Anda di halaman 1dari 33

HUKUM PIDANA KHUSUS

(Before Mid)

I. Penghantar Hukum Pidana Khusus

Bab 1 – bab 8 buku I KUHP


A. Pendahuluan
Hukum Pidana khusus adalah hukum pidana eksepsional/hukum pidana penyimpangan/hukum
pidana di luar KUHP. Latar belakang adanya hukum pidana khusus karena :
1. kriminalitas dalam masyarakat perkembangan pesat, mendorong adanya kejahatan-
kejahatan baru seiring adanya radikalisme agama, budaya, ekonomi, social, teknologi
(informasi dan transportasi).
Contoh :
1. Di bidang ekonomi harus melihat elastisitas perkembangannya misalnya dalam
hokum ekonomi pergudangan yang hanya memperbolehkan menyimpan barang dalam
waktu tertentu, di samping memakan waktu yang lama juga dapat merusak barang.
Dengan demikian memperkecil adanya tindak pidana pergudangan.
2. Adanya transorganisations crime, kejahatan yang dikendalikan di luar batas wilayah
negara misalnya terorisme. Kejahatan ini tidak bisa hanya mengandalkan “asas
nasional aktif”, namun harus disertai dengan asas kerja sama antar negara (saling
menghormati) misalnya kerja sama tukar menukar informasi, tukar-menukar alat
bukti, tukar-menukar tersangka, dengan begitu memungkinkan suatu negara
mengadili kejahatan yang dilakukan di luar negaranya.
3. Barang di bidang perpajakan, yang utama adalah arah pendapatan masuk ke kas
negara.
4. Munculnya kejahatan cybercrime memungkinkan melakukan penuntutan di mana
saja.
2. Betapapun sempurnanya hukum pidana kodifikasi, pada suatu saat sulit memenuhi
kebutuhan masyarakat.
3. Diperlukan hukum pidana yang menyimpang dari asas-asas umum. Alasannya jika
menggunakan asas-asas biasa, tidak akan mungkin terjangkau sehingga kita
memerlukan sebuah penyimpangan.
Disimpulkan bahwa hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang mengandung
penyimpangan dari asas-asas umum baik asas-asas umum hukum pidana materiil (Buku I
KUHP) maupun asas-asas umum hukum pidana formil (terdapat di KUHAP).
B. Ruang Lingkup Hukum Pidana Khusus

1. Sebagai suatu per-UU-an yang bersifat khusus, dasar berlakunya dapat menyimpang dari
ketentuan umum buku I KUHP. Contoh : penyimpangan bisa dari penyidiknya,
penahanan, pejabt publiknya.
2. Penyimpangan tidak terbatas pada hukum pidana materiil, tetapi meliputi juga hukum
pidana formil.
3. Kekhususan Per-UU-an pidana khusus dapat dilihat dari perbuatan yang diatur, subyek
tindak pidana, pidana dan pemidanaannya.
4. Subyek hukum tindak pidana khusus diperluas, tidak hanya orang pribadi, tetapi juga
korporasi (badan hukum).
5. Dari aspek pemidanaan, dilihat dari pola perumusan ataupun pola ancaman sanksi
menyimpang dari KUHP.
6. Dari substansi hukum penyimpangan bisa meliputi tindak pidana, pertanggungjawaban
pidana, serta pidana & pemidanaan.

 Viarious Liability
= Pertanggungjawaban pengganti, di dalam pelanggaran HAM berat. Misalnya seorang
komandan dapat dimintai pertanggungjawaban atas yang diperbuat si anak buahnya
sepanjang perbuatan anak buah dalam melakukannya merupakan wewenang si komandan dan
di bawah control efektif si komandan.
 Strict Liability
= Pertanggungjawaban mutlak, berlaku sepanjang perbuatan itu mencocoki rumusan delik,
siapa saja dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, terkadang tidak perlu adanya
kesalahan. Contoh :
1. Menyetir dalam keadaan mabuk, sepanjang tidak menabrak namun jika ditest
kandungan alcohol dalam tubuh kita melebihi batas, dapat langsung dipidana.
2. Kebakaran hutan yang disebabkan karena kealpaan seseorang.

 KUHP : pidana mati, pidana penjara/kurungan, pidana denda (pidana pokok) Selalu
bersifat alternative, misalnya pidana penjara atau pidana denda, pidana denda atau pidana
kurungan. Bisa juga bersifat kumulatif : Pidana penjara dan pidana denda. Sifat kumulatif-
alternatif : pidana penjara dana atau pidana denda.
 Minimum ancaman pidana penjara atau pidana kurungan adalah satu hari. Namun dalam
tindak pidana khusus ditentukan sendiri, misalnya dalam terorisme minimal pidana penjara
selama 4 tahun, konsekuensinya hakim tidak boleh menjatuhkan pidana penjara di bawah
minimum yang sudah diatur karena berdasarkan kepentingan hokum yang dilindungi.

 Disparitas pidana
= Pembedaan pemidanaan tanpa adanya suatu pembenaran hokum yang bisa dibenarkan
agar tidak adanya disparitas ini dibuatlah batas minimum pemidanaan.

C. Perbedaan Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus secara Materil

No. Pidana Umum Pidana Khusus


1. Subyek hukum a. Naturlijke person Naturlijke person
b. Recht person
2. Pertanggungjawaban Pertanggungjawaban Pertanggungjawaban dapat
berdasarkan kesalahan berupa pertanggungjawaban yang
lain, misalnya
pertanggungjawaban pengganti.
Misalnya yang melakukan
pertanggungjawaban tidak harus
yang melakukan perbuatan,
namun dapat dimintakan
pertanggungjawaban
3. Pemidanaan a. Pemidanaannya terdapat
minimum umum,
pemidanaan dalam KUHP
mengenai perampasan
kemerdekaan dan denda
memiliki minimum umum.
b. Pemidanaan bersifat
alternatif

D. Perbedaan Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus secara Formil

No. Pidana Umum Pidana Khusus


1. Aparat penegak
hukum
2. Jangka waktu
penahanan
3. Dalam proses
penggeledaha
4. Pemeriksaan acara
sidang

E. Macam-Macam Tindak Pidana Khusus

1. Pelanggaran HAM Berat

Pelanggaran HAM berat merupakan tindakan yang berbahaya dan mengancam nyawa seseorang
yang dilakukan oleh individu atau sekelompok manusia. Pelangaran HAM berat meliputi :
1) Genosida
2) Kejahatan terhadap kemanusiaan
3) Kejahatan perang
4) Kejahatan agresi
Penyelidikan untuk pelanggaran HAM berat diperlukan penyelidikan dengan membentuk tim ad
hoc, penyidik ad hoc, penunutut ad hoc, dan hakim ad hoc. Khususnya untuk penyelidikan dilakukan
oleh Komnas HAM disebabkan karena kepercayaan publik yang semakin merosot terhadap institusi
negara, dhi POLRI dan Kejaksaan. Penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan
sebagaimana diatur dalam KUHAP.
Penyelidikan dalam RUU KUHAP ingin dihapuskan, karena dianggap hanya sebagai fungsi ... dan
merupakan masalah internal, sehingga tidak perlu diatur dalam RUU KUHAP. Dalam penanganan
pelanggaran HAM berat ditetapkan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu unuk melakukan
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan. Diperlukan ketentuan mengenai
perlindungan korban dan saksi, tidak ada daluwarsa bagi pelanggaran HAM berat.

2. Kejahatan Terorisme
Hakekat perbuatan terorisme adalah perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan yang
mengandung karakter politik. Dapat berupa penimulan korban massal,perompakan,pembajakan
udara,penyanderaan, dan sebagainya.
Dengan kaitannya dengan ekstradisi, tindak pidana terorisme tidak boleh dianggap sebagai tindak
pidana politik sekalipun dilakukan dengan motif politik. Sehingga terorisme tidak dapat dikategorikan
sebagai “non-extraditable crime” (Pasal 5 UU Terorisme) . Pelaku terorisme dapat bersifat negara,
individu, atau kelompok.
Kejahatan terorisme merupakan kejahatan yang luar biasa (extra-ordinary crime), dapat
disejajarkan dengan kejahatan perang atau kerjahatan terdahadap kemanusiaan (lanjut ppt)

Palermo convention, 2000 tentang Transnational Organized Crime (Art.3 Par.2)


Suatu kejahatan merupakan kejahatan trannasional apabila :

 It is committed in more than one state (Terjadi di lebih satu negara)


 It is committed in state but a substantial part of its preparation, planning, direction or control
takes place in another state (Terjadian di satu negara tetapi bagian yang paling penting
dipersiapkan, direncanakan, dikontrol di negara lain)
 It is committed in one state but involves a organized criminal group that engages in criminal
activities in more than one state (Terjadi di satu negara tapi melibatkan suatu kelompok
kriminal yang terorganisasi kriminal yang beroperasi di negara lain)
 It is committed in one state but has substantial effects in another state (Terjadi di satu negara
tapi memiliki efek yang penting di negara lain)

Kejahatan transnasional terjadi apabila di lebih dari satu negara, satu dengan yang lainnya
berkaitan, terjadi di satu negara di bagian terpenting suatu negara dipersiapkan, direncanakan,
dikendalikan, dikontrol oleh negara lain, di suatu negara melibatkan kelompok organisasi
kejahatan yang melakaukan aktivitas di lebih dari satu negara.
II. Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Loundring)

A. Dasar Hukum

 UU NO. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Undang-Undang ini dimaksudnya untuk mencegah atau menanggulangi kejahatan tertentu yang
menghasilkan sejumlah uang yang cukup besar. Difinalisasikan karena uang yang dihasilkan dari
kejahatan tersebut, ketika dimasukan ke dalam sistem keuangan yang sah (bank, bisnis, ditukarkan,
pasar modal) atau dipindahkan dari jasa keuangan satu dengan jasa keuangan yang lain.
Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul hasil
kejahatan dengan pelbagai cara, sehingga mengakibatkan sulitnya pelacakan dan pengembalian uang
hasil kejahatan. Uang hasil kejahatan dimanfaatkan untuk belbagai kegiatan yang sah atau tidak sah.

B. Pendahuluan
Pencucian uang adalah perbuatan orang atau korporasi yang memperoleh sejumlah uang yang
berasal atau patut diduga berasal dari tindak pidana tertentu (predicate/core crime/principle violater)
yang sekitar 27 jenis perbuatan pidana seperti, Korupsi, penyuapan, peyelendupan (barang, tenaga
kerja Imigran), bidang perbankan, bidang pasar modal, bidang asuransi, narkotika, psikotropika,
perdagangan (manusia, senjata gelap), penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, penipuan,
pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, bidang perpajakan, bidang kehutanan, bidang lingkungan
hidup, bidang kelautan, dan tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara paling sedikit
4 tahun atau lebih, serta kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan atau digunakan
secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris atau teroris
perseorangan.
Ukuran patut diduga, adalah suatu kondisi yang memenuhi setidak-tidaknya berdasarkan
pengetahuan, keinginan atau tujuan pada saat terjadinya transaksi yang diketahuinya yang
mengisyaratkan adanya pelanggaran hukum.

Dampak tindak pidana pencucian uang (kriminalisasi pencucian uang) :

1. Mempersulit pelacakan dan penyitaan uang hasil kejahatan


2. Merongrong sektor swasta yang sah
3. Merongrong integritas pasar keuangan
4. Hilangnya kontrol terhadap kebijakan ekonomi pemerintah
5. Timbul distorsi ketidak stabilan ekonomi
6. Mengurangi pendapatan negara dari sektor pajak
7. Membahayakan privatisasi perusahaan pemerintah
8. Rusaknya reputasi negara
9. Menimbulkan ekonomi biaya tinggi

Kejahatan Pencucian Uang dapat dilakukan di wilayah Indonesia


note
(asas tempat) maupun di luar Indonesia (asas universal, asas nasional,
Asas nasional aktif : setiap orang yang
asas nasional pasif), dengan syarat menurut hukum Indonesia
mempunyai kewarganegaraan dari
maupun ditempat perbuatan pidana dilakukan sama-sama dinyatakan suatu negara, dimanapun yang
sebagai tindak pidana sehingga dapat menyebabkan double bersangkutan berada maka hukum
akan mengikuti orang yang
criminality, yaitu penjatuhan pidana yang dilakukan di wilayah NKRI
bersangkutan
atau di luar wilayah NKRI yang perbuatan tersebut merupakan tindak
Asas nasional pasif : hukum suatu
pidana dalam hukum Indonesia, sehingga perbuatan apapun yang
negara berlaku pada orang yang
melanggar hukum di tempat manapun yang dilakukan oleh warga berada di wilayah Indonesia
Indonesia maka tetap harus dipidana menurut hukum yang berlaku.

Modus operasi tindak pidana pencucian uang :

1. Penempatan uang hasil kejahatan ke dalam jasa keuangan


2. Memindahkan uang hasil kejahatan ke jasa keuangan lainya
3. Menggunakan/memasukan hasil uang kejahatan ke dalam kegiatan ekonomi sah maupun
tidak sah

C. Transaksi

Transaksi untuk melakukan atau menerima penempatan, penyetoran, penarikan, pemindah bukuan,
pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan/atau penukaran atas sejumlah uang atau
tindakan dan/atau kegiatan lain yang berhubungan dengan uang. Ukuran untuk menduga adanya
Tindak Pidana Pencucian Uang adalah dengan adanya transaksi yang menucurigakan. Yang dimaksud
dengan transaksi mencurigakan adalah :

1. Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi
dari Pengguna jasa yang bersangkutan.
2. Transaksi yang dilakukan oleh pengguna jasa yang patut diduga untuk menghindari
pelaporan yang wajib dilakukan oleh pihak pelapor.
3. Transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakanan harta
kekayaan yang diduga berasl dari hasil kejahatan.
4. Transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh pihak pelapor karena
melibatkan harta kekayaan yang diduga hasil kejahatan.
5. Karakter umum transaksi yang mencurigakan, transaksi dalam jumlah uang yang cukup besar,
dilakukan secara berulang-ulang, tidak mempunyai tujuan ekonomi maupun bisnis yang jelas,
aktivitas transaksi nasabah diluar kebiasaan dan kewajaran.

D. Unsur-Unsur dalam Tindak Pidana Pencucian Uang

1. Subyek hukum

Subyek hukum meliputi individu pribadi atau korporasi yang menempatkan, mentrasfer,
mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa keluar negeri,
mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang lain atau surat berharga atau melakukan
perbuatan lain yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil kejahatan, dengan maksud
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan diancam dengan pidana penjara
paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp 10 milyar.

Pelaku dapat dibagi 2 yaitu pelaku aktif dan pelaku pasif, dimana pelaku aktif adalah setiap orang
yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak,
atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda
paling banyak Rp 5 milyar.

Sedangkan pelaku pasif adalah setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan
pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan atau penukaran atau menggunakan harta
kekayaan yang diketahui atau patut di duganya merupakan hasil tindak pidana diancam dengan
pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 5 milyard. (pelaku pasif).

Subyek hukum yang dapat dipidana meliputi :


1) Orang
a. Melakukan perbuatan yang sebagaimana dalam rumusan delik (TPPU)
b. Terdapat cukup alat bukti
c. Tidak ada alasan pengahapus pidana (adanya kesalahan)

2) Korporasi
a. Korporasi dapat dijatuhi pidana apabila :
- Dilakukan atau diperintahkan oleh personil pengendali korporasi
- Dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi
- Dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah
- Dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi
b. Jenis sanksi pidana korporasi
a) Pidana pokok paling banyak Rp 100 milyar
b) Pidana tambahan :
- Pengumuman putusan hakim
- Pembekuan seluruh atau sebagian kegiatan usaha
- Pencabutan izin usaha
- Pembubaran dan/atau pelarangan korporasi
- Perampasan dan/atau pengalihan aset korporasi oleh negara

c. Subsidier pidana denda bagi korporasi


a) Perampasan harta kekayaan milik korpoarasi
b) Perampasan harta kekayaan milik personil pengendali korporasi, yang nilainya sama
dengan putusan pidana denda
c) Dalam hal harta kekayaan milik korpoari/personil pengendali korporasi tidak mencukupi,
akan diganti dengan perampasan harta kekayaan personil pengendali korporasi, dengan
memperhitungkan denda yang telah dibayar.

d. Pidana pengganti denda

Atas putusan pidana denda yang tidak dibayar terpidana dapat dikenai sanksi berupa pidana
kurungan paling lama 1 tahun 4 bulan.

2. Pejabat-pejabat tertentu

1) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim dan setiap orang yang
memperoleh dokumen atau keterangan dalam rangka menjalankan tugasnya wajib
merahasiakan dokumen atau keterangan yang diperoleh (keculai untuk memenuhi kewajiban
dalam UU). Atas pelanggaran ketentuan ini diancam pidana penjara paling lama 4 tahun (anti
tipping off).
2) Direksi, komisaris, pengurus atau pegawai pihak pelapor dilarang memberitahukan kepada
pengguna jasa atau pihak lain secara langsung atau tidak langsung atau dengan cara apapun
mengenai transaksi yang mencurigkan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada
PPATK. Pejabat atau pegawai PPATK, lembaga pengawas dan pengatur dilarang
memberitahukan laporan transaksi yang mencurigkan yang akan atau telah dilaporkan kepada
PPATK secara langsung atau tidak langsung atau dengan cara apapun kepada pengguna jasa
(keculai untuk memenuhi kewajiban dalam UU). Atas pelanggaran ketentuan ini diancam
dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 1 milyar.
3) Melakukan campur tangan terdahap pelaksanan tugas dan wewenang PPAT diancam dengan
pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta.
4) Pejabat PPATK yang tidak menolak atau segala bentuk campur tangan terdahap pelaksanan
tugas dan wewenang PPAT diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda
paling banyak Rp 500 juta.
5) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim wajib merahasiakan pelapor
Atas pelanggaran ketentuan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun.

3. Setiap orang yang membawa uang ke/dari luar negeri wajib melapor kepada pihak Bea dan
Cukai, Atas pelanggaran ketentuan ini diancam dengan pidana denda sebesar 10 % dari nilai
yang dibawa dan besaran denda paling banayak Rp 300 juta.

E. Pelaporan

Pihak yang dapat melapor meliputi :

1. Penyedia jasa keuangan ( bank, perusahaan pembiayaan, perusahaan asuransi, dana


pensiun dan jenis usaha lain yang terkait dengan jasa dibidang keuangan, keseluruhan ada 16
jenis).
2. Penyedia barang dan / atau jasa lain seperti perusahaan/agen properti, pedagang
kendaraan bermotor, pedagang permata dan perhiasan/logam mulia, pedagang barang seni dan
antik serta balai lelang, Notaris, Advokat, PPAT dll.

Prinsip mengenali penguna jasa wajib dilakukan dalam hal :

1. Melakukan hubungan usaha dengan pengguna jasa.


2. Transaksi yang nilainya Rp 100 juta.
3. Terdapat transaksi yang mencurigakan yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang dan
tindak pidana pendanaan terorisme.
4. pihak pelapor meragukan kebenaran informasi yang dilaporkan pengguna jasa.

Kewajiban Jasa keuangan untuk melaporkan kepada PPATK :

1. Terdapat transaksi yang mencurigakan.


2. Transaksi keuangan tunai dalam jumlah paling sedikit Rp 500 juta yang dilakukan
dalam 1 hari dalam sekali transaksi atau beberapa kali transaksi.
3. Transaksi dari dalam ke luar negeri.
4. Laporan disampaikan dalam waktu 3 hari setelah diketahui adanya transaksi di atas.
5. Penyedia barang/jasa yang tidak melapor dikenai sanksi administrasi.
6. Transaksi yang dikecualikan, dari kewajiban melapor : Transaksi antar bank,
transaksi dengan pemerintah, transaksi dengan Bank sentral, pembayaran gaji, pensiun,
transaksi lain yang ditetapkan oleh PPATK (misalnya setoran rutin atas suatu kegitan usaha
seperti supermarket, jasa marga, dlsb).

Kewajiban penyedia barang atau Jasa lain untuk melaporkan kepada PPATK :

a. Transaksi keuangan tunai dalam 1 hari dengan jumlah paling sedikit Rp 500 juta.
b. Laporan disampaikan dalam waktu 14 hari stelah diketahui adanya transaksi di atas.
c. Penyedia barang/jasa yang tidak melapor dikenai sanksi adminstrasi.

F. Penyidikan, Penuntututan dan Pemeriksaan

Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan di sidang pengadilan sesuai dengan KUHAP, kecuali
ditentukan secara khusus, beberapa ketentuan khusus. Dalam tindak pidana pencucian uang tidak
perlu membuktikan tindak pidana pokoknya (penangkapan dari hilir).

- Memerintahkan kepada pelapor untuk melekukan penundaan transaksi untuk paling lama 5
hari kerja, perintah penundaan dilakukan secara tertulis dngan menyebutkan identitas
pemohon/termohon, alasan penundaan dan tempat harta disimpan. Pelapornya adalah jasa
keuangan atau jasa tertentu yang berkaitan dengan TPPU terkait dengan transaksi
mencurigakan yang terjadi dalam sistemnya. Maka, transaksi tersebut akan ditunda sementara
untuk diselidiki lebih lanjut dengan jangka waktu tertntu untuk mencegah timbulnya kerugian
pada pihak yang bertransaksi.
- Meminta pemblokiran rekening terhadap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada
penyidik, tersangka, terdakwa kepada jasa keuangan, perintah dilakukan secara tertulis dngan
menyebutkan identitas pemohon/termohon, tindak pidana yang disangkakan dan tempat harta
disimpan. Pemblokiran dilakukan dalam waktu paling lama 30 hari.kerja
- Meminta kepada pihak pelapor tentang harta kekayaan atas orang telah dilaporkan oleh
PPATK kepada penyidik tersangka, terdakwa. Permintan diajukan secara tertulis dengan
menyebutkan identitas pemohon/termohon, tindak pidana yang disangkakan dan tempat harta
disimpan, dengan disertai laporan polisi dan surat perintah penyidikan, surat penunjukan
sebagai penuntut umum, surat penetapan majelis. Permohonan harus ditandatangani oleh
Kapolri/Kapolda jika diajukan oleh penyidik. Jaksa Agung atau Kajati dalam hal
penyidikan/penuntutan oleh Jaksa, hakim ketua majelis pemeriksa. Pimpinan
lembaga/instansi dal hal penyidikan dilakukan oleh penyidik non polri.

1. Penyidikan

1) Penyidikan dilakukan oleh penyidik asal dari tindak pidana.


2) Dalam hal penyidik menemukan adanya tindak pidana pencucian uang dan tindak
pidana asal, penyidikan dapat digabungkan dan diberitahukan kepada PPATK.
3) Apabila ditemukan tindak pidana lain selain TPPU maka dapat dilaporkan ke
PPATK, perkara dapat digabung atau dipisahkan.

2. Penuntutan

1) Penunttut wajib melimpahkan berkas perkara yang sudah dinyatakan lengkap ke


PN dalam waktu 30 hari kerja.
2) Setelah berkas perkara diserahkan PN wajib menetepkan majelis hakim
pemeriksa dalam waktu 3 hari kerja.

3. Pemeriksaan sidang

1) Terdakwa wajib menjelaskan, bahwa harta kekayaannya bukan


berasal dari tindak pidana (pembuktian terbalik), namun dalam hukum pidana tidak
menggunakan sistem pembuktian terbalik secara absolut, hanya secara terbatas terhadap harta
kekayaannya.
2) Dalam hal terdakwa dipanggil secara sah terdakwa tidak hadir
pengadilan dapat memeriksa dan diputus secara in absensia. Prinsip umumnya setiap
pemeriksaan harus dengan kehadiran terdakwa dengan tujuan untuk menanyakan kebenaran
atas yang bukti yang disampaikan.
3) Bila dikemudian hari terdakwa hadir maka wajib diperiksa secara
layak dan segala alat bukti yang sudah diperiksa sebelumnya dianggap sah.
4) Putusan diluar hadirnya tedakwa diumumkan oleh Jaksa dalam
papan pengumuman di Pengadilan, kantor pemerintah daerah atau diberitahukan kepada
kuasanya.
5) Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum perkaranya
diputus dan terdapat cukup alat bukti telah ada perbuatan pencucian uang, maka kekayaan yang
telah disita dirampas untuk kepentingan negara.
6) Penetapan perampasan tidak ada upaya hukum.
7) Apabila ada pihak yang keberatan atas penetapan dapat
mengajukan keberatan ke pengadilan yang yang telah menjatuhkan penetapan..
8) Hakim dapat memerintahkan kepada jaksa PU untuk melakukan
penyitaan, atas barang tertentu yang berdasarkan alat bukti yang cukup merupakan hasil
kejahatan.
9) Alat bukti selain yang telah ditentukan dalam KUHAP adalah
berupa alat bukti berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara
elektronik, alat optic atau alat lain yang serupa, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka,
simbol atau perforasi yang dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau
memahaminya.

G. Kerjasama international dalam mencegah dan memberantas tindak pencucian uang.

1. kerjasama dapat dilakukan melalui forum bilateral maupun multilateral.


2. kerjasama dapat dilakukan melalui perjanjian timbal balik atau berdasarkan asas resiprositas,
baik secara formal customer due dilligence (CDD) atau Enhanced due dilligence (EDD) maupun
in formal.
3. permohonan kerjasama timbal balik dilakukan melalui menteri bidang Hukum dan HAM
secara lansung atau saluran diplomatik berdasarkan permohonan Kapolri, Jaksa Agung atau KPK
.
4. Kerjasama timbal balik dengan Negara (mutual legal assistance) dapat berupa :
1) Mengindentifikasi dan mencari orang.
2) Mendapatkan pernyataan atau bentuk lain.
3) Menunjukan dokumen atau dokumen lainnya.
4) Mengupayakan kehadiran orang untuk membrikan keterangan atau membantu penyidikan.
5) Menyampaikan surat .
6) Melaksanakan permintaan penggeledahan dan penyitaan.
7) Perampasan hasil tindak pidana.
8) Memperoleh kembali sanksi denda berupa uang sehubungan dengan adanya tindak pidana.
9) Melarang transaki kekayaan, membekukan aset yang dapat dilepaskan atau disita atau yang
mungkin diperlukan untuk memenuhi sanksi denda sehubungan dengan adanya tindak
pidana.
10) Mencari kekayaan yang dapat dilepaskan atau disita atau yang mungkin diperlukan untuk
memenuhi sanksi denda sehubungan dengan adanya tindak pidana.
11) bantuan lain yang sesuai dengan tujuan pemberian kerjasama timbal balik yang tidak
bertentangan dengan UU, misalnya dapat kepentingan nasional atau pemerintah, penuntutan
kasus politik, penuntutan yang berkaitan dengan suku, agama, ras dan kebangsaan.
III. Tindak Pidana di bidang ekonomi

A. Pengertian

Arti sempit tindak pidana ekonomi diatur dalam UU No.7 Drt Tahun 1955. Sedangkan tindak
pidana secara luas adalah semua tindak tindak pidana ekonomi yang bermotif ekonomi, kejahatan
yang berpengaruh negatif terhaadap perekonomian negara dan sosial seperti korupsi, penggelapan,
penyelewengan dana masyarakat, pencucian uang, tindak pidana bidang perbankan, penipuan
konsumen, dan lain-lain (Konggres PBB ke 6 tahun 1980 tentang the prevention of crime and the
treatment of offenders).

Tindak pidana ekonomi ini adalah penyimpangan tindak pidana dari tindak pidana umum, dahulu
orang-orang hanya mengenal tindak pidana umum, namun semakin berjalannya waktu dan
berkembangnya teknologi, tidak hanya teknologi yang berkembang, tindak pidana yang dilakukan
oleh manusia juga berkembang.

Sedangkan Tindak pidana dalam bidang ekonomi dengan arti luas (economic abuses (conklin)) adalah
tindak pidana dalam bidang ekonomi dilakukan oleh perorangan atau korporasi, tujuannya adalah
untuk menghindari pembayaran uang/pajak dan memperoleh keuntungan bisnis atau keuntungan
pribadi.

B. Istilah tindak pidana ekonomi

1. Business crime (Hober)


Hober menggunakan istilah business crime, yang meliputi antara lain kecurangan perbankan,
suap, kejahatan komputer, monopoli, kejahatann di bidang perdagangan.

2. Business torts (Sunaryati Hartono)


Sunaryati Hartono menggunakan istilah business torts, yaitu perbuatan tidak terpuji oleh
pengusaha yang melanggar hak perusahaan lain. Contoh : membuka usaha untuk mematikan usaha
lawa, praktek perdagangan curang (pelanggaran merek, hak cipta, buka rahasia perusahaan,
pemasaran curang)

3. Economy crimes
Istilah economy crimes lebih luas daripada business crime, dan business torts. Stanford membagi
economy crime menjadi 3 kelompok, yaitu :
1) Property crimes, yaitu kejahatan yang mengancam keselamatan harta benda seseorang atau
negara
2) Regullatory crimes, yaitu kejahatan yang melanggar aturan pemerintah. Dimaksudkan adalah
tindak pidana yang tidak hanya mendapatkan sanksi pidana, melainkan sanksi administrasi juga
3) Tax crimes, yaitu kejahatan yang berhubungan dengan peraturan perpajakan

 Ciri-ciri economy crime :


1) Termasuk white collar crime, yaitu kejahatan kerah putih atau white collar crime merupakan
suatu tindak kecurangan yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki posisi dan wewenang
cukup tinggi pada sektor pemerintahan maupun sektor swasta, sehingga dapat mempengaruhi
suatu kebijakan dan keputusan.
2) Kedudukan sosial pelaku tinggi
3) Pekerjaan atau jabatan tertentu dan terhomat

 Sifat economy crime :


1) Kejahatan di lingkup ekonomi
2) Fungsi pemidanaan tidak hanya pendekatan tradisional, namun untuk publik
3) Melanggar kepentingan umum dan individu
4) Stelses dan jenis pidana lebih berat

 Faktor pendorong economy crime :


1) Mobilitas masyarakat tinggi
2) Regulasi kompleks dan birokratis
3) Kemakmuran meningkat
4) Distribusi barang banyak
5) Kemajuan teknologi

C. Penanggulangan kejahatan Ekonomi

1. Prefentif
2. Represif

(tambahin sendiri)
Upaya lain :
1. Evaluasi kriminalisasi
2. Peningkatan pengetahuan penegak hukum
3. Pembentukan badan khusus
4. Meningkatkan kerjasama internasional
5. Meningkatkan efektifita penuntutan
6. Pemidanaan terhadap korporasi
7. Tujuan pemidanaan adalah moral dan deterrent effect

D. Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi


 Sifat undang-undang :
1) Temporer
 Karena diterpkan secara situasional, diterapkan saat negara mengalami krisis.

2) Elastis
 Dalam hal ada suatu perbuatan pidana yang penyelesaianya pada Undang-Undang Tindak Pidana
Ekonomi tapi kalau kemudian ada ketentuan lain yang mengatur juga maka yang dipakai adalah
ketentuan tersebut.

3) Administratif
 Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi terdapat sanksi administratif juga selain sanksi
pidana. Sanksi ini semestara didahulukan oleh jaksa

 Kekhususan UU Tindak Pidana Ekonomi


1. Penentuan perbuatan Tindak Pidana Ekonomi
Penentuan perbuatan Tindak Pidana Ekonomi terbagi menjadi 3 golongan, yaitu :
1) Gol. I : Melanggar Pasal 1 sub 1 e UU TPE
2) Gol. II : Melanggar Pasal 26, 32, 33 UU TPE
3) Gol. III : Melanggar ketentuan lain diluar UU TPE

2. Penentuan kejahatan, pelanggaran


Melihat pada utensi pelaku (untuk gol. I dan gol.II).apabila pada pasalnya tidak disebutkan
secara terang mengenai perbuatannya adalah kejahatan atau pelanggaran maka masuk ke dalam gol.
II yang semuanya merupakan kejahatan.

3. Perluasan subyek hukum


Subyek hukum diperluas sehingga tidak hanya individu, namun juga bisa korporasi.

4. Pemidanaan terhadap percobaan dan pembantuan pelanggaran

5. Perluasan berlakunya UU Tindak Pidana Ekonomi diluar wilayah RI


Tidak hanya berlaku di wilayah Indonesia, namun berlaku di wilayah tertentu. Perluasan
berlakunya UU TPE dapat di kapal, pesawat, kedutaan, dll.
6. Macam sanksi pidana
Pidana pokok dan pidana tambahan serta sanksi administratif, pengenaan sanksi administratif
sementara dilakukan oleh jaksa atau hakim, sanksi administratif seperti pemberhentian usaha dapat
dijatuhkan selama 6 bulan dan dapat juga diperpanjang selama 6 bulan.

7. Adanya peradilan in absentia


Pengadilan yang tidak menghadirkan pelaku, ketidakhadiran dapat karena meninggal atau karena
orang yang tidak dikenal (OTD). Orang yang tidak dikenal (OTD) ada 2 pengertian yaitu yang
pertama adalah apabila nama diketahui namun alamatnya berada di luar negeri dan yang kedua
adalah nama diketahui dan alamat tidak diketahui. Pemeriksaan sudah selesai namun tetap akan
dibacakan putusannya.
Peradilan in absentia yang dikarenakan orang tidak dikenal yang tidak diketahui nama dan alamat
maka akan terjadi penyimpangan, karena pada surat dakwaan seharusnya dituliskan nama dan
alamat.

IV. Tindak Pidana Perbankan

A. Pendahuluan
Dalam arti luas tindak pidana perbankan adalah kejahatan perorangan terhadap bank , kejahatan
bank terhadap bank lain, dan kejahatan bank terhadap perorangan. Sedangkan dalam arti sempit
tindak pidana perbankan (lanjut ppt)

Kegiatan yang dilakukan bank :


1. Menarik uang dari masyarakat
2. Menyalurkan dana ke masyarakat
3. Jasa dalam pembayaran dan peredaran uang

Tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan :


1. Bank gelap

Pasal 46 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998

Barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari
Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, diancam dengan pidana penjara
sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-
kurangnya Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 20.000.000.000,00
(dua puluh miliar rupiah).

Ayat (2) UU 7 No. 10 Tahun 1998

Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang
berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan-
badan dimaksud dilakukan baik terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka
yang memberikan perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam
perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.

Apabila pelaku adalah badan hukum, penuntutan kepada :


1) Yang memberikan perintah
2) Pimpinan
3) Keduanya

2. Tidak memberi keterangan dan memberi keterangan rahasia


(lanjut ppt)

3. Tindak Pidana yang berkaitan dengan pembukuan


Pasal 49 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998 , dengan sengaja direksi, pegawai bank, komisaris
melakukan :
1) Pencatatan palsu kegiatan usaha, transkasi, rekening bank
2) Tidak mencatat kegiatan usaha, transaksi, rekening bank
3) Mengubah, hapus, mengaburkan, sembunyikan menghilangkan catatann kejahatan usaha,
transksi, rekening
Diancam pidana penjara 5-15 tahun dan dengan 10-200 M (UU 7 Tahun 1992 : Penjara 15 tahun
dan dena 10 M) .

4. Tindak Pidana kecurangan perkreditan

Pasal 49 ayat (2) UU No. 10 Tahun 1998

Dengan sengaja pihak bank menerima, mengizinkan, menyetujui untuk terima imbalan, komisi,
uang, barang untuk kepentingan pribadi untuk kelancaran kredit melebihi batas. Ancaman pidana
penjara 3-5 tahun dan denda 5-100 M.

B. Kekhususan Undang-Undang Perbankan

1. Subyek hukum
Subyek hukum dapat perorangann atau korporasi/badan hukum. Untuk korporasi yang dapat
bertanggung jawab adalah :
1) Pemberi perintah, atau
2) Pemimpin
3) Keduanya

2. Sanksi pidana
Macam sanksi pidana dalam undang-undang perbankan adalah hanya ada pidana pokok. Sanksi
administratif ada dalam pasal 52 ayat (2) UU Perbankan, tetap tidak diimplemenasikan dalam sistem
pemidanaan, arti lainnya adalah sebagai teguran tertulis, denda, penurunan tingkat kesehatan bank,
dan pembekuan kegiatan usaha.

3. Subyek khusus tindak pidana perbankan


1) Pihak yang terafilisasi, yaitu dewan komisaris, pengawas, direksi, pejabat, dan karyawan bank
2) Pihak yang memberi jasa kepada bank (akuntan, konsultan)
3) Pihak yang menurut penilaian BI ikut serta mempengaruhi pengelolaan bank, seperti
pemegang saham dan keluarga, keluarga komisaris, koluarga pengawas, keluarga direksi

V. Pelanggaran HAM Berat dan Pengadilan HAM

A. Pendahuluan
Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat kepada individu di mana
implementasinya harus dijamin oleh negara. Dalam konteks ini, setiap negara berkewajiban untuk
menghormati, melindungi, dan mempromosikan hak asasi manusia.
Perbedaan antara pelanggaran HAM biasa dan pelanggaran HAM berat :
1. Pelanggaran HAM biasa mengacu pada kegagalan negara untuk menghormati, melindungi,
mempromosikan, semua hak asasi manusia
2. Pelanggaran HAM berat mengacu pada kegagalan negara
untuk menghormati, melindungi, mempromosikan hak asasi
Note :
manusia yang mendasar/hak fundamental, dalam situasi
dimana : Hak fundamental adalah hak yang
- Pelanggaran dilakukan dalam skala besar (kuantitas) dan mengenai kehidupan seperti hak
secara sistematis (kualitas : beruntun dan berencana) kebebasan, sedangkan hak
- Pelanggaran dilakukan oleh kelompok bersenjata atau mendapatkan pendidikan dan
mungkin negara itu sendiri mendapatkan pekerjaan bukan hak
- Pelanggaran berpotensi mempengaruhi perdamain, fundamental.
politik, stabilitas dan keamanan negara

Pelanggaran HAM berat dari perspektif internasional :


1. Armed activities on territory of the Congo

“Massive violations of human rights”

 Pelanggaran HAM berat adalah pelanggaran yang dilakukan secara besar-besaran terhadap
hak asasi manusia

2. Congo v. Uganda

“Violation to the inalienable rights of the people of the Congo”

 Pelanggaran HAM berat adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia rakyat kongo

3. African commision on human and peple’s right v. Great socialist people of arab jamahirya

“Serious and massive violations against fundamental human rights protected under the
African Charter”

 Pelanggaran HAM berat adalah pelanggaran serius dan dilakukan secara besar-besaran
terhadap hak manusia yang fundamental yang dilindungi di bawah Piagam Afrika

B. Pelanggaran HAM Berat

Pelanggaran yang termasuk ke dalam pelanggaran HAM berat meliputi :

1. Genosida
Genosida pertama kali diperkenalkan oleh Raphael Lemkin pada tahun 1944. Sifat unik
genosida dijelaskan dalam Resolusi UNGA 96 (1):
“Genocide is a denial of the right of existence of entire human groups, as homicide is the denial
of the right to live of individuals”
 Genosida adalah pengingkaran hak eksistensi seluruh kelompok manusia, seperti pembunuhan
yang merupakan pengingkaran hak hidup individu.
Dapat dikatakan juga bahwa genosida adalah pembunuhan terhadap etnis, penyebabnya adalah
karena kebencian terhadap suatu kelompok.

Delik genosida

Pasal 6 Undang-Undang Roma tentang Pengadilan Pidana Internasional :

Untuk keperluan Statuta ini, “genosida” berarti setiap perbuatan berikut ini yang dilakukan
dengan tujuan untuk menghancurkan, seluruhnya atau untuk sebagian, suatu kelompok nasional,
etnis, ras atau keagamaan, seperti misalnya :
1) Membunuh anggota kelompok tersebut
2) Menimbulkan luka fisik atau mental yang serius terhadap para anggota kelompok tersebut
3) Secara sengaja menimbulkan kondisi kehidupan atas kelompok tersebut yang diperhitungkan
akan menyebabkan kehancuran fisik secara keseluruhan atau untuk sebagian
 Penyiksaan yang dibuat secara sistematis. contoh : final resolution to the jewish problem,
saat hitler ingin memusnahkan orang-orang Yahudi, ia melakukan penyiksaan terhadap
orang-orang Yahudi dengan sistematis, yaitu dengan menguasai ekonomi mereka dan
melakukan penyiksaan dengan membebani hidup mereka sehingga mereka kesulitan dan
tidak dapat melawan.

4) Memaksakan tindakan-tindakan yang dimaksud untuk mencegah kelahiran dalam kelompok


tersebut
5) Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok itu ke kelompok lain

2. Kejahatan terhadap kemanusiaan

Pasal 7 Undang-Undang Roma tentang Pengadilan Pidana Internasional :

Untuk keperluan Statuta ini, “kejahatan terhadap kemanusiaan” berarti salah satu dari perbuatan
berikut ini apabila dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang ditujukan
kepada suatu kelompok penduduk sipil, dengan mengetahui adanya serangan itu :
1) Pembunuhan
2) Pemusnahan
3) Perbudakan
4) Deportasi atau pemindahan paksa penduduk
5) Pemenjaraan atau perampasan berat atas kebebasan fisik dengan melanggar aturan-aturan
dasar hukum internasional
6) Penyiksaan
7) Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa, pemaksaan
sterilisasi, atau suatu bentuk kekerasan seksual lain yang cukup berat
8) Penganiayaan terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektivitas atas dasar
politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, gender sebagai didefinisikan dalam ayat 3, atau
atas dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak diizinkan berdasarkan hukum
internasional, yang berhubungan dengan setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau
setiap kejahatan yang berada dalam jurisdiksi Mahkamah
9) Penghilangan paksa
10)Kejahatan apartheid (Apartheid adalah sistem pemisahan ras)
11)Perbuatan tak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara sengaja menyebabkan
penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik
 berbeda dengan prinsip pidana di Indonesia yang berpegang pad asas legalitas dan tidak
menggunakan analogi, dalam pelanggaran HAM berat internasional dibutuhkan analogi,
istilahnya di dalam pidana adalah ejusdem generis.

3. Kejahatan Perang

Asas-asas kejahatan perang :

1) Kejahatan perang adalah pelanggaran berat terhadap hukum perang. Sumber hukum perang :
a. The hague reulation or “Hague Law”
b. The Geneva Conventions 1949 or “Genewa Law”
c. Customary international law on the laws of war
d. Domestik military codes
Kapan dan kepada siapa IHL atau hukum perang berlaku?
a. Sumber-sumber hukum perang hanya berlaku dalam konteks konflik bersenjata
b. Hukum atau perang ditujukan kepada para pejuang yang ikut serta dalam konflik
bersenjata semacam itu;

2) Tidak setiap pelanggaran yang melanggar terhadap hukum perang dapat dianggap sebagai
kejahatan perang :
a. Kejahatan perang hanya menyangkut mengenai pelanggaran terhadap hak asasi manusia
yang fundamental, untuk mengkategorikan sebuah pelanggaran sebagai kejahatan perang
maka menggunakan :
- Prinsip pembedaan
- Prinsip tindakan pencegahan
- Prinsip proporsionalitas

b. Pelanggaran semacam itu harus dilakukan dalam konten yang terkait dengan konflik
bersenjata

Pasal 8 Undang-Undang Roma tentang Pengadilan Pidana Internasional


Untuk keperluan Statuta ini, “kejahatan perang” berarti :
1) Pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa tertanggal 12 Agustus 1949, yaitu masing-
masing dari perbuatan berikut ini terhadap orang-orang atau hak-milik yang dilindungi
berdasarkan ketentuan Konvensi Jenewa yang bersangkutan:
a. Pembunuhan yang dilakukan dengan sadar
b. Penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk percobaan biologis
c. Secara sadar menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau
kesehatan
d. Perusakan meluas dan perampasan hak-milik, yang tidak dibenarkan oleh kebutuhan
militer dan dilakukan secara tidak sah dan tanpa alasan
e. Memaksa seorang tawanan perang atau orang lain yang dilindungi untuk berdinas dalam
pasukan dari suatu Angkatan Perang lawan
f. Secara sadar merampas hak-hak seorang tawanan perang atau orang lain yang dilindungi
atas pengadilan yang jujur dan adil
g. Deportasi tidak sah atau pemindahan atau penahanan tidak sah
h. Menahan sandera

2) Pelanggaran serius lain terhadap hukum dan kebiasaan yang dapat diterapkan dalam sengketa
bersenjata internasional, dalam rangka hukum internasional yang ditetapkan, yaitu salah satu
perbuatan-perbuatan berikut ini :
a. Secara sengaja melancarkan serangan terhadap sekelompok penduduk sipil atau terhadap
setiap orang sipil yang tidak ikut serta secara langsung dalam pertikaian itu
b. Secara sengaja melakukan serangan terhadap objek-objek sipil, yaitu, objek yang bukan
merupakan sasaran militer
c. Secara sengaja melakukan serangan terhadap personil, instalasi, material, satuan atau
kendaraan yang terlibat dalam suatu bantuan kemanusiaan atau misi penjaga perdamaian
sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, sejauh bahwa mereka berhak atas
perlindungan yang diberikan kepada objek-objek sipil berdasarkan hukum internasional
mengenai sengketa bersenjata
....
(dan lainnya)

C. Perbedaan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang

No. Unsur Genosida Kejahatan terhadap Kejahatan perang


kemanusiaan
1. Kepada siapa Bentuk penganiayaan berat Menyerang warga Menyerang warga sipil
terhadap ras, etnis, nasional, sipil atau pasukan perang
kelompok agama
2. Konteks Berniat untuk Penyerangannya Penyerangan dilakukan
menghancurkan seluruh atau merupakan bagian dalam konteks dan
sebagian suatu kelompok dari serangan yang berkaitan dengan
lebih besar terhadap konflik bersenjata
penduduk sipil

D. Indonesian’s human rights court

1. Latar Belakang didirikannya Pengadilan HAM di Indonesia


DIridikannya pengadilan HAM di Indonesia dikarenakan terjadinya banyak pelanggaran HAM selama
jaman orde baru yang menyebabkan komunitas internasional mendesak Indonesia untuk
bertanggungjawab atas kekejaman yang dilakukan, yang kemudian mengarah pada pembentukan UU
No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
2. Yuridiksi
(liat catetan lely)
1) Subject matter
2) Locus
3) Tempus
4) Personae

3. Skema Alur Pengadilan HAM ad hoc

4. Aturan Khusus yang Menyimpang dari Hukum Pidana

KUHP, KUHAP Tindakan HAM

Nullum crimes sine lege vis-a-viz, Retroaktif (Berlaku surut)


Prinsip tidak berlaku surut

Terbatas Undang-Undang Tidak ad batasan Undang-Undang

Polisi, Jaksa, Hakim KOMNAS HAM, Jaksa umum, dan Hakim ad


hoc

Upaya, partisipasi, dan perencanaan Upaya, partisipasi, dan konspirasi dianggap


dianggap sebagai pelanggaran belum sebagai pelanggaran lengkap
lengkap

Hukuman maksimum Hukuman maksimum

 Dasar pemikiran mengapa prinsip non-retroaktif (tidak berlaku surut disimpang?


Donnedie de vobres (Hakim Prancis) berkata
“So far from it being unjust to punish him, it would be unjust if his wrongs were allowed to go
unpunished”
donnedie de vobre melihat keadilan substantif, Keadilan substantif adalah pembagian proposional
antara hak dan kewajiban yang didasarkan pada pemahaman dan keadilan dalam masyarakat.

5. Komisi untuk kebenaran dan rekonsiliasi


Pasal 46 UU Pengadilan Hak Asasi Manusia menetapkan alternatif untuk menyelesaikan konflik di
masa lalu, dalam bentuk komisi untuk kebenaran dan rekonsiliasi, yang kemudian diatur dalam UU
No. 27 tahun 2004 [‘UU Komisi’]
Perbedaan antara Pengadilan & Komisi Hak Asasi Manusia :
1) Yudisial vs Prosedur non-yudisial
2) Tanggung jawab pidana individu vs Menegakkan kebenaran
3) Pertimbangan ratione temporis (aparat pemerintah yang tidak berwenang karena kadaluwarsa)

Studi Kasus
Internasional people’s tribunal 1965
1. Apa iyu Internasional People Tribunal 1965?
2. Apa latar belakang sejarah dari Internasional People Tribunal?
3. Apa yang 'diputuskan' oleh IPT? Bagaimana?
4. Apa hasilnya?
5. Apa implikasi hukum IPT?

Jawaban :
https://www.tribunal1965.org/tribunal-1965/mukadimah/
https://www.tribunal1965.org/en/apa-itu-ipt-1965/
https://tirto.id/ipt-1965-bm19

VI. Tindak Pidana Perusakan Hutan


Outline :
1. Definisi perusakan hutan
2. Dasar pembentukan UU No. 18/2013
3. UU No./18 Tahun 2013
4. Beberapa tipe perbuatan pidana dalam uu No.18 2013
5. Delik pembalakan liar
6. Hukum acara
7. Lembaga pencgahan dan pemberantasan perusakan hutan
8. Perlindungan saksi
9. Sanksi
10.Pertanggungjawaban korporasi

A. Pendahuluan
Hukum pidana khusus dibagi menjadi 2 yaitu hukum pidana khusus yang merupakan UU Pidana
(internal) dan yang bukan merupakan Undang-Undang Pidana (eksternal). Hukum pidana khusus
internal memandang hukum pidana sebagai penegakan hukum, bersifat primum remedium.
Sedangkan hukum pidana khusus ekternal berifat ultimum remedium.
UU No. 18 Tahun 2013 merupakan hukum pidana khusus internal. UU ini dikenal dengan istilah
green crime, maksudnya adalah degradasi lingkungan hidup yang dilihat dari studi kejahatan. Green
crime dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Primary green crime
a. Kejahatan polusi udara, misalnya kebakaran hutan
 Kejahatan ini sering dilakukan karena membakar hutan adalah cara tercepat untuk
memperluas lahan, namun sering kali tidak dipikirkan dampaknya yang akan terjadi.

b. Kejahatan polusi air


 Tidak masuk dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2013, tetapi masuk ke dalam Undang-
Undang Lingkungan Hidup

c. Perburuan hewan-hewan yang dilindungi


d. Pembalakan liar (illegal logging)

2. Secondary green crime


 Secondary green crime adalah dampak dari primary green crime, contohnya banjir, longsor

B. Definisi

Perusakan hutan adalah proses, cara, atau perbuatan merusak hutan melalui pembalakan liar,
penggunaan kawasan hutan tanpa izin atau penggunaan izin yang bertetntangan hakikat izin dalam
kawasan hutan ditetapkan/ditunjuk/diproses penetapannya oleh pemerintah. Selain definisi diatas,
yang juga termasuk illegal logging adalah :
1. Penebangan hutan tanpa izin HPH (Hak pengelolaan hutan)
2. Penebangan di luar kawasan yang ditentukan dalam HPH
3. Penebangan di luar batas toleransi, adapun masih dalam kawasan izin. Mislanya melebihi jumlah
yang ditentukan
4. Penebangan dilakukan sah, sesuai batas toleransi, tidak keluar dari kawasan yang ditentukan,
namun hasil hutan diseludupkan
Inpes No. 5 illegal logging

Pembalakan liar adalah semua kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara tidak sah yang
terorganisasi. Penggunaan kawasan hutan secara tidak sah adalah kegiatan terorganisasi untuk
pertambangan atau perkebunan.

Klasifikasi hutan
Hutan :
1. Hutan negara
2. Hutan hak
3. Hutan adak
Fungsi :
1. Konservasi
a. Suaka alam
b. Pelestarian alam
c. Taman buru
2. Lindung
3. Produksi

C. Latar belakang
Pasal 28H ayat 1 UUD 1945  Personifikasi Alam
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapalkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”
Perusakan Hutan menjadi sebuah kejahatan luar biasa yang merusak multi dimensi kehidupan
(konsideran d) Modus juga Luar biasa (konsideran e) namun aturan saat ini belum efektif (konsideran
f). Pentingnya menjaga hutan adalah karena Indonesia memiliki salah satu hutan tropis yang terluas di
dunia, sehingga kerusakan hutan Indonesia akan memberi dampak terhadap Internasional.

D. Politik hukum perusakan hutan

Dari pasal 50 dan pasal 78 UU No.41 Tahun 1999 lalu dibuat UU P3H. Awalnya dijadikan hukum
pidana administratif (eksternal) lalu berubah menjadi hukum pidana khusus internal. UU P3H
komprehensif dalam mengatur materil dan formil.

E. Ruang lingkup UU Perusakan hutan

1. Pencegahan

2. Pemberantasan

 Pemberatasan Hukum Materiil

Pasal 11 Undang-Undang No.18 Tahun 2013 :

1) Perbuatan perusakan hutan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini meliputi


kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang
dilakukan secara terorganisasi.
2) Perbuatan perusakan hutan secara terorganisasi merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
suatu kelompok yang terstruktur, yang terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih, dan yang
bertindak secara bersama-sama pada waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan
hutan.
3) Kelompok terstruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak termasuk kelompok
masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan yang
melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan penebangan kayu di luar kawasan
hutan konservasi dan hutan lindung untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial.

Perusakan hutan :
1) Penggunaan kawasan hutan tidak sah
a. Pertambangan
b. Perkebunan

2) Pembalakan liar
a. Delik terkait

Pasal 12 Undang-Undang No.18 Tahun 2013 :


Setiap orang dilarang :
1) Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin
pemanfaatan hutan
2) Penebangan tanpa izin
3) Penebangan hutan tidak sah (Pasal 13)
4) Memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil
penebangan di kawasan hutan tanpa izin
5) Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara
bersama surat keterangan sahnya hasil hutan
6) Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah
pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang
7) Membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan
digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang
berwenang
8) Memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar

Pasal 82 Undang-Undang No.18 Tahun 2013 :


Orang perseorangan yang dengan sengaja :
1) Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin
pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a
2) Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan
oleh pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b; dan/atau
3) Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf c

Unsur delik yang penting :


1) Kawasan hutan
2) Pembalakan liar
3) Penggunaan/pemanfaatan kawasan hutan
4) Terorganisasi (Kelompok terstruktur, 2 orang atau lebih, tujuan perusakan hutan)
Tipe perbuatan pidana lain
1) Delik pemalsuan (14) -> izin dipalsukan
2) Delik penyalahgunaan dokumen (15) -> dokumennya tidak sesuai dengan kegiatan
3) Perbuatan perusakan hutn berkaitan dengan pertambangan dan perkebunan (17)
4) Delik menyuruh lakukan, penyertaan, permufakatan jahat (1( a,b,c)
5) Pencucian uang berasal dari pembalakan liar dan (lanjut ppt)

Perbandingan Pasal 3 TPPU dan Pasal 19 h UU No.18 Tahun 2013

Pasal 3 TPPU Pasal 19 Undang-Undang No. 18 Tahun 2013

Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, Menempatkan, mentransfer, membayarkan,


mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan,
menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar menyumbangkan, menitipkan, membawa ke
negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan luar negeri, dan/atau menukarkan uang atau
mata uang atau surat berharga atau perbuatan surat berharga lainnya serta harta kekayaan
lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya lainnya yang diketahuinya atau patut diduga
atau patut diduganya merupakan hasil tindak merupakan hasil pembalakan liar dan/atau
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak
ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau sah.
menyamarkan asal usul Harta Kekayaan
dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang
dengan pidana penjara paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan denda paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pakai pasal 3 TPPU atau Pasal 19 3 h?

 Pakai pasal 3 TPPU dengan dasar lex consumens


derogat legi consumte, karena faktanya lebih
dominan.

Syarat untuk menerapkan asas lex specialis derogat generali :


1) Adresatnya (subyek yang ditunjuk oleh suatu
aturan) bersifat khusus Reminder !
2) Ketentuan formilnya khusus
3) Ketentuan materiilnya khusus Asas prefensi hukum :

Dalam penerapan UU Pidana Khusus perlu memahami 1. Asas lex posteriori derogat legi
perkembangan asas lex spesialis yang meliputi : priori (Peraturan yang baru akan
menghapus peraturan yang lama)
1) Logische Specialiteit (Ketentuan yang paling 2. Asas lex speciali derogat legi
khusus) generali (Peraturan yang lebih
khusus akan mengesampingnkan
2) Lex consumen derogat legi consumte peraturan yang lama)
 Hukum yang satu mengabsorsi hukum yang lain. 3. Asas lex superior derogat legi
Disini suatu perbuatan memenuhi unsur delik inferior (peraturan yang lebih
tinggi akan mengesampingkan
peraturan yang bersifat umum)
yang terdapat dalam beberapa ketentuan hukum pidana khusus, yang faktanya lebih dominan
dalam kasus tersebut.

3) Sistematische Specialiteit (Khusus dari yang Khusus)

 Pemberantasan Hukum formil


Pemberantasan hukum formil dilakukn dengan tahapan :
1) Penyelidikan
2) Penyidikan Penyidik
 (PPNS dari kehutanan pusat maupun daerah)

 Penangkapan (2 x 24 Jam) perpanjangan (3 x 24 Jam)


3) Penuntutan
4) Pemeriksaan pengadilan
 Alat bukti KUHAP dan Informasi elektronik, dokumen elektronik dan Peta (pasal 37)

Kekhususan terkait Barang Bukti


1) Penyidik yang melakukan penyitaan barang bukti (sitaan/temuan) perusakan hutan wajib
membuat berita penyitaan

2) Penyidik Wajib :

a. Lapor dan membuat izin sita


b. Meminta izin peruntukan kepada KPN setempat max 3 x 24 Jam (untuk sitaan dapat 14
hari)
c. Tembusan ke Kejari

3) 2 x 24 jam KPN harus memutuskan izin


4) 7 Hari KPN memutuskan peruntukan :
a. Untuk kepentingan pembuktian perkara
b. Untuk pemanfaatan bagi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan
c. Untuk dimusnahkan; dan/atau
d. Untuk kepentingan publik atau kepentingan sosial

Beberapa contoh peruntukan Pasal 44, 45, 46 :


1) Barang bukti dari konservasi  Dimusnahkan kecuali untuk pembuktian/ilmu pengetahuan
2) Barang bukti pembalakan liar dari luar konservasi  kepentingan social
3) Barang bukti hasil hutan kayu dapat segera dilelang dan hasil ditempatkan di bank pemerintah

Percepatan Proses (Pasal 39)


1) Penyidikan 60 + 30 Hari
2) Berkas belum lengkap  Penuntut umum penyidikan 20 + 30 Hari
3) Penuntutan 25 hari
Pasal 52:
1) Pegadilan tingkat I - 45 Hari
2) Pengadilan tingkat Banding - 30 Hari
3) Pengadilan Kasasi - 50 Hari

Hukum Formil
1) Pasal 39 b dalam hal hasil penyidikan belum lengkap, penuntut umum wajib melakukan
penyidikan paling lama 20 (dua puluh) hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga
puluh) hari
2) Setiap pejabat yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39,
Pasal 40, dan Pasal 41 dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pengadilan Tingkat I
1) Komposisi hakim : 1 karir + 2 ad hoc
a. Diusulkan oleh MA  diangkat oleh Presiden
b. Sarjana Hukum atau Keahlian di bidang kehutanan (berpengalaman min. 10 Tahun)
2) Dapat dilakukan In absentia (pasal 51 ayat (1))

3. Kelembagaan
Lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan bertanggung jawab langsung pada
Presiden.Unsur-unsurnya meliputi Kemenhut, Polri, Kejaksaan, dan lainnya. Tugas lembaga
pencegahan dan pemberatasan hutan adalah melakukan :
1) Pencegahan
2) Penindakan
3) Hukum dan Kerjasama
4) Pengawasan internal dan Pengaduan masyarakat
Lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan dapat membentuk Satgas untuk
penyelidikan sampai penuntutan.

Pasal 56  Tugasnya Penyelidikan – Penyidikan


Lembaga yang menangani pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54 ayat (1) bertugas :
1) Melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana perusakan hutan
2) Melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara perusakan hutan
3) Melaksanakan kampanye antiperusakan hutan
4) Membangun dan mengembangkan sistem informasi pencegahan dan pemberantasan perusakan
hutan yang terintegrasi
5) Memberdayakan masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan
6) Melakukan kerja sama dan koordinasi antar lembaga penegak hukum dalam pemberantasan
perusakan hutan
7) Mengumumkan hasil pelaksanaan tugas dan kewenangannya secara berkala kepada masyarakat
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
8) Memberi izin penggunaan terhadap barang bukti kayu temuan hasil operasi pemberantasan
perusakan hutan yang berasal dari luar kawasan hutan konservasi untuk kepentingan sosial.

Pasal 111 (2)  after 2 years  Kewenangan untuk semua perbuatan pidana dalam UU
(1) Lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 53 harus telah terbentuk paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
(2) Sejak terbentuknya lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penanganan semua tindak
pidana perusakan hutan yang terorganisasi sebagaimana diatur dalam UndangUndang ini
menjadi kewenangan lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.

4. Perlindungan saksi, pelapor dan informan

 Definisi
– Saksi : Melihat, mendengar, mengalami
– Pelapor : yang memberi laporan
– Informan : memberi info secara rahasia

 Saksi, pleapor dan informan berhak mendapat perlindungan


 Justice Collaborator tidak dapat dibebaskan dari tuntutan hukum, tetapi dapat diberikan
keringanan (Pasal 79)

5. Peran serta masyarakat


6. Kerja sama internasional
7. Pembiayaan
8. Sanksi

F. Ketentuan Pidana

Pasal 82
(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja :
a. Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin
pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a
b. Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf
b; dan/atau
c. Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf c
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun
serta pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang
perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan, pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun
dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(3) Korporasi yang :


a. Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin
pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a
b. Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf
b; dan/atau
c. Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf c
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun serta pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling
banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 83
(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja :
a. Memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil
penebangan di kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d
b. Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara
bersama surat keterangan sahnya hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
huruf e; dan/atau
c. Memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf h
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun
serta pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah)

(2) Orang perseorangan yang karena kelalaiannya :


a. Memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil
penebangan di kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d
b. Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara
bersama surat keterangan sahnya hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
huruf e; dan/atau
c. Memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf h
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) bulan dan paling lama 3 (tiga)
tahun serta pidana denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf c
dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar
kawasan hutan, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan
paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu
rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(4) Korporasi yang :


a. Memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil
penebangan di kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d
b. Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara
bersama surat keterangan sahnya hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
huruf e; dan/atau
c. Memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf h
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun serta pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling
banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pertanggung jawaban Korporasi


1) Ajaran Pertama, Pengurus Melakukan, Pengurus Bertanggung jawab MvT  ”suatu tindak
pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia”  Pasal 59 KUHP
2) Kedua, Korporasi melakukan, pengurus bertanggung jawab. Pasal 34 UU No. 2 Tahun 1981
tentang Metrologi Legal) “pengurus, badan hukum, sekutu aktif, pengurus yayasan, wakil
atau kuasa di Indonesia dari perusahan yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia, dan
mereka yang sengaja memimpin perbuatan yang bersangkutan”

Note :
Bagaimana UU P3H hutan ditinjau dari studi
kejahatan?

 Primary green crime (degradasi lingkungan


kejahatan) : P3H
 Secondary green crime : kelanjutan dari primary
green crime, merupakan akibat dari primar green
crime

Anda mungkin juga menyukai