahnya berhak untuk memintanya kembali
setiap waktu setelah tanaman yang ada selesai dipanen dengan membayar uang
tebusan.

Dalam penjelasan Umum PERPU tersebut, Pasal 9 diuraikan bahwa


transaksi jual gadai diadakan oleh pemilik tanah hanya bila ia berada dalam
keadaan yang snagat mendesak dan kalau tidak terdesak oleh kebutuhan-
kebutuhan yang mendesak sekali, biasanya orang lebih suka menyewakan
tanahnya. Oleh karena itu, dalam transaksi jual gadai terdapat imbangan yang
sangat merugikan penjual gadai serta sangat menguntungkan pelepas uang.
Mwngingat hal di atas, maka dalam UU No. 5 Tahun 1960 gadai ditetapkan
bersifat sementara yang harus diusahakan agar suatu saat pada waktunya
dihapuskan.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Ketentuan pengakuan hak‐hak masyarakat hukum adat atas tanah dan


sumber daya alam di Indonesia, sangat terkait dengan ketentuan Pasal 18
B ayat (2) Undang‐Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945) yang menentukankan bahwa “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan‐kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak‐hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang‐
undang”. Dalam negara kita sekarang inı hak ulayat masih berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan
kepentingan negara pada umumnya yang lebih luas.
2. Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan oleh masyarakat adat untuk
mempertahankakn hak ulayatnya, antara lain persekutuan berusaha
meletakkan batas-batas disekeliling wilayah kekuasaannya itu, menunjuk
pejabat-pejabat tertentu yang khusus bertugas mengawasi wilayah
kekuasan persekutuan hukum yang bersangkutan dan dilakukan patroli-
patroli perbatasan.
3. Pada hakikatnya transaksi tanah dalam hukum adat terbagi menjadi dua
jenis, yaitu transaksi tanah yang merupakan perbuatan hukum sepihak dan
transaksi tanah merupakan perbuatan dua pihak. Transaksi tanah yang
merupakan perbuatan sepihak maksudnya yang hanya melibatkan cukup
satu orang saja, sedangkan transaksi tanah dua pihak maksudnya ada
saling keterkaitan antara dua pihak tersebut, jika tidak ada salah satu pihak
diantaranya, maka tidak akan tercapai transaksi tanah tersebut. Ada tiga

12
jenis transaksi tanah, yaitu menjual gadai, menjual lepas, dan menjual
tahunan.

B. Saran
Hak ulayat sebagai identitas yang sudah melekat pada diri masyarakat hukum adat
diharapkan dapat dipergunakan dengan bijak, baik itu oleh masyarakat hukum
adat maupun oleh pemerintah Indonesia itu sendiri. jangan sampai hak ulayat
tersebut disalah gunakan dengan kepentingan-kepentingan tertentu yang harusnya
untuk kepenitngan bersama malah untuk kepentingan oknum-oknum tertentu yang
hendak menguasai tanah masyarakat adat tersebut tanpa adanya persetujuan dari
masyarakat adat sebagai pihak yang memiliki tanah.

13
DAFTAR PUSTAKA

Darwis, R. (2008). Hukum Adat. Bandung: Laboratoriun PKn UPI

Sumardjono, M. (2006). Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan


Imolementasi. Jakarta: Kompas

Saptomo, A. (2010). Hukum dan Kearifan Lokal Revitalisasi Hukum Adat


Nusantara. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia

Saleh, K.W. (1982). Hak Anda atas Tanah. Jakarta: Ghalia Indonesia

Harsono, B. (2009). Laporan Hasil Penelitian “Pengakuan dan Penghormatan


Negara terhadap Masyarakat Adat serta Hak-Hak Tradisionalnya
di Provinsi Kalimantan Selatan”. Banjarmasin: Kerja sama PPU
Dewan Perwakilan Daerah RI dengan Univrsitas Lambung
Mangkurat

Sumardjono, M. (2007). Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan


Implementasi. Jakarta: Kompas

Wulansari, D. (2012) . Hukum Adat Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama

14

Anda mungkin juga menyukai