Anda di halaman 1dari 10

Relevansi Kriminologi dengan Hukum Pidana

1. Pengertian kriminologi
Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan dari berbagai aspek.
Kata kriminologis pertama kali dikemukakan oleh P. Topinard (1830-1911), seorang ahli
antropologi Perancis. Kriminologi terdiri dari dua suku kata yakni kata “crime” yang berarti
kejahatan dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi dapat berarti ilmu
tentang kejahatan.
P. Topinard (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2001: 5), mendefinisikan “Kriminologi
adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya
(kriminologis teoritis atau kriminologis murni). Kriminologis teoritis adalah ilmu
pengetahuan yang berdasarkan pengalaman, yang seperti ilmu pengetahuan lainnya yang
sejenis, memperhatikan gejala-gejala yang mencoba menyelidiki sebab-sebab dari gejala
tersebut dengan cara-cara yang ada padanya.”

Edwin H. Sutherland (J. E. Sahetapy, 1992: 5), mendefinisikan kriminologi


bahwa “Criminology is the body of knowledge regarding delinquency and crime as social
phenomena (Kriminologi adalah kumpulan pengetahuan yang membahas kenakalan remaja
dan kejahatan sebagai gejala sosial).”
Paul Moedigdo Moeliono (Soedjono D, 1976: 24), merumuskan “Kriminologi merupakan
ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai masalah manusia.”

Dari kedua defenisi di atas dapat dilihat perbedaan pendapat antara Sutherland dan Paul
Moedigdo Moelino, keduanya mempunyai defenisi yang bertolak belakang. Dimana defenisi
Sutherland menggambarkan terjadinya kejahatan karena perbuatan yang ditentang
masyarakat, sedangkan defenisi Paul Moedigdo Moeliono menggambarkan terjadinya
kejahatan karena adanya dorongan pelaku untuk melakukan kejahatan.

Soedjono D, (1976: 24), mendefinisikan kriminologi “sebagai ilmu pengetahuan yang


mempelajari sebab akibat, perbaikan dan pencegahan kejahatan sebagai gejala manusia
dengan menghimpun sumbangan-sumbangan dari berbagai ilmu pengetahuan.”

Dari defenisi Soedjono di atas dapat disimpulkan bahwa kriminologi bukan saja ilmu yang
mempelajari tentang kejahatan dalam arti sempit, tetapi kriminologi merupakan sarana untuk

1
mengetahui sebab-sebab kejahatan dan akibatnya, cara-cara memperbaiki pelaku kejahatan
dan cara-cara mencegah kemungkinan timbulnya kejahatan.

J. Constant memberikan defenisi “Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan


menentukan faktor-faktor yang menjadi sebab-musabab terjadinya kejahatan dan penjahat.”

WME. Noach memberikan defenisi “Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki
gejala-gejala kejahatan dan tingkah laku yang tidak senonoh, sebab-musabab serta akibat-
akibatnya.”

W. A. Bonger memberikan defenisi “Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan


menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya.”

2. Teori-teori dalam kriminologi

Dalam kriminologi juga dikenal sejumlah teori yang dapat dipergunakan untuk
menganalisis permasalahan-permasalahanyang berkaitan dengan kejahatan atau penyebab
kejahatan. Dalam teori-teori tersebut adalah teori Asosiasi Diferensial, teori Anomi, teori
Subkul-tur, teori Label, teori Konflik, teori control dan sebagainya (Indah Sri Utami,
2012:70-73). Sekian diantara penjelasan dari teori tersebut adalah:
1. Teori Diferential Association
Teori ini dikemukakan oleh Edwin H. Sutherland (Indah Sri Utami ; 70), seorang ahli
sosiologi Amerika dalam bukunya Principles of Criminology (1934). Asumsinya dalam teori
ini banyak dipengaruhi oleh William I. Thomas dan George Mead yang beraliran symbolic
interactionism, juga aliran ekologi dari Clifford R. Shaw dan Henry D. McKay, serta culture
conflict dari Thorsten Sellin. Terdapat dua versi asosiasi diferensial. Versi pertama terdapat
dalam buku Principle of Criminology edisi ketiga. Dalam karya tersebut perhatian Sutherland
tertuju pada konflik budaya (cultural conflict), keberantakan social (social disorganization),
serta diferensial association. Itulah sebabnya, ia menurunkan tiga pokok soal sebagai intisari
teorinya:
-Any can be trained to adopt and follow any pattern of behavior which he is able to
execute. (tiap orang menerima dan mengikuti pola-pola perilaku yang dapat dilaksanakan).
-Failure to follow a prescribed pattern of behavior is due to the inconsistencies and lack of
harmony in the influences which direct the individual. (kegagalan mengikuti suatu pola
tingkah laku (yang seharusnya) akan menimbulkan inkonsistensi dan ketidakharmonisan).
2
-The conflict of culture is therefore the fundamental principle in the explanation of
crime. (konflik budaya merupakan prinsip dasar dalam menjelaskan kejahatan).

2. Teori Anomie
Teori anomi pertama kali diperkenalkan oleh Emile Durkheim (Indah Sri Utami 2012 ; 72)
yang menunjuk pada absence of social regulation normlessness. Kemudian dalam buku The
Division of Labor in society (1893) Durkheim mempergunakan istilah anomie untuk
mendeskripsikan keadaan “deregulation” di dalam masyarakat yang diartikan sebagai tidak
ditaatinya aturan-aturan yang terdapat pada masyarakat sehingga orang tidak tahu apa yang
diharapakan dari orang lain dan keadaan ini menyebabkan deviasi. Teori ini tidak lepas dari
konspesi Durkheim tentang manusia, yang menurutnya ditandai oleh tiga hal, yakni manusia
merupakan mahluk sosial (man is social animal); eksistensinya sebagai mahluk sosial
(human being is a social animal); manusia cenderung hidup dalam masyarakat dan
keberadaannya sangat tergantung pada masyarakat tersebut sebagai koloni (tending to live in
colonies, and his/her survival dependent upon moral conextions)
3. Teori konflik
Teori konflik muncul tidak lama setelah teori label. Teori ini lebih menekankan pada
pola kejahatan dan mencoba untuk memeriksa atau meniliti pembentukan hukum dan
penerapan hukum pidana. Berbeda dengan teori konflik, teori labeling kurang berorientasi
pada masalah politik. Paling sedikit ada empat asumsi dasar teori konflik yang umum diakui;
-Konflik merupakan hal yang bersifat alamiah dalam masyarakat
-Masyarakat cenderung mengalami perubahan. Dalam setiap perubahan peranan kekuasaan
terhadap kelompok masyarakat lain terus terjadi
- Selalu ada kompetisi dalam terjadinya perubahan
-Dalam kompetisi itu, penggunaan kekuasaan hukum dan penegakan hukum selalu menjadi
alat dan mempunyai peranan penting dalam masyarakat.

4. Teori tempat kejahatan dan teori aktivitas rutin

Hasil pengamatan Shaw, McKay, dan Stark (indah Sri utami 2012 ; 73) menunjukkan
bahwa kejahatan tidak akan muncul pada setiap masalah sosial yang ada namun kejahatan
akan muncul andaikata masalah sosial tertentu mempunyai kekuatan dan mendorong aspek-

3
aspek kriminogen. Teori Stark tentang tempat kejahatan memberi beberapa penjelasan
tentang mengapa kejahatan terus berkembang sejalan dengan perubahan/perkembangan
didalam populasi. Para ahli yang mengkaji tradisi disorganisasi sosial sudah sejak lama
memusatkan perhatian pada tiga aspek korelatif kejahatan ekologi, yaitu kemiskinan,
heterogenitas kesukuan, dan mobilitas permukiman. Tetapi aspek korelatif tersebut, saat ini,
sudah diperluas lagi untuk menguji dampak dari faktor tambahan seperti keluarga, single-
parent, urbanisasi, dan kepadatan struktural. Stark memberlakukan lima variabel yang
diyakini dapat mempengaruhi tingkat kejahatan di dalam masyarakat, yakni kepadatan,
kemiskinan, pemakaian fasilitas secara bersama, pondokan sementara, dan kerusakan yang
tidak terpelihara. Variabel tersebut dihubungkan empat variable lainnya, yakni moral sinisme
diantara warga, kesempatan melakukan kejahatan dan kejahatan meningkat, motivasi untuk
melakukan kejahatan yang meningkat, dan hilangnya mekanisme control sosial. Teori
aktivitas rutin menjelaskan bahwa pola viktimisasi sangat terkait dengan ekologi sosial.studi
yang dilakukan menunjukkan secara jelas hubungan antara pelaku kejahatan, korban, dan
sistem penjagaan. Inti dari semua pembahasan tentang teori kriminologi adalah bagaimana
mempelajari sebab-musabab terjadinya suatu kejahatan dan bagaimana dampaknya terhadap
masyarakat. Semua pendekatan teori mencoba membangun hipotesa dari persfektif yang
berbeda tetapi inti pembahasannya sama yaitu objek kajian tentang masalah “kejahatan”.

2. HUBUNGAN KRIMINOLOGI DENGAN HUKUM PIDANA


Berdasarkan judul diatas maka dalam tugas ini pertama saya akan menjelaskan
tentang pengertiannya terlebih dahulu. “Hubungan” menurut kamus besar Bahasa Indonesia
memiliki arti “bertalian” atau memiliki “kaitan”. Dari pengertian di atas dalam pembahasan
kali ini jelas yang menjadi titik dasar pembahasan utama saya adalah “Kaitan” antara
kriminologi dengan hukum pidana. Kriminologi baru berkembang tahun 1850 tapi ada juga
buku yang mengatakan bahwa kriminologi lahir pada abad ke-19 dan berkembang tahun 1830
bersama sosiologi, antropologi dan psikologi, sehingga dapat dikatakan kriminologi termasuk
cabang ilmu yang baru yaitu cabang ilmu yang mempelajari gejala/tingkah laku manusia
dalam masyarakat. Berbeda dengan Hukum Pidana yang sudah muncul berbarengan dengan
keinginan manusia untuk bermasyarakat.
Pertama kali istilah kriminologi digunakan oleh Raffaele Garofalo (1885) pada tahun
1885 dengan nama criminologia dan pada waktu yang sama, antropolog Prancis Topinard
Paulus juga menggunakan istilah Prancis Criminologie tetapi memiliki maksud yang sama.

4
Dari bahasa latin kriminologi “Crimen” artinya kejahatan dan “logia” atau logos artinya ilmu
yaitu ilmu yang menunjuk pada studi ilmia tentang sifat, tingkat, penyebab dan pengendalian
prilaku kriminal baik yang terdapat dalam pengendalian prilaku kriminal, diri individu
maupun dalam kehidupan sosial, budaya, politik dan ekonomi. Dalam artian, cakupan studi
kriminologi tidak hanya terfokus dalam berbagai peristiwa kejahatan namun, cakupan studi
kriminologi juga meliputi bentuk, penyebab, konsekuensi dari berbagai kejahatan, serta
berbagai bentuk reaksi sosial yang diakibatkan oleh kejahatan. Termasuk reaksi sosial
terhadap peraturan perundang-undangan serta berbagai kebijakan pemerintah. Oleh karena
cakupan studi kriminologi yang begitu luas sehingga pusat kajiannya tidak hanya berhenti
pada deskripsi tentang peristiwa dan bentuk kejahatan yang terjadi di atas permukaan tetapi,
juga menelusuri penyebab atau akar kejahatan itu sendiri baik yang di sebabkan oleh
individu, maupun yang bersumber dari berbagai peristiwa sosial, budaya, ekonomi termasuk
berbagai kebijakan pemerintah. Bahkan juga mengkaji upaya pengendalian kejahatan serta
reaksi terhadapnya baik secara formal maupun informal.
Hukum pidana adalah hukm yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan
kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman
yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan
Dari definisi diatas dapat mengambil kesimpulan, bahwa hukum pidana bukanlah
suatu hokum yang mengandung norma-norma baru melainkan hanya mengatur tentang
pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan terhadap kepentingan umum. Hukum pidana tidak
memuat peraturan- peraturan yang baru melainkan mengambil dari peraturan-peraturan
hukum yang lain yang bersifat kepentingan umum. Hukum pidana memberikan jaminan
kepada setiap individu dengan sanksinya yang tegas. Dari sinila saya mengambil pandangan
tentang hubungan antara kriminologi dan Hukum Pidana yang saya rasa memiliki kaitan yang
erat satu sama lian. Karena kriminolgi mengkaji tentang orang yang melakukan tidak pidana
dan lingkungannya.
Sebelum membahas tentang inti dari pembahasan materi ini (Hubungan kejahatan
dengan Hukum Pidana) ada baiknya terlebih dahulu saya membahas tentang berbagai faktor
yang menjadi pemicu perkembangan kriminologi.
Kriminologi merupakan sebuah ilmu yang penting dan dibutuhkan, namun masi
banyak orang yang belum tertarik untuk mempelajarinya. Padahal dengan mempelajari
kriminologi kita dapat melihat dan mempelajari macam-macam kejahatan serta akar-akarnya
yang mengakibatkan timbulnya kejahatan.

5
Adanya pemikaran bahwa manusia dapat menjadi serigalah bagi manusia lain (Homo
homimi lupus) secara otomatis manusia hidup dihantui oleh rasa ketakutan. Di sekeliling
kehidupannya terdapat sebuah ancaman dan rasa resah yang selalu terjadi dalam kehidupan
tersebut. Maka, dengan munculnya pemikiran di atas tidaklah salah bilah dikatakan hukum
yang berlaku tersebut adalah hukum rimba. Siapa yang kuat dialah yang berkuasa. “Manusia
adalah zoo on politicon” sehingga manusia sangat mendambahkan kehidupan yang aman dan
teratur dan jauh dari segalah ancaman. Dengan perspektif tersebut maka diperlukan suatu
norma untuk mengatur kehidupanya. Sehingga manusia tidak merasa was-was saat
menjalankan aktifitasnya di tengah-tengah masyarakat social di tempat manusia itu tinggal
yang adalah srigalah.
Tujuan dari norma adalah untuk ditaati, dan agar bisa ditaati maka norma tersebut
harus disertai dengan sanksi yang tegas dan nyata, entah berupa sanksi sosial maupun sanksi
dari pemerintah yang kemudian dituangkan dalam aturan hukum.
Tugas utama dari pada hukum adalah mencapai suatu keserasian antara kepastian dan
kesebandingan hukum. Kemudian berbicara mengenai sanksi, ancaman terberat ada di dalam
Hukum Pidana. Sanksi tersebut dapat menimbulkan derita dan juga nestapa dan dapat dilihat
dalam pasal 10 KUH Pidana.
Pada dasarnya ada dua faktor yang memicu perkembangan kriminologi yaitu :
1. Ketidakpuasan terhadap hukum pidana, hukum acara pidana dan sistem penghukuman
Hukum pidana (pasal 10 KUHP) menetapkan empat bentuk hukuman pokok bagi
seorang prilaku tindak pidana yaitu, hukuman mati, penjara, kurungan dan denda. Hukum
pidana suda ada dengan begitu hebat namun kejahatan tetap terjadi.
Pada dasarnya pembentuk Hukum Pidana memiliki keinginan bahawa suatu saat
kejahatan akan musana/lenyap maka di sinilah kriminologi memegang peran penting.
Kenyataan bahwa hukum pidana tidaklah efektif. Thomas More membuktikan bahwa sanksi
yang berat bukanlah faktor yang utama untuk memacu efektifitas dari hukum pidana.
Dizamannya banyak orang bergrumunan menyaksikan orang dihukum mati 24 penjahat
namun, masi ada pulah orang yang memanfaatkan momen tersebut untuk mencopet. Suatu
gambaran bahwa orang menjadi masa bodoh dengan hukum pidana.
2. Penerapan metode statistik
Statistik adalah pengamatan masal dengan menggunakan angka-angka yang
merupakan salah satu pendorong perkembangan ilmu pengetahuan sosial abad ke-17. G. Von
Mayr (1841-1925). Dalam bukunya Satatistik Gerichtilichen Polizeiim Konigreiche Bayern

6
und in einigen andern Landern, ia mengaskan bahwa dalam perkembangan antara tingkat
pencurian dengan tingkat kenaikan harga gandum terdapat kesejajaran (positif).
2. Hubungan (Kaitan) Antara Kriminologi Dengan Hukum Pidana
Salah satu faktor yang menyebabkan ilmu kriminologi semakin berkembang adalah
ketidak puasan terhadap Hukum Pidana seperti yang telah dijelaskan di atas namun itu bukan
menjadi pokok bahasan utama. Yang menjadi perhatian utama adalah, “Bagaimana hubungan
antara kriminologi dengan Hukum Pidana? Berdasarkan pertanyaan tersebut maka disini saya
akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut dari beberapa sumber. Kita tahu bahwa
kriminologi dan hukum pidana merupakan suatu disiplin ilmu yang sudah berdiri sendiri.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya telah di sebutkan bahwa Hukm Pidana itu ialah hukum
yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap
kepentingan umum perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu
penderitaan atau siksaan. Hukum pidana adalah teori mengenai aturan-aturan atau norma-
norma, sedangkan kriminologi adalah teori tentang gejalah hukum. Dari pengertian ini jelas
memiliki dasar jika saya katakana bahwa kriminologi lahir karena adanya suatu perbuatan
kejahatan di lingkungan masyarakat sosial.
Kendati kriminologi dan hukum pidana berseberangan, namun sinergi keduanya dapat
menciptakan kebijakan hukum pidana yang lebih terarah. Di satu sisi, kriminologi merupakan
ilmu empirik yang bersentuhan dengan realitas sosial dinilai mampu menggambarkan
kenyataan masyarakat yang sebenarnya. Namun demikian, kriminologi tidak mampu
memberikan kata akhir guna mewujudkan pencegahan kejahatan. Di sisi lain, (kebijakan)
hukum pidana merupakan ilmu normatif yang membutuhkan masukan tentang fakta empirik
masyarakat. Kemampuan hukum pidana terletak pada pengugeran norma melalui mekanisme
yang jelas. Karena itu, kualitas norma yang diatur dalam hukum pidana bergantung kepada
sejauh mana kriminologi memberikan masukan tentang realitas sosial yang perlu diatur
sehingga norma hukum pidana menjadi lebih berisi. Dalam buku (Dr. Indah Sri Utari,
SH,.MHUm tentang “Aliran dan teori dalam kriminologi” menyebutkan bahwa Kriminologi
dan hukum Pidana bertemu dalam kejahatan yaitu tingkah laku atau perbuatan yang diancam
pidana. Perbedaan Hukum Pidana dan kriminologi terletak pada objeknya, yaitu objek
utama hukum pidana ialah menujuk kepada apa yang dapat dipidana menurut norma-noram
hukum yang berlaku sedangkan perhatian kriminologi tertuju pada manusia yang melanggar
hukum pidana dan lingkungan manusia-manusia tersebut. Akan tetapi, perbedaan itu tidak

7
begitu sederhana karena ada suatu hubungan saling bergantung atau ada interaksi antara
hukum Pidana dan kriminologi.
Objek Kriminologi Adalah:
1. Kejahatan
Kejahatan yang dimaksud disini adalah kejahatan dalam arti pelanggaran terhadap
undang-undang pidana. Disinilah letak berkembangnya kriminologi dan sebagai salah satu
pemicu dalam perkembangan kriminologi. Mengapa demikian, perlu dicatat, bahwa kejahatan
dedefinisikan secara luas, dan bentuk kejahatan tidak sama menurut tempat dan waktu.
Kriminologi dituntut sebagai salah satu bidang ilmu yang bisa memberikan sumbangan
pemikiran terhadap kebijakan hukum pidana. Dengan mempelajari kejahatan dan jenis-jenis
yang telah dikualifikasikan, diharapkan kriminologi dapat mempelajari pula tingkat
kesadaran hukum masyarakat terhadap kejahatan yang dicantumkan dalam undang-undang
pidana.
2. Pelaku
Sangat sederhana sekali ketika mengetahui objek kedua dari kriminlogi ini. Setelah
mempelajari kejahatannya, maka sangatlah tepat kalau pelaku kejahatan tersebut juga
dipelajari. Akan tetapi, kesederhanaan pemikiran tersebut tidak demikian adanya, yang dapat
dikualifikasikan sebagai pelaku kejahatan untuk dapat dikategorikan sebagai pelaku adalah
mereka yang telah ditetapkan sebagai pelanggar hukum oleh pengadilan. Objek
penelitian kriminologi tentang pelaku adalah tentang mereka yang telah melakukan
kejahatan, dan dengan penelitian tersebut diharapkan dapat mengukur tingkat kesadaran
masyarakat terhadap hukum yang berlaku dengan muaranya adalah kebijakan hukum pidana
baru.
3. Reaksi masyarakat terhadap perbuatan melanggar hukum dan pelaku kejahatan
Tidaklah salah kiranya, bahwa pada akhirnya masyarakatlah yang menentukan
tingkah laku yang bagaimana yang tidak dapat dibenarkan serta perlu mendapat sanksi
pidana. Sehingga dalam hal ini keinginan-keinginan dan harapan-harapan masyarakat inilah
yang perlu mendapatkan perhatian dari kajian-kajian kriminologi.
Menurut D.Simons, unsur-unsur strarfbaarfeit adalah:
a. Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan);
b. Diancam dengan pidana (stratbaar gesteld);
c. Melawan hukum (onrechmatig);
d. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband stand);

8
e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar persoon).
Simons menyebutkan adanya unsur objektif dan unsur subjektif dari strafbaarfeit.
a. Unsur objektif antara lain :
1) Perbuatan orang;
2) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu;
3) Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam Pasal 281
KUHP sifat “di muka umum”
b. Unsur subjektif yaitu :
1) Orang yang mampu bertanggung jawab;
2) Adanya kesalahan (dolus atau culpa);
Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan
dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan.
Interaksi antara Hukum Pidana dan Kriminologi disebabkan oleh :
1. Saat ini perkembangan Hukum Pidana memberi kedudukan penting bagi keperibadian
pelaku tindak pidana dengan memperhatikan kepribadian si penjahat dan menghubungkan
dengan sifat dan berat ringannya (ukuran) hukuman.
2. Sejak dahulu tidak pidana yang dilakukan oleh orang gila atau anak-anak diberi
perlakuan khusus. Akan tetapi, perhatian terhadap individu yang melakukan perbuatan,
sekarang ini seakan- akan telah mencapai arti yang berbeda sekali dari usaha-usaha
sebelumnya. Sehubungan dengan ini pengertian-pengertian tentang kriminologi telah
terwujud sedemikian rupa dalam hukum pidana sehingga criminal science sekaang
menghadapi masalah-masalah dan tugas-tugas yang sama sekali baru dan hubugannya sangat
erat dengan Kriminologi.
Walupun kriminologi memiliki memiliki hubungan yang sangat erat dengan Hukum
Pidana namun sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri maka kriminologi tidak begitu
tergantung pada nilai-nilai hokum pidana.
Kriminologi merupakan suatu ilmu pengetahuan yang deskriptif (mengambarkan) dan
empirak berdasarkan hal-hal yang nyata dan tidak normative, akan tetapi obyek
penyelidikannya tertuju kepada kriminalitas tidak mungkin ditentukan tanpa ukuran-ukran
berdasarkan penilaian masyarakat.
Hubungan yang erat dengan kriminalitas merupakan syarat utama sehingga
berlakunya norma-norma hukum pidana dapat di awasi oleh kriminologi. Huungan ini
penting juga dipandang dari sudut praktis. Akan tetapi, lapangan kriminologi tidak dapat

9
ditentukan sesuai dengan pengertian crime menurut hokum pidana karena
pengertian crime selalu berubah atau tidak tetap (not invariable) menurut waktu dan tempat.
3.Sumbangan Kriminologi Terhadap Hukum Pidana
Dari pandangan di atas dapat saya gambarkan bahwa kriminologi memberikan
sumbangan besar terhadap Hukum Pidana karena berlakunya norma-norma hukum pidana
dapat diawasi oleh kriminologi. Dalam hubungan dengan dogmatik hukum pidana,
kriminologi memberikan kontribusinya dalam menentukkan ruang lingkup kejahatan atau
prilaku yang dapat dihukum. Sejalan dengan sinergi hukum pidana dan kriminologi, Profesor
Sahetapy menegaskan bahwa “... kriminologi menghidupkan dengan memberi masukan dan
dorongan pada hukum pidana dan sebaliknya hukum pidana memberi bahan studi dan data
kepada kriminologi mengenai pelbagai ketentuan dan ancaman pidana...”.
Penutup
“Tanpa sinergi keduanya, maka kriminologi tidak lebih dari ilmu empirik yang hanya
menggambarkan kausa kejahatan, tanpa disertai kemampuan untuk memberikan sentuhan
akhir dalam bentuk penanggulangan kejahatan. Sebaliknya, hukum pidana tanpa
krimonologi menjadi kosong karena mungkin saja hukum pidana keliru memindai perilaku-
perilaku masyarakat yang seharusnya diatur dalam hukum pidana”. (Profesor Sahetapy).

10

Anda mungkin juga menyukai