Anda di halaman 1dari 14

Penyertaan dan Pengulangan dalam

Melakukan Tindak Pidana


Pengertian dan Dasar Hukum
 Penyertaan (DEELNEMING/COMPLICITY) diatur dalam Pasal 55 dan Pasal
56 KUHP., yang dibagi dibagi menjadi dua pembagian besar, yaitu:
1. Pembuat/Dader (Pasal 55) yang terdiri dari: a) pelaku
(pleger); b) yang menyuruhlakukan (doenpleger); c)
yang turut serta (medepleger); dan d) penganjur
(uitlokker).
2. Pembantu/Medeplichtige (Pasal 56) yang terdiri dari:
a) pembantu pada saat kejahatan dilakukan; dan b)
pembantu sebelum kejahatan dilakukan.
3. Orang yang turut serta (Medepleger).
4. Penganjur (Uitlokker).
Penjelasan
1. Pembuat/Dader . Pelaku adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang
memenuhi perumusan delik dan dipandang paling bertanggung jawab atas
kejahatan.
2. Orang yang menyuruh lakukan (Doenpleger) adalah orang yang melakukan
perbuatan dengan perantaraan orang lain, sedang perantara itu hanya digunakan
sebagai alat. Dengan demikian ada dua pihak, yaitu pembuat langsung (manus
ministra/auctor physicus), dan pembuat tidak langsung (manus domina/auctor
intellectualis).
 Unsur-unsur pada doenpleger adalah: a). alat yang dipakai adalah manusia; b).
alat yang dipakai berbuat; dan c.) alat yang dipakai tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
Sedangkan hal-hal yang menyebabkan alat (pembuat materiel) tidak apat
dipertanggungjawabkan adalah: a). bila ia tidak sempurna pertumbuhan jiwanya
(Pasal 44); b) bila ia berbuat karena daya paksa (Pasal 48); c). bila ia berbuat
karena perintah jabatan yang tidak sah (Pasal 51 (2)); d.) bila ia sesat (keliru)
mengenai salah satu unsur delik; dan e). bila ia tidak mempunyai maksud seperti
yang disyaratkan untuk kejahatan ybs.
Jika yang disuruhlakukan seorang anak kecil yang belum cukup umur maka tetap
mengacu pada Pasal 45 dan Pasal 47 jo. UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Penjelasan
3. Orang yang turut serta (Medepleger)
Medepleger menurut MvT adalah orang yang dengan sengaja turut berbuat atau turut mengejakan terjadinya
sesuatu. Oleh karena itu, kualitas masing-masing peserta tindak pidana adalah sama. Syarat adanya
medepleger: a). ada kerjasama secara sadar kerjasama dilakukan secara sengaja untuk bekerja sama dan
ditujukan kepada hal yang dilarang undang-undang; dan b). ada pelaksanaan bersama secara fisik, yang
menimbulkan selesainya delik ybs.
4. Penganjur (Uitlokker)
Penganjur adalah orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana dengan
menggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh undang-undang secara limitatif, yaitu memberi atau
menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, kekerasan, ancaman, atau penyesatan,
dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan (Pasal 55 (1) angka 2).
Penganjuran (uitloken) mirip dengan menyuruhlakukan (doenplegen), yaitu melalui perbuatan orang lain
sebagai perantara. Namun perbedaannya terletak pada:
1. Pada penganjuran, menggerakkan dengan sarana-sarana tertentu (limitatif)yang tersebut dalam undang-
undang (KUHP), sedangkan menyuruhlakukan menggerakkannya dengan sarana yang tidak ditentukan;
2. Pada penganjuran, pembuat materiel dapat dipertanggungjawabkan, sedang dalam menyuruhkan
pembuat materiel tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Syarat penganjuran yang dapat dipidana a). ada kesengajaan menggerakkan orang lain; b). menggerakkan
dengan sarana/upaya seperti tersebut limitatif dalam KUHP; c). putusan kehendak pembuat materiel
ditimbulkan karena upaya-upaya tersebut; d). pembuat materiel melakukan/mencoba melakukan tindak
pidana yang dianjurkan; dan e). pembuat materiel dapat dipertanggungjawabkan Penganjuran yang gagal
tetap dipidana berdasarkan Pasal 163 bis KUHP.
Penjelasan
5. Pembantuan (Medeplichtige)
Sebagaimana disebutkan alam Pasal 56 KUHP, Pembantuan ada dua jenis:
a. Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Cara bagaimana pembantuannya tidak
disebutkan dalam KUHP. Ini mirip dengan medeplegen (turut serta), namun
perbedaannya terletak pada: 1). pada pembantuan perbuatannya hanya bersifat
membantu/menunjang, sedang pada turut serta merupakan perbuatan
pelaksanaan; dan 2) pada pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi
bantuan tanpa disyaratkan harus kerja sama dan tidak bertujuan/berkepentingan
sendiri, sedangkan dalam turut serta, orang yang turut serta sengaja melakukan
tindak pidana, dengan cara bekerja sama dan mempunyai tujuan sendiri; dan 3)
pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60 KUHP), sedangkan turut
serta dalam pelanggaran tetap dipidana; dan 4.)Maksimum pidana pembantu
adalah maksimum pidana yang bersangkutan dikurangi sepertiga, sedangkan turut
serta dipidana sama.
b. Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan, yang dilakukan dengan cara memberi
kesempatan, sarana atau keterangan. Ini mirip dengan penganjuran (uitlokking).
Perbedaannya pad niat/kehendak, pada pembantuan kehendak jahat pembuat
materiel sudah ada sejak semula/tidak ditimbulkan oleh pembantu, sedangkan
dalam penganjuran, kehendak melakukan kejahatan pada pembuat materiel
ditimbulkan oleh si penganjur.
Pertanggungjawaban pembantu
Berbeda dengan pertanggungjawaban pembuat yang semuanya
dipidana sama dengan pelaku, pembantu dipidana lebih ringan dari
pada pembuatnya, yaitu dikurangi sepertiga dari ancaman maksimal
pidana yang dilakukan (Pasal 57 ayat (1)). Jika kejahatan diancam
dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, pembantu dipidana
penjara maksimal 15 tahun. Namun ada beberapa catatan
pengecualian:
a. pembantu dipidana sama berat dengan pembuat, yaitu pada kasus
tindak pidana: 1) membantu merampas kemerdekaan (Pasal 333 (4))
dengan cara memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan; 2)
membantu menggelapkan uang/surat oleh pejabat (Pasal 415),;3)
meniadakan surat-surat penting (Pasal 417).
b. pembantu dipidana lebih berat dari pada pembuat, yaitu tindak
pidana: 1) membantu menyembunyikan barang titipan hakim (Pasal
231 (3)); 2) dokter yang membantu menggugurkan kandungan (Pasal
349); 3) Sedangkan pidana tambahan bagi pembantu adalah sama
dengan pembuatnya (Pasal 57 ayat (3)) dan pertanggungjawaban
pembantu adalah berdiri sendiri, tidak digantungkan pada
pertanggungjawaban pembuat.
C. Penyertaan yang tak dapat dihindarkan (Noodzakelijke
Deelneming/Necessary Complicity)
Penyertaan yang tak dapat dihindarkan terjadi apabila tindak
pidana yang dilakukan tidak dapat terjadi tanpa adanya
penyertaan dengan orang lain. Jadi tindak pidana itu terjadi
kalau ada orang lain sebagai penyerta. Delik-delik yang
termasuk dalam kategori ini adalah:
a. menyuap/membujuk orang lain untuk tidak menjalankan hak
pilih (Pasal 149);
b. membujuk orang lain untuk masuk dinas militer negara asing
(Pasal 238);
c. bigami (Pasal 279);
d. perzinahan (284);
e. melakukan hubungan kelamin dengan anak perempuan di
bawah 15 tahun (Pasal 287); dan
f. menolong orang lain untuk bunuh diri (Pasal 345)
Pengulangan
Pengertian
Pengulangan Tindak Pidana (Recidive) terjadi dalam hal seseorang yang
melakukan tindak pidana danntelah dijatuhi pidana dengan suatu
putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van
gewijsde), kemudian melakukan tindak pidana lagi.
Sama seperti dalam concursus realis, dalam recidive terjadi beberapa
tindak pidana. Namun dalam recidive telah ada putusan hakim yang
telah berkekuatan hukum tetap.
Recidive merupakan alasan yang dapat memperberat pemidanaan.
Sebagai contoh, seperti yang diatur dalam Pasal 12 KUHP bahwa
karena alasan recidive pidana penjara boleh diputuskan sampai 20
tahun, walaupun secara umum pidana penjara maksimum
dijatuhkan selama 15 tahun.
Recidive tidak diatur secara umum dalam Buku I "Aturan Umum",
namun diatur secara khusus untuk sekelompok tindak pidana
tertentu baik yang berupa kejahatan dalam Buku II maupun
pelanggaran dalam Buku III.
Dasar Hukum dan Macam Recidive
KUHP Indonesia saat ini menganut sistem recidive khusus, artinya
pemberatan pidana hanya dikenakan terhadap pengulangan jenis tindak
pidana tertentu saja dan dilakukan dalam tenggang waktu tertentu.
KUHP membedakan recidive kejahatan ini menjadi dua kelompok besar, yaitu:
a. Recidive kejahatan kelompok sejenis, yang tersebar dalam 11 pasal
kejahatan KUHP, yaitu Pasal 137 (2), 144 (2), 155 (2), 157 (2), 161 (2), 163
(2), 208 (2), 216 (2), 321 (2), 393 (2), dan 303 bis (2).
Syaratnya secara umum adalah:
1). Kejahatan yang diulangi harus sama/sejenis;
2). Antara kejahatan yang terdahulu dengan kejahatan yang diulangi harus
telah ada putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap;
3). Pelaku melakukan kejahatan pada waktu menjalankan pencaharian,
kecuali Pasal 216, 303 bis dan 393; dan
4). Pengulangan tindak pidana dalam tenggang waktu tertentu, yaitu: a). 2
tahun sejak adanya putusan hakim yang tetap (Pasal 137, 144, 208, 216,
303 bis, dan 321); dan b). 5 tahun sejak adanya putusan hakim yang tetap
(Pasal 155, 157, 161, 163, dan 393).
Macam Recidive
Pemberatan pidana yang dapat dijatuhkan dalam recidive kejahatan sejenis ini, juga tampak berbeda-
beda, yaitu:
1. Pidana tambahan berupa pencabutan hak menjalankan pencahariannya;
2. Pidana pokok ditambah 1/3.
3. Pidana penjara dikalikan 2 X (berlaku khusus Pasal 393)
b. Recidive kejahatan kelompok jenis
Recidive kejahatan kelompk jenis diatur dalam Pasal 486, 487, dan 489 KUHP. Dalam pasal-pasal
tersebut dimasukkan beberapa kejahatan yang masuk kelompok jenis, yaitu:
1. Pasal 486 tentang kejahatan terhadap harta benda dan pemalsuan yang terdiri atas: Pasal 244-248
(pemalsuan mata uang); Pasal 263-264 (pemalsuan surat); Pasal 362,363,365 (pencurian); Pasal 368
(pemerasan); Pasal 369 (pengancaman); Pasal 372,374,375 (penggelapan); Pasal 378 (penipuan);
Pasal 415,417,425,432 (kejahatan jabatan); Pasal 480,481 (penadahan).
2. Pasal 487 tentang kejahatan terhadap orang yang terdiri atas: Pasal 131,140,141 (penyerangan dan
makar kepada Kepala Negara); Pasal 338,339,340 (pembunuhan); Pasal 341,342 (pembunuhan
anak); Pasal 344 (euthanasia); Pasal 347-348 (abortus); Pasal 351,353,354,355 (penganiayaan); Pasal
438-443 (kejahatan pembajakan pelayaran); Pasal 459-460 (insubordinasi).
3. Pasal 488 tentang kejahatan penghinaan dan yang berhubungan dengan penerbit/percetakan, yakni:
Pasal 134-137 (penghinaan kepada Presiden/Wakil Presiden); Pasal 142-144 (penghinaan kepada
Kepala Negara sahabat); Pasal 207-208 (penghinaan kepada penguasa badan umum); Pasal 310-321
(penghinaan kepada orang pada umumnya); dan Pasal 483,484 (kejahatan penerbit/percetakan).
Persyaratan
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk recidive kelompok
jenis ini adalah:
1. Kejahatan yang diulangi harus termasuk dalam satu kelompok jenis
dengan kejahatan terdahulu. Oleh karena itu, tidak dapat dikatakan
recidive jika orang melakukan pencurian (Pasal 362), kemudian
melakukan pembunuhan (Pasal 338), dan kemudian melakukan
penghinaan (Pasal 310).
Kejanggalannya adalah adanya beberapa tindak pidana yang tidak
dimasukkan dalam beberapa kelompok jenis ini, seperti Pasal 104
(delik makar), Pasal 281-303 (delik-delik kesusilaan), Pasal 356
(bentuk) terkualifikasi tindak pidana Pasal 351-355), dan Pasal 349
(bentuk terkualifikasi delik abortus Pasal 346-348).
2. Antara kejahatan yang terdahulu dengan kejahatan yang diulangi
harus telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.
3. Pidana yang pernah dijatuhkan hakim terdahulu berupa pidana
penjara.
Persyaratan (2)
4. Tenggang waktu melakukan pengulangan tindak pidana adalah: a). belum lewat
5 tahun; b). belum lewat tenggang waktu daluwarsa kewenangan menjalankan
pidana. Sebagai contoh: Pada tahun 2000, A melakukan tindak pidana
pembunuhan (Pasal 338) dijatuhi pidana penjara 10 tahun. Kemungkinan
tenggang waktu recidivenya adalah:
a. Apabila A menjalani keseluruhan pidana, tenggang waktu recidivenya 2000
+ 10 tahun + 5 tahun = 2015;
b. Apabila A menjalani sebagian, misalnya 5 tahun kemudian (tahun 2005) A
mendapatkan pelepasan bersyarat, maka tenggang waktu recidivenya 2000
+ 5 + 5 = 2010;
c. Apabila A menjalani sebagian karena melarikan diri, misal setelah 7 tahun
di penjara A melarikan diri, maka tenggang waktu recidivenya adalah
sebelum tenggang waktu daluwarsa kewenangan menjalankan pidana
penjara terdahulu. Jadi tenggang waktu recidivenya = 2000 + 7 + 16 tahun
= 2023.
Dalam recidive kelompok jenis ini, pemberatan pidananya adalah ancaman pidana
pokok maksimum ditambah 1/3. Dalam Pasal 486 dan Pasal 487, yang dapat
diperberat adalah pidana penjara. Sedangkan dalam Pasal 488, pemberatan
berlaku bagi semua jenis pidana pokok.
Recidive Pelanggaran
Recidive Pelanggaran Sama seperti recidive kejahatan, recidive pelanggaran dalam
KUHP menganut sistem recidive khusus, dalam arti bahwa hanya pelanggaran-
pelanggaran tertentu saja yang dapat dijadikan recidive.
Terdapat 14 jenis pelanggaran dalam KUHP yang jika dilakukan dipidana sebagai
recidive, yaitu Pasal 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544,
545, dan 549.
Persyaratan recidive pelanggaran yang diatur dalam masing-masing pasal adalah:
1. pelanggaran yang diulangi harus sama atau sejenis. Khusus Pasal 492,
dapat merupakan alasan recidive untuk pelanggaran Pasal 536 dan
sebaliknya. Pasal 302 dapat merupakan alasan recidive untuk pelanggaran
Pasal 540 dan 541.
2. Antara pelanggaran yang terdahulu dengan pelanggaran yang diulangi
harus telah ada putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap.
3. Belum tenggang waktu pengulangannya, yaitu: a) belum lewat waktu 1
tahun, untuk pelanggaran Pasal 489, 492, 495, 536, 540, 541, 544, 545,
dan 549; dan b). belum lewat waktu 2 tahun, untuk pelanggaran Pasal 501,
512, 516, 517, dan 530.

Anda mungkin juga menyukai