Anda di halaman 1dari 85

Pengantar Ilmu Hukum

( P.I.H )
Oleh :
Prof.Dr. Herowati Poesoko, S.H.,M.H.
I. PENGANTAR ILMU HUKUM ( P.I.H )
a. Merupakan suatu mata pelajaran yang menjadi pengantar dan petunjuk jalan
bagi siapa saja yang ingin mempelajari Ilmu Hukum, yang ternyata sangat luas
ruang lingkupnya, mereka tidak akan mungkin memahami dengan baik
mengenai berbagai cabang ilmu tanpa menguasai mata pelajaran P.I.H.
terlebih dahulu;
b. Sebagai suatu pelajaran P.I.H. memberikan dan menanamkan pengertian
dasar mengenai arti, permasalahan dan persoalan-persoalan di bidang hukum
sehingga ia menjadi mata pelajaran utama yang harus dikuasai oleh mereka
yang ingin mendalami ilmu hukum;
c. Memberikan gambaran-gambaran dan dasar-dasar yang jelas mengenai
sendi-sendi utama hukum itu sendiri, berbeda dengan cabang-cabang ilmu
hukum lainnya. Maka P.I.H. mempunyai cara pendekatan yang khusus ialah
memberikan pandangan hukum secara umum.
d. Ilmu Hukum oleh Cross :
Mendefinisikan bahwa ilmu hukum adalah segala pengetahuan hukum yang
mempelajari hukum dalam segala bentuk dan manivestasinya

2
e. Purnadi Purbocoroko dan Suryiono Sukanto dalam bukunya “Perihal
Kaedah Hukum”, menyebutkan bahwa Ilmu Hukum mencakup:
1. Ilmu tentang kaidah atau “norm wissenschaft” atau “sollen wissenschaft”,
yaitu ilmu yang mempelajari/ menelaah hukum sebagai kaidah atau sistem
kaidah-kaidah dengan dogmatik hukum dan sistematik hukum ;
2. Ilmu Pengertian yakni ilmu tentang pengertian–pengertian pokok dalam
hukum, seperti misalnya subyek hukum, hak & kewajiban, peristiwa hukum,
hubungan hukum dan obyek hukum ;
3. Ilmu tentang kenyataan atau Tatsachen wissenschaft atau Sein
wissenschaft, yang menyoroti hukum sebagai perilaku, sikap tindak, yang
antara lain mencakup sosiologi hukum, antropologi hukum, psikologi hukum,
perbandingan hukum dam sejarah hukum.

3
II. PERAN DAN FUNGSI HUKUM
Peranan Hukum dalam masyarakat
- Pada awal pertama manusia mempunyai sifat ”Homo Homini Lopus” yang
artinya manusia berusaha mengalahkan manusia yang lain →
( Thomas Hobber )
- Disisi lain manusia pada hakekatnya disamping sebagai mahluk individu juga
sebagai mahluk sosial
- Sebagai mahluk pribadi atau sebagai mahluk sosial manusia tidak selalu
menyadari bahwa dalam hidupnya ia sebenarnya berperilaku menurut pola
tertentu dan hal ini bisa dimengerti sejak keberadaan manusia sudah berada
dalam pola tertentu dengan cara mencontoh, pendidikan atau berdasarkan
petunjuk-petunjuk.
- Setelah sadar bahwa manusia sejak lahir hingga meninggal selalu hidup
bersama-sama dengan manusia yang lain karena satu sama lain saling
membutuhkan.
- Dalam hidup menurut pola tertentu, manusia mengharapkan kebutuhan dasar
yang harus dipenuhi secara lahiriah dan batiniyah.

4
- Kebutuhan dasar menurut A Maslow adalah :
a. Pangan d. Keselamatan/ Kedamaian
b. Sandang e. Harga diri dan Cinta Kasih
c. Papan
- Disinilah keluasan filosof Yunani yang bernama Aristoteles yang menyatakan
manusia adalah Zoom Politicon artinya manusia disamping sebagai mahluk
pribadi juga mahluk sosial.
- Manusia untuk mempengaruhi kebutuhan dalam masyarakat jelas
mengadakan hubungan (hak & kewajiban) kalau ada 2 manusia atau lebih
yang masing-masing menjadi pendukung kepentingan mengadakan
hubungan, maka bertemulah 2 (dua) atau lebih kepentingan itu satu sama
lain. Pertemuan kepentingan itu disebut Kontrak
- Ada 2 (dua) macam kontrak antara lain :
1. Kontrak yang menyenangkan ;
Kalau kepentingan yang bertemu saling memenuhi ;
Contoh : Pasal 1513 KUHPerdata (Penjual) dan
Pasal 1474 KUHPerdata (Pembeli).
2. Kontrak yang tidak menyenangkan :
Kalau kepentingan yang bertemu bersaing (pelamar, pemilik & pencuri).

5
- Untuk mengatur bermacam-macam kontrak perlu adanya Tata Tertib, supaya
menusia tersebut dalam bermasyarakat dapat memenuhi kebutuhan tanpa
melanggar kebutuhan manusia atau sesama yang lain.
- Tata Tertib atau aturan-aturan dapat disebut dengan Norma atau Kaidah.
Kaidah sendiri ada 4, yaitu : - Agama
- Kesusilaan
- Kesopanan
- Hukum
- Peranan Hukum :
Hukum mempunyai peranan yang penting sekali agar masyarakat dapat hidup “
aman, tentram, damai, adil dan makmur”. Khususnya didalam penentuan hak
dan kewajiban serta perlindungan kepentingan social dan para individu.
Peranan ini disini tercermin lebih nyata bekerjanya hukum ditengah-tengah
kehidupan bermasyarakat.
Sebagai suatu contoh : Manusia untuk mencapai tujuan dalam melaksanakan
kepentingan ada yang melakukan hubungan hukum & perbuatan hukum,
peranan hukum dalam hubungan hukum, perbuatan hukum, karena sejak
dilahirkan, manusia itu sebagai pendukung hak dari segala benda yang ada
disekelilingnya yang menjadi obyek dari pada hak itu.

6
Peranan hukum yang tak terhingga ragamnya itu dikemukakan dalam
beberapa contoh dalam kehidupan manusia sehari-hari sebagai berikut:
1. Dalam Bidang Keluarga :
a. Antara seorang laki-laki dan perempuan yang hidup bersama sebagai
suami-isteri yang mengikatkan diri dalam perkawinan → UU No. 1 tahun
1974;
b. Pencatatan kelahiran anak, tentang pencatatan perceraian, dan kematian
pada Kantor Catatan Sipil;
c. Hak & Kewajiban antara orang tua dan anak.
2. Dalam Hubungan Kerja :
a. UU Perburuhan ( UU No. 8 tahun 1961 ) ;
b. Saksi ahli dalam bidang hukum pidana ;
c. Upah buruh.
3. Didalam menjalankan pekerjaan/ profesi :
a. Pegawai Negeri Sipil/ ABRI
b. Menyimpan rahasia kedokteran PP. No.10 tahun 1966 tgl 21 Mei 1966, L
N 1966 No. 2
c. Seorang Advokat/ pengacara Reglement opde Rechtelijke Organisatie en
het beleid der Justitie in Indonesie (Sib No. 23 Jo. Sib 1948 No. 47).

7
III. TUJUAN HUKUM
Dalam fungsinya sebagai perlindungan manusia hukum mempunyai tujuan
artinya mempunyai sasaran yang hendak dicapai. Adapun tujuan pokok hukum
adalah “menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban
dan keseimbangan”. Dengan tercapainya ketertiban di dalam masyarakat di
harapkan kepentingan manusia akan terlindungi. Dalam mencapai tujuannya itu
hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antara perseorangan dalam
masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah
hukum serta memelihara kepastian hukum. (Judikus Mertokusumo, Mengenal
Hukum, 1986, hal 55).
Berbagai pakar di bidang Hukum maupun di bidang ilmu sosial lainnya
mengemukakan pendapatnya masing-masing tentang tujuan hukum, sesuai
dengan titik tolak serta sudut pandang mereka. Namun dari keseluruhan
pendapat tentang apa yang merupakan tujuan hukum, dapat diklasifikasikan ke
dalam 3 aliran konvensional masing –masing, antara lain sebagai berikut :

8
1. Theori Etis.
Menurut teori etis hukum semata-mata bertujuan tentang isi hukum
ditentukan oleh keyakinan kita yang etis tentang adil atau tidak. Menurut
hukum ini hukum bertujuan merealisir atau mewujudkan keadilan.
Tentang isi keadilan sukar memberikan bahasannya. Menurut “Aristoteles”
membedakan ada 2 (dua) macam keadilan yaitu :
a. Justitia Distributiva
Menuntut bahwa setiap orang mendapatkan apa yang menjadi haknya
“Suum Cuique Tribuere” ( to each his own) haknya ini tidak sama untuk
setiap orangnya tergantung pada : kekayaan, kelahiran, pendidikan,
kemampuan, dsb; sifatnya proposional justitia distributiva ini merupakan
kewajiban pemerintah terhadap warganya, menentukan apa yang dapat
dituntut oleh warga masyarakat, justitia distributiva ini merupakan
kewajiban pembentukan undang-undang untuk diperhatikan dalam
penyusunan UU. Keadilan ini memberikan kepada orang menuntut jasa &
kemampuannya. Disini bukan kesamaan yang dituntut tetapi perimbangan.
Contoh : Pasal 30 ayat 1 UUD’45 yang bunyinya tiap-tiap warga negara
berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara.
Pasal 6 ayat 1 UUD’45 : Presiden ialah orang Indonesia asli.

9
b. Justitia Commutativa
Memberikan kepada setiap orang sama banyaknya. Disini yang dituntut
adalah kesamaan, yang adil ialah apabila setiap orang diperlakukan sama
tanpa memandang kedudukan, dsb.
Perbandingan :

Jusititia Distributiva Justitia Commutativa

Urusan Pembentukan UU Hakim

Sifat Proposional Kesamaan

10
Menurut Prof. Van Apeldoorn teori etis ini berat sebelah, karena ia melebih-
lebihkan kadar keadilan hukum, sebab ia tak cukup memperhatikankeadaan
sebenarnya. Hukum menetapkan peraturan-peraturan umum yang menjadi
petunjuk untuk orang-orang dalam pergaulan masyarakat. Jika hukum semata-
mata menghendaki keadilan, jadi semata-mata mempunyai tujuan memberi tiap-
tiap orang yang patut diterimanya, maka ia tak dapat membentuk peraturan
umum. Jika tak peraturan umum berarti ketidaktentuan, mengenai apa yang
disebut adil atau tidak adil, dan jika ketidaktentuan inilah yang selalu akan
menyebabkan perselisihan antar anggota masyarakat, dan justru menjadi
penyebab keadaan tidak teratur dan tentunya tidak tertib hukum.
Dengan demikian hukum harus menentukan peraturan umum, harus
menyamaratakan. Tetapi keadilan melarang menyamaratakan, keadilan
menuntut supaya setiap perkara harus ditimbang sendiri yang mana ini
merupakan tugas hakim.

11
2. Theori Utilitis ( Eudaemonistis) → dengan tujuan Kemanfaatannya.
Menurut teori ini hukum ingin menjamin kebahagiaan yang sebesar-besarnya
bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya ( the grestest good of
the greates number),. Pada hakekatnya menurut Jeremi Bentham teori ini
tujuan hukum adalah menfaat dalam menghasilkan kesenangan atau
kebahagiaan yang terbesar bagi jumlah orang terbanyak. Kepastian melalui
hukum perseorangan merupakan utama daripada hukum. Padahal apa yang
berfaedah bagi orang yang satu, mungkin merugikan orang lain.
Pendapat Jeremi Bentham “dititik beratkan pada hal-hal yang berfaedah dan
bersifat umum, namun tidak memperhatikan unsur keadilan”.
Sebaliknya menurut Mr. J.H.P. Bellefroid dalam bukunya “Inleiding tot de
Rechtswetens chap in Nederland” isi hukum harus ditentukan menurut dua
asas yaitu asas keadilan dan faedah/ manfaat.

12
3. Theori Yuridis → Dogmatik dengan kepastian hukumnya
Aliran ini bersumber dari pemikiran Pasitivis di dunia hukum yang cenderung
melihat hukum sebagai suatu yang otonom, mandiri, karena bagi penganut
pemikiran ini, hukum tidak laij hanya kumpulan aturan.
Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin
terwujudnya Kepastian Hukum. Bagi penganut aliran ini, kepastian hukum ini
diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan
hukum.
Contoh : Barang siapa mengambil barang milik orang lain dengan maksud
ingin memiliki dengan cara melawan hak, dapat dihukum ( Pasal
362 KUHPid).

13
Perkataan “barang siapa” pada pasal itu menunjukan pengaturannya yang
bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa
hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau manfaat melainkan
semata-mata untuk Kepastian.
Menurut penganut teori ini meskipun aturan hukum atau penerapan hukum
terasa tidak adil atau tidak memberikan manfaat yang besar bagi mayoritas
warga masyarakat, hal itu tidak menjadi soal, asalkan kepastian hukum
terwujud. Hukum identik dengan kepastian.
Bagi penganut aliran ini “Tujuan Hukum” yang tertuang dalam rumusan
aturan tadi merupakan “kepastian” yang harus diwujudkan atau tepatnya
“Janji Hukum” adalah sesuatu yang “seharusnya” → Ingat bahwa apa yang
seharusnya (Sollen) belum tentu. Hal tersebut aturan hukum dibuat dan
diterapkan oleh manusia yang terpengaruh dengan berbagai aspek
kemanusiaan, faktor manusia dalam penerapnnya memberikan porsi keadilan
maupun kemanfaatannya secara kasukitis

14
4. Tujuan Hukum menurut Pakar Hukum di Indonesia
a. Menurut Mochtar Kusumaadmadja :
Tujuan pokok dan pertama dari hukum adalah ketertiban. Kebutuhan
akan ketertiban ini syarat pokok (Fundamental) bagi adanya suatu
masyarakat manusia yang teratur, disamping ketertiban tujuan lain dari
hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan
ukurannya menurut masyarakat dan zamannya.
b. Menurut Prof. Subekti :
Hukum itu mengabdi pada Tujuan Negara yaitu “mendatangkan
kemakmuran dari kebahagiaan para rakyatnya” dalam mengabdi kepada
tujuan negara dengan menyelenggarakan keadilan dan ketertiban.
c. Menurut Pendapat Achmad Ali, kedua aliran tersebut disebut aliran
konvensional yang ekstrem dan sangat sulit untuk di anut dalam
masyarakat hukum yang kompleks ini.

15
Menurut Achmad Ali, tujuan hukum dapat dikaji melalui 3 sudut pandangan
antara lain :
1. Dari sudut pandang Ilmu Hukum Positif Normatif atau Yuridis Dogmatik,
unsur tujuan hukum dititik beratkan pada segi Kepastian Hukum.
2. Dari sudut pandang Filasfat Hukum, dominan tujuan hukum dititik
beratkan pada segi Keadilan.
3. Dari sudut pandang Sosiologi Hukum, tujuan hukum dititik beratkan
pada segi Manfaatnya.

Menurut apa yang sebenarnya yang dinamakan tiga nilai dasar hukum oleh
Radbruch dapat disebut sebagai tujuan hukum dalam makna yang lain
adalah:
a. Keadilan ;
b. Kemanfaatan ;
c. Kepastian.
Secara khusus masing-masing bidang hukum mempunyai tujuan yang
spesifik. Contohnya adalah Hukum Pidana dan Hukum Perdata.

16
IV. FUNGSI HUKUM
Fungsi Hukum menurut Joseph Raz
Untuk mencapai tujuannya, hukum harus difungsikan menurut fungsi-fungsi tertentu.
Apakah fungsi dari hukum? Jawabnya tergantung yang ingin kita capai apa, karena
fungsi hukum itu luas, tergantung tujuan-tujuan hukum umum dan tujuan yang khusus
dan seyogianya hukum dilaksanakan dalam rangka pencapaian tujuan yang
dimaksudkan.
Menurut Joseph Raz : melihat fungsi hukum sebagai fungsi sosial yang dibedakannya
hukum ke dalam :
a. Fungsi Langsung ;
b. Fungsi tidak Langsung.

17
A. Fungsi Langsung
a. Fungsi langsung yang bersifat primer, mencakup :
1). Pencegahan perbuatan tertentu dan mendorong dilahirkannya
perbuatan tertentu ;
2). Penyediaan fasilitas bagi renca-rencana privat ;
3). Penyediaan servis dan pembagian kembali barang-barang ;
4). Penyelesaian perselisihan di luar jalur reguler.
b. Fungsi langsung yang bersifat sekunder, mencakup :
1). Prosedur bagi perubahan hukum ;
2). Prosedur bagi pelaksanaan hukum.

18
B. Fungsi Tidak Langsung
Adalah memperkuat atau memperlemah kecenderungan untuk menghargai nilai-nilai
moral tertentu, contoh :
1. Kesucian hidup ;
2. Memperkuat atau memperlemah penghargaan terhadap aturan umum ;
3. Mempengaruhi perasaan kesatuan nasional ;
4. Dsb.

19
Sedangkan menurut “Achmad Ali” Fungsi hukum dibedakan menjadi:
1. Fungsi hukum sebagai “a tool social control ( Law is a tool of social control)”
Menurut Ronny Hantijo Sumitro, Kontrol Sosial merupakan aspek normatif dari
kehidupan sosial atau dapat disebut sebagai pemberi definisi dari tingkah laku yang
menyimpang serta akibat-akibatnya, seperti larangan-larangan, tuntutan-tuntutan
pendanaan dan pemberi ganti rugi.
Dari Prof. Ronny Hantijo Sumitro, kita dapat menangkap “isyarat” bahwa hukum bukan
satu-satunya alat pengendali atau pengontrol sosial. Hukum hanya sebagai salah satu
kontrol sosial di dalam masyarakat. Jadi fungsi hukum sebagai alat pengendali sosial
dapat diterangkan sebagai fungsi hukum untuk menetapkan tingkah laku mana yang
dianggap merupakan penyimpangan terhadap aturan hukum dan apa sanksi atau
tindakan yang dilakukan oleh hukum jika terjadi penyimpangan tersebut.

20
Sehingga Ronny menjelaskan :
Tingkah laku yang menyimpang merupakan tindakan yang tergantung pada kontrol sosial.
Ini berarti kontrol sosial menentukan tingkah laku bagaimana yang merupakan tingkah laku
yang menyimpang. Maka tergantung tingkah laku itu pada kontrol sosial makin berat nilai
penyimpangan pelakunya. Berat ringannya tingkah laku menyimpang tergantung : dari
masing-masing masyarakat berbeda kuantitas sanksi terhadap suatu penyimpangan
tertentu terhadap hukum.
Contoh : “hukuman bagi perintah“
Hukum Islam → lebih ringan
KUH Pidana → lebih ringan
Dengan demikian jika dilihat dari uraian diatas jika fungsi hukum sebagai pengendalian
sosial
a. Fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial, tidaklah sendirian di dalam
masyarakat, melainkan fungsi itu bersama-sama dengan pranata-pranata sosial
ainnya yang juga melakukan fungsi pengendalian sosial.
b. Fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial merupakan fungsi “pasif” disini
artinya hukum-hukum menyesuaikan diri dengan kenyataan masyarakat.

21
2. Fungsi hukum sebagai “a tool of social Engineering” ( Law is a tool social
engineering)
a. Konsep hukum sebagai “a tool of social engineering” dianggap suatu konsep yang
netral, yang dicetuskan oleh Rascae Pound.
b. Konsep “a tool of social engineering” ada yang diajarkan oleh
aliran Historis dari Frederich Karl Von Savigny”.

Aliran historisnya Savigny mengatakan “das recht wird nicht Gemachtes ist Undwird
mit dem Valke” artinya hukum itu tidak dibuat tetapi ada dan berkembang bersama-
sama ditengah-tengah masyarakat karena hukum itu sendiri sebagai jiwa masyarakat
(Valkgist), hal ini diperjelas dengan adeguim “Ubi Sacietas ibi uis” (dimana ada
masyarakat disitu ada hukum) maksudnya, hukum pada awalnya lahir dari kebiasaan
dan kesadaran hukum masyarakat, kemudian dari putusan hakim, tetapi bagaimanapun
juga diciptakan oleh kekuatan-kekuatan dari dalam yang bekerja secara diam-diam dan
tidak oleh kemauan dari badan legeslatif.

22
Konsep hukum ini jika dikaitkan dengan masyarakat yang masih sederhana memang
masih tepat hukum kebiasaan menonjol pada masyarakat yang sederhana disini hukum
sebagai gejala sosial.
Menurut Scholten : Undang-undang adalah sebagian dari hukum dan tidak semua yang
tergantung dalam UU adalah hukum.
Contoh :
1. Barang siapa yang memperlihatkan gambar atau alat kontrasepsi kepada
masyarakat belum berumur 17 tahun, sesuatu gambar atau sesuatu cara yang
dipergunakan untuk mencegah atau mengganggu hamil, dihukum penjara dan denda
sebanyak-banyaknya Rp. 9.000,-
2. Pasal 530 KUH Pidana
Pemuka agama yang melakukan sesuatu upacara agama dalam menikahkan orang
yang hanya boleh dinikahkan di muka pejabat burgelijk staad (BS). Sebelum kedua
belah pihak menyatakan bahwa mereka telah kawin dihadapan pejabat dihukum
denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-

23
Ini sebagai bukti bahwa tidak semua yang tertuang dalam UU adalah Hukum. Berhadapan
dengan aliran historis ini, maka Roscoe Pound mengemukakan konsep “a Tool of Social
Engineering” yang memberikan dasar bagi kemungkinan digunakannya hukuman secara
sadar untuk mengadakan perubahan masyarakat.
Kemudian Pengertian “a Toll of Social Engineering” oleh Sarjono Soekamto adalah :
Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat dalam arti bahwa hukum mungkin
digunakan sebagai alat oleh Agent of Change. Dan agent of change atau pelopor
perubahan adalah seseorang atau sekelompok orang yang mendapatkan kepercayaan
dari masyarakat sebagai pemimpin atau lebih lembaga-lembaga masyarakat. Pelopor
perubahan memimpin masyarakat dalam tekanan-tekanan untuk mengadakan perubahan,
dan bahkan mungkin menyebabkan perubahan-perubahan pula pada lembaga-lembaga
kemasyarakatan lainnya. Suatu perubahan sosial yang dikehendaki atau direncanakan
selalu berada di bawah pengendalian serta pengawasan pelopor perubahan tersebut.
Cara untuk mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan direncanakan
terlebih dahulu dinamakan “ Social Engineering” atau “ planning”. Tentunya sebelum
menggunakan hukum sebagai “ a Tool of Social Engineering “, harus diperhatikan
berbagai aspek non hukum agar nantinya peraturan hukum yang dibuat dan dipergunakan
itu dapat mencapai tujuan yang menjadi sasarannya. Kalau tidak, mungkin hal sebaliknya
yang bakal terjadi.

24
3. Fungsi hukum sebagai Simbol.
L.B. Curzon yang dimaksud simbolis :
Simbolis itu mencakupi proses-proses dalam mana seseorang menerjemahkan atau
menggambarkan atau mengartikan dalam suatu istilah yang sederhana tentang
perhubungan sosial serta fenomena lainnya yang timbul dari interaksinya dengan
orang lain.
“Involves the process where by persons cosider in simple term the social relation ships
and other phenomena arising from their interaction”
Contoh : seseorang yang mengambil barang milik orang lain dengan maksud
memiliki dengan jalan melawan hukum, oleh hukum pidana disimbolkan
sebagai Tindakan Pencurian.

25
4. Fungsi Hukum sebagai Alat Politik
Hukum dan politik sulit dipisahkan, khususnya hukum tertulis mempunyai kaitan
langsung dengan negara. Bahwa pemisahan politik secara tegas sebagaimana dituntut
ajaran murni tentang hukum, hanya berkaitan dengan ilmu hukum, dan bukan dengan
obyeknya yaitu hukum. Dengan tegas dikatakan hukum tidak dapat dipisahkan dengan
politik.
Demikian juga pendapat lain yang manyatakan hukum tidak mungkin dipisahkan
dengan politik. Terutama pada masyarakat yang sedang membangun, dimana
pembangunan tidak lain merupakan keputusan politik, sedangkan pembangunan jelas
membutuhkan legalitas dari sektor hukum
Mac Iver, melihat bahwa dalam negara ada 2 (dua) jenis hukum, yaitu :
(1). Ada hukum yang mengemudikan negara ;
(2). Ada hukum yang digunakan negara sebagai alat untuk memerintah.
Hukum yang mengendalikan negara adalah hukum konstitusi, sedang yang lainnya
untuk kepentingan pembedaan, kita sebut “hukum biasa (ordinary law)”.

26
5. Fungsi Hukum sebagai Mekanisme Integrasi
Setiap manusia mempunyai kepentingan, kadang-kadang kepentingannya
selaras namun kadang karena kepentingan yang berbeda menimbulkan konflik.
Untuk menyelesaiakan konflik, ada yang berpendapat hukum itu hanya berfungsi
untuk menyelesaiakan konflik, hal tersebut adalah tidak benar, karena hukum
berfungsi :
a. sebelum terjadinya konflik ;
b. sesudah terjadinya konflik.
Atau dapat dikatakan ada 2 (dua) jenis penerapan hukum, yaitu :
a. Penerapan hukum dalam hal tidak ada konflik ;
contoh : dalam hal jual beli barang, si penjual menyerahkan barangnya
sedangkan si pembeli telah membayar harga barang secara lunas.
b. Penerapan hukum dalam hal terjadi konflik ;
contoh : barang yang telah dijual belum diserahkan kepada pembeli, sedang
pembeli tidak mau membayar lunas harga barangnya.

27
Hal tersebut menunjukkan hukum berfungsi sebagai “mekanisme untuk melakukan
integrasi” terhadap berbagai kepentingan warga masyarakat, baik tidak ada konflik
maupun setelah/waktu terjadi konflik dalam masyarakat, namun bukan hanya hukum
satu-satunya sarana pengintegrasi, melainkan masih terhadap sarana pengintegarsi lain,
seperti : kaidah agama, kaidah moral, dsb.

28
V. ASAS HUKUM DAN SISTEM HUKUM

I. ASAS HUKUM
Tentang batasan asas hukum ada berbagai pendapat yang dikemukakan oleh beberapa
ahli hukum antara lain :
a. Pendapat Bellefroid :
Asas hukum umum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan
oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum.
Asas hukum umum merupakan pengendapan dari hukum positif.
b. Pendapat Paul Scholten :
Asas hukum adalah kecenderungan-kecenderungan yang diisyaratkan oleh
pandangan kesusilaan kita pada hukum dan merupakan sifat-sifat umum dengan
keterbatasannya sebagai pembawaan yang umum itu, tetapi harus ada.
c. Pendapat Eikema Hommes :
Asas hukum bukanlah norma-norma hukum konkrit tetapi sebagai dasar-dasar pikiran
umum atau petunjuk bagi hukum yang berlaku. Asas hukum adalah dasar-dasar atau
petunjuk arah dalam pembentuk hukum positif
d. Pendapat Satjipto Raharjo :
Asas hukum adalah unsur yang penting dan pokok dari peraturan hukum. Asas hukum
adalah jantungnya peraturan hukum karena ia merupakan landasan paling luas bagi
lahirnya peraturan hukum atau ia adalah “rasio legisnya peraturan hukum dan pada
akhirnya peraturan-peraturan hukum itu harus dikendalikan kepada asas tersebut”
Undang-Undang tidak berlaku surut secara tegas tercantum dalam Pasal 2 AB (Algemene
Bepalingen Van Wetqewing) = Undang-undang itu hanya berlaku bagi masa yang akan
datang dan tidak mempunyai kekuatan berlaku surut.
Hal tersebut dapat pula disimpulkan dalam pasal 1 ayat (1) KUH Pidana “ Tiada suatu
perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam Perundang-undangan
yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.
ASAS :”Nullum delectum noella poena suie praevia legi paenalle”.
Contoh : Sebelum dikeluarkan UU Korupsi UU No. 3 tahun 1971, UU tentang Tindak
Pidana Korupsi. Maka orang yang melakukan perbuatan korupsi tidak dapat
dipidana, sebab belum ada UU yang mengaturnya.
1. Lex pasteriore derogat lex priore
artinya : Bahwa Undang-Undang yang baru itu merubah, meniadakan undang-undang
yang lama yang mengatur materi yang sama.
Contoh: a. buku I BW → tentang Perkawinan yaitu tidak berlaku lagi setelah
dikeluarkannya UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
b. H I R – K U H A P
2. Lex Specialis derogat lex generalis
artinya : Undang–undang yang bersifat khusus mengesampingkan Undang-undang
yang bersifat Umum.
Contoh: Pasal 1 KUH Dagang → KUH Perdata berlaku juga terhadap suatu hal yang
diatur oleh KUHD, sekedar dalam KUHD tidak mengatur secara khusus
menyimpang.
Dari pengertian tentang asas hukum yang dikemukakan oleh ke empat orang ahli hukum
tersebut, maka dapat di ambil kesimpulan :
“Asas hukum adalah dasar-dasar umum yang terkandung dalam peraturan hukum dan
dasar-dasar umum tersebut adalah merupakan sesuatu yang mengandung nilai-nilai etis”
“Peraturan hukum adalah peraturan konkrit tentang cara berperilaku di dalam masyarakat
dan peraturan hukum merupakan konkritisasi dari asas hukum”.
Satjipto Raharjo mengemukakan :
“ Asas hukum bukanlah norma hukum konkrit karena asas hukum adalah jiwanya norma
hukum”.
Perbedaan antara asas dan norma adalah :
a. Asas merupakan dasar pemikiran yang umum & abstrak sedangkan norma merupakan
aturan yang riil;
b. Asas adalah suatu ide atau konsep sedangkan norma adalah penjabaran dari ide
tersebut ;
c. Asas tidak mempunyai sanksi sedangkan norma mempunyai sanksi.
Contoh :
● Asas Presumption of Innocence (praduga tak bersalah), yaitu : bahwa seseorang
dianggap tidak bersalah sebelum ada keputusan hakim yang menyatakan bahwa ia
bersalah & keputusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
● Asas “In dubio pro reo” dlam keraguan diberlakukan ketentuan yang paling
menguntungkan bagi terdakwa.
● Asas “Sinuili Sinuilibus” ialah bahwa perkara yang sama (sejenis) harus diputus sama
(serupa).
● Asas “pacta Sumt Servanda” bahwa perjanjian yang sudah disepakati berlaku sebagai
UU bagi pihak-pihak yang bersangkutan.
Asas Hukum : Bellefroid dalam Notoamidjojo 1975 : 49
“Adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan oleh I H tidak dianggap
berasal dari aturan-aturan yang Umum”
Eikema Hommes ( Notoamidjojo ) : dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan
hukum positif.
Scholten ( 1984 : 84 ) : asas hukum adalah kecenderungan-kecenderungan yang
disyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum merupakan sifat-sifat umum
dengan segala keterbatasannya tetapi tidak boleh hal ini harus ada.
Simpulan : asas hukum =
- bukan merupakan hukum konkrit
- merupakan dasar yang umum dan abstrak
- merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam dan belakang setiap
sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan/ putusan hakim
yang merupakan hukum positif.
Asas Hukum mempunyai 2 (dua) Landasan:
Riil → berakar pada kenyataan masyarakat.
Idiil→ berakar pada nilai-nilai yang dipilih sebagai pedoman oleh kehidupan bersama.
Asas hukum bersifat dinamis, berkembang menurut kaidah hukum dan kaidah hukum
berubah mengikuti perkembangan masyarakat, jadi terpengaruh waktu dan tempat (
Historische bestimmat)
Ada Asas hukum yang bersifat Universal dimana asas ini meliputi :
a). asas Kepribadian d). asas Kewibawaan
b). asas Persekutuan e). asas Pemisahan antara yang baik dan buruk
c). asas Kesamaan
II. SISTEM HUKUM
Sistem Hukum : (Suroyo W) Suatu rangkaian kesatuan peraturan-peraturan hak yang
disusun secara tertib menurut asas-asasnya
Sistem Hukum : (Subekti) Suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan
yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu
rencana/ pola
Menurut Sudikno Mertokusumo :
Adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama
lain, dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut. Kesatuan tersebut
diterapkan terhadap komplex unsur-unsur yuridis seperti : peraturan hukum, asas hukum
dan pengertian hukum.
Sistem Hukum di Dunia
a. Sistem Hukum EROPA KONTINENTAL → di Perancis kemudian diikuti negara Eropa
Barat →Belanda, Jerman, Belgia, Swiss, Italia, Amerika Latin → Indonesia
Hukum memperoleh kekuatan mengikat karena diwujudkan dalam bentuk Undang-
Undang. Tujuannya adalah untuk Kepastian Hukum ;
b. Sistem Hukum ANGLO SAXON ;
sistem ini → Hakim di Pengadilan menggunakan prinsip “membuat hukum sendiri”.
c. Sistem Hukum ADAT ;
d. Sistem Hukum ISLAM.
Hukum → Dikatakan sebagai sistem → (Fuller) jika memenuhi 8 azas → (Principles of
Legality).
1. Secara sistematik harus mengandung peraturan-peraturan, tidak boleh mengandung
keputusan ad hoc ;
2. peraturan-peraturan yang telah dibuat harus di umumkan ;
3. peraturan-peraturan tidak boleh ada yang berlaku surut ;
4. peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti ;
5. suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan yang bertentangan satu sama lain ;
6. peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat
dilakukan ;
7. tidak boleh sering mengubah peraturan sehingga menyebabkan kehilangan Orientasi ;
8. harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya.
Asas hukum mengemban 2 (dua) fungsi ganda :
1. sebagai fondasi dari sistem hukum positif;
2. sebagai batu uji kritis terhadap sistem hukum.
Hukum oleh Bruggink didefinisikan sebagai suatu sistem konseptual aturan
hukum dan putusan hukum.
V. Ilmu Hukum Sebagai Ilmu Pengertian

1. SUBYEK HUKUM.
A. Beberapa Pengertian.
Subyek hukum adalah seseorang atau benda hukum sebagai pendukung hak dan
kewajiban.
Ada 2 (dua) pengertian orang/person sebagai subyek hukum :
a. Naturalijk person ;
b. Rechtsperson berbentuk badan hukum yang dibagi dalam :
1. Publiek Rechtsperson ;
2. Privaat Rechtsperson/ badan hukum privat.

41
B. Manusia Sebagai Subyek Hukum.
1. Dasar Hukum.
adanya larangan mengenai perampasan atas pendukung hak tersebut
mengakibatkan Burgerlijke dood (kematian perdata) ;
Pasal 3 KUH Perdata :
“Generlie straft heeft de burgerlijke dood of het verlies van alle bergelijke reghten
tengevolge”
(hukuman itu tidak dapat merampas semua hak dari yang dikenai hukuman itu)
2. Pendapat Beberapa Pakar.
Menurut Prof. Ko Tjai Sing :
bahwa yang dimaksud dengan orang tidak hanya manusia biasa tetapi juga
badan hukum. Manusia dan Badan Hukum dapat mempunyai hak dan dalam
orang (persoon) dapat diartikan sebagai subyek hukum.

42
3. Pandangan Hukum Modern.
Tiap person adalah subyek hukum dengan tidak memandang agama atau
kewarganegaraannya.
Pasal 3 AB menyebutkan :
“zoolang de went niet bepaaldelijk het tegendeel vaststelt, is het burgerlijk en het
hendels-recht hetzelfde zoowel voor vreemdelingen als voor Netherlansche
orderdanen”.
(sepanjang undang-undang tidak menetukan sebaliknya maka Hukum Perdata
dan Hukum Dagang adalah sama bagi orang-orang asing maupun warga negara
Belanda).
4. Pandangan Dunia.
Setiap manusia/ pribadi menjadi subyek hukum sejak saat dia lahir yang
berakhir dengan kematiannya.

43
5. Pandangan Agama.
Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, hak dan kedudukan istri
seimbang dengan hak dan kedudukan suami di dalam rumah tangga dan
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, masing-masing pihak berhak
melakukan perbuatan hukum.
6. Pandangan Hukum di Indonesia.
a. setiap manusia/ pribadi adalah pendukung hak.
Pasal 7 UUDS ayat 1, 2, 3 dan 4 ;
b. dalam sidang pleno tanggal 11 september 1958 oleh Konstituante: setiap orang
berhak atas kehidupan dan penghidupan, kemerdekaan dan keselamatan
pribadinya.

44
C. Pengecualian.
1. Anak dalam kandungan.
Secara riil, manusia sebagai subyek hukum berlaku sejak lahir sampai
meninggalnya. Meskipun ia belum lahir dianggap telah lahir apabila
kepentingan si anak menghendaki. Dianggap tidak pernah ada, apabila anak
meninggal pada saat dilahirkan atau sebelumnya.
2. Cakap hukum.
Dari segi perbuatan hukum (handelingsbekwaam heid) dapat dibedakan antara
a. Yang cakap melakukan perbuatan hukum.
b. Yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum,
Ketidakcakapan menurut hukum atau juridische handelings bekwaam heid ialah
orang-orang yang belum dewasa dan wanita yang berstatus dalam perkawinan.
Golongan ini dibagi lagi dalam :
a. Orang yang belum dewasa ;
b. Orang yang ditaruh di bawah curatele (pengampunan) ;
c. Wanita yang dalam perkawinan atau berstatus sebagai istri.

45
3. Badan Hukum Sebagai Subyek Hukum.
Syarat-syarat badan hukum :
Untuk keikutsertaaanya dalam pergaulan hukum maka suatu badan hukum
harus mempunyai syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum, yaitu :
a. Memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan anggota-
anggotanya ;
b. Hak dan kewajiban badan hukum terpisah dari hak dan kewajiban para
anggota-anggotanya.
4. Binatang bukan sebagai Subyek Hukum
Meskipun binatang merupakan mahluk hidup dan bernyawa seperti manusia
tetapi menurut hukum tidak mempunyai hak dan kewajiban seperti manusia,
jadi binatang bukan sebagai melainkan dapat sebagai obyek hukum.

46
2. OBYEK HUKUM.
Benda (zaak) Sebagai Obyek Hukum.
A. Beberapa Penjelasan
Obyek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum
(manusia/badan hukum) dan yang dapat menjadi permasalahan dan kepentingan
bagi para subyek hukum, oleh karenanya dapat dikuasai oleh subyek hukum.
B. Dasar Hukum
berdasarkan Undang-undang yang mengatur tentang benda (zaak) yang ada :
a. Buku II KUH Perdata ;
b. Undang-undang Pokok Agraria (UU No. 5/1960) ;
c. Undang-undang No. 21 Tahun 1961 (Undang-undang tentang Merek
Perusahaan dan Merek Perniagaan) ;
d. Ordonantie No. 100 Tahun 1939 ;
e. Buku II KUHD (Wetboek van Koophandel) ;
f. Auteurswet 1912, Staatsblad Tahun 1912 No. 600.

47
3. PERISTIWA HUKUM
A. Pengertian Peristiwa Hukum adalah :
a. Suatu rechtsfeit/ suatu kejadian hukum ;
b. Suatu kejadian biasa dalam kehidupan sehari-hari yang akibatnya diatur oleh
hukum ;
c. Perbuatan dan tingkah laku subyek hukum yang membawa akibat hukum,
karena hukum mempunyai kekuatan mengikat bagi subyek hukum atau karena
subyek hukum itu terikat oleh kekuatan hukum ;
d. Peristiwa di dalam masyarakat yang akibatnya diatur oleh hukum. Tidak semua
peristiwa mempunyai akibat hukum, jadi tidak semua peristiwa adalah peristiwa
hukum.
Menurut Van Apeldoorn :
Peristiwa hukum adalah peristiwa yang berdasarkan hukum menimbulkan atau
menghapuskan hak.
Menurut Bellefroid :
Peristiwa hukum adalah peristiwa sosial yang tidak secara otomatis dapat
merupakan/menimbulkan hukum. Suatu peristiwa dapat merupakan peristiwa
hukum apabila peristiwa itu oleh peraturan hukum dijadikan peristiwa hukum.

48
b. Macam macam Peristiwa Hukum
1. Perbuatan bersifat sederhana/
bersegi satu.
a. Perbuatan
Hukum 2. Perbuatan hukum bersifat tidak
sederhana/ bersegi dua atau lebih
Karena Perbuatan
subyek hukum
b. Perbuatan yang 1. Perbuatan yang
a. Zaakwanerming
bukan Perbuatan tidak dilarang
;
Hukum
b. Overschulidge
2. Perbuatan yang betaling ;
Peristiwa Hukum dilarang/
menurut Isinya bertentangan
c. Onrechtmatige daad
dengan hukum

Kepailitan
a. Keadaan Aquisitif
yang nyata
Lewat Waktu
Estinktif
Karena Perbuatan
oleh Hukum / b. Perkembangan phisik Kedewasaan
perbuatan lainnya kehidupan manusia Kelahiran
Kematian
c. Kejadian-Kejadian
lain

49
C. HUBUNGAN HUKUM (Rechtsbetrekingen)
a. Beberapa Pengertian
Hubungan hukum ialah hubungan antara dua atau lebih subyek hukum. Dalam
hubungan hukum ini hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak
dan kewajiban pihak yang lain.
Jadi setiap hubungan mempunyai dua segi : Segi “bevoegdheid”
(kekuasaan/kewenanan atau hak) dengan lawannya “plicht” atau kewajiban.
Kewenangan yang diberikan oleh hukum kepada subyek hukum (orang atau badan
hukum) dinamakan “Hak”.
b. Segi Hubungan Hukum
Tiap hubungan hukum mempunyai dua segi, yaitu :
1. Bevoegdheid atau kewenangan, yang disebut Hak ; dan
2. Plicht atau kewajiban, adalah segi pasif daripada hubungan hukum.

50
c. Unsur-unsur Hubungan Hukum
Hubungan hukum memiliki 3 (tiga) unsur sebagai berikut :
1. Adanya orang-orang yang hak/ kewajibannya saling berhadapan ;
2. Adanya obyek yang berlaku berdasarkan hak dan kewajiban tersebut ;
3. Adanya hubungan antara pemilik hak dan pengemban kewajiban atau adanya
hubungan atas obyek yang bersangkutan.
d. Syarat-syarat daripada Hubungan Hukum
Dari uraian-uraian diatas, dapat disimpilkan bahwa hubungan hukum itu baru ada
apabila telah dipenuhinya sebagai syarat :
1. Adanya dasar hukum, ialah peraturan-peraturan hukum yang mengatur
hubungan hukum itu ; dan
2. Timbulnya peristiwa hukum.

51
e. Macam/ Jenis Hubungan Hukum
Hubungan hukum itu ada 3 (tiga) macam ialah :
1. Hubungan hukum yang bersegi satu;
(eenzijdige rechtsbetrekingen)
Dalam hal hubungan hukum yang bersegi satu hanya pihak yang berwenang.
Pihak lain hanya berkewajiban. Jadi dalam hubungan hukum yang bersegi satu
ini hanya ada satu pihak saja berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau
tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata)
2. Hubungan hukum bersegi dua ; (tweezijdige rechtsbetrekingen).
3. Hubungan antara “satu” subyek hukum dengan “semua” subyek hukum lainnya.

52
D. HAK.
Skema Tentang Macam Macam Hak.

a. Hak Pengampunan
a. Hak pokok b. Hak Marital
(Dasar Manusia) c. Ourdelijke macht
(hak orang tua)
1. Hak Pribadi d. Hak Perwalian
Hak Mutlak b. Hak Publik Absolut (Persoonalijke (voogdij)
rechten)

c.Sebagian dari 2. Hak Keluarga Mutlak


Hak Privat (absolute familie rechten)

3. Hak Atas Kekayaan a. Hak Kebendaan


HAK (rehcten op vemorgen) (zakelijke rechten)
b. Hak atas Benda
immateriil
(immaterial
Hak Nisbi rechten)

53
VI. Aliran Pemikiran tentang
Hubungan Tugas Hakim dan Undang-Undang
Timbulnya berbagai aliran pemikiran tentang hubungan antara tugas hakim dengan
eksestensi Undang-Undang tidak lain karena penghubungan antara Perundang-
undangan disatu pihak dengan fakta konkrit yang diperiksa hakim.
Apabila pemikiran kita beranjak dari tugas pokok hakim, maka dapat diketahui bahwa
tugas pokok hakim adalah: menerima, memerintahkan, memutuskan, serta
menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya.
Pada sistem peradilan Eropa Kontinental, “peranan Undang-Undang sebagai sumber
hukum yang paling utama“. Hal tersebut menimbulkan berbagai pertanyaan tentang :
Bagaimana hubungan antara tugas hukum dengan eksestensi UU?

54
Tugas utama hakim dalam memutuskan suatu perkara dapat dilihat dalam persidangan
hukumnya adalah menghubungkan aturan abstrak dalam Undang-undang dengan fakta
kontrak dari perkara yang diperiksa. Dalam hubungan ini Apakah hakim dalam tugasnya
harus sebagaimana yang di isyaratkan oleh Trias Politica “Montesquie”? yang hanya
menerapkan UU atau hakim harus menggunakan pikiran dan penalaran logisnya untuk
membuat interpretasi terhadap aturan yang ada dalam Perundang-undangan.
Selama berabad-abad, hubungan antara Perundang-undangan dengan tugas hakim
menimbulkan pemikiran yang tak putus-putusnya dan melahirkan berbagai aliran
pemikiran dalam ilmu hukum

55
Mac Iver melihat bahwa hukum konstitusi ini sebagian terwujud dalam suatu Undang-
Undang Dasar yang tertulis, yang harus dibedakan daripada UU biasa dan juga pada
umumnya berbeda diatas penguasaan badan legislatif biasa. Sifat dan sanksi hukum
konstitusi ini seharusnya berbeda pula dari sifat dan sanksi UU yang lain.
Kalau hukum biasa (ordinary law) ingin difungsikan sebagai alat politik, tetap tidak boleh
bertentangan dengan hukum konstitusi yang mengemudikan negara. Dengan kata lain,
fungsi hukum sebagai alat politik mempunyai batas, sepanjang tidak boleh bertentangan
dengan konstitusi. (Curnon – hal 111), sebagai contoh :
Ketiga para yuris melihat atau menunjuk hukum sebagai sesuatu yang berdiri dan
melewati politik, maka yang dimaksud disini adalah adanya masyarakat dimana para
hakimnya tidak dikekang oleh pengaruh dogma politik. Karena itu, meskipun suatu
pemerintah ingin menggunakan UU bagi pencapaian tujuan politik, pengadilan-pengadilan
tetap diterapkan untuk tetap menjauhkan diri dari kontroversi-kontroversi forum politik.

56
Aliran Legisme : yang cenderung memandang hakim tidak lain hanya sekedar terompet
UU (bouche de la loi).
Aliran Penemuan Hukum oleh Hakim : yang memandang hakim dapat mengisi
kekosongan per-Undang-Undangan dengan jalan konstruksi hukum dan
interpretasi.
Terakhir muncul Aliran Realis di Amerika : A.S dan Skandinavia pada pokoknya
memandang hakim tidak sekedar “menemukan hukum” melainkan “membentuk
hukum” melalui putusannya.
Bagi aliran realis, kaedah-kaedah hukum yang berlalu memang ada pengaruhnya
terhadap putusan hakim, akan tetapi hanya sebagai salah satu unsur
pertimbangan. Selain unsur kaidah hukum, putusan hakim juga dipengaruhi oleh
prasangka Politik, Ekonomi ataupun Moral.

57
Mengapa dalam permasalahan mamakai kata dampak bukan akibat ?
Dampak : maksudnya ada pengaruh kuat yang mendatangkan akibat baik positif
ataupun negatif ;
Akibat : adalah sesuatu yang menjadi hasil dari pekerjaan, keputusan ;
Konsep : ide atau pengertian yang diabstraksikan dari peristiwa konkrit ;
Prinsip : kebenaran yang menjadi pokok dasar berfikir, bertindak ;
Preskriptif : bersifat memberi petunjuk atau tata cara ;
Pragmatis : a.bersifat praktis dan berguna bagi umum ;
b.bersifat mengutamakan segi kepraktisan dari pada kegunaan ;
Deskripsif : memaparkan atau menggambarkan dengan kata-kata secara jelas dan
terinci ;
Deskriptif : menggambarkan apa adanya.

58
Dalam Hubungan Tugas Hakim dan Perundang-undangan terdapat Beberapa Aliran
sebagai berikut :
I. ALIRAN LEGIS
Inti pandangan legisme ini adalah :“Bahwa hakim tidak boleh berbuat selai dari
menerapkan Undang-undang secara tegas”, oleh penganut Legis, UU dianggap sudah
lengkap dan jelas dalam mengatur segala persoalan yang ada di zamannya.
Tentang legisme ini menurut Prof. Sudikno (1993:42) menyatakan:
“Pada abad pertengahan timbulah aliran yang berpendapat bahwa satu-satunya
sumber hukum adalah Undang-Undang, sedangkan peradilan berarti semata-mata
penerapan UU pada peristiwa yang konkrit”.

59
Legisme juga mendasarkan pandangan bahwa tugas Negara adalah terbatas sekali
yakni sebagai “SATPAM” yang hanya bertindak jika terjadi pelanggaran UU. Pandangan
Legisme semakin lama ditinggalkan orang sebab :
a. UU tidak pernah lengkap, kurang jelas;
b. Sifat UU yang abstrak & Umum menimbulkan kesulitan dalam penerapannya
secara “in – konkrito” oleh hakim di pengadilan;
c. Hakim tidak mungkin mampu menyelesaikan persengketaan di pengadilan, jika
hakim hanya berfungsi sebagai “terompet UU”
Sehingga kemudian melahirkan pandangan tentang bolehnya hakim melakukan
penemuan hukum

60
II. ALIRAN PENEMUAN HUKUM
Apakah yang dimaksud penemuan hukum oleh hakim ?
Menurut Paul Scholten (1934 : 8 ) :
“penemuan hukum adalah suatu yang lain daripada penerapan peraturan-peraturan
pada peristiwanya. Kadang-kadang dan bahkan sangat sering terjadi bahwa
peraturannya harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan
analogi ataupun Rechtsver vijning....”
Menurut Prof. DR. RM. Sudikno Mertokusumo :
“penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh
hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang tugas melaksanakan hukum
terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Ini merupakan proses konkritisasi
dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa
konkrit.
Sementara orang lebih suka menggunakan istilah “pembentukan hukum” daripada
“penemuan hukum” oleh karena istilah penemuan hukum memberi sugesti seakan-
akan hukumnya sudah ada”.

61
Selanjutnya Sudikno (1991 : 5 ) mengkhususkan pada penemuan hukum oleh hakim :
“penemuan hukum terutama dilakukan oleh hakim dalam memeriksa dan memutuskan
suatu perkara. Penemuan hukum oleh hakim ini dianggap yang mempunyai wibawa”.
Ilmuwan hukum pun mengadakan penemuan hukum hanya hasil penemuan oleh
ilmuwan hukum bukan hukum melainkan ilmu atau doktrin. Sekalipun yang dihasilkan
itu bukan ilmu, namun di sini digunakan istilah penemuan hukum juga oleh karena
doktrin ini kalau diikuti dan diambil alih oleh hakim dalam putusannya menjadi hukum.
Doktrin bukan hukum melainkan sumber hukum.

62
Adapun Beberapa Penemuan Hukum oleh Hakim ada beberapa Aliran yang antara lain :
A. ALIRAN BEGRIFFSJURIS PRUDENZ
Aliran yang memperbolehkan hakim melakukan penemuan hukum diawali oleh aliran
begriffsjuris prudenz, aliran ini mulai memperbaiki kelemahan yang ada pada ajaran
Legis dan juga mengajarkan bahwa sekalipun Undang-Undang itu tidak lengkap
namun UU masih dapat menutupi kekurangan-kekurangannya sendiri, karena UU
memiliki daya meluas. Cara memperluas Undang-Undang ini hendaknya bersifat
“normlogisch” dan hendaknya tetap dipandang dari sudut dogmatik.
Sebab bagaimanapun hukum merupakan suatu “Logische Gasschlossenheit”.
a. Jadi aliran ini memandang hukum sebagai satu sistem tertutup, di mana
pengertian hukum tidaklah sebagai teori hukum menjadi teori pengertian
(Begriffsjuris prudenz).
b. Oleh aliran ini pekerjaan hakim dianggap semata-mata pekerjaan intelek di atas
hukum-hukum Rasional dan Logis.

63
c. Dasar utama aliran Begriffsjurisprudenz menggunakan hukum logika yang
dinamakan Sillogisme ;
d Dimaksud cara berfikir Sillogisme adalah “oleh Sudikno (1984 : 30 ) Disini hukum
mengambil kesimpulan dari adanya premise mayor yaitu (peraturan) hukum dan
premise minor yaitu peristiwanya : siapa mencuri dihukum. → A mencuri maka A
dihukum ;
e. Dalam buku lainnya Sudikno memberikan contoh “ Menerapkan UU pada
peristiwa hukum tidak lain dari menerapkan Sillogisme.
Pasal 362 KUHP → melanggar hukum akan .............dihukum ;
f. Aliran ini dikritik karena hukum bukan sekedar persoalan logika dan rasio, tetapi
juga merupakan persoalan hati nurani, pertimbangan budi yang kadang-kadang
sifatnya memang Irrasional ;
g. Bagi penganut aliran ini, keadilan dan kemanfaatan hukum bagi warga
masyarakat di abaikan.

64
B. ALIRAN INTERESSEN JURISPRUDENZ (FRERECHTS SCHULE)
Menurut aliran ini : Undang-Undang jelas tidak lengkap. Undang-Undang bukan satu-
satunya sumber hukum, sedangkan hakim dan pejabat lainnya mempunyai
kebebasan yang seluas-luasnya untuk melakukan “penemuan hukum” dalam arti
bukan sekedar penerapan hukum oleh hakim, tetapi juga mencakup memperluas dan
membentuk peraturan dalam putusan hakim.
Untuk mencapai keadilan se-inggi-tingginya, hukum bahkan boleh menyimpang dari
Undang-Undang, demi kemanfaatan masyarakat.Apabila dikaitkan dengan Teori
tujuan hukum, maka jelas aliran ini menganut UTILITARISME hakim mempunyai
“Freies Emerssen”.

65
Ukuran tentang mana ketentuan Undang-Undang yang serasi dengan kesadaran
hukum dan keyakinan hukum masyarakat tergantung pada ukuran dari keyakinan
hakim (Overtuiging), dimana kedudukan hakim bebas mutlak.
Aliran ini membuka peluang bagi hakim untuk bertindak sewenang-wenang, hal
tersebut sebagai manusia biasa, akan sangat mudah menciptakan kesewenang-
wenangan dalam putusan hakim. → Hal tersebut sesuai pendapat Sudikno &
Achmad Sanusi.
Sudikno (1993 : 45 ) menuliskan bahwa :
“ Aliran ini sangat berlebih-lebihan karena berpendapat bahwa hakim tidak hanya
boleh mengisi kekosongan Undang-Undang saja tetapi boleh menyimpangi”.

66
C. ALIRAN SOZIOLOGISCHE RECHTSSCHULE
a. Aliran ini tidak setuju jika hakim diberi Freies Emerssen. Namun aliran ini tetap
mengakui bahwa hakim tidak hanya sekedar terompet Undang-Undang,
melainkan disamping berdasarkan pada Undang-Undang hakim juga harus
memperhatikan kenyataan masyarakat, perasaan dan kebutuhan hukum warga
masyarakat serta kesadaran hukum warga masyarakat ;
b. Aliran ini menolak adanya kebebasan (Vrijbrief) dar hukum seperti yang diinginkan
aliran Frei Rechtsschule ;
c. Penganut aliran ini sangat menekankan betapa perlunya para hakim memiliki
wawasan pengetahuan yang luas, bukan sekedar ilmu hukum dogmatik, tetapi
seyogianya juga mendalami ilmu-ilmu sosiologi, antropologi, politik, ekonomi, dll.

67
D. AJARAN PAUL SCHOLTEN
Akhirnya semua aliran yang terdahulu oleh Prof. Paul Scholten yaitu guru besar
Universitas Amsterdam “Dewa Pemikir Hukum” dari Belanda, dimana Scholten dalam
bukunya memberikan pandangan secara terinci tentang “ apa yang ia maksudkan
sebagai penemuan hukum oleh hakim dan bagaimana permasalahannya”.
Menurut Scholten :
a. Hukum merupakan satu sistem, yang berarti semua aturan saling berkaitan ;
b. Aturan-aturan itu dapat disusun secara mantik ;
c. Dan untuk yang bersifat khusus dapat dicarikan aturan-aturan umumnya,
sehingga tiba pada asasnya ;
d. Namun tidaklah berarti bahwa hakim hanya bekerja secara mantik semata-mata
e. Hukum juga harus bekerja atas dasar penilaian dan hasil dari pemikiran itu
menciptakan sesuatu yang baru.

68
Paul Scholten melihat bahwa sistem hukum itu logis, tetapi tidak tertutup. Inilah
ajaran yang disebut “Open System Van Recht” ;
- Sistem hukum itu tidak statis, karena sistem hukum itu membutuhkan putusan-
putusan atau penetapan-penetapan yang senantiasa menambah luasnya sistem
hukum tersebut ;
- Karena itu lebih tepat jika kita menyatakan bahwa Sistem Hukum itu Sifatnya
Terbuka ;
- Tentang penilaian hakim menurut P.Scholten dilakukan dalam wujud Interpretasi
dan Konstitusi.
Menurut Pitlo (1988 :18-31)
“Scholten menekankan setiap pengucapan putusan sekaligus merupakan
sumbangan dalam pembentukan hukum dan bahwa setiap putusan adalah
menciptakan hukum”.

69
E. PENEMUAN HUKUM HETERONOM & OTONOM
Prof. Sudikno dalam tulisannya “Penegakan Hukum dan Penemuan Hukum (1991 :
7-10) membahas tentang “penemuan hukum yang heteronom dan penemuan hukum
yang otonom”.
Penemuan Hukum yang Heteronom :
- adalah jika dalam penemuan hukum hakim sepenuhnya tunduk pada Undang-
Undang ; atau
- tidak lain merupakan penerapan Undang-Undang yang terjadi secara Logis
terpaksa sebagai Sillogisme.
Penemuan Hukum yang Otonom :
Dalam penemuan hukum yang otonom ini hakim memutus menurut apresiasi pribadi.
Disini hakim menjalankan fungsi yang mandiri dalam penerapan Undang-Undang
terhadap peristiwa hukum yang konkrit.
Pandangan baru ini oleh Eikema Hommes disebut pandangan yang Materiil Yuridis,
tetapi Sudikno sendiri berpendapat :
“Tidak ada batas yang tajam antara penemuan hukum yang heteronom dan otonom.
Kenyataannya di dalam praktek penemuan hukum mengandung kedua unsur
tersebut”.

70
VIII. JENIS JENIS METODE PENEMUAN HUKUM
OLEH HAKIM
Metode penemuan hukum oleh hakim dapat dibedakan atas 2 (dua) jenis. Menurut (Ach.
Ali) adalah :
a. Metode Interpretasi ;
b. Metode Konstruksi.
Perbedaan antara Interpretasi dengan Konstruksi :
a. Pada Interpretasi, penafsiran terhadap teks Undang-Undang masih tetap
berpegang pada bunyi teks itu.
b. Pada Konstruksi, hakim menggunakan penalaran logisnya untuk
mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang, dimana hakim tidak lagi
berpegang pada bunyi teks itu, tetapi dengan syarat hakim tidak mengabaikan
hukum sebagai suatu sistem.
L.B. Curzon berpendapat :
“Melihat Interpretasi hanya menetukan arti kata-kata dalam suatu Undang-Undang,
sedangkan Konstruksi mengandung arti pemecahan atau penguraian makana ganda,
kekaburan dan ketidakpastian dari perundang-uandangan”.
* Sementara ada yang menyatakan tidak ada perbedaannya

71
A. ALIRAN PENEMUAN HUKUM
Apa yang dimaksud Penemuan Hukum oleh Hakim ?
a. Menurut Paul Scholten :
Penemuan hukum adalah suatu yang lain dari pada penerapan peraturan-peraturan
pada peristiwanya, kadang–kadang bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturannya
harus ditemukan, baik dengan jalan Interpretasi maupun dengan jalan Analogi
ataupun Rechts Vervijning
b. Menurut Sudikno Mertokusumo :
Penemuan hukum diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau
petugas hukum lainnya yang diberi tugas meleksanakan hukum terhadap peristiwa
hukum yang konkrit.
Ini merupakan Proses Konkritisasi dan Individualisasi peraturan hukum yang bersifat
umum dengan mengingat peristiwa konkrit.
Penemuan oleh hakim dapat sebagai sumber hukum → Jurisprudensi
Penemuan hukum oleh Ilmuwan Hukum bukan hukum melainkan Ilmu atau Doktrin (
Sumber Hukum ).

72
Jenis – jenis Interpretasi :
a). Metode Subsumptif ; f). Interpretasi Komparatif ;
b). Interpretasi Gramatikal ; g). Interpretasi Futuristis ;
c). Interpretasi Historis ; h). Interpretasi Restrikrif ;
d). Interpretasi Sistematis ; i). Interpretasi Ekstensif.
e). Interpretasi Sosiologis atau Teleologis ;

Golongan Konstruksi Hukum :


1. Argumentum peranalogiom (analogi ) ;
2. Argumentum a Contrario ;
3. Rechts vervijning (pengkonkritan hukum) ;
4. Fiksi Hukum.

73
JENIS – JENIS INTERPRETASI
1. Metode Subsumptif
Maksud metode Subsumptif adalah hakim harus menerapkan suatu teks Undang-
Undang terhadap kasus in Konkreto, namun belum memasuki taraf penggunaan
panalaran yang lebih rumit, tetapi sekedar menerapkan Sillogisme.
Contoh : hakim mengadili perkara pidana dimana penuntut umum mengajukan
dakwaan bahwa terdakwa melakukan pencurian di Indonesia, pencurian
diatur dalam Pasal 362 KUH Pidana, yang memenuhi hal terpenting beberapa
unsur :
- mengambil barang ;
- barang itu milik orang lain ;
- dengan maksud ingin memiliki ;
- secara melawan hukum.
Apa yang dimaksud “barang”? apa yang termasuk kriteria pemilikan, apa yang
dimaksud melawan hukum → semuanya itu tidak terdapat dalam penjelasan Pasal 362
KUH Perdata.
Proses pencocokan unsur Undang-Undang terhadap peristiwa konkrit inilah yang
dinamakan “ Metode Subsumptif”.
2. Interpretasi Gramatikal
Adalah :menafsirkan kata-kata dalam Undang-Undang sesuai kaidah hukum tata
bahasa.
Contoh : Isi Pasal 372 KUH Pidana tentang Penggelapan “ Barang siapa dengan
sengaja dan melawan hukum mengakui sebagai milik sendiri barang sesuatu,
yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain, tetapi yang berada
dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, maka .......................”.
Yang menjadi perhatian adalah perkataan berada dalam kekuasannya (onder zich –
heeft). → sepintas perkataan itu tampak jelas, tetapi dalam praktek peradilan, sering
kali perkataan itu menimbulkan problem bagi hakim yang memeriksa serta memutuskan
perkara itu.
Contoh :
a. Apakah seorang nahkoda kapal yang mengangkut peti berisi “keju” termasuk
“menguasai’ keju itu ?
→ nahkoda kapal dalam kasus ini ditadsirkan “tidak menguasai keju → putusan HR 31
Desember 1917
b. Apakah seorang yang menemukan seekor babi yang bukan miliknya dalam kandang
babinya dan babi itu berkelahi dengan babi-babi miliknya sendiri, berarti “menguasai”
babi milik orang lain ?
→ Orang yang menemukan babi orang lain tadi ditafsirkan “menguasai” babi orang lain
di kandang babinya → Putusan HR 8 Juli 1914.
c. Apakah seorang kondektur yang merangkap pengawas gerbong barang kereta api,
termasuk “menguasai” isi sebuah kopor tertutup yang ada di dalam gerbong barang
berada dalam pengawasannya?
→ Kondektur ” tidak menguasai’ isi kopor tersebut → Putusan HR 8 Juli 1914.
Pandangan Pitlo (1988 : 13), Dalam interpretasi gramatikal, kita mencoba
menemukan makna kata dengan menelusuri kata mana yang oleh pembentuk Undang-
Undang di gunakan dalam mengatur peristiwa sejenis itu dan sekaligus menelusuri
ditempat mana lainnya dan dalam hubungan apa pembentuk UU mengemukakan kata
yang sama.
3. Interpretasi Historis
Interpretasi Historis ada 2 (dua) jenis yaitu :
a. Interpretasi menurut sejarah Undang-Undang (Wetshistorisch) ;
b. Interpretasi menurut sejarah Hukum (Rechtshistorisch).
c. Interpretasi menurut sejara Undang-Undang (Wetshistorisch).
adalah mencari maksud dari perundang-undangan seperti apa uang dilihat oleh
pembuat/ pembentuk Undang-Undang pada waktu pembuatannya. Pikiran yang
mendasari interpretasi ini ialah bahwa UU adalah “Kehendak pembentuk UU
yang tercantum dalam teks UU ( Sudikno, mengenal hukum, 1986, 144 ).
Oleh karena itu, interpretasi sejarah UU bersumber pada surat-surat dan
pembicaraan di DPR ataupun di Lembaga Legeslatif ketika UU itu dalam proses
penggodokan.
d.. Interpretasi menurut Sejarah Hukum (Rechtshistorisch).
adalah metode interpretasi yang hendak memahami Undang-Undang dalam
konteks seluruh sejarah hukum.
Contoh : Bilamana hendak menjelaskan ketentuan dalam BW → Perancis →
Romawi.
4. Interpretasi Sistematis
adalah metode yang mentafsirkan UU sebagai bagian dari keseluruhan sistem
Perundang-undangan. Jadi Perundang-undangan keseluruhan di dalam suatu negara
dianggap suatu sistem yang utuh.
Iterpretasi Sistematis → adalah salah satu bentuk penentuan hukum yang tidak boleh
tidak harus ada. Setiap UU merupakan bagian dari keseluruhan sistem Perundang-
undangan.
a. Menafsirkan UU sebagai bagian dari keseluruhan sistem Perundang-undangan
dengan jalan menghubungkannya dengan UU lainnya disebut Interpretasi Sistematis
atau Logis.
b. Menafsirkan UU tidak boleh menyimpang atau ke luar dari sistem Perundang-
undangan.
Aresst H.R. dalam putusannya tgl 30 Januari 1959 yang mengatakan bahwa Pasal
1233 BW hanya mengenal perekatan berdasarkan perjanjian dan UU → tetapi kata-
kata dalam pasal ini harus diartikan :
“bahwa dalam hal-hal yang telah diatur secara tegas oleh UU pemecahannya harus
dicari yang sesuai dengan sistem Perundang-undangan dan sesuai pula dengan
peristiwa-peristiwa yang diatur oleh UU”.
Contoh konkrit → Penafsiran Sistematis :
Kalau hendak mengetahui tentang sifat pengakuan anak yang dilahirkan di luar
perkawinan oleh orang tuanya, tidak cukup hanya mencari ketentuan-ketentuan dalam
Pasal BW saja, tetapi harus dihubungkan dengan Pasal 278 KUH Pidana.
5. Interpretasi Sosiologis atau Teleologis
yaitu apabila makna UU itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan, maksudnya
interpretasi ini jika UU masih berlaku tetapi sudah usang atau sudah tidak berlaku lagi,
diterapkan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan masa kini, tidak
peduli apakah hal ini semuanya pada waktu di undangkannya UU tersebut dikenal atau
tidak → disini Perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial
yang baru.
Contoh : Dari penerapan interpretasi sosiologis ini adalah Pasal 362 KUH Pid.
Pada saat dibuat, para pembuat UU belum berfikir akan muncul penggunaan listrik
dalam kehidupan manusia → timbul persoalan apakah listrik termasuk barang? Seperti
dimaksud Pasal 362 KUHD. Ternyata Aresst H.R. dalam putusannya tanggal 23 Mei
1921 menyatakan bahwa listrik termasuk “barang” menurut pasal 362 KUHPid.
Pertimbangannya :
a. Tenaga listrik bersifat mandiri dan mempunyai nilai ekonomis;
b. Pasal 362 KUHPid → bertujuan untuk melindungi harta kekayaan orang lain.
6. Interpretasi Komparatif
adalah metode membandingkan antara berbagai sistem hukum → dengan metode ini
digunakan hanya dalam bidang hukum perjanjian internasional.
7. Interpretasi Futuristis
adalah metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi. Interpretasi ini menjelaskan
UU yang berlaku sekarang (Ius Constitutions) dengan berpedoman pada UU yang
belum mempunyai kekuatan (Ius Constituendum).
Misalnya : suatu rancangan UU yang masih belum dalam proses pengundangan, tetapi
yang sudah pasti akan diundangkan (dugaan politis).
8. Interpretasi Restriktif
adalah metode Interpretasi yang bersifat membatasi → Misalnya :
secara Gramatikal, pengertian “tetangga” dalam Pasal 666 KUH Perdata → adalah
setiap tetangga termasuk seorang penyewa dari pekarangan sebelahnya. Tetapi kalau
”dibatasi” menjadi tidak termasuk tetangga penyewa, ini berarti kita telah melalui
Interpretasi Retriktif.
9. Interpretasi Ekstensif
adalah metode interpretasi yang membuat interpretasi melebihi batas-batas hasil
interpretasi gramatikal atau melampaui batas-batas yang ditetapkan oleh Interpretasi
gramatikal.
Contoh : Perkataan “menjual” dalam Pasal 1576 KUH Perdata ditafsirkan luas yaitu
buklan semata-mata hanya berarti jual beli saja, melainkan juga berarti
“peralihan hak” atau pengasingan.
1. Metode Agumentum Peranalogian ( ANALOGI )
Merupakan metode penemuan hukum dimana hakim mencari esensi yang lebih umum
pada suatu perbuatan yang diatur oleh Undang – Undang dengan pada perbuatan atau
peristiwa yang secara konkrit dihadapi hakim.
Contoh : Pasal 1576 BW → Mengatur : Jual beli tidak memutuskan hubungan sewa
menyewa.
Bagaimana dengan Hibah ? →Hakim harus menemukan hukumnya yaitu sesuai asas
Ius Curia Novit
Maka perlu membuat konstruksi perbuatan Jual Beli → Esensinya “peralihan hak”
(Hibah) → GEMIS ( Peristiwa Umum ).
Sedang → jual beli & hibah merupakan Species (Peristiwa Khusus )
Berarti metode ini menggunakan penalaran Induksi → khusus ke umum.

83
2. Metode Argumentum A’ Contrario
Metode ini menggunakan penalaran → bahwa jika undang-undang menetapkan hal-
hal tertentu untuk peristiwa tertentu, berarti peraturan itu terbatas pada peristiwa
tertentu itu dan bagi peristiwa diluarnya berlaku kebalikannya.
Contoh : Masa Iddah bagi Janda.
3. Metode Rechts Vervijnings (Pengkonkritan Hukum)
Bertujuan untuk mengkonkritkan suatu aturan hukum yang terlalu abstrak.
Contoh : “perbuatan Melanggar Hukum”.

Pasal 1365 BW

Sebelum Tahun 1919 Sesudah tahun 1919

Aliran Legisme Berbuat/ tidak berbuat

84
Jadi yang dimaksud → perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 BW) adalah berbuat
atau tidak berbuat yang :
a). Melanggar hak subyek hukum lain;
b). Bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pelaku;
c). Bertentangan dengan kepatutan yang seyogianya di indahkan dalam kehidupan
bersama terhadap intergritas subyek hukum maupun harta bendanya.
4. Fiksi Hukum
Adalah “metode penemuan hukum yang mengemukakan fakta-fakta baru, sehingga
tampil suatu personifikasi baru di hadapan kita”.
Pada fiksi → pembentukan Undang-Undang dengan sadar menerima sesuatu yang
bertentangan dengan kenyataan sebagai kenyataan yang nyata.

85

Anda mungkin juga menyukai