Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH HUKUM TATA NEGARA

PARTAI POLITIK DAN PEMILIHAN UMUM


DALAM DEMOKRASI

Disusun Oleh:
Muhammad Abdan Syakur (21400016)
Fina Febrianti (21400011)

Dosen: Dr. Nursyamsudin, S.H., M.H

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TAMA JAGAKARSA
JAKARTA
1443 H / 2022 M
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmatnya tim penulis
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Partai Politik Dan Pemilihan Umum
Dalam Demokrasi.

Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada Bpk. Dr. Nursyamsudin, S.H.,


M.H selaku Dosen mata kuliah Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Tama Jagakarsa. Berkat tugas yang diberikan ini, dapat menambah wawasan
kelompok berkaitan dengan topik yang diberikan. Penulis juga mengucapkan
Terima Kasih yang sebesarnya kepada semua pihak yang membantu dalam proses
penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, saran dan
kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, 14 Desember 2022

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 3
1.1 Latar Belakang............................................................................................... 3
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 5
1.3 Tujuan ............................................................................................................ 5
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 6
2.1 Pengertian Partai Politik ................................................................................ 6
2.2 Partai Politik dan Demokrasi ......................................................................... 7
2.3 Tipe partai Politik .......................................................................................... 9
2.4 Pengertian Pemilihan Umum....................................................................... 11
2.5 Pemiliham Umum dan Demokrasi .............................................................. 11
2.6 Asas-Asas Pelaksanaan Pemilu ................................................................... 12
2.7 Lembaga Penyelenggara Pemilu ................................................................. 13
2.8 Pengadilan Sengketa Hasil Pemilu .............................................................. 15
BAB III KESIMPULAN & SARAN .................................................................. 18
3.1 Kesimpulan .................................................................................................. 18
3.2 Saran ............................................................................................................ 18
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 20

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagai wujud dari ide kedaulatan rakyat, dalam sistem demokrasi harus
dijamin bahwa rakyat terlibat penuh dalam merencanakan, mengatur,
melaksanakan, dan melakukan pengawasan serta menilai pelaksanaan fungsi-fungsi
kekuasaan (Asshiddiqie, 2006). Demokrasi perwakilan sebagai sistem demokrasi
modern terdiri dari tiga macam, yaitu demokrasi dengan sistem parlementer,
demokrasi dengan pemisahan kekuasaan, dan demokrasi yang dikontrol oleh rakyat
secara langsung melalui referendum dan inisiatif.

Salah satu konsekuensi dari pelaksanaan demokrasi perwakilan adalah adanya


jarak antara rakyat yang berdaulat dengan pemerintahan yang dibentuk untuk
melaksanakan kedaulatan tersebut. Tanpa adanya jaminan mekanisme partisipasi
rakyat dalam negara sebagai bentuk pelaksanaan kedaulatan rakyat, konsep
kedaulatan dapat dikebiri dan terjebak dalam pengertian kedaulatan rakyat yang
totaliter. Untuk itu diperlukan instrument menjembatani rakyat dengan wakil-
wakilnya baik di parlemen maupun yang duduk sebagai pejabat publik
Pemerintahan yang demokratis membutuhkan mekanisme dan institusi bagi
ekspresi dari kehendak yang diwakili. Jika tidak demikian, sistem perwakilan dapat
berubah menjadi manipulasi dan paksaan (coercion) oleh pemegang kekuasaan
(Clark, 2003). Paling tidak terdapat dua instrumen yang saling berhubungan, yaitu
keberadaan partai politik dan pelaksanaan pemilihan umum.

Untuk menjembatani antara pemerintah dan rakyat, sebagai wujud bekerjanya


demokrasi diperlukan adanya partai politik. Sistem demokrasi tidak mungkin
berjalan tanpa adanya partai politik. Pembuatan keputusan secara teratur hanya
mungkin dilakukan jika ada pengorganisasi berdasarkan tujuantujuan kenegaraan.
Tugas partai politik adalah untuk menata aspirasi rakyat untuk dijadikan public
opinion yang lebih sistematis sehingga dapat menjadi dasar pembuatan keputusan

3
yang teratur (Kranenburg & Sabaroedin, 1989). Dalam negara modern, jumlah
pemilih sangat besar dan kepentingannya bervariasi sehingga perlu mengelolanya
untuk menjadi keputusan. Dengan demikian partai politik berperan besar dalam
proses seleksi baik pejabat maupun substansi kebijakan (MacIver, 1955).

Oleh karena itu, partai politik mempunyai posisi dan peranan yang penting
dalam sistem demokrasi. Partai memainkan peran penghubung yang sangat
strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Bahkan banyak
yang menyatakan bahwa partai politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi
Karena itu partai politik merupakan pilar dalam sistem politik yang demokratis
(Schattschneider, 1975).

Sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, maka
kekuasaan untuk menentukan corak dan cara pemerintahan sesungguhnya berada
di tangan rakyat. Kedaulatan tersebut dilaksanakan menurut ketentuan UUD, yaitu
oleh lembaga negara, dan oleh rakyat yang diantaranya melalui mekanisme
pemilihan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 22E UUD 1945. Pemilihan
umum juga dapat dilihat sebagai mekanisme yang menghubungkan antara
infrastruktur politik dan suprastruktur politik. Pemilu juga merupakan mekanisme
transformasi aspirasi pilitik partai menjadi kebijakan negara.

Untuk menjamin siklus kekuasaan yang bersifat teratur diperlukan mekanisme


pemilihan umum yang diselenggarakan secara berkala, sehingga demokrasi dapat
terjamin, dan pemerintahan yang sungguh-sungguh mengabdi kepada kepentingan
seluruh rakyat dapat benar-benar bekerja efektif dan efisien. Dengan adanya
jaminan sistem demokrasi yang beraturan demikian itulah kesejahteraan dan
keadilan dapat diwujudkan dengan sebaik-baiknya.

Di samping itu, pemilihan umum itu juga penting bagi para wakil rakyat sendiri
ataupun para pejabat pemerintahan untuk mengukur tingkat dukungan dan
kepercayaan masyarakat kepadanya. Demikian pula bagi kelompok warga negara
yang tergabung dalam suatu organisasi partai politik, pemilihan umum itu juga
penting untuk mengetahui seberapa besar tingkat dukungan dan kepercayaan rakyat

4
kepada kelompok atau partai politik yang bersangkutan. Melalui analisis mengenai
tingkat kepercayaan dan dukungan itu, tergambar pula mengenai aspirasi rakyat
yang sesungguhnya sebagai pemilik kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dalam
negara Republik Indonesia.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemilihan umum itu tidak saja
penting bagi warga negara, partai politik, tapi juga pejabat penyelenggara negara.
Bagi penyelenggara negara yang diangkat melalui pemilihan umum yang jujur
berarti bahwa pemerintahan itu mendapat dukungan yang sebenarnya dari rakyat.
Sebaliknya, jika pemerintahan tersebut dibentuk dari hasil pemilihan umum yang
tidak jujur maka dukungan rakyat itu hanya bersifat semu.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang makalah ini, maka berikut pokok masalah yang
dapat dirumuskan:

• Apa pengertian dari Partai Politik dan Pemilihan Umum dan apa saja yang
meliputinya?

1.3 Tujuan

• Untuk Mengetahui pengertian dari Partai Politik dan Pemilihan Umum dan
apa saja yang meliputinya.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Partai Politik

Partai politik merupakan pencerminan dari Negara yang demokratis yang


diyakini sebagai prasarat bagi kehidupan Negara modern. Tanpa menunjuk
kepentingan yang mana dan oleh siapa, jelas bahwa partai politik merupakan
lembaga penyalur kepentingan, yang menyalurkan kepentingan rakyat dan
kepentingan penguasa. Sebagai lembaga penyalur kepentingan, partai
politikdijadikan kominikasi yang berfungsi dua arah, yaitu dari atas ke bawah dan
juga dari bawah keatas. Jika hal ini juga dapat terlaksana dengan baik, maka fungsi
partai politik sebagai artikulasi kepentingan, agresi kepentingan, serta pembuatan
kebijakan dapat berjalan dengan baik sehingga pembanggunan politik yang
diharapkan dapat terwujud.

Partai politik adalah salah satu kompenen yang penting dalam dinamika
perpolitikan sebuah bangsa. Partai politik dipandang sebagai salah satu cara
seseorang atau sekolompok individu untuk meraih kekuasaan. Argumen seperti
sudah bisa kita dengar diberbagai media massa dan dalam seminar-seminar yang
kita ikuti khususnya yang membahas tentang partai politik (Rosana, 2012). Secara
etimologi politik berasal dari kata polis (yunani) yang berarti kota atau Negara kota.
Kemudian diturunkan kata kata polities yang berarti warga Negara. Politike te ckne’
berarti kemahiran politik dan politike episteme yang berarti ilmu politik. Secara
istilah politik adalah usaha untuk mencapai atau mewujudkan cita-cita atau
ideology (Gani, 1984).

Orang pertama yang memperkenalkan kata politik adalah aristoteles oleh


pemangatannya tentang “manusia yang pada dasarnya adalah binatang politik”. Ia
menjelaskan hakikat kehidupan sosial sesunggunya merupakan politik dan interaksi
satu sama lain dari dua atau lebih orang sudah pasti akan melibatkan hubangan
partai politik. Dalam arti luas setiap orang politisi. Dalam hal ini memaksimalkan

6
kemampuan seorang individu dan untuk mencapai bentuk kehidupan sosial yang
tertinggi adalah melalui interaksi politik dengan orang lain dalam suatu kerangka
kelembagaan, yang dirancang untuk memecaahkan konflik sosial dan untuk
membentuik tujuan kolektif-negara. Karena itu semua orang politisi, meski
sebagian (pejabat Negara) lebih banyak melakukan kegiatan politik bila
dibandingkan dengan yang lainya.

Secara umum dapat dikatakan partai politik adalah suatu kelompok yang
terorganisir yang anggota- anggotanya mempunya orientasi, nilai-nilai dan cita-cita
yang Sama (Budiarjo, 2008) . Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh
kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara
konstitusional untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.

2.2 Partai Politik dan Demokrasi

Sebagai sebuah jembatan antara pemerintah dan rakyat, sekaligus sebagai wujud
bekerjanya sistem demokrasi diperlukan adanya partai politik. Sistem demokrasi
tidak mungkin berjalan tanpa adanya partai politik. Pembuatan keputusan secara
teratur hanya mungkin dilakukan jika ada pengorganisasi berdasarkan tujuan-tujuan
kenegaraan. Tugas partai politik adalah untuk menata aspirasi rakyat untuk
dijadikan public opinion yang lebih sistematis sehingga dapat menjadi dasar
pembuatan keputusan yang teratur (Kranenburg & Sabaroedin, 1989). Dalam
sebuah negara modern, jumlah pemilih sangat besar dan kepentingannya bervariasi
sehingga perlu mengelolanya untuk menjadi keputusan. Dengan demikian partai
politik berperan besar dalam proses seleksi baik pejabat maupun substansi
kebijakan (MacIver, 2000).

Oleh karena itu, partai politik mempunyai posisi dan peranan yang penting
dalam sistem demokrasi. Partai memainkan peran penghubung yang sangat
strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Bahkan banyak
yang menyatakan bahwa partai politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi.
Karena itu partai politik merupakan pilar dalam sistem politik yang demokratis.

7
Secara umum, para ilmuwan politik biasa menggambarkan adanya 4 (empat)
fungsi partai politik. Keempat fungsi partai politik itu menurut Miriam Budiardjo,
meliputi sarana (Budiardjo, 1992):

1. Komunikasi Politik: proses penyampaian informasi mengenai politik dari


pemerintahan kepada warga masyarakat, dan dari warga masyarakat kepada
pemerintah. Dalam konteks ini partai politik berfungsi sebagai komunikator
politik, tidak terbatas menyampaikan segala keputusan dan penjelasan
pemerintah kepda warga masyarakat tetapi juga menyampaikan aspirasi dan
kepentingan berbagai kelompok masyarakat kepada pemerintah. Keduanya
dilaksanakan oleh partai politik dalam sistem politik demokrasi
2. Sosialisasi Politik (Political Socialization): proses pembentukan sikap dan
orientasi politik para anggota masyarakat memperoleh sikap dan orientasi
terhadap kehidupan politik yang berlangsung dalaam masyarakat. Ide, visi,
dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan partai politik dimasyarakatkan
kepada konstituen untuk mendapatkan feedback berupa dukungan dari
masyarakat luas. Terkait dengan sosialisasi politik ini, partai juga berperan
sangat penting dalam rangka pendidikan politik. Partai lah yang menjadi
struktur-antara atau intermediate structure yang harus memainkan peran
dalam membumikan cita-cita kenegaraan dalam kesadaran kolektif
masyarakat warga negara.
3. Rekruitmen Politik (Political Recruitment): Partai dibentuk memang
dimaksudkan untuk menjadi kendaraan yang sah untuk menyeleksi kader-
kader pemimpin negara pada jenjang-jenjang dan posisi-posisi tertentu.
Kader-kader itu ada yang dipilih secara langsung oleh rakyat, ada pula
yang dipilih melalui cara yang tidak langsung, seperti oleh Dewan
Perwakilan Rakyat, ataupun melalui cara-cara yang tidak langsung
lainnya. Tentu tidak semua jabatan dapat diisi oleh peranan partai politik
sebagai sarana rekruitmen politik. Jabatanjabatan profesional di bidang-
bidang kepegawai-negerian dan lain-lain yang tidak bersifat politik
(political appointment), tidak boleh melibatkan peran partai politik. Partai

8
hanya boleh terlibat dalam pengisian jabatan-jabatan yang bersifat politik
dan karena itu memerlukan pengangkatan pejabatnya melalui prosedur
politik pula (political appointment). Untuk menghindarkan terjadinya
pencampuradukan, perlu dimengerti benar perbedaan antara jabatan-
jabatan yang bersifat politik itu dengan jabatanjabatan yang bersifat
teknis-administratif dan profesional. Di lingkungan kementerian, hanya
ada satu jabatan saja yang bersifat politik, yaitu Menteri. Sedangkan, para
pembantu Menteri di lingkungan instansi yang dipimpinnya adalah
pegawai negeri sipil yang tunduk kepada peraturan perundang-undangan
yang berlaku di bidang kepegawaian
4. Pengatur Konflik (Conflict Management): nilai-nilai (values) dan
kepentingan-kepentingan (interests) yang tumbuh dalam kehidupan
masyarakat sangat beraneka ragam, rumit, dan cenderung saling bersaing
dan bertabrakan satu sama lain. Jika partai politiknya banyak, berbagai
kepentingan yang beraneka ragam itu dapat disalurkan melalui polarisasi
partai-partai politik yang menawarkan ideologi, program, dan altrernatif
kebijakan yang berbeda-beda satu sama lain. Dengan perkataan lain, sebagai
pengatur atau pengelola konflik (conflict management), partai berperan
sebagai sarana agregasi kepentingan (aggregation of interests) yang
menyalurkan ragam kepentingan yang berbeda-beda itu melalui saluran
kelembagaan politik partai.

2.3 Tipe partai Politik

Para ahli cukup banyak menjabarkan tipe-tipe partai politik, banyaknya


klasifikasi tipe partai politik tersebut diakibatkan sejumlah sudut pandang.
Misalnya, ada yang mengkaitkan dengan kesejarahan, hubungan sosial,
berakhirnya perang ideologi, dan sebagainya.Richard S.Katz. Katz membagi tipe
partai politik menjadi 5 tipe, yaitu:

1. Partai Elit: Partai jenis ini berbasis lokal, dengan sejumlah elit inti yang
menjadi basis kekuatan partai. Dukungan bagi partai elit ini bersumber
pada hubungan client (anak buah) dari elit-elit yang duduk di partai ini.

9
Biasanya, elit yang duduk di kepemimpinan partai memiliki status
ekonomi dan jabatan yang terpandang. Partai ini juga didasarkan pada
pemimpin-pemimpin faksi dan elit politik, yang biasanya terbentuk di
dalam parlemen.
2. Partai Massa: Partai jenis ini berbasiskan individu-individu yang
jumlahnya besar, tetapi kerap tesingkirkan dari kebijakan negara.
Partai ini kerap memobilisasi massa pendukungnya untuk kepentingan
partai. Biasanya, partai massa berbasiskan kelas sosial tertentu, seperti
“orang kecil”, tetapi juga bisa berbasis agama. Loyalitas kepada partai
lebih didasarkan pada identitas sosial partai ketimbang ideologi atau
kebijakan.
3. Partai Catch-All: Partai jenis ini di permukaan hampir serupa dengan
Partai Massa. Namun, berbeda dengan partai massa yang mendasarkan
diri pada kelas sosial tertentu, Partai Catch-All mulai berpikir bahwa
dirinya mewakili kepentingan bangsa secara keseluruhan. Partai jenis
ini berorientasi pada pemenangan Pemilu sehingga fleksibel untuk
berganti-ganti isu di setiap kampanye. Partai Catch-All juga sering
disebut sebagai Partai Electoral-Professional atau Partai Rational-
Efficient.
4. Partai Kartel: Partai jenis ini muncul akibat berkurangnya jumlah
pemilih atau anggota partai. Kekurangan ini berakibat pada suara mereka
di tingkat parlemen. Untuk mengatasi hal tersebut, pimpinan-pimpinan
partai saling berkoalisi untuk memperoleh kekuatan yang cukup untuk
bertahan. Dari sisi Partai Kartel, ideologi, janji pemilu, basis pemilih
hampir sudah tidak memiliki arti lagi.
5. Partai Integratif: Partai jenis berasal dari kelompok sosial tertentu
yang mencoba untuk melakukan mobilisasi politik dan kegiatan
partai. Mereka membawakan kepentingan spesifik suatu kelompok.
Mereka juga berusaha membangun simpati dari setiap pemilih, dan
membuat mereka menjadi anggota partai. Sumber utama keuangan
mereka adalah dari iuran anggota dan dukungan simpatisannya.

10
2.4 Pengertian Pemilihan Umum

Pemilihan umum adalah proses memilih seseorang untuk mengisi jabatan politik
tertentu. Jabatan tersebut beraneka ragam, mulai dari jabatan presiden/eksekutif,
wakil rakyat/legislative di berbagi tingkat pemerintahan, sampai kepala desa Pada
konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan,
walaupun untuk ini kata 'pemilihan' lebih sering digunakan. Pemilu merupakan
salah satu usaha untuk memengaruhi rakyat secara persuasif (tidak memaksa)
dengan melakukan kegiatan retorika, hubungan publik, komunikasi massa, lobi dan
lain-lain kegiatan. Meskipun agitasi dan propaganda di Negara demokrasi sangat
dikecam, namun dalam kampanye pemilihan umum, teknik agitasi dan teknik
propaganda banyak juga dipakai oleh para kandidat atau politikus selalu
komunikator politik (Arifin, 2006).

Dalam Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga disebut konstituen, dan kepada
merekalah para peserta Pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya
pada masa kampanye.Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan,
menjelang hari pemungutan suara. Setelah pemungutan suara dilakukan, proses
penghitungan dimulai. Pemenang Pemilu ditentukan oleh aturan main atau sistem
penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para
peserta, dan disosialisasikan ke para pemilih. Menurut UU No.7 pasal 348-350
tahun 2017, pemilih adalah WNI yang sudah genap berusia 17 tahun atau lebih,
baik sudah kawin atau belum dan pernah kawin (Putra, 2019).

2.5 Pemiliham Umum dan Demokrasi

Dalam sistem demokrasi modern, legalitas dan legitimasi pemerintahan


merupakan faktor yang sangat penting. Di satu pihak, suatu pemerintahan di satu
pihak haruslah terbentuk berdasarkan ketentuan hukum dan konstitusi, sehingga
dapat dikatakan memiliki legalitas. Di lain pihak, pemerintahan itu juga harus
legitimate, dalam arti bahwa di samping legal, ia juga harus dipercaya. Tentu akan
timbul keragu-raguan, apabila suatu pemerintah menyatakan diri sebagai berasal
dari rakyat, sehingga dapat disebut sebagai pemerintahan demokrasi, padahal

11
pembentukannya tidak didasarkan hasil pemilihan umum. Artinya, setiap
pemerintahan demokratis yang mengaku berasal dari rakyat, memang diharuskan
sesuai dengan hasil pemilihan umum sebagai ciri yang penting atau pilar yang
pokok dalam sistem demokrasi modern. Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa
tujuan penyelenggaraan pemilihan umum itu ada 4 (empat), yaitu untuk:

1. Untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan


secara tertib dan damai.
2. Untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili
kepentingan rakyat di lembaga perwakilan.
3. Untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat.
4. Untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara.

Kristiadi dalam (Ibrahim, 1974) menyatakan bahwa fungsi pemilu, adalah sebagai
berikut:

1. Institusi dan instrumen untuk mengendalikan konflik-konflik kepentingan


yang terjadi dalam masyarakat.
2. Sarana untuk pergantian pemerintahan secara wajar dan damai.
3. Untuk membangun basis legitimasi politik konstitusional.
4. Untuk mengetahui tingkat kedewasaan dan kemantapan budaya politik
nasional.
5. Untuk memperoleh banyak informasi tentang pelbagai kebijakan dan
permasalahan yang dihadapi bangsa dan negara dalam mewujudkan
kesejahteraan warganya.

2.6 Asas-Asas Pelaksanaan Pemilu

Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa, Pemilihan umum
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima
tahun sekali. Pasal 2 UU No. 42 Tahun 2008 (Pilpres) menentukan bahwa, Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan
asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pasal 2 UU No. 8 Tahun 2012
(Pileg) menentukan bahwa, Pemilu dilaksanakan secara efektif dan efisien

12
berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pasal 2 UU No.
8 Tahun 2015 (Pemilukada) menentukan bahwa, Pemilihan dilaksanakan secara
demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Dengan demikan, asas pemilu untuk penyelenggaraan Pileg, Pilpres dan
Pemilukada sama yaitu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil.

Dalam Pasal 22E UUD 1945 tidak ada penjelasan mengenai asas-asas pemilu
tersebut. Demikian pula dalam UU No. 42 Tahun 2008 dan UU No. 8 Tahun 2015.
Penjelasan atas asas-asas tersebut terdapat dalam Penjelasan Umum UU No. 8
Tahun 2012. Asas langsung maksudnya bahwa, rakyat sebagai Pemilih mempunyai
hak untukmemberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati
nuraninya, tanpa perantara. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna
menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa
diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan,
pekerjaan, dan status sosial. Setiap warga negara yang berhak memilih bebas
menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun. Di dalam
melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya oleh negara,
sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani. Dalam memberikan
suaranya, Pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana
pun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui
oleh orang lain. Dalam penyelenggaraan Pemilu ini, penyelenggara Pemilu, aparat
pemerintah, Peserta Pemilu, pengawas Pemilu, pemantau Pemilu, Pemilih, serta
semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Setiap Pemilih dan Peserta Pemilu
mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak mana pun.

2.7 Lembaga Penyelenggara Pemilu

Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 telah menentukan bahwa “Pemilihan umum
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima
tahun sekali”. Dalam Pasal 22E ayat (5) ditentukan pula bahwa “Pemilihan umum
diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap,

13
dan mandiri”. Oleh sebab itu, menurut UUD 1945 penyelenggara pemilihan umum
itu haruslah suatu komisi yang bersifat (i) nasional, (ii) tetap, dan (iii) mandiri atau
independen.

Mengapa harus independen? Jawabnya jelas, karena penyelenggara pemilu itu


harus bersifat netral dan tidak boleh memihak. Komisi pemilihan umum itu tidak
boleh dikendalikan oleh partai politik ataupun oleh pejabat negara yang
mencerminkan kepentingan partai politik atau peserta atau calon peserta pemilihan
umum. Peserta pemilu itu sendiri dapat terdiri atas (i) partai politik, beserta para
anggotanya yang dapat menjadi calon dalam rangka pemilihan umum, (ii) calon
atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat, (iii) calon atau anggota Dewan
Perwakilan Daerah, (iv) calon atau anggota DPRD, (v) calon atau Presiden atau
Wakil Presiden, (vi) calon atau Gubernur atau Wakil Gubernur, (vii) calon atau
Bupati atau Wakil Bupati, (viii) calon atau Walikota atau Wakil Walikota.
Kedelapan pihak yang terdaftar di atas mempunyai kepentingan langsung atau tidak
langsung dengan keputusan-keputusan yang akan diambil oleh Komisi Pemilihan
Umum sebagai penyelenggara pemilu, sehingga oleh karenanya KPU harus
terbebas dari kemungkinan pengaruh mereka itu.

Di Inggris, komisi semacam ini dinamakan The Electoral Commission dengan


jumlah anggota antara 5 (lima) sampai dengan 9 (sembilan) orang Commissioner
yang ditetapkan oleh Ratu atas usul House of Commons untuk masa jabatan 10
(sepuluh) tahun (Milan, 2003). Mereka dapat diberhentikan dari jabatannya oleh
Ratu juga atas usul House of Commons. Komisi ini diberi tanggung jawab sebagai
penyelenggara semua kegiatan pemilihan umum dan referendum yang
diselenggarakan di Inggris, baik yang bersifat lokal, regional, maupun yang bersifat
nasional. Demikian pula, pembagian kursi ataupun redistribusi kursi pemilihan
legislatif, pendaftaran partai politik, pengaturan mengenai pendapatan dan
pengeluaran partai, kegiatan kampanye dan iklan partai politik dimedia massa dan
media elektronika lainnya, semuanya menjadi tanggung jawab dari Electoral
Commission.

14
2.8 Pengadilan Sengketa Hasil Pemilu

Hasil pemilihan umum berupa penetapan final hasil penghitungan suara yang
diikuti oleh pembagian kursi yang diperebutkan, yang diumumkan secara resmi
oleh lembaga penyelenggara pemilihan umum seringkali tidak memuaskan peserta
pemilihan umum, yang tidak berhasil tampil sebagai pemenang. Kadang-kadang
terjadi perbedaan pendapat dalam hasil perhitungan itu antara peserta pemilihan
umum dan penyelenggara pemilihan umum, baik karena kesengajaan maupun
karena kelalaian, baik karena kesalahan teknis atau kelemahan yang bersifat
administratif dalam perhitungan ataupun disebabkan oleh faktor human error. Jika
perbedaan pendapat yang demikian itu menyebabkan terjadinya kerugian bagi
peserta pemilihan umum, maka peserta pemilihan yang dirugikan itu dapat
menempuh upaya hukum dengan mengajukan permohonan perkara perselisihan
hasil pemilihan umum ke Mahkamah Konstitusi (Negara Kesatuan Republik
Indonesia Patent No. Nomor 072-073/PUU-II/2004 bertanggal 21 Maret 2005,
2005).

Jenis perselisihan atau sengketa mengenai hasil pemilihan umum ini tentu harus
dibedakan dari sengketa yang timbul dalam kegiatan kampanye, ataupun teknis
pelaksanaan pemungutan suara. Jenis perselisihan hasil pemilihan umum ini juga
harus pula dibedakan dari perkara-perkara pidana yang terkait dengan subjek-
subjek hukum dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Siapa saja yang terbukti
bersalah melanggar hukum pidana, diancam dengan pidana dan harus
dipertanggungjawabkan secara pidana pula menurut ketentuan yang berlaku di
bidang peradilan pidana. Misalnya, A mencuri surat suara, maka hal itu tergolong
pelanggaran hukum pidana yang diadili menurut prosedur pidana. Sedangkan B
melanggar jadwal kampanye yang menjadi hak calon lain, maka pelanggaran
semacam ini harus diselesaikan secara administratif oleh lembaga penyelenggara
pemilihan umum yang bertanggung jawab di bidang itu.

Demikian pula jika C mengajukan permohonan perkara perselisihan hasil


pemilu ke Mahkamah Konstitusi. Namun di dalam persidangan di Mahkamah
Konstitusi, C berkolusi dengan pejabat Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD)

15
dengan memalsukan bukti-bukti di persidangan yang tidak dapat dibantah oleh
pejabat Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat dalam persidangan. Di kemudian
hari, terbukti bahwa data-data yang diajukan oleh KPU Daerah itu palsu, maka hal
tersebut sepenuhnya merupakan perkara pidana pemalsuan yang merugikan semua
pihak dan harus dipertanggungjawabkan secara pidana. Akan tetapi, sepanjang
menyangkut hasil pemilihan umum yang sudah diputus final dan mengikat oleh
Mahkamah Konstitusi dalam persidangan yang terbuka untuk umum, persoalan
tindak pidana dimaksud tidak lagi ada kaitannya dengan hasil pemilihan umum.

Dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, semua pihak, termasuk apalagi


kepada pihak KPU selaku lembaga penyelenggara pemilu dan pihak-pihak yang
kepentingannya terkait lainnya, sudah diberi kesempatan yang cukup dan leluasa
untuk membantah atau menolak bukti-bukti yang diajukan oleh pihak pemohon
perkara, tetapi karena ternyata bukti-bukti dimaksud tidak terbantahkan, maka
perkara perselisihan hasil pemilu itu sudah diputus final dan mengikat oleh
Mahkamah Konstitusi.

Biasanya, hal-hal yang berkenaan dengan kualitas bukti yang dianggap tidak
benar itu justru datang belakangan oleh pihak penyelenggara pemilihan umum.
Akan tetapi, roda penyelenggaraan negara dan pemerintahan tidak boleh
digantungkan kepada kealpaan atau kelalaian penyelenggara pemilu sebagai satu
kesatuan institusi penyelenggara pemilihan umum di seluruh Indonesia. KPU
adalah satu institusi. Perkara perselisihan hasil pemilu adalah perkara formal yang
membutuhkan teknik-teknik pembuktian yang juga bersifat formal dan dengan
jadwal yang pasti. Kepastian hukum sangat diutamakan dalam hal ini. Sikap
mengutamakan keadilan bagi satu orang tidak mungkin dibenarkan, apabila hal itu
justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtszekerheid). Sebab, dalam
jenis perkara perselisihan hasil pemilihan umum, tanpa adanya kepastian hukum
(rechtszekerheid) yang tegas, niscaya dapat timbul ketidakadilan dalam seluruh
mekanisme penyelenggaraan negara dan karena itu dapat menimbulkan
ketidakadilan bagi semua warga negara.

16
Dengan ada mekanisme peradilan terhadap sengketa hasil pemilihan umum ini,
maka setiap perbedaan pendapat mengenai hasil pemilihan umum tidak boleh
dikembangkan menjadi sumber konflik politik atau bahkan menjadi konflik sosial
yang diselesaikan di jalanan. Penyelesaian perbedaan mengenai hasil perhitungan
suara pemilihan umum menyangkut pertarungan kepentingan politik
antarkelompok warga negara sudah seharusnya diselesaikan melalui jalan hukum
dan konstitusi. Dengan kewenangannya untuk mengadili dan menyelesaikan
perkara perselisihan hasil pemilu ini, dapat dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi
diberi tanggung jawab untuk menyediakan jalan konstitusi bagi para pihak yang
bersengketa, yaitu antara pihak penyelenggara pemilihan umum dan pihak peserta
pemilihan umum.

17
BAB III
KESIMPULAN & SARAN

3.1 Kesimpulan

Partai politik adalah organisasi yang beroperasi dalam sistem politik.


Partaipolitik memiliki sejarah panjang dalam hal promosi ide-ide politik dari level
masyarakat ke level negara. Partai politik adalah penghubung antara pusat
kekuasaan dengan lokalitas (warganegara yang tersebar di aneka wilayah, agama,
ideologi, dan sejenisnya). Partai politik berfungsi untuk menempatkan orang-orang
(kandidat) bagi sebuah jabatan publik.

Pasal 1 nomor 1 UU No. 15 Tahun 2011 menentukan bahwa, Pemilihan Umum


adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Atau, secara ringkas dikemukakan oleh Harmaily Ibrahim
bahwa, pemilu merupakan suatu cara untuk menentukan wakil-wakil rakyat yang
akan duduk di badan perwakilan rakyat.

Pemilu dengan partai politik merupakan dua konsep yang tidak bisa dipisahkan.
Pemilu membutuhkan partai politik sebagai kontestannya. Sedangkan partai politik
membutuhkan pemilu sebagai sarana memilih wakil-wakilnya yang akan duduk
dalam legislatif maupun kabinet. Oleh karena itu, dengan memahami konsep
keduanya mendorong kita untuk bisa menghadirkan atau mengembangkan sebuah
gagasan-gagasan yang dapat menyempurnakannya, sehingga hadir parta politik
yang bermartabat dan pemilihan umum yang berintegritas.

3.2 Saran

Ada beberapa saran yang dapat diberikan dari penyusunan makalah ini:

1. Wilayah negara Indonesia yang luas dengan jumlah penduduk yang besar
dan menyebar di seluruh nusantara serta memiliki kompleksitas nasional
menuntut penyelenggara pemilu yang profesional dan memiliki kredibilitas

18
yang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya
untuk lebih meningkatkan fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,
dan evaluasi penyelenggaraan pemilu.
2. Perlu dilakukan upaya untuk mengakomodasi dinamika dan perkembangan
masyarakat yang menuntut peran parpol dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara serta tuntutan mewujudkan parpol sebagai organisasi yang
bersifat nasional dan modern Upaya tersebut antara lain dapat ditempuh
melalui pendidikan politik dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan
gender yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran akan hak dan
kewajiban, meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif warga negara, serta
meningkatkan kemandirian dan kedewasaan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.
3. Agar tercipta derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan mempunyai
derajat keterwakilan yang lebih tinggi, serta memiliki mekanisme
pertanggungjawaban yang jelas, maka penyelenggaraan pemilu harus
dilaksanakan secara lebih berkualitas dari waktu ke waktu. Oleh karena itu,
perlu diupayakan perubahan untuk memperkuat lembaga perwakilan rakyat
melalui langkah mewujudkan sistem multipartai sederhana yang
selanjutnya akan menguatkan pula sistem pemerintahan presidensial
sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

19
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, A. (2006). Pencitraan Dalam Politik. Jakarta: Pusaka Indonesia.


Asshiddiqie, J. (2006). Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI.
Budiardjo, M. (1992). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Budiarjo, M. (2008). Organisasi Politik. Jakarta: CIT Publishing.
Clark, A. (2003). Parties And Political Linkage: Towards a Comprehensive
Framework for Analysis. Paper prepared for PSA Annual Conference,
University of Leicester, 3-4.
Gani, S. I. (1984). Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: Ghalia.
Ibrahim, H. (1974). Pemilihan Umum di Indonesia. Jakarta: Ahlidiyah.
Konstitusi, M. (2005). Negara Kesatuan Republik Indonesia Patent No. Nomor
072-073/PUU-II/2004 bertanggal 21 Maret 2005.
Kranenburg, R., & Sabaroedin, T. B. (1989). Ilmu Negara Umum. Jakarta: Pradnya
Paramita.
Kranenburg, R., & Sabaroedin, T. B. (1989). Ilmu Negara Umum. Jakarta: Pradnya
Paramita.
MacIver, R. (1955). The Modern State. London: Oxford University Press.
MacIver, R. (2000). The Modern State. London: Oxford University Press.
Milan, M. T. (2003). Constitutional Law: The Machinery of Government. London:
Old Bailey Press.
Putra, D. (2019). Buku Saku Sanksi Peserta Pemilu Tahun 2019. Jakarta: Badan
Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia.
Rosana, E. (2012). Partai Politik dan Pembangunan Politik. Jurnal Politik dan
Hukum, Universitas Sebelas Maret.
Schattschneider. (1975). The Semisovereign People: A realist’s view of democracy
in America. Illinois: The Dryden Press Hinsdale.

20

Anda mungkin juga menyukai