Anda di halaman 1dari 11

LEGAL OPINION (PENDAPAT HUKUM)

Penculikan Warga Negara Indonesia (WNI) Oleh Kelompok Abu Sayyaf, Filipina Selatan

Mata Kuliah:
Hukum Laut, Udara & Ruang Angkasa

Dosen Pengampu:
Adi Purnomo Santoso, S.H.,M.H.

Disusun Oleh:
Irawan Puspito
(173112330040136)

FAKULTAS HUKUM
UNNIVERSITAS NASIONAL
JAKARTA
2019
LEGAL OPINION (PENDAPAT HUKUM)

TIM KUASA HUKUM KELUARGA KORBAN PENCULIKAN ABK TUGBOAT BRAHMA 12


DAN KAPAL TONGKANG ANAND 12 OLEH KELOMPOK EKTRIMIS ABU SAYYAF

PROBLEM STATEMENT (PERMASALAHAN)

1. Bahwa kejahatan Transnasional merupakan kejahatan yang lintas antarnegara. Kejahatan ini
merupakan tipe kejahatan yang terencana, terorganisir, dan memerlukan persiapan matang.
Pelakunya tidak hanya nation-state tapi juga individu dan kelompok juga dapat berperan
sebagai “sponsor” tak sekadar sebagai pelaku. Motif dalam melakukan kejahatan ini juga
cenderung luas, bukan hanya ekonomi atau politik. Lebih jauh lagi bisa saja kejahatan ini
dilakukan tanpa motif apapun. Satu hal yang perlu digarisbawahi bahwa tipe kejahatan ini
cenderung tidak memandang ideologi, suku bangsa atau agama dari pelakunya.
2. Bahwa anggota kelompok kejahatan yang terorganisir dan melewati lintas batas negara
merupakan suatu ciri yang tepat untuk mendefinisikan kelompok ekstrimis Abu Sayyaf. Dimana
kelompok ekstrimis Abu Sayyaf ini memiliki keterkaitan dengan jaringan ekstrimis
Internasional Al-Qaeda yang berada di Timur Tengah, kelompok ekstrimis yang berada di
Filipina Selatan ini tidak hanya melakukan aksi kejahatan di wilayah domestik Filipina saja,
tetapi juga menimpa masyarakat Internasional.
3. Bahwa kelompok Abu Sayyaf sering disebut Militan karena perjuangannya berideologikan
ekstrimis garis keras. Tujuan kelompok Abu Sayyaf adalah untuk menjembatani antara pasukan
revolusioner, baik di MNLF maupun MILF. Abu Sayyaf mengusung metode perjuangan yang
lebih radikal karena para anggota Abu Sayyaf melakukan penculikan warga sipil untuk
mendapatkan uang tebusan. Metode yang lantas membuat kelompok tersebut sama-sama
ditentang oleh pemerintah Filipina & MILF.
4. Bahwa aksi penculikan yang dilakukan kelompok ekstrimis Abu Sayyaf merupakan kegiatan
yang dilakukan atas dasar untuk mendapatkan banyak pundi-pundi uang yang dipergunakan
untuk merekrut anggota-anggota baru dan logistik agar bisa bertahan, dalam hal ini pemerintah
Filipina jika dilihat dari sejarah awal pemberontakan oleh kelompok-kelompok separatis di
bagian Filipina Selatan, telah melakukan konflik bersenjata antar dua kubu ini selama bertahun-
tahun.
5. Bahwa sepanjang tahun 2014 sampai dengan tahun 2016 kelompok Abu Sayyaf telah
melakukan aktivitas penculikan di daerah perairan perbatasan ketiga negara, penculikan ini
tidak hanya dialami negara tetangga yang berdampingan dengan Filipina saja (Indonesia dan
Malaysia), tetapi juga dialami oleh warga negara Internasional sehingga kasus penculikan ini
tidak hanya sebagai suatu permasalahan yang bersifat regional namun juga secara Internasional.
Diakui sangat sulit untuk menemukan data yang konkret terhadap korban sandera Abu Sayyaf
karena informasi yang tidak jelas terhadap adanya penculikan korban sandera akibat lokasi yang
berada di daerah perairan perbatasan yang jarang sekali dilalui oleh warga dan aparat
pemerintah.
6. Bahwa jumlah korban penculikan yang dilakukan oleh kelompok Abu Sayyaf pada tahun 2014
kasus penculikan terdapat 5 korban, naik jadi 6 korban di tahun 2015, naik lagi menjadi 48
korban pada tahun 2016. Perbandingan jumlah korban penculikkan terhitung sejak tahun 2014,
2015 dan 2016 telah terjadi peningkatan penyanderaan dan pembajakan yang sangat tinggi
terhadap warga negara Indonesia dan Malaysia di tahun 2016 yang merupakan jalur strategis
ekonomi bagi ketiga negara dan negara-negara lain untuk memasuki wilayah ASEAN.
7. Bahwa pembajakan di laut lepas mempunyai dimensi internasional karena biasanya digunakan
untuk menyebutkan tindak kekerasan yang dilakukan di laut lepas. Pembajakan di laut lepas
sejak dahulu telah diatur berdasarkan Hukum Kebiasaan Internasional karena dianggap
mengganggu kelancaran pelayaran dan perdagangan antar bangsa. Pengaturan oleh hukum
kebiasaan internasional tersebut terbukti dari praktek yang terus menerus dilakukan oleh
sebagian besar Negara-negara di dunia.
8. Bahwa Pasal 2 dari Konvensi Jenewa mengatakan bahwa Laut Lepas harus terbuka bagi semua
negara. Tidak ada satu negarapun yang boleh mengklaim bahwa laut lepas adalah bagian dari
wilayahnya. Dalam laut Lepas terdapat kebebasan untuk berlayar, memancing, meletakkan
kabel-kabel bawah laut dan pipa-pipa sejenis serta kebebasan untuk terbang di atas udara laut
lepas tersebut.

STATEMENT OF FACTS (POSISI KASUS)

1. Bahwa peristiwa pembajakan dan penyanderaan kapal Indonesia, dimana pelaku pembajakan
dan penyanderaan kapal ini adalah Kelompok Ekstimis Abu Sayyaf yang berasal dari Filipina
Selatan, Filipina.
2. Bahwa dua kapal Tugboat Brahma 12 dan kapal Tongkang Anand 12 yang membawa 7.000 ton
Batu Bara serta 10 orang awak kapal berkewarganegaraan Indonesia hilang kontak pada hari
senin, 28 Maret 2016 ketika berada diwilayah Filipina.
3. Bahwa dua kapal pembawa Batu Bara berangkat dari sungai Putting, Kalimantan Selatan pada
tanggal 15 Maret 2016. Ketika melintasi perairan Basilan Island, di mana terdapat beberapa
pulau kecil yang jarang dilalui oleh petugas patroli, kapal tersebut dikejar oleh para pembajak
dengan menggunakan kapal cepat (speedboat). Dengan ukuran kapal yang kecil dan muatan
Batu Bara yang banyak, kapal penggangkut seperti ini sering menjadi sasaran para pembajak di
perbatasan-perbatasan Negara, dalam hal ini di Filipina.
4. Bahwa para pembajak itu menyandera dua kapal beserta awak kapal (ABK) dengan
menggunakan Senjata Api. Mereka kemudian menghubungi pemilik kapal untuk meminta uang
tebusan sebesar 50 juta Peso (setara dengan 14, 2 Milyar Rupiah) untuk dipenuhi paling lambat
tanggal 31 Maret 2016.
5. Bahwa berdasarkan keadaan terakhir pada tanggal 29 Maret 2016, kapal Brahma 12 telah
dilepas dan saat ini berada di tanggan otoritas Filipina. Pihak kepala Dinas penerangan TNI
menegaskan untuk memantau keadaan perairan Indonesia, khususnya diperbatasan Negara
Indonesia dengan Filipina. Patroli ini menggunakan empat kapal perang, yakni KRI Surabaya,
KRI Ajak, KRI Ami, dan KRI Mandau.
6. Bahwa Kementerian Luar Negari (Kemenlu) membenarkan terdapat 10 WNI yang disandera
kelompok Abu Sayyaf, Filipina. Kemenlu mendapat informasi pada senin (28/03/2016).
Direktur perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (PWNIBHI) Kemenlu, Lalu
Muhammad Iqbal, menyebutkan ada dua kapal dan 10 WNI awak kapal disandera di perairan
Filipina.
7. Bahwa berdasarkan info awal tersebut, Kemenlu melakukan penelusuran dan komunikasi
dengan pemilik kapal serta sejumlah pihak di Indonesia dan Filipina. Menurut Lalu Muhammad
Iqbal telah terjadi pembajakan terhadap kapal tunda Brahma 12 dan kapal tongkang Anang 12
yang membawa 7.000 ton batu bara dan 10 orang awak kapal berkewarganegaran Indonesia.
8. Bahwa tidak diketahui persis kapan kapal dibajak. Pihak pemilik kapal baru mengetahui terjadi
pembajakan pada tanggal 26 Maret 2016, pada saat menerima kontak dari seseorang yang
mengaku dari kelompok Abu Sayyaf.
9. Bahwa Dalam komunikasi melalui kontak kepada perusahaan pemilik kapal, penyandera
menyampaikan tuntutan sejumlah uang tebusan. Sejak tanggal 26 Maret 2016, pihak pembajak
sudah 2 kali menghubungi pemilik kapal.
10. Bahwa Menteri Luar Negeri sendiri mengaku pihaknya terus berkomunikasi dan berkoordinasi
dengan berbagai pihak terkait di Indonesia dan Filipina, termasuk dengan Menteri Luar Negeri
Filipina. Menlu Indonesia mengatakan prioritas saat ini adalah keselamatan 10 WNI yang
disandera. Pihak perusahaan sejauh ini telah menyampaikan informasi tersebut kepada keluarga
10 awak kapal yang disandera.

APPLICABLE LAWS (DASAR HUKUM)

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


2. Konvensi Jenewa Tahun 1958
3. Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) Tahun 1982
4. Konvensi Roma 1988
5. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1961 Tentag Persetujuan Atas Tiga Konvensi Jenewa 1958
Mengenai Hukum Laut.
6. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations on The Law of
The Sea (Konvensi Persarikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut)
7. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia
8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan
9. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2002 Tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal
Kepulauan Indonesia.

LAW ANALYSIS (ANALISA HUKUM)


1. Bahwa Konvensi Persarikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut pada 24 Februari
hingga 27 April 1958 di Jenewa, menerima baik peraturan-peraturan berikut sebagai pernyataan
umum akan dasar–dasar yang diletakan dari pada Hukum Laut Internasional:
Pasal 4
Tiap negara, baik negara berpantai maupun tidak, berhak melakukan pelayaran dengan
benderanya masing – masing di laut lepas.
Pasal 5.
Ayat (1)
Tiap negara akan menentukan syarat-syarat kebangsaan yang telah diakui bagi kapal-kapalnya
untuk keperluan pendaftaran kapal-kapal itu dalam daerahnya, serta memakai benderanya.
Kapal-kapal memiliki kebangsaan negara, yang memberikan hak kepadanya untuk mengibarkan
benderanya. Meskipun demikian agar supaya tanda kebangsaan kapal dapat diakui oleh negara-
negara lain, maka harus ada hubungan yang wajar antara negara dan kapal; khusus, negara itu
harus tegas (effectively) menyelenggarakan hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan
kekuasaan hukum, (yurisdiction) dan pengawasan atas persoalan-persoalan administrasi, teknik
dan sosial dari kapal-kapal yang mengibarkan benderanya.
Ayat (2)
Sebagai pelaksanaan hal-hal tersebut, maka tiap negara harus memberikan bukti-bukti kepada
kapal-kapal yang telah diberi hak untuk mengibarkan benderanya.
Pasal 6.
Ayat (1)
Kapal-kapal harus mengibarkan benderanya satu negara saja dan dalam keadaan luar biasa yang
ditentukan dengan sengaja, dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian internasional atau dalam
pasal-pasal ini, harus tunduk kepada hukum-hukum yang khusus berlaku pada laut lepas.
Sebuah kapal tidak boleh mengganti benderanya selama dalam perjalanan atau selama berada di
pelabuhan yang disinggahi, kecuali jika kapal-kapal itu benar-benar dipindah tangankan oleh
pemilik atau dalam hal perubahan pendaftaran.
Ayat (2)
Sebuah kapal yang berlayar memakai bendera dari dua negara atau lebih, dengan sesuka hati,
tidak. Boleh menuntut sesuatu kebangsaan yang dimaksud terhadap sesuatu negara, dan kapal
itu dapat disamakan dengan sebuah kapal tanpa kebangsaan.
Pasal 7.
Diadakannya pasal-pasal tersebut di atas merugikan (mengurangi) persoalan tentang kapal-
kapal yang dipergunakan bagi keperluan yang bersifat resmi dari organisasi antara pemerintah,
yang memakai bendera organisasi tersebut.
Pasal 10.
Ayat (1)
Tiap negara harus mengadakan peraturan-peraturan bagi kapal-kapal yang memakai benderanya
yang perlu untuk menjamin keamanan di laut antara lain sepanjang mengenai:
a. Pemakaian semboyan, pemeliharaan perhubungan dan pencegahan pelanggaran;
b. Pengawakan kapal-kapal dan syarat-syarat kerja bagi awak kapal dengan
memperhatikan dokumen kerja internasional yang berlaku;
c. Konstruksi, perlengkapan dan laik laut kapal-kapal.
Ayat (2)
Dalam persoalan tentang peraturan-peraturan yang demkian tiap negara diharuskan
menyelaraskan diri dengan pokok-pokok umum internasional yang telah disetujui, serta
mengambil sesuatu langkah yang perlu untuk menjamin ditaatinya peraturan-peraturan tersebut.
Pasal 11.
Ayat (1)
Tidak akan diperintahkan oleh para pejabat untuk menyita atau menahan kapal, selain dari pada
pejabat negaranya kapal itu sendiri, meskipun perbuatan itu dilakukan sebagai tindakan
pemeriksaan.
Pasal 12.
Ayat (1)
Tiap negara akan mengharuskan nakhoda sebuah kapal untuk memakai bendera negara itu,
sepanjang dapat bertindak demikian tanpa benar-benar membahayakan kapal, awak kapal atau
penumpang-penumpang:
a. Memberi bantuan kepada setiap orang yang diketemukan di laut sedang dalam keadaan
bahaya akan tenggelam (hilang);
b. Bertindak secepat mungkin untuk menolong orang-orang yang dalam keadaan bahaya,
jika diberitahu bahwa mereka membutuhkan pertolongan, sepanjang tindakan itu dapat
diharapkan dari padanya secara layak;
c. Setelah terjadi pelanggaran, memberikan pertolongan kepada lain kapal, awak dan
penumpangnya dan, dimana mungkin, memberitahukan kepada lain kapal namanya
kapal sendiri, pelabuhan pendaftaran dan pelabuhan yang terdekat yang akan
disinggahinya
2. Bahwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bab XXIX tentang Kejahatan Pelayaran,
Pengaturan mengenai perompakan dan pembajakan di laut tedapat dalam pasal-pasal yang
terdapat dalam KUHP, sebagai berikut:
a. Pasal 439 KUHP
1) Diancam karena melakukan pembajakan di pantai dengan pidana penjara paling
lama lima belas tahun, barang siapa dengan memakai kapal melakukan perbuatan
kekerasan terhadap kapal lain atau terhadap orang atau barang diatasnya, di dalam
wilayah laut Indonesia.
2) Wilayah laut Indonesia yaitu wilayah “teritorial zee en maritime kringen
Ordonantie” 1939.
b. Pasal 440 KUHP
Diancam karena melakukan pembajakan dipantai dengan pidana penjara paling lama lima
belas tahun, barangsiapa yang didarat maupun diair sekitar pantai atau muara sungai,
melakukan perbuatan kekerasan terhadap orang atau barang disitu, setelah lebih dahulu
menyeberangi lautan seluruhnya atau sebagiannya untuk tujuan tersebut.
c. Pasal 441 KUHP
Diancam karena melakukan pembajakan disungai, dengan pidana penjara paling lama lima
belas tahun, barang siapa dengan memakai kapal melakukan perbuatan kekerasan disungai
terhadap kapal lain atau terhadap orang atau barang diatasnya, setelah datang ketempat dan
untuk tujuan tersebut kapal dari tempat lain.
d. Pasal 438 KUHP
1) Diancam karena melakukan pembajakan dilaut:
Ke-1: Dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, barang siapa masuk bekerja
sebagai nahkoda atau menjalankan pekerjaan itu di sebuah kapal, padahal
diketahui bahwa kapal itu diperuntukkan untuk digunakan melakukan perbuatan
kekerasan dilaut bebas terhadap kapal lain atau terhadap orang lain dan barang
diatasnya, tanpa mendapat kuasa untuk itu dari sebuah negara yang berperang
atau tanpa masuk angkatan laut negara yang diakui.
Ke-2 : Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, barang siapa mengetahui
tentang tujuan atau penggunaan kapal itu, masuk kerja menjadi kelasi kapal
tersebut, atau dengan sukarela terus menjalankan pekerjaan tersebut setelah
diketahui hal itu olehnya,ataupun termasuk anak buah kapal tersebut.
3. Bahwa perkataan tindak pidana dalam pasal 3 KUHP itu haruslah diartikan sebagai tindak
pidana menurut undang-undang Pidana yang berlaku di Indonesia. Agar seseorang dapat
dikatakan bersalah telah melakukan tindak pidana menurut suatu pasal KUHP yang
bersangkutan. Dalam rumusan-rumusan tindak pidana menurut Pasal 450 dan Pasal 451 KUHP
itu jelaslah, bahwa keadaan sebagai warga negara Indonesia merupakan suatu unsur dari tindak
pidana seperti yang dimaksud dalam pasal-pasal tersebut. Maka itu, seorang warga negara asing
tidak mungkin dapat dituntut dan dihukum karena dituduh melakukan tindak pidana melanggar
Pasal 450 atau Pasal 451 KUHP oleh alat-alat negara Indonesia, sekalipun mereka itu telah
melakukan jenis perbuatan terlarang yang sama seperti dimaksud dalma pasal 450 atau Pasal
451 KUHP, meskipun perbuatan-perbuatan mereka itu telah mereka lakukan di atas sebuah
kapal Indonesia yang sedang berada di laut bebas atau di laut territorial suatu negara asing.
4. Bahwa Dalam kenyataannya, ketentuan dalam KUHP tersebut menggunakan istilah
“pembajakan”, untuk menyebutkan tindak kekerasan yang dilakukan di laut lepas, maupun
tindak kekerasan yang dilakukan di wilayah perairan Indonesia. Sebagai produk perundang-
undangan yang berasal dari jaman kolonial yang sampai saat ini masih berlaku, pengaturan
pembajakan dalam KUHP Indonesia tersebut dapat dikatakan telah tertinggal jauh dengan
perkembangan pengaturan secara Internasional dan perkembangan kebutuhan untuk kondisi dan
situasi saat ini.
5. Bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang meratifikasi konvensi UNCLOS dengan
dikeluarkannya Undang-undang Nomor 17 tahun 1985 tentang Ratifikasi UNCLOS 1982.
Dengan diratifikasinya suatu konvensi maka isi dari konvensi tersebut akan mengikat negara
pihak dari konvensi itu. Akan tetapi pengecualian dapat dilakukan dengan melakukan reservasi
atau deklarasi terhadap suatu pasal. Oleh karena itu, dengan diratifikasinya UNCLOS sebagai
Undang-undang maka Indonesia terikat pada setiap ketentuan yang ada dalam UNCLOS 1982
termasuk ketentuan yang mengatur tentang pembajakan.
6. Bahwa Tindak Pidana Perompakan/Pembajakan di Laut adalah setiap tindakan kekerasan/
perempasan atau penahanan yang tidak sah, atau setiap tindakan memusnahkan terhadap orang
atau barang, yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh awak kapal atau penumpang dari suatu
kapal/kapal lain.
7. Bahwa kualifikasi tindak pidana dan pasal–pasal yang dilanggar adalah sebagai berikut:
a. Pembajakan (piracy) di laut lepas melanggar pasal 438 KUHP jo pasal 103 jo pasal 110
jo pasal 105 jo pasal 107 UNCLOS 1982.
b. Pembajakan di pantai (perompakan), melanggar pasal 439 KUHP.
c. Pembajakan di pesisir, melanggar hukum pasal 440 KUHP.
8. Bahwa Konvensi Roma 1988, Pasal 6 ayat (1) dan (2) menjelaskan bahwa setiap negara pihak
harus mengambil tindakan untuk menetapkan yurisdiksi atas tindak pidana sebagaimana yang
telah ditetapkan dalam Pasal 3 dan dapat menerapkan yurisdiksinya atas suatu pelanggaran
seperti yang ditetapkan dalam konvensi tersebut. Dalam pelaksanaan yurisdiksi sebagaimana
yang dimaksud, negara-negara yang berhasil menangkap para pelaku pembajakan boleh
mengirimkan para pelaku tersebut ke negara lain yang memiliki peraturan hukum tentang hal
itu untuk diadili di negara tersebut.
9. Bahwa penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf g dan Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 14 UU Tentara
Nasional Indonesia (TNI), salah satu ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan
negara adalah ancaman keamanan di laut yurisdiksi nasional Indonesia, yang dilakukan pihak-
pihak tertentu, dapat berupa Pembajakan.
10. Bahwa berdasarkan penjelasan Pasal 9 huruf b UU TNI, Angkatan Laut bertugas menegakkan
hukum dan menjaga keamanan dari segala bentuk kegiatan yang berhubungan dengan
penegakan hukum di laut sesuai dengan kewenangan TNI AL (constabulary function) yang
berlaku secara universal dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku untuk
mengatasi ancaman tindakan, kekerasan, ancaman navigasi, serta pelanggaran hukum di
wilayah laut yurisdiksi nasional.
11. Bahwa kewenanganan penyidikan oleh TNI Angkatan Laut juga dapat dilihat dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (PP 27/1983) yang pada perkembangannya telah diubah
sebanyak dua kali, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana
12. Bahwa berdasarkan amanat UU No. 32 tahun 2014 pasal 59 ayat (3) tentang Kelautan, dalam
rangka penegakan hukum di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi Indonesia, dibentuklah
Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla RI) yang bertugas melakukan patroli
keamanan dan keselamatan di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi Indonesia. Bakamla
merupakan lembaga pemerintah non-kementerian yang bertanggung jawab kepada Presiden
melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan

CONCLUSION & CLOSSING (KESIMPULAN & PENUTUP)

1. Bahwa pengaturan mengenai perompakan dan pembajakan di laut diatur dalam pasal-pasal yang
terdapat dalam KUHP, diantaranya: Pasal 439 s.d 441 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Dalam kenyataannya, ketentuan dalam KUHP tersebut menggunakan istilah “pembajakan”,
untuk menyebutkan tindak kekerasan yang dilakukan di laut lepas, maupun tindak kekerasan
yang dilakukan di wilayah perairan Indonesia. Sebagai produk perundang-undangan yang
berasal dari jaman kolonial yang sampai saat ini masih berlaku, pengaturan pembajakan dalam
KUHP Indonesia tersebut dapat dikatakan telah tertinggal jauh dengan perkembangan
pengaturan secara Internasional dan perkembangan kebutuhan untuk kondisi dan situasi saat ini.
2. Bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang meratifikasi konvensi UNCLOS dengan
dikeluarkannya Undang-undang Nomor 17 tahun 1985 tentang Ratifikasi UNCLOS 1982.
Dengan diratifikasinya suatu konvensi maka isi dari konvensi tersebut akan mengikat negara
pihak dari konvensi itu. Akan tetapi pengecualian dapat dilakukan dengan melakukan reservasi
atau deklarasi terhadap suatu pasal. Oleh karena itu, dengan diratifikasinya UNCLOS sebagai
Undang-undang maka Indonesia terikat pada setiap ketentuan yang ada dalam UNCLOS 1982
termasuk ketentuan yang mengatur tentang pembajakan.
3. Bahwa Perlu dibentuk sebuah peradilan/tribunal internasional yang khusus mengadili para
pelaku tindak kejahatan di Laut Lepas dan bagi negara-negara maju dan memiliki persenjataan
yang canggih, hendaknya bersatu untuk melawan kejahatan pelayaran tersebut mengingat
tindakan ini sangat mengganggu keamanan pelayaran internasional.
4. Bahwa perlu adanya tekanan dan ancaman yang keras dari organisasi-organisasi internasional
terutama PBB dalam pemberantasan pembajakan di Laut Lepas tersebut, serta memboikot
penyaluran peralatan senjata bagi para pelaku kejahatan pembajakan di Laut Lepas.
5. Bahwa diplomasi yang efektif dan efisien dapat memberikan hasil jika dilakukan dengan
maksimal dan kompeten oleh seorang diplomat. Upaya diplomasi penuh oleh para negosiator
satu pintu telah berhasil membawa para sandera pulang ke Indonesia dengan selamat tanpa
adanya luka tembak satu pun. Upaya diplomasi ini telah berhasil dilakukan kembali dan
merupakan keberhasilan yang mutlak dari fungsi dan tujuan diplomasi yang sesungguhnya.

TIM KUASA HUKUM KELUARGA KORBAN PENCULIKAN ABK TUGBOAT BRAHMA 12


DAN KAPAL TONGKANG ANAND 12 OLEH KELOMPOK EKTRIMIS ABU SAYYAF

Alamat: The Manhattan Square Building Mid Tower, 12th Floor


Jl. TB Simatupang Kav 1 - S Jakarta, 12560 - INDONESIA
Telp : +6221 80641000

Anda mungkin juga menyukai