Anda di halaman 1dari 16

UTS TAKE HOME

LOGIKA DAN ARGUMENTASI HUKUM

NAMA : AGNESYA MAHARANI P.B

NIM : 170710101119

KELAS : A

1. A. Peran logika dalam ilmu hukum

Secara etimologis, logika berasal dari kata Yunani logikos yang berarti “berhubungan
dengan pengetahuan”, “berhubungan dengan bahasa”. 1 Kata Latin logos (logia) berarti
perkataan atau sabda. David Stewart dan H. Gene Blocker dalam buku Fundamentals of
Philosophy merumuskan logika sebagai thinking about thinking. 2 Patterson merumuskan
logika sebagai “aturan tentang cara berpikir lurus” (the rules of straight thinking). 3 Dengan
logika, kepastian hukum pada akhirnya didasarkan pada relasi antara keduanya dalam
proposisi logis yang dirumuskan secara objektif. Legislasi, Undang- undang, laporan
pengadilan menggunakan proposisi-proposi tentang sesuatu yang diperbolehkan atau
ditolak. Undang-undang, statuta, aturan, atau apa pun bentuknya merupakan petunjuk bagi
prilaku yang dirumuskan dalam bentuk proposisi-proposisi. Logika memiliki peran penting
dalam ilmu hukum diantaranya :

1) menjamin kesahihan suatu argumentasi dan salah satu jalan untuk mendekatkan diri
pada kebenaran dan keadilan;

2) membantu para calon praktisi hukum, lawyer, para jaksa dan hakim, menganalisis,
merumuskan, dan mengevaluasi fakta, data, dan argumentasi hukum; kemampuan dalam
bidang ini merupakan makhkota dan jantung keterampilan para lawyer dan hakim dalam
memutuskan suatu perkara hukum;

3) pemahaman terhadap prinsip-prinsip penyimpulan logis, baik deduksi, analogi, maupun


generalisasi induksi, tidak hanya berguna dalam memahami persoalan, praktik, dan putusan
hukum, melainkan juga pengalaman-pengalaman empiris sehari-hari serta observasi ilmiah;

4) domain utama dan esensi praktik atau putusan hukum tidak lain dari penalaran praktis
dengan logika sebagai basisnya.

1
Harry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 2008, h. 21.
2
Lihat David Stewart dan H. Gene Blocker, Fundamentals of Philosophy, 4th e., New Jersey: Prentice Hall,
1996, h. 45.
3
Edwin W. Patterson, 1942, Ibid., h. 876.
B. Jenis logika dan penerapannya

Jenis logika yang pertama yaitu logika alamiah dan logika ilmiah, yakni :

- Jenis logika alamiah ini merupakan kesatuan sistem kerja pada komponen jiwa manusia
yaitu akal. Penggunaan logika alamiah ini akan berusaha untuk menelusuri suatu hal dengan
tepat dan lurus. Sebagaimana sifat alamiah, aliran arus pengolahan informasi dalam sistem
ini masih murni tanpa adanya pertimbangan dan pemikiran yang melibatkan rasa ingin, rasa
lebih cendrung yang berkategori subjektive. Jenis logika alamiah ini selalu dibawa sejak
manusia terlahir ke dunia. Dengan adanya logika ini akan mengarahkan semua tindakan dan
pengambilan keputusan berdasarkan prinsip benar atau salah, harus atau tidak harus.
Semua diluar adanya rasa kasihan, rasa penerimaan akan kekurangan yang bisa dimaklumi
suatu peristiwa.

Contohnya, Seorang anak tidak boleh membantah orang tuanya. Sampai di sana, tidak ada
kalimat lainnya, tak ada alasan apa apa, kata namun, tetapi dan lain lain.
Jika dikaitkan dengan ilmu hukum contohnya, setiap orang harus mematuhi suatu aturan
yang berlaku saat ini.

- Jenis logika yang kedua logika ilmiah. Logika ilmiah ini menyangkut akan perumusan prinsip
prinsip tertentu dalam konteks pengetahuan. Termasuk disini perumusan hukum dan
teorema sains. Dalam penggunaan logika ini selalu akan tersimpan sebuah alasan yang
menyangkut dengan alasan lainnya. Dalam faktor logika inilah timbul suatu pembelajaran
baik secara keilmuan, sikap dan moralitas. Manusia akan bersikap lebih memperhatikan
detail suatu hal, mempelajari kejadian, menemukan alasan alasan yang berkaitan. Tujuan
logika ilmiah ini untuk meminimalisir terjadinya kesalahan kesalahan yang berulang baik itu
dari peristiwa yang dialami individu itu sendiri ataupun dari peristiwa yang dialami individu
lain.

Contohnya, pohon di daerah hutan sering tumbang karena intensitas hujan yang semakin
deras disertai dengan erosi lahan. Dalam kalimat ini, terdapat pernyataan yang disertai
dengan sebuah alasan sehingga dapat disimpulkan mengapa suatu hal itu bisa terjadi.

Dalam ilmu hukum contohnya, orang itu dipenjara selama 4 tahun sebagai sanksi karena ia
sudah melakukan pembunuhan terhadap orang lain.

C. Prinsip dan manfaat logika dalam ilmu hukum

Bicara prinsip logika berarti bicara soal logika Aristoteles. Logika ini menjadi landasan
berpikir kebudayaan Barat yang kini mendominasi peradaban manusia. Sekali menguasai
prinsip ini, kita bisa berpikir jernih ketika memahami persoalan di berbagai bidang,
mulai matematika, filsafat, sastra, pemrograman, sampai musik. Dasar logika Aristoteles ada
tiga dengan urutan yang menentukan prinsip berikutnya.
- Principium Identitatis, pada prinsip pertama dipastikan identitas obyek.

A adalah A dan B adalah B.

Lingkaran adalah lingkaran dan segi empat adalah segi empat.

A = A dan B = B.

- Principium Non-contradictionis, pada prinsip kedua, identitas obyek tidak boleh


bertentangan.

A tidak samadengan B.

Lingkaran tidak samadengan segi empat.

A≠B

- Principium Exclusi Medii, pada prinsip terakhir, obyek tidak boleh tumpang tindih.

Apabila A = C maka B bukan C.

Apabila elips adalah lingkaran, maka segi empat bukan elips.

A = C maka B ≠ C

Manfaat dengan adanya logika yakni kita sebagai seseorang yang dianggap mengerti
hukum sering dituntut untuk berpikir seperti seorang ahli hukum, “to think like a lawyer”.
Kita diharapkan kelak mampu menganalisis kasus hukum melalui medium penalaran hukum
dalam kasus-kasus hukum entah dalam wilayah publik, akademik, atau pengadilan. Di
samping itu mahasiswa pun diharapkan mampu memahami secara kritis, rasional, dan
argumentatif teori, rumusan undang-undang, opini, maupun pendapat hukum. Marry
Massaron Ross dalam ‘A Basis for Legal Reasoning: Logic on Appeal’, mengutip Wedell
Holmes, menyatakan bahwa training bagi para lawyer tidak lain dari training logika. 4 Ross
menambahkan bahwa logika yang perlu diberikan kepada para lawyer, mahasiswa, bahkan
juga hakim dan calon hakim (termasuk mahasiswa hukum) adalah analogi, “diskriminasi”
(disanalogi), dan deduksi. Karena bahasa putusan pengadilan pada dasarnya adalah bahasa
logika. Ross (2006), sebagai seorang praktisi hukum, mengatakan bahwa proses pengadilan
di tingkat banding, lebih bekerja berdasarkan statuta, konstitusi tertulis, dan prinsip-prinsip
logika untuk mengungkap kebenaran sebuah kasus dari pada pengalaman atau kenyataan. 5
Dalam proses pengadilan tingkat pertama misalnya, unsur logis (logos), persuasi (rhetoric),
emosi (pathos) dan karakter-personal (etos) ikut berperan sebagai sarana advokasi. Tetapi
tidak demikian halnya jika proses pengadilan sudah memasuki tahap banding. Dalam proses
pengadilan di tingkat banding, pemahaman terhadap logika dan penalaran hukum menjadi

4
Mary Massaron Ross, ‘A Basis for Legal Reasoning: Logic on Appeal’ dalam DRI For Def, Vol. 46, No. 4, [2004]
2006, h. 177.
5
Mary Massaron Ross, ibid., h. 180.
syarat utama. Karena yang diperiksa bukanlah perkara melainkan memeriksa pemeriksaan
perkara. Dalam proses ini semua argumen logis diperiksa keabsahan dan kebenarannya.
Logika dianggap berisikan kode-kode yang kaku dan tidak fleksibel tentang persoalan-
persoalan hukum dan konsitusi yang begitu kompleks.

2. A. Peran bahasa dalam ilmu hukum

Bahasa Hukum adalah bahasa aturan dan peraturan yang bertujuan untuk
mewujudkan ketertiban dan keadilan, untuk mempertahankan kepentingan umum dan
kepentingan pribadi di dalam masyarakat. Namun dikarenakan bahasa hukum adalah bagian
dari bahasa Indonesia yang modern, maka dalam penggunannya harus tetap, terang,
monosemantik, dan memenuhi syarat estetika bahasa Indonesia. 6Peranan bahasa hukum
mempunyai makna yang penting dalam perumusan norma perundang-undangan. lmu
hukum adalah disiplin ilmu yang bertengger di atas kepribadian ilmunya sendiri (sui generis),
oleh karenanya ilmu hukum memiliki logikanya sendiri, yaitu logika hukum dan untuk
kebutuhan, kepentingan keberfungsian keilmuannya baik bidang akademik maupun bidang
praktis. Rumusan masalah yang hendak diteliti adalah bagaimana pembedaan bahasa dalam
perspektif ilmu hukum dan bagaimana bahasa hukum dalam perspektif ilmu hukum. Artikel
ini menitiktekankan pada studi kepustakaan. Dari studi ini dapat disimpulkan bahwa ilmu
hukum mempunyai bahasanya sendiri, yaitu bahasa hukum. Ilmu hukum dengan segala
stratifikasi keilmuannya dan struktur atau klasifikasi hukumnya beserta segala elemen-
elemen pendukung sistemnnya sarat dengan bahasa-bahasa hukum yang mengandung
artikulasi karakteristik sebagai bahasa keilmuan hukum dan praksis, sehingga untuk
memahami disiplin keilmuannya dengan baik, maka harus menggunakan bahasanya sendiri
yaitu bahasa hukum.

B. Peran bahasa dalam peraturan perundang-undangan

Ragam bahasa hukum termasuk bahasa resmi.Hal ini karena bahasa hukum
memiliki ciri khusus yang berbeda dengan karakteristik ragam ilmiah lainnya. Bahasa
hukum memiliki karakteristik dalam bahasa resmi. Contoh konkret adalah bahasa dalam
Surat keputusan (SK) sebuah lembaga resmi atau organisasi kemasyarakatan. Contoh
lain adalah bahasa yang dipakai dalam sebuah undang-undang (bahasa perundang-
undangan).7 Memahami bahasa hukum akan memberi efisiensi dan efektifitas serta
validitas dalam mengkomunikasikan hukum dalam upaya pencapaian tujuan dan fungsi-
fungsi hukum yang dibutuhkan, baik dalam konteks yuridis-normatif maupun dalam
konteks emprisinya. Syarat mutlak untuk memahami bahasa hukum dengan baik bagi
ilmuan hukum Indonesia, harus memahami bahasa Indonesia dengan baik sebagai
media bahasa hukum. Perlunya bahasa hukum Indonesia dipelajari agarpesan-pesan yang
dikehendaki hukum dapat diinterpretasi oleh pengemban kewenangan pelaksana hukum
dan dapat pula dimengerti oleh yang ditujukan hukum itu.

6
http://www.ferlianusgulo.web.id/2016/04/kegunaan-bahasa-hukum.html
7
Muhammad Abdullah, "Membangun Kembali “Kesantunan” Bahasa Hukum Dalam Perundnag- Undangan
RI”, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Vol.42, No.2, 2013, hlm.362
Dalam Undang-Undang Notaris (UU No. 2 Tahun 2014, Pasal 43) ditekankan kepada
notaris untuk menggunakan bahasa yang lebih jelas maksudnya dan tujuannya sehingga
dapat menghindari permasalahan hukum yang sama dikemudian hari. 8 Hal ini
menghindari interperstasi, sebab karena norma hukum cenderung bersifat abstrak,
sehingga perlu dibuat terang, dan apabila di interpretasi harus tepat agar pesannya
dapat dipahami sesuai dengan tujuannya. Bahasa hukum sebagai bahasa hukum
Indonesia tidak hanya menjadi wilayah jelajah keilmuan orang-orang yang berlatar
belakang disiplin ilmu hukum, melainkan dapat diselami oleh orang-orang di luar dari
disiplin ilmu hukum, yang disiplin ilmunya bersentuhan dengan ilmu bahasa dan ilmu-
ilmu sosial.

3.A. Eksistensi definisi

Definisi adalah suatu batasan atau arti, bisa juga dimaknai kata, frasa,
atau kalimat yang mengungkapkan makna, keterangan, atau ciri utama dari orang,
benda, proses, atau aktivitas. 9 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi ialah rumusan
tentang ruang lingkup dan ciri-ciri suatu konsep yang menjadi pokok pembicaraan atau
studi. 10
Definisi juga diartikan sebagai uraian pengertian yang berfungsi membatasi objek, konsep,
dan keadaan berdasarkan waktu dan tempat suatu kajian. 11 Definisi merupakan usaha
para ilmuwan untuk membatasi fakta dan konsep. 12
Adapun arti/makna kata bisa diartikan sebagai definisi jika terdapat unsur kata atau istilah
yang didefinisikan, atau lazim disebut definiendum. Selanjutnya, di dalam arti tersebut harus
terdapat unsur kata, frasa, atau kalimat yang berfungsi menguraikan pengertian, lazim
disebut definiens, dan tentunya juga harus ada pilihan katanya. Pilihan kata tersebut ialah di
mana definiens dimulai dengan kata benda, didahului kata ada-lah. Yang kedua, definiens
dimulai dengan selain kata benda umpamanya kata kerja atau didahului kata yaitu.

B. Jenis dan tujuan definisi

- Definisi Nominal
Definisi nominal adalah jenis yang memberikan sebuah arti yang baru pada kata yang
sudah lama ada dan ini merupakan suatu cara untuk menjelaskan sesuatu dengan
menguraikan arti katanya. Adapun mengenai definisi nominal dapat dinyatakan dalam tiga
cara, yaitu:

8
Chandra Halim, "Analisis Penarapan Pasal 31Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2009 Tentang
Kewajiban
Penggunaan Bahasa Indonesia Terhadap Kontrak Internasional Yang Berpedoman Pada Asas-Asas Dalam
Hukum
Kontrak (Studi Kasus Putusan Perkara No. 451/Pdt.G/2012/PNJkt.Brt)", Premise Law Jurnal, Vol.9, 2015, hlm.13
9
Widjono (2007); Bahasa Indonesia, Jakarta:PT Grasindo. hal. 117-121. Cet. 2
10
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hal 303.
11
Widjono (2007); Bahasa Indonesia, Jakarta:PT Grasindo. hal. 117-121. Cet. 2
12
Widjono (2007); Bahasa Indonesia, Jakarta:PT Grasindo. hal. 117-121. Cet. 2
1. Definisi etimologi: dengan melihat asal-usul kata dari pengertian asli sampai yang
ada saat ini.
2. Definisi etimologi dilengkapi keterangan: tentang bagaimana sebuah makna telah
digunakan dalam kehidupan bermasyarakat.
3. Definisi sinonim: mengartikan sebuah kata dengan padanan katanya.

- Definisi Riil
Definisi riil adalah proses atau hasil menyatakan makna kata dengan merincikan
unsur-unsur konsepnya.
Terkait hal ini dapat dinyatakan dalam lima cara, yaitu:

1. Definisi hakiki: suatu pengertian yang hanya mengandung unsur pokok, pengertian
yang abstrak yang sangat perlu untuk memahami suatu istilah tertentu dan untuk
membedakannya dari istilah yang lain sehingga sifat dari sebuah istilah tersebut
tidak termasuk dalam hakikat sesuatu itu.
2. Definisi deskriptif: menggunakan ciri khas atau karakteristik khusus yang selalu dan
tetap terdapat pada suatu benda.
3. Definisi final: menunjukkan sebuah tujuan atau maksud tertentu.
4. Definisi kausalitas: menunjukkan adanya sebab akibat yang kemudian dituangkan
dalam sebuah kalimat.
5. Loaded definition: tidak menjelaskan arti atau makna dari suatu kata secara mudah
atau sederhana, namun dalam memberikan pemaknaan ditambahkan suatu
pernyataan yang mengevaluasi, menilai, atau menimbang pernyataan sebelumnya.

Tujuan utama mendefinisikan adalah untuk memberi batasan atau makna pada sebuah
istilah sehingga menghasilkan kesepakatan untuk masyarakat secara global. Sehingga orang
dapat mengerti apa yang dimaksud melalui penjabaran kalimat yang dijelaskan.

C. Pengunaan Definisi dalam peratuan perundang-undangan

Definisi dalam peraturan perundangan berperan untuk menjelaskan tafsir resmi pembentuk
Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu,
penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing
dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas
norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang
dimaksud. Definisi sebagai penegas agar suatu penjelasan dari aturan tidak terlihat kabur, sebab
bahasa yang digunakan dalam suatu aturan tidak jarang susah dipahami dan sifatnya kaku. Sehingga
memang diperlukan adanya suatu penjelasan dari kata maupun kalimat yang susah dipahami dan
dimengerti.

4. Pengertian, klasifikasi dan ciri Konsep

Secara etimologis, kata “Konsep” berasal dari bahasa latin “Conceptum” yang artinya
sesuatu yang bisa dipahami. Konsep adalah abstrak, entitas mental yang universal yang
menunjuk pada kategori atau kelas dari suatu entitas, kejadian atau hubungan. Konsep
merupakan abstraksi suatu ide atau gambaran mental, yang dinyatakan dalam suatu kata
atau simbol. Konsep dinyatakan sebagai bagian dari pengetahuan yang dibangun dari
berbagai macam kharakteristik. Konsep disebut abstrak karena mereka menghilangkan
perbedaan dari segala sesuatu dalam ekstensi, memperlakukan seolah-olah mereka identik,
serta universal di mana mereka bisa diterapkan secara merata untuk setiap extensinya.
Konsep dianggap sebagai suatu arti yang mewakili sejumlah objek yang mempunyai ciri-ciri
yang sama. Konsep juga diartikan sebagai suatu abstraksi dari ciri-ciri sesuatu yang
mempermudah komunikasi antar manusia dan memungkinkan manusia untuk berpikir.

Pengertian konsep lainnya yaitu sesuatu yang umum atau representasi intelektual yang
abstrak dari situasi, objek atau peristiwa, suatu akal pikiran, suatu ide atau gambaran
mental.

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), ada beberapa penertian konsep sebagai
berikut :

 rancangan atau buram surat dan sebagainya;


 ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret
 gambaran mental dari objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang
digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain13

Bahri (2008:30) berpendapat bahwa konsep adalah satuan arti yang mewakili sejumlah
objek yang mempunyai ciri yang sama. Orang yang memiliki konsep mampu mengadakan
abstraksi terhadap objek-objek yang dihadapi, sehingga objek-objek ditempatkan dalam
golongan tertentu. Objek-objek dihadirkan dalam kesadaran orang dalam bentuk
representasi mental tak berperaga. Konsep juga dapat dilambangkan dalam bentuk suatu
kata.
Aristoteles dalam bukunya “The classical theory of concepts” mendefinisikan konsep
merupakan penyusun utama dalam pembentukan pengetahuan ilmiah dan filsafat
pemikiran manusia.

Kualifikasi konsep dapat dilihat dari unsur suatu konsep yaitu:

- Nama Konsep, dalam menjelaskan suatu ide atau gagasan, terdapat satu kalimat sebagai
Inti Pembahasan dari suatu objek.
- Contoh Positif & Negatif
Dalam menjelaskan suatu ide atau gagasan, terdapat perbandingan analisis dari suatu objek
yang memiliki sisi positif atau negatif dalam karakteristiknya.
Contoh : Kalimat Rumah Ibadat, Contoh Positif : Masjid, Gereja, Wihara atau Kuil. Contoh
Negatif : Gadang, Joglo, atau Bubungan Tinggi.
- Karakteristik Pokok

13
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
Karakteristik Pokok berfungsi sebagai untuk menciptakan sebuah aturan dan menentukan
suatu contoh objek, termasuk dalam sebuah Konsep atau Bukan Konsep.
Contoh : Karakteristik dari Rumah yaitu Mempunyai Atap Rumah, Pilar Rumah, Dinding
Rumah dan Lantai Rumah.
- Rentangan Karakteristik
Rentangan Karakteristik berfungsi sebagai untuk membatasi suatu Konsep pada sebuah
objek tertentu, yaitu diantaranya :
a. Superordinat : Suatu konsep yang dihubungkan dengan konsep lainnya yang lebih luas.
Contoh : Kalimat “Tempat Tinggal” merupakan bagian dari Kalimat “Rumah”.
b. Koordinat : Suatu konsep yang saling berkaitan dengan konsep-konsep lainnya.
Contoh : Kalimat “Rumah Kontrakan” setara dengan Kalimat “Rumah Dinas”.
c. Subordinat : Suatu konsep yang dihubungkan dengan konsep lainnya yang lebih kecil.
Contoh : Kalimat “Rumah” merupakan bagian kecil dari Kalimat “Tempat Tinggal”.
Sedangkan jenis dari konsep yakni :

- Empirical concept : observable concept : konsep yang dapat diamati dalam kehidupan
sehari-hari, misalnya meja, kursi

- Inferential concept : non observable concept : konsep yang sulit diamati dalam kehidupan
sehari-hari, contoh tekanan darah

- Abstract concept : bersifat abstrak dan tidak bisa digambarkan karena sesuai dengan
pemikiran masing-masing orang

Adapun ciri dari suatu konsep yakni :

- Konsep memiliki krakteristik yang bersifat Abstrak, yaitu Merupakan suatu gambaran
mental mengenai sebuah benda, kegiatan, atau peristiwa.

- Secara umum konsep merupakan suatu kumpulan berbagai objek atau benda dengan
karakteristik dan kualitas tertentu.

- Konsep memiliki karakteristik yang bersifat personal, yaitu Sebuah pemahaman pada diri
seseorang tentang suatu hal dapat berbeda dari pemahaman orang lain dalam mengenai
suatu hal tersebut.

- Karakteristik konsep dapat diketahui melalui proses belajar seseorang dan pengalaman
seseorang itu sendiri.
5. A. Pengertian Legal reasoning (penalaran hukum)

Legal Reasoning adalah pencarian “reason” tentang hukum atau pencarian dasar
tentang bagaimana seorang hakim memutuskan suatu perkara/kasus hukum yang
dihadapinya, bagaimana seorang Advokat memberikan argumentasi hukum dan bagaimana
seorang ahli hukum menalar hukum. E. Levi dalam An Introduction to Legal Reasoning
(1949) menyatakan bahwa pola dasar penalaran hukum adalah penalaran dengan
menggunakan contoh (reasoning by example), penalaran dari kasus ke kasus.14 Proses
penalaran hukum, menurut Levi berlangsung dalam tiga tahap: Pertama, melihat kesamaan
antar kasus, kedua, hukum mana yang diterapkan pada kasus pertama, dan ketiga,
ketentuan hukum yang dapat diaplikasikan dalam kasus kedua atau kasus lain yang serupa.
Scharffs menyatakan bahwa suatu penalaran hukum yang baik mesti menggabungkan
kebijaksanaan praktis, keterampilan, dan “retorika”. “Good legal reasoning is a combination
of practical wisdom, craft, and rhetoric. The good lawyer is someone who combines the
skills or character traits of practical wisdom, craft, and hetoric. Each of these three concepts
is anessential component of legal reasoning”. 15 Sementara pemikir lain menyatakan bahwa
penalaran hukum pada dasarnya adalah moral.16

Legal Reasoning harus memahami sumber- sumber- sumber hukum formil, yaitu undang-
undang, kebiasaan dan adat, perjanjian, traktat, yurisprudensi tetap dan doktrin. Sumber
Hukum Utama dalam Hukum Positif Indonesia adalah Peraturan Perundang-undangan
(Hukum Tertulis), akan tetapi seringkali Peraturan Perundang-undangan (Hukum Tertulis)
tertinggal oleh perkembangan masyarakat. Untuk mengisi kekosongan Peraturan
Perundang- undangan (Hukum Tertulis) dan pencarian dari arti dan makna dari suatu
peraturan perundangan-undangan, dalam ilmu hukum dikenal dengan Konstruksi Hukum
dan Interpretasi (Penafsiran Hukum). Konstruksi terdiri dari 3 (tiga) bentuk yaitu Analogi
(Abstraksi), Determinasi (Penghalusan Hukum) dan Argumentum A Contrario. Adapun yang
dimaksud dengan Legal Reasoning (Penalaran Hukum) menurut Komari, adalah pencarian
“reason” tentang hukum atau pencarian dasar tentang bagaimana seorang hakim
memutuskan suatu perkara/kasus hukum yang dihadapinya, bagaimana seorang Advokat
memberikan argumentasi hukum dan bagaimana seorang ahli hukum menalar hukum.

Term ‘Legal Reasoning’ dapat digunakan dalam dua arti yaitu dalam arti luas dan sempit.
Dalam arti luas, legal reasoning berkaitan dengan proses psikologis yang dilakukan hakim
untuk sampai pada putusan atas kasus yang dihadapinya. Sedangkan, legal reasoning dalam
arti sempit berkaitan dengan argumentasi yang melandasi suatu keputusan. Artinya legal
reasoning dalam arti sempit ini menyangkut kajian logika dari suatu putusan, yaitu
hubungan antara reason (pertimbangan, alasan) dan putusan, serta ketepatan alasan atau
pertimbangan yang mendukung putusan tersebut.17

14
Lihat E. Levi, An Introduction to Legal Reasoning, Chicago: University of Chicago Press, 1949, h. 2.
15
Scharffs, ibid., 2004, h. 740.
16
Lihat Lon I. Fuller, The Morality of Law 2nd ed., 1969, sebagaimana dikutip Scharffs, 2004, h. 736.
17
M. Arsyad Sanusi, Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam artikel Legal Reasoning Dalam
Penafsiran Konstitusi mengemukakan Golding
Agar dalam melakukan Legal Reasoning (Penalaran Hukum) dilakukan dengan baik, maka
harus memahami sumber-sumber hukum terutama sumber hukum formil. Mengenai
sumber hukum formal dalam berbagai kepustakaan hukum menyebutkan sebagai berikut :

- Undang-undang Undang-undang tersebut apabila dihubungkan dengan Undang-undang


Nomor 12 Tahun 2011 terdiri dari sebagai berikut :

a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia.

c. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.

d. Peraturan Pemerintah.

e. Peraturan Presiden.

f. Peraturan Daerah Provinsi.

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

- Kebiasaan dan Adat

- Perjanjian

- Traktat

- Yurisprudensi tetap

- Doktrin

B. Fungsi dan tujuan Legal Reasoning

- Bagi hakim: legal reasoning berguna dalam mengambil pertimbangan untuk memutuskan
suatu kasus. pasal 25 ayat (1) UU No. 4/2004 menegaskan : “Segala putusan pengadilan
selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang
dijadikan dasar untuk mengadili.” Dalam pasal 19 ayat (4) UU No.4/2004 juga menegaskan:
“Dalam sidang permusyawaratan,setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau
pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari putusan”.

- Bagi praktisi hukum legal reasoning berguna untuk mencari dasar bagi suatu peristiwa atau
perbuatan hukum dengan tujuan untuk menghindari terjadinya pelanggaran hukum di
kemudian hari dan untuk menjadi bahan argumentasi apabila terjadi sengketa mengenai
peristiwa ataupun perbuatan hukum tersebut.
- Bagi penyusun undang-undang dan peraturan legal reasoning ini berguna untuk mencari
dasar mengapa suatu undang-undang disusun dan mengapa suatu peraturan perlu
dikeluarkan.

6. Jenis kesesatan dalam penalaran hukum

Fallacy berasal dari bahasa Yunani dan Latin yang berarti ‘sesat pikir’. Fallacy
didefinisikan secara akademis sebagai kerancuan pikir yang diakibatkan oleh
ketidakdisiplinan pelaku nalar dalam menyusun data dan konsep, secara sengaja maupun
tidak sengaja. Hal ini juga bisa diterjemahkan dalam bahasa sederhana dengan berpikir
‘ngawur’. Dalam sejarah perkembangan logika terdapat berbagai macam tipe kesesatan
dalam penalaran.Secara sederhana kesesatan berpikir dapat dibedakan dalam dua kategori,
yaitu kesesatan formal dan kesesatan material.

1. Kesesatan formal adalah kesesatan yang dilakukan karena bentuk (forma) penalaran yang
tidak tepat atau tidak sahih. Kesesatan ini terjadi karena pelanggaran terhadap prinsip-
prinsip logika mengenai term dan proposisi dalam suatu argumen (hukum-hukum
silogisme).

2. Kesesatan material adalah kesesatan yang terutama menyangkut isi (materi) penalaran.
Kesesatan ini dapat terjadi karena faktor bahasa (kesesatan bahasa) yang menyebabkan
kekeliruan dalam menarik kesimpulan, dan juga dapat teriadi karena memang tidak adanya
hubungan logis atau relevansi antara premis dan kesimpulannya (kesesatan relevansi).

beberapa jenis fallacy dari jenis “Kesesatan Relevansi” (Kesesatan Material) yang
sering dilakukan oleh kaum sofis sejak masa Yunani kuno:

1. Fallacy of Dramatic Instance, yaitu kecenderungan untuk melakukan analisa masalah


sosial dengan menggunakan satu-dua kasus saja untuk mendukung argumen yang bersifat
general atau umum (over generalisation).

Contoh: “Semua yang menentang hukuman mati para terpidana narkoba berarti adalah
pelaku atau pendukung kejahatan narkoba. Saya melihat sendiri dengan mata kepala saya
bahwa tetangga saya kemarin begitu ngotot menentang hukuman mati bagi pengedar
narkoba, eh, ternyata seminggu kemudian ia tertangkap polisi karena mengedarkan
narkoba.”

Pembuktian Sesat Pikir: Satu-dua kasus yang terjadi terkait pengalaman pribadi kita dalam
satu lingkungan tertentu tidak bisa dengan serta merta dapat ditarik menjadi satu
kesimpulan umum yang berlaku di semua tempat.

2. Argumentum ad Hominem Tipe I (Abuse): Ini adalah jenis sesat pikir yang terjadi ketika
argumentasi yang diajukan tidak tertuju pada persoalan yang sesungguhnya, tetapi justru
menyerang pribadi yang menjadi lawan bicara.

Contoh: Saya tidak ingin berdiskusi dengan Anda, karena Anda seorang anak kecil yang
bodoh dan tidak tahu apa-apa.
Pembuktian Kesesatan Berpikir: Argumen Anda menjadi benar, bukan dengan membodohi
atau menganggap remeh orang lain, tetapi karena argumen Anda disusun berdasarkan
kaidah logika yang benar dan bukti-bukti atau teori yang telah diakui kebenarannya secara
ilmiah.

3. Argumentum ad Hominem Tipe II (Sirkumstansial): Berbeda dari argumentum ad


hominem tipe I, maka sesat pikir tipe II ini menyerang pribadi lawan bicara sehubungan
dengan keyakinan seseorang dan atau lingkungan hidupnya, seperti: kepentingan kelompok
atau bukan kelompok, dan hal-hal yang berkaitan dengan SARA.

Contoh 3: “Saya tidak setuju dengan apa yang dikatakan olehnya terkait dengan agama
Islam, karena ia bukan orang Islam.”

Pembuktian Kesesatan Berpikir: Ketidaksetujuan bukan karena hasil penalaran dari


argumentasi yang logis, tetapi karena lawan bicara berbeda agama.

4. Argumentum Auctoritatis: Ini adalah jenis sesat pikir yang terjadi ketika nilai penalaran
ditentukan semata oleh keahlian atau kewibawaan orang yang mengemukakannya. Jadi
suatu gagasan diterima sebagai gagasan yang benar hanya karena gagasan tersebut
dikemukakan oleh seorang yang sudah terkenal karena keahliannya.

Contoh: “Saya meyakini bahwa pendapat dosen itu benar karena ia seorang guru besar.”

Pembuktian Sesat Pikir: Kebenaran suatu pendapat bukan tergantung pada siapa yang
mengucapkannya, meski ia seorang guru besar sekalipun, tetapi karena ketepatan silogisme
yang digunakan berdasarkan aturan logika tertentu dan atau berdasarkan verifikasi
terhadap fakta atau teor ilmiah yang ada.

5. Kesesatan Non Causa Pro Causa (Post Hoc Ergo Propter Hoc): Ini adalah jenis sesat pikir
yang terjadi ketika terjadi kekeliruan penarikan kesimpulan berdasarkan sebab-akibat.
Orang yang mengalami sesat pikir jenis ini biasanya keliru menganggap satu sebab sebagai
penyebab sesungguhnya suatu kejadian berdasarkan dua peristiwa yang terjadi secara
berurutan. Orang lalu cenderung berkesimpulan bahwa peristiwa pertama merupakan
penyebab bagi peristiwa kedua, atau peristiwa kedua adalah akibat dari peristiwa pertama–
padahal urutan waktu saja tidak dengan sendirinya menunjukkan hubungan sebab-akibat.

Contoh: Anda membuat surat untuk seseorang yang anda cintai dengan menggunakan
pulpen A, dan ternyata cinta Anda diterima. Kemudian pulpen A itu anda gunakan untuk
ujian, dan Anda lulus. “Ini bukan sembarang pulpen!” kata anda. “Pulpen ini mengandung
keberuntungan.”

Pembuktian Sesat Pikir: Cinta Anda diterima oleh sebab orang yang Anda cintai juga
menerima cinta Anda, bukan karena pena yang Anda gunakanuntuk menulis surat cinta.
Anda lulus ujian, bukan karena pena yang Anda gunakan mengandung keberuntungan,
tetapi karena Anda menguasai dengan baik materi yang diujikan dan dapat menjawab
dengan benar sebagian besar materi ujian dengan tepat waktu.

6. Argumentum ad Baculum: Ini adalah jenis sesat pikir yang terjadi ketika argumen yang
diajukan berupa ancaman dan desakan terhadap lawan bicara agar menerima suatu
konklusi tertentu, dengan alasan bahwa jika menolak akan berdampak negatif terhadap
dirinya

Contoh: “Jika Anda tidak mengakui kebenaran apa yang saya katakan, maka Anda akan
terkena azab Tuhan. Karena yang saya ungkapkan ini bersumber dari ayat-ayat suci dari
agama yang kita yakini.”

Pembuktian Sesat Pikir: Tuhan tidak mengazab seseorang hanya karena orang itu tidak
menyetujui pendapat Anda atau tafsir Anda terhadap ayat-ayat kitab suci.

7. Argumentum ad Misericordiam: Ini adalah jenis sesat pikir yang terjadi ketika argumen
sengaja diarahkan untuk membangkitkan rasa belas kasihan lawan bicara dengan tujuan
untuk memperoleh pengampunan atau keinginan tertentu.

Contoh: “Hukuman mati terhadap pengedar narkoba itu harus dilakukan, karena alangkah
sedihnya perasaan mereka yang keluarganya menjadi korban narkoba. Betapa beratnya
hidup yang harus ditanggung oleh keluarga korban narkoba untuk menyembuhkan dan
merawat korban narkoba, belum lagi bila keluarga mereka yang kecanduan narkoba itu
meninggal. Betapa hancur hati mereka. Karena itu hukuman mati bagi pengedar narkoba itu
adalah hukuman yang sudah semestinya.”

Pembuktian Sesat Pikir: Hukuman mati bagi penjahat narkoba itu tidak dijatuhkan
berdasarkan penderitaan keluarga korban, tetapi karena pelaku tersebut terbukti melanggar
perundangan-undangan yang berlaku di dalam satu proses pengadilan yang sah, bersih, dan
adil.

8. Argumentum ad Ignorantiam: Ini adalah jenis sesat pikir yang terjadi ketika seseorang
memastikan bahwa sesuatu itu tidak ada oleh sebab kita tidak mengetahui apa pun juga
mengenai sesuatu itu atau karena belum menemukannya.

Contoh: “Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu tak ada gunanya, karena sampai sekarang
korupsi masih terus terjadi.”

Pembuktian Sesat Pikir: KPK dibutuhkan bukan ketika korupsi sudah berhasil diberantas,
tetapi justru saat korupsi masih merajalela di tingkat aparat penegak hukum lainnya (mafia
peradilan), aparat birokrasi, dan pejabat politik.

7. Deduksi dan Induksi dalam Ilmu Hukum

Para logikawan umumnya membagi penalaran kedalam dua kategori utama yakni
penalaran induksi dan penalaran deduksi. Penalaran induktif didasarkan pada generalisasi
pengetahuan atau pengalaman yang sudah kita miliki. Berdasarkan pengetahuan atau
pengalaman yang kita miliki tersebut, dirumuskan atau disimpulkan suatu pengetahuan atau
pengalaman baru. Atau dengan rumusan lain, induksi adalah proses penarikan kesimpulan
universal beradasarkan pengalaman, data, fakta, atau pengetahuan terbatas sebagai premis
yang kita miliki.

Contoh: Premis : Doni, melanggar lalu lintas, bukanlah orang yang menaati hukum, Jodi,
melanggar lalu lintas, bukanlah orang yang menaati hukum, Johan, melanggar lalu lintas,
bukanlah orang yang menaati hukum, Budi, melanggar lalu lintas, bukanlah orang yang
menaati hukum,

Kesimpulan: Semua orang yang melanggar lalu lintas, bukanlah orang yang menaati hukum.

Contoh di atas merupakan induksi dalam pengertian generalisasi induksi. Generalisasi


induksi umumnya disingkat dengan induksi saja. Generalisasi induktif merupakan sebuah
proses penarikan kesimpulan umum (universal) dari data, fakta, kenyataan tertentu atau
beradasarkan proposisi singular. Proses penalaran generalisasi induktif bersumber dari
prosedur kerja ilmu (science). Para ilmuwan melakukan observasi atas berbagai data atau
fakta tertentu kemudian merumuskan hipotesis tentang hasil observasi atas fakta tersebut.
Perumusan hipotesis tersebut merupakan sebuah bentuk penaralan induktif.

Bentuk dasar penalaran analogi induktif adalah bahwa karena dua hal sama atau serupa
(similar) dalam banyak hal, maka mereka juga serupa atau sama dalam hal khusus lain.
Penalaran analogi memperhatikan unsur kesamaan (similarity) antar hal atau kasus yang
dibandingkan. Peter N. Swisher dengan mengutip J. Hospers (1970), menyatakan bahwa
sebuah argumen analogis dirumuskan dengan membandingkan dua hal atau lebih, mencari
unsur-unsur yang sama dari hal-hal yang dibandingkan dan menarik kesimpulan atas dasar
kesamaan hal-hal yang dibandingkan tersebut. Swisher menulis, “An analogy is simply a
comparison, and an argument from analogy is an argument from comparison. An argument
from analogy begins with a comparison between two things, X and Y. It then proceeds to
argue that these twothings are alike in certain respects, A, B and C, and concludes that
therefore they are also alike in another respect, D, in which they have not [previously] been
observed to resemble one another ... It will be apparentat once that an argument from
analogy is never conclusive”.18

kebenaran penalaran induktif bukanlah sesuatu yang pasti melainkan hanya sampai pada
tingkat kemungkinan atau probabilitas semata. Ruggero J. Aldisert, dalam Logic for Lawyers:
A Guide to Clear Legal Thinking (1992) sebagaimana dikutip Ross (2006) menyimpulkan
bahwa konklusi penalaran induktif bukan ‘benar’ (truth) melainkan kemungkinan
(mendekati kebenaran), meskipun bukan salah. “A conclusion reached by inductive
reasoning is not considered a truth; rather, it is a proposition that is more probably true
than not”.19 Premis- premis argumen induktif, entah berapa pun jumlahnya, tidak
menjamin kepastian penyimpulan indutktif. Karena dari data, fakta, atau proposisi singular
yang terbatas tidak bisa dipastikan bahwa kebenaran penyimpulan induktif bersifat
universal. Maka kebenaran penyimpulan induktif hanya sampai pada kemungkinan atau
probabilitas semata.19

Bentuk penalaran lain selain induksi adalah penalaran deduksi. Ross (2006), dengan
mengikuti definisi Aristoteles, menyatakan bahwa silogisme merupakan bentuk dasar
penalaran deduksi. Silogisme (deduksi) dirumuskan sebagai “an act of the mind in which,
from the relation of two propositions to each other, we infer, i.e., understand and affirm, a

18
Peter Nash Swisher, ‘Teaching Legal Reasoning in Law School: The University of Richmond Experience’, op.
cit., 1981, h. 537.
19
Lihat R.G. Soekadijo, Logika Dasar, Tradisional, Simbolik, dan Induktif, cet. Ke-9, Jakarta, Gramedia Pustaka
Utama, 2003, h. 135-138
third proposition.” 20 R.G. Soekadijo dalam buku Logika Dasar: Tradisional, Simbolik, dan
Induktifmerumuskan silogisme sebagai proses penarikan kesimpulan yang bertolak dari
proposisi universal sebagai premis.21 Secara logis, kita bisa merumuskan deduksi atau
silogisme sebagai proses penarikan kesimpulan yang bertolak dari proposisi universal
sebagai premis untuk sampai pada konklusi atau kesimpulan berupa proposisi universal,
partikular, atau singular. Contoh: Premis : Semua pencuri harus dihukum menurut hukum,
Johan seorang pencuri, Konklusi : Johan harus dihukum menurut hukum.

Kaidah penalaran deduktif (silogisme) terdiri dari kaidah yang berkaitan dengan term dan
kaidah yang berkaitan dengan proposisi. Kedua kaidah ini harus ditaati sehingga konklusi
yang dihasilkan valid. Kaidah atau hukum mengenai term adalah: (1) Jumlah term dalam
silogisme tidak boleh lebih dari tiga yakni: S-M-P, (2) Term tengah, M, tidak boleh terdapat
dalam konklusi, (3) Term tengah, M, setidak- tidaknya satu kali harus berdistribusi, dan (4)
Term S dan P dalam konklusi tidak boleh lebih luas daripada dalam premis. Sementara
hukum silogisme mengenai proposisi, ketentuannya adalah demikian: (1) Apabila proposisi-
proposisi di dalam premis afirmatif, maka konklusinya harus afirmatif, (2) Proposisi di dalam
premis tidak boleh kedua-duanya negatif, (3) Konklusi mengikuti proposisi yang paling
lemah dalam premis, (4) Proposisi di dalam premis tidak boleh kedua-duanya partikulir,
setidak-tidaknya salah satu harus universal.

20
Ross, op. cit., 2006, h. 183.
21
R. G. Soekadijo, op. cit., 2003, h. 40.
Daftar Pustaka

1. Jurnal

- Jurnal H. Enju Juanda, S.H., M.H. “PENALARAN HUKUM (LEGAL REASONING)”

- Jurnal Nurul Qamar “PERANAN BAHASA HUKUM DALAM PERUMUSAN NORMA PERUNDANG-
UNDANGAN”, Bagian Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia.

- Jurnal Urbanus Ura Weruin “Logika, Penalaran, dan Argumentasi Hukum”, FH Universitas
Tarumanagara Jakarta.

2. Artikel

- -
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/2125_Legal%20Reasoning_Bp.%20Wasis%20Susetio.
ppt%20%5BCompatibility%20Mode%5D.pdf

- https://id.wikipedia.org/wiki/Definisi

-https://www.kompasiana.com/undix/55017271813311d662fa71de/prinsip-dasar-logika-
aristotelesan

- https://www.ngelmu.co/pengertian-logika-jenis-macam-fungsi-dan-manfaat-logika/

- https://www.teraslampung.com/falacy-atau-sesat-pikir-dalam-logika/

Anda mungkin juga menyukai