MAKALAH
Dosen pengampu:
Disusun oleh:
PKn 2018 B
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat rahmat dan kasih sayang-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah dengan
judul ”Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Adat”. Makalah ini dibuat untuk
memenuhi tugas mata kuliah Hukum Adat.
Pada kesempatan ini, kami menyampaikan terima kasih atas saran, bantuan
serta bimbingan yang telah diberikan selama penyusunan makalah ini, yaitu
kepada:
1. Dr. Iim Siti Masyitoh, M.Si., Sri Wahyuni Tanshzil, S.Pd., M.Pd., dan
Kanigara Hawari, S.H., M.H., sebagai dosen pembimbing mata kuliah Hukum
Adat
2. Semua pihak yang turut membantu penyusunan makalah ini baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Kami sadar karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami
masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh sebab itu, dengan terbuka
untuk menerima kritik dan saran yang membangun dari pembaca, sehingga kami
dapat menulis makalah dengan lebih baik lagi untuk kedepannya.
Akhir kata, kami berharap semoga makalah dapat dipahami, menambah
pengetahuan dan menambah pengalaman bagi pembaca.
Tim Penyusun
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan masalah.........................................................................................2
C. Tujuan Penulisan...........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3
A. Kedudukan Hak Ulayat dalam Undang-Undang Pokok Agraria..................3
B. Cara Mempertahankan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat......................5
C. Transaksi Tanah dalam Hukum Adat............................................................7
BAB III PENUTUP................................................................................................11
A. Kesimpulan.................................................................................................11
B. Saran............................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................13
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan ini, tanah mempunyai hubungan yang erat sekali dengan
manusia. Setiap orang tentu memerlukan tanah bukan hanya dalam kehidupannya,
untuk mati pun manusia masih memerlukan tanah. Jumlah luas tanah yang dapat
dikuasai manusia sangat terbatas sekali sedangkan jumlah manusia yang berhajat
dengan tanah semakin lama semakin bertambah. Kondisi yang tidak seimbang
antara persediaan tanah dengan kebutuhan akan tanah itu telah menimbulkan
berbagai persoalan dan kasus-kasus persengketaan tanah yang memerkukan
penyelesaian yang baik, benar dan memberikan perlindungan serta kepastian
hukum juga keadilan.
Menurut Wantijk Saleh (1982, hlm. 7) mengatakan tanah dalam arti hukum
memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena dapat
menentukan keberadaan dan kelangsungan hubungan dan perbuatan hukum, baik
dari segi individu maupun dampak bagi orang lain. Untuk mencegah masalah
tanah tidak sampai menimbulkan konflik kepentingan dalam masyarakat,
diperlukan pengaturan, penguasaan dan penggunaan tanah atau dengan kata lain
disebut dengan hukum tanah.
Konsep tanah dalam hukum adat juga dianggap merupakan benda berjiwa
yang tidak boleh dipisahkan dari persekutuannya dengan manusia. Tanah dan
manusia, meskipun berbeda wujud dan jati diri, namun merupakan suatu kesatuan
yang saling mempengaruhi dalam jalinan susunan keabadian tata alam (cosmos),
besar (macro cosmos), dan kecil (micro cosmos). Tanah dipahami secara luas
meliputi semua unsur bumi, air, udara, kekayaan alam, serta manusia sebagai
pusat, maupun roh-roh di alam supranatural yang terjalin secara menyeluruh dan
utuh.
1
Tanah adat secara umum diartikan sebagai tanah yang berada di wilayah
masyarakat hukum adat (desa) dan merupakan hak bersama kepunyaan warganya
yang biasa disebut pula sebagai Hak Ulayat. Sementara dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia tanah adat diartikan sebagai tanah milik yang diatur oleh hukum
adat.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana kedudukan hak ulayat dalam Undang-Undang Pokok Agraria?
2. Bagaimana cara mempertahankan hak ulayat masyarakat hukum adat?
3. Bagaimana transaksi tanah dalam hukum adat?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui kedudukan hak ulayat dalam Undang-Undang Pokok
Agraria
2. Untuk mengetahui cara mempertahankan hak ulayat masyarakat hukum
adat
3. Untuk mengetahui transaksi tanah dalam hukum adat
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Dalam pasal 3 UUPA dinyatakan: "Dengan mengingat ketentuan-ketentuan
dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari
masyarakat- masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada
harus sedemikian rupa, sehingga sesuai kepentingan nasional dan Negara yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, serta tidak boleh bertentangan dengan undang-
undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi"
Dapat kita tafsirkan bahwa hak ulayat yang bersumberkan hukum adat,
masyarakat hukum yang bersangkutan tidak boleh menghalangi pemberian hak
guna usaha yang hendak dilakukan pemerintah. Karena usaha pemerintah itu
adalah untuk kepentingan bangsa pada umumnya, jadi lebih tinggi dari hanya
untuk kepentingan sekelompok orang saja.
4
Pada prinsipnya hak ulayat itu tidak boleh berhubungan dengan asas
pokok yang tercantum dalam pasal 2 ayat (1) UUPA yang berbunyi : "Atas dasar
ketentuan dalam pasal 33 (3) UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud
dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai
organisasi kekuasaan scluruh rakyat".
Sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat (3) UUPA, tetapi penguasaan ini
memang harus "digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat,
dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemudian dalam masyarakat dan
Negara Hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur"
Dengan diakuinya hak ulayat ini maka jika misalnya dilakukan pemberian
sesuatu hak atas Negara (umpamanya hak guna usaha), maka sebelumnya
dilakukan hal itu, masyarakat hukum yang bersangkutan akan di dengar dahulu
pendapatnya. Kepada masyarakat hukum itu akan diberikan recognitie (uang
pengkuan) yang memang ia berhak untuk menerimanya selaku pemegang hak
ulayat terscbut Tetapi pengakuan hak ulayat ini tidak boleh sedemikian jauh
hingga masyarakat hukum yang bersangkutan berdasarkan hak ulayat ini dapat
menghalang-halangi pemberian hak guna usaha itu, sedangkan pemberian hak
tersebut di daerah itu sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas.
5
Dalam hal ini berlakunya hak ulayat harus dibatasi, kepentingan
masyarakat hukum adat itu harus tunduk kepada kepentingan yang lebih tinggi,
yaitu kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan Pancasila. Jadi dalam
negara kita sekarang inı hak ulayat masih berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi dan kepentingan negara pada umumnya yang
lebih luas.
Eksistensi hak ulayat sebagai tanah adat yang dimiliki oleh sutau
masyarakat hukum adat tertentu telah membuktikan adanya sutau hubungan
hukum antara masyarakat hukum adat sebagai subyek hukum, dan tanah sebagai
obyek hukum. Hak ulayat menunjukkan hubungan hukum antara masyarakat
hukum adat sebagai subjek hak dan tanah/wilayah tertentu sebagai obyek hak.
Menurut Darwis (2008, hlm. 227) terdapat beberapa cara yang dapat
dilakukan oleh masyarakat adat untuk mempertahankakn hak ulayatnya, yaitu
sebagai berikut:
3. Dilakukan patroli-patroli perbatasan, juga cara lain sebagai salah satu cara
penegasan wilayah kekuasaan surat-surat pikukuh atau piagam yang
6
dikeluarkan oleh raja-raja dahulu yang dikeluarkan sebagai keputusan hakim-
hakim kerajaan ataupun hakim-hakim pemerintahan kolonial Belanda atau
oleh-oleh pejabat-pejabat Pamong Praja lainnya yang berwenang.
Saptomo (hlm 15) mengutarakan bahwa hak ulayat meliputi semua tanah
yang dalam lingkungan masyarakat hukum adat yang bersangkutan, baik yang
sudah dihaki seseoang maupun yang belum dihaki. Namun kadangkala batas
wilayah teritorial hak ulayat masyarakat hukum adat tidak dapat ditemukan secara
pasti.
Ada 3 (tiga) unsur pokok yang harus dipenuhi untuk dapat menyatakan
bahwa suatu hak ulayat di suatu tempat tertentu masih ada, yaitu:
1. Unsur masyarakat, yaitu sekelompok orang yang merasa terkait tananan hukum
adanya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu yang
mengkaui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalalm
kehidupan sehari-hari;
2. Unsur wilayah, yaitu adanya tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan
hidup para warga persekutuan hukum tersebut, sekaligus sebagai tempat
anggota masyarakat hukum adat yang bersangkutan untuk mengambil
keperluan hidupnya sehari-hari; dan
7
ddan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman
dan peradaban.” Pendekatan Konstitusional terhadap ketentuan pasal tersebut
adalah pendekatan HAM. Hal tersebut nampak jelas dalam sistematika Undang-
Undang Dasar 1945 yang meletakkan Pasal 28 I ayat (3) Undang-Undang Dasar
1945 di dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia bersamaan dengan hak-hak
asasi manusia lainnya.
Selain Pasal 18 B, Pasal 28 I ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
Amandemen II, Pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV juga
merupakan landasan yuridis bagi pengakuan atas keberadaan masyarakat hukum
adat beserta hak ulayatnya. Pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV,
menentukan bahwa:
Transaksi tanah dalam hukum adat pada hakikatnya terdiri dari dua aspek,
yaitu:
8
Transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum sepihak adalah pendirian
suatu desa dan pembukaan tanah oleh seorang warga persekutuan. Sedangkan
mengenai transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum dua pihak contohnya
adalah pengoperan atau penyerahan sebidang tanah yang disertai oleh
pembayaran kontan dari pihak lain pada saat itu juga kepada pihak penerima
tanah dan pembayaran tanah. Perbuatan hukum ini dalam hukum tanah disebut
“transaksi jual” dalam bahasa Jawa disebut “adol” atau “sade”.
Transaksi jual ini menurut isinya dapat dibedakan dalam tiga macam, yaitu
sebagai berikut:
a) Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan disertai ketentuan bahwa yang
menyerahkan tanah dapat memiliki kembali tanah tersebut dengan
pembayaran sejumlah uang (sesuai dengan perjanjian yang disepakati)
b) Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan tanpa syarat, jadi untuk
seterusnya atau selamanya dimiliki oleh pembeli tanah, di Riau disebut
“menjual lepas”
c) Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan disertai perjanjian bahwa
apabila kemudian tidak ada perbuatan hukum lain, sesudah satu dua tahun
atau beberapa kali panen, tanah itu kembali lagi kepada pemilik tanah
semula yang dalam bahsa Jawa disebut “menjual tahunan adok ayodan”
Agar transaksi ini sah, artinya dalam perbuatan hukum atau mendapat
perlindungan hukum, wajib dilakukan dengan bantuan kepala persekutuan agar
perbuatan hukum ini menjadi terang, dan atas bantuan kepala persekutuan
lazimnya ia menerima uang saksi atau dalam bahasa Batak disebut “pago-pago”.
Apabila transaksi ini diluar pengetahuan kepala persekutuan, maka transaksi
tersebut tidak diakui oleh hukum adat dan oleh karenanya pihak ketiga tidak
terikat olehnya serta oleh umum, si penerima tanah tidak diakui haknya atas tanah
yang besangkutan, perbuatan ini dianggap perbuatan yang tidak terang.
Pada umumnya yang menjadi sebab seorang pemilik tanah melakukan
transaksi itu adalah terdesak akan kebutuhan akan uang. Apabila tidak dapat
memperoleh pinjaman uang, maka dilakukan transaksi rumah. Transaksi ini dapat
diakui sejak si penjual dihadapkan kepala persekutuan dan menerangkan, bahwa
ia mengakui menyerahkan tanahnya serta telah menerima uangnya, maka
9
transaksi itu sudah ditutp dan mulai saat itu si pembeli mendapatkan hak tanah
bersangkutan.
Lebih dalam lagi macam transaksi di atas disebut sebagai berikut:
1. Menjual gadai
Dalam hal ini yang menerima tanah berhak untuk mengerjakan tanah serta
untuk memungut hasil dari tanah itu dan ia hanya terikat oleh janjinya bahwa
tanah hanya dapat ditebus oleh yang menjual gadai. Jika si penerima
membutuhkan uang, boleh menjual tanah itu kepada orang lain, tetapi tidak
secara lepas.
2. Menjual lepas
Dalam hal ini yang membeli lepas memperoleh hak milik atas tanahyang
dibelinya, sedangkan pembayaran dilakukan di hadapan kepala persekutuan.
3. Menjual tahunan
Ini merupakan satu bentuk menyewakan tanah. Transaksi tanah yang seperti ini
di luar Jawa tidak begitu dikenal, mengenai lamanya waktu transaksi ini tidak
tentu.
“Barang siapa menguasai tanah pertanian dengan gadai yang pada mulai
berlakunya peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun atau lebih, wajib
mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan sesudah
tanaman-tanaman yang ada selesai dipanen dengan tidak ada hak untuk menuntut
pembayaran uang tebusan”.
10
Mengenai hak gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini belum
berlangsung 7 tahun, maka pemilik yanahnya berhak untuk memintanya kembali
setiap waktu setelah tanaman yang ada selesai dipanen dengan membayar uang
tebusan.
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
12
jenis transaksi tanah, yaitu menjual gadai, menjual lepas, dan menjual
tahunan.
B. Saran
Hak ulayat sebagai identitas yang sudah melekat pada diri masyarakat hukum adat
diharapkan dapat dipergunakan dengan bijak, baik itu oleh masyarakat hukum
adat maupun oleh pemerintah Indonesia itu sendiri. jangan sampai hak ulayat
tersebut disalah gunakan dengan kepentingan-kepentingan tertentu yang harusnya
untuk kepenitngan bersama malah untuk kepentingan oknum-oknum tertentu yang
hendak menguasai tanah masyarakat adat tersebut tanpa adanya persetujuan dari
masyarakat adat sebagai pihak yang memiliki tanah.
13
DAFTAR PUSTAKA
Saleh, K.W. (1982). Hak Anda atas Tanah. Jakarta: Ghalia Indonesia
14