Anda di halaman 1dari 15

Nama : Yemima Yerikha

NIM : 1810611080
Kelas :F
Nama Dosen : Dr. Alfitra, SH. MH.

1. Apakah yang dimaksud dengan sistem pembuktian Conviction In Time, Conviction


In Raisone, positief wettelijk bewijsstelsel, negatief wettelijk bewijsstelsel dan sistem
pembuktian dalam KUHAP ? (10)
JAWAB :
a) conviction in time
Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim belaka (conviction in time)
Sistem pembuktian conviction in time ini menentukan salah tidaknya seorang terdakwa,
semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakimlah yang
menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan
keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan
disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga
hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan oleh hakim, dan langsung menarik keyakinan
dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem ini mengandung kelemahan, karena hakim
dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan”
belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya, hakim dapat leluasa
membebaskan terdakwa dari hukuman tindak pidana yang dilakukanya walaupun kesalahan
yang didakwakan kepada terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap,
selama hakim tidak yakin dengan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Sistem ini
seolah-olah menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim.
Menurut Andi Hamzah, sistem ini dianut oleh peradilan jury di Prancis. Praktek peradilan
jury di Prancis membuat pertimbangan berdasarkan metode ini dan mengakibatkan
banyaknya putusan bebas yang sangat aneh, sedang menurut Wirjono Prodjodikoro
mengatakan, pembuktian demikian pernah dianut di Indonesia, yaitu pada Pengadilan distrik
dan Pengadilan kabupaten, Sistem ini memungkinkan hakim menyebutkan apa saja yang
menjadi dasar keyakinanya, misalnya keterangan medium.

b) conviction end raisione


Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan logis (conviction
raisonnee/convictim-raisonnee)
Dalam sistem pembuktian ini keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam
menentukan bersalah atau tidaknya seorang terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian
ini, faktor keyakinan hakim ”dibatasi”. Jika dalam sistem pembuktian convictim in time
peran keyakinan hakim leluasa tanpa batas, maka pada sistem convictim-raisonnee,
keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Keyakinan hakim harus
mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima oleh akal. Tidak
semata-mata dasar keyakinan tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal.
Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas
menyebutkan alasan-alasan keyakinanya (vrije bewijstheorie). Sistem teori pembuktian jalan
tengah atau yang berdasarkan:
Pertama, yang tersebut diatas yaitu pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan
yang logis (conviction raisonee) dan yang kedua ialah teori pembuktian berdasarkan Undang-
undang secara negatif (negatief wettelijk bewijstheorie). Persamaan antara keduannya ialah
keduanya sama berdasar atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana
tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah. Perbedaanya bahwa yang tersebut pertama
berpangkal tolak pada keyakinan hakim, tetapi keyakinan itu harus didasarkan kepada suatu
kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan kepada Undang-undang, tetapi
ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri, menurut pilihannya sendiri
tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang ia akan pergunakan.
Sedangkan kedua berpangkal pada tolak pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan
secara limintatif oleh Undang-undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan hakim.
Jadi dapat disimpulkan bahwa perbedaannya ada dua, yaitu yang pertama pangkal tolaknya
pada keyakiinan hakim.
Sedangkan yang kedua pada ketentuan Undang-undang. Kemudian pada yang pertama
dasarnya ialah suatu konklusi yang tidak didasarkan Undang-undang, sedangkan pada yang
kedua didasarkan kepada Undang-undang yang disebut secara limintatif.
 
c) postive witdelikstelsel
Sistem Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Positif (Positive Wettelijk
Bewijstheorie)
Pembuktian menurut Undang-undang secara positif merupakan pembuktian yang bertolak
belakang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction in time.
Disebut demikian karena hanya didasarkan kepada Undang-undang melulu. Artinya, jika
telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Undang-
undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori
pembuktian formal (formele bewijstheorie). Menurut D.Simons, sebagaimana dikutip Andi
Hamzah, sistem atau teori berdasarkan pembuktian Undang-undang secara positif (positief
wettelijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan
mengikat hakim secara ketat menurut Peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Dianut di
Eropa pada waktu berlakunya asas inkisitoir (inquisitoir) dalam acara pidana. M.Yahya
Harahap mengatakan, sistem pembuktian Undang-Undang secara positif lebih sesuai
dibandingkan dengan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim belaka. Sistem
pembuktian menurut Undang-undang lebih dekat kepada prinsip penghukuman berdasar
hukum, artinya penjatuhan hukuman terhadap seseorang semata-mata tidak diletakkan di
bawah kewenangan hakim, tetapi di atas kewenangan Undang-undang berlandaskan asas
seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika apa yang didakwakan kepadanya
benar-benar terbukti berdasarkan tata cara dan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-
undang. Dalam hal ini Hakim hanya bertindak sebagai corong Undang-Undang .
Menurut Wirjono Prodjodikoro, teori ini tidak mendapat penganut lagi. Beliau juga menolak
teori pembuktian ini, karena bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran selain dengan
cara menyatakan kepada keyakinanya tentang hal kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang
hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali sesuai dengan keyakinan masyarakat.
 
d) negative witdelikstelsel
Sistem pembuktian Undang-undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk stelsel)
Pada prinsipnya, sistem pembuktian menurut Undang-undang negatif (negatief wettlijke
bewijs theorie) menentukan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana terhadap
terdakwa apabila alat bukti tersebut secara limintatif ditentukan oleh Undang-undang dan
didukung pula oleh adanya keyakinan hakim terhadap eksistensi alat-alat bukti tersebut. Dari
aspek historis ternyata sistem pembuktian menurut Undang-undang secara negatif,
hakikatnya merupakan “peramuan” antara sistem pembuktian menurut Undang-undang
secara positif (positief wettelijke bewijs theorie) dan sistem pembuktian berdasarkan
keyakinan hakim (conviction intim/conviction raisonce).
Dengan peramuan ini, substansi sistem pembuktian menurut Undang-undang secara negatif
(negatief wettelijke bewijs theorie) tentulah melekat adanya anasir prosedural dan tata
pembuktian sesuai dengan alat-alat bukti sebagaimana limintatif ditentukan Undang-undang
dan terhadap alat-alat bukti tersebut hakim baik secara materiel maupun secara prosedural.
D.Simon mengemukakan, dalam sistem atau teori pembuktian yang berdasarkan Undang-
undang secara negatif (negatief wettlijke bewijs theorie) ini, pemidanaan didasarkan kepada
pembuktian yang berganda (dubbel en grondslag), yaitu pada peraturan Perundang-undangan
dan pada keyakinan hakim, dan menurut Undang-undang, dasar keyakinan hakim itu
bersumberkan pada peraturan Undang-undang
Wirjono Prodjodikoro berpendapat, bahwa sistem pembuktian berdasarkan Undang-undang
secara negatif (negatief wettlijke bewijs theorie) sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua
alasan, pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan
terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa
memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua adalah
berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada
patokan-patokan tertentu yang harus dituruti oleh hakim dalam melakukan peradilan.
M.Yahya Harahap berpendapat lain, sistem pembuktian ini dalam praktek penegakan hukum
akan lebih cenderung pada pendekatan sistem pembuktian menurut Undang-undang secara
positif. Sedangkan mengenai keyakinan hakim, hanya bersifat unsure pelengkap dan lebih
berwarna sebagai unsure formil dalam model putusan. Unsur keyakinan hakim dalam praktek
dapat saja dikesampingkan apabila keyakinan itu tidak dilandasi oleh pembuktian yang
cukup. Sekalipun hakim yakin dengan seyakin-yakinnya akan kesalahan terdakwa, keyakinan
itu dapat saja dianggap tidak mempunyai nilai jika tidak dibarengi dengan pembuktian yang
cukup. Sebaliknya, seandainya kesalahan terdakwa telah terbukti dengan cukup, dan hakim
lalai mencantumkan keyakinanya, kealpaan itu tidak mengakibatkan batalnya putusan.
Hal lain berkaitan dengan keyakinan hakim ini adalah seperti apa disebutkan dalam Pasal 158
KUHAP, hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang
keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa.

e) sistem pembuktian menurut KUHAP


Setelah sebelumnya dijelaskan beberapa teori dan sistem pembuktian yang ada dalam hukum
acara pidana, maka pada bagian ini coba dikaji sistem pembuktian mana yang sebenarnya
diatur dan dianut oleh KUHAP. Sistem pembuktian manakah diantara salah satu sistem dan
teori pembuktian yang ada diatas tersebut yang diatur didalam KUHAP?. Jawaban dari
pernyataan tersebut dijabarkan dalam Pasal 183 KUHAP, yang berbunyi:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukanya”
Jika dibandingkan bunyi Pasal 183 KUHAP dengan Pasal 294 HIR, hampir bersamaan bunyi
dan maksud yang terkandung didalamnya yang berbunyi:
“Tidak akan dijatuhkan hukuman kepada seorang pun jika hakim tidak yakin kesalahan
terdakwa dengan upaya bukti menurut Undang-undang bahwa benar telah terjadi perbuatan
pidana dan bahwa tertuduhlah yang salah melakukan perbuatan itu”
Sebenarnya sebelum diberlakukanya KUHAP, ketentuan yang sama telah berlaku dalam
Undang-undang Pokok Tentang Kekuasaan Kehakiman (UUPKK) Pasal 6 yang berbunyi:
“Tiada seorang pun juga dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan karena alat
pembuktian yang sah menurut Undang-undang mendapat keyakinan, bahwa seseorang yang
dianggap dapat bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas
dirinya”
Menurut Andi Hamzah:
“Kelemahan rumusan Undang-undang ini ialah disebutkan alat pembuktian, bukan alat-alat
pembuktian, seperti dalam Pasal 183 KUHAP disebut dua alat bukti.”
Dari bunyi pasal tersebut, baik yang termuat pada Pasal 183 KUHAP maupun yang
dirumuskan dalam Pasal 294 HIR, sama-sama menganut sistem “pembuktian menurut
Undang-undang secara negatif” perbedaan antara keduanya, hanya terletak pada penekananya
saja. Pada Pasal 183 KUHAP syarat, “Pembuktian menurut cara dan alat bukti yang sah”.
Lebih ditekankan dalam perumusannya. Hal ini dapat dibaca dalam kalimat: ketentuan
pembuktian yang memadai untuk menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa “sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah”. Dengan demikian Pasal 183 KUHAP mengatur untuk
menentukan salah tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana pada seorang
terdakwa, harus:
a. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya “dua alat bukti yang sah”.
b. Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim
“memperoleh keyakinan” bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah
yang bersalah melakukanya.
Untuk menjajaki alasan pembuat Undang-undang merumuskan Pasal 183 KUHAP,
barangkali ditujukan untuk mewujudkan suatu ketentuan yang seminimal mungkin dapat
menjamin “tegaknya kebenaran sejati” serta “tegaknya keadilan dan kepastian hukum”.
Pendapat ini dapat diambil dari makna penjelasan Pasal 183 KUHAP.

M. Yahya Harahap menyatakan bahwa:


“Dari penjelasan Pasal 183 pembuat Undang-undang telah menentukan pilihan bahwa sistem
pembuktian yang paling tepat dalam kehidupan penegakan hukum di Indonesia ialah sistem
pembuktian menurut Undang-undang secara negatif, demi tegaknya keadilan, kebenaran, dan
kepastian hukum. Karena dalam sistem pembuktian ini, terpadu kesatuan penggabungan
antara sistem conviction-in time dengan sistem pembuktian menurut Undang-undang secara
positif (positief wettenlijk stelse).”
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro:
“Bahwa sistem yang dipertahankan oleh Indonesia sampai sekarang dalam KUHAP adalah
sistem pembuktian berdasarkan Undang-undang secara negatif (negative wettenlijk), oleh
karena adanya dua alasan penting, yakni: pertama memang sudah selayaknya harus ada
keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman
pidana. Janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas
kesalahan terdakwa. Kedua ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam
menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim
dalam melakukan peradilan.”
Jika direnungkan lebih jauh, sangat berbahaya dan sangat dekat dengan kesewenangan-
wenangan seandainya penilaian kesalahan terdakwa semata-mata ditentukan oleh keyakinan
seperti yang dianut sistem pembuktian conviction-in time, sebab keyakinan itu bersifat
abstrak dan tersembunyi secara subjektif, dan sulit mengujinya dengan cara dan ukuran
objektif. Oleh karena itu, sistem pembuktian menurut keyakinan hakim semata-mata,
mempunyai tendensi kecenderungan untuk menyerahkan sepenuhnya penentuan salah atau
tidaknya terdakwa kepada penilaian subjektif hakim.
Sedangkan masalah subjektif seorang manusia, sangat dipengaruhi oleh latar belakang
kehidupan yang bersangkutan.
Yahya Harahap mengatakan bahwa:
“Setiap manusia memiliki sikap keyakinan yang berbeda sehingga akan dikhawatirkan
praktek penegakan hukum yang berbeda dan beragama dalam pemidanaan. Akan tetapi,
sebaliknya jika pemidanaan terdakwa semata-mata digantungkan kepada ketentuan cara dan
menurut alat-alat bukti yang sah tanpa didukung keyakinan hakim, kebenaran, dan keadilan
yang diwujudkan dalam upaya penegakan hukum, sedikit banyak agak jauh dari kebenaran
sejati, karena hanya mewujudkan kebenaran formal belaka, dan dapat menumbulkan tekanan
batin kepada hakim karena menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa yang diyakininya
tidak benar-benar bersalah.”
2. Apakah yang dimaksud dengan sistem Inquisitoir - aqusatioir, sistem adversary
model — non adversary model, crime control model - due process model dan sistem
yang dianut KUHAP ? (10)
JAWAB :
Dinegara-negara yang menganut Common Law System, sistem peradilan pidana mengandung
dua model yaitu :
a. Inquisitoir – Aqusatioir
Sistem Inquisitoir mengaanggap si tersangka suatu barang, suatu objek, yang harus diperiksa
berhubung dengan suatu pendakwaan. Pemeriksaan seperti ini berupa pendengaran si
tersangka tentang dirinya pribadi. Sedang S. Tarif, SH mengenai Iquisitoir mengemukakan
sebagai berikut:
Tersangka dianggap sebagai objek yang harus diperiksa. Pemeriksaan ini berupa
pendengaran, keterangan-keterangan tersangka tentang dirinya, dan biasanya pemeriksa
sudah a-priori berkeyakinan bahwa kesalahannya tersangka, sehingga sering terjadi paksaan
terhadap tersangka untuk mengaku kesalahannya sehingga kadang-kadang dilakukanya
penganiyaan.
Menurut Abdurrahman SH sistem inquisitoir adalah Suatu system pemeriksaan yang
memandang seseorang tertuduh sebagai objek dalam pemeriksaan yang berhadapan dengan
para pemeriksa dengan kedudukan yang lebih tinggi dalam suatu pemeriksaan yang
dilakukan secara tertutup.Dengan melihat beberapa pendapat, dapat disimpulkan sebagai
berikut:
Kedudukan tersangka sangat lemah dan tidak menguntungkan karena dalam system
inquisitoir tersangka masih dianggap sebagai barang atau objek yang harus diperiksa. Para
petugas pemeriksa atau pendakwa biasanya mendorong atau memaksa tersangka untuk
mengakui kesalahanya dengan cara pemaksaan bahakan seringkali dengan penganiayaan.
Bersifat rahasia atau tertutup, ini berarti bahwa pemeriksaan pidana dengan menggunakan
system inquisitoir khusus pada pemeriksaan pendahuluan masih bersifat rahasia sehingga
keluarga dan penasihat hukumnya belum berkenan mengetahui atau mendampingi si
tersangka.Tersangka belum boleh menghubungi penasihat hukumnya.Penguasa bersifat aktif
sedangkan tersangka pasif.
Jadi, inquisitoir adalah terdakwa yang menjadi objek pemeriksaan, sedangkan hakim dan
penuntut umum berada pada pihak yang sama. Asas yang dianut oleh sistem ini adalah si
tersangka dipandang sebagai objek pemeriksaan yang masih dianut oleh HIR untuk
pemeriksaan pendahuluan, sama halnya dengan Ned, Sv. yang lama yaitu tahun 1838 yang
direvisi tahun 1885
Sistem Aqusatiorir yakni menganggap seorang tersangka, yaitu pihak yang didakwa, sebagai
suatu subjek berhadap-hadapan dengan pihak yang mendakwa yaitu kepolisian atau
kejaksaan, sedimikian rupa, sehingga kedua belah pihak itu masing-masing mempunyai hak-
hak yang sama nilainya dan hakim berada diatas kedua belah pihak itu untuk menyelesaikan
soal perkara (pidana) antara mereka menurut peraturan hukum pidana yang berlaku.
Menurut Prof Mr. Dr. L.J Van Apeldoorn Sifat accusatoir dari acara pidana yang dimaksud
adalah prinsip dalam acara pidana, pendakwa (penuntut umum) dan terdakwa berhadapan
sebagai pihak yang sama haknya, yang melakukan pertarungan hukum (rectsstrijd) di muka
hakim yang hendak memihak; kebalikannya ialah asas “inquisitoir” dalam mana hakim
sendiri mengambil tindakan untuk mengusut, hakim sendiri bertindak sebagai orang yang
mendakwa, jadi dalam mana tugas orang yang menuntut, orang yang mendakwa dan hakim
disatukan dalam satu orang. Dalam Hukum Acara Pidana, akan dapat ditentukan azas tersurat
(tertulis) dan azas tersirat (tidak tertulis) dari kedua system di atas, yaitu Inquisitoir dan
Accusatoir.

b. Adversary model - Non-adversary model


Adversary model dalam sistem peradilan pidana menganut prinsip sebagai berikut:
1. Prosedur peradilan pidana harus merupakan suatu “sengketa” (dispute) antara kedua belah
pihak (tertuduh dan penuntut umum) dalam kedudukan (secara teoritis) yang sama dimuka
pengadilan.
2. Tujuan utama “prosedur” sebagaimana yang dimaksud pada butir 1 diatas adalah
menyelesaikan sengketa (dispute) yang timbul disebabkan timbulnya kejahatan.
3. Penggunaan cara pengajuan sanggahan atau pernyataan (pleadings) dan adanya lembaga
jaminan dan perundingan bukan hanya suatu keharusan,melainkan merupakan suatu hal yang
penting.
4. Para pihak atau kontestan memiliki fungsi yang otonom dan jelas,peranan penuntut umum
ialah melakukan penuntutan,peranan tertuduh ialah menolak atau menyanggah tuduhan. PU
bertujuan menetapkan fakta mana saja yang akan dibuktikan disertai bukti yang menunjang
fakta tersebut. Tertuduh bertugas menentukan fakta-fakta mana saja yang akan diajukan di
persidangan yang akan menguntungkan kedudukannya dengan menyampaikan bukti-bukti
lain sebagai penunjang fakta dimaksud.
Jadi, dalam adversary model peranan hakim dalam “sengketa” (dispute) adalah mengamati
para pihak sebagai wasit yang tidak memihak. Hakim akan berperan aktif apabila ada salah
satu pihak yang mengajukan keberatan atas argumentasi atau cara yang digunakan pihak lain
dalam menunjang fakta yang diajukan dimuka siding. Setelah proses persidangan selesai,
hakim diharapkan dapat menentukan putusannya.
Kebenaran dalam adversary model hanya dapat diperoleh dengan memberikan kesempatan
yang sama kepada masing-masing pihak (tertuduh dan penuntut umum) untuk mengajukan
argumentasi disertai bukti penunjangnya.
Sistem pembuktian berdasarkan adversary model sesungguhnya ditujukan untuk mengurangi
kemungkinan dituntutnya seseorang yang nyata-nyata tidak bersalah. Selain itu juga,lebih
membatasi ruang gerak aparat penegak hukum tertutama pihak kepolisian bahkan, termasuk
hakim pengadilan masih dibatasi oleh ketentuan

Sedangkan “non-adversary model” menganut prinsip bahwa:


1. Proses pemeriksaan harus bersifat lebih formal dan berkesinambungan serta dilaksanakan
atas dasar praduga bahwa kejahatan telah dilakukan (presumption of guilt).
2. Tujuan utamanya adalah menetapkan apakah dalam kenyataannya perbuatan tersebut
merupakan perkara pidana, dan apakah penjatuhan hukuman dapat dibenarkan karenanya.
3. Penelitan terhadap fakta yang diajukan oleh para pihak (penuntut umum dan tertuduh) oleh
hakim dapat berlaku tidak terbatas dan tidak bergantung panda atau tidak perlu memperoleh
izin para pihak.
4. Kedudukan masing-masing pihak-penuntut umum dan tertuduh-tidak lagi otonom dan
sederajat.
5. Semua sumber informasi yang dapat dipercaya dapat dipergunakan guna kepentingan
pemeriksaan pendahuluan ataupun di persidangan. Tertuduh merupakan obyek utama dalam
pemeriksaan.
Kebenaran dalam non adversary model hanya dapat diperoleh melalui suatu penyelidikan
oleh pihak pengadilan yang tidak memihak.
Dalam non adversary model, sistem pembuktian lebih cenderung ditujukan untuk mencapai
kebebasan (material) dari suatu perkara pidana. Peranan hakim yang aktif dalam menilai
kebenaran atas fakta yang diajukan dimuka persidangan, dapat dikatakan merupakan cara
mencapai tujuan sebagaimana dimaksudkan diatas.
Persamaan sistem ini adalah dapat dinilai dari pandangan yang sama tentang nilai kebenaran
suatu proses penyelesaian perkara pidana.

c. Crime Control Model – Due Process Model


Pada Crime Control Model didasarkan pada anggapan bahwa penyelenggaraan peradilan
pidana adalah semata-mata untuk menindas perilaku kriminal  (criminal  conduct), dan ini
merupakan tujuan utama proses peradilan, karena yang diutamakan  adalah ketertiban umum
(public order) dan efisiensi (Ansorie Sabuan dkk,1990:6). Proses kriminal pada dasarnya
merupakan suatu perjuangan atau bahkan semacam perang antara dua kepentingan yang tidak
dapat dipertemukan kembali yaitu kepentingan negara dan kepentingan individu (terdakwa).
Di sini berlakulah  apa  yang  disebut  sebagai presumption of guilt (praduga bersalah) dan
“sarana cepat” dalam pemberantasan  kejahatan demi efisiensi. Dalam praktek model ini
mengandung  kelemahan  yaitu seringnya terjadi pelanggaran hak asasi manusia demi
efisiensi.
Sedangkan Due Process Model merupakan model yang kedua akibat seringnya terjadi
pelanggaran hak asasi manusia. Di dalam Due Process Model ini muncul nilai- nilai baru
yang sebelumnya kurang diperhatikan, yaitu konsep perlindungan hak-hak individual dan
pembatasan kekuasaan dalam penyelengaraan peradilan pidana. Proses kriminal harus dapat
dikendalikan untuk dapat mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan sifat otoriter dalam
rangka mencapai maksimum efisiensi. Di dalam model  ini  berlaku  asas yang sangat penting
yaitu asas praduga tidak bersalah (presumption of innocen).
Kedua model yang diperkenalkan oleh Packer di atas, didasarkan pada pemikiran mengenai
hubungan antara negara dan individu  dalam  proses  kriminal  yang menempatkan pelaku
tindak pidana sebagai musuh masyarakat (enemy of the society),

d. Sistem yang dianut KUHAP


peradilan pidana di Indonesia menganut sistem campuran antara adversary model dan non
adversary model.
Dalam adversary model dapat tercermin dalam ketentuan          :
- Pasal 13 KUHAP
Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
- Pasal 65 KUHAP
Tersangka atau terdakwa berhak mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang
yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi
dirinya.
- Asas Presumption of Innocence
Setiap orang yang disangka,ditangkap,ditahan,dituntut dan atau dihadapkan dimuka siding
pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan.
- Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat (1)
Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.

Dalam non adversary model dapat tercermin dalam ketentuan :


- 66 KUHAP
Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.
- Asas Inkisitor
Tersangka dipandang sebagai objek pemeriksaan.
- Asas pemeriksaan yang langsung dan lisan
Pemeriksaan disidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung baik kepada
terdakwa maupun kepada sanksi.

3. Apa yang dimaksud dengan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan


? (10)
JAWAB :
a) Penangkapan
Di dalam KUHAP Pasal 1 butir 20 disebutkan bahwa Penangkapan merupakan suatu
tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa,
apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan
dalam hal serta menurut bcara yang diatur dalam undang - undang ini.
Tujuan dilakukannya penangkapan antara lain guna mendapatkan waktu yang cukup untuk
mendapatkan informasi yang akurat. Berdasarkan Pasal 16 KUHAP, Tujuan dari
penangkapan yakni untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah pernyidik
berwenang melakukan penangkapan dan untuk kepentingan penyelidikan, penyidik dan
penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan, sedangkan menurut pasal 17
KUHAP perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan
tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup, dan berdasarkan ketentuan Pasal 19
ayat (1) KUHAP, waktu penangkapan dapat dilakukan paling lama satu hari.
Petugas yang berwenang melakukan penangkapan adalah Polisi Republik Indonesia (Polri)
sebagaimana diatur dalam Pasal 18 KUHAP. Jaksa penuntut umum tidak berwenang
melakukan penangkapan kecuali dalam kedudukannya sebagai penyidik. Petugas keamanan
seperti satpam atau hansip juga tidak berwenang melakukan penangkapan, kecuali dalam hal
tertangkap tangan, sebab dalam kasus tertangkap tangan setiap orang berhak melakukan
penangkapan.

b) Penanganan
Pengertian penahanan menurut KUHAP dapat dilihat dalam Pasal 1 Butir 21 jo Pasal 20
KUHAP Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh
penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal menurut cara
yang di atur dalam undang-undang ini.
Menurut Sutomo Surtiatmojo dalam KUHAP terdapat dua bentuk penahanan yaitu penahanan
sementara dan penahanan saja. penahanan sementara adalah penahanan yang dilakukan oleh
penuntut umum atau 20 pambantu jaksa selama dua puluh hari. Sedangkan penahanan yang
sudah lewat dua puluh hari beserta perpanjangan-perpanjangan dari hakim atau ketua
pengadilan negeri Selama tiga puluh hari dan seterusnya sudah merupakan penahanan saja
tanpa kata sementara ( Pasal 75 (1) jo Pasal 72 (1) jo 62 (1) jo Pasal 83 c (4) HIR).”
Penahanan saja tanpa ada kata sementara adalah penahanan yang dapat berjalan seterusnya
tanpa ada batas yang konkret”.

c) Penggeledahan
Penggeledahan adalah tindakan penyidik yang dibenarkan undang-undang untuk memasuki
dan melakukan pemeriksaan di rumah tempat kediaman seseorang atau untuk melakukan
pemeriksaan terhadap badan dan pakaian seseorang.
Pada dasarnya menurut KUHAP, penggeledahan itu terbagi menjadi dua, yaitu:
- Penggeledahan rumah (Pasal 1 Butir 17 KUHAP)
Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan
tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau
penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP.

- Penggeledahan badan (Pasal 1 Butir 18 KUHAP)


Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan
atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang didup keras ada pada badannya atau
dibawanya serta untuk disita.
Untuk tata cara dalam penggeledahan diatur dalam Pasal 33 KUHAP. Menurut Pasal 33 ayat
(1) KUHAP, penggeledahan itu dapat dilakukan dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri
setempat. Sebelum melakukan penggeledahan, penyidik lebih dahulu meminta surat izin
Ketua Pengadilan Negeri dengan menjelaskan segala sesuatu yang berhubungan dengan
kepentingan penggeledahan bagi keperluan penyelidikan atau penyidikan sesuai dengan
penjelasan Pasal 33 ayat (1) KUHAP. 
Dalam Pasal 32 KUHAP menjelaskan mengenai tujuan dilakukanya penggeledahan adalah
untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau
penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tatacara yang ditentukan dalam
undang-undang ini.

d) Penyitaan
Berdasarkan Pasal 1 butir 16 KUHAP, Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk
mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak
bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan,
penuntutan dan peradilan
Penyitaan dapat berupa
- Benda atau tagihan tersangka/terdakwa sebagian atau seluruh nya yang diduga diperoleh
dari hasil tindak pidana
- Benda yang digunakan langsung untuk melakukan tindak pidana dan/atau mempunyai
hubungan langsung
- Benda yang khusus dibuat untuk melakukan tindak pidana
- Benda yang digunakan untuk menghalangi penyidikan
Dalam pelaksanaan penyitaan yang dilakukan guna kepentingan acara pidana dapat dilakukan
dengan cara-cara yang ditentukan oleh Undang-undang yaitu adanya suatu pembatasan-
pembatasan dalam penyitaan, antara lain harus adanya izin ketua Pengadilan Negeri
setempat.
Namun dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera
bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, penyidik dapat
melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak saja, dan untuk itu wajib segera melaporkan
kepada ketua Pengadilan Negeri setempat guna mendapat persetujuannya.
4. Jelaskan yang dimaksud dengan pra penuntutan, penuntutan dan apa tujuan dari
pra penuntutan dan penuntutan ? (10)
JAWAB :
a) Pra Penuntutan
Pra penuntutan merupakan tindakan Penuntut Umum untuk memberi petunjuk dalam rangka
penyempurnaan penyidikan oleh Penyidik. Pengertian prapenuntutan dapat dibaca dalam
penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf a UURI Nomor 16 Tahun 2004 yang berbunyi sebagai
berikut: "Prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan
setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, mempelajari atau
meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta
memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas
perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan".
Prapenuntutan merupakan wewenang dari penuntut umum, apabila setelah ia menerima dan
memeriksa berkas perkara dari penyidik pembantu dan berpendapat bahwa hasil penyidikan
dengan disertai  petunjuk-petunjuk seperlunya (Pasal 14  KUHP ), dalam hal penyidik segera
melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk yang  diberikan oleh penuntut
umum (Pasal  110 ayat (3) KHUP) dan apabila penuntut umum dalam 14 hari tidak
mengembalikan hasil penyidikan tersebut, maka dianggap selesai (Pasal 11 ayat (4) KUHP)
dan hal ini  tidak boleh dilakukan prapenuntutan lagi.
b) Penuntutan
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum melimpahkan perkara ke PN dengan maksud
agar suatu perkara diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Pengertian
penuntutan dalam KUHAP dijelaskan dalam Pasal 1 angka 7 yang berbunyi sebagai berikut:
“Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke
Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang
pengadilan”. Menuntut seorang terdakwa di muka hakim pidana adalah menyerahkan perkara
seorang terdakwa dengan berkas perkaranya kepada hakim, dengan permohonan supaya
hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa.

c) Tujuan dari Pra Penuntutan dan Penuntutan


Tujuan dari pra penuntutan adalah untuk mengetahui BAP sudah lengkap atau belum, atau
untuk mengetahui berkas perkara itu telah memenuhi persyaratan untuk dilimpahkan ke
pengadilan atau belum. Jika dalam penuntutan ditemukan kekurangan atau tidak lengkapnya
persyaratan yang diperlukan. JPU dapat mengembalikan BAP tersebut ke penyidik untuk
dilengkapi dengan memberi petunjuk hal-hal yang perlu dilengkapi.
Dalam hal didapati oleh penuntut umum bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa
tersebut bukan merupakan peristiwa pidana atau perkara ditutup demi hukum, maka penuntut
umum menghentikan penuntutan yang dituangkan dalam suatu surat ketetapan. Sedangkan,
tujuan penuntutan sendiri adalah untuk mendapat penetapan dari penuntut umum tentang
adanya alasan cukup untuk menuntut seorang terdakwa di muka hakim.
5. Pada 3 Mei 2020, Youtuber FP bersama dua rekannya dilaporkan ke Polrestabes
Bandung oleh sejumlah transgender yang menjadi korban keisengannya untuk konten
prank (gurauan) di akun Youtubenya. IP sempat melarikan diri namun berhasil
ditangkap polisi. Namun FP dan kedua rekannya yang kepalanya sudah botak pelontos
menjadi korban perundungan (bullying) didalam rumah tahanan Mapolrestabes
Bandung yang rekaman video nya kemudian juga menjadi viral.
Pertanyaan : Jelaskan
1) analisis saudara bagaimana KUHAP mengatur masalah
a) pelaporan,
b) penyelidikan,
c) penangkapan
d) penyitaan barang bukti dan
e) penahanan, untuk memproses kasus FP tersebut dan
2) bagaimana analisis saudara tentang keadaan yang dapat memberatkan dan
meringankan tersangka ? (60)

JAWAB :
1) Analisis dalam :
a) Pelaporan
Dalam kasus ini FP melakukan video prank dengan memberi sembako yang berisi sampah
kepada waria dan transpuan di bulan Ramadhan tahun ini. Jika melihat dari Pelaporan kasus
ini seharusnya sudah sesuai dengan apa yang tertuang dalam KUHAP. bentuk Pelaporan
diatur dalam Pasal 103 ayat (1), (2),dan (3) jo. Pasal 108 ayat (3), (4), dan (5) KUHAP
bahwa:
(1)  Laporan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor.
(2) Laporan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyelidik dan ditandatangani
oleh pelapor dan penyelidik.
(3) Dalam hal pelapor tidak dapat menulis, hal itu harus disebutkan sebagai catatan
dalam laporan tersebut.
(4) Setelah menerima laporan, penyelidik atau penyidik harus memberikan tanda
penerimaan laporan kepada yang bersangkutan.
Pasal 108 ayat (3) KUHAP:
Jika hal yang dilaporkan oleh pelapor secara lisan, maka harus dicatat secara keseluruhan
oleh penyidik dan setelah selesai harus dibacakan kembali oleh Penyidik atau dibacakan
kepada pelapor, setelah itu baru pelapor menanggapi mengenai hal-hal yang ingin diperbaiki
atau keberatan baru setelah itu ditandatangani oleh pelapor dan penyidik.
Setelah cara pelaporan selesai, memasuki proses pelaporan, yang dimana untuk menindak
lanjuti laporan dari suatu tindak pidana maka prosesnya seperti:
1. Penyelidik menerima laporan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga
merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan
(Pasal 102 ayat (1) KUHAP).
2. Terhadap tindakan yang dilakukan tersebut pada ayat (1) penyelidik wajib membuat berita
acara dan melaporkannya kepada penyidik sedaerah hukum. (Pasal 102 ayat (3) KUHAP).
3. Penyelidik dan penyidik yang telah menerima laporan tersebut segera datang ke tempat
kejadian dapat melarang setiap orang untuk meninggalkan tempat itu selama pemeriksaan di
situ belum selesai. (Pasal 111 ayat (3) KUHAP)

b) Penyelidikan
Setelah pelaporan maka dilakukan penyelidikan. Penyelidikan menurut Pasal 1 angka 5
KUHAP jo. Pasal 1 angka 9 Undang-Undnag RI No. 2 Tahun 2002, bajwa yang dimaksud
dengan penyelidikan adalah “serangkain tindakan pnenyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga ssebagi tindak pidana guna menentukan dapat atau
tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Dalam
tahap penyelidikan ini dilakukan oleh penyelidik hal ini diatur dalam Pasal 1 angka 4
KUHAP jo Pasal 1 angka 8 Undang-Undang RI No. 2 Tahun 2001 tentang Kepolisian Negara
RI, bahwa penyelidik Adalah “Pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberi
wewenang oleh undangan ini untuk melakukan  penyelidikan”, sedangkan menurut Pasal 4
KUHAP, bahwa “penyelidik adalah setiap penyelidik adalah setiap pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia”. Proses penyelidikan kasus FP ini dilakukan karena adanya pelaporan
tentang adanya tindak pidana dan disini untuk mencari keterangan dan barang bukti untuk
memperkuat tuntutan dari pelapor dan juga menindaki tindakan hukum yang beratnggung
jawab.

c) Penangkapan
Memasuki tahap Penangkapan yag dilakukan kepada FP dan tersangka lainnya yang terlibat.
Penangkapan ini berbeda dengan penahanan karena penangkapan bersifat hanya, mengekang
sementara waktu kebebasan tersangka, apabila terdapat cukup bukti untuk kepentingan
penyidikan. FP di tangkap dan ditahan oleh Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polrestabes
Bandung dengan rekannya yang berinisial A di tol Jakarta-Merak. 

d) Penyitaan Barang Bukti


Dalam kasus FP ini barang bukti yang sudah jelas adalah video rekaman yang merupakan
konten video youtube dari channel FP yang membagikan sembako berisi sampah dan batu
dan juga satu unit kendaraan yang digunakan oleh FP untuk melaksanakan aksinya. Barang
bukti diatur dalam Pasal 181 ayat 1 KUHAP. Dalam Kasus FP ini pada tanggal 4 Juni 2020
kemarin FP telah dibebaskan karena korban telah mencabut dasar laporan di mana korban
dan terlapor sudah melakukan perdamaian difasilitasi kuasa hukum masing-masing dan itu
dikirimkan ke terlapor dan korban kepada Kapolrestabes, beliau juga mendisposisikan sesuai
dengan aturan hukum yang berlaku karena yang dilaporkan merupakan delik aduan.

e) Penahanan
Setelah terkumpul alat bukti dari FP baru FP bisa ditahan secra resmi, penahanan diatur
dalam KUHAP. Berdasarkan Pasal 1 angka 21 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (“KUHAP”), Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat
tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya. Jadi,
penahanan tidak hanya dapat dilakukan oleh penyidik tetapi juga penuntut umum dan hakim.

2. Keadaan yang dapat memberatkan tersangka adalah polisi menerapkan Pasal 45 Ayat 3 UU
ITE tentang penghinaan atau pencemaran nama baik melalui informasi elektronik. Selain itu
polisi juga menerapkan dua pasal tambahan atas kasus tersebut, yakni Pasal 36 dan Pasal 51
Ayat 2 UU ITE Nomor 11 Tahun 2008, dengan ancaman hukuman 12 tahun penjara dan
denda maksimal Rp12 miliar. Dari hal ini FP dikenakan pasal berlapis sehingga dapat
memberatkan dirinya. Akan tetapi hal yang dapat meringankan FP ini adalah dasar hukum
yang diterapkan oleh kepolisian kepada FP menurut saya masih kurang kuat karena apa yang
tertuang dalam Pasal tersebut menyampaikan bahwa memuat dokumen atau data yang
bertujuan untuk mencemarkan nama baik. Jika melihat dari kasus ini FP tidak menyebutkan
pihak yang dirugikan. Memang pihak yang dirugikan terdapat dalam video prank  tersebut
akan tetapi informasi akan diri dari korban tidak disebutkan. Selain itu juga beredar video
pembullyan  FP saat telah ditahan oleh Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polrestabes
Bandung. Di video tersebut saat FP ditangkap, FP langsung digelandang di sel tahanan dan
setelah beberapa hari berselang muncul sebuah video perundungan yang memperlihatkan
wajah FP dalam video itu FP juga telah di gunduli dan di telanjangi bahkan ia sampai
dijadikan bual-bualan tahanan lain. Menurut saya hal ini tidak bisa di tindak langsung dengan
Hukum Pidana dikarenakan dasar yang kurang kuat selain itu FP dan rekannya juga telah
menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh pihak dirugikan. Menurut saya kasus ini
bukanlah melanggar hukum akan tetapi melanggar norma kesusilaan yang berkaitan dengan
hati nurani dan akhlak manusia. Seharusnya penyelesaian kasus ini bisa diselesaikan tanpa
membawanya ke jalur hukum akan tetapi dengan perdamaian dan permohonan maaf yang
disampaikan kepada pihak yang dirugikan oleh FP dan rekannya. 

Anda mungkin juga menyukai