Anda di halaman 1dari 34

STRATEGI PERLAWANAN PANGERAN JAYAKARTA DALAM

MENGHADAPI KOLONISASI BELANDA DI BATAVIA 1619

PROPOSAL

Diajukan untuk memenuhi sebagian tugas


Mata Kuliah :

Metodologi Penelitian Sejarah

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Suswandari, M.pd

Oleh :
Yudha Faiz Nugroho 1601075005

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
Mei 2019
ABSTRAK

Sejak terbentuknya Serikat Dagang Belanda (VOC) tahun 1602 yang telah dirintis
oleh Jaques I Hermite dan kemudian diteruskan oleh Pieter Both hingga masa-
masa J.P.Coen. Mereka berupaya menciptakan kolonisasi dan membangun kantor
pusat perdagangan. Jayakarta dijadikan tempat yang dinilai paling strategis
untuk membangun kekuatan perdagangan Belanda. Hal ini menyebabkan adanya
tindakan memonopoli perdagangan serta Belanda mengirimkan koloni-koloni di
daerah yang baru saja di taklukkannya. Kemudian kebijakan Belanda ini
membuat masyarakat pribumi marah dikarenakan langkah Belanda yang
melakukan semacam tindakan kolonialisme yang dikemas dengan praktik
memonopoli semua sektor perdagangan, yang kemudian direbutnya Jayakarta
dan berganti nama kotanya menjadi Batavia. Kemudian Pangeran Jayakarta
bertindak dengan melawan kolonisasi Belanda dengan berbagai strategi dengan
menghimpun kekuatan dari masjid-masjid yang didirikan oleh Pangeran
Jayakarta salah satunya adalah masjid As salafiyah. Tujuan dari penelitian ini
ingin mendeskripsikan perjuangan Pangeran Jayakarta dalam menghimpun
strategi kekuatan pasca jatuhnya Jayakarta di tangan Belanda tahun 1619.
Adapun metode penelitian ini menggunakan metode historis yaitu heuristik, kritik
sumber, interpretasi, dan historiografi. Hasil dari penelitian ini yaitu
menceritakan sebab akibat yang ditimbulkan dari tindakan kolonisasi oleh
Belanda secara kronologis sampai situasi akhir setelah perlawanan Pangeran
Jayakarta dengan Belanda.

Kata Kunci: Strategi, kolonisasi, Pangeran Jayakarta.

i
DAFTAR ISI

ABSTRAK….……………………………………………………………… i

DAFTAR ISI……………………………………………………………….. ii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah…………………………………………… 1


B. Identifikasi…………………………………………………………. 6
C. Rumusan Masalah…………….……………………………………. 6
D. Tujuan Penelitian…………………………………………………... 7
E. Urgensi Penelitian………………………………………………….. 7
F. Luaran Yang Diharapkan…………………………………………... 8

BAB II : KAJIAN PUSTAKA

A. State Of The Art Penelitian………………………………………… 10


B. Kajian Teori………………………………………………………... 10

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian Sejarah……………………………………... 14


B. Waktu dan Tempat Penelitian……………………………………… 15
C. Sumber-sumber…………………………………………………….. 16
D. Langkah-langkah……………………………………………………16
E. Teknik Analisis Data………………………………………………..19

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Wilayah Batavia Tahun 1619………………………………………. 20


B. Kawasan Pangeran Jayakarta di Wilayah Batavia…………………. 22
C. Masuknya Kolonisasi Belanda di Batavia………………………..... 23
D. Konflik Pangeran Jayakarta dengan Kolonisasi Belanda………….. 25
E. Stratetegi Perlawanan Pangeran Jayakarta Menghadapi Belanda….. 26

ii
F. Situasi Batavia Setelah Perlawanan……………………………....... 27

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan………………………………………………………… 29

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….... 30

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


VOC (Verenidge Oost-Indische Compagnie, “persekutuan Dagang Hindia
Timur”) didirikan pada 20 Maret 1602 sebagai gabungan beberapa perusahaan
Belanda yang saling bersaing. Untuk menghentikan persaingan itu, empat wilayah
di negeri Belanda masing-masing amsterdam, Zeeland, de Maas serta nord
Holland bergabung dan membentuk suatu perusahaan dengan nama Verenigde
Oost Indische Compagnie, disingkat VOC (M. Adnan Amal, 2010: 261). Dampak
pemerintahan kolonial belanda terhadap struktur sosial bangsa Indonesia dimulai
tidak lama setelah berdirinya VOC pada 1602. Tujuan VOC adalah memperoleh
keuntungan sebanyak-banyaknya dalam perdagangan dan untuk merealisasikan
tujuan tersebut, mereka merasa perlu memonopoli ekspor dan impor. Perhatian
VOC yang pada mulanya terpaku pada rempah-rempah dari Maluku, segera
beralih kepada aktivitas dagang yang luas dan mapan yang berpusat di Pulau
Jawa, VOC memperoleh hak-hak istimewa terbatas dari pemegang otoritas lokal
(George McTurnan Kahin, 2013: 3).

Sejak terbentuknya Serikat Dagang Belanda (VOC) tahun 1602 yang telah
dirintis oleh Jaques I Hermite dan kemudian diteruskan oleh Pieter Both hingga
masa-masa J.P.Coen. Mereka berupaya menciptakan kolonisasi dan membangun
kantor pusat perdagangan. Kedatangan Belanda diterima dengan tangan terbuka
oleh penduduk pribumi karena tujuan utama hanyalah berdagang. Belanda tidak
mengikuti jejak Portugis yang membawa missi Kristenisasi. melainkan ingin
menjadikan Jayakarta sebagai tempat "Rendez Yous" bagi kapal-kapal VOC
antara lain untuk tempat persinggahan sebelum melanjutkan perjalanan ke negeri
Belanda tempat istirahat awak kapal, mengisi air bersih untuk di kapal (Leirissa,
1995: 83).

1
Jadi menurut penulis, Belanda datang memang murni untuk berdagang dan
mencari rempah-rempah dari maluku, akan tetapi sikap belanda yang tadinya
hanya ingin berdagang tanpa ingin ikut mencampuri perpolitikan di Indonesia
yang pada saat itu namanya masih Nusantara menjadi berubah ingin memonopoli
perdagangan di Indonesia, bahkan ingin menguasai hegemoni politik yang ada di
Indonesia dengan strategi politik pecah belah Devide Et Impera. Hal ini
dibuktikan dengan adanya intervensi kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia.
Belanda menggunakan sikap politik adu domba ini dengan membantu salah satu
kerajaan Islam di Indonesia dengan iming-iming sebuah kekuasaan. Hal ini
mengakibatkan kekacauan politik kerajaan-kerajaan Islam dan membuatnya rapu
tidak berdaya yang mengakibatkan runtuhnya kerajaan-kerajaan Islam itu sendiri.

VOC yang dianggap sebagai dewa penolong memanfaatkan situasi tersebut


dengan memihak salah satu kelompok dan mengahancurkan kelompok yang lain.
Kelompok yang keluar sebagai pemenang harus tunduk dengan sebuah perjanjian
yang telah ditentukan VOC. Dengan politik “belah bambu” ini, satu demi satu
kerajaan Islam hancur Apabila kerajaan itu masih berdiri, maka hegemoni dan
pengaruh VOC cukup kuat di sana. Karenanya, kerajaan itu hanya sebagai
bayangan dari VOC (Huda , 2015: 360-361).

Kemudian pada perkembangannya Belanda berpandangan perlu adanya


pemindahan Markas besar VOC dari Maluku ke Batavia. Pemindahan ini
dilakukan oleh Jan Pieterszoon Coen. Karena tidak hanya berbicara perdagangan
atau pun keuntungan secara materi tetapi dia ingin mengembangkan emporium itu
menjadi Imperium. Dimana kekuasaan VOC tidak hanya sebatas perdagangan
tetapi juga kekuasaan dan sebagai pelopor pertama kekuasaan di atas kerajaan-
kerajaan Nusantara. Alasan pertama yang membuat Jan Pieterszoon Coen memilih
Batavia adalah Maluku walaupun sebagai pusat produksi rempah-rempah tapi
lambat laun komoditas yang populer seperti Cengkih dan Pala mengalami
penurunan atau yang di sebut sebagai mono produksi sedangkan di Pulau Jawa
Sendiri selain daerahnya subur sebagai pertanian. Di Jawa terdapat komoditas
beras yang tidak kalah pentingnya dengan komoditas Cengkih dan Pala. Tanaman

2
yang bisa ditanam di Jawa tidak hanya beras tetapi juga berkembang yaitu teh,
kopi dan gula. Pada periode-periode selanjutnya komoditi ini juga merupakan
komoditi utama bagi perdagangan VOC. Beragam komoditas ini disebut multi
comodity. Juga di Pulau Jawa banyak sekali pedagang-pedagang Islam yang
melakukan perdagangan internasional di mana jika tumbuh suatu lokasi
pertumbuhan kegiatan perdagangan di pelabuhan-pelabuhan maka dengan
sendirinya terjadi transaksi perdagangan internasional (Noviyanti, 2017: 57).

Pada bulan Desember 1618 Banten mengambil keputusan untuk


menghadapi Jayakarta dan VOC. Laksamana Inggris, Thomas Dale, didesak
supaya bersedia pergi ke Jayakarta untuk mengusir orang-orang Belanda yang ada
di sana (Bernard H. M. Vlekke, 2016): 118). Di pelabuhan dia dihadang oleh
Coen bersama armadanya yang kecil tetapi Dale dapat memaksa Coen mundur.
Coen kemudian berlayar ke Maluku guna menghimpun armada yang lebih besar
sementara Dale dan Wijayakrama bersama-sama mengepung benteng Belanda.
Ketika personel VOC mengambil keputusan untuk menyerah pada akhir tahun
1619, secara tiba-tiba muncul balatentara Banten menghalangi maksud mereka.
Sepertinya Banten tidak ingin melihat digantikannya pos VOC yang menyusahkan
oleh pos Inggris yang tentunya juga akan menimbulkan banyak kesulitan bagi
Banten. Thoas Dale melarikan diri menuju ke kapalnya dan segera sesudah itu
prajurit-prajurit Banten memukul mundur Pangeran Wijayakrama ke wilayah
pegunungan. VOC tetap berada di dalam pos mereka yang dikelilingi benteng,
sedangkan balatentara Banten menduduki kota. Selama dua bulan tidak terjadi
banyak peristiwa kecuali bahwa personel VOC, yang menghabiskan waktu
mereka dengan pesta-pesta mabuk dan amoral bersama berdoa supaya
diselamatkan, pada tanggal 12 Maret 1619 mengambil keputusan untuk memberi
nama baru bagi kota itu yaitu ‘Batavia’ sesuai dengan nama suku bangsa Jerman
kuno di negeri Belanda.

Pada bulan Mei 1619 Coen berlayar kembali ke pelabuhan tersebut dengan
tujuh belas buah kapal. Pada tanggal 30 Mei dia menyerang kota, meratakannya
dengan tanah, dan memukul mundur tentara banten. Pusat perdagangan VOC

3
yang berdiri tegak di antara puing-puing Jayakarta, Batavia, kini menjadi markas
besar kerajaan niaga VOC yang luas. Usaha merebut Batavia ini merupakan
langkah penting yang ditempuh orang-orang Belanda sejak kapal mereka yang
pertama melakukan pelayaran ke Timur. VOC kini dapat membangun pusat
militer dan administrasi di tempat yang relatif aman bagi pegudangan dan
petukaran barang, yang terlatak Nusantara bagian Barat dan mudah mencapai
jalur-jalur perdagangan ke Indonesia Timur, Timut Jauh, dan Eropa. Tempat ini
berada di bawah kekuasaan tunggal VOC tanpa ada satu negara besar Indonesia
yang cukup dekat untuk membahayakannya (M.C. Ricklefs., 2016: 44-45).

Seperti yang sudah di jelaskan di atas awalnya Pangeran Jayakarta serta


masyarakat menerima kedatangan awal Belanda karena murni untuk berdagang.
Akan tetapi kedamaian antara Jayakarta dengan Belanda tersebut hanya
berlangsung singkat. Pertentangan pendapat antara Jayakarta dengan J.P. Coen
pemimpin dagang Belanda tersebut akhirnya meruncing menjadi peperangan.
Dalam peperangan itu Jayakarta dibantu oleh inggris, tetapi dengan kevakuman
kekuasaan Jayakarta Belanda berhasil mengalahkan pasukan Jayakarta dan
dengan kemenangannya itu kemudian J.P. Coen meruah nama Jayakarta menjadi
Batavia. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 30 Mei 1619. Setelah Jayakarta
diduduki Belanda, banyak kaum pribumi melarikan diri ke pedalaman.

Setelah jatuhnya Jayakarta, masyarakat Islam tidak di pusat kota lagi.


Mereka berhijrah ke pinggiran Jatinegara. Hal ini dapat dijadikan indikator bahwa
masyarakat muslim tidak berhubungan secara langsung dengan pihak Belanda. Di
samping itu letak makam Pangeran jayakarta di Pulo Gadung dan Pangeran
Wijayakrama (sesepuh Pangeran Jayakarta) di kampung Gusti di daerah angke
menunjukkan medan tempat mereka berjuang dan kemungkinan masyarakat pun
berdomisili tidak jauh dari areal makam tersebut (Leirissa, 1995: 84-85). Pangeran
Jayakarta memiliki andil besar dalam perjuangan mengusir Belanda dari tanah ibu
Kota. Salah satu perjuangan Pangeran Jayakarta yaitu membangun masjid di sana
pada 1620. Tujuannya, untuk menggalang kekuatan dan kembali menghajar
tentara penjajah, masjid itu diberi nama masjid Assalafiah.

4
Pada peristiwa sejarah masa lalu bahwasannya membuat Jakarta yang
menjadi Ibukota negara memiliki segudang cerita sejarah yang berharga di masa
lalu. Kota Jakarta yang saat ini memiliki penduduk yang sangat banyak, memiliki
keanekaragaman karena Jakarta sendiri merupakan kota metropolitan yang di
jadikan sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi. Banyak sekali masyarakat yang
bukan asli Jakarta datang ke Jakarta dengan maksud hanya ingin mencari materiil
berupa ekonomi saja. Kemudian masyarakat Jakarta yang di yakini sangat
heterogen memiliki sikap yang cenderung individualistik. Hal ini di buktikan
dengan adanya sikap masyarakat Jakarta yang sebenarnya hanya murni mencari
kegiatan ekonomi saja atau kepentingan pemerintahan, tanpa mengetahui
bahwasannya Jakarta memiliki segudang nilai peristiwa sejarah di masa lampau
yang sangat berharga.

Pada umumnya masyarakat perkotaan menurut aspek sosiologis memiliki


kecenderungan individualistik. Hal ini juga di kuatkan oleh bukunya Damsar dan
Indriyani bahwasannya masyarakat perkotaan dapat didefinisikan sebagi suatu
keseluruhan kompleks hubungan yang luas sifatnya di mana sekumpulan manusia
yang secara relatif mandiri, yang hidup bersama-sama cukup lama, yang sama,
dan melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok tersebut (Damsar,
2017: 69)

Pada pernyataan di atas menurut penulis jelas bahwasannya ada pernyataan


pada point sekumpulan manusia yang secara relatif hidup secara mandiri. Dalam
hal ini masyarakat perkotaan memang hidup secara mandiri dan terkadang tidak
membutuhkan bantuan orang lain, dan cenderung individualistik. Masih dalam
bukunya Damsar masyarakat perkotaan memiliki sikap Gesselschaft dicirikan
dengan hubungan sosial yang dikontruksi dengan bangunan dasarnya adalah
kurwille, yaitu kehendak rasional, merupakan kehendak yang berlandaskan
rasionalitas instrumental dalam pemilihan alat untuk mencapai tujuan. Keghendak
rasional menciptakan hubungan parsial, transaksional, dan netral afeksi.
Hubungan seperti ini dilihat memiliki struktur mekanisme, yaitu relasi yang
terbangun karena pertukaran antar-individu yang bebas, yang hubungannya

5
antara satu dengan lain bersifat asing, pertentangan dan kadang-kadang bahkan
permusuhan (Damsar, 2017: 72).

Jadi dengan demikian masyarakat perkotaan Jakarta pada masa dewasa ini
memiliki sikap kecenderungan hidup secara mandiri (individualistik), hidup
secara bebas, berfikir rasional yang terkadang mereka hanya memikirkan materiil
ekonomi tanpa memikirkna aspek-aspek sosial lainnya. Dalam hal ini penulis
berusaha ingin mengangkat ketidaktahuan masyarakat yang memiliki sikap tidak
peduli terhadap fenomena sosial atau sejarah yang berada di Jakarta khususnya
sejarah Jakarta.

B. Identifikasi
Merujuk dari latar belakang masalah yang diatas peneliti ingin
mengungkapkan peristiwa sejarah Jakarta dengan mengupas tentang strategi
Pangeran Jayakarta dalam menghadapi kolonisasi. Hal tersebut disebabkan oleh
pihak Belanda yang ingin memonopoli perdagangan di Jayakarta, serta
melanggenggkan hegemoni politik kekuasaan Belanda di Jayakarta. Kemudian
yang menjadi kegelisahan peneliti yaitu, peneliti ingin menyebarluaskan fakta
sejarah kepada masyarakat Jakarta, di karenakan masyarakat Jakarta masih
banyak yang tidak mengetahui tentang Jakarta di masa lampau. Karena
masyarakat Jakarta sebenarnya memiliki sikap individualistik yang tidak peduli
kepada sesama bahkan fenomena sosial di karenakan masyarakat Jakarta memang
hidup secara mandiri dan berpandangan hanya mencari materiil ekonomi saja.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah di ungkapkan di atas, maka


permasalah penelitian dapat diidentifikasi sebagaimana berikut di bawah ini.

1. Bagaimanakah strategi Pangeran Jayakarta setelah terusirnya dari Jayakarta


oleh Belanda ?

6
2. Bagaimanakah peran Pangeran Jayakarta dalam menghimpun kekuatan di
masjid assalafiyah ?

D. Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan strategi Pangeran Jayakarta setelah terusirnya dari Jayakarta
oleh Belanda.
2. Mendeskripsikan peran Pangeran Jayakarta dalam menghimpun kekuatan di
masjid assalafiyah.

E. Urgensi Penelitian
Penelitian ini memiliki urgensi sebagaimana berikut di bawah ini.
1. Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta

Jika di tarik ke konteks masa kini peristiwa masa lalu menggambarkan rasa
nasionalisme dan Patriotisme kita terhadap tanah air ini meskipun cakupannya
hanya lokalitas saja, akan tetapi itu juga merupakan nilai penting yaitu nilai
tentang hakekat perjuangan anak tanah air dalam melawan kolonialisasi belanda.
Dengan demikian untuk urgensi dalam penelitian ini mendeskripsikan tentang
sosok pahlawan Jayakarta dalam melawan kolonialisasi Belanda agar pemerintah
saat ini benar-benar sadar sejarah akan sosok pahlawan di masa lampau yang
terlah berjuang melawan ketidakadilan Belanda di tanah air Jayakarta. Kemudian
untuk kedepannya semoga peristiwa sejarah di masa lampau ini dijadikan
pembelajaran sejarah yang berharga agar kedepannya Jakarta menjadi kota yang
penuh dengan nilai perjuangan atas pahlawan-pahlawan di masa lampau, sehingga
pemerintahan yang saat ini menjabat di Jakarta yaitu Gubernur mennjadi sadar
akan tentang pentingnya sejarah.

2. Masyarakat Daerah Khusus Ibukota Jakarta

Penelitian ini memiliki urgensi bagi masyarakat Daerah Khusus Ibukota


Jakarta. Seperti yang sudah dijelaskan bahwasannya peristiwa di masa lampau

7
tentang Jakarta belum banyak diketahui oleh masyarakat luas. Dikarenakan
masyarakat Jakarta itu sendiri terlihmasyaraat tidak peduli dengan sejarah Jakarta.
Mereka hanya memperdulikan diri sendiri tanpa melihat sekelilingnya
bahwasannya daerah yang mereka tinggali memiliki nilai sejarah yang tinggi.
Dalam hal ini penulis ingin sekali mensosialisasikan hasil penelitian ini kepada
masyarakat Jakarta agar mereka paham benar akan tentang sejarah lokal Jakarta
yang mereka tinggali selama ini. Agar semoga harapan penulis masyarakat Jakarta
sadar akan sejarah peristiwa di masa lampau bahwasannya Jakarta memiliki
sejarah yang panjang yang perlu di ketahui oleh masyarakat yang nantinya
masyarakat Jakarta itu sadar akan tentang sejarah lokal Jakarta.

3. Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka

Bagi Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA, penelitian ini


menjadi kajian penting dalam upaya membangun peristiwa sejarah di masa
lampau khususnya Jakarta. Terlebih lagi Uhamka ini terletak di daerah Jakarta
khususnya FKIP Uhamka. Dengan demikian perlu dan pentingnya penelitian ini
untuk sebagai pembelajaran bagi Mahasiswa agar memahami tengang sejarah
Jakarta.

F. Luaran Yang Diharapkan


Dalam hal ini luaran yang diharapkan semoga masyarakat mendapatkan
pembelajaran tentang arti pentingnya nilai perjuangan yaitu rasa nasionalisme dan
sikap patriotisme bahwasannya penjajahan dalam bentuk apapun dari segi agama,
ekonomi, sosial dan budaya itu tidak baik dan harus di lawan dengan cara-cara
pergerakan perjuangan ataupun berdiplomasi.
Kemudian dalam hal ini penulis untuk merealisasikan pemahaman rasa
nasionalisme dan patriotisme kepada masyarakat DKI Jakarta, penulis akan
menuangkan wujud pemikiran dari penelitian ini ke dalam bentuk tulisan berupa
artikel. Agar nanti kedepannya tulisan ini dapat di baca oleh masyarakat luas
khususnya masyarakat DKI Jakarta agar mereka dapat benar-benar memahami

8
tentang sejarah Jakarta dan menunmbuhkan rasa nasionalisme dan sikap
patriotisme.

9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. State Of The Art Penelitian

Pembahasan tentang Pangeran Jayakarta sebenarnya sudah banyak diteliti


oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Seperti penelitian Lasmiyati (2009) tentang
penyebaran agama Islam di Jakarta abad XVII-XIX yang menjelaskan tentang
Penyebaran agama Islam di Jakarta dimulai sejak Fatahillah berhasil mengalahkan
Portugis di Sunda Kelapa. Penelitian Noor Huda (2015) tentang perkembangan
politik Islam Indonesia sampai awal abad XX yang menjelaskan tentang politik
Islam dalam memperebutkan kekuasaan untuk mewujudkan terintegrasinya
kultural sejak abad ke-15. Penelitian Rani Noviyanti (2017) menjelaskan tentang
pendirian kota Batavia dari seorang tokoh yang bernama Jean Pieterzoon Coen.
Berbagai penelitian tersebut mendeskripsikan dari awalnya ada misi
penyebaran agama Islam di Sunda Kelapa oleh kesultanan Demak, lalu sampai
kependudukan atau kepenguasaan Fatahillah di Sunda Kelapa yang menjadi
Jayakarta dan diwarisi kekuasaanya kepada Tubagus Angke dan diwariskan lagi
kepada Pangeran Wijayakrama. Kemudian dari berdirinya VOC yang didirikan
oleh Belanda untuk memonopoli perdagangan di Jayakarta dan sampai jatuhnya
Jayakarta di tangan Belanda tahun 1619. Lalu masyarakat Jayakarta berpindah ke
Jatinegara dan mendirikan masjid Salafiyah untuk menghimpun kekuatan Islam
untuk melawan Kolonisasi Belanda. Penelitian yang diusulkan ini, berkaitan
dengan upaya menggali sejarah peristiwa di masa lampau yaitu tentang strategi
perlawanan pangeran Jayakarta dalam menghadapi kolonisasi Belanda 1619 di
Batavia.

B. Kajian Teori
Untuk mengkaji lebih dalam penelitian ini, penulis akan mengemukakan
konsep dan teori yang mengacu kepada judul penelitian ini. Adapun konsep dan
teori akan dideskripsikan dibawah ini :

10
1. Konsep Imperialisme
Imperialisme berasal dari kata imperium dalam bahasa latin yang berarti
‘memerintah’. Kemudian arti itu berubah menjadi ‘hak memerintah’. Arti ini pun
mengalami perubahan lagi menjadi ‘daerah di mana kekuasaan memerintah itu
dilakukan’. Dengan ini, maka imperium selalu dihubungkan dengan kekuasaan
dunia (Agung, 2018: 84).
Sebenarnya imperialisme sudah ada sejak masa Romawi Kuno. Hal ini
dapat di buktikan dari adanya penaklukkan bangsa Romawi Kuno terhadap
bangsa-bangsa yang ditaklukkannya. Usaha dalam hal penaklukkan ini dilakukan
untuk menguasai strategisnya suatu wilayah geografis. Jadi dengan demikian
penaklukkan suatu wilayah dengan tujuan politik tertentu disebut tindakan
imperialis. Hal tersebut menurut penulis juga relevan dengan pendapat menurut T.
Parker dalam bukunya Leo Agung, imperialisme adalah nafsu suatu bangsa untuk
mendapatkan koloni-koloni karena dorongan idealisme dan Avonturisme.1
Adapun macam-macam imperialisme ada dua macam yaitu imperialisme
kuno dan imperialisme modern. Imperialisme kuno sendiri yaitu berlandaskan 3G,
Gold, Gospel, dan Glory. Yaitu dalam artian (mencari kekayaan, menyebarkan
agama, dan mencari kejayaan yang dipelopori oleh Spanyol dan Portugis.
Sedangkan pengertian imperialisme modern yaitu berarti sebenarnya muncul
akibat dari adanya revolusi industri. Jadi dengan demikian muncullah kebutuhan
industri yang memerlukan bahan mentah (baku) untuk di olah, kebutuhan daerah
pemasaran, kebutuhan modal yang nantinya akan menimbulkan ekonomi
kapitalis. Dengan demikian imperialisme modern muncul pada akhir abad ke-19
dengan bersaingnya negara-negara imperialis dalam menemukan daerah jajahan
baru dengan menaruh sebuah paham politik, ekonomi, dan sosial di daerah jajahan
barunya yang biasa di sebut dengan daerah koloni. Imperialisme modern ini di
pelopori oleh Inggris.
Jika dikaitkan dengan imperialisme di atas, maka menurut penulis pada
zaman itu, Belanda datang ke jayakarta pada tanggal 16 November 1596. Pada
masa itu merupakan imperialisme kuno yang mencari 3G (Gold, Gospel, Glory).

1
Di artikan ke dalam bahasa yang berarti adventurism yang berarti petualangan turis.

11
Karena pada dasarnya Belanda datang ke Jayakarta pada awalnya murni ingin
berdagang. Akan tetapi lama-kelamaan pada perkembangannya Belanda melihat
potensi yang dimiliki oleh daerah Jayakarta dari letak yang geografis karena
terdapatnya peseinggahan kapal-kapal dari internasional yang berlabih di
pelabuhan Jayakarta untuk berdagang. Kemudian Belanda melihat potensi adanya
rempah-rempah di Indonesia yang berasal dari daerah Maluku. Dengan itu
bertepatan rempah-rempah merupakan barang yang sangat berharga dan bernilai
tinggi di Eropa karena pada masa itu di Eropa rempah-rempah itu sangatlah
penting untuk mengawetkan, dan menyedapkan rasa makanan.
Kemudian setelah Belanda melihat potensi-potensi sumber daya alam yang
dimiliki oleh Indonesia, secepatnya Belanda berfikir ingin menguasai Indonesia
dengan memonopoli Indonesia dari segi politik dan ekonomi. Usaha untuk
melakukan tindakan memonopoli ini yaitu dengan melakukan penaklukkan
Jayakarta yang pada saat itu merupakan daerah kekuasaan Pangeran Jayakarta
dengan cara peperangan.

2. Teori Peranan
Perananan menurut Poewadarminta (Poerwadarminta, 1995: 751) adalah
“tindakan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dalam suatu peristiwa
“Berdasarkan pendapat di atas peranan adalah tindakan yang dilakukan orang atau
sekelompok orang dalam suatu peristiwa, peranan merupakan perangkat tingkah
laku yang diharapkan, dimiliki oleh orang atau seseorang yang berkedudukan di
masyarakat. Kedudukan dan peranan adalah untuk kepentingan pengetahuan,
keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kemudian menurut Soerjono
Soekanto (Soerjono Soekanto: 243) pengertian peranan adalah sebagai berikut:
peranan merupakan aspek dinamis kedudukan (status) apabila seseorang
melaksanakan hak dan kewajibannya maka ia menjalankan suatu peranan.
Berdasarkan teori peranan yang di sampaikan oleh Poewadarminta dan
Soerjono Soekanto, menurut penulis bahwasannya jika di kaitkan dengan
perlawanan Pangeran Jayakarta terdapat pula sebuah bentuk peranan itu di
dalamnya. Pangeran Jayakarta merupakan sosok pahlawan Jayakarta dalam

12
tindakannya melawan penjajahan Belanda di Batavia yang namanya sudah
berubah ketika Jayakarta jatuh ke tangan Belanda. Peranan Pangeran Jayakarta ini
sangat di harapkan oleh masyarakat Batavia terlebih lagi Pangeran Jayakarta ini
sosoknya sangat di kagumi oleh masyarakat karena gelar atau kedudukannya
sebagai seorang Pangeran.
Pangeran Jayakarta Wijayakrama adalah seorang anak hasil perkawinan
antara Tubagus Angke dengan putri Maulana hasanuddin yang bernama Ratu
Pembayun. Setelah dewasa Pangeran Jayakarta menikah dengan seorang putri
Pangeran Padjajaran (Sunda) yang dijuluki Ratu Pembayun. Para pengikut
Pangeran Jatakarta adalah tentara-tentara muslim yang setia kepada pangeran.
Tentara ini berasal dari Cirebon dan Demak. Pada saat Jayakarta jatuh, mereka
mengungsi ke Jatinegara Kaum dengan membawa serta istri dan anak-anaknya.
Jadi Pangeran Jayakarta merupakan gelar Pangeran untuk penguasa Jayakarta
sebelum datangnya Belanda.
Pada saat Pangeran Jayakarta Wijayakrama meninggal dunia (1619)
Jayakarta jatuh ke tangan Belanda, Perjuangan Pangeran Wijayakrama di gantikan
oleh anaknya Pangeran Ahmad Jaketra. Pangeran Ahmad Jaketra ini juga di
yakini mendirikan Mesjid al-Salafiyah setelah kekalahannya melawan Belanda,
yang pada masa itu pusat dari kekuasannya berada di Mangga dua.

13
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian Sejarah


Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
Historis. Menurut Sugeng Priyadi dalam bukunya metode penelitian pendidikan
sejarah menyatakan bahwasannya penelitian sejarah tidak lepas dari metode
kualitatif. Metode sejarah sebagai salah satu penelitian kualitatif. Metode
penelitian kualitatif sering diberlakukan pada ilmu-ilmu kebudayaan
(Geisteswissenschaften) yang mencakup humaniora. Sejarah, dan ilmu-ilmu sosial
yang bertujuan untuk menemukan gejala yang unik atau individual (ideografis)
dan bukan mencari hukum-hukum umum (nomotesis) seperti pada ilmu-ilmu alam
(Naturwissenschaften). Metode penelitian kualitatif berisikan metode penelitian
historis-hermeneutis yang meliputi logika induksi, deduksi, metode fenomenologi,
etnometodologi, hermeneutika, dan interpretasi. Logika induksi menjadi tulang
punggung penelitian grounded, sedangkan logika deduksi menjadikan teori atau
konsep sebagai kata kunci untuk mengerti gejala sosial. Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa logika induksi berawal dar fakta, sedangkan logika deduksi
berangkat dari teori. Keduanya menemui titik temunya pada lingkaran
hermeneutika di mana pemahaman suatu fakta tidak terlepas dari pemahaman
terhadap suatu teori, atau sebaliknya. Penelitian historis juga tidak mengabaikan
teori, bahkan teori-teori sejarah yang di dalamnya juga terkandung teori dan
pendekatan guna menjembatani metode penelitian historis (Sugeng Priyadi, 2012:
2-3).
Kemudian ada difinisi penelitian lainnya ada yang mengemukakan suatu
penelitian historis. Penelitian historis adalah:

Metode penelitian historis adalah prosedur pemecahan masalah dengan


menggunakan data masa lalu atau peninggalan-peninggalan baik untuk
memahami kejadian atau suatu keadaan yang berlangsung pada masa lalu terlepas
dari keadaan masa sekarang dalam hubungannya dengan kejadian atau masa lalu,
selanjutnya kerap kali juga hasilnya dapat dipergunakan untuk meramaikan
kejadian atau keadaan masa yang akan datang.

14
Metode historis lebih memusatkan pada masa lalu yang berupa peninggalan-
peninggalan, dokumen-dokumen, dan arsip-arsip. Data tersebut tidak hanya
sekedar diungkapkan dari sudut kepentingan sejarahnya, namun untuk memahami
berbagai aspek kehidupan masa lalu. Masalah yang diselidiki oleh peneliti pada
dasarnya terbatas pada data yang sudah ada. Tujuan penelitian historis adalah
untuk rekonstruksi masa lampau secara objektif dan sistematis dengan cara
mengumpulkan, memverifikasikan menginteskan bukti-bukti untuk memperoleh
kesimpulan.2
Yang dinamakan metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisa
secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Berdasarkan data yang
diperoleh dengan menempuh proses itu disebut historiografi (penulisan sejarah).
Dengan mempergunakan metode sejarah dan Historiografi (yang sering
dipersatukan dengan nama metode sejarah)3 sejarawan berusaha untuk
merekonstruksi sebanyak-banyaknya dari pada masa lampau manusia(Gottschalk.,
1985: 32).

B. Waktu dan tempat Penelitian


Waktu yang diberikan oleh dosen pembimbing yaitu dari tanggal 9 april-16
april untuk menyelesaikan penelitian ini sampai bab 3. Penelitian ini dilakukan
diperpustakaan FKIP Uhamka, di dalam rumah saya sendiri bahkan terkadang
dilakukan di dalam kelas kampus Uhamka. Peneliti melakukan di tempat tersebut
karena pada dasarnya peneliti melakukan dengan penelitian historis melalui kajian
pustaka dengan buku-buku yang ada, dan memang sudah di sediakan oleh
perpustakaan dan peneliti membeli buku-buku terkait dengan pangeran Jayakarta.
Peneliti telah melakukan studi awal guna mengumpulkan data-data sebagai
gambaran umum, dengan membaca, mengkaji berbagai buku-buku dan jurnal
melalui tindakan berfikir analisis untuk memecahkan judul yang sudah di siapkan.

2
Digilib.unila.ac.id

15
C. Sumber-Sumber
Sumber-sumber tulisan tulisan dan lisan dinahi ats dua jenis: sumber primer
dan sekunder. Sebuah sumber primer adalah kesaksian dari pada seorang saksi
dengan mata-kepala sendiri atau saksi dengan pancaindera yang lain, atau dengan
alat mekanis seperti diktafon, yakni orang atau alat yang hadir pada peristiwa
yang diceritakannya (disini selanjutnya secara singkat disebut saksi pandangan
mata). Sebuah sumber sekunder merupakan kesaksian daripada siapapun yang
bukan merupakan saksi pandangan mata, yakni dari seseorang yang tidak hadir
pada peristiwa yang dikisahkannya. Akan tetapi sumber primer itu tidak perlu asli
dalam arti hukum daripad kata asli, yakni dokumen itu sendiri (biasanya versi
tulisan yang pertama) yang isinya menjadi subjek pembicaraan, karena seringkali
suatu copy yang kemudian atau suatu edisi cetalan akan juga memnuhi syarat bagi
keperluan itu (Gottschalk., 1985: 35-36).
Dalam hal ini peneliti mengumpulkan sumber-sumber dari sekunder yaitu
melalui buku-buku, jurnal, dan literatur lainnya. Hal ini dilakukan dikarenakan
penelitian ini bersifat historis. Peristiwa sejarah di masa lampau hanya bisa diteliti
melalui metode historis. Adapun metode historis yaitu, heuristik, kritik sumber,
interpretasi, dan historiografi.
Dalam penelitian ini, peneliti menemukan dokumen berupa buku dan jurnal
yang bisa dapat di percaya. Karena terdapat penulis-penulis yang hebat dan bisa
dipertanggung jawabkan sumber-sumber yang menjadi rujukan dalamm penulisan
buku tersebut. Data yang diperoleh dalam penelitian ini bersumber dari kajian
pustaka yang berupa buku-buku, jurnal, dll.

D. Langkah-Langkah
Metode sejarah merupakan usaha memberikan penafsiran dari bagian proses
keberlangsungan peristiwa sejarah yang terjadi di masa lampau. Adapun metode
sejarah ini melalui beberapa tahapan antara lain:

16
1. Heuristik
Penelitian sejarah sering menggunakan istilah jejak sejarah, sumber sejarah,
atau data sejarah. Ketiga istilah itu di anggap sama atau data sejarah terdapat pada
sumber atau jejak sejarah sehingga data sejarah sama dengan teks yang
terkandung dalam manuskrip (naskah, handschrift, tulisan tangan. Maka dari itu,
penelitian sejarah harus menulusuri sumber tertulis atau bahan-bahan dokumenter
(Sugeng Priyadi, 2012: 25).
Pada tahapan ini untuk menentukan informasi kelayakan dan kevalidan
sebuah materi, peneliti mengumpulakan data-data atau sumber sumber tertulis
diperoleh dari berbagai buku-buku dengan membeli buku tentang Pangeran
Jayakarta, dan meminjam buku dari perpustakaan Uhamka di Jakarta dan
sekitarnya. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan sumber sekunder dari
buku. Dalam hal ini peneliti menggunakan metode historis dengan
mendeskripsikan kejadian di masa lampau secara kronologis atau runtut ceritanya
melalui kajian pustaka. Sumber sekunder merupakan sumber yang tidak
disampaikan oleh saksi mata secara langsung melainkan sudah diolah menjadi
bentuk tulisan, baik dalam buku-buku, artikel-artikel, jurnal dll yang merupakan
keterangan langsung dari pelaku peristiwa. Oleh karena itu sumber sekunder
sangatlah berarti bagi penelitian historis ini guna untuk mewujudkan suatu karya
ilmiah dengan menjunjung tinggi sifat keobejktifan sang peneliti.

2. Kritik Sumber
Verifikasi pada penelitian sejarah identik dengan kritik sumber, yaitu kritik
ekstern yang mencari otentisitas atau keontentikan (keaslian) sumber dan kritik
intern yang menilai apakah sumber itu memiliki kredibilitas (kebiasaan untuk
dipercaya) atau tidak (Sugeng Priyadi, 2012: 65).
Pada tahap ini peneliti melakukan verifikasi atau di sebut juga kritik sumber
untuk memperoleh keabsahan sumber yaitu dengan mengkaji dan
membandingkan antara isi dari satu buku dengan buku lainnya dengan

17
menganalisa dalam menentukan kredibiltas informasi dan kelayakan materi dari
buku-buku atau jurnal-jurnal.
3. Interpretasi
Untuk menghasilkan cerita sejarah, fakta yang sudah dikumpulkan harus
diinterpretasikan. Kedudukan interpretasi ada di antara verifikasi dan eksposisi.
Interpretasi dapat dilakukan dengan analisis dan sintesis. Analisis adalah salah
satu model membuat interpretasi. Menganalisis sama dengan menguraikan. Dari
data yang bervariasi dapat dianalisis setelah ditarik secara induktif sehingga dapat
disimpulkan (Suhartono W. Pranoto, 2010: 55-56).
Setelah peneliti melakukan kritik sumber buku, maka langkah selanjutnya
adalah penafsiran. Hal tersebut dimaksud untuk memperjelas bahan setelah
melakukan pengkajian sumber. Peneliti mencoba menafsirkan berdasarkan
sumber-sumber yang telah diperoleh. Sedangkan yang menyangkut state of the art
penelitian dan konsep atau teori digunakan sebagai alat analisa atau interpretasi,
sehingga sumber data sejarah tersebut dapat berbicara, karena pada dasarnya data
sejarah tidak dapat berbicara, tanpa adanya hasil interpretasi dari peneliti. Dengan
demikian interpretasi merupakan sebuah penafsiran cerita peristiwa guna
mangartiakan sebuah makna peristiwa yang objektif dengan hasil interpretasi yang
tajam melalui berbagai analisa yang didasari dengan data yang relevan dan
akuntabel.

4. Historiografi
Tahapan ini merupakan penulisan sejarah (histiografi) menjadi sarana
mengomunikasikan hasil-hasil yang di uji (verifikasi) dan diinterpretasi. Kalau
penelitian sejarah bertugas merekonstruksi sejarah di masa lampau,maka
rekonstruksi itu hanya akan menjadi eksis apabila hasil-hasil pendirian tersebut
ditulis.

Hasil heuristik, Kritik sumber, interpretasi melalui langkah-langkah ini


nantinya akan membangun sebuah rekonstruksi sebuah peristiwa sejarah yang

18
berkesan dan bermkna dengan menggabungkan dari data-data atau sumber-
sumber yang valid yang nantinya akan dituliskan dalam sebuah kisah sejarah yang
menarik. Berbagai sumber yang telah dikumpulkan sudah dikritik dan
dinterpretasikan yang disertai dengan analisa peneliti yang nantinya akan
dituangkan dalam bentuk historiografis sebagai suatu tulisan sejarah tentang
tulisan masa lalu merupakan rekonstruksi sebagai menuangkan wujud penelitian
yang di tuangkan ke dalam sebuah bentuk tulisan karya ilmiah.

E. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data
yang diperoleh dari hasil beberapa buku-buku dan jurnal-jurnal yang memang
dalam penelitian historis ini di lakukan dengan kajian pustaka. Analisis data
penelitian historis semua sumber data harus dianalisis dengan teliti secara ilmiah
untuk menentukan keotentikan dan keakuratan penelitian tersebut. Hal tersebut
untuk menghindari diterimanya statemen orang-orang terkenal.mDalam
menetapkan keakuratan dokumen, setidaknya ada 4 faktor yang harus
dipertimbangkan yaitu:

1. Pengetahuan dan kompetensi pengarang.


2. Selang waktu antara kejadian dan penulisan kejadian.
3. Motif yang biasa dari pengarang.
4. Konsistensi dari pengarang.

19
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Wilayah Batavia Tahun 1619


Wilayah geografis Jakarta terletak antara 106,3 derajat dan 107,0 derajat
garis bujur timur dan antara 6,05 derajat garis lintang selatan. Teluknya dikelilingi
oleh banyak pulau, yang disebut kepulauan seribu. Daratannya di sebelah barat
dibatasi oleh Sungai Cisadane yang dahulu bermuara di sebelah barat Teluk
Jakarta, sedangkan Sungai Citarum jauh di ujung timur bermuara jauh di ujung
timur Teluk Jakarta. Sementara di antara kedua sungai itu ada sungai yang cuukup
besar yaitu Kali ciliwung dan Kali Bekasi (Abdul Chaer, 2015: 27).

Sumber : Buku Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII

20
Sebelum berganti nama Jakarta, pada masa Belanda yang dinamai Batavia,
dengan latar belakang dari pelabuhan Sunda Kelapa yang kecil merupakan satu di
antara enam pelabuhan kecil yang menjadi tempat pengiriman barang-barang dari
luar negeri ke kawasan hulu sungai ke kerajaan lama Sunda di daratan tinggi Jawa
Barat. Demi menghentikan pencaplokan kawasan oleh bangsa Portugis, pemimpin
Muslim di Demak, Fatahillah menaklukkan pelabuhan ini di tahun 1596, orang-
orang Belanda sudah biasa berkunjung ke pelabuhan Banten yang terletak di
dekatnya, dan di tahun 1610 mereka membangun sebuah loji dan gudang di
Jayakarta. Sesudah bertengkar dengan penguasa setempat terkait pembangunan
sebuah kubu pertahanan dari batu, dan untuk memotong kemajuan pesaing
Inggris, maka Gubernur Jenderal Pietersz Coen memutuskan untuk menaklukkan
pelabuhan tersebut di tahun 1619 dan memberinya nama Batavia, demi
menghormati suku Jerman (Belanda) yang bebas dan merdeka, yaitu Batavi, yang
menduduki delta sungai Rhine di Zaman Romawi. Kemudian pada
perkembangannya Batavia merupakan kota yang terpenting bagi Belanda
sehingga Batavia berkembang menjadi kota kolonial paling penting dan paling
besar di Asia tenggara di akhir abad 17.4
Dibagian utara Jakarta sekitar 14 kilometer terdapat sebuah gugusan pulau
yang merupakan bagian dari kepulauan Seribu yang terdiri dari pulau-pulau Cipir
(kuiper), Kelor (Kerkhof). Sakit (Purmerend), Edam, dan Onrust. Pulau-pulau
tersebut pernah berfungsi secara terbatas dalam sejarah kolonial Belanda di
Indonesia pada abad ke 18 dan 19. Kecuali pulau Onrust yang sudah digunakan
sejak abad ke 17 sampai awal abad ke 20 ini.
Pulau Onrust adalah pulau yang terbesar diantara gugus pulau tersebut, dan
merupakan tempat kegiatan yang cukup penting selama belanda berkuasa di
Indonesia. Pada tahun 1618. Verenigde Oost Indische Compangnie (VOC)
mendirikan sebuah dermaga dan galangan kapal serta sebuah rumah sakit di
Onrust. Pulau itu juga dilindungi oleh sederetan meriam untuk melawan musuh
mereka (Inggris dan Penguasa Jayakarta). Pada tahun 1619, denga landasan

4
https://sejarah-nusantara.anri.go.id/id/hartakarunmaincategory/4/4/ di akses pada tanggal 7 Juli
2019 pada pukul 10:21 Wib.

21
pertahanan militer yang kuat. VOC berhasil merebut kota Jayakarta dari tentara
Inggris, maka pada saat itulah berdiri kota Batavia yang kemudian menjadi pusat
kekuasaan belanda atas Nusantara (Leirissa, 1995: 1)

B. Kawasan Pangeran Jayakarta di Wilayah Batavia

Dilihat dari kondisi politik, Jayakarta pada awal abad ke-17 di bawah
kekuasaan Adipati yang ketiga ialah Pangeran Jayakarta Wijayakrama merupakan
daerah vazal kerajaan Banten. Sedangkan sebelumnya diketahui dari berita orang
Belanda yang melaporkan kunjungannya ke Bandar Kelapa (Jayakarta) pada
tanggal 16 Nopember 1596 disebutkan bahwa penguasa Jayakarta sudah sangat
tua. Uka Tjandrasasmita kemudian berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
konink van Jacetra ialah Ratu Bagus Angke5. Ia ditetapkan sebagai penguasa
Jayakarta karena Fatahillah mendapat tugas baru (1564) memimpin pasukan
Demak ke Pasuruan. Menurut berita Portugis, Mendez Pinto bahwa yang
memimpin perang tersebut ialah Tagaril. Nama ini mungkin dapat disamakan
dengan Fadhilah atau Falatehan. Sedangkan menurut Hasan Muarif Ambary
bahwa Ratu Bagus Angke memerintah dari tahun 1570 sampai tahun 1596 atau
beberapa tahun kemudian. Dari Tubagus Angke inilah pemerintahan kerajaan
Jayakarta diserahkan kepada putranya yaitu Pangeran Jayakarta Wijayakrama.
Sejak kapan Pangeran Jayakarta Wijayakrama menjadi Adipati Jayakarta
menggantikan ayahnya Ratu Bagus Angke tidak dapat dipastikan tanggalnya,
karena tidak ada berita tertulis yang menyebutkan tentang permulaan naik
tahtanya Pangeran Jayakarta. Hanya saja dari perjanjian antara Belanda dan
Penguasa Jayakarta dapat diketahui bahwa yang menandatangani perjanjian itu
pada tanggal 10-15 November 1610 dari pihak Jayakarta ialah Pangeran
Jayakarta Wijayakrama. Yang didampingi oleh Mantri, Tumenggung dan Adipati
serta pejabat Pabean (Leirissa, 1995:83).

5
Uka Tjandrasasmita. Pangeran Jakarta Wijayakraa: Pasang Surut Perjuangannya”. Seminar
Sejarah Nasional II, tanggal 28-29 Agustus 1970. Di Yogyakarta, hlm 1.: Dalam Karya Hoessein
Djajadiningrat. 1983, hlm. 83 menyebutkan bahwa ada 6 pelabuhan terpenting waktu di Pajajaran,
yaitu : Ciamao (Cimanuk), Xactra (Cakrawan, Kalapa), Tangaram, Cheqide), Pontang, Bantam,
hlm 4. Sumber ini di sebutkan dalam buku Sunda Kelapa sebagai jalur sutera.

22
Kemudian saat menghadapi VOC di bawah Jan Pieterszoon Coen, dengan
keras Pangeran Wijayakrama tidak mengizinkan VOC mendirikan benteng. Hal
ini membuat Coen menjadi berang. Ia segera berangkat ke Ambon mengambil
bantuan pasukan untuk menyerang Jayakarta. Belanda berhasil
membumihanguskan dan menduduki Jakarta pada 30 Mei 1619. Penduduk
Jayakarta menyingkir ke arah pedalaman sampai ke kaki gunung Salak, sebagian
ke arah Banten. Sedangkan Pangeran Wijayakrama ke arah Jatinegara, yang
sekarang disebut jatinegara kaum. Di tempat tersebut, kini terdapat makam
pangeran-pangeran keturunan Pangeran Wijayakrama. Makam Pangeran
Wijayakrama sendiri ada di Kampung Katengahan, Banten (Abdul Chaer, 2015:
37).

C. Masuknya Kolonisasi Belanda di Batavia


Pada 1623, Gubernur Jenderal Jan Pietersz Coen menulis bahwa
membangun tanah jajahan di Hindia Timur (Asia) hanya dapat dilakukan apabila
secepatnya didatangkan kapal-kapal yang memuat penuh orang dari Republik
Belanda. Di samping itu, juga diperlukan kehadiran sejumlah besar orang
“Hindia”, atau orang Asia. Coen tidak sabar karena empat tahun sesudah
menaklukkan Jacctra, pertumbuhan pendudukan kota kolonial Batavia dirasakan
terlalu lambat. Kepada Heeren XVII, yaitu Dewan Pimpinan Tertinggi VOC di
Belanda, Coen memperingatkan, apabila pembangunan tanah jajahan tidak
dilakukan secepatnya dan sesuai aturan serta arahan yang baik, VOC tidak akan
dapat bertahan dan perdagangan di Hindia Timur akan runtuh (Niemeijer, 2012:
13).
Jadi menurut penulis, bahwasannya kota Jacctra tidak akan berkembang
bahkan maju kotanya jika tidak adanya kongsi dagang yang kuat, dalam hal ini
kongsi dagang yaitu VOC. VOC sendirilah yang mengirim berbagai ratusan ribu
pendatang dari Belanda untuk mengelola tanah jajahannya. Sudah cukup terbukti
bahwa awal abad ke 17 pertumbuhan kawasan permukiman Jacctra tidak akan
mungkin tumbuh dengan pesat tanpa adanya pegawai kompeni yang sudah

23
berkompeten di bidangnya untuk mengelola tanah jajahan agar dapat bertahan di
Hindia Timur bahkan menguasai hegemoni politik, ekonomi dll.
Disini penulis ingin mengemukakan sejarah Batavia diawali dari masa
kekuasaan VOC dengan lengangnya kota Batavia yang baru dibangun saat itu.
Penduduk Sunda Kelapa menyingkir jauh ke pedalaman saat VOC menyerang
kota pelabuhan itu dan yang tersisa adalah sejumlah pegawai dan para sedadu
termasuk sedadu pribumi yang didatangkan Coen dari Ambon dan dari pulau-
pulau Indonesia timur lainnya.
Upaya pertama J.P. Coen dalam menghidupkan kota adalah mendatangkan
penduduk dari berbagai tempat. Salah satunya adalah membujuk dan mengajak
komandan komunitas Cina yang ada di Banten untuk pindah ke Batavia. Hal itu
berhasil dengan datangnya orang Cina dari Banten sekitar 300 orang. Coen
membuka pintu lebar bagi para pendatang yang dapat menyumbangkan tenaga
bagi pembangunan kota yang baru didirikannya itu. Maka, sejak 1620-an, sudah
terjadi banyak migrasi ke Batavia dan wilayah Ommelanden wilayah di sekitar
Batavia mulai di buka bersama-sama para migran Cina. Begitu juga datang
migran dari Jawa, Sunda, Banten, dan dari pulau-pulau Indonesia bagian Timur.
Mereka adalah para sedadu yang bergabung dalam pasukan VOC dan para budak
yang menjadi komoditas perdagangan. Para budak ini berasal dari tawanan perang
dan penduduk pribumi yang ditaklukkan di wilayah Indonesia timur atau dari pos-
pos VOC di kawasan Asia, yang tersebar di sepanjang Pantai Malabar yang
direbut VOC dari tangan Portugis.
Setelah itu, Coen ingin menjadikan Batavia sebagai koloni yang didominasi
orang Eropa, tetapi keinginan ini di tolak oleh Heren XVII (17 Direktur VOC)
yang bermarkas di Belanda. Alasan penolakan itu adalah ada kemungkinan
migran Eropa yang merupakan Vrije burger (orang Eropa Bebas) dan dapat
berdagang dengan leluasa akan menjadi pesaing serta menimbulkan masalah bagi
keberhasilan monopoli dagang VOC (Abdul Chaer, 2015: 39-40).

24
D. Konflik Pangeran Jayakarta dengan Belanda

Kemudian pada perkembangannya Jayakarta memang sudah lama diincar


oleh Belanda. Awal kedatangan Belanda di Jayakarta yaitu pada tanggal 16
November 1596. Ketika itu Pangeran Jayakarta sudah sangat tua. Lalu perjanjian
Jayakarta dan Belanda 10-15 November 1610 mengadakan perjanjian antara
pangeran Jayakarta dengam Belanda. Adapun isi perjanjian antara lain yaitu : 1)
orang Belanda dibolehkan membeli tanah di Jayakarta seluas 50 depa dengan
harga 1.200 real, 2) Barang-barang Belanda dikenakan pajak, kecuali barang
tersebut dibeli dari pedagang Cina, 3) bahan makanan kebutuhan sehari-hari tidak
dikenakan pajak, 4) Belanda akan membantu Jayakarta apabila diserang musuh,
tapi tidak kalau Jayakarta yang memulai penyerangan, 5) orang Portugis dan
Spanyol tidak dibolehkan berdagang di Jayakarta, 6) Belanda dibolehkan
mengambil kayu unutk bahan pembuatan kapal di pulau-pulau di depan teluk
Jakarta, 7) Pegawai-pegawai yang lari dari kedua belah pihak akan dikembalikan,
8) Pangeran bersedia menagih piutang orang Belanda apabila dimintakanan, 9)
kedua belah pihak akan menghukum orang masing-masing apabila mereka
bersalah. Perjanjian ini di nilai merugikan Jayakarta, perjanjian ini hanya
menguntungkan pihak Belanda yang ingin hanya memonopoli perdagangan di
pelabuhan Jayakarta ini yang sangat strategis letaknya yaitu berada di Selat
Sunda.

Masa pemerintahan Jayakarta Wijayakrama berakhir pada tahun 1619,


dikarenakan Sultan Banten Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir tidak senang
atas penguasa Jayakarta sebagai daerah vazal Banten mengadakan perjanjian
dengan Belanda tanpa diketahui Sultan Banten. Akibat kepergian Pangeran
Jayakarta ke Banten atas panggilan Sultan Banten maka di Jayakarta terjadi
kekosongan penguasa dan kejadian ini sangat menguntungkan kedudukan Belanda
yang saat itu sedang bersengketa dengan Jayakarta.

25
Kehadiran orang-orang Belanda di Indonesia juga telah mengancam
institusi perpolitikan umat Islam. Bahaya ini belum mengancam ketika motif
petualangan dan ekonomi masih dijalankan secara wajar. Banyak penguasa lokal
Muslim yang menyambutnya dengan ramah. Ketika keinginan memonopoli
perdagangan timbul, maka orang-orang Belanda mulai mengintervensi institusi
perpolitikan Islam di Indonesia yang pada umumnya tidak stabil (Huda & Selatan,
2015:360).

Dari pernyataan di atas jelas bagaimana Belanda mulai mengusik penguasa


Muslim lokal. Sehingga membuat masyarakat pribumi marah dan ingin mengusir
Belanda yang telah mengganggu ketentraman masyarakat pribumi dengan
menerapkan sistem kolonisasinya yang hanya menimbulkan kesengsaraan,
penderitaan dan ketidakadilan dalm hal ini kongsi dagang VOC yang bertindak
seperti itu. Kemudiaan untuk mensiasati tindakan kolonialisme, Pangeran
Jayakarta menghimpun kekuatan untuk melakukan perlawanan dari masjid-masjid
yang didirikan oleh Pangeran Jayakarta untuk melawan kolonialisme Belanda.

E. Stratetegi Perlawanan Pangeran Jayakarta Menghadapi Belanda

Ketika Jan Pieter Zoon Coen membumihanguskan keraton, masjid, dan


rumah-rumah penduduk, Pangeran Jaketra dan pengikutnya hijrah ke Jatinegara
Kaum, ia membangun sebuah masjid As-Salafiah. Daerah tersebut mengambil
nama kaum, karena dihuni oleh kaum-kaum ningrat terutama dari kesultanan
Banten. Pangeran Jaketra menjadikan masjid sebagai tempat bergerilya dan
menyusun kekuatan untuk melawan Belanda (Lasmiyati, 2009: 80).

Aktivitas dakwah yang dilakukan oleh para Ulama masa selanjutnya relatif
dapat berjalan mulus, karena sistem politik dan penguasaan Jayakarta telah beralih
ke tangan Belanda, bahkan namanya pun telah dirubah menjadi Batavia.
Akibatnya penyebaran dan pengaruh orang-orang Belanda terhadap kaum pribumi
mengakibatkan cepatnya penerimaan kebudayaan orang Belanda. Pengajaran dan
pendidikan melalui gereja-gereja dan sekolah-sekolah terus dilaksanakan, tetapi

26
penduduk pribumi tetap mengunjungi pengajian-pengajian baik yang diadakan di
langgar, madrasah maupun di rumah guru ngaji meskipun jumlahnya mungkin
terbatas.

Di kota Jayakarta yang sudah menjadi Batavia mulai didirikan kantor-kantor


pemerintahan, membangun rumah-rumah para pejabat pemerintahan dan lain
sebagainya menimbulkan semangat masyarakat pribumi semakin anti terhadap
penjajah. Usaha ingin mengembalikan Batavia ke pangkuan bumi pertiwi terus
berjalan. Serangan-serangan yang dilakukan oleh pengikut Jayakarta sungguh
mengganggu ketentraman penguasa Belanda. Menurut tradisi gerakan mereka
berpusat di Jatinegara Kaum (Leirissa, 1995: 87-88).

Dengan demikian dalam hal ini menurut penulis, terjadi penindasan Belanda
terhadap masyarakat Jayakarta. Sehingga terjadinya perlawanan oleh Pangeran
Jayakarta beserta masyarakat pribumi yang dihimpun dari kekuatan yang
dilakukan oleh para kaum di Jatinegara. Hal ini dikarenakan sikap masyarakat
yang sadar benar atas ketidakadilan Belanda yang bertindak sewenang-wenang
dengan menjajah jayakarta dan melanggengkan kekuasaan dengan memonopoli
perdagangan di Jayakarta dengan kongsi dagang VOC. Perjuangan Pangeran
Jayakarta beserta masyarakat pribumi menyusun berbagai strategi untuk mengusir
Belanda dari tanah bumi pertiwi mereka.

F. Situasi Batavia Setelah Perlawanan


Pada akhirnya situasi Batavia tetap di pegang penguasanya oleh Belanda.
Pengaruh Pangeran Jayakarta berserta masyarakat pribumi dalam hal melawan
Belanda kandas di tengah jalan. Dikarenakan masih kuatnya hegemoni
perpolitikan Belanda di Batavia, yang memegang otonom penuh semenjak
jatuhnya Jayakarta di tangan Belanda. Kemudian reduplah keinginan menguasai
Batavia yang dilakukan oleh para kaum Jatinegara yang dipimpin oleh Pangeran
Jayakarta.

27
Alhasil VOC mendapatkan sebuah kawasan yang penuh rawa, tetapi tidak
berarti dapat membangun Batavia dengan aman dan tenang. Gelombang pertama
pendatang senantiasa dicekam ketakutan terhadap orang-orang Jawa yang
bermusuhan dan tinggal di kawasan sekitarnya. Seperti telah diketahui bahwa
tentara Mataram dua kali mengepung Batavia: pertama pada 1628 dan kedua pada
1629. Usaha merebut Batavia gagal kendati dalam serangan yang kedua jumlah
pasukan Mataram cukup banyak. Pasukan Kompeni tetap berhasil merusak
sejumlah gudang padi milik orang Jawa di Tegal dan Cirebon sehingga akibat
kekurangan pangan, persenjataan yang tidak memadai dan taktik pengepungan
yang salah, orang Jawa tidak berhasil merebut kembali kota Batavia. Pasukan
berkuda yang terdiri dari warga Belanda berstatus kuda bebas beberapa kali
menyerbu kubu pertahanan Jawa dan melemparkan granat tangan melintasi pagar
pertahanan. Akibat kelaparan, banyak prajurit Jawa tewas.
Selama dasarwarsa 20-an, dan 30-an, ribuan budak dan pekerja membangun
sejumlah kubu pertahanan di kota Batavia. Akan tetapi, kerja keras para budak
dan kuli Cina untuk meningkatkan keamanan kota tidak mampu mengusir
ketakutan penduduk terhadap ancaman musuh. Tidak diragukan bahwa kecemasan
dan ketidakpastian itu amat menghambat usaha pembangunan tanah jajahan
tersebut. Orang di Belanda hanya bersedia menanamkan modalnya dalam proyek
yang aman. Mereka tidak bersedia menanam modal di kawasan tropis yang
kurang aman dan tidak menawarkan banyak peluang berdagang (Niemeijer, 2012:
15).

28
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Saat menghadapi VOC di bawah Jan Pieterszoon Coen, dengan keras
Pangeran Wijayakrama tidak mengizinkan VOC mendirikan benteng. Hal ini
membuat Coen menjadi berang. Ia segera berangkat ke Ambon mengambil
bantuan pasukan untuk menyerang Jayakarta. Belanda berhasil
membumihanguskan dan menduduki Jakarta pada 30 Mei 1619. Penduduk
Jayakarta menyingkir ke arah pedalaman sampai ke kaki gunung Salak, sebagian
ke arah Banten. Sedangkan Pangeran Wijayakrama ke arah Jatinegara, yang
sekarang disebut jatinegara kaum. Ketika Jan Pieter Zoon Coen
membumihanguskan keraton, masjid, dan rumah-rumah penduduk, Pangeran
Jaketra dan pengikutnya hijrah ke Jatinegara Kaum, ia membangun sebuah masjid
As-Salafiah.
Daerah tersebut mengambil nama kaum, karena dihuni oleh kaum-kaum
ningrat terutama dari kesultanan Banten. Pangeran Jaketra menjadikan masjid
sebagai tempat bergerilya dan menyusun kekuatan untuk melawan Belanda.
Adapun strategi yang dilakukan di dalam masjid assalifiyah yaitu aktifitas dakwah
oleh para ulama untuk membentengi masyarakat pribumi dari sistem politik
Belanda yang sudah melakukan penyebaran dan prangaruh kebudayaan orang
Belanda.
Di kota Jayakarta yang sudah menjadi Batavia mulai didirikan kantor-kantor
pemerintahan, membangun rumah-rumah para pejabat pemerintahan dan lain
sebagainya menimbulkan semangat masyarakat pribumi semakin anti terhadap
penjajah. Usaha ingin mengembalikan Batavia ke pangkuan bumi pertiwi terus
berjalan. Serangan-serangan yang dilakukan oleh pengikut Jayakarta sungguh

29
mengganggu ketentraman penguasa Belanda. Menurut tradisi gerakan mereka
berpusat di Jatinegara Kaum.
DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku
Abdul Chaer. (2015). Betawi Tempo Doeloe Menelusuri Sejarah Kebudayaan
Betawi. Depok: Komunitas Bambu.
Agung, L. (2018). Sejarah Intelektual. Yogyakarta: Ombak.
Bernard H. M. Vlekke. (2016). Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Damsar. (2017). Pengantar Sosiologi Perkotaan. Jakarta: Kencana.
George McTurnan Kahin. (2013). Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Depok:
Komunitas Bambu.
Gottschalk., L. (1985). Mengerti Sejarah (N. Notosusanto, ed.). Jakarta:
Universitas Indonesia.
Huda, N., & Selatan, S. (2015). PERKEMBANGAN INSTITUSI SOSIAL-
POLITIK ISLAM INDONESIA SAMPAI. 9(2), 349–382.
Leirissa, R. Z. (ed). (1995). Sunda Kelapa Sebagai Bandar Jalur Sutra. Jakarta: :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan
Direktorat dan Nilai Tradisional Proyek Inventaris dan Dokumentasi Sejarah
Nasional,.
M. Adnan Amal. (2010). Kepulauan Rempah-Rempah Perjalanan Sejarah
Maluku Utara 1250-1950. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
M.C. Ricklefs. (2016). Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Niemeijer, H. E. (2012). Batavia Masyarakat Kolonial Abad XVII. Jakarta:
Masup.
Noviyanti, R. (2017). GUBERNUR JENDERAL VOC JAN PIETERSZOON
COEN Rani Noviyanti Program Studi Pendidikan Sejarah , FIPPS
Universitas Indraprasta PGRI Email : rasyaraninew @ gmail . com. 9(1),
54–64.
Poerwadarminta, W. J. . (1995). kamus umum bahasa indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Sugeng Priyadi. (2012). Metode Penelitian Pendidikan Sejarah. Yogyakarta:
Ombak.
Suhartono W. Pranoto. (2010). Teori & Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Graha
Ilmu.

30

Anda mungkin juga menyukai