Penculikan Warga Negara Indonesia (WNI) Oleh Kelompok Abu Sayyaf, Filipina Selatan
Mata Kuliah:
Hukum Laut, Udara & Ruang Angkasa
Dosen Pengampu:
Adi Purnomo Santoso, S.H.,M.H.
Disusun Oleh:
Irawan Puspito
(173112330040136)
FAKULTAS HUKUM
UNNIVERSITAS NASIONAL
JAKARTA
2019
LEGAL OPINION (PENDAPAT HUKUM)
1. Bahwa kejahatan Transnasional merupakan kejahatan yang lintas antarnegara. Kejahatan ini
merupakan tipe kejahatan yang terencana, terorganisir, dan memerlukan persiapan matang.
Pelakunya tidak hanya nation-state tapi juga individu dan kelompok juga dapat berperan
sebagai “sponsor” tak sekadar sebagai pelaku. Motif dalam melakukan kejahatan ini juga
cenderung luas, bukan hanya ekonomi atau politik. Lebih jauh lagi bisa saja kejahatan ini
dilakukan tanpa motif apapun. Satu hal yang perlu digarisbawahi bahwa tipe kejahatan ini
cenderung tidak memandang ideologi, suku bangsa atau agama dari pelakunya.
2. Bahwa anggota kelompok kejahatan yang terorganisir dan melewati lintas batas negara
merupakan suatu ciri yang tepat untuk mendefinisikan kelompok ekstrimis Abu Sayyaf. Dimana
kelompok ekstrimis Abu Sayyaf ini memiliki keterkaitan dengan jaringan ekstrimis
Internasional Al-Qaeda yang berada di Timur Tengah, kelompok ekstrimis yang berada di
Filipina Selatan ini tidak hanya melakukan aksi kejahatan di wilayah domestik Filipina saja,
tetapi juga menimpa masyarakat Internasional.
3. Bahwa kelompok Abu Sayyaf sering disebut Militan karena perjuangannya berideologikan
ekstrimis garis keras. Tujuan kelompok Abu Sayyaf adalah untuk menjembatani antara pasukan
revolusioner, baik di MNLF maupun MILF. Abu Sayyaf mengusung metode perjuangan yang
lebih radikal karena para anggota Abu Sayyaf melakukan penculikan warga sipil untuk
mendapatkan uang tebusan. Metode yang lantas membuat kelompok tersebut sama-sama
ditentang oleh pemerintah Filipina & MILF.
4. Bahwa aksi penculikan yang dilakukan kelompok ekstrimis Abu Sayyaf merupakan kegiatan
yang dilakukan atas dasar untuk mendapatkan banyak pundi-pundi uang yang dipergunakan
untuk merekrut anggota-anggota baru dan logistik agar bisa bertahan, dalam hal ini pemerintah
Filipina jika dilihat dari sejarah awal pemberontakan oleh kelompok-kelompok separatis di
bagian Filipina Selatan, telah melakukan konflik bersenjata antar dua kubu ini selama bertahun-
tahun.
5. Bahwa sepanjang tahun 2014 sampai dengan tahun 2016 kelompok Abu Sayyaf telah
melakukan aktivitas penculikan di daerah perairan perbatasan ketiga negara, penculikan ini
tidak hanya dialami negara tetangga yang berdampingan dengan Filipina saja (Indonesia dan
Malaysia), tetapi juga dialami oleh warga negara Internasional sehingga kasus penculikan ini
tidak hanya sebagai suatu permasalahan yang bersifat regional namun juga secara Internasional.
Diakui sangat sulit untuk menemukan data yang konkret terhadap korban sandera Abu Sayyaf
karena informasi yang tidak jelas terhadap adanya penculikan korban sandera akibat lokasi yang
berada di daerah perairan perbatasan yang jarang sekali dilalui oleh warga dan aparat
pemerintah.
6. Bahwa jumlah korban penculikan yang dilakukan oleh kelompok Abu Sayyaf pada tahun 2014
kasus penculikan terdapat 5 korban, naik jadi 6 korban di tahun 2015, naik lagi menjadi 48
korban pada tahun 2016. Perbandingan jumlah korban penculikkan terhitung sejak tahun 2014,
2015 dan 2016 telah terjadi peningkatan penyanderaan dan pembajakan yang sangat tinggi
terhadap warga negara Indonesia dan Malaysia di tahun 2016 yang merupakan jalur strategis
ekonomi bagi ketiga negara dan negara-negara lain untuk memasuki wilayah ASEAN.
7. Bahwa pembajakan di laut lepas mempunyai dimensi internasional karena biasanya digunakan
untuk menyebutkan tindak kekerasan yang dilakukan di laut lepas. Pembajakan di laut lepas
sejak dahulu telah diatur berdasarkan Hukum Kebiasaan Internasional karena dianggap
mengganggu kelancaran pelayaran dan perdagangan antar bangsa. Pengaturan oleh hukum
kebiasaan internasional tersebut terbukti dari praktek yang terus menerus dilakukan oleh
sebagian besar Negara-negara di dunia.
8. Bahwa Pasal 2 dari Konvensi Jenewa mengatakan bahwa Laut Lepas harus terbuka bagi semua
negara. Tidak ada satu negarapun yang boleh mengklaim bahwa laut lepas adalah bagian dari
wilayahnya. Dalam laut Lepas terdapat kebebasan untuk berlayar, memancing, meletakkan
kabel-kabel bawah laut dan pipa-pipa sejenis serta kebebasan untuk terbang di atas udara laut
lepas tersebut.
1. Bahwa peristiwa pembajakan dan penyanderaan kapal Indonesia, dimana pelaku pembajakan
dan penyanderaan kapal ini adalah Kelompok Ekstimis Abu Sayyaf yang berasal dari Filipina
Selatan, Filipina.
2. Bahwa dua kapal Tugboat Brahma 12 dan kapal Tongkang Anand 12 yang membawa 7.000 ton
Batu Bara serta 10 orang awak kapal berkewarganegaraan Indonesia hilang kontak pada hari
senin, 28 Maret 2016 ketika berada diwilayah Filipina.
3. Bahwa dua kapal pembawa Batu Bara berangkat dari sungai Putting, Kalimantan Selatan pada
tanggal 15 Maret 2016. Ketika melintasi perairan Basilan Island, di mana terdapat beberapa
pulau kecil yang jarang dilalui oleh petugas patroli, kapal tersebut dikejar oleh para pembajak
dengan menggunakan kapal cepat (speedboat). Dengan ukuran kapal yang kecil dan muatan
Batu Bara yang banyak, kapal penggangkut seperti ini sering menjadi sasaran para pembajak di
perbatasan-perbatasan Negara, dalam hal ini di Filipina.
4. Bahwa para pembajak itu menyandera dua kapal beserta awak kapal (ABK) dengan
menggunakan Senjata Api. Mereka kemudian menghubungi pemilik kapal untuk meminta uang
tebusan sebesar 50 juta Peso (setara dengan 14, 2 Milyar Rupiah) untuk dipenuhi paling lambat
tanggal 31 Maret 2016.
5. Bahwa berdasarkan keadaan terakhir pada tanggal 29 Maret 2016, kapal Brahma 12 telah
dilepas dan saat ini berada di tanggan otoritas Filipina. Pihak kepala Dinas penerangan TNI
menegaskan untuk memantau keadaan perairan Indonesia, khususnya diperbatasan Negara
Indonesia dengan Filipina. Patroli ini menggunakan empat kapal perang, yakni KRI Surabaya,
KRI Ajak, KRI Ami, dan KRI Mandau.
6. Bahwa Kementerian Luar Negari (Kemenlu) membenarkan terdapat 10 WNI yang disandera
kelompok Abu Sayyaf, Filipina. Kemenlu mendapat informasi pada senin (28/03/2016).
Direktur perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (PWNIBHI) Kemenlu, Lalu
Muhammad Iqbal, menyebutkan ada dua kapal dan 10 WNI awak kapal disandera di perairan
Filipina.
7. Bahwa berdasarkan info awal tersebut, Kemenlu melakukan penelusuran dan komunikasi
dengan pemilik kapal serta sejumlah pihak di Indonesia dan Filipina. Menurut Lalu Muhammad
Iqbal telah terjadi pembajakan terhadap kapal tunda Brahma 12 dan kapal tongkang Anang 12
yang membawa 7.000 ton batu bara dan 10 orang awak kapal berkewarganegaran Indonesia.
8. Bahwa tidak diketahui persis kapan kapal dibajak. Pihak pemilik kapal baru mengetahui terjadi
pembajakan pada tanggal 26 Maret 2016, pada saat menerima kontak dari seseorang yang
mengaku dari kelompok Abu Sayyaf.
9. Bahwa Dalam komunikasi melalui kontak kepada perusahaan pemilik kapal, penyandera
menyampaikan tuntutan sejumlah uang tebusan. Sejak tanggal 26 Maret 2016, pihak pembajak
sudah 2 kali menghubungi pemilik kapal.
10. Bahwa Menteri Luar Negeri sendiri mengaku pihaknya terus berkomunikasi dan berkoordinasi
dengan berbagai pihak terkait di Indonesia dan Filipina, termasuk dengan Menteri Luar Negeri
Filipina. Menlu Indonesia mengatakan prioritas saat ini adalah keselamatan 10 WNI yang
disandera. Pihak perusahaan sejauh ini telah menyampaikan informasi tersebut kepada keluarga
10 awak kapal yang disandera.
1. Bahwa pengaturan mengenai perompakan dan pembajakan di laut diatur dalam pasal-pasal yang
terdapat dalam KUHP, diantaranya: Pasal 439 s.d 441 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Dalam kenyataannya, ketentuan dalam KUHP tersebut menggunakan istilah “pembajakan”,
untuk menyebutkan tindak kekerasan yang dilakukan di laut lepas, maupun tindak kekerasan
yang dilakukan di wilayah perairan Indonesia. Sebagai produk perundang-undangan yang
berasal dari jaman kolonial yang sampai saat ini masih berlaku, pengaturan pembajakan dalam
KUHP Indonesia tersebut dapat dikatakan telah tertinggal jauh dengan perkembangan
pengaturan secara Internasional dan perkembangan kebutuhan untuk kondisi dan situasi saat ini.
2. Bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang meratifikasi konvensi UNCLOS dengan
dikeluarkannya Undang-undang Nomor 17 tahun 1985 tentang Ratifikasi UNCLOS 1982.
Dengan diratifikasinya suatu konvensi maka isi dari konvensi tersebut akan mengikat negara
pihak dari konvensi itu. Akan tetapi pengecualian dapat dilakukan dengan melakukan reservasi
atau deklarasi terhadap suatu pasal. Oleh karena itu, dengan diratifikasinya UNCLOS sebagai
Undang-undang maka Indonesia terikat pada setiap ketentuan yang ada dalam UNCLOS 1982
termasuk ketentuan yang mengatur tentang pembajakan.
3. Bahwa Perlu dibentuk sebuah peradilan/tribunal internasional yang khusus mengadili para
pelaku tindak kejahatan di Laut Lepas dan bagi negara-negara maju dan memiliki persenjataan
yang canggih, hendaknya bersatu untuk melawan kejahatan pelayaran tersebut mengingat
tindakan ini sangat mengganggu keamanan pelayaran internasional.
4. Bahwa perlu adanya tekanan dan ancaman yang keras dari organisasi-organisasi internasional
terutama PBB dalam pemberantasan pembajakan di Laut Lepas tersebut, serta memboikot
penyaluran peralatan senjata bagi para pelaku kejahatan pembajakan di Laut Lepas.
5. Bahwa diplomasi yang efektif dan efisien dapat memberikan hasil jika dilakukan dengan
maksimal dan kompeten oleh seorang diplomat. Upaya diplomasi penuh oleh para negosiator
satu pintu telah berhasil membawa para sandera pulang ke Indonesia dengan selamat tanpa
adanya luka tembak satu pun. Upaya diplomasi ini telah berhasil dilakukan kembali dan
merupakan keberhasilan yang mutlak dari fungsi dan tujuan diplomasi yang sesungguhnya.