Anda di halaman 1dari 80

HUKUM PIDANA

LANJUTAN
HJ. HENNY NURAENY, SH. MH

HANS KELSEN JOHN LOCKE THOMAS AQUINO


BAB I
PERCOBAAN (POGING /
ATTEMPT)
A. PENGERTIAN DAN SIFAT
PERCOBAAN:
Pengertian / definisi tentang
Percobaan Tindak Pidana tidak di
atur dalam KUHP, tetapi dalam
KUHP hanya ada batasan yang
menentukan kapan ada percobaan
dan menentukan syarat-syaratnya
saja, yaitu seperti di atur dalam
Pasal 53 dan 54 KUHP.
Pasal 53 KUHP :
(1) Mencoba melakukan KEJAHATAN dipidana,
jika niat untuk itu telah ternyata dari
adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak
selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-
mata disebabkan karena kehendaknya
sendiri.
(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan,
dalam hal percobaan dapat dikurangi
sepertiga.
(3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati
dan pidana seumur hidup, dijatuhkan pidana
penjara paling lama lima belas tahun.
(4) Pidana Tambahan bagi percobaan adalah sama
dengan kejahatan selesai.

Pasal 54 KUHP :
Mencoba melakukan PELANGGARAN Tidak dipidana.
Berdasarkan ke dua pasal tersebut, maka
yang dapat dikenakan sanksi pidana
untuk TP Percobaan, adalah hanya
untuk TP yang berupa kejahatan yang di
atur dalam Buku II KUHP saja,
sedangkan untuk Pelanggaran yang di
atur dalam Buku III KUHP tidak dapat
dikenakan sanksi pidana.

Selain itu berdasarkan ke dua pasal


tersebut, maka yang dimaksud dengan
AnimatedSpotlights.lnk

Percobaan adalah Suatu perbuatan yang


dilakukan seseorang dengan niat yang
jahat dan niat itu sudah mulai
dilaksanakan tetapi perbuatannya
belum selesai.Tidak selesainya
perbuatan tersebut bukan karena
kehendak dari pelaku.
SIFAT PERCOBAAN ADALAH :
1. Sebagai Dasar / Alasan memperluas dapat
dipidananya Orang (Strafausdehnungsgrund),
yaitu seseorang dapat dikenakan sanksi pidana
apabila sudah memenuhi unsur Pasal 53,
walaupun tidak memenuhi unsur delik. Jadi
sifat dari Pasal 53 / Percobaan dipandang
sebagai memperluas dapat dipidananya
orang dan bukan memperluas rumusan delik.
Jadi Percobaan tidak dianggap sebagai delik
yang berdiri sendiri (sui generis), melainkan
sebagai delik yang tidak sempurna
(onvolkomen delictsvorm). Penganutnya adalah
: Hazewingkel Suringa dan Oemar Seno Adjie.
2. Sebagai Dasar/ Alasan memperluas dapat
dipidananya Perbuatan
(Tatbestandausdehnungsgrund), yaitu bahwa TP
Percobaan merupakan satu TP yang bulat dan
lengkap. Percobaan bukan delik yang tidak
sempurna, tetapi delik sempurna dalam bentuk
khusus / istimewa (delictum sui generis ).
Penganutnya adalah : Pompe dan Moeljatno.
B. DASAR PATUT DIPIDANANYA PERCOBAAN :

1. TEORI SUBJEKTIF :
Menurut teori ini dasar patut dipidananya
percobaan terletak pada Sikap batin / watak yang
berbahaya dari Pelaku. Penganut teori ini van
Hammel.

2. TEORI OBJEKTIF :
Menurut teori ini dasar patut dipidana percobaan
terletak pada sifat berbahayanya perbuatan yang
dilakukan oleh pelaku.
Teori ini terdiri dari :
1.Teori Objektif – Formil :yaitu perbuatan itu
dianggap berbahaya terhadap Tata Hukum.
Penganutnya : Duynstee dan Zevenbergen.
2. Teori Objektif – Material : yaitu mengganggap
perbuatan itu dianggap berbahaya terhadap
kepentingan / benda hukum.
Penganutnya : Simons.
C. UNSUR-UNSUR PERCOBAAN :
1. Adanya Niat;
2. Ada Permulaan Pelaksanaan;
3. Pelaksanaan tidak selesai bukan karena
kehendak sendiri.

Ad. 1. Adanya Niat.


 Niat merupakan sikap bathin dari Pelaku
yang tidak bisa terlihat secara nyata. Niat
dapat terlihat setelah ada permulaan
pelaksanaan.

Niat disini harus berupa niat yang jahat,


yang berbeda dengan kesengajaan.

Niat masih berada dalam sikap bathin,


sedangkan kesengajaan sudah
nampak. Jadi niat merupakan persiapan
permulaan dari suatu perbuatan.
AD.2. PERMULAAN PELAKSANAAN.
Terdapat perbedaan pendapat antara
perbuatan persiapan dengan permulaan
pelaksanaan.
Terhadap hal ini ada Arrest Hoge Raad /
Putusan MA Negeri Belanda tahun 1934
mengenai pembakaran di Einhovend,
kasusnya adalah :
A dituduh hendak membakar rumah B (dengan
persetujuan B). Pada malam yang telah
ditentukan A masuk ke rumah B dengan menaruh
barang-barang yang mudah terbakar di tiap
kamar, yang kemudian dihubungkan dengan
sumbu satu sama lainnya yang kemudian
dihubungkan pada kompor gas yang akan
mengeluarkan api jika ditembakkan. Penarik
pistol gas dikaitkan dengan tali dan melalui
jendela ujungnya digantung di luar rumah.
Barang-barang itu disiram bensin, dengan
maksud apabila tali kompor ditarik maka barang-
barang akan cepat terbakar dan merembet
keseluruh rumah.
Setelah pemasangan tali kompor
selesai, A mengeluarkan barang-
barang lain yang tidak disiram bensin.
Sementara itu karena tertarik bau
bensin yang menyengat, orang-orang
yang lewat di depan rumah menjadi
ribut, sehingga A tidak menyelesaikan
maksudnya untuk membakar rumah,
karena keburu banyak orang.

Terhadap kasus tersebut,


menurut
Gerechtshop/Peradilan di
Hertegenshop, perbuatan A
adalah Permulaan
Pelaksanaan dan A dijatuhi
hukuman pidana 4 tahun
penjara, karena melanggar
Pasal 53 Jo Pasal 187 KUHP.
A mengajukan upaya hukum dengan
alasan bahwa Hof / Pengadilan telah
salah menafsirkan Pasal 53 KUHP dan
menyatakan bahwa yang dilakukannya
baru merupakan perbuatan persiapan.

Jaksa Agung Muda BESIER


menyimpulkan perbuatan A adalah
perbuatan persiapan, karena belum
merupakan perbuatan yang sangat perlu
untuk pembakaran rumah yang telah
diniatkan,dan tidak langsung
berhubungan dengan kejahatan yang
dituju.

Atas dasar alasan tsb HR membatalkan


Putusan Hof dan A dilepaskan dari segala
tuntutan.
Ad. 3. Pelaksanaan Tidak selesai bukan karena kehendak
sendiri.

a. Adanya Penghalang Fisik :


Misalnya : Tidak matinya orang yang
ditembak karena tangannya disentakkan
orang lain sehingga tangannya
menyimpang atau pistolnya terlepas, atau
alat yang digunakan macet,atau rusak.
b. Akan adanya Penghalang Fisik :
Misalnya Takut segera ditangkap karena
gerak geriknya untuk mencuri telah
diketahui orang lain.
c. Adanya Penghalang yang disebabkan faktor /
keadaan khusus pada objek yang menjadi
sasaran.
Misalnya : Daya tahan orang yang ditembak
begitu kuat shg tidak mati; atau barang yang
akan dicuri terlalu berat walaupun pencuri
telah berusaha mengangkatnya sekuat tenaga.
Tidak Selesainya Perbuatan Karena
Kehendak Sendiri :
a. Pengunduran diri secara sukarela
(Rucktriit), yaitu tidak
menyelesaikan perbuatan
pelaksanaan yang diperlukan
untuk delik ybs.
b. Tindakan Penyesalan (Tatiger
Reue), yaitu meskipun perbuatan
pelaksanaan sudah diselesaikan
tetapi dengan sukarela
menghalau timbulnya akibat
mutlak untuk delik tersebut.

 Misalnya : Orang yang


memberikan racun pada
minuman korban, tetapi
kemudian segera memberikan
obat penawar racun sehingga
korban tidak jadi meninggal.
Alasan MvT mencantumkan unsur ke 3 dalam Pasal 53
KUHP adalah :

1.Untuk menjamin agar orang yang


mengundurkan diri secara sukarela dalam
melakukan kejahatan tidak dipidana.
2.Pertimbangan Utilitas (kemanfaatan), yang
diharapkan dapat menjadi usaha pencegahan/
preventif dengan adanya jaminan tidak
dipidana, maka orang yang telah mulai
melakukan kejahatan diharapkan akan
mengurungkan perbuatannya.

Atas dasar alasan MvT tersebut, ada pendapat


bahwa :

a.Dapat dijadikan alasan penghapus pidana


yang diformilkan;
b.Alasan Pemaaf;
c.Alasan Penghapus Penuntutan
D. PERCOBAAN MAMPU DAN TIDAK MAMPU
Percobaan tidak mampu muncul apabila
perbuatan pelaksanaan telah dilakukan tetapi
delik yang dituju tidak selesai atau akibat
yang terlarang menurut UU tidak timbul.

Tidak timbulnya akibat yang dilarang dapat


disebabkan Tidak mampunya Objek.

Perbedaan Percobaan Mampu dan Tidak


Mampu hanya ada pada Percobaan Objektif,
yaitu menitik beratkan pada sifat
berbahayanya perbuatan. Sedangkan
penganut teori Subjektif tidak mengenal
perbuatan tersebut, melainkan menitik
beratkan pada sifat berbahayanya sikap
bathin / watak pelaku TP.
Jadi menurut MvT Tidak Mungkin ada Percobaan
pada Objeknya yang tidak mampu, yang ada
adalah hanya Percobaan yang tidak mampu pada
alatnya.

MvT membedakan antara Percobaan yang tidak


mampu karena alatnya, dibedakan :

a. Tidak mampu Mutlak/Absolut :


Yaitu bila dengan alat tsb, tidak mungkin akan
muncul delik / TP.
Misalnya : Meracun dengan air kelapa muda.

b.Tidak Mampu Relatif :


Yaitu bila dengan alat tsb tidak timbul delik
selesai, tetapi keadaan tertentulah yang
menyebabkan munculnya delik. Dalam hal ini
mungkin ada delik Percobaan.
E. PEMIDANAAN TERHADAP PERCOBAAAN

 Percobaan terhadap Kejahatan diatur


dalam Pasal 53 ayat (2) KUHP, yaitu
maksimum pidana yang dijatuhkan
dikurangi sepertiganya.

 Sedangkan menurut Pasal 53 ayat (3)


KUHP untuk ancaman pidana mati atau
seumur hidup, maka maksimum pidana
untuk percobaan adalah 15 tahun.

 Adapun Percobaan terhadap Pelanggaran


menurut Pasal 54 tidak dipidana.

 Selain itu ada juga Pengecualian terhadap


TP Kejahatan yang di atur dalam Buku II
KUHP, tetapi tidak dipidana yaitu apabila
melanggar Pasal 184, 302, 351 ayat (5), dan
352 ayat (2).
F. PERCOBAAN DI LUAR KUHP

 Diatur di luar KUHP, seperti


dalam UU N0.7/Drt/1955
tentang TPE;
 UU No.22 / 1997 tentang
Narkotika.
 UU TP Korupsi, dll.
 Terhadap beberapa TP di luar
KUHP ini diserahkan kepada
pengaturan UU tsb sesuai
dengan Pasal 103 KUHP,
tetapi pada umumnya TP di
luar KUHP / khusus TIDAK
BERLAKU / TIDAK
MENGENAL PERCOBAAN =
DIANGGAP PERBUATAN
SELESAI.
BAB II
PENYERTAAN
(DEELNEMING)
A. ISTILAH PENYERTAAN :
Disebut juga Turut campur dalam
peristiwa pidana;
Turut berbuat delik; Turut Serta;
Deelneming; Complicity;
Participation; dll.

B. PENGATURAN PENYERTAAN :
a. Secara Umum : Buku I Bab V
KUHP Pasal 55 – 62.
b. Secara Khusus : Secara
tersebar dalam Buku II KUHP,
Buku III KUHP dan Beberapa
Peraturan Di luar KUHP /TP
Khusus.
C. PENGERTIAN PENYERTAAN :
Penyertaan adalah apabila suatu tindak pidana
terlibat lebih dari satu orang, atau beberapa
orang melibatkan diri dalam satu tindak
pidana.

D. BENTUK-BENTUK PENYERTAAN :
1. Zij die het Plegen/Pleger : yang Melakukan;
2. Zij die het Doen Plegen : yang Menyuruh Melakukan;
3. Zij die het Mede Plegen : yang Turut Serta Melakukan;
4. Zij die het Uitlokking : yang Membujuk/Menggerakkan;
5. Zij die het Medeplegteheid : yang Membantu Melakukan.
E. PENGGOLONGAN PENYERTAAN :
a. Menurut KUHP :
1. Golongan Pelaku : Bentuk 1 sampai
bentuk 4; yaitu : Bukan Pelaku TP ,
tetapi Pertanggungjawaban Pidananya
disamakan dengan Pelaku.
2. Golongan Pembantu : Bentuk 5;
Yaitu diatur dalam Pasal 56 dan Pasal
57 KUHP.

b. Menurut Doktrin :
1. Zelfstandige vormen van Deelneming :
Bentuk Penyertaan yang berdiri sendiri,
artinya Pelaku bertanggung jawab
sendiri-sendiri atas perbuatannya, yaitu
Bentuk 1 sampai dengan Bentuk 3.
2.Onzelfstandige vormen van Deelneming :
Bentuk penyertaan yang
pertanggungjawaban pesertanya
bergantung pada perbuatan peserta
lainnya sebagai perbuatan yang dapat
dihukum, yaitu Bentuk 4 dan Bentuk 5.
Bentuk ke 1: Pleger / Dader.
F. PENGGOLONGAN
Yaitu PENYERTAAN
Pelaku yang melakukan TP.MENURUT
Dalam halKUHP :
ini dapat dikatagorikan sebagai Pelaku
Tunggal atau dapat juga sebagai Pelaku
Jamak. Atas dasar itu ada 2 pandangan :
1.Pandangan yang luas (extensief) :
Pelaku adalah tiap orang yang
menimbulkan akibat yang memenuhi
rumusan delik (= Pasal 55 KUHP).
2. Pandangan yang sempit (restrictief) :
Pelaku adalah orang yang melakukan
sendiri perbuatannya sesuai dengan
rumusan delik, jadi pelaku = dader.

Jadi Pelaku adalah orang yang melakukan


sendiri perbuatan yang memenuhi rumusan
delik, tetapi pembuat UU tidak menentukan
secara pasti siapa yang jadi pelaku.sehingga
menimbulkan kesulitan dalam praktek.
BENTUK KE 2 : DOENPLEGER / MENYURUH MELAKUKAN
Yaitu orang yang melakukan TP
menggunakan orang lain sebagai
perantara, tetapi perantara itu hanya
berperan sebagai alat.
Dengan demikian Doenplegen
mempunyai ciri:
1. Ada dua pihak yaitu Pelaku langsung
(Manus Ministra / Auctor Materialis )
dan Pelaku Tidak Langsung (Manus
Domina/Auctor Intelectualis).
2. Dalam Doenplegen terdapat unsur-
unsur :
a.Alat yang dipakai adalah manusia;
b.Alat yang dipakai harus berbuat aktif ;
c.Alat yang dipakai tidak dapat
dipertanggung jawabkan / dimintai
pertanggungjawaban.
Penyebab tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana terhadap orang
yang disuruh adalah karena orang tersebut
hanya berperan sebagai alat/Pelaku Material
yang didasarkan pada :
1. Tidak sempurna pertumbuhan
jiwanya (Pasal 44);
2. Adanya Keadaan yang memaksa
(Pasal 48);
3. Ada Perintah Jabatan yang tidak sah
( Pasal 51 ayat (2));
4. Adanya kekeliruan/ pemalsuan;
5. Tidak mempunyai maksud untuk
melakukan kejahatan seperti
disyaratkan dalam UU.
BENTUK KE 3 : TURUT SERTA
MELAKUKAN/MEDEPLEGER
KUHP tidak memberikan definisi, tetapi MvT
memberikan pengertian bahwa Orang yang
turut serta melakukan (Medepleger) ialah orang
yang dengan sengaja turut berbuat atau turut
mengerjakan terjadinya sesuatu.

Syarat –syarat Turut Serta Melakukan /


Medepleger adalah :
a. Ada kerja sama secara Sadar (bewuste
samenwerking).
Kerja sama disini harus ditujukan pada suatu
perbuatan yang berupa kejahatan.
b. Ada kerja sama secara fisik (Physieke
samenwerking).
Kerja sama disini merupakan suatu delik
yang ditujukan pada suatu akibat yaitu
adanya perbuatan yang berupa kejahatan dan
perbuatan tersebut di atur dalam UU.
BENTUK KE 4 : PENGANJUR / UITLOKKING
Yaitu Orang yang menggerakkan orang lain
untuk melakukan suatu TP dengan
menggunakan sarana-sarana yang ditentukan
oleh UU.

Jadi antara Penganjur dengan Menyuruh


Melakukan hampir sama, yaitu adanya usaha
untuk menggerakkan orang lain sebagai Pelaku
Material / Auctor Materialis.

Perbedaannya adalah :
1. Dalam Penganjuran, sarana yang digunakan
diatur dalam Pasal 55 ayat (1) sub ke 2 yaitu
diatur secara limitatif/terbatas.
2. Dalam Pembujukan, orang yang membujuk
disebut AUCTOR INTELECTUALIS dan yang
dibujuk /digerakkan AUCTOR MATERIALIS.
3. Pelaku Material/Auctor Materialis dapat
dimintai pertanggung jawaban secara
hukum/dipidana, karena melakukan
perbuatan dengan sengaja.
Dalam Menyuruh Melakukan /Doen Plegen :
1. Sarana untuk menggerakkan tidak
ditentukan/tidak terbatas/tidak limitatif.
2. Dalam Menyuruh Melakukan, Orang yang
menyuruh disebut MANUS DOMINA sedangkan
orang yang disuruh adalah MANUS MINISTRA.
3. Pembuat Material/Manus Ministra tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum/tidak
dapat dipidana karena tidak mempunyai
kehendak.

Syarat-syarat Pemidanaan Bagi Penganjur /Penggerak:


1. Ada kesengajaan untuk menggerakkan orang lain
untuk melakukan perbuatan yang dilarang.
2. Menggerakkan/menganjurkannya dengan Daya
Upaya/sarana – sarana dalam Pasal 55 ayat (1) sub 2
3. Pembuat Material tersebut dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum/dapat
dipidana.
Maksud dari Pasal 55 ayat (1) sub ke 2 adalah :
1. Untuk Kepastian Hukum;
2. Untuk Pedoman Bagi Hakim dalam Pembuktian.
Terhadap pengaturan Daya Upaya secara
Limitatif ini ada kritik dari Hazewingkel
Suringa yang mengatakan : Jika daya upaya
tidak dibatasi, maka orang yang cerdik pandai
dapat memakai daya upaya lain diluar KUHP,
atau diluar yang diatur oleh Pasal 55 ayat (1)
sub ke 2.
Misalnya ratap tangis; cerita-cerita
keberhasilan dll.
Adapun Daya Upaya yang berupa :
PAKSAAN, ANCAMAN dan PENYESATAN,
dapat masuk ke dalam bentuk menyuruh dan
juga Menggerakkan. Dasar ukurannya
adalah apabila
DORONGAN/PAKSAAN/ANCAMAN itu
SANGAT KUAT,maka itu adalah MENYURUH,
tetapi apabila TIDAK BEGITU KUAT maka
masuk dalam MENGGERAKKAN.
BENTUK KE 5 : MEDEPLICHTIGE / PEMBANTUAN
Diatur dalam Pasal 56 KUHP, yaitu ada 2
bentuk :
1.Pada saat kejahatan dilakukan, dalam hal
ini tidak ditentukan bentuknya secara
limitatif dalam UU.
2. Sebelum kejahatan dilakukan, dalam hal
ini UU memberikan batasan/limitatif yaitu
berupa MEMBERI KESEMPATAN, SARANA
atau KETERANGAN.

Pertanggung jawaban Pembantu :


KUHP Mengatur pidana untuk
Pembantuan adalah lebih ringan dari pada
Pelaku : Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2)
yaitu:
a. Maksimum Pidana Pokok dikurangi
sepertiga;
b. Apabila kejahatan diancam pidana mati
atau seumur hidup, maka maksimum
pidananya adalah 15 tahun.
Pertanggungjawaban Pembantu :
1. Pemidanaan untuk Pembantu
adalah lebih ringan dari Pelaku
{Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2)} KUHP;
yaitu:
a. Maksimum Pidana Pokok
dikurangi sepertiga {ayat (1)};
b. Apabila kejahatan diancam
hukuman pidana mati atau
penjara seumur hidup, maka
maksimum pidana untuk
pembantu adalah 15 tahun {ayat(2)}.

Pengecualian terhadap Prinsip di atas


adalah :
a. Pasal 333 (4) : Merampas kemerdekaan
orang; untuk Pembantu dipidana sama
dengan Pelaku .
b. Pasal 231 (3) : Penyimpanan Barang;
Pembantu di pidana sama dengan
pelaku.
2. Pidana Tambahan untuk Pembantu sama
dengan Pelaku ({Pasal 57 ayat (3)}
3. Dalam Pertanggungjawaban Pembantu KUHP
menganut sistem tidak tergantung pada
pertanggungjawaban Pelaku, Pasal 57 ayat (4).

Dalam pertanggungjawaban pidana bagi Pembantu


hanya dihitung yang sengaja dipermudah /
diperlancar beserta akibat-akibatnya saja.

Pasal 58 KUHP mengatur mengenai kualitas


pribadi yang dapat menghapuskan,
mengurangkan, atau memberatkan pengenaan
pidana bagi Pelaku Tindak Pidana.

Pasal 58 ini adalah peringatan bagi Praktisi. Oleh


karena itu ada kritik dari Prof.Moeljatno dan
Prof.Oemar Seno Adji bahwa untuk pembantu
hendaknya dipergunakan sistem fakultatif, yaitu
pengenaan sanksi pidananya diserahkan kepada
Hakim.
PENYERTAAN DENGAN KEALPAAN/CULPOS DEELNEMING
TP yang disebabkan karena kealpaan pada
prinsipnya tidak dapat dipidana, karena tidak
mempunyai unsur kesengajaan.
Misalnya :
1.A memberi gunting pada B yang katanya mau
menggunting kain, tetapi ternyata digunakan
oleh B untuk melakukan kejahatan.
2. Pada saat B memasuki rumah C dengan
maksud mencuri, dia berkelakuan / pura-pura
kehilangan kunci, sehingga ketika
ketahuan oleh A yang sedang Ronda tidak
curiga bahwa B hendak mencuri, bahkan C
berusaha membantu B untuk mencokel
jendela rumah, agar B dapat masuk.
Berdasarkan contoh di atas, maka mereka yang
membantu melakukan TP tidak dapat dikenakan
sanksi pidana, karena tidak mempunyai unsur
kesalahan.
BAB III
PERBARENGAN / GABUNGAN TINDAK PIDANA
( SAMEN LOOP / CONCURSUS )
A. Pengertian Perbarengan/Gabungan TP/
Concursus/Samen Loop :

Dalam KUHP tidak ditemukan definisinya, tetapi


dari rumusan pasal-pasalnya dapat disimpulkan :
1. Seseorang dengan satu perbuatan mengakibatkan
beberapa aturan pidana dilanggar; atau seseorang
dengan beberapa perbuatan mengakibatkan
beberapa aturan pidana dilanggar.
2. Diantara perbutan-perbuatan tersebut, Hakim
belum pernah menjatuhkan Putusan/ vonis yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti dan
tetap.
3. Jaksa/Penuntut Umum dalam melakukan
penuntutan perkara-perkara tersebut harus secara
sekaligus dan bersamaan.

Diantara ke 3 (tiga) pengertian tersebut, yang


paling penting adalah yang no 1 (satu) karena
menyangkut Perbuatan
B. Pengaturan Perbarengan / Gabungan TP :
Diatur dalam Buku I KUHP Bab VI Pasal
63 – 71 :
1. Perbarengan Peraturan / Concursus
Idealis diatur dalam Pasal 63 KUHP;
2.Perbuatan berlanjut / Voortgezette
handelling diatur dalam Psl 64 KUHP;
3.Perbarengan Perbuatan / Corcursus
Realis diatur dalam Psl 65 – 71 KUHP.

Corcursus Idealis dan Concursus Realis


adalah bentuk Concursus Murni,
sedangkan Perbuatan
Berlanjut/Voortgezette handelling
adalah bukan bentuk Corcursus murni.
C. Sistem Pemidanaan :
a. Perbarengan Peraturan/Concursus
Idealis: Pasal 63 KUHP.
Menurut Pasal 63 ayat(1)KUHP
digunakan Sistem Absorbsi yaitu hanya
dikenakan/dijatuhkan Pidana Pokok
Terberat. Sistem Pemidanaan seperti ini
dinamakan Absorbsi Murni/Hisapan
Murni yaitu Pidana yang terberat
menghisap Pidana yang ringan.

Dalam Concursus Idealis, Perbuatan


yang dimaksud adalah Perbuatan Jasmani/
Material handeling, yaitu Perbuatan yang
tidak dapat dipisah-pisahkan.

Dalam Pasal 63 KUHP aturan yang


dilanggar harus berbeda/ lebih dari satu
aturan pidana.Tetapi dalam praktek sering
terjadi beberapa perbuatan yang hanya
melanggar satu aturan pidana.Terhadap hal
ini dipakai pendapat Doktrin yaitu
CONCURSUS IDEALIS HOMOGENIUS.
b. Perbuatan Berlanjut /Voortgezete Handeling :

• Menurut Pasal 64 ayat (1) berlaku sistem


Absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu
aturan pidana, dan jika berbeda-beda
dikenakan ketentuan yang memuat ancaman
hukuman pidana pokok yang terberat.
• Pasal 64 ayat (2) merupakan aturan khusus
dalam Pemalsuan dan Perusakan Mata Uang.
• Pasal 64 ayat (3) merupakan ketentuan
khusus dalam hal kejahatan-kejahatan
ringan yang merupakan Perbuatan Berlanjut.

Menurut MvT syarat Perbuatan Berlanjut


adalah :
1. Ada niat yang merupakan perbuatan yang
terlarang;
2. Diantara perbuatan-perbuatan tsb
dilakukan tidak terlalu lama;
3. Tindak Pidana yang dilakukan harus
sejenis.
Contoh Kasus dalam Perbuatan Berlanjut/
Voortgezette Handeling :
A seorang Pembantu yang mencuri
uang majikannya yang tersimpan di
lemari, berupa lembaran Rp.10.000,-
yang berjumlah Rp.1.000.000,-
(segepok).

Uang tersebut tidak diambil Pembantu


secara sekaligus, melainkan setiap hari
hanya dua (2) lembar saja, dan baru
tiga (3) kali mencuri keburu ketahuan
oleh majikannya.

Untuk kasus ini hanya dikenakan satu


pasal saja terhadap Pembantu tersebut,
yaitu Pasal 362 KUHP.
C. Perbarengan Perbuatan/Concursus Realis
(Pasal 65 – Pasal 71 KUHP) :
Concursus Realis berupa Kejahatan yang diancam Pidana
Pokok Sejenis, yaitu terhadap Kejahatan + Kejahatan: Pasal
65, yaitu hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan
bahwa Jumlah Pidana Maksimum tidak boleh lebih dari
maksimum pidana terberat ditambah sepertiganya :
ABSORBSI YANG DIPERTAJAM / DIPERBERAT
Contoh :
A melakukan 3 jenis kejahatan yang diancam pidana masing-masing
: 4 tahun, 5 tahun dan 9 tahun. Terhadap hal ini pidananya adalah 9
tahun + (1/3 X 9 ) = 12 tahun.
A melakukan 2 kejahatan yang diancam 1 tahun dan 9 tahun.
Dalam hal ini Pidana yang dikenakan adalah 10 Tahun dan bukan 9
tahun + (1/3 X 9) = 12 tahun, karena melebihi jumlah maksimum
pidana untuk masing-masing kejahatan.
Concursus Realis yang berupa Kejahatan yang diancam
Pidana Pokok Tidak Sejenis, yaitu berupa KEJAHATAN +
PELANGGARAN

Menurut Pasal 66 KUHP untuk semua jenis


ancaman pidana tiap-tiap kejahatan
dijatuhkan tetapi jumlahnya tidak boleh
melebihiMaksimum Pidana Terberat
ditambah sepertiganya.Sistem ini disebut
KUMULASI YANG DIPERLUNAK /
DIPERINGAN.

Contoh :
A melakukan 2 Perbuatan yaitu Pelanggaran
dan kejahatan, yang masing-masing
dipidana 9 bulan kurungan dan 2 tahun
penjara. Dalam hal ini semua jenis pidana
(kurungan dan penjara) harus dijatuhkan.
Adapun maksimumnya adalah 2 tahun
ditambah (1/3 X 2 tahun) = 2 tahun 8 bulan
= 32 bulan.
Jadi pidana yang dijatuhkan adalah bukan
jumlah keseluruhan 9 bulan + 2 tahun = 2
tahun 9 bulan = 33 bulan.
Concursus Realis Pelanggaran + Pelanggaran diatur
dalam Pasal 70 KUHP dengan sistem Pemidanaan
disebut KUMULASI (Pidana Sejenis), yaitu tiap-tiap
Pidana dijumlahkan.
Contoh :
A melakukan dua (2) Pelanggaran yang
masing-masing diancam Pidana kurungan 6
bulan dan 9 bulan, maka seharusnya
maksimum pidananya adalah 6 + 9 = 15
bulan.

Tetapi menurut Pasal 70 ayat (2) KUHP sistem


kumulasi itu dibatasi sampai maksimum 1
tahun 4 bulan kurungan.
Jadi apabila A melakukan 2 Pelanggaran
yang masing-masing diancam kurungan 9
bulan, maka untuk A dijatuhkan Pidana 18
bulan kurungan.
Hal ini bertentangan dengan Pasal 70 ayat (2)
KUHP, yaitu Pidana maksimum yang harus
dijatuhkan bukan 18 bulan tetapi 16 bulan ( 1
tahun 4 bulan ).
Untuk Concursus Realis baik yang berupa Kejahatan
ataupun Pelanggaran yang diadili pada saat yang
berlainan berlaku Pasal 71 KUHP
Contoh :
 Pada tanggal 1 Januari 2007 melakukan
Pembunuhan;
 Pada tanggal 5 Pebruari 2007 melakukan
Pencurian;
 Pada tanggal 10 Maret 2007 melakukan
Pencurian.
Dalam hal ini karena alat bukti belum
lengkap, maka perkara yang ke 1 saja
(Pembunuhan) yang diajukan ke Pengadilan.
Terhadap kasus ini Hakim harus berpedoman
pada Pasal 71 KUHP, yaitu :
Dalam Perkara ke 1 jika Hakim sudah
memutus pidana terberat ditambah 1/3, maka
untuk perkara selanjutnya Hakim hanya
memutus/ menjatuhkan Vonis dengan
Putusan BERSALAH saja.
Tetapi apabila dalam perkara ke 1 Hakim
belum menjatuhkan Pidana terberat + 1/3
nya, Vonis ke 2 dapat dijatuhkan pidana
terberat ditambah 1/3 nya.
Pasal 71KUHP berhubungan dengan Pengertian
Perbarengan yaitu rumusan ke 3
Oleh karena itu Jaksa /Penuntut
Umum harus melakukan Penuntutan
secara bersamaan dan sekaligus.
Tetapi dalam Praktek Jaksa tidak selalu
mengajukan perkara secara sekaligus,
dikarenakan alat bukti yang kurang
lengkap.

Atas dasar itu, maka Concursus


berbicara tentang :
a. Pemidanaan dalam Tindak Pidana;
b. Stelsel/Sistem Pemidanaan yang
meringankan, namun menurut
sistematika KUHP Memberatkan.
BAB IV
PENGULANGAN TINDAK PIDANA
(RESIDIVE)
Pengertian Residive :
Seseorang yang melakukan TP dan telah
dijatuhi hukuman pidana dengan suatu
Putusan/Vonis dari Hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht
van gewijsde), kemudian melakukan lagi
suatu TP.

Jadi hampir sama dengan Concursus Realis,


yaitu melakukan lebih dari satu TP.
Perbedaannya adalah dalam Residive telah
ada Putusan/Vonis Hakim yang mempunyai
kekuatan hukum yang tetap yang berupa
pemidanaan terhadap TP sebelumnya.
Sedangkan dalam Concursus belum ada
Putusan/ Vonis dari Hakim.

Residive adalah alasan untuk pemberatan


Pidana.
B. Pembagian Pengulangan / Residive :

1. Residive Umum / Algemene Stelsel Residive :


Semua Pengulangan terhadap jenis TP
apapun dan dilakukan dalam waktu
kapan saja. Pengulangan merupakan ALASAN
PEMBERATAN, jadi tidak disyaratkan jenis
TP yang dilakukan maupun tenggang waktu
Pengulangan. Dengan demikian tidak
dikenal DALUWARSA. Residive /
Pengulangan jenis Umum ini TIDAK
DIKENAL dalam KUHP.
2. Residive Khusus / Speciale Stelsel Residive :
Tidak semua jenis Pengulangan merupakan
ALASAN PEMBERATAN. Pemberatan
pidana hanya dikenakan terhadap
pengulangan yang dilakukan terhadap jenis
TP tertentu dan dilakukan dalam tenggang
waktu tertentu. Jenis Residive inilah yang
DIKENAL KUHP.
Residive Menurut KUHP :
Pengulangan/Residive tidak diatur
secara umum dalam Buku I KUHP
tentang Ketentuan Umum, tetapi
secara khusus untuk TP tertentu
diatur dalam Buku II dan Buku III
KUHP

Selain itu KUHP juga


mensyaratkan tenggang waktu
Pengulangan TP tertentu. Dengan
demikian KUHP menganut sistem
Residive Khusus, artinya
Pemberatan pidana hanya
dikenakan pada pengulangan
jenis-jenis TP tertentu saja dan
dilakukan pada tenggang waktu
tertentu.
Residive untuk Tindak Pidana dapat berlaku untuk
kejahatan maupun untuk Pelanggaran yaitu :

1. Residive Kejahatan :
Dengan dianutnya Residive khusus, maka
Residive kejahatan menurut KUHP adalah
kejahatan-kejahatan tertentu, yang
dibedakan dalam :
a. Residive Kejahatan-kejahatan tertentu
SEJENIS. Diatur secara tersebar dalam
Buku II KUHP, yaitu dalam Pasal 137(2);
144 (2); 155 (2); 157 (2); 161 (2); 163 (2);
208 (2); 216 (3); 303 Bis(2); 321 (2); dan
393 (2).
Dalam Residive kejahatan sejenis hanya
ada 11 (sebelas) jenis kejahatan yang
merupakan alasan pemberatan pidana.
Syarat-syarat Residive adalah :
1. Kejahatan yang diulang harus sama atau sejenis
dengan kejahatan terdahulu;
2. Antara kejahatan yang terdahulu dan kejahatan yang
diulangi harus sudah ada Keputusan Hakim yang
berupa Pemidanaan yang mempunyai kekuatan
hukum yang pasti dan tetap;
3. Pelaku kejahatan dalam menjalankan kejahatannya
harus merupakan Pencaharian (khusus untuk Pasal
216; 303 Bis; dan 393 syarat itu tidak ada).
4. Pengulangannya dilakukan dalam tenggang waktu
tertentu yang disebutkan untuk pasal-pasal :
a. 2 tahun sejak adanya Keputusan Hakim yang
pasti/tetap (Pasal 137; 144; 208;216; 303 bis; dan 321
KUHP);
b. 5 tahun sejak adanya Keputusan Hakim yang
pasti/tetap (Pasal 155; 157; 161; 163 dan 393 KUHP).
Tidak mungkin ada Residive apabila :
Keputusan Hakim tidak berupa Pemidanaan,
melainkan Vrijspraak (Pembebasan dari segala
tuntutan) dan Pelepasan dari segala tuntutan
(onslaag van alle rechtsvervolging).
Keputusan /Vonis Hakim masih dapat berubah
dengan adanya upaya-upaya hukum yang berlaku
(Banding dan Kasasi).
Keputusan Hakim yang berupa Penetapan
(Beschikking), misalnya :
–Keputusan yang menyatakan tidak
berwenangnya Hakim untuk memeriksa perkara
tsb.
–Keputusan tentang tidak diterimanya tuntutan
Jaksa karena Terdakwa tidak melakukan
kesalahan.
–Tidak diterimanya perkara karena
penuntutannya sudah Daluwarsa.
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa saat pengulangan
dihitung sejak adanya Putusan Hakim yang berkekuatan
tetap. Jadi tidak disyaratkan apakah jenis pidana yang
dijatuhkan oleh Hakim sebelumnya dan juga tidak
disyaratkan apakah Pidana yang dijatuhkan itu sudah
dijalankan atau belum baik untuk sebagian ataupun
seluruhnya.
Pengenaan Pemberatan Pidana untuk
Residive Kejahatan Sejenis ini berbeda-
beda, yaitu :
1. Dapat diberikan Pidana Tambahan
berupa pelanggaran atau pencabutan
hak untuk menjalankan mata
pencahariannya.
2. Pidananya dapat ditambah sepertiga
(khusus Pasal 216);
3. Pidana dapat ditambah dilipat dua
kali, yaitu khusus untuk Pasal 393,
yaitu dari 4 bulan 2 minggu menjadi 9
bulan penjara.
b. Residive Kejahatan-kejahatan tertentu yang
termasuk KELOMPOK JENIS, hanya diatur dalam 3
pasal yaitu diatur dalam Pasal 486; Pasal 487 dan
Pasal 488 KUHP.
Adapun syarat-syaratnya adalah :
1.Kejahatan yang diulangi harus termasuk dalam satu kelompok
jenis dengan kejahatan yang pertama/terdahulu.
Kelompok jenis kejahatan termaksud adalah :
a. Kelompok jenis kejahatan Pasal 486 KUHP mengenai :
Kejahatan terhadap harta benda dan pemalsuan, misalnya :
Pemalsuan Mata Uang (244 – 248); Pemalsuan Surat (263 –
264); Pencurian (262-265); Penggelapan; Penipuan; kejahatan
Jabatan (415, 417, 425); Penadahan (480 – 481).
b. Kelompok Jenis Kejahatan Pasal 487 KUHP mengenai :
Kejahatan terhadap Orang, misalnya :Penyerangan/Makar
terhadap Kepala Negara; Pembunuhan; penganiayaan; dll.
c. Kelompok Jenis Kejahatan dalam Pasal 488 KUHP mengenai :
Kejahatan penghinaan dan berhubungan dengan
penerbitan/percetakan. Misalnya : Penghinaan terhadap
Presiden/Wkl (134 – 137); Penghinaan terhadap Kepala Negara
Sahabat (142 - 144); Penghinaan terhadap penguasa/Badan
Umum (207 – 208); Penghinaan terhadap Orang (310 – 321);
Kejahatan Penerbitan dan Percetakan (483- 484).

Berdasarkan contoh-contoh di atas, maka kejahatan-kejahatan


yang diatur dalam Pasal 486, 487, dan 488 KUHP itu hanya
kejahatan-kejahatan tertentu saja.

Dengan demikian, maka dalam sistem KUHP tidak semua


kejahatan berat dapat dijadikan sebagai alasan Residive /
Pengulangan untuk alasan Pemberatan Pidana.
2. Antara kejahatan yang kemudian/yang diulangi dengan
kejahatan yang terdahulu/sebelumnya, harus ada Putusan
Hakim yang berupa pemidanaan tetap, dan Putusan Hakim
itu tidak berupa Penetapan / Beschikking.

3. Pidana yang dijatuhkan oleh Hakim terdahulu haruslah


berupa Pidana Penjara.
4. Ketika melakukan Pengulangan TP, tenggang waktunya
belum :
a. Belum lewat 5 tahun, yaitu dihitung sejak menjalani
untuk seluruhnya/ sebagian dari pidana penjara yang
dijatuhkan terdahulu; dan sejak pidana penjara tersebut
sama sekali telah dihapuskan;
b. Belum lewat tenggang waktu daluwarsa kewenangan
menjalankan pidana penjara yang terdahulu.
2. Residive Pelanggaran :

Diatur dalam Buku III KUHP; yaitu ada 14 Jenis


Pelanggaran yang merupakan alasan Pemberatan :
1.Pasal 489 : Kenakalan Terhadap Orang /barang;
2.Pasal 492 : Mabuk dimuka umum merintangi
Lalin/Mengganggu Ketertiban &
keamanan Orang lain;
3.Pasal495 : Memasang penangkap/alat untuk
membunuh binatang buas tanpa ijin;
4.Pasal 501 : Menjual dsb, makanan/minuman yang
dipalsukan, busuk atau berasal dari
ternak sakit / mati;
5.Pasal 512 : Melakukan Pencaharian tanpa ada
keharusan/ kewenangan atau melampaui
batas kewenangannya.
6.Pasal 516 : Mengusahakan tempat bermalam tanpa
suatu register/catatan tamu atau tidak
menunjukkan register tsb kpd Pejabat
yang memintanya.
7.Pasal 517 : Membeli dan sebagainya barang-barang
anggota militer tanpa ijin.
8.Pasal 530 : Petugas Agama yang melakukan upacara suatu
upacara perkawinan sebelum dinyatakan padanya
bahwa Pelangsungan dimuka Pejabat catatan Sipil
telah dilakukan.
9. Pasal 536 : Dalam keadaan Mabuk berada dijalan umum.
10. Pasal 540 : Memperkerjakan Hewan melebihi kekuatan dan
atau menyakitinya;
11. Pasal 541 : Menggunakan Kuda muatan yang belum tukar
gigi;
12. Pasal 544 : Mengadakan Sambung ayam/Jangkrik di jalan
umum tanpa ijin;
13. Pasal 545 : Melakukan Pencaharian sebagai tukang ramal;
14. Pasal 549 : Membiarkan ternaknya berjalan di kebun / tanah
yang terlarang.
Syarat-syarat Residive Pelanggaran :
1. Pelanggaran yang dilakukan harus sama/sejenis dengan
pelanggaran terdahulu.
2. Harus ada Putusa Hakim yang berupa Pemidanaan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap untuk pelanggaran yang
terdahulu.
3. Tenggang waktu pengulangannya belum lewat 1 atau 2 tahun sejak
adanya putusan pemidanaan yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap, yaitu :
a. Belum lewat 1 tahun untuk pelanggaran-pelanggaran untuk Pasal
489; 492; 495; 536 540; 541; 544; 545 dan 549 KUHP.
b. Belum lewat 2 tahun untuk pelanggaran Pasal-pasal 501; 512;516;
517 dan 530 KUHP.

Berdasarkan uraian tersebut, maka Pemberatan untuk Pelanggaran :


a. Pidana Denda diganti atau ditingkatkan menjadi Pidana Kurungan;
b. Pidana (denda/kurungan) dilipatkan jadi dua kali.
D. Residive Di Luar KUHP :
1. Residive Kejahatan Terdapat dalam beberapa TP Khusus
seperti Narkotika dll,untuk pengulangannya yaitu umumnya
mendapat pemberatan apabila :
a. Sanksi pidananya berupa Pidana Penjara, maka
pemberatannya ditambah sepertiganya.
b. Untuk sanksi Pidananya yang berupa Denda, maka
pemberatannya dikali dua.

2.Residive Pelanggaran di luar KUHP terdapat dalam UU no.14


Tahun 1992 dll, dengan ketentuan pemberatannya yaitu :
a. Tenggang waktu pengulangan beragam, yaitu ada yang
1 tahun, dan ada yang 2 tahun;
b. Untuk pemberatannya ada yang ditambah separuh;
sepertiga dan ada yang dilipat gandakan menjadi dua.
BAB V
ALASAN HAPUSNYA KEWENANGAN MENUNTUT
DAN MENJALANKAN PIDANA

I. ALASAN HAPUSNYA KEWENANGAN MENUNTUT :


1. Tidak adanya pengaduan pada Delik Aduan
(Klacht Delict).
2. Ne Bis In Idem (Pasal 76 KUHP).
3. Matinya Terdakwa (Pasal 77 KUHP).
4. Daluwarsa (Pasal 78 KUHP).
5. Penyelesaian Di luar Beracara/Afdoening buiten
proces (Pasal 82).
6. Adanya Abolisi dan Amnesti ( di atur di luar KUHP ).
Ad.1. Tidak Adanya Pengaduan Pada Delik Aduan.

Dalam Buku I KUHP tidak ada pengaturan khusus tentang Delik


Aduan, melainkan di atur dalam Buku II KUHP tentang Kejahatan,
Sedangkan dalam Buku III tidak dikenal adanya Delik Aduan.

Macam-macam Delik Aduan :


1. Delik Aduan Mutlak / Absolut :
Suatu Delik/TP yang karena sifatnya sendiri dari kejahatan, maka
hanya dengan pengaduanlah baru dapat dituntut.

2. Delik Aduan Relatif :


Delik aduan yang tidak bergantung pada Sifat Kejahatan,
melainkan pada hubungan antara si pelaku dengan kejahatan itu
atau pembantunya dan orang yang dikenai kejahatan itu.
Keistimewaan / kekhususan Delik Aduan Absolut :

1. Dalam Delik Aduan Absolut yang diadukan adalah Peristiwa


Hukumnya.
2. Dalam Delik Aduan Absolut, pengaduannya tidak dapat
dipisah-pisahkan/ onsplitsbaar. Artinya dengan adanya
pengaduan berarti berlaku untuk semua pelaku kejahatan,
walaupun tidak disebutkan satu persatu.

Oleh karena itu dalam delik aduan yang absolut, pengaduan


mutlak harus ada, sebab tanpa pengaduan pelaku dan peserta
lainnya tidak dapat dituntut.
KEISTIMEWAAN DELIK ADUAN RELATIF :

1.Dalam Delik Aduan Relatif yang diadukan adalah


“Orang” yang disangka telah melakukan TP.
2. Dalam Delik Aduan Relatif, Pengaduannya dapat
dipisahkan / splitsbaar.Artinya Pelaku/peserta
kejahatan tidak dapat dituntut apabila tidak
disebutkan.Jadi yang disebutkan saja yang menjadi
pelaku TP.

SIAPAKAH YANG BERHAK MENGADU ?


Berdasarkan Pasal 72 dan Pasal 73 KUHP dapat
disimpulkan bahwa yang berhak mengadu adalah
orang/mereka yang terkena kejahatan.
Misalnya :
Pasal 319 KUHP : Penghinaan …………… tidak akan
dituntut jika tidak ada pengaduan orang yang terkena
kejahatan, dan
Pasal 322 ayat (2) tentang membuka rahasia.
TENGGANG WAKTU PENGADUAN :
Sejak saat orang yang berhak mengadu mengetahui adanya
kejahatan. Hal ini berlaku baik untuk delik aduan absolut
ataupun delik aduan relatif.
Adapun daluwarsa pengaduan adalah setelah 6 bulan apabila
korban bertempat tinggal di Indonesia dan 9 bulan apabila
bertempat tinggal di luar Indonesia (Pasal 74 KUHP ).

MENARIK KEMBALI PENGADUAN :


Berdasarkan Pasal 75 KUHP, penarikan dapat dicabut 3
bulan setelah pengaduan diajukan, tetapi jika yang berhak
mengadu meninggal, maka pengaduan tidak dapat dicabut
kembali.

Tetapi khusus untuk delik aduan absolut, penarikan


pengaduan tidak terikat waktu 3 bulan, melainkan selama
waktu pemeriksaan dalam sidang pengadilan.
Ad. 2. NE BIS IN IDEM

Diatur dalam Pasal 76 KUHP. Istilah Ne bis in idem / Nemo


Debet bis Vexari, yang berarti tidak / jangan dua kali yang
sama.

Dasar/Ratio dari Azas ini adalah :


a. Untuk menjaga martabat / wibawa Pengadilan.
b. Untuk kepastian hukum bagi terdakwa yang telah mendapat
keputusan Hakim.

Syarat-syarat Ne bis Idem :


1. Ada Putusan Hakim yang mempunyai kekuatan hukum
tetap.
2. Putusan yang dijatuhkan berlaku untuk orang yang sama.
3. Perbuatan yang dituntut ke dua kali adalah sama dengan
yang pernah diputus.
Ad. 3 MATINYA TERDAKWA (Pasal 77 KUHP).

Kewenangan menuntut pidana


menjadi hapus dengan matinya
terdakwa. Hal ini didasarkan karena
Subjek Hukum pidana hanyalah
orang, sehingga yang dapat
mempertanggungjawabkan suatu
perbuatan yang berupa TP,
hanyalah pelaku TP tersebut.
Ad. 4. DALUWARSA / VERJARING ( Pasal 78 KUHP ).

Alasan diberlakukannya Daluwarsa adalah karena sangat


mempengaruhi daya berlakunya penuntutan, sehingga :
a. Memperlemah ingatan terhadap gangguan atas ketertiban
yang telah dilakukan, dengan demikian mengurangi pula
kegunaan dari penuntutan / pemidanaan.
b. Menyulitkan pembuktian, karenanya memperkecil
kemungkinan akan berhasilnya penuntutan.

Jadi maksud dari Daluwarsa /Tenggang Waktu ini adalah


untuk memberikan kepastian dan ketertiban hukum,
terutama untuk Penuntut Umum dan Terdakwa, terlebih-
lebih untuk Terdakwa.
Batas Waktu Daluwarsa Menurut Pasal 78 KUHP

1. Untuk semua kejahatan dan Pelanggaran


yang dilakukan dengan Percetakan adalah
1 Tahun;
2. Untuk Kejahatan yang diancaman hukuman
Denda kurungan atau pidana penjara paling
lama 3 tahun,Daluwarsanya adalah sesudah
6 tahun.
3. Untuk Kejahatan yang ancaman
hukumannya pidana penjara lebih dari 3
tahun, Daluwarsanya adalah sesudah 12
tahun.
4. Sedangkan untuk Kejahatan yang
diancaman pidana mati atau seumur hidup,
daluwarsanya adalah sesudah 18 tahun.
ALASAN /DASAR PERTIMBANGAN
WAKTU DALUWARSA ADALAH :

1. Tersangka/Terdakwa yang melarikan diri, harus


lebih lama dikeluarkan dari Penjara dibandingkan
orang yang benar-benar menjalankan hukuman.
2. Ingatan orang terhadap kejahatan-kejahatan yang
lebih berat akan lama hilangnya.
3. Kemungkinan untuk memperoleh barang bukti
semakin berkurang, sehingga sukar untuk
dikumpulkan karena hilang, rusak, dsb.
4. Memberikan rasa kepastian hukum kepada
Masyarakat.
PENENTUAN TENGGANG DALUWARSA :

Menurut Pasal 79 KUHP dihitung Pada hari sesudah Perbuatan


dilakukan kecuali untuk :
1. Kejahatan pemalsuan surat / uang, dihitung esok harinya
sejak kejahatan diketahui. Rationya adalah untuk
menghindari orang yang cerdik pandai, akan menggunakan
surat setelah batas akhir daluwarsa.
2. Perampasan Kemerdekaan, batas daluwarsanya adalah
dihitung mulai hari berikutnya setelah orang yang dirampas
kemerdekaannya dibebaskan / dimerdekakan, atau matinya
orang terhadap kejahatan itu dilakukan. Rationya adalah
apabila tidak ditentukan batas daluarsanya, dikhawatirkan
akan habis waktunya sebelum kejahatan diketahui.
3.Pelanggaran terhadap Pencatatan sipil dihitung sejak saat
daftar pernyataan dilakukan.
PENANGGUHAN DAN PENGHENTIAN DALUWARSA :
Penangguhan Daluwarsa /Schorsing van de
verjaring atau penghentian untuk sementara
waktu tenggang daluwarsa. Apabila penundaan
dicabut, maka tenggang waktu berjalan lagi, dan
waktu sebelum penundaan tetap dihitung (Pasal
81 KUHP).

Penghentian Daluwarsa /Stuiting van de


verjaring atau dibatalkannya tenggang daluwarsa
yang telah berjalan.Setelah penghentian, maka
dimulailah tenggang daluwarsa yang baru.

Tindakan Penangguhan dan Penghentian


Daluwarsa ini terjadi karena adanya Perselisihan
yang sifatnya bukan hukum pidana, tetapi dapat
mempengaruhi Putusan Hakim Pidana.
Question Prejudicieelle Au Jugement /
Putusan Hakim yang digantungkan pada
Putusan Hakim lain.

Misalnya dalam kasus Stellionaat / Penggelapan


Tanah (Pasal 385 KUHP ).

Jadi apabila seseorang mengajukan gugatan


Pidana, dimana dalam kasusnya terdapat kasus
Perdata, maka Hakim Pengadilan Pidana harus
menunda Putusannya sebelum dibuktikan
kebenarannya dalam perkara perdata.
Question Prejudicieelle A’l Action / Putusan Hakim
yang digantungkan pada Tindakan/ Action

Misalnya : Dalam Perzinahan Pasal 284 KUHP

Dalam kasus Perzinahan, Pengaduan menjadi syarat


mutlak dalam penuntutan. Jadi TP Perzinahan dapat
dituntut bergantung pada adanya “Pengaduan “.

Terhadap kasus ini tidak ada penundaan penuntutan,


karena penuntutannya tergantung pada Pengaduan.
Rationya adalah sebelum ada Penundaan Penuntutan
harus telah dimulai dulu adanya Penuntutan.
Ad. 5. PENYELESAIAN DI LUAR BERACARA
AFDOENING BUITEN PROCES / AFKOOF = TEBUSAN.

Hal ini hanya berlaku untuk perkara Pelanggaran saja, yaitu :


a. Terhadap perkara-perkara Pelanggaran yang diancam DENDA
saja.
b. Maksimum Denda harus dibayar.
c. Diperlukan KUASA dari PEJABAT yang ditunjuk UU.

Afkoop ini sifatnya sukarela, dan harus inisiatif Terdakwa


sendiri. Tidak berlaku untuk Tersangka yang berumur dibawah
16 tahun / anak-anak.

Selain Afkoop dikenal juga adanya lembaga SCHIKKING = DENDA


DAMAI yang berlaku terhadap Pelanggaran dalam TPE dan TP
Fiskal.

Asas ini merupakan kewenangan JPU dengan dasar asas


OPPOTUNITEIT/ Demi Kepentingan Umum.
Ad. 6. ABOLISI DAN AMNESTI
ABOLISI : MENIADAKAN WEWENANG DARI JAKSA UNTUK
MENUNTUT HUKUMAN
AMNESTI : WEWENANG YANG LEBIH LUAS YAITU
MENIADAKAN WEWENANG UNTUK MENUNTUT
DAN MENJALANKAN EKSEKUSI, BAIK SEBELUM
ATAUPUN SESUDAH EKSEKUSI.

PERBEDAAN ABOLISI DAN AMNESTI :


ABOLISI hanya menggugurkan Penuntutan terhadap mereka yang
belum dihukum, sedangkan AMNESTI menghentikan penuntutan
dan menjalankan Pidana (semua akibat hukum sebelum dan
sesudah tuntutan DIHAPUSKAN).

Dalam Memberikan Abolisi dan Amnesti, Presiden diberi KUASA UU


artinya Presiden tidak perlu meminta persetujuan DPR.
II. ALASAN GUGURNYA HAK UNTUK MELAKSANAKAN
HUKUMAN
A.DALAM KUHP :
1. Matinya Terpidana (Pasal 83).
2. Daluwarsa (Pasal 84 – 85).

B.DI LUAR KUHP :


1. Amnesti;
2. Grasi.

Daluwarsa menjalankan Pidana hapus, apabila :


a. 2 tahun mengenai semua TP Pelanggaran; dan
b. 5 tahun mengenai kejahatan yang dilakukan Percetakan;
c. Ditambah sepertiga dari lamanya tenggang Daluwarsa bagi
kajahatan-kejahatan lainnya;
d. Pidana mati tidak ada Daluwarsanya.
 Daluwarsa menjalankan Pidana dihitung esok hari
setelah Putusan Hakim / Vonis dijatuhkan.

Jika terhukum melarikan diri selama masa


hukuman maka esok harinya setelah melarikan diri
mulai berlaku tenggang daluwarsa baru.

Tenggang Daluwarsa tertunda selama menjalankan


pidana dan selama terhukum dirampas
kemerdekaannya apabila berhubungan dengan
tenggang penghukuman lain.

GRASI/GRATIA/GRATIE adalah tindakan Pengampunan


dari Raja (Presiden), yang merupakan kemurahan hati
Raja (Presiden) yang berkuasa,sehingga Terhukum dapat
Menerima/Menolak Grasi.
Dewasa ini Grasi berfungsi sebagai Koreksi atas
keputusan Pengadilan untuk mencegah timbulnya
ketidak adilan atas tindakan hukum.
Grasi adalah Menghapuskan hukuman yang telah dijatuhkan
oleh Hakim, baik untuk sebagian atau seluruhnya, atau
merubah hukuman yang berlainan sifatnya.
Dewasa ini Grasi diatur dalam UU No. 22 Tahun 2002.

Tujuan Grasi adalah :


a.Sebagai Koreksi atas Keputusan Pengadilan.
b.Dapat dilakukan oleh Terhukum atau Hakim (karena Jabatannya)
apabila dalam menjatuhkan Putusan terdapat kesalahan/
kekhilafan.

Yang dimaksud Kesalahan/Kekhilafan adalah apabila Hakim salah


menerapkan /menafsirkan peraturan terhadap suatu TP,sehingga
akibatnya dalam penerapan sanksipun salah. Selain itu dapat juga
terjadi apabila Hakim merasa Putusannya KURANG ADIL sehingga
Putusan/Vonis perlu diperbaiki.
AKIBAT HUKUM DARI ADANYA GRASI :
Presiden Menolak Permohonan Grasi, berarti Terhukum harus menjalankan
hukuman seluruhnya.
Presiden Mengabulkan Permohonan Grasi, berarti Terhukum tidak harus
menjalankan hukum seluruhnya.
Presiden Mengadakan Perubahan Hukuman (Kumutasi), berarti mengadakan
perubahan masa hukuman, misalnya hukuman mati dirubah menjadi hukuman
seumur hidup, hukuman penjara menjadi hukuman kurungan dll.
Mengurangi Hukuman, artinya Hukuman yang dijatuhi oleh Hakim dikurangi
sehingga menjadi lebih ringan.

Yang terpenting dalam Grasi adalah bukan MENGHILANGKAN Keputusan Hakim,


melainkan Keputusan Hakim tetap ada, tetapi PELAKSANAAN PUTUSAN HAKIM
DIKURANGI, dengan kata lain KESALAHAN Terhukum tetap ada.
MACAM-MACAM GRASI :

1.Grasi Duduk :
Seseorang yang mengajukan Permohonan Grasi,
berada di luar Penjara (tidak melaksanakan
Hukuman).

2. Grasi Jalan :
Seseorang yang mengajukan Grasi sambil tetap
melaksanakan hukuman di penjara/menjalani
pidana.

3. Grasi Jabatan :
Permohonan Grasi diajukan oleh Pejabat yang
berwenang (Hakim/Ka.Lapas), karena merasa ada
Putusan yang dianggap merugikan Terhukum.
PERBEDAAN ANTARA GRASI DENGAN AMNESTI DAN ABOLISI :
1. Grasi merupakan Masalah yang Menghapuskan/meringankan
hukuman, sedangkan Amnesti adalah masalah yang
menghapuskan tuntutan dan hukuman, dan Abolisi adalah
masalah yang menghapuskan tuntutan.
2. Grasi ditujukan kepada Orangnya/Terhukum, sedangkan
Amnesti dan Abolisi pada Perbuatan / TP nya.
3. Grasi diberikan setelah ada Putusan Hakim yang mempunyai
Kekuatan Hukum Tetap, sedangkan Amnesti dapat diberikan
sebelum dan sesudah adanya Vonis, tetapi Abolisi sebelum
adanya Keputusan Hakim/Vonis.
4.Dengan Grasi Kesalahannya Pelaku/Terhukum tetap ada,
sedangkan dalam Abolisi dan Amnesti dianggap tidak ada
Kesalahan ( seperti bayi yang baru lahir).
5. Grasi ditujukan untuk mencari keadilan, sedangkan Amnesti
dan Abolisi untuk tujuan Politik.
PERSAMAAN ANTARA GRASI, AMNESTI
DANSEMUANYA
ABOLISI DIBERIKAN ATAS KUASA UU;
HAK UNTUK MEMBERIKANNYA BERADA
DITANGAN PRESIDEN SEBAGAI KEPALA
NEGARA;
SEMUANYA TIDAK DI ATUR DALAM KUHP,
MELAINKAN DI ATUR DI LUAR KUHP
YAITU UNTUK GRASI DALAM UU NO.22
TAHUN 2002.
SELESAI

Anda mungkin juga menyukai