Anda di halaman 1dari 8

HUKUM ACARA PIDANA

“KONEKSITAS”

Di susun oleh:
Pais Dakio
Syarif Hidayatullah
Faisal Mela
Safna Popana
Mifta Tegela
Raditya Fajar a. Nusuri

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SULTAN AMAI GORONTALO


TAHUN AJARAN 2019/2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) itu dijelaskan secara rinci

mengenai segala perbuatan yang bertentangan atau melanggar hukum. Di dalamnya

dijelaskan pula apa hukuman yang pantas diberikan atas perbuatan yang dilakukan dan

berapa lama hukuman itu harus dijalankan. Kemudian disempurnakan lagi dengan Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Didalam kitab itu dijelaskan pula secara

rinci mengenai perkara dan proses perkara itu diselesaikan. Salah satunya adalah proses

pemeriksaan yang dinamakan Koneksitas. Salah satu jenis pemeriksaan ini sangat berbeda

dengan acara pemeriksaan tindak pidana lainnya. Bahkan bisa dibilang unik karena jenis

pemeriksaan ini melibatkan dua lembaga peradilan sekaligus.

B. Rumusan Masalah

Dalam makalah ini penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut :

a. Pengertian Koneksitas

b. Sumber hukum dari Pengadilan Koneksitas

c. Sistem pemeriksaan dalam perkara Koneksitas

d. Pihak-pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan perkara Koneksitas


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Koneksitas
Perkara koneksitas disertakan sebagai salah satu bagian dari acara pemeriksaan karena
perkara koneksitas merupakan acara pemeriksaan yang unik. Unik karena melibatkan dua
lingkungan peradilan, yaitu peradilan umum dan peradilan militer. Perkara koneksitas terjadi
karena adanya tindak pidana yang mengandung unsur penyertaan, yaitu pelakunya adalah
warga sipil dan militer sehingga berlaku dua yurisdiksi, yaitu yurisdiksi peradilan umum dan
peradilan militer.
Koneksitas diatur secara terbatas baik didalam KUHAP, undang-undang kekuasaan
kehakiman maupun didalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang peradilan
militer. Di dalam KUHAP, koneksitas diatur dalam Bab XI pasal 89 – pasal 94.
Perkara koneksitas oleh Andi Hamzah disebut dengan peradilan koneksitas yang
memiliki arti, sistem peradilan pidana peradilan terhadap tersangka pembuat delik penyertaan
antara orang sipil dan orang militer, dapat juga dikatakan peradilan antara mereka yang
tunduk kepada yurisdiksi peradilan umum dan peradilan militer. Istilah yang digunakan oleh
Andi Hamzah tersebut memberikan kesan bahwa terdapat lingkungan peradilan baru yang
bersifat antara, yaitu antara peradilan umum dan peradilan militer yang disebut dengan
Peradilan Koneksitas. Koneksitas pada prinsipnya bukanlah sebuah lingkungan peradilan
karena secara sifat, koneksitas pada intinya adalah sebuah kondisi, kondisi dimana dalam
suatu tindak pidana terdapat penyertaan yang dilakukan antara seseorang yang berkualifikasi
sebagai sipil dan militer. Dalam pengertian lain, Koneksitas adalah suatu sistem peradilan
yang diterapkan atas suatu tindak pidana dimana diantara Tersangka atau Terdakwanya
terjadi penyertaan (deelneming) atau secara bersama-sama (mede dader) antara orang sipil
dengan orang yang berstatus militer
Pasal 89 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa perkara koneksitas yaitu, “Tindak
pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan
umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum kecuali menurut Keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan
dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Pendapat Menteri Pertahanan dan
Keamanan tersebut didasarkan atas kondisi kerugian tindak pidana yang ditimbulkan,
apabila kerugian yang ditimbulkan tindak pidana tersebut lebih merugikan kepentingan
militer, maka pemeriksaan dilakukan di peradilan militer.” Selama kerugian tindak pidana
yang ditimbulkan tidak menimbulkan kerugian bagi kepentingan militer, maka perkara
diperiksa di peradilan umum.

B. Penyidikan
Penyidikan perkara koneksitas diatur oleh Pasal 89 ayat (2) dan ayat (3) sebagai
berikut.
“Penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh
suatu tim tetap yang terdiri dari penyidik sebagaimana dimaksud Pasal 6 dan Polisi Militer
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi yang
sesuai dengan wewenang masing-masing menurut hukum yang berlaku untuk penyidikan
perkara pidana.”
Selanjutnya, ayat (3) mengatur sebagai berikut:
“Tim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibentuk dengan Surat Keputusan bersama
Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman.”

Sebagaimana telah diuraikan di atas, oditur militer berwenang memeriksa/menyidik anggota


Angkatan Bersenjata RI (ABRI) yang pangkatnya Kapten ke bawah, sedang oditur militer
tinggi berwenang menyidik anggota ABRI yang berpangkat Mayor ke atas.
Surat keputusan bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman
telah diterbitkan pada tanggal 29 Desember 1983. Surat keputusan tersebut berdasarkan Pasal
89 ayat (3) KUHAP, tetapi sebelum surat keputusan bersama tersebut, berdasarkan Pasal 22
dari Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 telah diterbitkan “Keputusan Bersama Menteri
Kehakiman, Menteri Pertahanan, Panglima Angkatan Bersenjata, Ketua Mahkamah Agung
dan Jaksa Agung RI Nomor: KEP/B/61/XII/1971 tanggal 7 Desember 1971. Terdapat
perbedaan mengenai aparat penyidik perkara koneksitas pada kedua keputusan bersama
tersebut, karena Kejaksaan berdasarkan KUHAP untuk proses penyidikan tindak pidana
umum tidak berwenang lagi melakukan pemeriksaan/penyidikan. Tetapi, terhadap perkara
tertentu dengan ketentuan khusus acara pidana, unsur Kejaksaan diikutsertakan yang diatur
oleh Pasal 7 keputusan Menteri Kehakiman dan Menteri Pertahanan Keamanan tanggal 29
Desember 1983
Berdasarkan ketentuan Pasal 89 ayat (2) KUHAP maka “penyidikan” atas perkara
koneksitas adalah:
- Penyidik Polri/PPNS, yang memeriksa tersangka non-ABRI/Sipil.
- Polisi Militer ABRI, dan
- Oditur/Oditur Militer tinggi, yang memeriksa tersangka ABRI.
Karena pada rumusan Pasal 89 ayat (2) KUHAP mencantumkan rumusan “sesuai
dengan wewenang masing-masing” maka pemeriksaan saksi-saksi atau ahli yang terdiri dari
ABRI diperiksa Polisi Militer ABRI/oditur atau Oditur Militer Tinggi, sedang yang non
ABRI/sipil diperiksa oleh penyidik POLRI/PPNS dan tindak pidana tertentu dengan
ketentuan-ketentuan khusus acara pidana dapat diperiksa oleh Jaksa.
Pemeriksaan anggota ABRI baru dapat dilaksanakan bila ANGKUM menyerahkan
kepada Polisi Miiter ABRI/oditur atau Oditur Militer Tinggi.

C. Penentuan Peradilan
Setelah tim selesai melakukan pemeriksaan penyidikan, maka dilakukan “penelitian
bersama” oleh oditur/Oditur Militer Tinggi dengan Jaksa/Jaksa Tinggi. Hasil “penelitian
bersama” tersebut, terdiri:
a. Hasil penelitian bersesuaian (pendapat yang sama)
b. Hasil penelitian berbeda (berselisih)
Hasil “penelitian bersama” ini dirumuskan dalam bentuk “Berita Acara” serta
ditandatangani oleh masing-masing pihak peneliti.

a). Hasil Penelitian Bersesuaian


Tolok ukur (pedoman) mengenai penentuan peradilan yang akan mengadili perkara
koneksitas adalah “titik berat kerugian” yang ditimbulkan/diakibatkan tindak pidana tersebut.
Jika titik berat kerugian yang diakibatkan tindak pidana tersebut adalah kepentingan umum,
maka perkara tersebut diadili oleh lingkungan peradilan umum dan jika titik berat kerugian
adalah kepentingan militer, maka lingkungan peradilan militerlah yang mengadili.
Jika perkara koneksitas diperiksa dan diadili oleh lingkungan peradilan umum, maka
perwira penyerah perkara (PEPERA) membuat “Surat Keputusan” penyerahan perkara.
Berdasarkan surat keputusan tersebut, PEPERA melalui oditur/oditur militer tinggi,
menyerahkan perkara koneksitas tersebut kepada Kejaksaan/penuntut umum. Surat keputusan
dari PEPERA menjadi dasar yang di pakai penuntut umum untuk mengajukan perkara ke
pengadilan negeri. Hal ini berkenaan dengan kompetensi relatif. Sebelum penuntut umum
melimpahkan perkara koneksitas tersebut kepada pengadilan negeri setempat, berdasarkan
pasal 92 ayat 1 maka “berita acara pemeriksaan” yang di buat oleh polisi militer ABRI /
oditur atau oditur militer tinggi, di bubuhi catatan bahwa berita acara pemeriksaan telah di
ambil alih oleh jaksa atau penuntut umum. Kemudian penuntut umum merumuskan surat
dakwaan dan menerbitkan surat pelimpahan.
jika perkara tersebut di periksa dan di adili oleh lingkungan Peradilan Militer, maka
oditur atau oditur militer tinggi mengajukan hasil penelitian bersama. Kepada oditur jenderal
ABRI untuk pengusulan agar dengan persetujuan menteri kehakiman atau MENHANKAM
menerbitkan surat keputusan yang menetapakan perkara koneksitas tersebut di periksa dan di
adili oleh lingkungan peradilan militer. Surat keputusan MENHANKAM mejadi dasar bagi
Jaksa/Jaksa tinggi untuk meyerahkan perkara kepada oditur / oditur militer tinggi dan pula
dasar bagi PEPERA untuk menyerahkan perkara kepada pengadilan Tentara / Pengadilan
tinggi / Mahkamah Tentara Agung, oditur / oditur militer tinggi sebelum melimpahkan
perkara koneksitas tersebut kepada peradilan Militer maka “ berita acara pemeriksaan” yang
di buat penyidik Polri / PPNS / Jaksa di bubui catatan bahwa berita acara tersebut telah di
ambil alih oleh. Barulah oditur / oditur Militer tinggi merumuskan surat dakwaan dan
menerbitkan surat pelimpahan ke pengadilan militer.

b). Hasil Penelitian Berbeda / Selisih Pendapat


jika hasil penelitian perkara koneksitas tidak bersesuain pendapat anatara Jaksa atau
Jaksa tinggi dengan oditur / oditur Militer tinggi, maka masing-masing membuat laran
tertulis. Jaksa/ Jaksa tinggi melaporkan kepada Jaksa Agung RI, dan oditur/ oditur tinggi
melaporkan kepada oditur Jendral ABRI, berdasarkan laporan hasil penelitian tersebut,
melakukan musyawarah. Jika tidak terdapat persesuain pendapat maka pendapat Jaksa Agung
RI –lah yang menentukan ( pasal 93 ayat 3 KUHAP )..

D. Majelis Hakim Perkara Koneksitas


Mengenai Majelis Hakim yang akan memeriksa dan mengadili perkara koneksitas
dalam pasal 94 KUHAP yang pada dasarnya mengatur :
- Majelis hakim sekurang kurangnya terdiri dari tiga orang hakim
- Jiika yang memeriksa dan mengadili pengadilan negeri maka ketua majelis hakim / hakim
ketua dari lingkungan peradilan umum dan anggota dari pengadilan negeri 1 orang ,dari
lingkunga peradilan militer 1 orang.
- Jika yang memeriksa dan mengadili adalah lingkungan peradilan militer, maka hakim ketua
adalah dari lingkungan peradilan militer sedang anggota majelis masing masing 1 orang dari
pengadilan negri dan eradilan militer
- Pengangkatan hakim ketua dan hakim anggota majelis jika perkara koneksitas tersebut
diadili oleh peradilan umum (pengadilan negeri).maka mentri kehakiman menentukan setelah
ada usul MENHANKAM.

- Jika peradilan militer yang mengadili maka pengangkatan hakim ketua adalah hakim
anggota di angkat MENHANKAM setelah ada usul dari mentri kehakiman.

Komposisi hakim majelis dalam pemeriksaan tingkat banding, di sesuaikan dengan


susunan di atas. Pasal 94 ayat 3 KUHAP menetukan antara lain jika jika perkara koneksitas
diperiksa dan di adili oleh peradilan dalam lingkungan militer maka hakim anggota diberi
pangkat militer tituler. Pemberian pangkat militer tituler tersebut tdak di jelaskan kegunaan
dan manfaat baik dalam penjelasan resmi pasal 94 KUHAP maupun penjelasan umum
sehinga menimbulkan perbedaan pendapat. Sebagian berpendapat bahwa pemberian pangkat
tituler tidak perlu,sebagian berpendapat perlu pemberian pangkat tituler agar tidak ada kesan
bahwa orang non-ABRI/sipil, ikut menjatuhkan hukuman pada sesorang ABRI. Akan tetapi
apapun alasan, karena telah ditentukan maka wajib di junjung sesuai dengan ketentuan pasal
27 ayat 1 UUD 1945 wakni wajib menjunjung hukum dan pemerintahan.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa, Koneksitas ialah
proses pemeriksaan terhadap suatu tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh warga
sipil dan warga militer dan keduanya diadili oleh dua lembaga Peradilan sekaligus, yaitu
Peradilan Umum dan Peradilan Militer. Namun, ada beberapa hal yang harus diperhatikan
untuk bagaimana kita bisa mengetahui lembaga apa yang berwenang atau yang berhak
mengadili tindak pidana tersebut. Apakah Peradilan Umum atau Peradilan Militer.
Dan telah dijelaskan di atas bahwa yang berhak memeriksa dan mengadili tindak
pidana tersebut adalah Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali dalam
keadaan tertentu menurut keputusan Ketua Mahkamah Agung, perkara itu harus diperiksa
dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer. (Pasal 24 UU No. 4 tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman). Jika titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak
pidana tersebut terletak pada kepentingan umum, maka perkara pidana itu harus diadili di
Lingkungan Peradilan Umum. Jika titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana
tersebut terletak pada kepentingan Militer, maka perkara pidana itu harus diadili di
Lingkungan Peradilan Militer.
Daftar Pustaka

Dr. Leden Marpaung, S.H. “Proses penanganan perkara pidana” Edisi 2. Jakarta: Sinar
Grafika. 2014
Prof. Dr. Andi Muhammad Sofyan, S.H., M.H dan Dr. Abd. Asis, S.H., M.H. “Hukum Acara
Pidana Suatu Pengantar” Edisi 2. Jakarta: PT Balebat Dedikasi Prima. 2014
Tolib Effendi, SH., MH. “Dasar-dasar Hukum Acara Pidana” Malang, Jatim: Setara Press.
2014
R. Soenarto Soerodibroto, S.H. “KUHP dan KUHAP” Edisi 2, Cet. 17. Jakarta: Rajawali
Pers, 2014.

Anda mungkin juga menyukai