Anda di halaman 1dari 16

PENYELESAIAN TERHADAP INHARMONIS HUKUM

Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas Logika dan Penalaran Hukum

Dosen Pengampu : Ali Mansur, M.A.

Kelompok 7 :

Yoshua Consuello 11180480000053

Nurul caroline pratiwi 11180480000066

Rifqi Choerurizal 11180480000080

Susan Ramadhani 11180480000132

Inka Ananda Putri 11180480000067

Muhammad Saef El-Islam 11180480000098

Miftah Nurhadi 11180480000027

Nurul Alam 11190490000102


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum pada dasarnya harus sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa yang
bersangkutan. Sampai saat ini masih banyak peraturan perundang-undangan yang
tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, khususnya peraturan
perundang-undangan peninggalan Pemerintahan Hindia Belanda.

Kitab-kitab hukum Hindia Belanda (Indonesia) didasarkan atas “asas


konkordansi” atau azas keselarasan, artinya hukum yang berlaku di negara lain
(Belanda) diberlakukan sama di tempat lain (Hindi Belanda).

Azas Konkordansi (Concordantie beginsel) ini diatur dalam pasal 131 ayat (2)
Indische Staatsregeling (I.S).maksud azas konkordansi tersebut adalah bahwa
terhadap orang eropa yang berada di Hindia Belanda (Indonesia) diberlakukan
hukum perdata asalnya yaitu hukum perdata yang berlaku di negeri Belanda.

Pada selanjutnya yang akan menjadi topik pembahasan inharmonisasi hukum,


inharmonisasi hukum adalah meliputi penafsiran hukum dan penemuan hukum.
Dalam penafsiran hukum dapat dibagi menjadi beberapa macam penasiran antara
lain penafsiran gramatika, penafsiran autentik, penafsiran sosiologis dan lain-lain.
Penafsiran ini dilakukan apabila oleh hakim pengadilan dalam menangani suatu
perkara ditemukan adanya norma kabur, sedangkan dalam konflik norma hukum,
hakim dapat menggunakan salah satu dari beberapa asas yaitu asas lex specialis
derogat legi generali, asas lex superior derogat legi priori dan lex posterior derogat
legi inferiori.

Kemudian apabila terjadi kekosongan norma maka hakim dapat melakukan


konstruksi hukum, hakim pengadilan dapat menempuh beberapa metode untuk
menemukan hukum yaitu dengan argumentum a contrario, argumentum per
analogiam dan penghalusan hukum dan jika terjadi kesesatan dilakukan dengan
beberapa metode.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Interpretasi Hukum?
2. Bagaimana penemuan hukum dapat terjadi?
3. Bagaimana dasar hukum positif dalam penemuan hukum?
4. Bagaimana landasan serta teori penemuan hukum?
C. Manfaat Penelitian
1. Pembaca mengetahui arti interpretasi hukum
2. Pembaca mengetahui proses penemuan hukum dapat terjadi
3. Pembaca mengetahui dasar hukum positif dalam penemuan hukum
4. Pembaca mengetahui landasan serta teori penemuan hukum
5.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Interpretasi Hukum
Penafsiran hukum (interpretasi) adalah sebuah pendekatan pada penemuan
hukum dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada
peristiwanya. Sebaliknya dapat terjadi juga hakim harus memeriksa dan mengadili
perkara yang tidak ada peraturannya yang khusus. Di sini hakim menghadapi
kekosongan atau ketidak-lengkapan undang-undang yang harus diisi atau dilengkapi,
sebab hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara dengan
dalih tidak ada hukumnya atau tidaklengkap hukumnya. Hakim menemukan hukum
itu untuk mengisi kekosongan hukum tersebut.

Penafsiran merupakan kegiatan yang sangat penting dalam hukum. Penafsiran


merupakan metode untuk memahami makna yang terkandung dalam teks-teks hukum
untuk dipakai dalam menyelesaikan kasus-kasus atau mengambil keputusan atas hal-
hal yang dihadapi secara konkrit. Di samping hal itu, dalam bidang hukum tata
negara, penafsiran dalam hal ini judicial interpretation (penafsiran oleh hakim), juga
dapat berfungsi sebagai metode perubahan konstitusi dalam arti menambah,
mengurangi, atau memperbaiki makna yang terdapat dalam suatu teks Undang-
Undang Dasar. Seperti dikemukakan oleh K.C. Wheare, Undang- Undang Dasar dapat
diubah melalui (i) formal amandement, (ii) judicial interpretation, dan (iii)
constitutional usage and conventions.1

Para pakar hukum telah menguraikan adanya 9 (sembilan) teori penafsiran yang
berbeda penggambarannya dari apa yang dikemukakan oleh Arief Sidharta.
Kesembilan teori penafsiran tersebut adalah:2

1. Teori penafsiran letterlijk atau harfiah (what does the word mean?)

1
Ph. Visser’t Hoft, Penemuan Hukum, judul asli Rechtsvinding, diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta,
(Bandung: Laboratorium Hukum FH Univ Parahyangan, 2001), hlm.25.

2
Lihat dan bandingkan pendapat sarjana yang memasukkan metode interpretasi (penafsiran) sebagai
salah satu metode dalam penemuan hukum yang dilakukan dengan cara Interpretasi Gramatikal
(kebahasaan). Sistematis (logis), Historis, dan Teleologis (sosiologis). Lihat, misalnya, Bambang
Sutiyoso dan Sri Hastuti, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia,
(Yogyakarta: UII Press, 2005), hlm. 131-134.
Penafsiran yang menekankan pada arti atau makna kata-kata yang tertulis. Misalnya,
kata servants dalam Konstitusi Jepang Art. 15 (2), “All public officials are servants of
the whole community and not of any group there of”. Contoh lain mengenai kata a
natural association dalam Art. 29 ayat (1) dan kata the moral dalam ayat (2) konstitusi
Italia yang menyatakan :

“(1) The Republic recognizes the rights of the family as a natural association founded
on marriage;

(2) Marriage is based on the moral and legal equality of the spouses, within the limits
laid down by law to safeguard the unity of the family”.

Contoh berikutnya lagi, misalnya terlihat pada kata inconsistent dalam ayat (1) Article
13 Konstitusi India, yaitu :

“All always in force in the territory of India immediately before the commencement of
this Constitution, in so far as they are inconsistent with the provisions of this part,
shall, to the extent of such inconsistency, be void”.

2. Teori penafsiran gramatikal atau interpretasi bahasa (what does it linguistically


mean?)

Penafsiran yang menekankan pada makna teks yang di dalamnya kaidah hukum
dinyatakan. Penafsiran dengan cara demikian bertolak dari makna menurut
pemakaian bahasa sehari-hari atau makna teknis-yuridis yang lazim atau dianggap
sudah baku. 3

Menurut Vissert’t Hoft di negara- negara yang menganut tertib hukum kodifikasi,
maka teks harfiah undang-undang sangat penting. Namun, penafsiran gramatikal
saja dianggap tidak mencukupi, apalagi jika mengenai norma yang hendak
ditafsirkan itu sudah menjadi perdebatan.4

3
Ph. Visser;t Hoft, Penemuan Hukum, judul asli Rechtsvinding, diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta,
(Bandung: Laboratorium Hukum FH Univ. Parahiayangan, 2001), hlm.25.

4
Ibid, hlm. 26. Misalnya, basis sistem ekonomi sosialis Cina, seperti dalam Art. 6 ayat (1) Konstitusi
Cina: (1) “The basis of the socialist economic system of the People’s Republic of China is socialist public
ownership of the means of production, namely, ownership by the whole people and collective
ownership by the working people”. Dan makna dari sistem kepemilikan public, seperti dalam Art 6
ayat (2) “The system of socialist public ownership supersedes the system of exploitation of man by
man; it applies the principle of from each according to his ability, to each according to his work”.
3. Teori penafsiran historis (what is historical background of the formulation of a
text)

Penafsiran historis mencakup dua pengertian : (1) penafsiran sejarah perumusan


undang-undang; dan (ii) penafsiran sejarah hukum. Penafsiran yang pertama,
memfokuskan diri pada latar belakang sejarah perumusan naskah. Bagaimana
perdebatan yang terjadi ketika naskah itu hendak dirumuskan. Oleh karena itu
yang dibutuhkan adalah kajian mendalam tentang notulen-notulen rapat, catatan-
catatan pribadi peserta rapat, tulisan-tulisan peserta rapat yang tersedia baik dalam
bentuk tulisan ilmiah maupun komentar tertulis yang pernah dibuat, otobiografi
yang bersangkutan, hasil wawancara yang dibuat oleh wartawan dengan yang
bersangkutan, atau wawancara khusus yang sengaja dilakukan untuk keperluan
menelaah peristiwa yang bersangkutan. Penasiran kedua, mencari makna yang
dikaitkan dengan konteks kemasyarakatan masa lampau. Dalam pencarian makna
tersebut juga kita merujuk pendapat-pendapat pakar dari masa lampau, termasuk
pula merujuk kepada norma-norma hukum masa lalu yang masih relevan.5

4. Teori penafsiran sosiologis (what does social context of the event to be legally
judged)

Konteks sosial ketika suatu naskah dirumuskan dapat dijadikan perhatian untuk
menafsirkan naskah yang bersangkutan. Peristiwa yang terjadi dalam masyarakat
acapkali mempengaruhi legislator ketika naskah hukum itu dirumuskan. Misalnya
pada kalimat “dipilih secara demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-
Undang Dasar 1945 yang menyatakan, “Gubernur, Bupati, dan Walikota
masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota
dipilih secara demokratis.”

5. Teori penafsiran sosio-historis (asbabunnuzul dan asbabulwurud, what does the


social context behind the formulation of the text)

Berbeda dengan penafsiran sosiologis, penafsiran sosio-historis memfokuskan


pada konteks sejarah masyarakat yang mempengaruhi rumusan naskah hukum.
6
Misalnya, ide persamaan dalam konteks konstitusi Republik V Perancis, ide
5
Ibid, hlm.29.

6
Constitution of The Fifth French Republic, 1958, Article 2, “France is an indivisible, secular,
democratic and Sosial Republic. It shall insure equality before the law for all citizens without
distinction of origin, race, or religion. It shall respect all beliefs..”
ekonomi kekeluargaan dalam Pasal 33 UUD 1945, dan ide Negara Kekaisaran
Jepang.7

6. Teori penafsiran filosofis (what is philosophical thought behind the ideas


formulated in the text)

Penafsiran dengan fokus perhatian pada aspek filosofis. Misalnya, ide Negara
hukum dalam Kostitusi Republik Perancis Article 66 : “No person may be
detained arbitrarily”. Ide Negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Negara Indonesia
adalah negara hukum. Contoh lain lagi adalah rumusan ide demokrasi terpusat
(centralized democrazy) dalam Konstitusi Cina8.

7. Teori penafsiran teleologis (what does the articles would like to achieve by the
formulated text)

Penafsiran ini difokuskan pada penguraian atau formulasi kaidah- kaidah hukum
menurut tujuan dan jangkauannya. Tekanan tafsiran pada fakta bahwa pada
kaidah hukum terkandung tujuan atau asas sebagai landasan dan bahwa tujuan
dan atau asas tersebut mempengaruhi interpretasi. Dalam penafsiran demikian
juga diperhitungkan konteks kenyataan kemasyarakatan yang aktual9.

8. Teori penafsiran holistik.

Penafsiran ini mengaitkan suatu naskah hukum dengan konteks keseluruhan jiwa
dari naskah tersebut. Misalnya, The individual economy 10 dalam Article 11 ayat

7
Art. 1 (Symbol of State) : “The Emperor shall be the symbol of the State and of the unity of the
people, deriving his position from the will of the people with whom resides sovereign power”. Article 2
(Dysnatic Throne) : “The Imperial Throne shall be dysnatic and succeeded to in accordance with the
Imperial House Law Passed by The Diet”.
8
Konstitusi Cina, Article 3 (Democratic Centralism) : “(1) The state organs of the People”s Republic of
China apply the principle of democratic centralism. (2) The National People’s Congress and the Local
people’s congresses at different levels are instituted through democratic election. They are responsible
to the people and subject to their supervison. (3) All administrative, judicial and procuratorial organs
of the state are created by the people’scongress to which they are responsible and under whose
supervision they operate. (4) The division of functions and powers between the central and local state
organs is guided by the principle of giving full play to the initiative and enthusiasm of the local
authorities under the unified leadership of the central authorities.”

9
Visser’t Hoft, Op. cit,hlm. 30.
10
Istilah the individual economy dalam konteks Negara sosialis yang dianut Cina menjadi jiwa dari
sistem sosialis, seperti yang dinyatakan dalam konstitusi Cina, Article (1) “The People’s Republic of
China is a socialist state under the people’s democratic dictatorship led by the working class and
(1) Konstitusi Cina :

“The individual economy of urban and rural working people,


operated within the limits prescribed by law, is a complement to the socialist
public economy. The state protects the lawful rights and interest of the
individual economy”, (2) “The state guides, helps, and supervises the
individual economy by exercising administrative control”, (3) “The state
permits the private sector of the economy to exist and develop within the
limits prescribed by law. The private sector of the economy is a complement
to the socialist public economy. The state protects the lawful rights and
interest of the private sector of the economy, and exercises guidance,
supervision and control over the private sector of the economy.”

9. Teori penafsiran holistik tematis- sistematis (what is the theme of the articles
formulated, or how to understandthe articles systematically according to the
grouping of the formulation).

Dalam hal ini, misalnya, regular election dalam Article 68 dan 69 Kontitusi
Amerika Serikat:

“Regular elections to the National Assembly shall be held within sixty days prior
to the expiration of the term of the current Assembly. Procedures for elections to
the National Assembly Assembly shall be prescribed by law. The date of
elections shall be fixed by Presidential decree. The first session of a newly
elected National Assembly shall convene on the second Thursday following the
elections of at least two thirds of the total number of Deputies. Until the election
of the total number of Deputies. Until the election of the President of National
Assembly, its meetings shall be chaired by the Deputy who is most senior in
age.”

“The regular sessions of the National Assembly shall convene twice per year
from the second Monday of September to the second Wednesday of December
and from the first Monday of February to the second Wednesday of June. The
sittings of the National Assembly shall be open to the public. Closed door sittings
may be convened by a resolution of the National Assembly.”
based on the alliance of workers and peasants”; (2) “The socialist system is the basic system of The
People’s of China. Sabotage of the socialist system by any organization or individual is prohibited”.
Disamping itu, dalam perkembangan pemikiran dan praktik penafsiran hukum di
dunia akhir-akhir ini, telah berkembang pula berbagai corak dan tipe baru dalam
penafsiran hukum dan konstitusi di berbagai negara. Oleh karena itu, pendapat-
pendapat yang biasa kita diskusikan di berbagai fakultas hukum di tanah air juga
perlu memperhatikan dinamika perkembangan di dunia ilmu hukum pada
umumnya. Oleh sebab itu, berbagai pandangan para sarjana mengenai ragam
metode penafsiran itu, perlu kita himpun dan kita sarikan sebagaimana mestinya.

B. Penemuan Hukum
1. Pengertian Penemuan Hukum

Penemuan hukum adalah suatu metode untuk mendapatkan hukum


dalam hal peraturannya sudah ada, akan tetapi tidak jelas bagaimana
penerapannya pada suatu kasus yang konkret. Penemuan hukum
(rechtsvinding) adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat
hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum
pada peristiwa hukum konkret. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa penemuan
hukum adalah suatu proses kongretisasi atau indivudualisasi peraturan hukum
(das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa kongkrit
(das sein).11

Pada dasarnya penemuan hukum tetap harus mendasarkan pada sistem


hukum yang ada. Penemuan hukum yang semata-mata mendasarkan pada
undang-undang disebut oriented system, namun apabila oriented system tidak
memberikan solusi maka harus ditinggalkan dan menuju ke problem oriented
yang dilatarbelakangi adanya kecenderungan masyarakat pada umumnya yang
membuat undang-undang lebih umum, sehingga dengan sifat umum itu hakim
mendapat kebebasan yang lebih luas. Penemuan hukum pada awalnya hanya
dikenal dalam hukum perdata karena hukum perdata lebih luas ruang geraknya,
tetapi sekarang penemuan hukum juga dikenal dalam berbagai bidang hukum
yang lain.

Penemuan hukum terutama dilakukan oleh hakim dalam memeriksa dan


memutus suatu perkara, penemuan hukum oleh hakim ini dianggap yang

11
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, (Cet 1; Yogyakarta: PT.
Citra Aditya Bakti, 1993), h. 4.
mempunyai wibawa. Ilmuan hukumpun dapat mengadakan penemuan hukum,
namun hasil dari penemuan hukum oleh ilmuan tersebut bukanlah hukum
melainkan ilmu atau doktrin. Walau demikian, sekalipun yang dihasilkan
tersebut bukan hukum, akan tetapi dalam hal ini tetap digunakan istilah
penemuan hukum juga, oleh karena doktrin tersebut apabila diikuti atau diambil
alih oleh hakim dalam putusannya, maka secara otomatis hal itu (ilmu or
doktrin) menjadi hukum. Dan selanjutnya uraian tentang penemuan hukum
dalam kajian iiv dibatasi pada (metode) penemuan hukum oleh hakim.12

2. Sistem Penemuan Hukum


Dalam perkembangan sistem penemuan hukum dikenal dua sistem
penemuan hukum, yaitu:
a. Sistem Penemuan Hukum Heteronom
Sebagai prototype penemuan hukum heteronom terdapat dalam
sistem peradilan negara-negara Kontinental termasuk di dalamnya
Indonesia. Di sini hakim behas, tidak teribat pada putusan hakim lain
yang perah dijatuhkan mengenai perkara sejenis. Hakim berfikir
deduktifdari bunyi undang-undang (umum) menuju ke peristiwa
khusus dan akhimya sampai pada putusan. Dalam penemuan yang
typis logistic atau heteronom hakim dalam memenksa dan mengadili
perkara berdasarkan pada faktor-faktor di luar dirinya.

b. Sistem Penemuan Hukum Otonom


Sistem Penemuan Hukum OtonomScbagai prototype penemuan
hukum otonom terdapat dalam sistem peradilan Anglo Saks yang
menganut asas the binding force precedent atau stare decisis et olio
non movere. Di sini hakim terikat pada putusan pada putusan hakim
yang telah dijatuhkan mengenai perkara sejenis dengan yang akan
diputus hakim yang bersangkutan. Memang di sini putusan hakim
terdahulu yang mengikatnya, sehingga merupakan faktor di luar diri
hakim yang akan memutuskan, tetapi hakim yang akan memutuskan
itu menyatu dengan hakim terdahulu yang telah menjatuhkan putusan
12
Sudikno Mertukusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2004), h. 37.
mengenai perkara yang sejenis dan dengan demikian putusan hakim
terdahulu merupakan faktor di luar dirinya.
Namun di dalam perkembangannya dua sistem penemuan hukum
itu saling mempengaruhinya, sehingga penemuan hukum tidak lagi
murni otonom dan murni heteronom. Bahkan ada kecenderungan
bergeser ke arah penemuan hukum otonom.Antara penemuan bukum
yang heteronom dan otonom tidak ada batas yang tajam. Di dalam
praktek penemuan bukum kita jumpai kedua unsur tersebut (heteronom
dan otonom).
Putusan pengadilan di negara-negara Anglo saks merupakan hasil
penemuan hukum otonom sepanjang pembentukan peraturan dan
penerapan peraturan itu dilakukan oleh hakim berdasarkan hati
nuraninya, tetapi sekaligus juga bersifat beteronom karena hakim
terikat pada putusan-putusan sebelumnya (faktor di luar diri hakim).
Hukum di Indonesia mengenal penemuan hukum heteronom
sepanjang hakim terikat pada undang-undang, tetapi penemuan hukum
ini juga mempunyai unsur-unsur otonom yangkuat, karena hakim
seringkali harus menjelaskan atau melengkapi undang-undang menurut
pandangannya sendiri.Kalau asas peradilan yang berlaku di Indonesia
itu ialah bahwa hakim tidak terikat pada putusan hakim terdahulu
mengenai perkara yang sejenis, maka ini tidak sedikit hakim yang.
dalam menjatuhkan putusannya, berkiblat pada putusan pengadilan
yanglebih tinggi mengenai perkara serupa dengan yang dihadapinya.13

3. Dasar Hukum Positif Penemuan Hukum


Dalam pasal 1 UU No. 14 Tahun 1970 ditentukan bahwa kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan, guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi
terselenggaranya Negara Hukum RepublkIndonesia. "Merdeka" di sini berarti
"bebas". Jadi kekuasaan kehakiman adalah bebas untuk menyelenggarakan
peradilan. Kebebasan kekuasaan kehakiman atau kebebasan peradilan atau
kebebasan hakim merupakan asas universal yang terdapat dimana-mana, baik di

13
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, (Cet 1; Yogyakarta: PT.
Citra Aditya Bakti, 1993), h. 40-42.
negara-negara Eropa timur, maupun di Amerika, Jepang, Indonesia dan
sehagainya. Asas kebebasan peradilan merupakan dambaan setiap bangsa. Yang
dimaksudkan dengan kebebasan peradilan atau hakim ialah bebas untuk
mengadili dan bebas dari campur tangan dari pihak ekstra yudisiil.
Penemuan hukum di samping didasarkan pada ketentuan di atas,
menemukan dasar hukumnya dengan jelas dan tegas pada pasal 27 UU No. 14
tahun 1970, yang berbunyi :Hakim sebagai penegak hukum dan kcadilan wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat. Kata menggali mengasumsikan bahwa hukumnya itu ada tetapi
tersembunyi, agar sampai pada permukaan masih harus digali, dicari dan
diketemukan, bukannya tidak ada, kemudian lalu diciptakan.14

4. Sumber Penemuan Hukum


a. Sumber Penemuan Hukum Konvensional
Sumber penemuan hukum tidak lain yang dimaksud adalah sumber
atau tempat, terutama bagi hakim dalam menemukan hukumnya.Sumber
utama penemuan hukum dalam hukum konvensional menurut Sudikno
Mertokusumo adalah peraturan perundang-undangan, kemudian hukum
kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional dan doktrin. Jadi
menurutnya terdapat tingkatan- tingkatan, hierarki atau kewedaan dalam
sumber hukum.
Dalam ajaran penemuan hukum "undang-undang" diprioritaskan atau
didahulukan dari sumber-sumber hukum lainnya. Kalau hendak mencari
hukumnya, arti dari sebuah kata maka terlebih dahulu dicari dalam undang-
undang, karena undang-undang bersifat otentik dan berbentuk tertulis, yang
lebih menjamin kepastian hukum.Undang-undang merupakan sumber hukum
yang penting dan utama, namun senantiasa perlu pula dingat bahwa undang-
undang dan hukum tidaklah identik.
Apabila dalam peraturan perundang-undangan tidak terdapat
ketentuannya atau jawabannya, maka barulah mencari dalam hukum
kebiasaan (yang tidak tertulis). Hukum kebiasaan pada umumnya
melengkapi (pelengkap) undang-undang dan tidak dapat mengesampingkan
undang-undang. Akan tetapi dalam keadaan tertentu hukum kebiasaan dapat
14
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.
saja mengalahkan undang-undang: hukum kebiasaan mengalahkan undang-
undang yang bersifat pelengkap. Dan kalau hukum kebiasaan ternyata tidak
memberi jawaban, maka dicarilah dalam "yurisprudensi", yang berarti setiap
putusan hakim, dapat pula berarti kumpulan putusan hakim yang disusun
secara sistematis dari tingkat peradilan pertama sampai pada tingkat kasasi.
Dan kadang pula yurisprudensi-diartikan pandangan atau pendapat Para ahli
yang dianut oleh hakim dan dituangkan dalam putusannya.
b. Sumber Penemuan Hukum Islam
Seperti halnya sumber hukum dalam hal penemuan hukum menurut
hukum konvensional, maka dalam hukun Islam juga terdapat urutan atau
hierarki tersendiri dalam hal penemuan hukum yaitu Al-Qur'an. Sunnati
(hadits nabi) dan Ijma, dan lain sebagainya.15
C. Kesesatan Dalam Penalaran Hukum

Kesesatan dalam penalaran apabila terjadi karena sesat dan kelihatan tidak
masuk akal. Seseorang yang mengemukakan penalaran yang sesat tidak akan melihat
kesesatan dalam penalarannya sendiri atau paralogis. Namun jika penalran yang sesat
16
itu memang sengaja untuk memperngaruhi orang lain maka disebut sofisme.
Penalaran juga dapat sesat jika tidak ada hubungan yang logis antara premis dan
konklusi. Model lainnya adalah kesesatan bahasa.

R.G Soekadji memaparkan lima model kessatan hukum yakni argumentum ad


ignorantium argumentum ad verecumdiam, argumentum ad hominem, argumentum ad
misericordiam, argumentum ad baculum. Lima model kesesatan itu juga dikemikakan
oleh Irving M. Copy. Model tersebut jika digunkan secvra tepat dalam bidanh hukum
justru bukanlah suatu kesesatan dalam penalaran hukum yaitu:

a. Argumentum ad ignorantium, kesesatan ini apabila proposisi sebagi benar


karena tidak terbukti salah dan begitu juga sebaliknya,dalam bidang hukum
sendiri model ini dimungkinkan dalam bidang hukum acara. Misalanya dalam
hukum perdata pasal 1865 BW penggugat harus membuktikan kebenran
dalilnya untuk dapat membuktikan dalil gugatanya.

15
M. Nur, Rechtsvinding: Penemuan Hukum (Suatu Perbandingan Metode Penemuan Hukum
Konvensional dan Hukum Islam), (Jurnal Ilmiah Al Syir’ah, 2016), h.34.
16
I Dewa Gede Atmadja, Penalaran Hukum (Legal Reasoning), Pengertian, Jenis, Dan Penerapannya,
Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 2006.
b. Argumentum ad verecundium, menerima atau menolak suatu argumentasu
bukan karena nilai penalaranya namun karena uang mengemukankanya adalah
orang yang berkuasa atau orang yang ahli. Dalam bidang hukum argumentasi
demikan tidak sesat jika suatu yurisprudensi menjadi yurisprudensi tetap.
c. Argument ad hominem, menolak atau menerima rgumentasi hukum atau usul
karena keadaan orangnya. Dalam bidang hukum argumentasi demikian
bukanlah kessatan apabila digunakan untuk mendiskreditkan seorang saksi
yang pada dasarnya tidak mengetahui kejadian secra jelas.
d. Argumentum ad misericordiam, adalah argumentasi yang bertujuan
menimbulkan belas kasihan. Argumentasi ini haya dibenarkan dalam hukum
untuk meringankan hukumuan bukan untuk pembuktian tidak bersalah.
e. Argumentum ad baculum, menerima atau menolak argumentasi hukum karena
suatu ancaman. Dalam bidang hukum ancaman demikina tidak sesat jika
digunakan untuk mengingatkan orang tentang ketentuan hukum.17

17
Hadjon, Philipus M, dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta, 2005.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesesatan dalam penalaran apabila terjadi karena sesat dan kelihatan tidak
masuk akal. Seseorang yang mengemukakan penalaran yang sesat tidak akan melihat
kesesatan dalam penalarannya sendiri atau paralogis. Namun jika penalaran yang
sesat itu memang sengaja untuk mempengaruhi orang lain maka disebut sofisme.
Menurut R.G Soekadji memaparkan lima model kessatan hukum yakni argumentum
ad ignorantium argumentum ad verecumdiam, argumentum ad hominem, argumentum
ad misericordiam, argumentum ad baculum.
Penemuan hukum (rechtsvinding) adalah proses pembentukan hukum oleh
hakim atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan
hukum umum pada peristiwa hukum konkret. Dalam perkembangan sistem
penemuan hukum dikenal dua sistem penemuan hukum, yaitu: Sistem Penemuan
Hukum Heteronom, dan Sistem Penemuan Hukum Otonom
Penemuan hukum di samping didasarkan pada pasal 1 UU No. 14 Tahun 1970
ditentukan bahwa kekuasaan kehakiman, menemukan dasar hukumnya dengan jelas
dan tegas pada pasal 27 UU No. 14 tahun 1970, yang berbunyi :Hakim sebagai
penegak hukum dan kcadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum yang hidup dalam masyarakat. Kata menggali mengasumsikan bahwa
hukumnya itu ada tetapi tersembunyi, agar sampai pada permukaan masih harus
digali, dicari dan diketemukan, bukannya tidak ada, kemudian lalu diciptakan.
Sumber penemuan hukum memiliki dua sumber, yaitu Penemuan hukum
konvensional, dan sumber penemuan hukum Islam. Penafsiran hukum (interpretasi)
adalah sebuah pendekatan pada penemuan hukum dalam hal peraturannya ada tetapi
tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya. Sebaliknya dapat terjadi juga
hakim harus memeriksa dan mengadili perkara yang tidak ada peraturannya yang
khusus. Para pakar hukum telah menguraikan adanya 9 teori penafsiran yang berbeda
penggambaranya dari apa yang dikemukakan oleh Arief sidharta
DAFTAR PUSTAKA

Ph. Visser’t Hoft, Penemuan Hukum, judul asli Rechtsvinding, diterjemahkan oleh B.
Arief Sidharta, (Bandung: Laboratorium Hukum FH Univ Parahyangan, 2001).

Hadjon, Philipus M, dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta, 2005.

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, (Cet 1;


Yogyakarta: PT. Citra Aditya Bakti, 1993).

M. Nur, Rechtsvinding: Penemuan Hukum (Suatu Perbandingan Metode Penemuan


Hukum
Konvensional dan Hukum Islam), (Jurnal Ilmiah Al Syir’ah, 2016).
I Dewa Gede Atmadja, Penalaran Hukum (Legal Reasoning), Pengertian, Jenis, Dan
Penerapannya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 2006.

Anda mungkin juga menyukai