NPM : 10040020254
Kelas : B
Resume materi 1 sampai 7
B. Percobaan (Poging)
Diatur dalam Buku I tentang Aturan Umum, Bab IV Pasal 53 dan 54 KUHP.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, kata percobaan atau poging berarti suatu usaha
mencapai suatu tujuan, yang pada akhirnya tidak atau belum tercapai. Menurut
MvT (Memorie van Toelichting=penjelasan UU) ialah suatu kehendak seseorang
untuk melakukan tindak pidana yang telah tampak terwujud dengan permulaan
pelaksanaan (tapi belum selesai juga).
Dapat disimpulkan, poging adalah suatu kejahatan telah mulai dilakukan, tetapi
tidak dapat diselesaikan sesuai dengan maksud si pelaku. Contohnya, A adalah
seorang copet, pada saat memasukkan tangan ke kantong B, ia tertangkap.
Walaupun B belum kehilangan sesuatu atau maksud pelaku belum terlaksana,
perbuatan a merupakan perbuatan yang membahayakan kepentingan orang lain
yang dilindungi oleh hukum dan layak diancam dengan hukuman.
a) Pandangan mengenai sifat dari percobaan.
1. Percobaan dipandang sebagai strafausdehnungsgrund (dasar/alasan
memperluas dapat dipidananya orang), percobaan tidaklah dipandang
sebagai jenis atau bentuk delik yang tersendiri (delictum sui generis)
tetapi dipandang sebagai bentuk delik yang tidak sempurna
(onvolkomen delictsvrom). (Hazewinkel-Suringa dan Oemar Seno
Adji).
2. Percobaan dipandang sebagai tatbestandausdehnungsgrund
(dasar/alasan memperluas dapat dipidananya perbuatan), percobaan
bukanlah bentuk delik yang tidak sempurna tetapi merupakan delik
yang sempurna hanya dalam bentuk yang khusus, jadi merupakan
suatu delik tersendiri (delictum sui generis). (Pompe dan Moeljatno).
b) Dasar patut dipidananya percobaan.
Terdapat beberapa teori, sebagai berikut:
1. Teori Subjektif, dasar patut dipidananya percobaan terletak pada
sikap batin atau perilaku yang berbahaya dari si pembuat, artinya
apabila sudah ada niat maka ada perbuatan pelaksanaan. (Van Hamel)
2. Teori Objektif, dasar patut dipidananya percobaan terletak pada sifat
berbahayanya perbuatan yang dilakukan oleh si pembuat, apabila
kegiatan sudah membahayakan orang lain. Teori objektif dibagi
menjadi dua yaitu:
Teori Objektif-Formil, apabila seseorang melakukan perbuatan
percobaan, Ia telah melakukan sebagian dari rangkaian delik yang
terlarang itu, dan telah membahayakan tata hukum. (Duynstee dan
Zevenbergen)
Teori Objektif-Materil, menitikberatkan pada sifat berbahayanya
perbuatan Kepentingan hukum. (Simons)
3. Teori Campuran, Teori ini melihat dasar patut dipidananya percobaan
dari 2 segi yaitu, sikap batin pembuat yang berbahaya (Subjektif) dan
juga sifat berbahaya nya perbuatan (Objektif). (Moeljatno)
c) Syarat atau unsur-unsur percobaan.
Berdasarkan rumusan pasal 53 ayat 1 di simpulkan unsur-unsur
percobaan yaitu:
1. Adanya niat.
Niat merupakan suatu keinginan untuk melakukan sesuatu perbuatan
dan ia berada di alam batiniah seseorang. Niat seseorang dapat
diketahui dari tindakan atau perbuatan yang merupakan permulaan
dari pelaksanaan niat. Oleh karena itu dalam percobaan, niat
seseorang untuk melakukan percobaan dihubungkan dengan
permulaan pelaksanaan.
2. Adanya permulaan pelaksanaan.
Dalam hal ini, telah dimulai pelaksanaan suatu perbuatan yang dapat
dipandang sebagai salah satu unsur dari norma pidana. Ada beberapa
teori yang menjelaskan permulaan pelaksanaan, antara lain :
Teori subjektif (G. A. Van Hamel), adanya perbuatan pelaksanaan
yang menunjukkan sikap berbahayanya dan bahwa ia sanggup
menyelesaikan kejahatannya.
Teori obyektif (D. Sumons), pembuat harus melakukan segala
sesuatu untuk menimbulkan akibat tanpa campur tangan siapapun,
kalau tidak dihalangi oleh kejadian yang bukan karena
kehendaknya.
Perbuatan pelaksanaan harus dibedakan dengan perbuatan persiapan.
o Perbuatan pelaksanaan menurut Hoge Raad, adalah perbuatan
yang hanya menurut pengalaman orang dengan tidak dilakukan
perbuatan lagi.
o Perbuatan persiapan, adalah segala perbuatan yang mendahului
perbuatan permulaan pelaksanaan, serta tidak termasuk perbuatan
pidana. Misalnya membeli senjata untuk membunuh orang.
3. Keadaan, yakni tidak selesainya pelaksanaan bukan karena kehendak
dalam dirinya atau kehendak sendiri.
Kejahatan yang telah dimulai pelaksanaannya oleh orang tersebut,
akhirnya tidak selesai yang disebabkan oleh sesuatu yang diluar
dirinya atau bukan atas kehendak sendiri.
C. Penyertaan (Deelneming)
a) Pengertian
Diatur dalam Buku I tentang aturan umum, Bab V pasal 55-62 KUHP.
Ajaran tentang penyertaan lahir pada abad ke-18, dipelopori oleh Van
Feuerbach. Perbuatan penyertaan adalah meliputi semua bentuk turut serta
atau terlibat seseorang sehingga melahirkan suatu tindak pidana, masing-
masing dari mereka berbeda satu dengan yang lain. Hubungan antar
peserta dalam menyelesaikan delik tersebut adalah :
Bersama-sama melakukan kejahatan.
Seseorang mempunyai kehendak dan merencanakan suatu kejahatan
Sedangkan ia mempergunakan orang lain untuk melaksanakan tindak
pidana tersebut.
Seorang saja yang melaksanakan tindak pidana, sedangkan orang lain
membantu melaksanakannya.
Penyertaan dapat dibagi menurut sifatnya:
o Bentuk penyertaan berdiri sendiri, yang melakukan dan yang turut
serta melakukan tindak pidana serta pertanggungjawaban masing-
masing atas segala perbuatan yang dilakukan.
o Bentuk penyertaan yang tidak berdiri sendiri, pembujukan pembantu,
dan yang menyuruh untuk melakukan tindak pidana.
b) Beberapa pandangan tentang sifat penyertaan:
1. Sebagai dasar memperluas dapat dipidananya seseorang, penyertaan
dipandang sebagai persoalan pertanggungjawaban pidana, serta bukan
suatu delik sebab bentuknya tidak sempurna. (Simons, van Hattum,
Hazewingkel-Suringa).
2. Sebagai memperluas dapat dipidananya perbuatan, penyertaan
dipandang sebagai bentuk khusus tindak pidana, serta merupakan suatu
delik. (Pompe, Moeljatno, Roeslan Saleh)
c) Istilah penyertaan:
1. Turut campur dalam peristiwa pidana (Tresna).
2. Turut berbuat delik (Karni).
3. Turut serta (Utrecht).
4. Deelneming (Belanda); Compicity (Inggris);
Teilnahme/Tatermehrhaeit (Jerman); Participation (Perancis).
d) Penyertaan menurut KUHP Indonesia.
Diatur dalam pasal 55 dan 56 KUHP, penyertaan dibagi menjadi dua
pembagian besar yaitu:
a. Pembuat/Dader (pasal 55) yang terdiri dari:
1) Pelaku (pleger)
Adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi
perumusan delik dan dipandang paling bertanggung jawab atas
kejahatan.
2) Yang menyuruh melakukan (deonpleger)
Adalah orang yang melakukan perbuatan dengan perantara orang
lain dengan perantara itu hanya digunakan sebagai alat. Jadi ada
dua pihak, yaitu pembuat langsung dan pembuat tidak langsung.
3) Yang turut serta (Medepleger)
Orang yang turut melakukan adalah orang yang dengan sengaja
turut berbuat dalam melakukan suatu delik.
4) Penganjur (uitlokker)
Adalah orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan
suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana sarana yang
ditentukan oleh undang-undang secara limitatif, yaitu memberi
atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan,
kekerasaan ancaman, atau penyesatan, dengan memberikan
kesempatan sarana atau keterangan (pasal 55 ayat 1 angka 2
KUHP).
b. Pembantu/Medeplichtige (pasal 56) terdiri dari:
1) Membantu pada saat kejahatan dilakukan, bersifat membantu atau
menunjang, pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa
diisyaratkan harus kerja sama dan tidak bertujuan atau
berkepentingan sendiri.
2) Membantu sebelum kejahatan dilakukan, dengan cara memberi
kesempatan, sarana atau keterangan titik ini mirip dengan
penganjuran (uitlokking).