Pasal 27 -
Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi
yang sulit pembuktiannya, maka dapat
dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi
Jaksa Agung.
Pasal 28 -
Untuk kepentingan penyidikan, tersangka
wajib memberikan keterangan tentang seluruh
harta bendanya dan harta benda istri atau
suami, anak, dan harta benda setiap orang
atau korporasi yang diketahui dan atau yang
diduga mempunyai hubungan dengan tindak
pidana korupsi yang dilakukan tersangka.
Pasal 29 -
(1) Untuk kepentingan penyidikan,
penuntutan, atau pemeriksaan di
sidang pengadilan, penyidik, penuntut
umum, atau hakim berwenang
meminta keterangan kepada bank
tentang keadaan keuangan tersangka
atau terdakwa.
(2) Permintaan keterangan kepada bank
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diajukan kepada Gubernur Bank
Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Gubernur Bank Indonesia
berkewajiban untuk memenuhi
permintaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dalam waktu selambat-
lambatnya 3 (tiga) hari kerja, terhitung
sejak dokumen permintaan diterima
secara lengkap.
(4) Penyidik, penuntut umum, atau hakim
dapat meminta kepada bank untuk
memblokir rekening simpanan milik
tersangka atau terdakwa yang diduga
hasil dari korupsi.
(5) Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap
tersangka atau terdakwa tidak
diperoleh bukti yang cukup, atas
permintaan penyidik, penuntut umum,
atau hakim, bank pada hari itu juga
mencabut pemblokiran.
Pasal 30 -
Penyidik berhak membuka, memeriksa, dan
menyita surat dan kiriman melalui pos,
telekomunikasi atau alat lainnya yang
dicurigai mempunyai hubungan dengan
perkara tindak pidana korupsi yang sedang
diperiksa.
Pasal 31 -
(1) Dalam penyidikan dan pemeriksaan di
sidang pengadilan, saksi dan orang
lain yang bersangkutan dengan tindak
pidana korupsi dilarang menyebut
nama atau alamat pelapor, atau hal-hal
lain yang memberikan kemungkinan
dapat diketahuinya identitas pelapor.
(2) Sebelum pemeriksaan dilakukan,
larangan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diberitahukan kepada
saksi dan orang lain tersebut.
Pasal 32 -
(1) Dalam hal penyidik menemukan dan
berpendapat bahwa satu atau lebih
unsur tindak pidana korupsi tidak
terdapat cukup bukti, sedangkan
secara nyata telah ada kerugian
keuangan negara, maka penyidik
segera menyerahkan berkas perkara
hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa
Pengacara Negara untuk dilakukan
gugatan perdata atau diserahkan
kepada instansi yang dirugikan untuk
mengajukan gugatan.
(2) Putusan bebas dalam perkara tindak
pidana korupsi tidak menghapuskan
hak untuk menuntut kerugian terhadap
keuangan negara.
Pasal 33 -
Dalam hak tersangka meninggal dunia pada
saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara
nyata telah ada kerugian keuangan negara,
maka penyidik segera menyerahkan berkas
perkara hasil penyidikan tersebut kepada
Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan
kepada instansi yang dirugikan untuk
dilakukan gugatan perdata terhadap ahli
warisnya.
Pasal 34 -
Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada
saat dilakukan pemeriksaan di sidang
pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada
kerugian keuangan negara, maka penuntut
umum segera menyerahkan salinan berkas
berita acara sidang tersebut kepada Jaksa
Pengacara Negara atau diserahkan kepada
instansi yang dirugikan untuk dilakukan
gugatan perdata terhadap ahli warisnya.
Pasal 35
(1) Setiap orang wajib memberi
keterangan sebagai saksi atau ahli,
kecuali ayah, ibu, kakek, nenek,
saudara kandung, istri atau suami,
anak, dan cucu dari terdakwa.
(2) Orang yang dibebaskan sebagai saksi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dapat diperiksa sebagai saksi apabila
mereka menghendaki dan disetujui
secara tegas oleh terdakwa.
(3) Tanpa persetujuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), mereka
dapat memberikan keterangan sebagai
saksi tanpa disumpah.
Pasal 36 -
Kewajiban memberikan kesaksian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
berlaku juga terhadap mereka yang menurut
pekerjaan, harkat dan martabat atau
jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia,
kecuali petugas agama yang menurut
keyakinannya harus menyimpan rahasia.
Pasal 37
Pasal 37 dipecah menjadi 2 (dua) pasal
(1) Terdakwa mempunyai hak untuk
yakni menjadi Pasal 37 dan Pasal 37 A
membuktikan bahwa ia tidak
dengan ketentuan sebagai berikut:
melakukan tindak pidana korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa dapat Pasal 37 dengan substansi yang berasal
membuktikan bahwa ia tidak dari ayat (1) dan ayat (2) dengan
melakukan tindak pidana korupsi, penyempurnaan pada ayat (2) frasa yang
maka keterangan tersebut berbunyi "keterangan tersebut
dipergunakan sebagai hal yang dipergunakan sebagai hal yang
menguntungkan baginya. menguntungkan baginya" diubah menjadi
(3) Terdakwa wajib memberikan "pembuktian tersebut digunakan oleh
keterangan tentang seluruh harta pengadilan sebagai dasar untuk
bendanya dan harta benda istri atau menyatakan bahwa dakwaan tidak
suami, anak, dan harta benda setiap terbukti", sehingga bunyi keseluruhan
orang atau korporasi yang diduga Pasal 37 adalah sebagai berikut:
mempunyai hubungan dengan perkara
yang bersangkutan. Pasal 37
(4) Dalam hal terdakwa tidak dapat (1) Terdakwa mempunyai hak untuk
membuktikan tentang kekayaan yang membuktikan bahwa ia tidak
tidak seimbang dengan melakukan tindak pidana korupsi.
penghasilannya atau sumber
penambah kekayaannya, maka (2) Dalam hal terdakwa dapat
keterangan tersebut dapat digunakan membuktikan bahwa ia tidak
untuk memperkuat alat bukti yang melakukan tindak pidana korupsi,
maka pembuktian tersebut
sudah ada bahwa terdakwa telah dipergunakan oleh pengadilan sebagai
melakukan tindak pidana korupsi. dasar untuk menyatakan bahwa
(5) Dalam keadaan sebagaimana dakwaan tidak terbukti.
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
Pasal 37 A dengan substansi yang berasal
ayat (3), dan ayat (4), penuntut umum
dari ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dengan
tetap berkewajiban untuk
penyempurnaan kata "dapat" pada ayat (4)
membuktikan dakwaannya.
dihapus dan penunjukan ayat (1) dan ayat
(2) pada ayat (5) dihapus, serta ayat (3),
ayat (4), dan ayat (5) masing-masing
berubah menjadi ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3), sehingga bunyi keseluruhan
Pasal 37 A adalah sebagai berikut:
Pasal 37 A
(1) Terdakwa wajib memberikan
keterangan tentang seluruh harta
bendanya dan harta benda istri atau
suami, anak, dan harta benda setiap
orang atau korporasi yang diduga
mempunyai hubungan dengan perkara
yang didakwakan.
(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat
membuktikan tentang kekayaan yang
tidak seimbang dengan
penghasilannya atau sumber
penambahan kekayaannya, maka
keterangan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) digunakan untuk
memperkuat alat bukti yang sudah ada
bahwa terdakwa telah melakukan
tindak pidana korupsi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan
tindak pidana atau perkara pokok
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14,
Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan
Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga
penuntut umum tetap berkewajiban
untuk membuktikan dakwaannya.
Pasal 38
Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 ditambahkan
(1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil
3 (tiga) pasal baru yakni Pasal 38 A, Pasal 38
secara sah, dan tidak hadir di sidang
B, dan Pasal 38 C yang seluruhnya berbunyi
pengadilan tanpa alasan yang sah,
sebagai berikut :
maka perkara dapat diperiksa dan
diputus tanpa kehadirannya Pasal 38 A
(2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang
berikutnya sebelum putusan Pembuktian sebagaimana dimaksud dalam
dijatuhkan, maka terdakwa wajib Pasal 12 B ayat (1) dilakukan pada saat
diperiksa, dan segala keterangan saksi pemeriksaan di sidang pengadilan.
dan surat-surat yang dibacakan dalam Pasal 38 B
sidang sebelumnya dianggap sebagai
diucapkan dalam sidang yang (1) Setiap orang yang didakwa melakukan
sekarang. salah satu tindak pidana korupsi
(3) Putusan yang dijatuhkan tanpa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
kehadiran terdakwa diumumkan oleh Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14,
penuntut umum pada papan Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-
pengumuman pengadilan, kantor undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah, atau Pemberantasan Tindak Pidana
diberitahukan kepada kuasanya. Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan
(4) Terdakwa atau kuasanya dapat Pasal 12 Undang-undang ini, wajib
mengajukan banding atas putusan membuktikan sebaliknya terhadap
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). harta benda miliknya yang belum
(5) Dalam hal terdakwa meninggal dunia didakwakan, tetapi juga diduga berasal
sebelum putusan dijatuhkan dan dari tindak pidana korupsi.
terdapat bukti yang cukup kuat bahwa (2) Dalam hal terdakwa tidak dapat
yang bersangkutan telah melakukan membuktikan bahwa harta benda
tindak pidana korupsi, maka hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
atas tuntutan penuntut umum diperoleh bukan karena tindak pidana
menetapkan perampasan barang- korupsi, harta benda tersebut dianggap
barang yang telah disita. diperoleh juga dari tindak pidana
(6) Penetapan perampasan sebagaimana korupsi dan hakim berwenang
dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat memutuskan seluruh atau sebagian
dimohonkan upaya banding. harta benda tersebut dirampas untuk
(7) Setiap orang yang berkepentingan negara.
dapat mengajukan keberatan kepada
pengadilan yang telah menjatuhkan (3) Tuntutan perampasan harta benda
penetapan sebagaimana dimaksud sebagaimana dimaksud dalam
dalam ayat (5), dalam waktu 30 (tiga ayat (2) diajukan oleh penuntut umum
puluh) hari terhitung sejak tanggal pada saat membacakan tuntutannya
pengumuman sebagaimana dimaksud pada perkara pokok.
dalam ayat (3). (4) Pembuktian bahwa harta benda
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
bukan berasal dari tindak pidana
korupsi diajukan oleh terdakwa pada
saat membacakan pembelaannya
dalam perkara pokok dan dapat
diulangi pada memori banding dan
memori kasasi.
(5) Hakim wajib membuka persidangan
yang khusus untuk memeriksa
pembuktian yang diajukan terdakwa
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).
(6) Apabila terdakwa dibebaskan atau
dinyatakan lepas dari segala tuntutan
hukum dari perkara pokok, maka
tuntutan perampasan harta benda
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2) harus ditolak oleh hakim.
Pasal 38 C
Apabila setelah putusan pengadilan telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui
masih terdapat harta benda milik terpidana
yang diduga atau patut diduga juga berasal dari
tindak pidana korupsi yang belum dikenakan
perampasan untuk negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka
negara dapat melakukan gugatan perdata
terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.
Pasal 39 -
Jaksa Agung mengkoordinasikan dan
mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi yang
dilakukan bersama-sama oleh orang yang
tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan
Militer.
Pasal 40 -
Dalam hal terdapat cukup alasan untuk
mengajukan perkara korupsi di lingkungan
Peradilan Militer, maka ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat
(1) huruf g Undang-undang Nomor 31 Tahun
1997 tentang Peradilan Militer tidak dapat
diberlakukan.
Pasal 43 A
(1) Tindak pidana korupsi yang terjadi
sebelum Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi diundangkan, diperiksa dan diputus
berdasarkan ketentuan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, dengan ketentuan
maksimum pidana penjara yang
menguntungkan bagi terdakwa diberlakukan
ketentuan dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7,
Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 Undang-undang
ini dan Pasal 13 Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
(2) Ketentuan minimum pidana penjara dalam
Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan
Pasal 10 Undang-undang ini dan Pasal 13
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi tidak berlaku bagi tindak pidana
korupsi yang terjadi sebelum berlakunya
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
(3) Tindak pidana korupsi yang terjadi
sebelum Undang-undang ini diundangkan,
diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, dengan ketentuan mengenai
maksimum pidana penjara bagi tindak pidana
korupsi yang nilainya kurang dari Rp
5.000.000,00 (lima juta rupiah) berlaku
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 A ayat (2) Undang-undang ini.
Pasal 12B
(1) Penyadapan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (1), dilaksanakan
setelah mendapatkan izin tertulis dari
Dewan Pengawas.
(2) Untuk mendapatkan izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
berdasarkan permintaan secara tertulis
dari Pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi.
(3) Dewan Pengawas dapat memberikan
izin tertulis terhadap permintaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
paling lama 1 x 24 (satu kali dua
puluh empat) jam terhitung sejak
permintaan diajukan.
(4) Dalam hal Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi mendapatkan
izin tertulis dari Dewan Pengawas
sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Penyadapan dilakukan paling lama 6
(enam) bulan terhitung sejak izin
tertulis diterima dan dapat
diperpanjang 1 (satu) kali untuk
jangka waktu yang sama.
Pasal 12C
(1) Penyelidik dan penyidik melaporkan
Penyadapan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (1) yang sedang
berlangsung kepada Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi secara
berkala.
(2) Penyadapan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (1) yang telah
selesai dilaksanakan harus
dipertanggungjawabkan kepada
Pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi dan Dewan Pengawas paling
lambat 14 (empat belas) hari kerja
terhitung sejak Penyadapan selesai
dilaksanakan.
Pasal 12D
(1) Hasil Penyadapan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1)
bersifat rahasia dan hanya untuk
kepentingan peradilan dalam
Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
(2) Hasil Penyadapan yang tidak terkait
dengan Tindak Pidana Korupsi yang
sedang ditangani Komisi
Pemberantasan Korupsi wajib
dimusnahkan seketika.
(3) Dalam hal kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak
dilaksanakan, pejabat dan/atau orang
yang menyimpan hasil Penyadapan
dijatuhi hukuman pidana sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 13 Pasal 13
Dalam melaksanakan tugas pencegahan Dalam melaksanakan tugas untuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, melaksanakan penetapan hakim dan putusan
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam
melaksanakan langkah atau upaya Pasal 6 huruf f, Komisi Pemberantasan
pencegahan sebagai berikut : Korupsi berwenang melakukan tindakan
a. melakukan pendaftaran dan hukum yang diperlukan dan dapat
pemeriksaan terhadap laporan harta dipertanggungjawabkan sesuai dengan isi dari
kekayaan penyelenggara negara; penetapan hakim atau putusan pengadilan.
b. menerima laporan dan menetapkan
status gratifikasi;
c. menyelenggarakan program
pendidikan antikorupsi pada setiap
jenjang pendidikan;
d. merancang dan mendorong
terlaksananya program sosialisasi
pemberantasan tindak pidana korupsi;
e. melakukan kampanye antikorupsi
kepada masyarakat umum;
f. melakukan kerja sama bilateral atau
multilateral dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi.
Pasal 14 Pasal 14 dihapus.
Dalam melaksanakan tugas monitor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e,
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:
a. melakukan pengkajian terhadap
sistem pengelolaan administrasi di
semua lembaga negara dan
pemerintah;
b. memberi saran kepada pimpinan
lembaga negara dan pemerintah untuk
melakukan perubahan jika
berdasarkan hasil pengkajian, sistem
pengelolaan administrasi tersebut
berpotensi korupsi;
c. melaporkan kepada Presiden Republik
Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia, dan Badan
Pemeriksa Keuangan, jika saran
Komisi Pemberantasan Korupsi
mengenai usulan perubahan tersebut
tidak diindahkan.
Pasal 15 Pasal 15
Komisi Pemberantasan Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi
berkewajiban: berkewajiban:
a. memberikan perlindungan terhadap a. memberikan perlindungan terhadap
saksi atau pelapor yang saksi atau pelapor yang
menyampaikan laporan ataupun menyampaikan laporan ataupun
memberikan keterangan mengenai memberikan keterangan mengenai
terjadinya tindak pidana korupsi; terjadinya Tindak Pidana Korupsi
b. memberikan informasi kepada sesuai dengan ketentuan peraturan
masyarakat yang memerlukan atau perundang-undangan;
memberikan bantuan untuk b. memberikan informasi kepada
memperoleh data lain yang berkaitan masyarakat yang memerlukan atau
dengan hasil penuntutan tindak pidana memberikan bantuan untuk
korupsi yang ditanganinya; memperoleh data yang berkaitan
c. menyusun laporan tahunan dan dengan hasil penuntutan Tindak
menyampaikannya kepada Presiden Pidana Korupsi yang ditanganinya;
Republik Indonesia, Dewan c. menyusun laporan tahunan dan
Perwakilan Rakyat Republik menyampaikannya kepada Presiden
Indonesia, dan Badan Pemeriksa Republik Indonesia, Dewan
Keuangan; Perwakilan Rakyat Republik
d. menegakkan sumpah jabatan; Indonesia, dan Badan Pemeriksa
e. menjalankan tugas, tanggung jawab, Keuangan;
dan wewenangnya berdasarkan asas- d. menegakkan sumpah jabatan;
asas sebagaimana dimaksud dalam e. menjalankan tugas, tanggung jawab,
Pasal 5. dan wewenangnya berdasarkan asas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5;
dan
f. menyusun kode etik pimpinan dan
Pegawai Komisi Pemberantasan
Korupsi.
Pasal 38 Pasal 38
(1) Segala kewenangan yang berkaitan Segala kewenangan yang berkaitan dengan
dengan penyelidikan, penyidikan, dan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
penuntutan yang diatur dalam yang diatur dalam undang-undang yang
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 mengatur mengenai hukum acara pidana
tentang Hukum Acara Pidana berlaku berlaku juga bagi penyelidik, penyidik dan
juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan
penuntut umum pada Komisi Korupsi, kecuali ditentukan lain berdasarkan
Pemberantasan Korupsi. Undang-Undang ini.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana tidak berlaku
bagi penyidik tindak pidana korupsi
sebagaimana ditentukan dalam
Undang-Undang ini.
Pasal 39 -
(1) Penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi
dilakukan berdasarkan hukum acara
pidana yang berlaku dan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-Undang ini.
(2) Penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan
berdasarkan perintah dan bertindak
untuk dan atas nama Komisi
Pemberantasan Korupsi.
(3) Penyelidik, penyidik, dan penuntut
umum yang menjadi pegawai pada
Komisi Pemberantasan Korupsi,
diberhentikan sementara dari instansi
kepolisian dan kejaksaan selama
menjadi pegawai pada Komisi
Pemberantasan Korupsi.
Pasal 40 Pasal 40
Komisi Pemberantasan Korupsi tidak (1) Komisi Pemberantasan Korupsi dapat
berwenang mengeluarkan surat perintah menghentikan penyidikan dan
penghentian penyidikan dan penuntutan penuntutan terhadap perkara Tindak
dalam perkara tindak pidana korupsi. Pidana Korupsi yang penyidikan dan
penuntutannya tidak selesai dalam
jangka waktu paling lama 2 (dua)
tahun.
(2) Penghentian penyidikan dan
penuntutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus dilaporkan kepada
Dewan Pengawas paling lambat 1
(satu) minggu terhitung sejak
dikeluarkannya surat perintah
penghentian penyidikan dan
penuntutan.
(3) Penghentian penyidikan dan
penuntutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus diumumkan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi
kepada publik.
(4) Penghentian penyidikan dan
penuntutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat dicabut oleh
Pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi apabila ditemukan bukti baru
yang dapat membatalkan alasan
penghentian penyidikan dan
penuntutan, atau berdasarkan putusan
praperadilan sebagaimana dimaksud
dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 57 -
(1) Untuk dapat ditetapkan sebagai hakim
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
56 ayat (2) harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. berpengalaman menjadi hakim
sekurang-kurangnya 10 (sepuluh)
tahun;
b. berpengalaman mengadili tindak
pidana korupsi;
c. cakap dan memiliki integritas moral
yang tinggi selama menjalankan
tugasnya; dan
d. tidak pernah dijatuhi hukuman
disiplin.
(2) Untuk dapat diusulkan sebagai hakim
ad hoc Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 56 ayat (3) harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. berpendidikan sarjana hukum atau
sarjana lain yang mempunyai
keahlian dan berpengalaman
sekurang-kurangnya 15 (lima
belas) tahun di bidang hukum;
e. berumur sekurang-kurangnya 40
(empat puluh) tahun pada proses
pemilihan;
f. tidak pernah melakukan perbuatan
tercela;
g. cakap, jujur, memiliki integritas
moral yang tinggi, dan memiliki
reputasi yang baik;
h. tidak menjadi pengurus salah satu
partai politik; dan
i. melepaskan jabatan struktural dan
atau jabatan lainnya selama
menjadi hakim ad hoc.
Pasal 58 -
(1) Perkara tindak pidana korupsi
diperiksa dan diputus oleh Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi dalam waktu
90 (sembilan puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal perkara
dilimpahkan ke Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi.
(2) Pemeriksaan perkara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
majelis hakim berjumlah 5 (lima)
orang yang terdiri atas 2 (dua) orang
hakim Pengadilan Negeri yang
bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim
ad hoc.
Pasal 59 -
(1) Dalam hal putusan Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi dimohonkan banding
ke Pengadilan Tinggi, perkara tersebut
diperiksa dan diputus dalam jangka
waktu paling lama 60 (enam puluh)
hari kerja terhitung sejak tanggal
berkas perkara diterima oleh
Pengadilan Tinggi.
(2) Pemeriksaan perkara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
oleh majelis hakim berjumlah 5 (lima)
orang yang terdiri atas 2 (dua) orang
hakim Pengadilan Tinggi yang
bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim
ad hoc.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 57 juga berlaku bagi
hakim ad hoc pada Pengadilan Tinggi.
Pasal 60 -
(1) Dalam hal putusan Pengadilan Tinggi
Tindak Pidana Korupsi dimohonkan
kasasi kepada Mahkamah Agung,
perkara tersebut diperiksa dan diputus
dalam jangka waktu paling lama 90
(sembilan puluh) hari kerja terhitung
sejak tanggal berkas perkara diterima
oleh Mahkamah Agung.
(2) Pemeriksaan perkara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
oleh Majelis Hakim berjumlah 5
(lima) orang yang terdiri atas 2 (dua)
orang Hakim Agung dan 3 (tiga)
orang hakim ad hoc.
(3) Untuk dapat diangkat menjadi hakim
ad hoc pada Mahkamah Agung harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut
: a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. berpendidikan sarjana hukum atau
sarjana lain yang mempunyai
keahlian dan berpengalaman
sekurang-kurangnya 20 (dua
puluh) tahun di bidang hukum;
e. sekurang-kurangnya 50 (lima
puluh) tahun pada proses
pemilihan; d. tidak pernah
melakukan perbuatan tercela;
f. cakap, jujur, memiliki integritas
moral yang tinggi, dan memiliki
reputasi yang baik;
g. tidak menjadi pengurus salah satu
partai politik; dan
h. melepaskan jabatan struktural dan
atau jabatan lainnya selama
menjadi hakim ad hoc.
Pasal 61 -
(1) Sebelum memangku jabatan, hakim ad
hoc wajib mengucapkan sumpah/janji
menurut agamanya di hadapan
Presiden Republik Indonesia.
(2) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut
:
a. Saya bersumpah/berjanji dengan
sungguh-sungguh bahwa saya
untuk melaksanakan tugas ini,
langsung atau tidak langsung,
dengan menggunakan nama atau
cara apapun juga, tidak akan
memberikan atau menjanjikan
sesuatu apapun kepada siapapun
juga”.
b. Saya bersumpah/berjanji bahwa
saya, untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam tugas
ini, tidak sekali-kali akan
menerima langsung atau tidak
langsung dari siapapun juga suatu
janji atau pemberian".
c. Saya bersumpah/berjanji bahwa
saya akan setia kepada dan akan
mempertahankan serta
mengamalkan Pancasila sebagai
dasar negara, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, serta peraturan
perundang-undangan yang berlaku
bagi negara Republik Indonesia".
d. Saya bersumpah/berjanji bahwa
saya senantiasa akan menjalankan
tugas ini dengan jujur, seksama,
dan obyektif dengan tidak
membeda-bedakan orang, dan
akan menjunjung tinggi etika
profesi dalam melaksanakan
kewajiban saya ini dengan sebaik-
baiknya dan seadil-adilnya seperti
layaknya bagi seorang petugas
yang berbudi baik dan jujur dalam
menegakkan hukum dan keadilan".
Pasal 62 -
Pemeriksaan di sidang Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi dilakukan berdasarkan hukum
acara pidana yang berlaku dan Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.