Anda di halaman 1dari 9

Nama : Syifa Khoerunnisa

NPM : 10040020254
Kelas : B
Resume materi 1 sampai 7

A. Urgensi Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia


Pembaharuan hukum pidana (penal reform) mengandung makna, suatu upaya
untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan
nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofis dan sosio-kultural masyarakat
Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan
penegakan hukum di Indonesia. Pembaharuan hukum pidana harus ditempuh
dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan dan sekaligus pendekatan
yang berorientasi pada nilai, serta harus ditujukan pada 3 bidang hukum pidana,
yaitu hukum pidana materiil (KUHP), hukum pidana formiil (KUHAP), dan
hukum pelaksanaan pidana (pemasyarakatan).
Pelaksanaan pembaharuan terhadap hukum pidana materiil (KUHP) yang
merupakan warisan Belanda (S. 1915 No. 732) masih bersifat tambal sulam, beluk
dilakukan secara menyeluruh. Terhadap hukum pidana formil (KUHAP) sudah
selesai dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana, yang menggantikan HIR (Het Herziene Inlandsch
Reglement) S. 1941 No. 44 (warisan Belanda) dihubungkan dengan Undang
Undang No. 1 drt. 1951 beserta semua peraturan pelaksanaannya sepanjang hal itu
mengenai hukum acara pidana. Sedangkan dalam bidang hukum pelaksanaan
pidana (pemasyarakatan) sudah selesai dengan diundangkannya Undang Undang
No. 12 Tahun 1995 tentang Permasyarakatan, yang menggantikan Reglemen
Kepenjaraan (Gestichten Reglement) S. 1917 No. 708.
a) Alasan-alasan atau urgensi dilakukan pembaharuan hukum pidana di
Indonesia.
1. Alasan Politik, KUHP yang diciptakan sendiri dapat dipandang
sebagai lambang dan merupakan kebanggaan suatu negara yang telah
merdeka dan yang telah melepaskan diri dari kungkungan
penjajarahan politik.
2. Alasan Sosiologis, pengaturan dalam hukum pidana merupakan
pencerminan ideologi politik suatu bangsa dimana hukum itu
berkembang, sehingga nilai sosial budaya bangsa itu mendapat
tempat dalam pengaturan hukum pidana.
3. Alasan Praktis (kebutuhan dalam praktek), Teks resmi KUHP masih
bahasa Balanda, maka orang harus mengerti bahasa Belanda, tidak
mungkin diharapkan dari bangsa yang sudah merdeka yang
mempunyai bahasa nasionalnya sendiri.
4. Alasan Adaptif, Hukum Pidana (KUHP) dimasa mendatang harus
dapat menyesuaikan diri dengan pekembangan-perkembangan
Internasional yang sudah disepakati oleh masyarakat.
b) Cara-cara melakukan pembaharuan hukum pidana di Indonesia.
1. Kriminalisasi, perubahan nilai yang menyebabkan beberapa
perbuatan yang sebelumnya perbuatan yang tidak tercela dan tidak
dituntut pidana, berubah menjadi perbuatan yang dipandang tercela
dan perlu dipidana.
2. Dekriminalisasi, perubahan penilaian terhadap beberapa perbuatan
yang diancam pidana menjadi perbuatan yang dipandang sebagai
bukan kejahatan yang perlu dipidana.
3. Rekriminalisasi, perubahan penilaian terhadap beberapa perbuatan
yang diancam pidana menjadi perbuatan yang dipandang sebagai
bukan kejahatan yang perlu dipidana tetapi dalam perkembangannya
perbuatan tersebut perlu dijadikan delik kembali.
4. Mitigering, merubah ketentuan sanksi pidana yang lebih ringan, atau
pengurangan beratnya suatu sanksi dalam kategori sanksi yang sama,
serta dari sanksi pidana menjadi sanksi keperdataan atau sanksi
administratif.

B. Percobaan (Poging)
Diatur dalam Buku I tentang Aturan Umum, Bab IV Pasal 53 dan 54 KUHP.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, kata percobaan atau poging berarti suatu usaha
mencapai suatu tujuan, yang pada akhirnya tidak atau belum tercapai. Menurut
MvT (Memorie van Toelichting=penjelasan UU) ialah suatu kehendak seseorang
untuk melakukan tindak pidana yang telah tampak terwujud dengan permulaan
pelaksanaan (tapi belum selesai juga).
Dapat disimpulkan, poging adalah suatu kejahatan telah mulai dilakukan, tetapi
tidak dapat diselesaikan sesuai dengan maksud si pelaku. Contohnya, A adalah
seorang copet, pada saat memasukkan tangan ke kantong B, ia tertangkap.
Walaupun B belum kehilangan sesuatu atau maksud pelaku belum terlaksana,
perbuatan a merupakan perbuatan yang membahayakan kepentingan orang lain
yang dilindungi oleh hukum dan layak diancam dengan hukuman.
a) Pandangan mengenai sifat dari percobaan.
1. Percobaan dipandang sebagai strafausdehnungsgrund (dasar/alasan
memperluas dapat dipidananya orang), percobaan tidaklah dipandang
sebagai jenis atau bentuk delik yang tersendiri (delictum sui generis)
tetapi dipandang sebagai bentuk delik yang tidak sempurna
(onvolkomen delictsvrom). (Hazewinkel-Suringa dan Oemar Seno
Adji).
2. Percobaan dipandang sebagai tatbestandausdehnungsgrund
(dasar/alasan memperluas dapat dipidananya perbuatan), percobaan
bukanlah bentuk delik yang tidak sempurna tetapi merupakan delik
yang sempurna hanya dalam bentuk yang khusus, jadi merupakan
suatu delik tersendiri (delictum sui generis). (Pompe dan Moeljatno).
b) Dasar patut dipidananya percobaan.
Terdapat beberapa teori, sebagai berikut:
1. Teori Subjektif, dasar patut dipidananya percobaan terletak pada
sikap batin atau perilaku yang berbahaya dari si pembuat, artinya
apabila sudah ada niat maka ada perbuatan pelaksanaan. (Van Hamel)
2. Teori Objektif, dasar patut dipidananya percobaan terletak pada sifat
berbahayanya perbuatan yang dilakukan oleh si pembuat, apabila
kegiatan sudah membahayakan orang lain. Teori objektif dibagi
menjadi dua yaitu:
 Teori Objektif-Formil, apabila seseorang melakukan perbuatan
percobaan, Ia telah melakukan sebagian dari rangkaian delik yang
terlarang itu, dan telah membahayakan tata hukum. (Duynstee dan
Zevenbergen)
 Teori Objektif-Materil, menitikberatkan pada sifat berbahayanya
perbuatan Kepentingan hukum. (Simons)
3. Teori Campuran, Teori ini melihat dasar patut dipidananya percobaan
dari 2 segi yaitu, sikap batin pembuat yang berbahaya (Subjektif) dan
juga sifat berbahaya nya perbuatan (Objektif). (Moeljatno)
c) Syarat atau unsur-unsur percobaan.
Berdasarkan rumusan pasal 53 ayat 1 di simpulkan unsur-unsur
percobaan yaitu:
1. Adanya niat.
Niat merupakan suatu keinginan untuk melakukan sesuatu perbuatan
dan ia berada di alam batiniah seseorang. Niat seseorang dapat
diketahui dari tindakan atau perbuatan yang merupakan permulaan
dari pelaksanaan niat. Oleh karena itu dalam percobaan, niat
seseorang untuk melakukan percobaan dihubungkan dengan
permulaan pelaksanaan.
2. Adanya permulaan pelaksanaan.
Dalam hal ini, telah dimulai pelaksanaan suatu perbuatan yang dapat
dipandang sebagai salah satu unsur dari norma pidana. Ada beberapa
teori yang menjelaskan permulaan pelaksanaan, antara lain :
 Teori subjektif (G. A. Van Hamel), adanya perbuatan pelaksanaan
yang menunjukkan sikap berbahayanya dan bahwa ia sanggup
menyelesaikan kejahatannya.
 Teori obyektif (D. Sumons), pembuat harus melakukan segala
sesuatu untuk menimbulkan akibat tanpa campur tangan siapapun,
kalau tidak dihalangi oleh kejadian yang bukan karena
kehendaknya.
Perbuatan pelaksanaan harus dibedakan dengan perbuatan persiapan.
o Perbuatan pelaksanaan menurut Hoge Raad, adalah perbuatan
yang hanya menurut pengalaman orang dengan tidak dilakukan
perbuatan lagi.
o Perbuatan persiapan, adalah segala perbuatan yang mendahului
perbuatan permulaan pelaksanaan, serta tidak termasuk perbuatan
pidana. Misalnya membeli senjata untuk membunuh orang.
3. Keadaan, yakni tidak selesainya pelaksanaan bukan karena kehendak
dalam dirinya atau kehendak sendiri.
Kejahatan yang telah dimulai pelaksanaannya oleh orang tersebut,
akhirnya tidak selesai yang disebabkan oleh sesuatu yang diluar
dirinya atau bukan atas kehendak sendiri.

C. Penyertaan (Deelneming)
a) Pengertian
Diatur dalam Buku I tentang aturan umum, Bab V pasal 55-62 KUHP.
Ajaran tentang penyertaan lahir pada abad ke-18, dipelopori oleh Van
Feuerbach. Perbuatan penyertaan adalah meliputi semua bentuk turut serta
atau terlibat seseorang sehingga melahirkan suatu tindak pidana, masing-
masing dari mereka berbeda satu dengan yang lain. Hubungan antar
peserta dalam menyelesaikan delik tersebut adalah :
 Bersama-sama melakukan kejahatan.
 Seseorang mempunyai kehendak dan merencanakan suatu kejahatan
Sedangkan ia mempergunakan orang lain untuk melaksanakan tindak
pidana tersebut.
 Seorang saja yang melaksanakan tindak pidana, sedangkan orang lain
membantu melaksanakannya.
Penyertaan dapat dibagi menurut sifatnya:
o Bentuk penyertaan berdiri sendiri, yang melakukan dan yang turut
serta melakukan tindak pidana serta pertanggungjawaban masing-
masing atas segala perbuatan yang dilakukan.
o Bentuk penyertaan yang tidak berdiri sendiri, pembujukan pembantu,
dan yang menyuruh untuk melakukan tindak pidana.
b) Beberapa pandangan tentang sifat penyertaan:
1. Sebagai dasar memperluas dapat dipidananya seseorang, penyertaan
dipandang sebagai persoalan pertanggungjawaban pidana, serta bukan
suatu delik sebab bentuknya tidak sempurna. (Simons, van Hattum,
Hazewingkel-Suringa).
2. Sebagai memperluas dapat dipidananya perbuatan, penyertaan
dipandang sebagai bentuk khusus tindak pidana, serta merupakan suatu
delik. (Pompe, Moeljatno, Roeslan Saleh)
c) Istilah penyertaan:
1. Turut campur dalam peristiwa pidana (Tresna).
2. Turut berbuat delik (Karni).
3. Turut serta (Utrecht).
4. Deelneming (Belanda); Compicity (Inggris);
Teilnahme/Tatermehrhaeit (Jerman); Participation (Perancis).
d) Penyertaan menurut KUHP Indonesia.
Diatur dalam pasal 55 dan 56 KUHP, penyertaan dibagi menjadi dua
pembagian besar yaitu:
a. Pembuat/Dader (pasal 55) yang terdiri dari:
1) Pelaku (pleger)
Adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi
perumusan delik dan dipandang paling bertanggung jawab atas
kejahatan.
2) Yang menyuruh melakukan (deonpleger)
Adalah orang yang melakukan perbuatan dengan perantara orang
lain dengan perantara itu hanya digunakan sebagai alat. Jadi ada
dua pihak, yaitu pembuat langsung dan pembuat tidak langsung.
3) Yang turut serta (Medepleger)
Orang yang turut melakukan adalah orang yang dengan sengaja
turut berbuat dalam melakukan suatu delik.
4) Penganjur (uitlokker)
Adalah orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan
suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana sarana yang
ditentukan oleh undang-undang secara limitatif, yaitu memberi
atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan,
kekerasaan ancaman, atau penyesatan, dengan memberikan
kesempatan sarana atau keterangan (pasal 55 ayat 1 angka 2
KUHP).
b. Pembantu/Medeplichtige (pasal 56) terdiri dari:
1) Membantu pada saat kejahatan dilakukan, bersifat membantu atau
menunjang, pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa
diisyaratkan harus kerja sama dan tidak bertujuan atau
berkepentingan sendiri.
2) Membantu sebelum kejahatan dilakukan, dengan cara memberi
kesempatan, sarana atau keterangan titik ini mirip dengan
penganjuran (uitlokking).

D. Gabungan Melakukan Tindak Pidana (Concursus)


Gabungan melakukan tindak pidana sering diistilahkan dengan concursus atau
samenloop yang berarti perbarengan melakukan tindak pidana yang dilakukan
oleh seseorang, dimana salah satu dari perbuatan itu belum mendapatkan
keputusan tetap. Concursus diatur dalam pasal 63-71 Bab I Bab VI KUHP.
 Teori gabungan melakukan tindak pidana :
1. Absorbsi Stelsel, pidana yang dijatuhkan ialah pidana yang terberat di
antara beberapa pidana yang diancamkan, seakan-akan pidana yang
ringan diserap oleh pidana yang lebih berat. Kelemahan sistem ini
terdapat kecenderungan pada pelaku untuk melakukan perbuatan
pidana yang lebih ringan sehubungan dengan adanya ancaman
hukuman yang lebih berat. Dasar hukumnya adalah pasal 63 dan 64,
yaitu gabungan tindak pidana tunggal dan perbuatan yang dilanjutkan.
2. Absorbsi Stelsel yang Dipertajam, ancaman hukumannya adalah
hukuman yang terberat, namun masih harus ditambah 1/3 kali
maksimum hukuman terberat yang disebutkan, sistem ini dipergunakan
untuk gabungan tindak pidana berganda dimana ancaman hukuman
pokok nya ialah sejenis. Dasar hukumnya adalah pasal 65.
3. Cumulatie Stelsel, sistem kumulasi yang semua ancaman hukuman
dari gabungan tindak pidana tersebut dijumlahkan, tanpa ada
pengurangan apa-apa dari penjatuhan hukuman tersebut. Dasar
hukumnya adalah pasal 70 KUHP.
 Bentuk-bentuk gabungan melakukan tindak pidana:
1) Gabungan satu perbuatan atau concursus idealis (eendaadse
samenloop), yaitu gabungan suatu perbuatan apabila seseorang
melakukan suatu perbuatan dan dengan melakukan perbuatan itu Ia
melakukan pelanggaran atas beberapa peraturan pidana. Diatur dalam
pasal 63 ayat (1) KUHP.
2) Perbuatan berlanjut (voorgezette handeling), yaitu beberapa perbuatan
di mana antara satu dengan yang lainnya ada kaitannya, namun
masing-masing berdiri sendiri yang harus dipandang sebagai suatu
perbuatan yang dilanjutkan. Diatur dalam pasal 64 ayat (1) KUHP.
3) Gabungan beberapa perbuatan atau concursus realis (meerdaadse
samenloop), berupa kejahatan yang diancam pidana pokok sejenis
yaitu terhadap kejahatan+kejahatan: Pasal 65 KUHP, yaitu hanya
dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah pidana
maksimum tidak boleh lebih dari maksimum pidana terberat ditambah
sepertiga nya: Absorbsi yang dipertajam atau diperberat. KUHP
mengatur concursus realis dengan akibat-akibatnya pada pasal 65
sampai pasal 71.

E. Pengulangan Kejahatan (Recidive)


Yaitu apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa
delik yang berdiri sendiri. Pengulangan atau Recidive merupakan suatu hal atau
dasar yang memberatkan hukuman, diatur dalam buku KUHP II pasal 486.
Syarat-syarat recidive:
a) Terhadap kejahatan yang pertama telah dilakukan harus jelas ada
keputusan hakim yang mengandung hukuman.
b) Keputusan hakim tersebut harus merupakan keputusan yang tidak diubah
lagi (Kekuatan hukum tetap).
c) Dengan pasal 486 dan 487 KUHP ditentukan bahwa hukuman yang
dijatuhi berhubungan dengan perbuatan yang pertama harus merupakan
hukuman penjara, sedangkan didalam pasal 488 KUHP tidak ditentukan
hukuman apa yang telah dijatuhkan dalam perbuatan yang pertama.
Recidive dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Recidive Umum (General Recidive)
Adalah apabila seseorang melakukan kejahatan terhadap kejahatan yang
mana telah dijatuhi hukuman, maka apabila kemudian ia melakukan
kejahatan lagi yang dapat merupakan bentuk kejahatan apapun ini dapat
dipergunakan sebagai alasan untuk memberatkan hukuman.
2) Redicive Khusus (Special Recidive)
Yaitu apabila seseorang melakukan kejahatan dan terhadap kejahatan itu
dijatuhi hukuman oleh hakim, kemudian ia melakukan kejahatan lagi yang
sama atau sejenis dengan kejahatan yang pertama, maka persamaan
kejahatan yang dilakukan yang kemudian itu merupakan dasar untuk
memperberat hukuman.

Anda mungkin juga menyukai