MENGHANCURKAN NETWORK
DIPONEGORO
K.SUBROTO
SYAMINA
K. Subroto
Laporan
Edisi 4 / Maret 2018
ABOUT US
Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah
lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala
bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh
semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak
media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk
menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas
dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada
metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini
merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI — 3
EXECUTIVE SUMMARY — 4
Kewajiban dan Tanggung Jawab Menegakkan Agama Islam di Jawa — 7
Persiapan yang Matang — 9
Belanda Kewalahan Menghadapi Diponegoro dan orang Jawa — 14
Network atau Jaringan — 21
Teori Strategi Kontra Network — 22
Para Wanita Tangguh yang Menempa Diponegoro — 23
Network Diponegoro — 26
Strategi Melemahkan dan Menghancurkan Network Diponegoro — 33
Pendekatan Budaya — 36
Black Campaign — 37
Offensive Swarming Dengan Stelsel Benteng Pasukan Gerak Cepat — 37
Usaha Merobohkan Tiang-tiang Penyangga (Ulama dan Santri) — 40
Menggerogoti Network dari Kalangan Bangsawan — 44
Tipudaya Untuk Mengakhiri Perang — 46
Penutup — 51
Daftar Pustaka — 52
3
Edisi 4 / Maret 2018 SYAMINA
EXECUTIVE SUMMARY
P
erang Diponegoro adalah sebuah perlawanan untuk merebut kekuasaan
politik di Kesultanan Yogyakarta yang direncanakan secara cermat, rahasia,
dan lama, dengan tujuan membangun balad Islam yang berlandaskan Al
Qur'an di tanah Jawa. Sifat agamis perang ini mengandung banyak sisi sebagai
perang suci, atau perang sabil (jihad fi sabilillah).
Berkenaan dengan itu, Menteri Kelautan dan Jajahan Belanda, C.Th. Elout
(menjabat 1824-1829) mengemukakan dalam suratnya kepada raja Belanda tatkala
ia menolak gagasan untuk berdamai dengan Diponegoro dan mengakuinya sebagai
raja yang terpisah dari Kesultanan Yogyakarta. Elout beralasan kuatnya pengaruh
keagamaan dalam peperangan tersebut. Menurutnya perang itu benar-benar
telah mengancam landasan kekuasaan Kristen Eropa di Jawa, karena hanya faktor
agamalah yang membedakan dengan perang-perang perebutan takhta sebelumnya.
Dari sudut kemiliteran, perang Diponegoro adalah perang pertama yang
melibatkan semua metode yang dikenal dalam perang modern. Baik metode perang
terbuka (open warfare), maupun metode perang gerilya (guerrilla warfare) yang
dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan (Surpressing). Perang ini
bukan merupakan sebuah tribal war atau perang suku. Tapi suatu perang modern
yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum banyak dikenal. Perang ini
juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war) melalui berbagai bujukan
dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang
terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi (spionase) di mana
kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan
dan kelemahan lawannya.
4
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2018
Sejak 1827, pimpinan operasi diambil alih oleh Jenderal de Kock, dari tangan
Mayor Jenderal van Geen. Jenderal de Kock kemudian menetap di Markas Besar di
Magelang. Pada tahun ini Jenderal de Kock merintis perundingan dengan tokoh-tokoh
perlawanan. Oktober 1828, Belanda memulai berusaha melobi Kyai Mojo, karena
Kyai Mojo memiliki prajurit 2000 - 3000 orang. Sekalipun belum membuahkan hasil,
yang terpenting adalah peristiwa ini memberikan efek psikologis para pengikutnya.
Bagaimana pun bentuk operasi taktisnya, Jenderal de Kock tetap berpegang
pada strategi besarnya, merebut kembali wilayah Kesultanan Yogyakarta dengan
melipatgandakan pasukan gerak cepat dan sistem benteng serta melalui indirect
approach dengan mengejar center of gravity atau to capture whatever they prize most
pihak lawan.
Sebagai bagian dari operasi militer, de Kock juga mengutus P.P. Roorda van
Eysinga, Kepala Urusan Pribumi dan seorang ahli tentang orang Jawa (Javanicusi)
untuk datang ke Rembang menemui Kepala Penghulu, Notorojo untuk mengadakan
tukar pikiran tentang orang Jawa. Notorojo memberikan rekomendasi atas empat
hal, agar orang Jawa tidak memberontak. Menurut sejarawan Inggris, Peter Cerey,
kegagalan Belanda menghancurkan perang sabil yang dilancarkan Diponegoro
dengan cepat, dan berlarutnya pertempuran dalam perang Jawa disebabkan karena
ketiadaan seorang penasehat strategi militer seperti Snouck Hurgronje.
Sultan Ngabdulkhamid, -nama yang dipakai Diponegoro sampai akhir hayatnya-,
telah mempunyai keberanian dan tekad yang kuat untuk melawan kekuatan militer
yang belum pernah terkalahkan di Jawa saat itu, berani melawan kezaliman dan
hegemoni penjajah Belanda dan berusaha merubah masyarakat jahiliyah menjadi
masyarakat Islami. Ia telah berusaha sekuat tenaga mencurahkan segala potensi
yang ia miliki untuk mengerjakan perintah Allah dalam Al Qur’an, memuliakan
agama Islam di tanah Jawa.
Ngabdulkhamid telah mengorbankan segala yang ia punya bahkan yang paling
berharga yaitu diri dan nyawanya untuk menegakkan agama Islam di tanah Jawa.
Allah yang akan menilai seluruh perjuangan dan pengorbanannya untuk memuliakan
dan membebaskan wong Jowo dari penindasan, kezaliman dan penjajahan. Ia telah
menyiapkan dengan persiapan yang matang perang sabil yang ia kobarkan. Namun
Yang Maha Kuasa belum mengabulkan keinginannya, dan ia menerima dengan sabar
segala ketentuan yang menimpanya. Apa yang dilakukan benar-benar telah memberi
pelajaran yang sangat berharga bagi generasi penerusnya dalam menjalankan
kewajibannya sebagai hamba Allah; ikhtiar (berusaha sekuat tenaga), tawakkal
(menyerahkan hasilnya pada Allah) dan qonaah (menerima segala ketentuan Allah
apapun hasilnya).
6
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2018
P
erjuangan yang dilakukan Diponegoro adalah perjuangan untuk merebut
kekuasaan politik di Kesultanan Yogyakarta (yang saat itu berada dalam
kontrol penjajah Belanda) yang direncanakan secara cermat, rahasia, dan
lama, dengan tujuan membangun balad Islam yang berlandaskan Qur'an di tanah
Jawa. Pemberontakan ini pada hakekatnya adalah manifestasi dari konflik yang
latent di antara bangsawan Jawa, yang oleh John Keegan disebut sebagai permanent
warfare yang beraspek politik dan budaya.1
1 Saleh Asad Djamhari, Stelsel Benteng Dalam Pemberontakan Diponegoro 1827-1830, Suatu Kajian Sejarah
Perang, Disertasi Bidang Ilmu Pengetabuan Budaya Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia 2002,
h.295
2 Diponegoro, Babad Dipanegara ing nigari Ngayogyakarta Adiningrat, jilid I (salin aksara Ny. Dra. Ambaristi
dan Lasman Marduwiyota), Jakarta, 1983, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku
Sastra Indonesia dan Daerah. hal, 173. menurut Djamhari, ''perintah Ratu Adil" adalah sesuatu yang simbolik, 7
Diponegoro tidak secara jelas menyatakan "keputusannya" untuk memberontak, melawan penjajah.
Edisi 4 / Maret 2018 SYAMINA
Eropa dianggap telah merusak nilai-nilai budaya Jawa. Kesultanan Yogyakarta telah
dikuasai dan diperintah oleh sekelompok orang yang tidak mempunyai hak secara
garis keturunan.
Pihak pemerintah penjajah Belanda tidak waspada terhadap tingkah laku
Diponegoro dan tidak sadar ada bahaya yang mengancamnya. Residen Smissaert
yang menyenangi kehidupan “mewah” rupanya bukan pejabat sipil yang baik. Ia
hanya bekerja tiga hari dalam seminggu, sisa waktunya dihabiskan di perkebunannya
di Bedoyo.
Urusan pemerintahan sehari-hari diserahkan kepada Asisten Residen bernama
Chevallier, seorang bujangan yang juga suka bermain asmara dengan putri-putri
kraton. Mereka terjebak dan terbuai oleh berita-berita keamanan dan ketertiban
yang baik, yang mungkin sengaja dihembuskan oleh pengikut Diponegoro.4
secara besar-besaran oleh masyarakat pada pertengahan tahun 1825, adalah bagian
dari persiapan tersebut. Tatkala terjadi kekosongan kepemimpinan di Kesultanan
secara de facto, merupakan momentum yang tepat dan peluang baik bagi Diponegoro
sebagai saat yang baik untuk merebut kekuasaan.
Insiden saat penobatan Sultan, penutupan jalan dan serbuan ke Tegalrejo
merupakan pemantik yang menyalakan api pemberontakan yang telah dipersiapkan.
Sementara masyarakat yang karena penderitaannya sedang merindukan datangnya
seorang Ratu Adil, karena masyarakat Jawa telah menderita selama hampir 70 tahun.6
Menurut sumber keraton, sebelum pecah perang, Diponegoro mengadakan
pertemuan dengan Pangeran Joyokusumo (pengikut setia HB II) dan adiknya untuk
koordinasi rencana penggalangan dukungan dari berbagai desa di tanah yang mereka
kuasai. Selain Pangeran Joyokusumo banyak diantara pendukung HB II (sultan
sepuh) yang digalang oleh Diponegoro.
Saat Diponegoro dan Mangkubumi mengibarkan panji perang sabil di Selarong
pada tanggal 21 Juli 1828, sejumlah persiapan telah dilakukan untuk memobilisasi
para petani dan penggarap tanah. Untuk persiapan perang sabil Diponegoro
membebaskan pajak para petani selama 2 bulan sebelum dimulainya perang, agar
para petani bisa menggunakan uangnya untuk membeli senjata dan perbekalan.7
Senjata dan perlengkapan militer diponegoro tidak kalah dengan musuhnya,
mereka menguasai semua jenis senjata yang digunakan musuhnya, sehingga ketika
berhasil merampas senjata dari musuh pasukan dapat menggunakannya dengan
baik. Tentara reguler Diponegoro memiliki senjata api dan meriam yang bagus.
Seorang komandan pasukan belanda melaporkan tentang kubu pertahanan yang
berhasil direbut dari pasukan reguler Diponegoro:
“Belum pernah mereka menunjukkan perlawanan yang begitu hebat.
Senjata mereka semua baik dan terdiri dari model Eropa yang lazim.
Meriam satu-satunya yang mereka tinggalkan di benteng mereka
merupakan meriam yang bagus berkaliber satu pon.”
Walaupun perlengkapan Belanda yang dirampas banyak dimanfaatkan,
Diponegoro juga mendapatkan mesiu dari produsen lokal yang telah dipersiapkan di
desa-desa di berbagai kabupaten bagian Selatan dan Barat Yogya. Desa-desa tersebut
antara lain desa Samen di kawedanan Pandak dekat Bantul, Into-into di kali Progo,
dan desa Geger (Samigaluh) serta Dekso di Kulonprogo.
Di kawasan Dekso juga memproduksi peluru meriam dari timah untuk pasukan
Diponegoro. Menurut sejarawan militer Belanda, P.M. Lagordt-Dillie, mesiu yang
dihasilkan sendiri oleh pasukan Diponegoro, khususnya yang dibuat di into-
into bermutu sangat tinggi.8 Di Kulonprogo ada seorang ulama yang ahli dalam
pembuatan mesiu yaitu Haji Amattahir. Ia adalah salah seorang ulama kepercayaan
9 Gilang Pradipta Kuncoro, Peran Masyarakat Dekso Dalam Perang Jawa 1825 -1830, Skripsi Program Studi
Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2013. h.19
10 Carey, Kuasa Ramalan Jilid 2, h.699
11 Djamhari, op.cit. h.65 11
12 Carey, Kuasa Ramalan Jilid 2, h.700
Edisi 4 / Maret 2018 SYAMINA
sebagai pasukan tetap (standing army). Pasukan tetap terdiri atas beberapa korps
dengan kepemimpinan dan struktur organisasi yang jelas. Inilah hasil pemikiran
baru tentang organisasi militer pada masyarakat Jawa, referensi dan orientasinya
diambil dari sistem militer Turki Usmani.16
21 Dalam suratnya kepada Letnan Gubemur Jenderal, Residen van Sevenhoven mengingatkan de Kock, bahwa
Diponegoro adalah orang yang tidak pemah bergaul dengan orang Eropa karena itu ia selalu berprasangka
buruk, seperti para pangeran kelompok Kasepuhan, termasuk Sultan Hamangkubuwono Il (Sultan Sepuh),
ANRI, Surat Residen Yogyakarta van Sevenhoven, kepada Letnan Gubemur Jenderal, 10 November 1825,
Djokja 8.11. dalam; Djamhari, op.cit. h.90
16 22 P.J.F. Louw, I, 1894, hal. 269. Surat aslinya tidak ditemukan hanya terjemahannya ke dalam Bahasa Melayu
(pasar).
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2018
17
Edisi 4 / Maret 2018 SYAMINA
23 ARA, Instructie voor den Kommandant der Gewapende Inlandscbe Mobiele Kolonne, bestemd om tegen de
Muitelingen in het Madioensche le afgeven, Ngawi, 3 Desember 1825. Arsip Koleksi H.M. de Kock, Serie 14
Volgnr, 18 (1825).
24 Djamhari, op.cit. h.92-94
25 Sebelum pecahnya perang Jawa, kekuatan NOIL di Pulau Jawa berjumlah 13.200 orang terbagi dalam tiga
Daerah Militer Besar (Groote Militaire Afdeelingen). Wilayah Komando Daerah Militer Besar I meliputi
sepanjang Pantai Utara Pulau Jawa bagian barat, dari Banten sampai Kali Losari (Cisanggarung), yang termasuk
18 keresidenan Banten, Batavia, Buitenzorg, Karawang, Priangan, dan Cirebon, bermarkas di Batavia
26 NOIL = Tentara Hindia Timur, kesatuan Tentara Belanda di Hindia Beelaanda (indonesia)
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2018
wilayah Kesultanan Yogyakarta tidak akurat. Pasukan yang berada di medan dipaksa
harus terlebih dulu berperang melawan alam, membangun jalan-jalan baru, yang
kadang-kadang medannya bergunung terpaksa menebangi pohon yang merintangi
gerakannya ditambah dengan cuaca yang tidak mendukung. Batas desa yang berupa
pagar bambu hidup di desa-desa di daerah operasi, merupakan rintangan alam yang
menyulitkan. Bahkan lawan seringkali memasang perangkap atau ranjau dari bambu
(borang) untuk menghambat gerakan sangat menyulitkan pasukan penjajah.
Sikap tidak terang-terangan dari sebagian besar bangsawan dan kepala-
kepala desa (demang dan bekel) yang berpihak kepada Diponegoro membuat
tentara penjajah kebingungan karena sulit membedakan antara kawan dan lawan.
Kenyataannya mayoritas masyarakat saat itu memandang tentara Belanda sebagai
lawan. Strategi berperang orang Jawa yang inkonvensional, secara taktis juga amat
membingungkan lawan. Karakter dan seni perlawanannya sulit diduga. Untuk
memastikan pangkalan perlawanan, seringkali terjadi kejahatan perang, seperti
pembakaran desa-desa, perampasan ternak, dan pembunuhan tawanan.
Faktor lainnya yang terpenting adalah strategi militer Diponegoro, yang
mampu mengulur waktu untuk menguras tenaga dan kemampuan perang lawan.
Lawan tidak pernah diberi kesempatan untuk istirahat sekalipun teknologi
persenjataannya lebih unggul. Pasukan Diponegoro juga mampu mengoperasikan
senjata-senjata yang dirampas dan mampu membuat senjata api dan mesiunya.
Bahkan secara rahasia mereka membeli senjata-senjata baru. Problema lainnya
adalah merajalelanya pemakai opium di kalangan prajurit Belanda. Isteri-isteri
prajurit pribumi ikut menambah beban. Satu kolone kadang-kadang harus
menyediakan logistik untuk 1000 orang setiap hari.
Sampai bulan April 1827, lebih kurang 1603 orang serdadu Belanda tewas atau
27% dari serdadunya yang berjumlah 6.000 orang. Pecahnya pemberontakan baru
di suatu daerah sulit diantisipasi. Sikap dan tingkah laku para penguasa setempat
(tumenggung, demang) tidak dapat dipercaya sepenuhnya, terutama di daerah-
daerah yang pernah terjadi persewaan tanah.
Informasi dari spion-spion yang tersebar hampir di seluruh medan, seringkali
tidak akurat dan meleset. Politik penghematan dari Komisaris Jenderal Du Bus sangat
besar pengaruhnya terhadap pengelolaan dan pelaksanaan perang. Kesejahteraan
dan perlengkapan para prajurit merosot. Rekrutment prajurit baru sulit dilakukan.27
Untuk mengimbangi strategi Stelsel Benteng de Kock, pada 1827 Diponegoro
juga mengaplikasikan strategi baru. Setelah gagal mengaplikasikan strategi
langsung yang mengandalkan keunggulan jumlah (superior number), Diponegoro
menggunakan strategi atrisi (attrition strategy, die Ermattuug Strategie) yang
berarti strategi penjemuan atau penggerogotan, sehingga perang berubah sifatnya
menjadi perang jangka panjang (protracted war).28 Strategi atrisi29 Diponegoro pada
30 Ibid. h.296
20 31 Djamhari, op.cit. h.20-21
32 Djamhari, op.cit. h.93-94
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2018
antara Progo dan Bogowonto merupakan daerah yang subur, penduduknya relatif
padat dan para demang, bekel, dan masyarakat lapisan bawah menjadi pendukung
Diponegoro yang fanatik, dengan pemahaman masing-masing, antara cita-cita
membangun balad Islam dan keinginan melepaskan diri dari penderitaan dan
penindasan penjajah.
Kondisi alam di medan, kelebaran sungai, derasnya arus, kemudahan
untuk memperoleh sarana perbekalan dan peralatan, cuaca, keberanian sebagai
faktor tetap dan faktor tidak tetap yang mempengaruhi pelaksanaan perang dan
pelaksanaan operasi kedua belah pihak. Killing area yang diangankan oleh Jenderal
de Kock tidak pemah tercapai, justru sebaliknya dari bukit-bukit yang terjal pasukan
Diponegoro mampu mengeksploitasi medan. Dari bukit-bukit tersebut dilakukan
taktik perang gunung, bertahan dan menyerang setiap saat tanpa dibatasi oleh
waktu, jumlah logistik dan kondisi cuaca.33
Peta Areal Hasil Bumi untuk Perdagangan Jawa tengah pada masa remaja
Diponegoro
24
40 Peter Carey, Kuasa Ramalan Jilid 1, h.84-87
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2018
Gb. Denah Ndalem Tegalrejo, tempat tinggal Ratu Ageng dan Diponegoro
Remaja (1792-1803)
Ratu Ageng merupakan seorang perempuan yang sangat tangguh. Ia
mendampingi sultan pertama dalam semua pertempuran melawan Belanda (1746-
1755) sebelum perjanjian Giyanti. Bahkan ia melahirkan anaknya (yang kemudian
menjadi sultan ke-2) di lereng gunung Sindoro. Setelah kesultanan Yogyakarta berdiri
pasca perjanjian giyanti, Ratu Ageng menjadi panglima pasukan kawal perempuan,
semacam korps srikandi kerajaan.
Ratu Ageng juga terkenal ketekunannya dalam mempelajari dan menjalankan
nilai-nilai ajaran Islam. Ia suka membaca kitab-kitab agama dan tekun menjaga adat
25
Edisi 4 / Maret 2018 SYAMINA
keraton. Usianya sudah enam puluh tahunan ketika ia mulai mengasuh Diponegoro
yang saat itu baru berusia tujuh tahun.41
Network Diponegoro
Pribadi dan kondisi Diponegoro membuatnya memungkinkan dapat
membangun network dengan hampir semua kalangan. Posisinya sebagai anak dan
cucu Sultan Yogyakarta membuatnya begitu disegani dan menambah kharismanya
sehingga bisa diterima bergaul dengan semua kalangan bangsawan di Yogyakarta.
Pengasuhannya oleh nenek buyutnya, Ratu Ageng yang begitu dekat
dengan para ulama dan komunitas santri juga memberikan pengaruh besar bagi
kepribadian dan pandangan hidupnya serta kemampuannya untuk bergaul dengan
kalangan bawah ketika hidup di tengah-tengah petani dan santri di Tegalrejo dalam
kurun waktu lebih dari sepuluh tahun. Faktor-faktor tersebut telah memungkinkan
Diponegoro untuk membangun network ke berbagai kalangan untuk medukung
perang sabil melawan penjajah Belanda yang ia gelorakan. Berikut ini beberapa
network yang berhasil digalang Diponegoro:
1. Ulama dan Santri
Lingkungan kehidupan di Tegalrejo yang religius membentuk kepribadian
dan karakter Diponegoro sebagai muslim yang taat. Seperti anak Jawa yang
lain pada abad 19, semasa mudanya ia berguru di pesantren, berpindah dari
pesantren yang satu ke pesantren yang lain. Karena itu ia mempunyai banyak
guru (kyai, ulama) dan mempunyai hubungan yang luas dengan komunitas
santri.
Diponegoro juga sangat antusias mendalami sejarah kehidupan Nabi
Muhammad dan sejarah Islam. Kegemarannya berkelana dari pesantren ke
pesantren dari masjid ke masjid ataupun ke tempat-tempat yang sepi, gua-
gua, dengan menyamar sebagai santri. Yang paling membahagiakannya tatkala
ia berkumpul dengan santri rendahan yang miskin (lamun kang den karemi
tunggal santri alit kang samya nisthanipun), mengikuti jejak kehidupan Nabi
Muhammad di masa muda.
Pengembaraannya secara fisik dan spiritual, mengubah sikap, gagasan, dan
pandangannya tentang diri dan masyarakatnya. “Saya bukan Diponegoro saya
adalah Ngabdul Kamid”42 dan ia menanggalkan pakaian Jawa, lalu menggantinya
dengan pakaian yang mencontoh Nabi yang serba putih. Secara simbolik
peristiwa tersebut menegaskan idealismenya untuk mengikuti jejak sang Nabi.
Sejak masa pemerintahan ayahnya ia mengidentikkan masyarakatnya dengan
masyarakat Arab pada pra Islam, yang disebutnya masyarakat jahiliyah. Karena
41 Ibid, h.89-90
42 Nama Ngabdul Kamid, menurut Peter Carey mengadopsi nama Sultan Turki Abd Al Hamid I ( 1774-1789)
dan memberikan inspirasi dan motivasi yang kuat terbadap Diponegoro untuk menjadi contoh dan teladan,
Peter Carey "$atria and Santri, Some Notes on the Relationship Between Diponegoro's Keaton and Religious
26 Supporters During the Java War (1825-30) dalam T. Ibrahim Alfian, (eds) Dari Babad dan Hikayat sampai
Sejarah Kritis, 1987, hal. 271
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2018
27
43 Peter Cerey, Asal-usul Perang Jawa, LKiS Yogyakarta 2001. h.39-40
Edisi 4 / Maret 2018 SYAMINA
Peter Carey menemukan ada 131 kyai, 22 haji, 17 syeh atau syarif, 18
pejabat keagamaan (penghulu, khatib, modin) yang mendukung perang sabil
Diponegoro. Ia menyusun nama-nama pria dan wanita tokoh dari kalangan
santri dan ulama Islam yang mendukung perjuangan Diponegoro, semuanya
berjumlah hampir 200 orang. Di antara mereka terdapat sejumlah orang Arab
dan Tionghoa berdarah campuran (peranakan). termasuk di dalamnya kalangan
santri keraton yang merupakan pejabat agama dan pasukan khusus yang terdiri
dari para pejabat agama seperti kelompok Suronatan dan Suryogomo yang
mengabdi di keraton.
Para penduduk desa-desa perdikan (bebas pajak) dan santri-santri dari
pesantren-pesantren (pathok nagari) yang berada di bawah yuridiksi seorang
ulama atau kyai juga menjadi bagian pendukung perang sabil. Satu kelompok
besar santri lagi adalah yang di bawa oleh Kyai Mojo saat ia bergabung di Selarong
pada awal Agustus 1825. Saat itu Kyai Mojo membawa serta keluarga besarnya
dan para santri yang belajar di pesantrennya di Mojo dan Baderan, kawasan
dekat Delanggu Klaten.
Diantara syekh yang menjadi pendukung Diponegoro adalah syekh Abul
Ahmad bin Abdullah al Anshari dan menantunya yang juga dikenal dengan
syekh Ahmad. Kedua syekh tersebut berasal dari Jedah. Seorang lagi adalah syarif
keturunan Arab bernama Syarif Samperwedi (Hasan Munadi), seorang komandan
28
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2018
Gambar Piagem Dan Surat Resmi Diponegoro dengan Huruf Pegon dan Cap
Resmi
3. Rakyat di Pedesaan
Diantara para pendukung Diponegoro yang berasal dari daerah-daerah
pedasaan, terdapat sebanyak 78 Demang (pejabat pedesaan) yang berasal dari
berbagai wilayah Mataram. Dukungan massa (milisi) untuk Diponegoro datang
dari penduduk desa yang dikoordinir dan dimobilisasi oleh oleh para pejabat
desa (demang) dan para bangsawan yang berpengaruh. Sebagian besar mereka
menggunakan senjata yang amat sederhana, berupa bandul-bandul dan bambu
yang diruncingkan.
52 Beberapa lembar sejarah peperangan Hindia Belanda dari tahun tahun 1820-1840, Amsterdam 1911, h.34,
dalam; Peter Cerey, Asal-usul…, op.cit. h.41
53 Carey, Kuasa Ramalan Jilid 2, h.718-719
32 54 Carey, Kuasa Ramalan Jilid 2, h.719
55 Carey, Kuasa Ramalan Jilid 2, h.715
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2018
Perang ini bukan merupakan sebuah tribal war atau perang suku. Tapi suatu
perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah
dipraktekkan. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war)
melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap
mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi (spionase)
di mana kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai
kekuatan dan kelemahan lawannya.58
De Kock mempelajari dengan cermat situasi perang, untuk menemukan
strategi yang baru, yang memadukan penyelesaian militer dan politik secara
komprehensif. Selama operasi-operasi militer 1825 - 1827, sasaran strategis de Kock
dan van Geen, dengan cara pendekatan langsung, yang meliputi:
Pertama, mengikat persahabatan dengan musuh-musuh Diponegoro,
para pangeran di Kesultanan Yogyakarta, agar setidak-tidaknya tidak membantu
Diponegoro sekalipun bersikap pasif.
Kedua, mengikat persahabatan dengan Sunan Surakarta dan Mangkunagoro,
baik secara militer maupun politis, untuk membentuk pendapat umum bahwa
pemberontakan sebagai perbuatan jahat.
Ketiga, merebut kembali daerah-daerah Kesultanan Yogyakarta yang diduduki
oleh pengikut Diponegoro dan menegakkan kembali keamanan dan pemerintahan
agar pajak-pajak dapat dipungut kembali dan perekonomian berjalan lancar.
Keempat, menggiring pasukan pemberontak ke daerah antara Sungai Progo
dan Bogowonto (killing area), dan selanjutnya di daerah ini pemberontakan akan
dihancurkan.
Kelima, menangkap pemimpin tertinggi pemberontak Diponegoro, sebagai
"center of gravity" atau "to capture of whatever they prize most ".59
Tertangkapnya pimpinan tertinggi pemberontak diharapkan berpengaruh
terhadap pengikutnya dan pemberontakan dapat segera padam. Dalam pikiran de
Kock, sebenarnya ia ingin membiarkan lawan berperang dengan cara perangnya
sendiri, sampai mereka kehabisan logistik, namun ternyata keliru. Prajurit-prajurit
Diponegoro mampu bertahan hanya dengan makan nasi kering (sego aking) dan
garam. Pada bulan Juni 1826, de Kock menyebarkan seruan kepada para pengikut
Diponegoro, bahwa bagi mereka: para tumenggung, demang, ulama, lurah yang
dengan sukarela menyerahkan diri akan diberi pengampunan.60 Secara makro
pelaksanaan operasionalnya gagal karena perang tidak dapat diselesaikan dalam
tempo dua tahun. Kegagalannya operasional 1825 - 1827 dipengaruhi oleh beberapa
faktor.
58 Rijal Mumazziq, Menelusuri Jejak Laskar Diponegoro di Pesantren, Jurnal Falasifa, STAI Al-Falah As-Sunniyyah
Kencong Jember, Vol. 7 Nomor 1 Maret 2016, h.145-146
59 Dalam strategi militer, pemimpin atau tokoh dikategorikan sebagai "center of gravity". Dalam perang kecil,
kecuali pemimpin tertingginya, center of gravity sangat sulit ditentukan. Karena itu sasaran pokoknya adalah
sesuatu yang paling berharga bagi mereka, menangkap atau membunuh para pimpinannya, menghancurkan
sumber penunjang kemampuan perangnya, menawan keluarga atau anak isterinya (to capture of whatever
they prize most), C.E. Call well, 1976, hal. 34. dalam; Djamhari, op.cit. h.108-109
60 ANRI, Oproep H.M. de Kock aan de aanhangers van Diponegoro om den opstand te beeindigen, Juni 1826,
34 Arsip Djocja .9.9.2/7 dalam; Djamhari, op.cit. h.109
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2018
35
61 Djamhari, op.cit. h.276
Edisi 4 / Maret 2018 SYAMINA
Pendekatan Budaya
Sebagai bagian dari operasi militer, de Kock mengutus P.P. Roorda van
Eysinga, Kepala Urusan Pribumi dan seorang ahli tentang orang Jawa (Javanicusi,
untuk datang ke Rembang menemui Kepala Penghulu, Notorojo untuk mengadakan
tukar pikiran tentang orang Jawa. Notorojo memberikan rekomendasi atas empat
hal, agar orang Jawa tidak memberontak,
Pertama, jangan diganggu agamanya.
Kedua, jangan di ganggu anak dan isterinya.
Ketiga, harus saling menghormati.
Black Campaign
Pada rencana operasi tahun 1827, para Komandan diperintahkan untuk
mengintensifkan operasi intelijen mengerahkan pribumi yang dapat dipercaya
dengan diberi bayaran dan perawatan yang baik. Para bangsawan pemilik apanage
yang dengan sengaja di kirim ke medan perang, untuk mempengaruhi masyarakat
agar tidak melakukan “perbuatan jahat”. Istilah ‘’brandal” dipopulerkan di
masyarakat. Dari rencana operasi ini dapat dipahami Jenderal de Kock mulai
melakukan pendekatan baru.67
medan (Pajang, Mataram, Kedu, Bagelen, Ledok, dan Monconegoro Timur) yang
menelan biaya sangat besar dengan jangka waktu perang yang panjang.
Strategi Benteng yang diaplikasikan dalam bentuk operasi-operasi teritorial
yang persuasif dan operasi psikologis berhasil melemahkan sikap fanatisme para
pimpinan pasukan Diponegoro tanpa merasa direndahkan martabatnya.69
Bersamaan dengan aktivitas operasi teritorial, Kolonel Cleerens menambah
jumlah benteng di bekas pangkalan pasukan Diponegoro di Penunggulan, Banyuurip,
Gedungong (Kedunggong), dan Tanggung di sebelah timur Sungai Bogowonto. Pada
prinsipnya operasi teritorial secara strategis sebagai lawan dari operasi teritorial
Diponegoro, yakni merebut daerah secara persuasif untuk memperoleh keleluasaan
ruang gerak bagi pasukan tempurnya. Fungsi benteng yang semula terbatas sebagai
perlindungan dan ertahanan, berubah menjadi tempat melakukan berbagai aktivitas
operasi teritorial, sebagai tempat berunding dengan pimpinan pasukan Diponegoro.
Biasanya perundingan diakhiri dengan pemberian hadiah yang berupa uang, opium
atau kain sarung.70
Pada Rencana Operasi 1827 Jenderal de Kock belum membayangkan berapa
jumlah benteng yang akan dibangun. Benteng baru berfungsi sebagai tempat
berlindung pasukannya dan tempat mengamati daerah yang diperkirakan akan
menjadi pusat kekacauan, seperti Bantulkarang, Selarong, dan daerah tepi barat
Sungai Progo.71
Di desa-desa yang strategis dan terpencil dibangun benteng, sekalipun
dalam bentuk sederhana, tanpa meninggalkan persyaratan pokoknya yaitu harus
dipersenjatai dengan dua pucuk meriam. Pasukan yang melakukan patroli intensif
dan berpindah-pindah sesuai dengan kondisi taktis dan strategis. Konsekuensi dari
pembangunan benteng-benteng adalah pembuatan jaIan dan prasarana lainnya yang
berarti membuka jaringan komunikasi antara daerah baru yang semula terisolasi,
karena benteng berfungsi juga sebagai markas komando yang membawahi sejumlah
pos depan di medan. Jumlah benteng yang dibangun sama dengan luas penguasaan
daerah.
Dari aspek strategi benteng merupakan tanda batas operasi atau prestasi
penguasaan medan, yang mempersempit ruang gerak lawan, yang secara politis
merupakan simbul penguasaan daerah. Akibat dari pembangunan benteng ini
Jenderal de Kock berhasil memaksa pasukan Diponegoro selalu mobil, karena
sempitnya medan, sehingga menguras energi dan membuat mereka frustrasi
karena kecapaian (war fatigue), serta kehilangan kemauannya untuk berperang.
Inilah sukses dari strategi Benteng dari aspek strategi. Oleh karena itu setiap
upaya pembangunan benteng dan keberadaan benteng di suatu medan, dihambat,
dihalang-halangi dan menjadi sasaran strategis pasukan Diponegoro.72
Akhir tahun 1828 masih ada kemenangan gemilang bagi pasukan sabil,
termasuk diantaranya keberhasilan menghancurkan pasukan gerak cepat ke-8
69 Djamhari, op.cit.h.296
70 J. Hageman Jez., 1856, h. 234. Dalam Djamhari, Ibid, h.227
38 71 Ibid, h.123
72 Djamhari, op.cit. h.240
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2018
(kolone mobil 8) di Kroya Bagelan Timur. Namun secara umum pasukan sabil yang
tersisa mulai terdesak dan terjepit oleh musuh. Tertangkapnya Kyai Mojo pada
November 1828 menjadi pukulan berat bagi tentara Diponegoro.
Strategi Belanda mendirikan benteng-benteng darurat untuk melindungi
desa yang baru direbut mulai mempersulit Diponegoro dan panglimanya untuk
mendapatkan pasokan logistik terutama bahan keperluan pokok. Secara khusus
timbul kesulitan memungut pajak guna membiayai seluruh pasukan inti. Sementara
itu di tengah kesulitan ekonomi ini, patih Adipati Abdullah Danurejo dipersalahkan
oleh beberapa panglima atas ketidakbecusan pemerintahannya.
Dalam keadaan yang makin sulit inilah panglima Sentot menulis surat ke
Diponegoro pada Desember 1828. Ia meminta, agar diberi izin untuk langsung
memungut pajak untuk keperluan prajuritnya yang berarti mengabaikan
pemerintahan patih. Permintaan ini menyebabkan Diponegoro sangat prihatin
karena ia sungguh menyadari perannya di mata rakyat sebagai seorang pemimpin,
Sultan dan ratu adil yang akan menjamin berlakunya kebijakan pajak yang ringan
dan tersedianya pangan dan sandang yang murah. Ia khawatir jika jika sentot
diperbolehkan menggabungkan wewenang pemerintahan dan militer, rakyat kecil
akan tertindas dan dukungan mereka terhadap perang sabil akan sirna. Setelah
dimusyawarahkan dengan para penasehatnya akhirnya ia mengabulkan permintaan
Sentot tersebut.
Hal ia khawatirkan akhirnya terjadi. Terjadi beberapa penyimpangan dalam
penarikan pajak, ada yang menarik pajak melebihi ketentuan yang berlaku. Setot
juga sudah tidak fokus dengan perang karena sibuk menerima laporan pajak,
sehingga kurang sigap mengahadapi pergerakan musuh yang berakibat fatal dengan
kekalahan dengan jumlah korban yang banyak.
Dengan semakin banyaknya benteng-benteng Belanda, pemerintahan
Diponegoro sudah kesulitan menyediakan kebutuhan pokok bagi rakyat yang berada
di bawah kontrolnya karena penyaluran logistik terhambat dengan blokade benteng
yang ada di mana-mana. Hal itu mengakibatkan pasokan pangan semakin jarang
dan mahal. Di samping itu jumlah pasar yang berada di bawah kontrol Diponegoro
juga semakin sedikit, membuat pemerintahannya kesulitan membayar gaji para
prajuritnya dan menambah tekanan ekonomi bagi pemerintahannya.
Dengan kondisi semacam itu para pejabat desa yang dulu mendukung
perjuangannya sekarang berbalik melawan dan memilih pulang kembali ke wilayah
yang berada di bawah kendali benteng Belanda dimana mereka dijamin mendapat
kehidupan yang lebih baik dan perlindungan keamanan. Hal itu mungkin juga
dipengaruhi oleh kebijakan dan strategi Belanda yang berusaha mengambil hati
rakyat dengan janji akan memberi bajak, hewan penariknya dan benih secara gratis
jika mereka mau pindah ke daerah yang mereka kuasai. Belanda juga merayu rakyat
dengan mengurangi pajak, memperkecil jumlah pekerja paksa dan membayar lebih
banyak upah buruh harian di sekitar benteng untuk mendorong para petani dan
keluarganya tinggal dan menetap.
39
Edisi 4 / Maret 2018 SYAMINA
Akibat tak terhidarkan dari perkembangan ini, pada akhir September 1829,
pada tahun keempat peperangan, perlawanan teratur terhadap Belanda di daerah-
daerah persawahan subur Jawa Tengah berakhir. Semangat Diponegoro masih
membara, namun pamannya, Mangkubumi dan para komandannya sudah lemah
sekali karena tidak ada yang bisa dimakan.73
Ia ingin seperti sosok sultan Agung yang berkedudukan sebagai raja atau Sultan
sekaligus panotogomo.75
Perbedaan pendapat antara dua tokoh kunci perang sabil tersebut agaknya
diketahui oleh Belanda yang berusaha mengeksploitasi perbedaan pendapat
tersebut untuk kepentingan melemahkan perjuangan Diponegoro. Hal ini terbukti
ketika pada 22 September 1827, datang dua orang utusan Kyai Mojo (H. Ngabdul
Wahab dan Jakaria) pada Jenderal de Kock. Pada kesempatan ini Jenderal de Kock
menulis surat menawarkan sejumlah uang sekiranya Kyai Mojo mau berunding di
suatu tempat, yang jauh dari tempat Diponegoro. Dari tawaran tersebut tampak jelas
usaha Belanda untuk memecah persatuan Diponegoro dengan Kyai Mojo.
Tawaran kali ini tidak menggoyahkan pendirian Kyai Mojo, untuk tetap berdiri
di pihak Diponegoro, Bersamaan dengan tawaran itu Kyai Mojo juga menerima
surat dari Pangeran Purboyo yang menyarankan agar ia menghentikan perang. Ia
membalas: “tidak ada raja yang berbaik budi yang mengangkat derajat para ulama,
selain Sultan Hamid. Darah yang tertumpah dalam perang untuk memperkuat
keyakinan agama berdasarkan perintah al-Qur’an.”
Ngantepi Islamnya samya nglampahi parentah, dalil ing Qur ‘an pan ayat
Katal 76
Mojo, yang berada di tepi barat Sungai Bedog. Pasukan Kyai Mojo yang berkekuatan
500 orang di desa Babedan, disergap oleh detasemen yang dipimpin oleh Letnan
Roeps. Dari tempat tertangkapnya, Kyai Mojo dan pengikutnya dibawa ke Salatiga.
Pada 17 November 1828 Jenderal de Kock datang ke Salatiga, menemui
Kyai Mojo bersama Residen Kedu F.G. van Valek dan Letnan Kolonel Rcest, Kepala
Staf Panglima. Dalam pertemuan itu, Kyai Mojo mengemukakan bahwa dalam
kepercayaan agama Islam di Jawa terutama di Yogyakarta, ada satu keinginan
untuk menghapus kekuasaan raja. Ketika ditanya apakah ia setuju kalau Pulau Jawa
dikembalikan kepada Diponegoro? Kyai Mojo menjawab sebaiknya Pulau Jawa
dikembalikan kepada Diponegoro. Apakah sekiranya pemerintah setuju agama
Islam dijadikan agama negara, apakah Pangeran Diponegoro akan menanda tangani
perjanjian penghentian perang? Kyai Mojo menolak menjawabnya.
Dalam pertemuan tersebut pemerintah Hindia Belanda memberi
kesempatan kepada Kyai Mojo untuk memilih :
a. Bahwa orang-orang Belanda akan berkuasa di Pulau Jawa sampai pemberontak
bersedia bergabung lagi dengan Sunan Surakarta atau Sultan Yogyakarta.
b. Bahwa pemerintah (penjajah Hindia Belanda) tidak mempunyai maksud untuk
mengubah Islam yang menjadi keyakinan mereka. Sebaliknya agama tetap berada
di bawah lindungan Sultan atau Sunan yang tetap setia kepada agama dan negara.
Masalah-masalah yang berkaitan dengan agama tetap bernafaskan Islam dan
mengacu kepada Qur’an.
Kyai Mojo tidak menjawab pertanyaan tersebut dan menyerahkan kepada
adiknya Kyai Hajali ntuk menjawabnya. Dalam masalah agama dan negara ia tetap
memegang teguh prinsip dan pendiriannya. Kyai Mojo tetap sependirian dengan
Diponegoro, menghapuskan kerajaan, dan membangun balad Islam.
Kyai Mojo kemudian menyanggupi akan menulis surat kepada Diponegoro.
Surat Kyai Mojo kepada Diponegoro sangat singkat, ia meminta Diponegoro
mempertimbangkan kembali pendiriannya terhadap pemerintah, ia mengutip ayat
al Qur’an, yang juga diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda, “Als men den vrede
aanbiedt ten goeden, maet de gene aanwien de vrede aangeboden wordt, dit aanbood
aannemen en billijke vaorwaarden (of overeenskomst) maken”, Surat tersebut
dibawa oleh Hajali bersama kitab Tatakul Wahab.78
Diponegoro amat marah setelah membaca surat Kyai Mojo. Perbuatan Kyai
Mojo dinilai sebagai perbuatan nista, perbuatan orang takut mati, menghina para
rekan-rekannya yang telah gugur karena perang sabil menegakkan agama Islam.79
Menurut sumber Belanda, Kyai Mojo menuntut agar ia dan keluarganya bisa
kembali ke Pajang dan memperoleh hak-hak istimewa -seperti yang telah diberikan
pada para bangsawan yang menyerah dan berdamai dengan Belanda-, termasuk
pengakuan atas dirinya sebagai panotogomo di keraton yang difasilitasi pasukan
khusus yang terdiri dari bekas pasukan Bulkio. Namun semua tuntutan itu tidak
dipenuhi Belanda. Satu hal yang tidak disadari Kyai Mojo adalah sikap Belanda
78 Djamhari, op.cit. h.243-245 43
79 Djamhari, op.cit. h.184-185
Edisi 4 / Maret 2018 SYAMINA
yang jauh lebih lunak terhadap bara Bangsawan yang membelot ke pihak mereka
daripada para santri terkemuka seperti dirinya. Hal ini karena ulama dianggap
orang yang bertanggung jawab dalam mengobarkan semangat perang sabil dalam
perlawanan Diponegoro.
Setelah ditangkap Kyai Mojo dikirim ke Salatiga, Semarang dan kemudian ke
Batavia. Di Batavia ia ditahan selama setahun dan dibujuk agar ia mau menggunakan
pengaruhnya untuk membelotkan sejumlah pemimpin perang Jawa yang lain.
Namun karena Belanda gagal membujuknya, maka ia kemudian diasingkan di
Tondano seumur hidup.80
Para komandan Belanda begitu takut dan khawatir dengan pengaruh
dan peran serta para ulama dalam peperangan, sehingga mereka juga berusaha
menyertakan ulama dalam barisan tentara mereka. Mereka memerintahkan para
ulama tersebut untuk memimpin zikir sebelum pasukan berangkat berperang. Hal
itu bertujuan untuk menguatkan semangat tempur pasukan Belanda dari unsur
pribumi yang beragama Islam. Para komandan Belanda juga mengikutsertakan tokoh
agama terkemuka dalam berbagai perundingan dengan pihak Diponegoro sebelum
1830 dengan harapan akan meningkatkan kekuatan runding mereka. Setelah perang
usai para ulama pendukung Diponegoro juga berusaha direkrut untuk menduduki
jabatan penghulu dan asisten penghulu di berbagai kabupaten yang baru dibentuk
di daerah-daerah yang baru direbut pada 1830.81
47
84 Djamhari, op.cit.h.268-272
Edisi 4 / Maret 2018 SYAMINA
Pada akhir tahun 1829, Diponegoro beserta sisa pasukannya telah secara
jelas diketahui posisinya, yang secara militer tidak ada artinya lagi, tinggal diserbu
dan Diponegoro ditembak mati. Tapi Jenderal de Kock tidak berbuat demikian, ia
sadar tatkala ia mengumumkan akan memberikan hadiah besar: “barang siapa yang
bisa menangkap Diponegoro hidup atau mati akan mendapat hadiah uang yang
sangat besar sebanyak SpM.20.000, namun tidak seorang Jawa pun yang tertarik dan
menanggapi, ini berarti Diponegoro pengaruhnya masih terlalu besar di kalangan
orang Jawa, sekalipun mereka berpihak padanya. Ia dihadapkan pada dua pilihan,
menyerbu dan mengejar (vervolging) atau melakukan tipu daya (overreding).
Sebagai pribadi ia sebenarnya ingin mengakhiri perang secara kesatria
sebagai seorang prajurit, tetapi ia juga tidak ingin menjadikan Diponegoro sebagai
pahlawan. Sebagai seorang ahli strategi, ia mengembalikan permasalahan perang ke
pokok permasalahan awal. Diponegoro telah melanggar hukum kolonial Belanda,
tetapi ia tidak menghendaki kematian Diponegoro, karena ia tidak ingin orang
Belanda dianggap sebagai musuh orang Jawa,85 sekalipun ribuan prajuritnya tewas
dalam peperangan.
Ia ingin memberi bukti kepada para penentangnya bahwa konsep strategi
Benteng sebagai sistem senjata adalah yang tepat, sekalipun pelaksanaannya
didukung oleh biaya yang terbatas dan kekuatan prajurit yang terbatas, tetapi mampu
menaklukkan Diponegoro yang sekaligus menaklukkan kekuatan militer orang Jawa
dan menghapus sumber perang permanen yang menjadi kebiasaan para bangsawan
feodal di Kerajaan Mataram sejak masa pemerintahan Amangkurat II (1704-1708).
Oleh karena itu ia memilih pilihan kedua, memperdaya dan membujuk Diponegoro
agar ia keluar dari “kantong” pertahanannya.
Pilihan pertama dinilai merugikan baik material maupun moril. Serbuan
terhadap kantong pertahanan terakhir Diponegoro, memerlukan biaya yang besar
dan belum tentu berhasil, sedang kondisi pasukannya termasuk pasukan lokal
sudah lelah berperang dan minta pulang kembali ke daerah asalnya. Kondisi ini yang
menjadi dasar oleh de Kock memilih pilihan kedua, memperdaya dan membujuk
Diponegoro agar ia ke luar dari “kantong pertahanannya” secara damai, kemudian
menangkapnya.
De Kock ingin mengexploitasi nilai-nilai budaya dan karakter kesatria
bangsawan Jawa sebagai kelemahan. Nilai-nilai dan karakter kesatria tersebut ada
pada pribadi Diponegoro. Nilai-nilai budaya kekesatriaan, yang dianggap luhur antara
lain seorang kesatria pantang ingkar terhadap janji. Karena itu ia memerintahkan
Kolonel Cleerens agar melakukan aksi tipu daya terhadap Diponegoro, sampai dia
mengucapkan janjinya.86
Pada tanggal 21 Februari 1830 tiba di Menoreh untuk berunding dan
mengakhiri perang dengan pihak Belanda, dikawal oleh 700 orang prajurit.
Kedatangan Diponegoro disambut dengan penghonnatan yang besar-besaran oleh
rakyat. Mereka secara sukarela menyediakan berbagai makanan untuk prajurit
85 Ada pepatah Jawa yang bidup sebagai tradisi, lego larane ora tego patine, (ikhlas ia dihukum, tetapi tidak
48 ikhlas jika dibunuh).
86 Djamhari, op.cit. h.279-280
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2018
Ayahku yang tercinta dan terbaik, Hari pertama [di Makassar] akan melihat
Benteng [Rotterdam] di sini, saya bertemu dengan tawanan kita yang
tampak tak bahagia, Diepo Negoro (Diponegoro), yang jatuh ke tangan kita
sebenarnya secara khianat.89
Diponegoro pasrah terhadap takdir (angur sun sumendhe takdir) karena dia
tidak memiliki apa-apa lagi di tanah Jawa, Untuk menghormati mereka yang gugur
dalam peperangan, karena membela dan melaksanakan perintahnya lebih baik ia
meninggalkan tanah Jawa.
Jenderal de Kock dalam laporannya kepada Gubemur Jenderal van den Bosch,
antara dia dan Diponegoro terlibat percakapan yang panjang, yang disimpulkan
bahwa Diponegoro masih berpegang teguh pada pendiriannya, bahwa dia adalah
seorang Pemimpin Agama dan Sultan. Sebaliknya de Kock tetap menganggap
Diponegoro sebagai tawanannya. Pada suatu kesempatan, “saya perlu bertindak,
saya perintahkan pasukan untuk melucuti para pengikutnya dan dia ditangkap
langsung dinaikkan kereta dikawal oleh Mayor de Stuers dan Kapten Roeps dibawa
ke Semarang.”
kemudian menuliskan seluruh kejadian yang ia alami dan cita-cita yang ia impikan
dalam sebuah karya yang monumental, Babad Diponegoro sebagai pelajaran yang
sangat berharga bagi generasi penerus perjuangannya.
Penutup
Di awal perang sabil tentara sabil Diponegoro lebih unggul di berbagai medan
perang, sebagian besar peperangan yang terjadi sampai akhir tahun 1826 dimenangkan
oleh pasukan Diponegoro. Namun network yang dibangun Diponegoro mulai goyah
setelah satu persatu berusaha dihantam dan dihancurkan oleh pasukan penjajah.
Sehingga setelah unggul selama dua tahun keadaan mulai berbalik setelah de Kock
menerapkan strategi baru dengan menggerogoti sendi-sendi kekuatan tentara sabil
Sultan Ngabdulkhamid.
Dalam teori perang melawan network, Belanda menggunakan Offensive
Swarming untuk melemahkan dan menghancurkan network yang dibangun
Diponegoro. Strategi baru tersebut berhasil melemahkan dan menghancurkan
network kekuatan Diponegoro secara perlahan, sedikit demi sedikit dan diakhiri
dengan tipudaya yang memalukan -pejabat Belanda sendiri merasa malu untuk
mengungkapkannya- untuk mengakhiri perang.
Jendral de Kock tidak nyaman dengan perbuatannya memperdayai dan
menipu Diponegoro. Ia dengan tidak ksatria menangkap Diponegoro dalam meja
perundingan yang seharusnya dihormati dan dilindungi sebagaimana sebuah
perjanjian gencatan senjata yang disepakati. Ia juga mengingkari janji yang
sebelumnya disampaikan pada Diponegoro, bahwa ketika perundingan gagal
Diponegoro akan dibiarkan dengan aman kembali ke markasnya.
Ketidaknyamanan tersebut ditambah lagi dengan kritikan dari bebrapa teman
sejawatnya yang mengkritik tindakan dia yang tidak bisa memenangkan perang secara
ksatria dan sebaliknya dengan ingkar janji dan penipuan. Namun hal itu terpaksa 51
Edisi 4 / Maret 2018 SYAMINA
ia lakukan karena ia tak punya pilihan lain yang menguntungkan pihaknya untuk
menghentikan perang Diponegoro yang telah banyak merugikan penjajah Belanda,
memakan waktu yang lama dan mengakibatkan banyak tentaranya tewas serta telah
mengahbiskan biaya yang sangat besar. Selain itu perlawanan diponegoro baginya
adalah batu sandungan yang sangat berbahaya bagi misi penjajahan Belanda di Jawa
yang subur kalau tidak segera dihentikan.
Sebenarnya siapa yang menang dalam perang ini? Dari sisi militer Belanda
telah memenangkan pertempuran karena berhasil menyingkirkan batu sandungan
yang berusaha menghalangi misi penjajahan untuk mengeruk kekayaan sebesar-
besarnya dari negeri yang dijajah bagi kepentingan negara Belanda di Eropa.
Namun di satu sisi, walaupun kalah secara militer, Diponegoro dan para
pejuang pendukungnya telah berhasil mengerjakan kewajiban dan amanat yang
diberikah Allah untuk menegakkan agama Islam di Jawa. Kewajiban itu telah berhasil
dilaksanakan walaupun tujuannya belum tercapai. Karena kewajiban Diponegoro
dan orang Jawa pendukungnya hanyalah mengerjakan perintah Allah di dalam Al
Qur’an sebagaimana ditulis Ngabdulkhamid dalam Babad Diponegoro, adapun
hasilnya Allah yang menentukan. Hal ini sebagaimana kewajiban manusia untuk
bekerja memenuhi perintah Allah, adapun seberapa hasil yang diperoleh adalah
sesuai kehendak Allah, dan manusia harus menerima dengan senang hati berapapun
hasilnya. Kalau banyak atau sedikit tetap bersyukur dan kalau belum mendapatkan
bersabar.
Demikian jualah yang dilakukan Diponegoro ketika dia sudah berusaha
maksimal sesuai kemampuannya namun hasilnya belum sesuai yang diharapkan, ia
menerima takdir dan tetap dalam pendiriannya dan yakin dengan kebenaran jalan
yang selama ini iatempuh. Manuasia harus berusaha dengan sungguh-sungguh,
setelah itu menyerahkan hasilnya pada Allah (ikhtiar kemudian tawakkal dan
qonaah).
Daftar Pustaka
Abdul Qadir Djaelani, Perang Sabil Versus Perang Salib: Ummat Islam Melawan
Penjajah Kristen Portugis Dan Belanda, Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-
Munawwarah, Jakarta, 1999.
Diponegoro, Babad Dipanegara ing nagari Ngayogyakarta Adiningrat, jilid I dan
II (salin aksara Ny. Dra. Ambaristi dan Lasman Marduwiyota), Jakarta, 1983,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra
Indonesia dan Daerah.
Gordon Hahn, ”The Jihadi Insurgency and the Russian Counterinsurgency in the North
Caucasus,” Post-Soviet Affairs 24, no. 1 (January–March 2008).
Ika Fatmawati, Peranan Tumenggung Seconegoro Dalam Perang Diponegoro Di
Kadipaten Ledok (1825-1830), Skripsi Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan
52
Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, 2013.
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2018
Michael T. Flynn, Matt Pottinger, dan Paul D. Batchelor, Fixing Intel: A Blueprint for
Making Intelligence Relevant in Afghanistan, Washington, D.C.: Center for a
New American Security, 2010.
Mustarom, Network Vs Network, Saat yang Kecil Melawan yang Besar, Syamina ed.5,
September 2013
Norbertus Gilang Pradipta Kuncoro, Peran Masyarakat Dekso Dalam Perang Jawa
1825 -1830, Skripsi Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta 2013.
Pangeran Dipanegara, Babad Dipanegara, edisi terjemah, Penerbit Narasi Yogyakarta,
2016.
Peter Carey, Kuasa Ramalan, Pangeran Diponegoro Dan Akhir Tatanan Lama Di
Jawa, 1785-1855, Jilid 1, Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Jakarta, 2011.
Peter Carey, Kuasa Ramalan, Pangeran Diponegoro Dan Akhir Tatanan Lama Di
Jawa, 1785-1855, Jilid 2, Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Jakarta, 2011.
Peter Carey, Menghadapi Zaman Edan: Etnisitas & Globilisasi di Jawa Tengah-
Selatan pada Era Gelombang Globalisasi Kedua (1750-1850): Teladan
Pangeran Diponegoro (1785-1855): Suatu Warisan dan Suatu Tantangan bagi
Bangsa Indonesia, Summer School Lecture for the ICRS, Yogyakarta, 26 June
2013, kebudayaan.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2013/07/ICSSIS-
Presentation-Yogyakarta-13-June-2013.pdf (seluruh gambar dalam tulisan ini
diambil dari sumber tersebut)
Peter Carey, Asal-usul Perang Jawa, Penerbit LKiS Yogyakarta 2001.
Peter Carey, The Power Of Prophecy, Prince Dipanagara and the end of an old order in
Java, 1785-1855, Second edition KITLV Press Leiden 2008.
Rijal Mumazziq, Menelusuri Jejak Laskar Diponegoro di Pesantren, Jurnal Falasifa,
STAI Al-Falah As-Sunniyyah Kencong Jember, Vol. 7 Nomor 1 Maret 2016.
Saleh Asad Djamhari, Stelsel Benteng Dalam Pemberontakan Diponegoro 1827-1830,
Suatu Kajian Sejarah Perang, Disertasi Bidang Ilmu Pengetabuan Budaya
Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia 2002.
Saleh As’ad Djamhari, Strategi Menjinakkan Diponegoro, stelsel Benteng 1827-1830,
Komunitas Bambu, cetakan kedua, Maret 2014.
Simon C. Kemper, War-bands on Java: Military labour markets described in VOC
sources, Research Masters in Colonial and Global History, Department of
History, Leiden University 2014.
Subroto, Beban Pajak, Prakondisi Jihad Diponegoro, Syamina edisi 12, September
2017
53