Anda di halaman 1dari 31

HUKUM ACARA TINDAK PIDANA KORUPSI

UU NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG UU NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG


PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERUBAHAN ATAS UU NOMOR 31
KORUPSI TAHUN 1999
Pasal 25 -
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan dalam perkara tindak
pidana korupsi harus didahulukan dari perkara
lain guna penyelesaian secepatnya.
Pasal 26 Pasal 26 A
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk
sidang pengadilan terhadap tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat
korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara
(2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain
tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk
dalam Undang-undang ini.
tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh
dari :
1. alat bukti lain yang berupa informasi
yang diucapkan, dikirim, diterima,
atau disimpan secara elektronik
dengan alat optik atau yang serupa
dengan itu; dan
2. dokumen, yakni setiap rekaman data
atau informasi yang dapat dilihat,
dibaca, dan atau didengar yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa
bantuan suatu sarana, baik yang
tertuang di atas kertas, benda fisik
apapun selain kertas, maupun yang
terekam secara elektronik, yang
berupa tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto, huruf, tanda, angka,
atau perforasi yang memiliki makna.

Pasal 27 -
Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi
yang sulit pembuktiannya, maka dapat
dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi
Jaksa Agung.
Pasal 28 -
Untuk kepentingan penyidikan, tersangka
wajib memberikan keterangan tentang seluruh
harta bendanya dan harta benda istri atau
suami, anak, dan harta benda setiap orang
atau korporasi yang diketahui dan atau yang
diduga mempunyai hubungan dengan tindak
pidana korupsi yang dilakukan tersangka.
Pasal 29 -
(1) Untuk kepentingan penyidikan,
penuntutan, atau pemeriksaan di
sidang pengadilan, penyidik, penuntut
umum, atau hakim berwenang
meminta keterangan kepada bank
tentang keadaan keuangan tersangka
atau terdakwa.
(2) Permintaan keterangan kepada bank
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diajukan kepada Gubernur Bank
Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Gubernur Bank Indonesia
berkewajiban untuk memenuhi
permintaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dalam waktu selambat-
lambatnya 3 (tiga) hari kerja, terhitung
sejak dokumen permintaan diterima
secara lengkap.
(4) Penyidik, penuntut umum, atau hakim
dapat meminta kepada bank untuk
memblokir rekening simpanan milik
tersangka atau terdakwa yang diduga
hasil dari korupsi.
(5) Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap
tersangka atau terdakwa tidak
diperoleh bukti yang cukup, atas
permintaan penyidik, penuntut umum,
atau hakim, bank pada hari itu juga
mencabut pemblokiran.
Pasal 30 -
Penyidik berhak membuka, memeriksa, dan
menyita surat dan kiriman melalui pos,
telekomunikasi atau alat lainnya yang
dicurigai mempunyai hubungan dengan
perkara tindak pidana korupsi yang sedang
diperiksa.
Pasal 31 -
(1) Dalam penyidikan dan pemeriksaan di
sidang pengadilan, saksi dan orang
lain yang bersangkutan dengan tindak
pidana korupsi dilarang menyebut
nama atau alamat pelapor, atau hal-hal
lain yang memberikan kemungkinan
dapat diketahuinya identitas pelapor.
(2) Sebelum pemeriksaan dilakukan,
larangan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diberitahukan kepada
saksi dan orang lain tersebut.
Pasal 32 -
(1) Dalam hal penyidik menemukan dan
berpendapat bahwa satu atau lebih
unsur tindak pidana korupsi tidak
terdapat cukup bukti, sedangkan
secara nyata telah ada kerugian
keuangan negara, maka penyidik
segera menyerahkan berkas perkara
hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa
Pengacara Negara untuk dilakukan
gugatan perdata atau diserahkan
kepada instansi yang dirugikan untuk
mengajukan gugatan.
(2) Putusan bebas dalam perkara tindak
pidana korupsi tidak menghapuskan
hak untuk menuntut kerugian terhadap
keuangan negara.
Pasal 33 -
Dalam hak tersangka meninggal dunia pada
saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara
nyata telah ada kerugian keuangan negara,
maka penyidik segera menyerahkan berkas
perkara hasil penyidikan tersebut kepada
Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan
kepada instansi yang dirugikan untuk
dilakukan gugatan perdata terhadap ahli
warisnya.

Pasal 34 -
Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada
saat dilakukan pemeriksaan di sidang
pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada
kerugian keuangan negara, maka penuntut
umum segera menyerahkan salinan berkas
berita acara sidang tersebut kepada Jaksa
Pengacara Negara atau diserahkan kepada
instansi yang dirugikan untuk dilakukan
gugatan perdata terhadap ahli warisnya.
Pasal 35
(1) Setiap orang wajib memberi
keterangan sebagai saksi atau ahli,
kecuali ayah, ibu, kakek, nenek,
saudara kandung, istri atau suami,
anak, dan cucu dari terdakwa.
(2) Orang yang dibebaskan sebagai saksi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dapat diperiksa sebagai saksi apabila
mereka menghendaki dan disetujui
secara tegas oleh terdakwa.
(3) Tanpa persetujuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), mereka
dapat memberikan keterangan sebagai
saksi tanpa disumpah.
Pasal 36 -
Kewajiban memberikan kesaksian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
berlaku juga terhadap mereka yang menurut
pekerjaan, harkat dan martabat atau
jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia,
kecuali petugas agama yang menurut
keyakinannya harus menyimpan rahasia.
Pasal 37
Pasal 37 dipecah menjadi 2 (dua) pasal
(1) Terdakwa mempunyai hak untuk
yakni menjadi Pasal 37 dan Pasal 37 A
membuktikan bahwa ia tidak
dengan ketentuan sebagai berikut:
melakukan tindak pidana korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa dapat Pasal 37 dengan substansi yang berasal
membuktikan bahwa ia tidak dari ayat (1) dan ayat (2) dengan
melakukan tindak pidana korupsi, penyempurnaan pada ayat (2) frasa yang
maka keterangan tersebut berbunyi "keterangan tersebut
dipergunakan sebagai hal yang dipergunakan sebagai hal yang
menguntungkan baginya. menguntungkan baginya" diubah menjadi
(3) Terdakwa wajib memberikan "pembuktian tersebut digunakan oleh
keterangan tentang seluruh harta pengadilan sebagai dasar untuk
bendanya dan harta benda istri atau menyatakan bahwa dakwaan tidak
suami, anak, dan harta benda setiap terbukti", sehingga bunyi keseluruhan
orang atau korporasi yang diduga Pasal 37 adalah sebagai berikut:
mempunyai hubungan dengan perkara
yang bersangkutan. Pasal 37
(4) Dalam hal terdakwa tidak dapat (1) Terdakwa mempunyai hak untuk
membuktikan tentang kekayaan yang membuktikan bahwa ia tidak
tidak seimbang dengan melakukan tindak pidana korupsi.
penghasilannya atau sumber
penambah kekayaannya, maka (2) Dalam hal terdakwa dapat
keterangan tersebut dapat digunakan membuktikan bahwa ia tidak
untuk memperkuat alat bukti yang melakukan tindak pidana korupsi,
maka pembuktian tersebut
sudah ada bahwa terdakwa telah dipergunakan oleh pengadilan sebagai
melakukan tindak pidana korupsi. dasar untuk menyatakan bahwa
(5) Dalam keadaan sebagaimana dakwaan tidak terbukti.
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
Pasal 37 A dengan substansi yang berasal
ayat (3), dan ayat (4), penuntut umum
dari ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dengan
tetap berkewajiban untuk
penyempurnaan kata "dapat" pada ayat (4)
membuktikan dakwaannya.
dihapus dan penunjukan ayat (1) dan ayat
(2) pada ayat (5) dihapus, serta ayat (3),
ayat (4), dan ayat (5) masing-masing
berubah menjadi ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3), sehingga bunyi keseluruhan
Pasal 37 A adalah sebagai berikut:
Pasal 37 A
(1) Terdakwa wajib memberikan
keterangan tentang seluruh harta
bendanya dan harta benda istri atau
suami, anak, dan harta benda setiap
orang atau korporasi yang diduga
mempunyai hubungan dengan perkara
yang didakwakan.
(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat
membuktikan tentang kekayaan yang
tidak seimbang dengan
penghasilannya atau sumber
penambahan kekayaannya, maka
keterangan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) digunakan untuk
memperkuat alat bukti yang sudah ada
bahwa terdakwa telah melakukan
tindak pidana korupsi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan
tindak pidana atau perkara pokok
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14,
Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan
Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga
penuntut umum tetap berkewajiban
untuk membuktikan dakwaannya.
Pasal 38
Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 ditambahkan
(1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil
3 (tiga) pasal baru yakni Pasal 38 A, Pasal 38
secara sah, dan tidak hadir di sidang
B, dan Pasal 38 C yang seluruhnya berbunyi
pengadilan tanpa alasan yang sah,
sebagai berikut :
maka perkara dapat diperiksa dan
diputus tanpa kehadirannya Pasal 38 A
(2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang
berikutnya sebelum putusan Pembuktian sebagaimana dimaksud dalam
dijatuhkan, maka terdakwa wajib Pasal 12 B ayat (1) dilakukan pada saat
diperiksa, dan segala keterangan saksi pemeriksaan di sidang pengadilan.
dan surat-surat yang dibacakan dalam Pasal 38 B
sidang sebelumnya dianggap sebagai
diucapkan dalam sidang yang (1) Setiap orang yang didakwa melakukan
sekarang. salah satu tindak pidana korupsi
(3) Putusan yang dijatuhkan tanpa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
kehadiran terdakwa diumumkan oleh Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14,
penuntut umum pada papan Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-
pengumuman pengadilan, kantor undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah, atau Pemberantasan Tindak Pidana
diberitahukan kepada kuasanya. Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan
(4) Terdakwa atau kuasanya dapat Pasal 12 Undang-undang ini, wajib
mengajukan banding atas putusan membuktikan sebaliknya terhadap
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). harta benda miliknya yang belum
(5) Dalam hal terdakwa meninggal dunia didakwakan, tetapi juga diduga berasal
sebelum putusan dijatuhkan dan dari tindak pidana korupsi.
terdapat bukti yang cukup kuat bahwa (2) Dalam hal terdakwa tidak dapat
yang bersangkutan telah melakukan membuktikan bahwa harta benda
tindak pidana korupsi, maka hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
atas tuntutan penuntut umum diperoleh bukan karena tindak pidana
menetapkan perampasan barang- korupsi, harta benda tersebut dianggap
barang yang telah disita. diperoleh juga dari tindak pidana
(6) Penetapan perampasan sebagaimana korupsi dan hakim berwenang
dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat memutuskan seluruh atau sebagian
dimohonkan upaya banding. harta benda tersebut dirampas untuk
(7) Setiap orang yang berkepentingan negara.
dapat mengajukan keberatan kepada
pengadilan yang telah menjatuhkan (3) Tuntutan perampasan harta benda
penetapan sebagaimana dimaksud sebagaimana dimaksud dalam
dalam ayat (5), dalam waktu 30 (tiga ayat (2) diajukan oleh penuntut umum
puluh) hari terhitung sejak tanggal pada saat membacakan tuntutannya
pengumuman sebagaimana dimaksud pada perkara pokok.
dalam ayat (3). (4) Pembuktian bahwa harta benda
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
bukan berasal dari tindak pidana
korupsi diajukan oleh terdakwa pada
saat membacakan pembelaannya
dalam perkara pokok dan dapat
diulangi pada memori banding dan
memori kasasi.
(5) Hakim wajib membuka persidangan
yang khusus untuk memeriksa
pembuktian yang diajukan terdakwa
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).
(6) Apabila terdakwa dibebaskan atau
dinyatakan lepas dari segala tuntutan
hukum dari perkara pokok, maka
tuntutan perampasan harta benda
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2) harus ditolak oleh hakim.
Pasal 38 C
Apabila setelah putusan pengadilan telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui
masih terdapat harta benda milik terpidana
yang diduga atau patut diduga juga berasal dari
tindak pidana korupsi yang belum dikenakan
perampasan untuk negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka
negara dapat melakukan gugatan perdata
terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.

Pasal 39 -
Jaksa Agung mengkoordinasikan dan
mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi yang
dilakukan bersama-sama oleh orang yang
tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan
Militer.
Pasal 40 -
Dalam hal terdapat cukup alasan untuk
mengajukan perkara korupsi di lingkungan
Peradilan Militer, maka ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat
(1) huruf g Undang-undang Nomor 31 Tahun
1997 tentang Peradilan Militer tidak dapat
diberlakukan.
Pasal 43 A
(1) Tindak pidana korupsi yang terjadi
sebelum Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi diundangkan, diperiksa dan diputus
berdasarkan ketentuan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, dengan ketentuan
maksimum pidana penjara yang
menguntungkan bagi terdakwa diberlakukan
ketentuan dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7,
Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 Undang-undang
ini dan Pasal 13 Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
(2) Ketentuan minimum pidana penjara dalam
Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan
Pasal 10 Undang-undang ini dan Pasal 13
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi tidak berlaku bagi tindak pidana
korupsi yang terjadi sebelum berlakunya
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
(3) Tindak pidana korupsi yang terjadi
sebelum Undang-undang ini diundangkan,
diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, dengan ketentuan mengenai
maksimum pidana penjara bagi tindak pidana
korupsi yang nilainya kurang dari Rp
5.000.000,00 (lima juta rupiah) berlaku
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 A ayat (2) Undang-undang ini.

Dalam BAB VII sebelum Pasal 44 ditambah 1


(satu) pasal baru yakni Pasal 43 B yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 43 B
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang
ini, Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388,
Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418,
Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, dan
Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana jis. Undang-undang Nomor 1 Tahun
1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita
Republik Indonesia II Nomor 9), Undang-
undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang
Menyatakan Berlakunya Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan
Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah
Republik Indonesia dan Mengubah Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (Lembaran
Negara Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 1660) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999
tentang Perubahan Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan
Kejahatan Terhadap Keamanan Negara,
dinyatakan tidak berlaku.

UU NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG UU NOMOR 19 TAHUN 2019 TENTANG


KPK PERUBAHAN ATAS UU NOMOR 30
TAHUN 2002
Pasal 6 Pasal 6
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai Komisi Pemberantasan Korupsi bertugas
tugas: melakukan:
a. koordinasi dengan instansi yang a. tindakan-tindakan pencegahan
berwenang melakukan sehingga tidak terjadi Tindak Pidana
pemberantasan tindak pidana Korupsi;
korupsi; b. koordinasi dengan instansi yang
b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melaksanakan
berwenang melakukan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
pemberantasan tindak pidana dan instansi yang bertugas
korupsi; melaksanakan pelayanan publik;
c. melakukan penyelidikan, c. monitor terhadap penyelenggaraan
penyidikan, dan penuntutan terhadap pemerintahan negara;
tindak pidana korupsi; d. supervisi terhadap instansi yang
d. melakukan tindakan-tindakan berwenang melaksanakan
pencegahan tindak pidana korupsi; Pemberantasan Tindak Pidana
dan Korupsi;
e. melakukan monitor terhadap e. penyelidikan, penyidikan, dan
penyelenggaraan pemerintahan penuntutan terhadap Tindak Pidana
negara. Korupsi; dan
f. tindakan untuk melaksanakan
penetapan hakim dan putusan
pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Pasal 7 Pasal 7
Dalam melaksanakan tugas koordinasi (1) Dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, pencegahan sebagaimana dimaksud
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang : dalam Pasal 6 huruf a, Komisi
a. mengkoordinasikan penyelidikan, Pemberantasan Korupsi berwenang:
penyidikan, dan penuntutan tindak a. melakukan pendaftaran dan
pidana korupsi; pemeriksaan terhadap laporan
b. menetapkan sistem pelaporan dalam harta kekayaan penyelenggara
kegiatan pemberantasan tindak pidana negara;
korupsi; b. menerima laporan dan
c. meminta informasi tentang kegiatan menetapkan status gratifikasi;
pemberantasan tindak pidana korupsi c. menyelenggarakan program
kepada instansi yang terkait; pendidikan anti korupsi pada
d. melaksanakan dengar pendapat atau setiap jejaring pendidikan;
pertemuan dengan instansi yang d. merencanakan dan melaksanakan
berwenang melakukan pemberantasan program sosialisasi
tindak pidana korupsi; dan Pemberantasan Tindak Pidana
e. meminta laporan instansi terkait Korupsi;
mengenai pencegahan tindak pidana e. melakukan kampanye anti korupsi
korupsi. kepada masyarakat; dan
f. melakukan kerja sama bilateral
atau multilateral dalam
Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
(2) Dalam melaksanakan kewenangan
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Komisi Pemberantasan Korupsi
wajib membuat laporan
pertanggungjawaban 1 (satu) kali
dalam 1 (satu) tahun kepada
Presiden Republik Indonesia, Dewan
Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, dan Badan Pemeriksa
Keuangan.
Pasal 8 Pasal 8
(1) Dalam melaksanakan tugas supervisi Dalam melaksanakan tugas koordinasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b,
huruf b, Komisi Pemberantasan Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:
Korupsi berwenang melakukan a. mengoordinasikan penyelidikan,
pengawasan, penelitian, atau penyidikan, dan penuntutan dalam
penelaahan terhadap instansi yang Pemberantasan Tindak Pidana
menjalankan tugas dan wewenangnya Korupsi;
yang berkaitan dengan pemberantasan
tindak pidana korupsi, dan instansi
yang dalam melaksanakan pelayanan b. menetapkan sistem pelaporan dalam
publik. kegiatan Pemberantasan Tindak
(2) Dalam melaksanakan wewenang Pidana Korupsi;
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), c. meminta informasi tentang kegiatan
Komisi Pemberantasan Korupsi Pemberantasan Tindak Pidana
berwenang juga mengambil alih Korupsi kepada instansi yang
penyidikan atau penuntutan terhadap terkait;
pelaku tindak pidana korupsi yang d. melaksanakan dengar pendapat atau
sedang dilakukan oleh kepolisian atau pertemuan dengan instansi yang
kejaksaan. berwenang dalam melakukan
(3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi mengambil alih penyidikan Korupsi; dan
atau penuntutan, kepolisian atau e. meminta laporan kepada instansi
kejaksaan wajib menyerahkan berwenang mengenai upaya
tersangka dan seluruh berkas perkara pencegahan sehingga tidak terjadi
beserta alat bukti dan dokumen lain Tindak Pidana Korupsi.”
yang diperlukan dalam waktu paling
lama 14 (empat belas) hari kerja,
terhitung sejak tanggal diterimanya
permintaan Komisi Pemberantasan
Korupsi.
(4) Penyerahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilakukan dengan
membuat dan menandatangani berita
acara penyerahan sehingga segala
tugas dan kewenangan kepolisian atau
kejaksaan pada saat penyerahan
tersebut beralih kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi.
Pasal 9 Pasal 9
Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan Dalam melaksanakan tugas monitor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c,
dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:
Korupsi dengan alasan: a. melakukan pengkajian terhadap sistem
g. laporan masyarakat mengenai tindak pengelolaan administrasi di semua
pidana korupsi tidak ditindaklanjuti; lembaga negara dan lembaga
h. proses penanganan tindak pidana pemerintahan;
korupsi secara berlarut-larut atau b. memberi saran kepada pimpinan
tertunda-tunda tanpa alasan yang lembaga negara dan lembaga
dapat dipertanggungjawabkan; pemerintahan untuk melakukan
i. penanganan tindak pidana korupsi perubahan jika berdasarkan hasil
ditujukan untuk melindungi pelaku pengkajian, sistem pengelolaan
tindak pidana korupsi yang administrasi tersebut berpotensi
sesungguhnya; menyebabkan terjadinya Tindak
j. penanganan tindak pidana korupsi Pidana Korupsi; dan
mengandung unsur korupsi;
k. hambatan penanganan tindak pidana c. melaporkan kepada Presiden Republik
korupsi karena campur tangan dari Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat
eksekutif, yudikatif, atau legislatif; Republik Indonesia, dan Badan
atau Pemeriksa Keuangan, jika saran
l. keadaan lain yang menurut Komisi Pemberantasan Korupsi
pertimbangan kepolisian atau mengenai usulan perubahan tidak
kejaksaan, penanganan tindak pidana dilaksanakan.
korupsi sulit dilaksanakan secara
baik dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Pasal 10 Pasal 10
Dalam hal terdapat alasan sebagaimana (1) Dalam melaksanakan tugas supervisi
dimaksud dalam Pasal 9, Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
Pemberantasan Korupsi memberitahukan huruf d, Komisi Pemberantasan
kepada penyidik atau penuntut umum untuk Korupsi berwenang melakukan
mengambil alih tindak pidana korupsi yang pengawasan, penelitian, atau
sedang ditangani. penelaahan terhadap instansi yang
menjalankan tugas dan wewenangnya
yang berkaitan dengan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
(2) Ketentuan mengenai pelaksanaan
tugas supervisi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Presiden.
Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 1
(satu) pasal, yakni Pasal 10A, yang berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 10A
(1) Dalam melaksanakan wewenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10, Komisi Pemberantasan Korupsi
berwenang mengambil alih penyidikan
dan/atau penuntutan terhadap pelaku
Tindak Pidana Korupsi yang sedang
dilakukan oleh kepolisian atau
kejaksaan.
(2) Pengambilalihan penyidikan dan/atau
penuntutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dilakukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi dengan
alasan:
a. laporan masyarakat mengenai
Tindak Pidana Korupsi tidak
ditindaklanjuti;
b. proses penanganan Tindak Pidana
Korupsi tanpa ada penyelesaian
atau tertunda tanpa alasan yang
dapat dipertanggungjawabkan;
c. penanganan Tindak Pidana
Korupsi ditujukan untuk
melindungi pelaku Tindak Pidana
Korupsi yang sesungguhnya;
d. penanganan Tindak Pidana
Korupsi mengandung unsur
Tindak Pidana Korupsi;
e. hambatan penanganan Tindak
Pidana Korupsi karena campur
tangan dari pemegang kekuasaan
eksekutif, yudikatif, atau legislatif;
atau
f. keadaan lain yang menurut
pertimbangan kepolisian atau
kejaksaan, penanganan tindak
pidana korupsi sulit dilaksanakan
secara baik dan dapat
dipertanggungjawabkan.
(3) Dalam hal Komisi Pemberantasan
Korupsi mengambil alih penyidikan
dan/atau penuntutan, kepolisian
dan/atau kejaksaan wajib
menyerahkan tersangka dan seluruh
berkas perkara beserta alat bukti dan
dokumen lain yang diperlukan paling
lama 14 (empat belas) hari kerja,
terhitung sejak tanggal permintaan
Komisi Pemberantasan Korupsi.
(4) Penyerahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilakukan dengan
membuat dan menandatangani berita
acara penyerahan sehingga segala
tugas dan kewenangan kepolisian
dan/atau kejaksaan pada saat
penyerahan tersebut beralih kepada
Komisi Pemberantasan Korupsi.
(5) Komisi Pemberantasan Korupsi dalam
mengambil alih penyidikan dan/atau
penuntutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memberitahukan kepada
penyidik atau penuntut umum yang
menangani Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 11 Pasal 11
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana (1) Dalam melaksanakan tugas
dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
Pemberantasan Korupsi berwenang huruf e, Komisi Pemberantasan
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan Korupsi berwenang melakukan
penuntutan tindak pidana korupsi yang : penyelidikan, penyidikan, dan
b. melibatkan aparat penegak hukum, penuntutan terhadap Tindak Pidana
penyelenggara negara, dan orang lain Korupsi yang:
yang ada kaitannya dengan tindak a. melibatkan aparat penegak
pidana korupsi yang dilakukan oleh hukum, Penyelenggara Negara,
aparat penegak hukum atau dan orang lain yang ada kaitannya
penyelenggara negara; dengan Tindak Pidana Korupsi
c. mendapat perhatian yang meresahkan yang dilakukan oleh aparat
masyarakat; dan/atau penegak hukum atau
d. menyangkut kerugian negara paling Penyelenggara Negara; dan/atau
sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu b. menyangkut kerugian negara
milyar rupiah). paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).
(2) Dalam hal Tindak Pidana Korupsi
tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Komisi Pemberantasan Korupsi wajib
menyerahkan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan kepada
kepolisian dan/atau kejaksaan.
(3) Komisi Pemberantasan Korupsi
melakukan supervisi terhadap
penyelidikan, penyidikan, dan/atau
penuntutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).
Pasal 12 Pasal 12
(1) Dalam melaksanakan tugas (1) Dalam melaksanakan tugas
penyelidikan, penyidikan, dan penyelidikan dan penyidikan
penuntutan sebagaimana dimaksud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
dalam Pasal 6 huruf c, Komisi huruf e, Komisi Pemberantasan
Pemberantasan Korupsi berwenang : Korupsi berwenang melakukan
a. melakukan penyadapan dan penyadapan.
merekam pembicaraan; (2) Dalam melaksanakan tugas
b. memerintahkan kepada instansi penyidikan sebagaimana dimaksud
yang terkait untuk melarang pada ayat (1), Komisi Pemberantasan
seseorang bepergian ke luar negeri; Korupsi berwenang:
c. meminta keterangan kepada bank a. memerintahkan kepada instansi
atau lembaga keuangan lainnya yang terkait untuk melarang
tentang keadaan keuangan seseorang bepergian ke luar
tersangka atau terdakwa yang negeri;
sedang diperiksa;
d. memerintahkan kepada bank atau b. meminta keterangan kepada bank
lembaga keuangan lainnya untuk atau lembaga keuangan lainnya
memblokir rekening yang diduga tentang keadaan keuangan
hasil dari korupsi milik tersangka, tersangka atau terdakwa yang
terdakwa, atau pihak lain yang sedang di periksa;
terkait; c. memerintahkan kepada bank atau
e. memerintahkan kepada pimpinan lembaga keuangan lainnya untuk
atau atasan tersangka untuk memblokir rekening yang diduga
memberhentikan sementara hasil dari korupsi milik tersangka,
tersangka dari jabatannya; terdakwa, atau pihak lain yang
f. meminta data kekayaan dan data terkait;
perpajakan tersangka atau terdakwa d. memerintahkan kepada pimpinan
kepada instansi yang terkait; atau atasan tersangka untuk
g. menghentikan sementara suatu memberhentikan sementara
transaksi keuangan, transaksi tersangka dari jabatannya;
perdagangan, dan perjanjian lainnya e. meminta data kekayaan dan data
atau pencabutan sementara perpajakan tersangka atau
perizinan, lisensi serta konsesi yang terdakwa kepada instansi yang
dilakukan atau dimiliki oleh terkait;
tersangka atau terdakwa yang f. menghentikan sementara suatu
diduga berdasarkan bukti awal yang transaksi keuangan, transaksi
cukup ada hubungannya dengan perdagangan, dan perjanjian
tindak pidana korupsi yang sedang lainnya atau pencabutan sementara
diperiksa; perizinan, lisensi serta konsesi
h. meminta bantuan Interpol Indonesia yang dilakukan atau dimiliki oleh
atau instansi penegak hukum negara tersangka atau terdakwa yang
lain untuk melakukan pencarian, diduga berdasarkan bukti awal
penangkapan, dan penyitaan barang yang cukup ada hubungannya
bukti di luar negeri; dengan Tindak Pidana Korupsi
i. meminta bantuan kepolisian atau yang sedang diperiksa;
instansi lain yang terkait untuk g. meminta bantuan Interpol
melakukan penangkapan, Indonesia atau instansi penegak
penahanan, penggeledahan, dan hukum negara lain untuk
penyitaan dalam perkara tindak melakukan pencarian,
pidana korupsi yang sedang penangkapan, dan penyitaan
ditangani. barang bukti di luar negeri; dan
h. meminta bantuan kepolisian atau
instansi lain yang terkait untuk
melakukan penangkapan,
penahanan, penggeledahan, dan
penyitaan dalam perkara
Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang sedang ditangani.
Pasal 12A
Dalam melaksanakan tugas penuntutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e,
penuntut pada Komisi Pemberantasan
Korupsi melaksanakan koordinasi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 12B
(1) Penyadapan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (1), dilaksanakan
setelah mendapatkan izin tertulis dari
Dewan Pengawas.
(2) Untuk mendapatkan izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
berdasarkan permintaan secara tertulis
dari Pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi.
(3) Dewan Pengawas dapat memberikan
izin tertulis terhadap permintaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
paling lama 1 x 24 (satu kali dua
puluh empat) jam terhitung sejak
permintaan diajukan.
(4) Dalam hal Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi mendapatkan
izin tertulis dari Dewan Pengawas
sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Penyadapan dilakukan paling lama 6
(enam) bulan terhitung sejak izin
tertulis diterima dan dapat
diperpanjang 1 (satu) kali untuk
jangka waktu yang sama.
Pasal 12C
(1) Penyelidik dan penyidik melaporkan
Penyadapan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (1) yang sedang
berlangsung kepada Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi secara
berkala.
(2) Penyadapan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (1) yang telah
selesai dilaksanakan harus
dipertanggungjawabkan kepada
Pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi dan Dewan Pengawas paling
lambat 14 (empat belas) hari kerja
terhitung sejak Penyadapan selesai
dilaksanakan.
Pasal 12D
(1) Hasil Penyadapan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1)
bersifat rahasia dan hanya untuk
kepentingan peradilan dalam
Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
(2) Hasil Penyadapan yang tidak terkait
dengan Tindak Pidana Korupsi yang
sedang ditangani Komisi
Pemberantasan Korupsi wajib
dimusnahkan seketika.
(3) Dalam hal kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak
dilaksanakan, pejabat dan/atau orang
yang menyimpan hasil Penyadapan
dijatuhi hukuman pidana sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 13 Pasal 13
Dalam melaksanakan tugas pencegahan Dalam melaksanakan tugas untuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, melaksanakan penetapan hakim dan putusan
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam
melaksanakan langkah atau upaya Pasal 6 huruf f, Komisi Pemberantasan
pencegahan sebagai berikut : Korupsi berwenang melakukan tindakan
a. melakukan pendaftaran dan hukum yang diperlukan dan dapat
pemeriksaan terhadap laporan harta dipertanggungjawabkan sesuai dengan isi dari
kekayaan penyelenggara negara; penetapan hakim atau putusan pengadilan.
b. menerima laporan dan menetapkan
status gratifikasi;
c. menyelenggarakan program
pendidikan antikorupsi pada setiap
jenjang pendidikan;
d. merancang dan mendorong
terlaksananya program sosialisasi
pemberantasan tindak pidana korupsi;
e. melakukan kampanye antikorupsi
kepada masyarakat umum;
f. melakukan kerja sama bilateral atau
multilateral dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi.
Pasal 14 Pasal 14 dihapus.
Dalam melaksanakan tugas monitor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e,
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:
a. melakukan pengkajian terhadap
sistem pengelolaan administrasi di
semua lembaga negara dan
pemerintah;
b. memberi saran kepada pimpinan
lembaga negara dan pemerintah untuk
melakukan perubahan jika
berdasarkan hasil pengkajian, sistem
pengelolaan administrasi tersebut
berpotensi korupsi;
c. melaporkan kepada Presiden Republik
Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia, dan Badan
Pemeriksa Keuangan, jika saran
Komisi Pemberantasan Korupsi
mengenai usulan perubahan tersebut
tidak diindahkan.
Pasal 15 Pasal 15
Komisi Pemberantasan Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi
berkewajiban: berkewajiban:
a. memberikan perlindungan terhadap a. memberikan perlindungan terhadap
saksi atau pelapor yang saksi atau pelapor yang
menyampaikan laporan ataupun menyampaikan laporan ataupun
memberikan keterangan mengenai memberikan keterangan mengenai
terjadinya tindak pidana korupsi; terjadinya Tindak Pidana Korupsi
b. memberikan informasi kepada sesuai dengan ketentuan peraturan
masyarakat yang memerlukan atau perundang-undangan;
memberikan bantuan untuk b. memberikan informasi kepada
memperoleh data lain yang berkaitan masyarakat yang memerlukan atau
dengan hasil penuntutan tindak pidana memberikan bantuan untuk
korupsi yang ditanganinya; memperoleh data yang berkaitan
c. menyusun laporan tahunan dan dengan hasil penuntutan Tindak
menyampaikannya kepada Presiden Pidana Korupsi yang ditanganinya;
Republik Indonesia, Dewan c. menyusun laporan tahunan dan
Perwakilan Rakyat Republik menyampaikannya kepada Presiden
Indonesia, dan Badan Pemeriksa Republik Indonesia, Dewan
Keuangan; Perwakilan Rakyat Republik
d. menegakkan sumpah jabatan; Indonesia, dan Badan Pemeriksa
e. menjalankan tugas, tanggung jawab, Keuangan;
dan wewenangnya berdasarkan asas- d. menegakkan sumpah jabatan;
asas sebagaimana dimaksud dalam e. menjalankan tugas, tanggung jawab,
Pasal 5. dan wewenangnya berdasarkan asas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5;
dan
f. menyusun kode etik pimpinan dan
Pegawai Komisi Pemberantasan
Korupsi.
Pasal 38 Pasal 38
(1) Segala kewenangan yang berkaitan Segala kewenangan yang berkaitan dengan
dengan penyelidikan, penyidikan, dan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
penuntutan yang diatur dalam yang diatur dalam undang-undang yang
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 mengatur mengenai hukum acara pidana
tentang Hukum Acara Pidana berlaku berlaku juga bagi penyelidik, penyidik dan
juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan
penuntut umum pada Komisi Korupsi, kecuali ditentukan lain berdasarkan
Pemberantasan Korupsi. Undang-Undang ini.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana tidak berlaku
bagi penyidik tindak pidana korupsi
sebagaimana ditentukan dalam
Undang-Undang ini.
Pasal 39 -
(1) Penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi
dilakukan berdasarkan hukum acara
pidana yang berlaku dan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-Undang ini.
(2) Penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan
berdasarkan perintah dan bertindak
untuk dan atas nama Komisi
Pemberantasan Korupsi.
(3) Penyelidik, penyidik, dan penuntut
umum yang menjadi pegawai pada
Komisi Pemberantasan Korupsi,
diberhentikan sementara dari instansi
kepolisian dan kejaksaan selama
menjadi pegawai pada Komisi
Pemberantasan Korupsi.
Pasal 40 Pasal 40
Komisi Pemberantasan Korupsi tidak (1) Komisi Pemberantasan Korupsi dapat
berwenang mengeluarkan surat perintah menghentikan penyidikan dan
penghentian penyidikan dan penuntutan penuntutan terhadap perkara Tindak
dalam perkara tindak pidana korupsi. Pidana Korupsi yang penyidikan dan
penuntutannya tidak selesai dalam
jangka waktu paling lama 2 (dua)
tahun.
(2) Penghentian penyidikan dan
penuntutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus dilaporkan kepada
Dewan Pengawas paling lambat 1
(satu) minggu terhitung sejak
dikeluarkannya surat perintah
penghentian penyidikan dan
penuntutan.
(3) Penghentian penyidikan dan
penuntutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus diumumkan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi
kepada publik.
(4) Penghentian penyidikan dan
penuntutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat dicabut oleh
Pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi apabila ditemukan bukti baru
yang dapat membatalkan alasan
penghentian penyidikan dan
penuntutan, atau berdasarkan putusan
praperadilan sebagaimana dimaksud
dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 43 Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi


(1) Penyelidik adalah Penyelidik pada sebagai berikut:
Komisi Pemberantasan Korupsi yang Pasal 43
diangkat dan diberhentikan oleh (1) Penyelidik Komisi Pemberantasan
Komisi Pemberantasan Korupsi. Korupsi dapat berasal dari kepolisian,
(2) Penyelidik sebagaimana dimaksud kejaksaan, instansi pemerintah
pada ayat (1) melaksanakan fungsi lainnya, dan/atau internal Komisi
penyelidikan tindak pidana korupsi. Pemberantasan Korupsi.
(2) Penyelidik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diangkat dan
diberhentikan oleh Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi.
(3) Penyelidik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) wajib
tunduk pada mekanisme penyelidikan
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Di antara Pasal 43 dan Pasal 44 disisipkan 1
(satu) pasal, yakni Pasal 43A, yang berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 43A
(1) Penyelidik Komisi Pemberantasan
Korupsi harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. berpendidikan paling rendah Si
(sarjana strata satu) atau yang setara;
b. mengikuti dan lulus pendidikan di
bidang penyelidikan;
c. sehat jasmani dan rohani yang
dibuktikan dengan surat keterangan
dokter; dan
d. memiliki kemampuan dan integritas
moral yang tinggi.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b diselenggarakan
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
bekerja sama dengan kepolisian
dan/atau kejaksaan.
(3) Penyelidik Komisi Pemberantasan
Korupsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberhentikan dari jabatannya
apabila:
a. diberhentikan sebagai aparatur sipil
negara;
b. tidak lagi bertugas di bidang teknis
penegakan hukum; atau
c. permintaan sendiri secara tertulis.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara pengangkatan dan pemberhentian
penyelidik Komisi Pemberantasan
Korupsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (3) diatur dalam
Peraturan Komisi Pemberantasan
Korupsi.
Pasal 44 -
(1) Jika penyelidik dalam melakukan
penyelidikan menemukan bukti
permulaan yang cukup adanya dugaan
tindak pidana korupsi, dalam waktu
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
terhitung sejak tanggal ditemukan
bukti permulaan yang cukup tersebut,
penyelidik melaporkan kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi.
(2) Bukti permulaan yang cukup dianggap
telah ada apabila telah ditemukan
sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti,
termasuk dan tidak terbatas pada
informasi atau data yang diucapkan,
dikirim, diterima, atau disimpan baik
secara biasa maupun elektronik atau
optik.
Pasal 45 Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi
(1) Penyidik adalah Penyidik pada Komisi sebagai berikut:
Pemberantasan Korupsi yang diangkat Pasal 45
dan diberhentikan oleh Komisi (1) Penyidik Komisi Pemberantasan
Pemberantasan Korupsi. Korupsi dapat berasal dari kepolisian,
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada kejaksaan, penyidik pegawai negeri
ayat (1) melaksanakan fungsi sipil yang diberi wewenang khusus
penyidikan tindak pidana korupsi. oleh undang-undang, dan penyelidik
Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diangkat dan diberhentikan
oleh Pimpinan Komisi ,
Pemberantasan Korupsi.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) wajib tunduk
pada mekanisme penyidikan yang
diatur berdasarkan ketentuan hukum
acara pidana.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) wajib mempunyai
standar kompetensi yang sama.
Di antara Pasal 45 dan Pasal 46 disisipkan 1
(satu) pasal, yakni Pasal 45A, yang berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 45A
(1) Penyidik Komisi Pemberantasan
Korupsi harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. berpendidikan paling rendah S1
(sarjana strata satu) atau yang setara;
b. mengikuti dan lulus pendidikan di
bidang penyidikan;
c. sehat jasmani dan rohani yang
dibuktikan dengan surat keterangan
dokter; dan
d. memiliki kemampuan dan integritas
moral yang tinggi.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b diselenggarakan
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
bekerja sama dengan kepolisian
dan/atau kejaksaan.
(3) Penyidik Komisi Pemberantasan
Korupsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberhentikan dari jabatannya
karena:
a. diberhentikan sebagai aparatur
sipil negara;
b. tidak lagi bertugas di bidang teknis
penegakan hukum; atau
c. permintaan sendiri secara tertulis.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara pengangkatan penyidik Komisi
Pemberantasan Korupsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3)
diatur dalam Peraturan Komisi
Pemberantasan Korupsi.”
Pasal 46 Pasal 46
(1) Dalam hal seseorang ditetapkan Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai
sebagai tersangka oleh Komisi tersangka oleh Komisi Pemberantasan
Pemberantasan Korupsi, terhitung Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan
sejak tanggal penetapan tersebut pemeriksaan tersangka dilaksanakan
prosedur khusus yang berlaku dalam berdasarkan ketentuan hukum acara pidana.”
rangka pemeriksaan tersangka yang
diatur dalam peraturan perundang-
undangan lain, tidak berlaku
berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Pemeriksaan tersangka sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilakukan
dengan tidak mengurangi hak-hak
tersangka.
Pasal 47 Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi
(1) Atas dasar dugaan yang kuat adanya sebagai berikut:
bukti permulaan yang cukup, penyidik Pasal 47
dapat melakukan penyitaan tanpa izin (1) Dalam proses penyidikan, penyidik
Ketua Pengadilan Negeri berkaitan dapat melakukan penggeledahan dan
dengan tugas penyidikannya. penyitaan atas izin tertulis dari Dewan
Pengawas.
(2) Ketentuan peraturan perundang- (2) Dewan Pengawas dapat memberikan
undangan yang berlaku yang mengatur izin tertulis atau tidak memberikan
mengenai tindakan penyitaan, tidak izin tertulis terhadap permintaan izin
berlaku berdasarkan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ini. paling lama 1 x 24 (satu kali dua
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada puluh empat) jam sejak permintaan
ayat (1) wajib membuat berita acara izin diajukan.
penyitaan pada hari penyitaan yang (3) Penggeledahan dan penyitaan
sekurang-kurangnya memuat: sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
a. nama, jenis, dan jumlah barang wajib membuat berita acara
atau benda berharga lain yang penggeledahan dan penyitaan pada
disita; hari penggeledahan dan penyitaan
b. keterangan tempat, waktu, hari, paling sedikit memuat:
tanggal, bulan, dan tahun a. nama, jenis, dan jumlah barang atau
dilakukan penyitaan; benda berharga lain yang digeledah
c. keterangan mengenai pemilik atau dan disita;
yang menguasai barang atau benda b. keterangan tempat, waktu, hari,
berharga lain tersebut; tanggal, bulan, dan tahun dilakukan
d. tanda tangan dan identitas penggeledahan dan penyitaan;
penyidik yang melakukan c. keterangan mengenai pemilik atau
penyitaan; dan yang menguasai barang atau benda
e. tanda tangan dan identitas dari berharga lain tersebut;
pemilik atau orang yang d. tanda tangan dan identitas penyidik
menguasai barang tersebut. yang melakukan penggeledahan dan
(4) Salinan berita acara penyitaan penyitaan; dan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) e. tanda tangan dan identitas dari pemilik
disampaikan kepada tersangka atau atau orang yang menguasai barang
keluarganya. tersebut.
(4) Salinan berita acara penggeledahan
dan penyitaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) disampaikan kepada
tersangka atau keluarganya.
Di antara Pasal 47 dan Pasal 48 disisipkan 1
(satu) pasal, yakni Pasal 47A yang berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 47A
(1) Hasil penggeledahan dan penyitaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
47 dapat dilakukan pelelangan.
(2) Ketentuan mengenai pelelangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 48 -
Untuk kepentingan penyidikan, tersangka
tindak pidana korupsi wajib memberikan
keterangan kepada penyidik tentang seluruh
harta bendanya dan harta benda istri atau
suami, anak, dan harta benda setiap orang
atau korporasi yang diketahui dan atau yang
diduga mempunyai hubungan dengan tindak
pidana korupsi yang dilakukan oleh
tersangka.
Pasal 49 -
Setelah penyidikan dinyatakan cukup,
penyidik membuat berita acara dan
disampaikan kepada Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi untuk segera
ditindaklanjuti.
Pasal 50 -
(1) Dalam hal suatu tindak pidana korupsi
terjadi dan Komisi Pemberantasan
Korupsi belum melakukan penyidikan,
sedangkan perkara tersebut telah
dilakukan penyidikan oleh kepolisian
atau kejaksaan, instansi tersebut wajib
memberitahukan kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi paling lambat
14 (empat belas) hari kerja terhitung
sejak tanggal dimulainya penyidikan.
(2) Penyidikan yang dilakukan oleh
kepolisian atau kejaksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilakukan koordinasi secara
terus menerus dengan Komisi
Pemberantasan Korupsi.
(3) Dalam hal Komisi Pemberantasan
Korupsi sudah mulai melakukan
penyidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), kepolisian atau
kejaksaan tidak berwenang lagi
melakukan penyidikan.
(4) Dalam hal penyidikan dilakukan
secara bersamaan oleh kepolisian
dan/atau kejaksaan dan Komisi
Pemberantasan Korupsi, penyidikan
yang dilakukan oleh kepolisian atau
kejaksaan tersebut segera dihentikan.
Pasal 51 -
(1) Penuntut adalah Penuntut Umum pada
Komisi Pemberantasan Korupsi yang
diangkat dan diberhentikan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Penuntut Umum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) melaksanakan
fungsi penuntutan tindak pidana
korupsi.
(3) Penuntut sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah Jaksa Penuntut Umum.
Pasal 52 -
(1) Penuntut Umum, setelah menerima
berkas perkara dari penyidik, paling
lambat 14 (empat belas) hari kerja
terhitung sejak tanggal diterimanya
berkas tersebut, wajib melimpahkan
berkas perkara tersebut kepada
Pengadilan Negeri.
(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Ketua Pengadilan
Negeri wajib menerima pelimpahan
berkas perkara dari Komisi
Pemberantasan Korupsi untuk
diperiksa dan diputus.
Pasal 53 -
Dengan Undang-Undang ini dibentuk
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang
bertugas dan berwenang memeriksa dan
memutus tindak pidana korupsi yang
penuntutannya diajukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi.
Pasal 54 -
(1) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
berada di lingkungan Peradilan
Umum.
(2) Untuk pertama kali Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibentuk pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang
wilayah hukumnya meliputi seluruh
wilayah negara Republik Indonesia.
(3) Pembentukan Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi selain sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan
secara bertahap dengan Keputusan
Presiden.
Pasal 55 -
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat
(2) juga berwenang memeriksa dan memutus
tindak pidana korupsi yang dilakukan di luar
wilayah negara Republik Indonesia oleh
warga negara Indonesia.
Pasal 56 -
(1) Hakim Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi terdiri atas hakim Pengadilan
Negeri dan hakim ad hoc.
(2) Hakim Pengadilan Negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan berdasarkan Keputusan
Ketua Mahkamah Agung.
(3) Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden Republik
Indonesia atas usul Ketua Mahkamah
Agung.
(4) Dalam menetapkan dan mengusulkan
calon hakim Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3),
Ketua Mahkamah Agung wajib
melakukan pengumuman kepada
masyarakat.

Pasal 57 -
(1) Untuk dapat ditetapkan sebagai hakim
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
56 ayat (2) harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. berpengalaman menjadi hakim
sekurang-kurangnya 10 (sepuluh)
tahun;
b. berpengalaman mengadili tindak
pidana korupsi;
c. cakap dan memiliki integritas moral
yang tinggi selama menjalankan
tugasnya; dan
d. tidak pernah dijatuhi hukuman
disiplin.
(2) Untuk dapat diusulkan sebagai hakim
ad hoc Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 56 ayat (3) harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. berpendidikan sarjana hukum atau
sarjana lain yang mempunyai
keahlian dan berpengalaman
sekurang-kurangnya 15 (lima
belas) tahun di bidang hukum;
e. berumur sekurang-kurangnya 40
(empat puluh) tahun pada proses
pemilihan;
f. tidak pernah melakukan perbuatan
tercela;
g. cakap, jujur, memiliki integritas
moral yang tinggi, dan memiliki
reputasi yang baik;
h. tidak menjadi pengurus salah satu
partai politik; dan
i. melepaskan jabatan struktural dan
atau jabatan lainnya selama
menjadi hakim ad hoc.
Pasal 58 -
(1) Perkara tindak pidana korupsi
diperiksa dan diputus oleh Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi dalam waktu
90 (sembilan puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal perkara
dilimpahkan ke Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi.
(2) Pemeriksaan perkara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
majelis hakim berjumlah 5 (lima)
orang yang terdiri atas 2 (dua) orang
hakim Pengadilan Negeri yang
bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim
ad hoc.
Pasal 59 -
(1) Dalam hal putusan Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi dimohonkan banding
ke Pengadilan Tinggi, perkara tersebut
diperiksa dan diputus dalam jangka
waktu paling lama 60 (enam puluh)
hari kerja terhitung sejak tanggal
berkas perkara diterima oleh
Pengadilan Tinggi.
(2) Pemeriksaan perkara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
oleh majelis hakim berjumlah 5 (lima)
orang yang terdiri atas 2 (dua) orang
hakim Pengadilan Tinggi yang
bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim
ad hoc.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 57 juga berlaku bagi
hakim ad hoc pada Pengadilan Tinggi.
Pasal 60 -
(1) Dalam hal putusan Pengadilan Tinggi
Tindak Pidana Korupsi dimohonkan
kasasi kepada Mahkamah Agung,
perkara tersebut diperiksa dan diputus
dalam jangka waktu paling lama 90
(sembilan puluh) hari kerja terhitung
sejak tanggal berkas perkara diterima
oleh Mahkamah Agung.
(2) Pemeriksaan perkara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
oleh Majelis Hakim berjumlah 5
(lima) orang yang terdiri atas 2 (dua)
orang Hakim Agung dan 3 (tiga)
orang hakim ad hoc.
(3) Untuk dapat diangkat menjadi hakim
ad hoc pada Mahkamah Agung harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut
: a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. berpendidikan sarjana hukum atau
sarjana lain yang mempunyai
keahlian dan berpengalaman
sekurang-kurangnya 20 (dua
puluh) tahun di bidang hukum;
e. sekurang-kurangnya 50 (lima
puluh) tahun pada proses
pemilihan; d. tidak pernah
melakukan perbuatan tercela;
f. cakap, jujur, memiliki integritas
moral yang tinggi, dan memiliki
reputasi yang baik;
g. tidak menjadi pengurus salah satu
partai politik; dan
h. melepaskan jabatan struktural dan
atau jabatan lainnya selama
menjadi hakim ad hoc.
Pasal 61 -
(1) Sebelum memangku jabatan, hakim ad
hoc wajib mengucapkan sumpah/janji
menurut agamanya di hadapan
Presiden Republik Indonesia.
(2) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut
:
a. Saya bersumpah/berjanji dengan
sungguh-sungguh bahwa saya
untuk melaksanakan tugas ini,
langsung atau tidak langsung,
dengan menggunakan nama atau
cara apapun juga, tidak akan
memberikan atau menjanjikan
sesuatu apapun kepada siapapun
juga”.
b. Saya bersumpah/berjanji bahwa
saya, untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam tugas
ini, tidak sekali-kali akan
menerima langsung atau tidak
langsung dari siapapun juga suatu
janji atau pemberian".
c. Saya bersumpah/berjanji bahwa
saya akan setia kepada dan akan
mempertahankan serta
mengamalkan Pancasila sebagai
dasar negara, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, serta peraturan
perundang-undangan yang berlaku
bagi negara Republik Indonesia".
d. Saya bersumpah/berjanji bahwa
saya senantiasa akan menjalankan
tugas ini dengan jujur, seksama,
dan obyektif dengan tidak
membeda-bedakan orang, dan
akan menjunjung tinggi etika
profesi dalam melaksanakan
kewajiban saya ini dengan sebaik-
baiknya dan seadil-adilnya seperti
layaknya bagi seorang petugas
yang berbudi baik dan jujur dalam
menegakkan hukum dan keadilan".
Pasal 62 -
Pemeriksaan di sidang Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi dilakukan berdasarkan hukum
acara pidana yang berlaku dan Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.

Anda mungkin juga menyukai