Anda di halaman 1dari 11

TUGAS KELOMPOK

STUDI KASUS TENTANG PEMBAJAKAN KAPAL DAN


PENYANDERAAN ORANG OLEH KELOMPOK ABU SAYYAF

Untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Hukum Internasional

Dosen : Dr. Danial Amir, SH., MH.

Disusun Oleh Kelompok 4:

1. Ariya Mega Aradhea (1910631010191)


2. Elgi Hikmat Syah (1910631010099)
3. Inka Lidiya (1910631010027)
4. Regita Eka Cahyani (1910631010153)

Kelas Hukum Internasional (E)

Program Studi S1 Ilmu Hukum

Fakultas Hukum

Universitas Singaperbangsa Karawang

2020
DAFTAR ISI

COVER..........................................................................................................................i
DAFTAR ......................................................................................................................ii
FAKTA –FAKTA HUKUM........................................................................................1
MASALAH HUKUM..................................................................................................3
ANALISIS HUKUM....................................................................................................2
1.1. Kewajiban Internasional dalam Menanggulangi
Kasus Pembajakan Kapal dan Penyanderaan
Orang oleh Abu Sayyaf...................................................................................2
1.2. Penerapan Yurisdiksi dalam Mengatasi dan Mengadili
Kelompok Abu Sayyaf...................................................................................4

PENUUTUP.................................................................................................................7
2.1 Kesimpulan.....................................................................................................7
2.2 Rekomendasi...................................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................11

i
A. Fakta-Fakta Hukum
Kelompok Abu Sayyaf adalah kelompok bersenjata Islam atau teroris di Filipina
yang secara resmi dikenal sebagai Al-Harakatul al-Islamiya, didirikan pada tahun 1991
oleh Abdurajak Janjalani dengan tujuan mendirikan negara Islam di Filipina. Kelompok
Abu Sayyaf telah melakukan beberapa kejahatan sejak pertama kali kemunculannya, antara
lain terorisme, pembajakan kapal, penyanderaan orang, penculikan untuk tebusan,
penyergapan personel keamanan, pemenggalan, pembunuhan, dan pemerasan.
Kelompok Abu Sayyaf tidak hanya beraksi di Filipina saja. Mereka juga melakukan
aksi pembajakan kapal, penyanderaan, dan penculikan sampai ke wilayah negara tetangga
seperti di Malaysia dan Indonesia. Kelompok Abu Sayyaf sendiri juga diketahui memiliki
hubungan dengan Osama bin Laden dan jaringan al Qaeda-nya.
Dalam beberapa tahun terakhir, marak terjadi kasus pembajakan kapal yang disertai
dengan adanya penyanderaan orang yang dilakukan oleh Kelompok Abu Sayyaf di perairan
yang merupakan wilayah perbatasan antara negara Indonesia, Malaysia, dan Filipina.
Kelompok Abu Sayyaf diketahui melakukan kejahatan pembajakan kapal, terutama
sepanjang tahun 2016 sampai dengan tahun 2018 lalu telah terjadi 12 kasus pembajakan
kapal dan penyanderaan terhadap orang perairan perbatasan Indonesia, Malaysia, dan
Filipina. Dalam kasus-kasus tersebut, 16 kapal dibajak oleh kelompok Abu Sayyaf di
waktu yang berbeda, di antaranya adalah enam kapal Indonesia (tiga kapal tugboat dan tiga
kapal tongkang pengangkut batu bara), sembilan kapal nelayan berbendera Malaysia, dan
satu kapal kargo berbendera Korea Selatan. Diketahui pula sebanyak 43 orang diculik dan
disandera dari atas kapal-kapal tersebut, 34 orang di antaranya adalah warga negara
Indonesia (WNI), tujuh orang warga negara Malaysia, satu orang warga negara Korea
Selatan, dan satu orang warga negara Filipina.
Lokasi terjadinya kasus-kasus pembajakan kapal tersebut di atas bukan merupakan
laut lepas atau high seas, melainkan laut perbatasan antara Indonesia, Malaysia, dan
Filipina, di mana ketiga negara tersebut berbatasan langsung dengan zona maritim masing-
masing negara. Insiden yang paling terkenal adalah pembajakan kapal tunda Brahma 12
dan tongkang Anand 12. Kapal tunda Brahma 12 dan tongkang Anand 12 berbendera
Indonesia dibajak oleh kelompok teroris Abu Sayyaf di sekitar perairan Filipina pada 26
Maret 2016. Penyanderaan dua kapal yang mengangkut 7000 ton batu bara itu terjadi saat

1
dalam perjalanan dari Sungai Puting, Kalimantan Selatan, menuju Batangas, Filipina
Selatan. Kapal tunda Brahma 12 telah dilepaskan dan sudah berada di bawah penanganan
Pemerintah Filipina. Sedangkan, kapal Anand dengan 10 ABK WNI masih di bawah
kendali kelompok teroris Abu Sayyaf di wilayah Filipina. Pihak penyandera meminta
tebusan 50 juta peso atau setara Rp 14 sampai 15 miliar dengan tenggat waktu 31 Maret
2016. Namun tenggat waktu tersebut kemudian diperpanjang.
Perompakan disertai penculikan ABK juga menimpa kapal milik Malaysia di
Perairan Ligitan, Malaysia pada tanggal 1 April 2016. Dalam peristiwa tersebut 4 ABK
Malaysia disandera, sedangkan 3 ABK WNI dan 2 ABK WN Myanmar dilepaskan. ABK
WNI yang telah dibebaskan kini telah diselamatkan otoritas Malaysia dan berada di Tawau.
Atas tindakan kejahatan yang mengaitkan ketiga negara, maka Indonesia, Malaysia,
dan Filipina membuat kesepakatan-kesepakatan. Namun, kesepakatan itu tidak
membuahkan hasil, hal ini dapat dilihat dari kasus pembajakan kapal dan penyanderaan
orang yang masih terjadi pada 11 September 2018 dan mengakibatkan dua orang WNI serta
satu orang warga negara Malaysia dijadikan sandera.

B. Masalah Hukum
1. Apakah Indonesia, Filipina, dan Malaysia memiliki kewajiban internasional dalam
menanggulangi kasus pembajakan kapal dan penyanderaan orang oleh kelompok Abu
Sayyaf di perairan perbatasan ketiga negara tersebut?
2. Bagaimanakah Penerapan yurisdiksi hukum yang diberlakukan dalam kasus pembajakan
kapal dan penyanderaan orang oleh kelompok Abu Sayyaf di perairan perbatasan ketiga
negara tersebut?

C. Analisis Hukum
1.1 Kewajiban Internasional dalam Menanggulangi Kasus Pembajakan Kapal dan
Penyanderaan Orang oleh Abu Sayyaf
Abu Sayyaf yang dikenal secara resmi sebagai Al-Harakatul al-Islamiya telah
melakukan beberapa kejahatan sejak pertama kali kemunculannya, antara lain terorisme,
pembajakan kapal, penyanderaan orang, penculikan untuk tebusan, penyergapan personel
keamanan, pemenggalan, pembunuhan, dan pemerasan. Seperti yang diketahui, bahwa

2
kelompok terorisme ini tidak hanya melancarkan aksinya di Kawasan Filipina saja, lokasi
terjadinya kasus-kasus ini dilakukan bukan di laut lepas (high seas), melainkan secara nyata
dilakukan diperbatasan ketiga negara, yakni Filipna, Malaysia, dan Indonesia (zona
maritime masing-masing).
Kejahatan terorisme merupakan tindak kejahatan internasional yang tergolong ke
dalam kejahatan luar biasa (extraordinary crime), menurut Kofi Annan dan Marry
Robinson kejahatan ini dapat diklasifikasikan sebagai “crime against humanity” dengan
tolok ukur adanya serangan terhadap penduduk sipil. Dalam hal kaitannya tindak terorisme
dengan tanggung jawab suatu negara, terdapat doktrin imputabilitas, bahwa suatu negara
bertanggung jawab atas kesalahan yang ditimbulkan organnya, doktrin ini timbul karena
disadari bahwa suatu negara merupakan suatu entitas abstrak yang tidak dapat melakukan
tindakan yang nyata. Sebagai negara yang terkait atas perbuatan terorisme Abu Sayyaf,
maka tentu Indonesia, Filipina, dan Malaysia memiliki kewajiban secara internasional
untuk dengan diadakannya kesepakatan atau tiga perjanjian kerja sama trilateral untuk
menanggulangi kasus pembajakan dan perampokan bersenjata di perairan perbatasan
negara sebagai berikut:
a. Joint Declaration Foreign Ministers and Chiefs of Defense Force of Indonesia-
Malaysia-Philippines on Immediate Measure to Address Security Issues in the
Maritime Areas of Common Concern among Indonesia, Malaysia, and the Philippines
2016;
b. Joint Statement Trilateral Meeting among the Defence Ministers of the Philippines,
Malaysia, and Indonesia 2016; dan
c. Joint Statement Trilateral Meeting on Security among the Philippines, Indonesia, and
Malaysia 2017.

Namun, pada kenyataannya hasil dari kesepakatan-kesepakatan tersebut tidak


menjamin tidak dilakukannya lagi pembajakan hingga penyanderaan oleh Abu Sayyaf.

Atas perbuatan-perbuatan terorisme terhadap negara terkait hingga dirugikan


bahkan mengancam kedaultan suatu negara, karenanya tentu setiap negara tersebut
memiliki kewajiban internasional dengan memilki itikad baik dan untuk hidup dalam
damai dengan negara-negara lain. Cara paling utama untuk membentuk kewajiban

3
internasional adalah melalui perjanjian-perjanjian secara tertulis (written agreement).
Kewajiban yang dimaksud dalam instrument-instrumen hukum tersebut antara lain: ikut
menjaga perdamaian dan keamanan internasional; memberantas pembajakan kapal di laut
lepas dan perampokan bersenjata terhadap kapal; bekerja sama dengan negara lain dan
organisasi internasional terkait dalam memberantas pembajakan dan perampokan
bersenjata terhadap kapal; dan mengadili pelaku pembajakan dan perampokan bersenjata
terhadap kapal atau menetapkan hukum nasional yang dapat memfasilitasi penangkapan
dan penuntutan terhadap pelaku pembajakan dan perampokan terhadap kapal.
Secara spesifik, kewajiban internasional yang dilakukan oleh Indonesia adalah
melalui pendekatan-pendekatan terhadap negara terkait baik seperti dengan perjanjian atau
kesepakatan yang telah disampaikan di atas maupun dengan hal lainnya. Maksud hal
lainnya di sini adalah dengan beberapa metode atau cara, hal demikian dilakukan karena
tentunya Indonesia tidak bisa abai atau membiarkan atas tindakan tidak menyenangkan
yang dilakukan kelompok Abu Sayyaf. Adapun cara yang dilakukan melalui jalur
diplomasi dengan memaksimalkan lobi, baik formal maupun informal, cara kedua adalah
dengan opsi pembayaran tebusan, namun dalam hal demikian secara tegas pemerintah
Indonesia tidak akan melakukan opsi tersebut, opsi ini merupakan hasil komunikasi
langsung antara perusahaan dengan pihak penyandera, pemerintah akan memantau dengan
cermat perkembangannya, dan cara yang terakhir adalah dengan opsi pembebasan oleh
militer, pendekatan opsi ini baru akan dilakukan pada fase berikutnya jika situasi
membutuhkan, secara strategi Indonesia telah menyiapkan 500 personil dari setiap matra
di Tarakan, Kalimantan Utara. Namun, Konstitusi Filipina tidak mengizinkan militer asing
masuk wilayahnya tanpa ada perjanjian.

1.2 Penerapan Yurisdiksi dalam Mengatasi dan Mengadili Kelompok Abu Sayyaf
Serangan yang dilakukan oleh Abu Sayyaf secara sengaja dengan ancaman
mengambil alih dalam rangka pembajakan kapal Brahma dan Anand melakukan tindakan
pembajakan, menculik ABK dan meminta tebusan sejumlah uang untuk pembebasan ABK
adalah suatu pelanggaran hukum Internasional. Hal ini sesuai dengan Pasal 3 Convention
for the Supression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation 1988 (SUA

4
1988), yaitu membahayakan keselamatan orang dan harta benda, mempengaruhi
penyelenggaraan jasa maritim, dan merusak kepercayaan dari masyarakat dunia dalam
keselamatan pelayaran maritim. Selanjutnya adalah pelanggaran terhadap Pasal 1
International Convention Against The Taking of Hostages 1979 yaitu dengan menyandera
dan menawan 10 orang ABK berkewarganegaraan Indonesia hingga beberapa minggu saat
sedang di bajak oleh Abu Sayyaf Group dengan ancaman atau kekerasan, menggunakan
senjata api serta bertujuan memaksa pihak ketiga untuk membayar sejumlah uang tebusan.
Tindakan Kelompok Abu Sayyaf tersebut juga telah melanggar peraturan nasional
Indonesia yaitu pengaturan mengenai kejahatan di laut yang diatur dalam Pasal 439, 440,
441, 438 KUHP. Namun dalam Kasus ini Indonesia tidak bisa menerapkan Pasal Pasal
KUHP tersebut terhadap Kelompok Abu Sayyaf karena saat itu Kapal Anand di bajak di
perairan Filipina sehingga Yurisdiksinya berada di bawah Negara lain, yakni Filipina.
Dalam hukum, yuridiksi merupakan suatu istilah untuk kekuasaan atau
kewenangan. Istilah itu biasanya diterapkan pada pengadilan dan badan-badan kuasi
pengadilan, yang menguraikan ruang lingkup hak untuk bertindak dari pengadilan atau
badan-badan kuasi pengadilan tersebut. Namun tidak menutup kemungkinkan bahwa dapat
diterapkan yurisdiksi negara lain, yaitu yurisdiksi negara bendera asal kapal, yakni
yurisdiksi universal. Yurisdiksi universal menurut Amnesti Internasional adalah yurisdiksi
dimana pengadilan nasional manapun dapat menginvestigasi, menuntut seseorang yang
dituduh melakukan kejahatan internasional tanpa memperhatikan nasionalitas pelaku,
korban maupun hubungan lain dengan negara dimana pengadilan itu berada. Pelaksanaan
prinsip yurisdiksi universal hanya dapat dilakukan pada kejahatan internasional tertentu
antara lain piracy (pembajakan), slavery (perbudakan), genocide (genosida), crimes
against humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan), war crimes (kejahatan perang), dan
terrorism (terorisme) Jika melihat pengertian “piracy” dalam UNCLOS dan Convention
on the High Seas 1958, definisi tindakan pembajakan itu masih terbatas pada tindakan yang
dilakukan di laut lepas atau di luar yurisdiksi negara manapun. Kemudian pada tahun 2002,
International Maritime Organization (IMO) dalam International Maritime Organization
Assembly Resolution A.1025(26) on Code of Practice for the Investigation of Crimes of
Piracy and Armed Robbery against Ships berusaha mengakomodir kebutuhan hukum
terkait definisi pembajakan dalam teritorial suatu negara dengan menambahkan istilah

5
“armed robbery against ship” yang didefinisikan dalam annex-nya sebagai setiap tindakan
kekerasan atau penahanan yang dilakukan di perairan internal, perairan kepulauan, atau
laut teritorial, terhadap kapal atau orang atau benda-benda di atas kapal itu. Selain itu,
resolusi itu juga mendesak negara-negara anggota IMO untuk menerapkan Code of
Practice for the Investigation of Crimes of Piracy and Armed Robbery against Ships dan
mengambil tindakan penegakan hukum yang diperlukan untuk dapat menerima, mengadili,
atau mengekstradisi pelaku kejahatan tersebut.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka saat ini instrumen hukum yang dapat
mengakomodir kasus pembajakan kapal dan penyanderaan orang di perairan perbatasan
Indonesia, Malaysia, dan Filipina oleh kelompok Abu Sayyaf hanya International Maritime
Organization (IMO) yang mana tidak semua negara di dunia merupakan anggota dari IMO.
Namun, terlepas dari peraturan hukum internasional tertulis yang ada, kejahatan
pembajakan (jure gentium) itu sendiri telah diakui sebagai kejahatan terhadap masyarakat
internasional (hostis humani generis) selama beberapa abad. Sehingga jika menurut hukum
kebiasaan internasional, yurisdiksi universal dapat dilaksanakan pada segala bentuk
kejahatan pembajakan kapal, termasuk pembajakan kapal dan penyanderaan orang di
perairan perbatasan wilayah Indonesia, Malaysia, dan Filipina oleh kelompok Abu Sayyaf.
Maka semua negara di dunia memiliki kewenangan untuk mengadili kasus pembajakan
kapal dan penyanderaan orang di perairan perbatasan wilayah Indonesia, Malaysia, dan
Filipina oleh kelompok Abu Sayyaf, dengan syarat mereka harus berada dalam wilayah
teritorial negaranya, karena tidak mungkin suatu negara bisa melaksanakan yurisdiksi
universal bila pelaku tidak berada dalam wilayahnya.

D. Penutup
2.1 Kesimpulan

Indonesia, Malaysia, dan Filipina memiliki beberapa kewajiban internasional yang


sama dalam penanggulangan kasus pembajakan kapal oleh Kelompok Abu Sayyaf,
sebagaimana tertuang di dalam UN Charter, UNCLOS 1982, resolusi-resolusi Perserikatan
Bangsa-Bangsa dan International Maritime Organization yang terkait, serta serta 3 (tiga)
perjanjian kerja sama trilateral yang dibuat untuk menanggulangi kasus pembajakan dan
perampokan bersenjata di perairan perbatasan negara mereka.

6
Instrumen hukum yang dapat mengakomodir penerapan yurisdiksi universal
terhadap kasus pembajakan kapal oleh Kelompok Abu Sayyaf hanya International
Maritime Organization Assembly Resolution A.1025(26) on Code of Practice for the
Investigation of Crimes of Piracy and Armed Robbery against Ships. Dengan demikian
pelaksanaan yurisdiksi universal terhadap kasus pembajakan kapal oleh Kelompok Abu
Sayyaf hanya dapat dilakukan oleh negara-negara anggota IMO.

Namun, terlepas dari peraturan hukum internasional tertulis yang ada, kejahatan
pembajakan kapal itu sendiri telah diakui sebagai kejahatan terhadap masyarakat
internasional (hostis humani generis) sehingga dapat diadili oleh negara mana pun. Hal ini
berarti yurisdiksi universal dapat dilaksanakan pada segala bentuk kejahatan pembajakan
kapal, termasuk pembajakan kapal oleh Kelompok Abu Sayyaf.

2.2 Rekomendasi

Berdasarkan hasil kesimpulan yang telah disampaikan oleh penulis dalam BAB
Penutup ini Pemerintah Indonesia, Malaysia, dan Filipina hendaknya memaksimalkan
implementasi perjanjian kerja sama yang telah dibuat terkait keamanan maritim di
perbatasan ketiga negara 13 tersebut, seperti patroli maritim dan udara trilateral dan
pemberantasan terorisme yang menjadi akar dari permasalahan pembajakan dan
perampokan bersenjata di perairan perbatasan negara mereka.

United Nations (UN) dan International Maritime Organization (IMO) hendaknya


menetapkan suatu instrumen hukum internasional yang lebih tegas dan jelas yang dapat
mengakomodir penerapan yurisdiksi universal terhadap pembajakan kapal yang bersifat
serius dan berbahaya namun terjadi di dalam wilayah perairan perbatasan suatu negara.
Instrumen ini tentu dapat mempermudah negara-negara dalam mengadili pelaku yang
sedang berada di wilayah teritorial negaranya.

7
DAFTAR PUSTAKA

Vicentius Jyestha Candraditya, 2018. Kelompok Abu Sayyaf diduga Culik 2 Orang WNI di
Malaysia, https://www.tribunnews.com/internasional/2018/09/14/kelompok-abu-sayyaf-
diduga-culik-dua-wni-di-malaysia, diakses pada 30 Oktober 2020.

U.S. Department of State. 2014. Bureau of Counterterrorism: Country Reports on Terrorism 2014
(Chapter 6: Foreign Terrorist Organizations),
https://www.state.gov/j/ct/rls/crt/2014/239413.htm, diakses pada jumat 30 oktober 2020
pukul 20.14.

Zachary Abuza, 2005. Balik-Terrorism: The Return of The Abu Sayyaf, United States Army War
College Press: Carlisle.

Sefriani. 2010. Hukum Internasional : Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.

Malcolm N. Shaw, 2008. International Law: Sixth Edition, Cambridge University Press:
Cambridge, h. 214.

John O’Brien, 2001. International Law, Cavendish Publishing Limited: London, h. 245.

International Maritime Organization Assembly Resolution A.1025(26) on Code of Practice for


the Investigation of Crimes of Piracy and Armed Robbery against Ships

Dewi, I Gusti Ayu Julia Tungga; Landra, Putu Tuni Cakabawa; Arsika, I Made Budi. 2019.
Implementasi Yuridiksi Universal dalam Mengatasi dan Mengadili Kelompok Abu Sayyaf
Berdasarkan Hukum Internasional. Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum. Vol., 7. No. 3.
Hlm. 4-7.

8
Anantaya, Windusadu; Palguna, I Dewa Gede; Putra Ariana, I Gede. 2015. Tanggung Jawab
Negara Terhadap Kejahatan Terorisme yang Melewati Batas-Batas Nasional Negara-
Negara. Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum. Vol., 3. No. 3. Hlm 3.

Paramita, Annisa Anindina. 2017. “Peran Pemerintahan Indonesia dan Filipina dalam
Pembebasan 10 Sandera WNI dari Pembajakan Kapal Brahma 12 dan Anand 12 oleh
Kelompok Abu Sayyaf”. Skripsi. FISIP, Hubungan Internasional, Universitas Khatolik
Parahyangan, Bandung.

Puyanti, Adirini. 2016. “Upaya Pembebasan WNI Sandera Kelompok Abu Sayyaf” dalam Info
Singkat Hubungan Internasional. Jakarta: Berkas.dpr.go.id.

Anda mungkin juga menyukai