Anda di halaman 1dari 6

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS TRISAKTI
SOAL UTS
KELAS E/HPU 6213
PECOBAAN, PENYERTAAN, GABUNGAN DAN GUGURNYA TINDAK PIDANA
DOSEN: DR. EKA MARTIANAN WULANSARI, SH, MH
2020

1. Sebutkan dan jelaskan jawaban Saudara tentang:


a. Pengertian Pecobaan Tindak Pidana?
b. Dasar hukum Percobaan Tindak Pidana dalam KUHP?
c. Unsur-unsur delik Percobaan Tindak Pidana?
2. Sebutkan dan jelaskan jawaban saudara tentang Teori Dasar Pemidanaan
terhadap Percobaan Tindak Pidana?
3. Sebutkan dan jelaskan jawaban saudara tentang:
a. Pengertian/definisi Penyertaan (Deelneming) beserta pakar hukumnya?
b. Siapa sajakah yang dapat dikategorikan sebagai Penyertaan
(Deelneming) dalam KUHP Indonesia?
4. Sebutkan dan jelaskan jawaban saudara tentang:
a. Perbedaan Penyertaan (Deelneming) dengan Perbantuan beserta dasar
hukumnya?
b. Tiga teori Hukum Pidana yang membedakan antara Penyertaan dengan
Perbantuan?
5. Sebutkan dan jelaskan jawaban saudara tentang:
a. Bentuk-bentuk dari bebarengan/penggabungan perkara beserta dasar
hukumnya?
b. Bagaimanakah sanksi/sistem pemidaaan terhadap delik
bebarengan/penggabungan perkara beserta dasar hukumnya?

SELAMAT MENGERJAKAN
Nama : Made Bellisky Mahardika

Nim : 010001800278

1. A. Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dan
adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan
semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.

B. Percobaan melakukan kejahatan diatur dalam Buku I tentang Aturan Umum, Bab
IV Pasal 53 ayat (1) dan 54 KUHP.

C.- Niat sudah ada untuk berbuat kejahatan itu


-Orang sudah memulai berbuat kejahatan itu; dan
-Perbuatan kejahatan itu tidak jadi sampai selesai, oleh karena terhalang oleh
sebab-sebab yang timbul kemudian, tidak terletak dalam kemauan penjahat itu
sendiri.

2. Teori Subjektif:
Dasar patut dipidananya percobaan terletak pada sikap batin atau watak yang
berbahaya dari si pembuat, (apabila sudah ada niat maka ada perbuatan
pelaksanaan). Termasuk penganut teori ini ialah van Hammel.
Teori Objektif
Dasar patut dipidananya percobaan terletak pada sifat berbahayanya perbuatan
yang dilakukan oleh si pembuat (apabila kegiatan sudah membahayakan orang lain).

• Teori Objektif terbagi 2 yaitu :


 Teori Objektif-Formil, yang menitik beratkan sifat bahayanya perbuatan itu
terhadap tata hukum. Menurut teori ini, suatu delik merupakan suatu
rangkaian dari perbuatan-perbuatan yang terlarang. Dengan demikian
apabila seseorang melakukan perbuatan percobaan, berarti ia telah
melakukan sebagian dari rangkaian delik yang terlarang itu,ini berarti ia telah
membahayakan tata hukum. Penganutnya Suynstee dan Zevenbergen
 Teori Objektif–Materil, yang menitik beratkan pada sifat berbahayanya
perbuatan kepentingan hukum. Penganutnya Simons.

• Teori Campuran
 Teori ini melihat dasar patut dipidananya percobaan dari dua segi yaitu,
sikap batin pembuat yang berbahaya (segi subjektif) dan juga sifat
berbahayanya perbuatan (segi objektif)
 Prof. Moeljatno dapat dimasukkan dalam penganut teori ini, karena
menurutnya Pasal 53 KUHP mengandung 2 inti yaitu yang subjektif dan
objektif. Dengan demikian menurut beliau dalam percobaan tidak mungkin
dipilih salah satu karena jika demikian berarti menyalahi 2 inti dari delik
percobaan.

3. A. Penyertaan adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta/ terlibatnya
orang atau orang-orang baik secara psikis maupun fisik dengan melakukan masing-
masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana (Prof. Dr. Wirjono
Prodjodikoro, S.H.)
B.-Orang yang melakukan (pleger), orang yang sendirian telah berbuat mewujudkan
segala anasir atau elemen dari tindak pidana.
-Orang yang menyuruh melakukan (doen plegen), sedikitnya ada dua orang, yang
menyuruh (doen plegen) dan yang disuruh (pleger). Jadi bukan orang itu sendiri
yang melakukan tindak pidana, akan tetapi ia menyuruh orang lain untuk
melakukan suatu tindak pidana.
- Orang yang turut melakukan (medepleger), Sedikitnya harus ada dua orang yaitu
orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut melakukan (medepleger)
tindak pidana itu. Disini diminta, bahwa kedua orang itu semuanya melakukan
perbuatan pelaksanaan jadi melakukan anasir atau elemen dari tindak pidana itu.
-Orang yang sengaja membujuk (uitlokker), Orang yang dengan sengaja membujuk
orang lain untuk melakukan tindak pidana dengan memberikan sesuatu,
perjanjian, salah memakai kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman dan
tipu daya.
-Orang yang membantu melakukan (medeplichting), Orang membantu melakukan
jika ia sengaja memberikan bantuan pada waktu atau sebelum (jika tidak
sesudahnya) kejahatan itu dilakukan.

4. A. perbedaan antara ‘oembantuan’ dengan ‘menggerakan’, dapat dibedakan


melalui kehendak dari perilaku. Dalam bentuk penggerakan kehendak untuk
melakukan tndak pidana baru timbul setelah ada daya upaya dari orang yang
menggerakan. Jadi dimula oelh penggerak dengan memberi daya upaya, barula
orang yang dapat digerakan mempunyai kehendak untuk melakukan tindak
pidana. Dalam hal ‘pembantuan’, dimana dari semula dalam diri pelaku sudah ada
kehendak untuk melakukan tindak pidana. Pembantuan baru kemudian di berikan
yang dapat berupa sarana, kesempatan dan keterangan.

Pasal 55 KUHP
(1) Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana:
1e. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau turut melakukan
perbuatan itu;

2e. Orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau
pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberi
kesempatan, daya upaya atau keterangan, sengaja membujuk untuk melakukan
sesuatu perbuatan.

(2) Tentang orang-orang yang tersebut dalam sub 2e itu yang boleh
dipertanggungjawabkan kepadanya hanyalah perbuatan yang dengan sengaja
dibujuk oleh mereka itu, serta dengan akibatnya.

Pasal 56 KUHP:
Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan:
1. Barangsiapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan itu;
2. Barangsiapa dengan sengaja memberikan kesempatan, daya upaya, atau
keterangan untuk melakukan kejahatan itu.
B. Teori subjektif (de subyectieve deelnemings theorie)
 Dasar teori ini adalah  niat dari para peserta dalam suatu penyertaan. Di
dalam “turut serta” pelaku memang mempunyai kehendak terhadap
terjadinya tindak pidana. Sedangkan dalam “pembantuan” kehendak
ditujukan kearah “memberi bantuan” kepada orang yang melakukan tindak
pidana.
 Disamping perbedaan kehendak, dalam “turut serta” pelaku mempunyai
tujuan yang berdiri sendiri. Apakah ia dibantu atau tidak tetap dia
mempunyai tujuan melakukan tindak pidana. Sedangkan dalam
“pembantuan” tidak mempunyai tujuan yang berdiri sendiri. Artinya tujuan
disandarkan kepada tujuan sipelaku utama. Artinya “pembantu” hanya
memberikan bantuan apabila ia mengetahui ada orang lain yang akan
melakukan tindak pidana.
 Dalam hal kepentingan, peserta dalam “turut serta” mempunyai
kepentingan dalam tindak pidana, sedangkan “pembantuan”
kepentingannya tidak langsung terhadap terjadinya tindak pidana itu, tetapi
terbatas atas bantuan yang diberikan.

5. A. bentuk-bentuk perbarengan tindak pidana atau concursus yaitu:


 Concursus idealis adalah suatu perbuatan yang masuk ke dalam lebih dari
satu aturan pidana.
 Concursus berlanjut adalah suatu perbuatan yang dilakukan secara berulang-
ulang atau berangsur-angsur di mana perbuatan itu sejenis berhubungan dan
dilihat dalam satu perbuatan.
 Concursus realis adalah seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan
masing-masing perbuatan itu berdiri sendiri. Sebagai suatu tindak pidana
tidak perlu sejenis dan tidak perlu berhubungan.

B. Pasal 65 KUHP
 Pasal 65 dalam pertanyaan anda adalah Pasal 65 dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang memang mengatur mengenai
gabungan tindak pidana (concursus).
  Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 65 KUHP adalah mengenai
pengakumulasian/penggabungan tindak pidana yang dikenal dengan
nama concursus realis.
 Gabungan tindak pidana ini diartikan sebagai beberapa tindak pidana yang
dilakukan dalam waktu yang berbeda dan dilakukan oleh hanya satu orang. 
 Concursus bisa dianggap sebagai kebalikan dari penyertaan tindak pidana,
yaitu keadaan ketika satu tindak pidana dilakukan oleh beberapa orang.

Selengkapnya, Pasal 65 KUHP berbunyi sebagai berikut:


1) Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang
sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa
kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka
dijatuhkan hanya satu pidana.
2) Maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana
yang diancam terhadap perbuatan itu, tetapi boleh lebih dari
maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga.
 Singkatnya, Pasal 65 KUHP mengatur mengenai gabungan beberapa tindak
pidana dalam beberapa perbuatan yang berdiri sendiri. Pasal ini tidak
mengindikasikan apakah perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang
sejenis atau perbuatan yang berbeda, hanya menyatakan bahwa perbuatan-
perbuatan yang telah dilakukan diancam dengan pidana pokok yang sejenis.
 Dengan demikian, apabila seseorang melakukan beberapa tindak pidana
yang berbeda pada waktu yang berbeda, maka tindak-tindak pidana tersebut
harus ditindak secara tersendiri dan dipandang sebagai tindak pidana yang
berdiri sendiri. Hukuman terhadap orang yang melakukan tindak-tindak
pidana tersebut kemudian dikumulasikan atau digabung namun jumlah
maksimal hukumannya tidak boleh melebihi ancaman maksimum pidana
terberat ditambah sepertiga.

Pasal 65 Ayat (1) KUHP


Pasal 65 ayat (1) KUHP, yang selengkapnya akan kami kutip sebagai berikut:
“Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai
perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa
kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok sejenis,  maka dijatuhkan
hanya satu pidana.”
 Mencermati unsur-unsur dari Pasal 65 ayat (1) KUHP (Concursus Realis)
tersebut di atas, dapat diartikan bahwa Pasal 65 ayat (1) KUHP tersebut
mengatur tentang gabungan (beberapa tindak pidana) dalam beberapa
perbuatan, tanpa menyebutkan tindak pidana itu sejenis atau tidak sejenis.
 Meskipun dalam beberapa contoh Concursus Realis yang ada di Mahkamah
Agung Belanda adalah dua jenis tindak pidana yang berbeda, misalnya
dalam Arrest Hoge Raad 27 Juni 1932 p 1659 mengenai “penganiayaan
terhadap penjaga lapangan dan mengganggu ketertiban umum
 Selain itu, mengenai unsur “yang diancam dengan pidana pokok sejenis”
artinya adalah suatu perbuatan yang diancam dengan (hukuman) pidana
pokok yang sejenis, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 10 (a) KUHP,
yaitu: pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan
pidana tutupan.
 Dalam hal adanya beberapa tindak pidana yang sama/sejenis dalam
beberapa perbuatan, maka akan menimbulkan suatu pertanyaan, apakah
penuntut umum akan men-juncto-kan (menghubungkan, ed.) pasal utama
dengan Pasal 65 ayat (1) KUHP tentang Gabungan Dalam Beberapa
Perbuatan (Concursus Realis), atau dengan Pasal 64 KUHP tentang
Perbuatan Berlanjut (Voortgezette Handeling)

Penerapan Pasal 64 KUHP


Menurut pendapat Andi Hamzah dalam bukunya Pengantar Dalam Hukum
Pidana Indonesia, hal. 536 yang disarikan dari Memorie Van
Toelichting Pasal 64 KUHP, yaitu:
“Dalam hal perbuatan berlanjut, pertama-tama harus ada satu keputusan
kehendak. Perbuatan itu mempunyai jenis yang sama. Putusan hakim
menunjang arahan ini dengan mengatakan:
1.    Adanya kesatuan kehendak;
2.    Perbuatan-perbuatan itu sejenis; dan
3.  Faktor hubungan waktu (jarak tidak terlalu lama)

Penerapan Pasal 65 ayat (1) KUHP:


 Dalam hal ini, kita dapat memperhatikan Arrest Hoge Raad No. 8255, Juni
1905, yang pada intinya mengandung kaidah hukum yang menyatakan
bahwa dalam hal adanya tindak pidana yang antara satu dengan lainnya
dipisahkan dalam ‘jarak waktu lebih dari empat hari’ adalah tidak tunduk pada
perbuatan berlanjut, sebagaimana diatur dalam Pasal 64 KUHP, melainkan
harus dianggap sebagai perbarengan beberapa tindak pidana.
 Sebagai penutup, saya juga perlu menyampaikan bahwa ancaman hukuman
terhadap suatu tindak pidana yang didakwa dengan menggunakan pasal
yang di-juncto-kan dengan Pasal 65 ayat (1) KUHP adalah tidak boleh lebih
dari maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga. Sedangkan, jika di-
juncto-kan dengan Pasal 64 KUHP, maka yang diterapkan adalah pasal yang
memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
 Demikian yang dapat saya sampaikan. Semoga dapat memberikan
pencerahan untuk Anda.

Contoh:
 Dalam rentang waktu 5 tahun seseorang melakukan pencurian,
penganiayaan, dan pembunuhan. Pencurian diancam dengan pidana penjara
maksimal 5 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP,
penganiayaan diancam dengan pidana penjara maksimal 2 tahun 8 bulan
sebagaimana diatur dalam Pasal 351 KUHP, dan pembunuhan (Pasal 338
KUHP) diancam dengan pidana penjara maksimal 15 tahun.
 Ketiga tindakan tersebut apabila diakumulasikan menjadi total 22 tahun 2
bulan, namun hal ini tidak dapat serta merta diberlakukan terhadap pelaku
tindak pidana tersebut. Pidana terberat di sini adalah pidana penjara 15 tahun
yang diterapkan kepada tindak pidana pembunuhan dan sepertiga dari 15
tahun adalah 5 tahun, sehingga pidana maksimal yang dapat dikenakan
terhadap pelaku tindak pidana tersebut adalah 20 tahun meskipun secara
akumulatif orang tersebut patut dipenjara selama 22 tahun 2 bulan.

Anda mungkin juga menyukai