LANJUTAN
HJ. HENNY NURAENY, SH. MH
Pasal 54 KUHP :
Mencoba melakukan PELANGGARAN Tidak dipidana.
Berdasarkan ke dua pasal tersebut, maka
yang dapat dikenakan sanksi pidana
untuk TP Percobaan, adalah hanya
untuk TP yang berupa kejahatan yang di
atur dalam Buku II KUHP saja,
sedangkan untuk Pelanggaran yang di
atur dalam Buku III KUHP tidak dapat
dikenakan sanksi pidana.
1. TEORI SUBJEKTIF :
Menurut teori ini dasar patut dipidananya
percobaan terletak pada Sikap batin / watak yang
berbahaya dari Pelaku. Penganut teori ini van
Hammel.
2. TEORI OBJEKTIF :
Menurut teori ini dasar patut dipidana percobaan
terletak pada sifat berbahayanya perbuatan yang
dilakukan oleh pelaku.
Teori ini terdiri dari :
1.Teori Objektif – Formil :yaitu perbuatan itu
dianggap berbahaya terhadap Tata Hukum.
Penganutnya : Duynstee dan Zevenbergen.
2. Teori Objektif – Material : yaitu mengganggap
perbuatan itu dianggap berbahaya terhadap
kepentingan / benda hukum.
Penganutnya : Simons.
C. UNSUR-UNSUR PERCOBAAN :
1. Adanya Niat;
2. Ada Permulaan Pelaksanaan;
3. Pelaksanaan tidak selesai bukan karena
kehendak sendiri.
B. PENGATURAN PENYERTAAN :
a. Secara Umum : Buku I Bab V
KUHP Pasal 55 – 62.
b. Secara Khusus : Secara
tersebar dalam Buku II KUHP,
Buku III KUHP dan Beberapa
Peraturan Di luar KUHP /TP
Khusus.
C. PENGERTIAN PENYERTAAN :
Penyertaan adalah apabila suatu tindak pidana
terlibat lebih dari satu orang, atau beberapa
orang melibatkan diri dalam satu tindak
pidana.
D. BENTUK-BENTUK PENYERTAAN :
1. Zij die het Plegen/Pleger : yang Melakukan;
2. Zij die het Doen Plegen : yang Menyuruh Melakukan;
3. Zij die het Mede Plegen : yang Turut Serta Melakukan;
4. Zij die het Uitlokking : yang Membujuk/Menggerakkan;
5. Zij die het Medeplegteheid : yang Membantu Melakukan.
E. PENGGOLONGAN PENYERTAAN :
a. Menurut KUHP :
1. Golongan Pelaku : Bentuk 1 sampai
bentuk 4; yaitu : Bukan Pelaku TP ,
tetapi Pertanggungjawaban Pidananya
disamakan dengan Pelaku.
2. Golongan Pembantu : Bentuk 5;
Yaitu diatur dalam Pasal 56 dan Pasal
57 KUHP.
b. Menurut Doktrin :
1. Zelfstandige vormen van Deelneming :
Bentuk Penyertaan yang berdiri sendiri,
artinya Pelaku bertanggung jawab
sendiri-sendiri atas perbuatannya, yaitu
Bentuk 1 sampai dengan Bentuk 3.
2.Onzelfstandige vormen van Deelneming :
Bentuk penyertaan yang
pertanggungjawaban pesertanya
bergantung pada perbuatan peserta
lainnya sebagai perbuatan yang dapat
dihukum, yaitu Bentuk 4 dan Bentuk 5.
Bentuk ke 1: Pleger / Dader.
F. PENGGOLONGAN
Yaitu PENYERTAAN
Pelaku yang melakukan TP.MENURUT
Dalam halKUHP :
ini dapat dikatagorikan sebagai Pelaku
Tunggal atau dapat juga sebagai Pelaku
Jamak. Atas dasar itu ada 2 pandangan :
1.Pandangan yang luas (extensief) :
Pelaku adalah tiap orang yang
menimbulkan akibat yang memenuhi
rumusan delik (= Pasal 55 KUHP).
2. Pandangan yang sempit (restrictief) :
Pelaku adalah orang yang melakukan
sendiri perbuatannya sesuai dengan
rumusan delik, jadi pelaku = dader.
Perbedaannya adalah :
1. Dalam Penganjuran, sarana yang digunakan
diatur dalam Pasal 55 ayat (1) sub ke 2 yaitu
diatur secara limitatif/terbatas.
2. Dalam Pembujukan, orang yang membujuk
disebut AUCTOR INTELECTUALIS dan yang
dibujuk /digerakkan AUCTOR MATERIALIS.
3. Pelaku Material/Auctor Materialis dapat
dimintai pertanggung jawaban secara
hukum/dipidana, karena melakukan
perbuatan dengan sengaja.
Dalam Menyuruh Melakukan /Doen Plegen :
1. Sarana untuk menggerakkan tidak
ditentukan/tidak terbatas/tidak limitatif.
2. Dalam Menyuruh Melakukan, Orang yang
menyuruh disebut MANUS DOMINA sedangkan
orang yang disuruh adalah MANUS MINISTRA.
3. Pembuat Material/Manus Ministra tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum/tidak
dapat dipidana karena tidak mempunyai
kehendak.
Contoh :
A melakukan 2 Perbuatan yaitu Pelanggaran
dan kejahatan, yang masing-masing
dipidana 9 bulan kurungan dan 2 tahun
penjara. Dalam hal ini semua jenis pidana
(kurungan dan penjara) harus dijatuhkan.
Adapun maksimumnya adalah 2 tahun
ditambah (1/3 X 2 tahun) = 2 tahun 8 bulan
= 32 bulan.
Jadi pidana yang dijatuhkan adalah bukan
jumlah keseluruhan 9 bulan + 2 tahun = 2
tahun 9 bulan = 33 bulan.
Concursus Realis Pelanggaran + Pelanggaran diatur
dalam Pasal 70 KUHP dengan sistem Pemidanaan
disebut KUMULASI (Pidana Sejenis), yaitu tiap-tiap
Pidana dijumlahkan.
Contoh :
A melakukan dua (2) Pelanggaran yang
masing-masing diancam Pidana kurungan 6
bulan dan 9 bulan, maka seharusnya
maksimum pidananya adalah 6 + 9 = 15
bulan.
1. Residive Kejahatan :
Dengan dianutnya Residive khusus, maka
Residive kejahatan menurut KUHP adalah
kejahatan-kejahatan tertentu, yang
dibedakan dalam :
a. Residive Kejahatan-kejahatan tertentu
SEJENIS. Diatur secara tersebar dalam
Buku II KUHP, yaitu dalam Pasal 137(2);
144 (2); 155 (2); 157 (2); 161 (2); 163 (2);
208 (2); 216 (3); 303 Bis(2); 321 (2); dan
393 (2).
Dalam Residive kejahatan sejenis hanya
ada 11 (sebelas) jenis kejahatan yang
merupakan alasan pemberatan pidana.
Syarat-syarat Residive adalah :
1. Kejahatan yang diulang harus sama atau sejenis
dengan kejahatan terdahulu;
2. Antara kejahatan yang terdahulu dan kejahatan yang
diulangi harus sudah ada Keputusan Hakim yang
berupa Pemidanaan yang mempunyai kekuatan
hukum yang pasti dan tetap;
3. Pelaku kejahatan dalam menjalankan kejahatannya
harus merupakan Pencaharian (khusus untuk Pasal
216; 303 Bis; dan 393 syarat itu tidak ada).
4. Pengulangannya dilakukan dalam tenggang waktu
tertentu yang disebutkan untuk pasal-pasal :
a. 2 tahun sejak adanya Keputusan Hakim yang
pasti/tetap (Pasal 137; 144; 208;216; 303 bis; dan 321
KUHP);
b. 5 tahun sejak adanya Keputusan Hakim yang
pasti/tetap (Pasal 155; 157; 161; 163 dan 393 KUHP).
Tidak mungkin ada Residive apabila :
Keputusan Hakim tidak berupa Pemidanaan,
melainkan Vrijspraak (Pembebasan dari segala
tuntutan) dan Pelepasan dari segala tuntutan
(onslaag van alle rechtsvervolging).
Keputusan /Vonis Hakim masih dapat berubah
dengan adanya upaya-upaya hukum yang berlaku
(Banding dan Kasasi).
Keputusan Hakim yang berupa Penetapan
(Beschikking), misalnya :
–Keputusan yang menyatakan tidak
berwenangnya Hakim untuk memeriksa perkara
tsb.
–Keputusan tentang tidak diterimanya tuntutan
Jaksa karena Terdakwa tidak melakukan
kesalahan.
–Tidak diterimanya perkara karena
penuntutannya sudah Daluwarsa.
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa saat pengulangan
dihitung sejak adanya Putusan Hakim yang berkekuatan
tetap. Jadi tidak disyaratkan apakah jenis pidana yang
dijatuhkan oleh Hakim sebelumnya dan juga tidak
disyaratkan apakah Pidana yang dijatuhkan itu sudah
dijalankan atau belum baik untuk sebagian ataupun
seluruhnya.
Pengenaan Pemberatan Pidana untuk
Residive Kejahatan Sejenis ini berbeda-
beda, yaitu :
1. Dapat diberikan Pidana Tambahan
berupa pelanggaran atau pencabutan
hak untuk menjalankan mata
pencahariannya.
2. Pidananya dapat ditambah sepertiga
(khusus Pasal 216);
3. Pidana dapat ditambah dilipat dua
kali, yaitu khusus untuk Pasal 393,
yaitu dari 4 bulan 2 minggu menjadi 9
bulan penjara.
b. Residive Kejahatan-kejahatan tertentu yang
termasuk KELOMPOK JENIS, hanya diatur dalam 3
pasal yaitu diatur dalam Pasal 486; Pasal 487 dan
Pasal 488 KUHP.
Adapun syarat-syaratnya adalah :
1.Kejahatan yang diulangi harus termasuk dalam satu kelompok
jenis dengan kejahatan yang pertama/terdahulu.
Kelompok jenis kejahatan termaksud adalah :
a. Kelompok jenis kejahatan Pasal 486 KUHP mengenai :
Kejahatan terhadap harta benda dan pemalsuan, misalnya :
Pemalsuan Mata Uang (244 – 248); Pemalsuan Surat (263 –
264); Pencurian (262-265); Penggelapan; Penipuan; kejahatan
Jabatan (415, 417, 425); Penadahan (480 – 481).
b. Kelompok Jenis Kejahatan Pasal 487 KUHP mengenai :
Kejahatan terhadap Orang, misalnya :Penyerangan/Makar
terhadap Kepala Negara; Pembunuhan; penganiayaan; dll.
c. Kelompok Jenis Kejahatan dalam Pasal 488 KUHP mengenai :
Kejahatan penghinaan dan berhubungan dengan
penerbitan/percetakan. Misalnya : Penghinaan terhadap
Presiden/Wkl (134 – 137); Penghinaan terhadap Kepala Negara
Sahabat (142 - 144); Penghinaan terhadap penguasa/Badan
Umum (207 – 208); Penghinaan terhadap Orang (310 – 321);
Kejahatan Penerbitan dan Percetakan (483- 484).
1.Grasi Duduk :
Seseorang yang mengajukan Permohonan Grasi,
berada di luar Penjara (tidak melaksanakan
Hukuman).
2. Grasi Jalan :
Seseorang yang mengajukan Grasi sambil tetap
melaksanakan hukuman di penjara/menjalani
pidana.
3. Grasi Jabatan :
Permohonan Grasi diajukan oleh Pejabat yang
berwenang (Hakim/Ka.Lapas), karena merasa ada
Putusan yang dianggap merugikan Terhukum.
PERBEDAAN ANTARA GRASI DENGAN AMNESTI DAN ABOLISI :
1. Grasi merupakan Masalah yang Menghapuskan/meringankan
hukuman, sedangkan Amnesti adalah masalah yang
menghapuskan tuntutan dan hukuman, dan Abolisi adalah
masalah yang menghapuskan tuntutan.
2. Grasi ditujukan kepada Orangnya/Terhukum, sedangkan
Amnesti dan Abolisi pada Perbuatan / TP nya.
3. Grasi diberikan setelah ada Putusan Hakim yang mempunyai
Kekuatan Hukum Tetap, sedangkan Amnesti dapat diberikan
sebelum dan sesudah adanya Vonis, tetapi Abolisi sebelum
adanya Keputusan Hakim/Vonis.
4.Dengan Grasi Kesalahannya Pelaku/Terhukum tetap ada,
sedangkan dalam Abolisi dan Amnesti dianggap tidak ada
Kesalahan ( seperti bayi yang baru lahir).
5. Grasi ditujukan untuk mencari keadilan, sedangkan Amnesti
dan Abolisi untuk tujuan Politik.
PERSAMAAN ANTARA GRASI, AMNESTI
DANSEMUANYA
ABOLISI DIBERIKAN ATAS KUASA UU;
HAK UNTUK MEMBERIKANNYA BERADA
DITANGAN PRESIDEN SEBAGAI KEPALA
NEGARA;
SEMUANYA TIDAK DI ATUR DALAM KUHP,
MELAINKAN DI ATUR DI LUAR KUHP
YAITU UNTUK GRASI DALAM UU NO.22
TAHUN 2002.
SELESAI