Anda di halaman 1dari 9

TUGAS SOSIOLOGI HUKUM

URGENSI LANDASAN FILOSOFIS, LANDASAN SOSIOLOGIS


DAN LANDASAN YURIDIS DARI SEBUAH UNDANG-UNDANG
YANG BERTUJUAN UNTUK
KEPASTIAN HUKUM, KEADILAN DAN KEMANFAATAN

Oleh:
M. MAULANA YUSUP, S.H.
NIM : 2002190100

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER HUKUM
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
2021
1

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ………………………………………………………………...……………… 1

1. Landasan Filosofis ………………………………………………………………… 3

2. Landasan Sosiologis ……………………………………………………………… 4

3. Landasan Yuridis …………………………………………………………..……… 6

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………..……..…… 8


2

URGENSI LANDASAN FILOSOFIS, LANDASAN SOSIOLOGIS DAN LANDASAN

YURIDIS DARI SEBUAH UNDANG-UNDANG YANG BERTUJUAN UNTUK

KEPASTIAN HUKUM, KEADILAN DAN KEMANFAATAN

Dalam mewujudkan tujuan hukum Gustav Radbruch menyatakan perlu

digunakan asas prioritas dari tiga nilai dasar yang menjadi tujuan hukum. Hal ini

disebabkan karena dalam realitasnya, keadilan hukum sering berbenturan dengan

kemanfaatan dan kepastian hukum dan begitupun sebaliknya. Diantara tiga nilai

dasar tujuan hukum tersebut, pada saat terjadi benturan, maka mesti ada yang

dikorbankan. Untuk itu, asas prioritas yang digunakan oleh Gustav Radbruch harus

dilaksanakan dengan urutan sebagai berikut:

1. Keadilan Hukum;

2. Kemanfaatan Hukum;

3. Kepastian Hukum. 1

Dengan urutan prioritas sebagaimana dikemukakan tersebut diatas, maka

sistem hukum dapat terhindar dari konflik internal. Secara historis, pada awalnya

menurut Gustav Radbruch tujuan kepastian menempati peringkat yang paling atas di

antara tujuan yang lain. Namun, setelah melihat kenyataan bahwa dengan teorinya

tersebut Jerman di bawah kekuasaan Nazi melegalisasi praktek-praktek yang tidak

berperikemanusiaan selama masa Perang Dunia II dengan jalan membuat hukum

yang mensahkan praktek-praktek kekejaman perang pada masa itu, Radbruch pun

1
Muhammad Erwin, Filsafat Hukum, Raja Grafindo, Jakarta, 2012, h.123
3

akhirnya meralat teorinya tersebut di atas dengan menempatkan tujuan keadilan di


2
atas tujuan hukum yang lain.

Bagi Radbruch ketiga aspek ini sifatnya relatif, bisa berubah-ubah. Satu

waktu bisa menonjolkan keadilan dan mendesak kegunaan dan kepastian hukum ke

wilayah tepi. Diwaktu lain bisa ditonjolkan kepastian atau kemanfaatan. Hubungan

yang sifatnya relatif dan berubahubah ini tidak memuaskan. Meuwissen memilih

kebebasan sebagai landasan dan cita hukum. Kebebasan yang dimaksud bukan

kesewenangan, karena kebebasan tidak berkaitan dengan apa yang kita inginkan.

Tetapi berkenaan dengan hal menginginkan apa yang kita ingini. Dengan kebebasan

kita dapat menghubungkan kepastian, keadilan, persamaan dan sebagainya

ketimbang mengikuti Radbruch. 3

Untuk dapat melihat Urgensi Landasan Filosofis, Landasan Sosiologis, dan

Landasan Yuridis dari sebuah Undang-Undang yang bertujuan untuk kepastian

hukum, keadilan dan kemanfaatan, maka landasan-landasan tersebut dapat

diuraikan sebagaimana berikut:

1. Landasan Filosofis

Dalam tataran filsafat hukum, pemahaman mengenai pemberlakuan

moral bangsa ke dalam hukum (termasuk peraturan perundang-undangan dan

Perda ataupun peraturan walikota) ini dimasukan dalam pengertian yang

disebut dengan rechtsidee yaitu apa yang diharapkan dari hukum, misalnya

untuk menjamin keadilan, ketertiban, kesejahteraan dan sebagainya yang

2
Ahmad Zaenal Fanani, Berpikir Falsafati Dalam Putusan Hakim, Artikel ini pernah dimuat di Varia Peradilan
No. 304 Maret 2011, h 3.

3
Sidharta Arief, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, PT
Refika Aditama, Bandung, 2007, h. 20.
4

tumbuh dari sistem nilai masyarakat (bangsa) mengenai baik dan buruk,

pandangan mengenai hubungan individu dan masyarakat, dan lain

sebagainya.4

Berdasarkan pada pemahaman seperti ini, maka bagi pembentukan/

pembuatan hukum atau peraturan perundang-undangan di Indonesia harus

berlandaskan pandangan filosofis Pancasila, yakni :

a. Nilai-nilai religiusitas bangsa Indonesia yang terangkum dalam sila

Ketuhanan Yang Maha Esa;

b. Nilai-nilai hak-hak asasi manusia dan penghormatan terhadap harkat

dan martabat kemanusiaan sebagaimana terdapat dalam sila

kemanusiaan yang adil dan beradab;

c. Nilai-nilai kepentingan bangsa secara utuh, dan kesatuan hukum

nasional seperti yang terdapat di dalam sila Persatuan Indonesia;

d. Nilai-nilai demokrasi dan kedaulatan rakyat, sebagaimana terdapat di

dalam Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/ perwakilan; dan

e. Nilai-nilai keadilan baik individu maupun sosial seperti yang tercantum

dalam sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

2. Landasan Sosiologis

Peraturan perundang-undangan dibentuk oleh Negara dengan harapan

dapat diterima dan dipatuhi oleh seluruh masyarakat secara sadar tanpa

kecuali. Harapan seperti ini menimbulkan konsekuensi bahwa setiap

4
Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Mandar Maju, Bandung, 1995, Hlm.
20
5

peraturan perundang-undangan harus memperhatikan secara lebih seksama

setiap gejala sosial masyarakat yang berkembang. Dalam hal ini Eugene

Ehrlich mengemukakan gagasan yang sangat rasional, bahwa terdapat

perbedaan antara hukum positif di satu pihak dengan hukum yang hidup

dalam masyarakat (living law) di pihak lain. Oleh karena itu hukum posistif

akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan, atau selaras

dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.5 Berpangkal tolak dari

pemikiran tersebut, maka peraturan perundang-undangan sebagai hukum

positif akan mempunyai daya berlaku jika dirumuskan ataupun disusun

bersumber pada living law tersebut. Dalam kondisi yang demikian maka

peraturan perundang-undangan tidak mungkin dilepaskan dari gejala sosial

yang ada di dalam masyarakat tadi. Sehubungan dengan hal itu, Soerjono

Soekanto dan Purnadi Purbacaraka mengemukakan landasan teoritis sebagai

dasar sosiologis berlakunya suatu kaidah hukum termasuk peraturan daerah

yaitu :

a. Teori kekuasaan (Machttheorie), secara sosiologis kaidah hukum

berlaku karena paksaan penguasa, terlepas diterima atau tidak

diterima oleh masyarakat;

b. Teori pengakuan (Annerkennungstheorie), kaidah hukum berlaku


6
berdasarkan penerimaan dari masyarakat tempat hukum itu berlaku.

5
Lili Rasjidi, Filsafat Hukum Apakah Hukum itu, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991, Hlm. 49-50

6
Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind-Hil Co, Jakarta, 1992, Hlm. 16
6

3. Landasan Yuridis

Landasan yuridis ialah ketentuan hukum yang menjadi dasar hukum

bagi pembuatan suatu peraturan. Landasan yuridis dapat dibagi menjadi dua

macam, yaitu:

1. Landasan yuridis dari segi formal, yakni landasan yuridis yang memberi

kewenangan (bevoegdheid) bagi instansi tertentu untuk membuat

peraturan tertentu, misalnya Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menjadi

landasan yuridis dari segi formil bagi Presiden untuk membuat RUU.

2. Landasan yuridis dari segi materiil, yaitu landasan yuridis untuk

mengatur hal-hal tertentu, misalnya Pasal 18 UUD 1945 menjadi

landasan yuridis dari segi materiil untuk membuat UU organik


7
mengenai pemerintahan daerah.

Bagir Manan mengemukakan tiga dasar agar hukum mempunyai

kekuatan berlaku secara baik, yaitu mempunyai dasar yuridis, sosiologis, dan

filosofis. Oleh karena peraturan perundang-undangan adalah hukum, maka

peraturan perundang-undangan yang baik haruslah mempunyai tiga dasar

keberlakuan tersebut. 8

Berdasarkan pemahaman normatif dan teoritis tersebut, maka unsur

filosofis, yuridis, dan sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatan

undang-undang atau peraturan daerah, dapat dimaknai sebagai berikut:

7
Pendapat tersebut dikemukakan ketika UUD 1945 belum diubah. Meski demikian pendapat tersebut masih
relevan ketika UUD 1945 sudah mengalami perubahan keempat kalinya

8
Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, (Penerbit Ind-Hill.Co, Jakarta, 1992), hlm. 14-17.
7

1. Unsur filosofis adalah nilai-nilai filosofis yang dianut oleh suatu Negara

(bagi Indonesia yang termaktub dalam Pancasila dan Pembukaan UUD

1945) yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan undang-

undang atau peraturan daerah.

2. Unsur yuridis adalah peraturan perundang-undangan yang menjadi latar

belakang dan alasan pembuatan undang undang atau peraturan

daerah, yang meliputi:

a. Dasar hukum formal, yakni Peraturan Perundang undangan

yang menjadi dasar kewenangan pembentukan suatu Peraturan

Perundang-undangan. Termasuk keharusan mengikuti prosedur

tertentu.

b. Dasar hukum substansial, yakni Peraturan Perundang undangan

yang memerintahkan materi muatan tertentu diatur dalam suatu

Peraturan Perundang-undangan. Termasuk kesesuaian jenis dan

materi muatan.

3. Unsur sosiologis adalah gejala dan masalah sosial-ekonomi-politik

yang berkembang di masyarakat yang menjadi latar belakang dan

alasan pembuatan undang-undang atau peraturan daerah.


8

DAFTAR PUSTAKA

Erwin, Muhammad, Filsafat Hukum, Jakarta : Raja Grafindo, 2012.

Fanani Ahmad Zaenal, Berpikir Falsafati Dalam Putusan Hakim, Artikel ini
pernah dimuat di Varia Peradilan No. 304 Maret 2011.

Sidharta Arief, Meuwissen, Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum,


Teori Hukum dan Filsafat Hukum, Bandung : PT Refika Aditama, 2007.

Meuwissen , Arief , Sidharta, Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum,


Teori Hukum dan Filsafat Hukum, Bandung : PT Refika Aditama, 2007.

Manan Bagir, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara,


Bandung : Mandar Maju, 1995.

Rasjidi, Lili, Filsafat Hukum Apakah Hukum itu, Bandung : Remaja


Rosdakarya, 1991.

Manan, Bagir, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Jakarta : Ind-


Hill.Co, 1992.

Anda mungkin juga menyukai