Anda di halaman 1dari 53

STRATEGIBELANDA

MENGHANCURKAN NETWORK
DIPONEGORO
K.SUBROTO
SYAMINA

Strategi Belanda Menghancurkan Network


Diponegoro

K. Subroto

Laporan
Edisi 4 / Maret 2018

ABOUT US
Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah
lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala
bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh
semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak
media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk
menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas
dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada
metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini
merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.

Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami,


kirimkan e-mail ke:
lk.syamina@gmail.com
Seluruh laporan kami bisa didownload di website:
www.syamina.org
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2018

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI — 3
EXECUTIVE SUMMARY — 4
Kewajiban dan Tanggung Jawab Menegakkan Agama Islam di Jawa — 7
Persiapan yang Matang — 9
Belanda Kewalahan Menghadapi Diponegoro dan orang Jawa — 14
Network atau Jaringan — 21
Teori Strategi Kontra Network — 22
Para Wanita Tangguh yang Menempa Diponegoro — 23
Network Diponegoro — 26
Strategi Melemahkan dan Menghancurkan Network Diponegoro — 33
Pendekatan Budaya — 36
Black Campaign — 37
Offensive Swarming Dengan Stelsel Benteng Pasukan Gerak Cepat — 37
Usaha Merobohkan Tiang-tiang Penyangga (Ulama dan Santri) — 40
Menggerogoti Network dari Kalangan Bangsawan — 44
Tipudaya Untuk Mengakhiri Perang — 46
Penutup — 51
Daftar Pustaka — 52

3
Edisi 4 / Maret 2018 SYAMINA

EXECUTIVE SUMMARY

P
erang Diponegoro adalah sebuah perlawanan untuk merebut kekuasaan
politik di Kesultanan Yogyakarta yang direncanakan secara cermat, rahasia,
dan lama, dengan tujuan membangun balad Islam yang berlandaskan Al
Qur'an di tanah Jawa. Sifat agamis perang ini mengandung banyak sisi sebagai
perang suci, atau perang sabil (jihad fi sabilillah).
Berkenaan dengan itu, Menteri Kelautan dan Jajahan Belanda, C.Th. Elout
(menjabat 1824-1829) mengemukakan dalam suratnya kepada raja Belanda tatkala
ia menolak gagasan untuk berdamai dengan Diponegoro dan mengakuinya sebagai
raja yang terpisah dari Kesultanan Yogyakarta. Elout beralasan kuatnya pengaruh
keagamaan dalam peperangan tersebut. Menurutnya perang itu benar-benar
telah mengancam landasan kekuasaan Kristen Eropa di Jawa, karena hanya faktor
agamalah yang membedakan dengan perang-perang perebutan takhta sebelumnya.
Dari sudut kemiliteran, perang Diponegoro adalah perang pertama yang
melibatkan semua metode yang dikenal dalam perang modern. Baik metode perang
terbuka (open warfare), maupun metode perang gerilya (guerrilla warfare) yang
dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan (Surpressing). Perang ini
bukan merupakan sebuah tribal war atau perang suku. Tapi suatu perang modern
yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum banyak dikenal. Perang ini
juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war) melalui berbagai bujukan
dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang
terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi (spionase) di mana
kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan
dan kelemahan lawannya.
4
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2018

Dalam Babad Dipanegara versi Surakarta, disebutkan bahwa "banyak para


Tumenggung (bupati), Kliwon, Penewu, Mantri, Pangeran, dan Aria, hampir setiap
malam datang ke Tegalrejo dan berjanji setia dan akan mendukung Diponegoro,
untuk melakukan perang sabil. Pada awal perang Diponegoro, sebanyak 15 pangeran
dari 29 pangeran yang tersisa di Yogyakarta mendukung perjuangan Diponegoro.
Para abdi dalem kraton dan anggota pasukan pengawal sultan juga mendukung
dan bergabung dengan pasukan Diponegoro. Para Bupati saat itu tak kalah antusias
menyambut seruan Diponegoro. Sebanyak 41 bupati dari total 88 bupati di wilayah
Yogyakarta telah menyatakan dukungan dan kesetiaannya ikut berjuang bersama
pasukan Diponegoro. Tiga orang Bupati Monconegoro timur juga memihak
Diponegoro.
Para haji dan para kyai serta orang-orang yang berpengaruh di desa-desa di
wilayah Yogyakarta dan surakarta juga menggunakan pengaruh mereka untuk
membangkitkan dukungan mneggelorakan perang sabil di desa dan wilayah mereka
masing-masing. Menurut penelitian Peter Cerey, ada 131 kyai, 22 haji, 17 syeh atau
syarif, 18 pejabat keagamaan (penghulu, khatib, modin) yang mendukung perang
sabil Diponegoro.
Sebagian besar rakyat Jawa dengan sukarela mendukung dan bergabung dengan
pasukan sabil Diponegoro. Diantara para pendukung Diponegoro yang berasal dari
daerah-daerah pedasaan, terdapat sebanyak 78 Demang (pejabat pedesaan) yang
berasal dari berbagai wilayah Mataram. Diponegoro benar-benar telah berhasil
menyatukan seluruh komponen dan sumberdaya masyarakat Jawa saat itu melawan
musuh bersama, kafir Belanda dan Cina yang telah menyengsarakan rakyat.
Sikap tidak terang-terangan dari sebagian besar bangsawan dan kepala-
kepala desa (demang dan bekel) yang berpihak kepada Diponegoro membuat
tentara penjajah kebingungan karena sulit membedakan antara kawan dan lawan.
Kenyataannya mayoritas masyarakat saat itu memandang tentara Belanda sebagai
lawan.
Dengan dukungan perang sabil yang begitu kuat dari seluruh rakyat Jawa membuat
penjajah Belanda khawatir, cemas dan kuwalahan menghadapi perlawanan. Di awal-
awal perang Belanda kocar-kacir menghadapi perlawanan rakyat. Setelah tahap-
tahap akhir Belanda baru mereka menemukan formula untuk mengakhiri perang.
Akhir tahun 1826 situasi mulai berbalik, pasukan Diponegoro mulai kewalahan
dengan strategi baru penjajah. Strategi baru itu adalah gabungan antara strategi
benteng darurat (benteng stelsel) dan pada saat yang sama melipatgandakan pasukan
gerak cepat. Pada saat dimulai strategi benteng hanya ada 8 kolone pasukan gerak
cepat, tetapi saat akhir perang berlipat ganda menjadi 14 kolone. Daerah operasi
mereka terentang dari dari Banyumas di Sebelah Barat sampai ke Boyolali di Sebelah
Timur.
Di samping strategi militer, dilakukan juga strategi politik dan psikologis serta
pendekatan personal dengan menawarkan uang, jabatan, hadiah dan berbagai
fasilitas menarik bagi para pemimpin dan komandan perang sabil yang mau
5
membelot atau menyerah pada penjajah Belanda.
Edisi 4 / Maret 2018 SYAMINA

Sejak 1827, pimpinan operasi diambil alih oleh Jenderal de Kock, dari tangan
Mayor Jenderal van Geen. Jenderal de Kock kemudian menetap di Markas Besar di
Magelang. Pada tahun ini Jenderal de Kock merintis perundingan dengan tokoh-tokoh
perlawanan. Oktober 1828, Belanda memulai berusaha melobi Kyai Mojo, karena
Kyai Mojo memiliki prajurit 2000 - 3000 orang. Sekalipun belum membuahkan hasil,
yang terpenting adalah peristiwa ini memberikan efek psikologis para pengikutnya.
Bagaimana pun bentuk operasi taktisnya, Jenderal de Kock tetap berpegang
pada strategi besarnya, merebut kembali wilayah Kesultanan Yogyakarta dengan
melipatgandakan pasukan gerak cepat dan sistem benteng serta melalui indirect
approach dengan mengejar center of gravity atau to capture whatever they prize most
pihak lawan.
Sebagai bagian dari operasi militer, de Kock juga mengutus P.P. Roorda van
Eysinga, Kepala Urusan Pribumi dan seorang ahli tentang orang Jawa (Javanicusi)
untuk datang ke Rembang menemui Kepala Penghulu, Notorojo untuk mengadakan
tukar pikiran tentang orang Jawa. Notorojo memberikan rekomendasi atas empat
hal, agar orang Jawa tidak memberontak. Menurut sejarawan Inggris, Peter Cerey,
kegagalan Belanda menghancurkan perang sabil yang dilancarkan Diponegoro
dengan cepat, dan berlarutnya pertempuran dalam perang Jawa disebabkan karena
ketiadaan seorang penasehat strategi militer seperti Snouck Hurgronje.
Sultan Ngabdulkhamid, -nama yang dipakai Diponegoro sampai akhir hayatnya-,
telah mempunyai keberanian dan tekad yang kuat untuk melawan kekuatan militer
yang belum pernah terkalahkan di Jawa saat itu, berani melawan kezaliman dan
hegemoni penjajah Belanda dan berusaha merubah masyarakat jahiliyah menjadi
masyarakat Islami. Ia telah berusaha sekuat tenaga mencurahkan segala potensi
yang ia miliki untuk mengerjakan perintah Allah dalam Al Qur’an, memuliakan
agama Islam di tanah Jawa.
Ngabdulkhamid telah mengorbankan segala yang ia punya bahkan yang paling
berharga yaitu diri dan nyawanya untuk menegakkan agama Islam di tanah Jawa.
Allah yang akan menilai seluruh perjuangan dan pengorbanannya untuk memuliakan
dan membebaskan wong Jowo dari penindasan, kezaliman dan penjajahan. Ia telah
menyiapkan dengan persiapan yang matang perang sabil yang ia kobarkan. Namun
Yang Maha Kuasa belum mengabulkan keinginannya, dan ia menerima dengan sabar
segala ketentuan yang menimpanya. Apa yang dilakukan benar-benar telah memberi
pelajaran yang sangat berharga bagi generasi penerusnya dalam menjalankan
kewajibannya sebagai hamba Allah; ikhtiar (berusaha sekuat tenaga), tawakkal
(menyerahkan hasilnya pada Allah) dan qonaah (menerima segala ketentuan Allah
apapun hasilnya).

6
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2018

Strategi Belanda Menghancurkan


Network Diponegoro

P
erjuangan yang dilakukan Diponegoro adalah perjuangan untuk merebut
kekuasaan politik di Kesultanan Yogyakarta (yang saat itu berada dalam
kontrol penjajah Belanda) yang direncanakan secara cermat, rahasia, dan
lama, dengan tujuan membangun balad Islam yang berlandaskan Qur'an di tanah
Jawa. Pemberontakan ini pada hakekatnya adalah manifestasi dari konflik yang
latent di antara bangsawan Jawa, yang oleh John Keegan disebut sebagai permanent
warfare yang beraspek politik dan budaya.1

Kewajiban dan Tanggung Jawab menegakkan Agama Islam di Jawa


Pada 21 Ramadhan Dal sebelum pecahnya perang Jawa, tatkala Diponegoro
sedang menyepi, menyendiri untuk mendekatkan diri dengan sang Pencipta (iktikaf),
seolah-olah ada orang yang datang dan mengaku utusan Ratu Adil menyampaikan
pesan agar Diponegoro menghadap padanya. Diponegoro mengikuti utusan itu.
Dalam dialog, Ratu Adil berkata: "He Ngabdulkhamid, kupanggil kau kemari,
rebutlah tanah Jawa. Bila ada orang bertanya dasarnya adalah ayat Qur’an. Cari itu
di ayat Quran (nawanalina Kuran)!” Ngabdulkhamid menjawab, “mohon maaf saya
tidak sanggup, saya tidak memiliki prajurit” (amba nuwun sampun tan kuwawi jurit,
lawan tan saged ika).2 Di sini terjadi “perang batin” dalam diri Diponegoro, antara
keinginan yang kuat (ambisi) dan keraguan.

1 Saleh Asad Djamhari, Stelsel Benteng Dalam Pemberontakan Diponegoro 1827-1830, Suatu Kajian Sejarah
Perang, Disertasi Bidang Ilmu Pengetabuan Budaya Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia 2002,
h.295
2 Diponegoro, Babad Dipanegara ing nigari Ngayogyakarta Adiningrat, jilid I (salin aksara Ny. Dra. Ambaristi
dan Lasman Marduwiyota), Jakarta, 1983, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku
Sastra Indonesia dan Daerah. hal, 173. menurut Djamhari, ''perintah Ratu Adil" adalah sesuatu yang simbolik, 7
Diponegoro tidak secara jelas menyatakan "keputusannya" untuk memberontak, melawan penjajah.
Edisi 4 / Maret 2018 SYAMINA

Keputusan yang digambarkan secara simbolis sebagai “perintah” Ratu Adil,


sebenarnya merupakan kemenangan ambisinya terhadap keraguannya. “Perintah”
dipahami sebagai kewajiban dan tugas yang harus dilaksanakan untuk mencapai
tujuan (mission). Tugas membangun masyarakat baru dalam balad Islam sudah tiba
saatnya. Demikian yang ditulis dalam Babad Diponegoro.
Penolakannya terhadap tawaran Residen John Crawfurd untuk menjadi putera
mahkota dan tawaran Residen Baron de Salis untuk diangkat sebagai Sultan, adalah
suatu sikap yang konsisten dengan cita-citanya, mengubah masyarakat jahiliyah ke
masyarakat baru dalam sebuah balad Islam.

Sultan Hamengkubuwono IV dengan seragam Jenderal Belanda3


Kebenciannya terhadap Patih Danurejo, di samping bersifat pribadi, juga
kebencian yang bermuatan politik dan kultural telah demikian mendalam. Danurejo
yang secara politis berhasil mengendalikan pemerintahan yang berpengaruh
terhadap sikap dan kebijaksanaan pemerintahan adiknya Sultan Hamangkubuwono
IV, yang kebarat-baratan, dan sangat merugikan rakyat. Ditambah lagi dengan
meluasnya pergaulan bebas para bangsawan meniru gaya hidup orang-orang
8 3 Sultan ke-empat, adik Diponegoro yang gemar berseragam militer Belanda. Kalau tidak dilarang oleh
Diponegoro dia akan memakai untuk upacara Garebeg.
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2018

Eropa dianggap telah merusak nilai-nilai budaya Jawa. Kesultanan Yogyakarta telah
dikuasai dan diperintah oleh sekelompok orang yang tidak mempunyai hak secara
garis keturunan.
Pihak pemerintah penjajah Belanda tidak waspada terhadap tingkah laku
Diponegoro dan tidak sadar ada bahaya yang mengancamnya. Residen Smissaert
yang menyenangi kehidupan “mewah” rupanya bukan pejabat sipil yang baik. Ia
hanya bekerja tiga hari dalam seminggu, sisa waktunya dihabiskan di perkebunannya
di Bedoyo.
Urusan pemerintahan sehari-hari diserahkan kepada Asisten Residen bernama
Chevallier, seorang bujangan yang juga suka bermain asmara dengan putri-putri
kraton. Mereka terjebak dan terbuai oleh berita-berita keamanan dan ketertiban
yang baik, yang mungkin sengaja dihembuskan oleh pengikut Diponegoro.4

Persiapan yang Matang


Untuk merealisasikan cita-cita dan ambisinya sebenarnya Diponegoro telah
mempersiapkannya hampir selama 13 tahun (1812-1825). Aktivitas lobbying dengan
membuat jaringan komunikasi dengan komunitas santri kecil dan berguru berpindah-
pindah tempat (santri kalong), adalah upaya mencari simpati dan dukungan di
kalangan masyarakat.
Untuk menegakkan Islam di Jawa, Diponegoro mempersiapkan kekuatan militer,
memilih tempat strategis sebagai pusat pemerintahannya (Selarong), pangkalan-
pangkalan perlawanan di beberapa tempat strategis di wilayah Kesultanan serta
mencatat secara cermat lawan-lawan politiknya. Persiapan logistik strategis,
membangun tempat pembuatan senjata dan mesiu, membeli padi secara besar-
besaran adalah indikasi yang mengarah pada usaha untuk merebut kekuasaan
negara Kesultanan Yogyakarta.
Diponegoro ingin menjadi Sultan yang terbebas dari ikatan masyarakat Jawa
yang jahiliyah, yang telah dipengaruhi oleh budaya kafir. Ia menanggalkan baju
Jawanya dan menggantikannya dengan jubah, pakaian Rasul. Susunan organisasi
pasukannya dan hirarki kepangkatannya meniru model Turki Usmani, bukan model
barat. Pangkat-pangkat seperti Alibasah, Basah, Dulah dan Seh tidak terdapat dalam
organisasi kemiliteran kraton Jawa. Garis komando antara Diponegoro dan para
pimpinan mandala perang sangat jelas.5
Perebutan kekuasaan politik negara memerlukan suatu conspiracy of silence
untuk membina kekuatan politik maupun militer. Penolakan Diponegoro tatkala
dicalonkan sebagai putera mahkota oleh John Crawfurd (1812) dan tawaran sebagai
Sultan oleh Residen Baron de Salis (1822) menjadi bukti bahwa ia mempunyai
pendirian dan ideologi sendiri tentang negara dan sistem kenegaraan.
Setidak-tidaknya selama tempo dua belas tahun, Diponegoro mempersiapkannya.
Pembuatan pabrik mesiu di desa Geger di bawah Tumengung Brojosentiko, di selatan
Yogyakarta, Parakan, Gunung Kidul, dan di Kembangarum (Kedu), pembelian padi
4 Saleh Asad Djamhari, Strategi Benteng Stelsel, h.73 9
5 Djamhari, op.cit. h.25-27
Edisi 4 / Maret 2018 SYAMINA

secara besar-besaran oleh masyarakat pada pertengahan tahun 1825, adalah bagian
dari persiapan tersebut. Tatkala terjadi kekosongan kepemimpinan di Kesultanan
secara de facto, merupakan momentum yang tepat dan peluang baik bagi Diponegoro
sebagai saat yang baik untuk merebut kekuasaan.
Insiden saat penobatan Sultan, penutupan jalan dan serbuan ke Tegalrejo
merupakan pemantik yang menyalakan api pemberontakan yang telah dipersiapkan.
Sementara masyarakat yang karena penderitaannya sedang merindukan datangnya
seorang Ratu Adil, karena masyarakat Jawa telah menderita selama hampir 70 tahun.6
Menurut sumber keraton, sebelum pecah perang, Diponegoro mengadakan
pertemuan dengan Pangeran Joyokusumo (pengikut setia HB II) dan adiknya untuk
koordinasi rencana penggalangan dukungan dari berbagai desa di tanah yang mereka
kuasai. Selain Pangeran Joyokusumo banyak diantara pendukung HB II (sultan
sepuh) yang digalang oleh Diponegoro.
Saat Diponegoro dan Mangkubumi mengibarkan panji perang sabil di Selarong
pada tanggal 21 Juli 1828, sejumlah persiapan telah dilakukan untuk memobilisasi
para petani dan penggarap tanah. Untuk persiapan perang sabil Diponegoro
membebaskan pajak para petani selama 2 bulan sebelum dimulainya perang, agar
para petani bisa menggunakan uangnya untuk membeli senjata dan perbekalan.7
Senjata dan perlengkapan militer diponegoro tidak kalah dengan musuhnya,
mereka menguasai semua jenis senjata yang digunakan musuhnya, sehingga ketika
berhasil merampas senjata dari musuh pasukan dapat menggunakannya dengan
baik. Tentara reguler Diponegoro memiliki senjata api dan meriam yang bagus.
Seorang komandan pasukan belanda melaporkan tentang kubu pertahanan yang
berhasil direbut dari pasukan reguler Diponegoro:
“Belum pernah mereka menunjukkan perlawanan yang begitu hebat.
Senjata mereka semua baik dan terdiri dari model Eropa yang lazim.
Meriam satu-satunya yang mereka tinggalkan di benteng mereka
merupakan meriam yang bagus berkaliber satu pon.”
Walaupun perlengkapan Belanda yang dirampas banyak dimanfaatkan,
Diponegoro juga mendapatkan mesiu dari produsen lokal yang telah dipersiapkan di
desa-desa di berbagai kabupaten bagian Selatan dan Barat Yogya. Desa-desa tersebut
antara lain desa Samen di kawedanan Pandak dekat Bantul, Into-into di kali Progo,
dan desa Geger (Samigaluh) serta Dekso di Kulonprogo.
Di kawasan Dekso juga memproduksi peluru meriam dari timah untuk pasukan
Diponegoro. Menurut sejarawan militer Belanda, P.M. Lagordt-Dillie, mesiu yang
dihasilkan sendiri oleh pasukan Diponegoro, khususnya yang dibuat di into-
into bermutu sangat tinggi.8 Di Kulonprogo ada seorang ulama yang ahli dalam
pembuatan mesiu yaitu Haji Amattahir. Ia adalah salah seorang ulama kepercayaan

6 Djamhari, op.cit. h.73


7 Peter Carey, Kuasa Ramalan, Pangeran Diponegoro Dan Akhir Tatanan Lama Di Jawa, 1785-1855, Jilid 2,
10 Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Jakarta, 2011, h.698
8 Ibid. h.716-717
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2018

Sultan Hamengkubuwono II yang kemudian diangkat menjadi Demang Desa Samen


dan menjadi salah satu pendukung Diponegoro mengobarkan perang sabil.9
Pada tanggal 19 juli, Demang Grojogan (dekat Surakarta) bersama 100 orang
pengikutnya berangkat ke Tegalrejo untuk mendukung perjuangan Diponegoro.10
Pada pertengahan bulan Juli 1825 di Tegalrejo telah berkumpul lebih kurang 1500
orang. Peristiwa pematokan tanah Diponegoro menjadi pemicu awal mobilisasi
kekuatan. Diponegoro kemudian memanggil para ulama sahabatnya, kyai Taptayani
dan kyai Nitiprojo. Di hadapan mereka ia menyatakan tekadnya untuk mengusir
Belanda dan orang Cina dengan perang sabil.
Residen Smissaerst menganggap berkumpulnya banyak orang yang datang dari
berbagai tempat ke Tegalrejo dapat diselesaikan dengan mudah. Pada tanggal 20
Juli 1825 residen mengirim surat panggilan kepada Diponegoro yang disampaikan
oleh dua orang pejabat yang dituakan di keraton namun ditolak oleh Diponegoro.
Residen meminta ia datang ke Loji dan mempertanggung jawabkan adanya orang
yang bergerombol di daerah Kedu dan pembelian padi secara besar-besaran oleh
masyarakat di sekitar Yogyakarta dan sekaligus menuduh Diponegoro sebagai
penggeraknya. Bila kedua peristiwa tersebut menimbulkan gangguan keamanan,
Diponegoro harus bertanggung jawab. Diponegoro menolak tuduhan tersebut.
la menjawab bahwa rakyat yang berkumpul di suatu tempat adalah atas kemauan
mereka sendiri, tidak ada sangkut paut dengan dirinya.
Kemudian residen meminta bantuan Pangeran Mangkubumi untuk memanggil
Diponegoro. Dalam pertemuan dengan Diponegoro, Mangkubumi menyarankan
agar panggilan tersebut tidak dipenuhi, karena di Loji telah dipersiapkan pasukan
Paku Alam untuk menangkapnya.11
Diponegoro dan pamannya, Mangkubumi juga sempat akan dibunuh dengan
mengirim para pembunuh rahasia yang akan mencoba meracuninya di Tegalrejo.
Namun usaha penjajah ini gagal terlaksana.12
Residen kehilangan kesabarannya dan pada 21 Juli 1825 memerintahkan
satu detasemen pasukan yang dipimpin oleh Asisten Residen Chevallier yang
berkekuatan 50 orang yang diperkuat dengan dua pucuk meriam, untuk menangkap
Diponegoro. Ndalem Tegalrejo dikepung, dihancurkan, kemudian dibakar namun
gagal menangkap Diponegoro.
Diponegoro mengundurkan diri ke Selarong, di satu desa strategis yang berada
di kaki bukit kapur yang berjarak enam pal (± 9 jam) dari Yogyakarta. Desa ini secara
diam-diam rupanya telah lama dipersiapkan sebagai markas besar. Di tengah desa
mengalir sungai Bedog, anak Sungai Progo, yang membelah desa ini atas Selarong
Barat dan Selarong Timur. pejabat Belanda awalnya menganggap ringan masalah
Diponegoro, seperti yang pernah diperlakukan terhadap beberapa bangsawan yang
melawan terdahulu, dipanggil ke Loji kemudian ditangkap.

9 Gilang Pradipta Kuncoro, Peran Masyarakat Dekso Dalam Perang Jawa 1825 -1830, Skripsi Program Studi
Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2013. h.19
10 Carey, Kuasa Ramalan Jilid 2, h.699
11 Djamhari, op.cit. h.65 11
12 Carey, Kuasa Ramalan Jilid 2, h.700
Edisi 4 / Maret 2018 SYAMINA

Suatu aksi conspiracy of silence selama beberapa tahun telah dilakukan


Diponegoro, karena itu dalam waktu yang singkat mobilisasi kekuatan dapat
dilakukan. Pada akhir bulan Juli 1825 di Selarong bersama Diponegoro telah
berkumpul beberapa orang bangsawan Yogyakarta, Pangeran Mangkubumi,
Pangeran Adinegoro, Pangeran Panular, Adiwinoto Suryodipuro, Blitar, Kyai
Mojo, Pangeran Mangkubumi, Pangeran Ronggo, Ngabei Mangunharjo, dan
Pangeran Surenglogo. Diponegoro memerintahkan Joyomenggolo, Bahuyuda, dan
Hanggowikromo memobilisasi orang-orang di desa-desa sekitar Selarong untuk
siap melakukan perang sabil.
Diponegoro kemudian membuat ‘perencanaan strategis dan langkah-langkah
taktis, memastikan sasaran yang akan diserang. Secara garis besar, strategi
Diponegoro adalah merebut dan menguasai seluruh wilayah Kesultanan, mengusir
Belanda dan orang Cina keluar dari wilayah Kesultanan Yogyakarta, terutama kraton
Yogyakarta sebagai sasaran strategis harus diduduki dengan mengepungnya dari
semua penjuru. Pemberontakan di daerah-daerah disulut, untuk memecah kekuatan
lawan dan kekuatan orang-orang yang membantu lawan.
Adapun langkah-langkah untuk mencapai tujuan strateginya meliputi:
Pertama, serbuan terhadap nagara (Kraton Yogyakarta) kemudian mengisolasi
Yogyakarta, mencegah datangnya pasukan bantuan dari luar Yogyakarta.
Kedua, mengirim kurir yang berisi perintah untuk memerangi orang Eropa
dan Cina kepada para pimpinan pasukan di seluruh wilayah Kesultanan; Kedu,
Bagelen, Banyumas, Serang, dan wilayah Monconegoro Timur: Magetan, Madiun,
Rajegwesi, Kertosono, Berbek, Ngrowo, dan para demang yang berada di perbatasan
Kesultanan dan Kesunanan. Para pemimpin daerah diangkat dengan surat keputusan
pengangkatan resmi yang disebut Piagem.
Ketiga, menyusun daftar bangsawan yang dinilai sebagai lawan dan melindungi
mereka yang membantu.
Keempat, membagi wilayah Kesultanan atas beberapa daerah perang dan
mengangkat para komandan wilayah dan komandan pasukan.13 Para pimpinan
daerah militer ini masing-masing menerima piagem lengkap dengan payung
kebesaran yang berwarna kuning; dan apanage 10.000 cacah dan berkekuatan 1000
orang prajurit.
Kelima, menyusun pasukan pengawal baton, yang terdiri atas enam korps
meliputi:
1. Pasukan Mantrijero, dipimpin oleh Pangeran Adinegoro berkekuatan 50
orang.
2. Pasukan Daeng, dipimpin oleh Pangeran Soeryodipoero,
3. Pasukan Nyutro, dipimpin oleh Pangeran Suryoadi.
4. Pasukan Mandung, yang dipimpin oleh Pangeran Kecokusumo.
5. Pasukan Ketanggung, yang dipimpin oleh Pangeran Adiwijoyo,
12
13 Djamhari, op.cit. h.65-68
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2018

6. Pasukan Kanoman, dipimpin oleh Pangeran Teposono.


Dalam perkembangannya kemudian, struktur organisasi, hierarki, dan susunan
tugas masing-masing korps tidak meniru model barat, akan tetapi meniru model
organisasi Janissari pasukan elite kekhalifahan Turki Usmani abad ke-16-18 yang
disesuaikan dengan kondisi Jawa Nama-nama korps seperti Bulkiyo, Borjomuah, dan
Turkiyo, sebelumnya tidak dikenal dalam organisasi militer Jawa Pasukan Bulkiyo
dipimpin oleh Pangeran Ngabdul Khamil.
Pangkat militer yang tertinggi disebut Alibasah, Panglima yang membawahi
pasukan (infanteri dan kavaleri) yang setara dengan Komandan Divisi model Janissari.
Karena itu Diponegoro hanya mengangkat empat orang. Sentot Prawirodirjo yang
masih berusia remaja berpangkat Basah, ia dipromosikan sebagai Alibasah yang
membawahi Korps Pinilih, yang kemudian mendapat promosi jabatan sebagai
Pemimpin Tertinggi Tentara.
Alibasah Kerto Pengalasan (Tumenggung Wirodirejo) yang dipercaya menjadi
Komandan Pasukan Pertahanan di Benteng Pleret di bekas kraton Amangkurat I.
Alibasah Pangeran Sumonegoro Komandan di Kulon Progo, Alibasah Kasan Besari,
adik Kyai Mojo, Komandan Pasukan di Pajang dan Alibasah Muhammad Ngusman
(Usman) Komandan Pasukan di Kulon Progo.
Selanjutnya pangkat Dulah atau Agadulah, yaitu komandan pasukan yang
membawahi 400 orang prajurit setara dengan detasemen. Pangkat perwira yang
terendah, Seh. Perwira ini membawahi pasukan yang setara dengan kompi.14
Selain pasukan-pasukan tersebut, di Selarong dibentuk pula beberapa batalyon
yang dipimpin oleh Pangeran Ingabei Joyokusumo, Pangeran Praboe Wiromenggolo
dan kemudian menyusul Sentot Prawirodirjo. Masing-masing pasukan ini memiliki
pakaian seragam dan atribut yang berbeda, sehingga masing-masing kesatuan
dapat dikenali secara jelas.
De Stuers melukiskan seragam masing-masing pasukan Diponegoro sebagai
berikut :
1. Pasukan Bulkio, Borjomuah, dan Turkiyo, berikat kepala (surban) putih dan
jaket berwama biru.
2. Harkio, surban hijau dan jaket berbagai warna.
3. Pinilih, surban hitam bergaris putih, jaket merah.
4. Larban, Naseran, surban hitam, jaket bermacam-rnacam wama.
5. Suropadah, surban biru dengan garis putih, jaket bergaris putih.
6. Sipuding dan Jagir, surban putih, jaket berbagai warna.
7. Surotandang dan Jayengan, surban merah dan jaket putih.
8. Suragama dan Wanangprang, surban putih dan jaket hitam,15
Menariknya, Diponegoro tidak meninggalkan pola struktur organisasi tentara
Kerajaan Jawa, yakni melakukan mobilisasi petani dan santri untuk menjadi prajurit
14 Djamhari, op.cit. h.70-72 13
15 Ibid, h.74
Edisi 4 / Maret 2018 SYAMINA

sebagai pasukan tetap (standing army). Pasukan tetap terdiri atas beberapa korps
dengan kepemimpinan dan struktur organisasi yang jelas. Inilah hasil pemikiran
baru tentang organisasi militer pada masyarakat Jawa, referensi dan orientasinya
diambil dari sistem militer Turki Usmani.16

Belanda Kewalahan Menghadapi Diponegoro dan Orang Jawa


Manakala Diponegoro memproklamirkan perlawanan terhadap Belanda,
maka jejaring sosial yang telah ia bina sebelumnya telah siap menyuplai pasukan,
logistik, hingga jaringan bawah tanah. Diponegoro banyak didukung oleh para ulama
yang berasal dari berbagai pesantren di wilayah Mataram. Laskar santri ini banyak
berada di bagian infantri.
Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan infantri, kavaleri dan
artileri (yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran
frontal) di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi
di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian
sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang
hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi;
begitu pula sebaliknya.
Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk
menyokong keperluan perang. Berpuluh-puluh kilang mesiu dibangun di hutan-
hutan dan di dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara
peperangan sedang berkecamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari
dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun strategi perang.
Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan,
curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat
dibangun melalui penguasaan informasi.
Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-
bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerjasama dengan alam
sebagai “senjata” tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda
akan melakukan usaha-usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan
tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria,
disentri, dan sebagainya merupakan “musuh yang tak tampak”, melemahkan moral
dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka.17
Operasi-operasi pengejaran selama dua tahun (1825-1827) yang dipimpin
oleh Jenderal de Kock, secara militer tidak mengalami kemajuan, namun memberi
pengalaman kepada prajurit Belanda untuk mengenal medan. Karena selama
hampir sembilan tahun, sejak 1816, pulau Jawa (Vorstenlanden) dalam keadaan
aman sehingga tentara penjajah lengah dan kurang terlatih. Jumlah korban yang

16 Saleh Asad Djamhari, Strategi Benteng Stelsel, h.72


14 17 Rijal Mumazziq, Menelusuri Jejak Laskar Diponegoro di Pesantren, Jurnal Falasifa, STAI Al-Falah As-Sunniyyah
Kencong Jember, Vol. 7 Nomor 1 Maret 2016, h.144-145
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2018

jatuh pada operasi- operasi pengejaran mencapai 48 % termasuk yang meninggal


karena sakit dan kelelahan merupakan indikasi tidak terlatihnya pasukan.18
Memang ada beberapa bangsawan pemimpin pasukan Diponegoro berhasil
ditawan atau menyerah. Misalnya Pangeran Mangkudiningrat pada 1 Desember
1826, ia menulis surat kepada Jenderal de Kock menyampaikan keinginannya untuk
menghentikan permusuhan apabila diperlakukan dengan baik, sekalipun peristiwa
ini sangat langka.
Perencanaan operasi militer yang memperkirakan pemberontakan dapat
diselesaikan dalam waktu yang singkat, ternyata meleset. Pemberontakan Diponegoro
sangat megejutkan pemerintah dan militer Hindia Belanda. Keadaan yang aman Iebih
dari sembilan tahun sejak 1816 mengurangi kesiapan dan kewaspadaan mereka dari
bahaya permanent warfare di kalangan bangsawan Jawa, sekalipun gejala-gejalanya
sudah tampak. Sebagian besar pejabat penjajah Belanda juga enggan memahami
kondisi masyarakat, berakibat salah dalam membuat keputusan politik.
Kesalahan Residen Baron de Salis yang mengangkat seorang anak berusia tiga
tahun dan mengangkat walinya, Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Diponegoro
yang dikenal dan diketahui sebagai seorang yang saleh dan anti penjajah, secara
tidak langsung telah memberikan jalan menuju ke arah pemberontakan.
Dalam pemahaman masyarakat Jawa, seorang Sultan, di samping sebagai
pemimpin tertinggi (angkatan) perang (senopati ing ngalogo) juga sebagai pemimpin
tertinggi agama (sayidin ponotogomo). Persyaratan lain seorang Sultan harus telah
beristeri.
Seorang bocah tidak memenuhi ketiga persyaratan tersebut. Pemahaman
masyarakat tentang raja ini tidak pemah “ditangkap” oleh para pejabat penjajah
Belanda.19 Semula para elite daerah tidak memprotes pengangkatan seorang bocah
sebagai Sultan, karena peran para Wali-nya, sebagai orang-orang yang sangat
dihormati. Pangeran Mangkubumi, putera Sultan Hamengkubuwono II (Sultan
Sepuh) dikenal sebagai orang yang sangat taat kepada agama. Demikian juga Pangeran
Diponegoro adalah cucu Sultan Sepuh, sekalipun secara politis hubungannya kurang
baik. Karena Sultan bocah didampingi oleh dua orang wali yang sangat mereka
hormati, mereka diam. Namun tatkala Wali Sultan memberontak, mereka serta
merta ikut melakukan pemberontakan, sekalipun sebab-sebabnya tidak mereka
ketahui secara jelas.20
Diponegoro mendengar kabar tentang kelakuan para pejabat yang bejat.
Untuk membuktikan kebenaran cerita tentang kelakuan para pejabat tersebut,
Diponegoro “menanam” spion di kediaman mereka, residen, sekretaris residen,
dan orang-orang penting lainnya yang dianggap sebagai Iawannya yang menyamar
sebagai “abdi” (pembantu rumah tangga) atau pekerjaan lainnya. Karena itu semua
aktivitas mereka diketahui secara pasti oleh Diponegoro.
18 De Stuers menggambarkan bahwa tahun 825-1826 merupakan tahun bencana, suatu pengalaman yang
menyedihkan, De Stuers, 1843, hal, 150. Dalam; Saleh Asad Djamhari, Strategi Benteng Stelsel, h.85-86
19 Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa pada masa Lampau, 1985, hal. 35. Oleh
Ricklefs disebut sebagai ''unseen world" in Java, M.C. Ricklefs, The Seen and Unseen Worlds in Java 1726-1749,
1998, hal. XXII, H.J. de Graaf, Geschiedenis van Indonesie, 1949, hal, 208-209. 15
20 Djamhari, op.cit. h.87
Edisi 4 / Maret 2018 SYAMINA

Setelah meninggalnya Sultan IV, ia seringkali berkunjung ke Pasar Gede,


Imogiri, Gua Langse di Pantai Selatan, Selarong, dan beberapa tempat lainnya
sendirian tanpa pengawal, bertemu bertatap muka dengan rakyat dan bahkan ikut
membantu menanam atau menuai padi.
Diponegoro tidak pemah mengakui bahwa ia telah mempersiapkan suatu
rencana besar. Kemampuannya untuk mempengaruhi masyarakat diabaikan oleh
pemerintah Hindia Belanda. Ia hanya dianggap sebagai seorang mysticus, pemimpi
(dromer) yang suka berkhayal tentang kebesaran (megalomaniac) dan percaya
kepada tahayul.
Diponegoro yang berwatak keras disertai sikap yang fanatik, berpegang teguh
atas prinsip-prinsip ajaran agama Islam, diterima dengan baik oleh masyarakat karena
kharisma yang ia miliki sebagai seorang keturunan raja. Karena itu Diponegoro amat
populer di kalangan masyarakat bawah terutama petani dan komunitas santri .21
Dari Selarong, pada 31 Juli 1825, Diponegoro dan Mangkubumi menulis surat
kepada masyarakat Kedu agar mereka bersiap-siap untuk berperang;
“Kaloe sekarang negerie Kadoe sudah goea minta, itoe semoea orang laki-
laki, orang perempuan besar, kecil, (soeda goea seboet) ada poen orang
njang saja soeroe namanja Kazan Besarie. Kaloe soeda ikoet goea poenja
soerat Oendang ini biar lakas sedia sendjata, biar reboet negerie, dan
bikin betoel agama Rasoel dan (mangreboet 7 iman). Kaloe ada njang
brani tiada maoe pertjaja boeninja goea poenja soerat, misti goea potong
dia poenja leher.”22
Surat ini bermaksud menegaskan kepada mereka, bahwa wilayah Kedu
yang selama hampir tiga belas tahun, sejak 1812, dirampas oleh kafir telah kembali
ke “pangkuan” orang Jawa. Penerimaan masyarakat terhadap kepemimpinannya
menjadi salah satu sebab pemberontakan semakin meluas dan sulit dibendung.
Sesudah keberhasilan Mulyosentiko menyergap pasukan bala bantuan yang
menuju Yogyakarta di Pisangan (Tempel) dan membunuh serta merampas uang
sebanyak f.30.000, pada 23 Juli 1825, di wilayah Kedu terutama di distrik Probolinggo
(di sebelah tenggara Magelang), berkumpul sukarelawan perang sebanyak 55.000
orang. Tempat tinggal para pejabat pemerintah Belanda diserbu dan dibakar pada
26 Juli 1825. Sebagian dari mereka kemudian menyeberangi Sungai Elo, menyerbu
Magelang yang hanya dijaga oleh 50 orang tentara. Sekretaris residen, Bupati
Danoeningrat panik luar biasa, rumah-rumah para pejabat dibakar. Pangkalan
perlawanan sudah lama dipersiapkan di Probolinggo. Pangkalan perlawanan lainnya
berada di Menoreh. Rumah-rumah para pejabat Belanda menjadi sasaran kemarahan
dan dirusak atau dibakar.

21 Dalam suratnya kepada Letnan Gubemur Jenderal, Residen van Sevenhoven mengingatkan de Kock, bahwa
Diponegoro adalah orang yang tidak pemah bergaul dengan orang Eropa karena itu ia selalu berprasangka
buruk, seperti para pangeran kelompok Kasepuhan, termasuk Sultan Hamangkubuwono Il (Sultan Sepuh),
ANRI, Surat Residen Yogyakarta van Sevenhoven, kepada Letnan Gubemur Jenderal, 10 November 1825,
Djokja 8.11. dalam; Djamhari, op.cit. h.90
16 22 P.J.F. Louw, I, 1894, hal. 269. Surat aslinya tidak ditemukan hanya terjemahannya ke dalam Bahasa Melayu
(pasar).
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2018

Hampir satu bulan setelah peristiwa penyerbuan Tegalrejo. Diponegoro


juga menulis surat kepada Tumenggung Raden Ronggo Surodilogo. Kemudian
Surodilogo, Bupati Wedana di wilayah sebelah barat Gunung Sumbing, atas nama
Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Diponegoro memerintahkan kepada
semua demang, penatus, penekel, penglawe, panajungan, dan seluruh rakyat untuk
berperang melawan orang-orang kafir yang akan menghancurkan tanah Jawa. Pajak
tetap dipungut tetapi untuk membantu biaya peperangan melawan orang Eropa.
Seluruh Kesultanan Yogyakarta bergolak, Beberapa Bupati Monconegoro,
melakukan aksi perlawanan terhadap Belanda dan Kesultanan. Pada 17 Agustus
1825 di Kadipaten Serang, Pangeran Serang yang tergolong kelompok Kasepuhan,
menantu Pangeran Mangkudiningrat yang dibuang bersama Sultan Sepuh ke
Ambon, dan Pangeran Notoprojo alias Pangeran Papale dan Bupati Gagatan yang
termasuk wilayah Kesunanan Surakarta ikut memberontak. Pemberontakan dari dua
Kadipaten yang letak wilayahnya berada di Keresidenan Semarang bagian selatan,
dinilai strategis, karena bisa mengancam fron Salatiga.
Setelah mereka menyerang Purwodadi, kemudian bergerak menuju Demak.
Hampir semua jembatan penghubung dirusak. Sementara Pangera Serang dibantu
oleh Raden Sukur, putera Bupati Semarang Surioadimenggolo, bergerak ke Buyaran.
Setelah beberapa jembatan sekitar Buyaran dirusak, mereka bergerak untuk
menyerbu Demak. Pada 11 September 1825, pasukan Pangeran Serang berkekuatan
8000 orang berkumpul di desa Praya, berusaha menguasai jalan raya.
Di wilayah Banyumas, Karangkobar, dan Kalibeber, pada 9 Agustus terjadi
pemberontakan yang bermarkas di Batur. Pada 14 Agustus 1825 di Sembong dekat
Weleri, semua pas dibakar. Pemberontakan dipimpin oleh Raden Ngabei (Tersono).
Di Selomanik, Selomerto, Gowong, Brengkelan, Lingis, Yana, Kadilangu
termasuk wilayah Bagelan bergolak. Pemberontakan kemudian bergerak ke daerah
Madiun dan daerah Kesultanan Yogyakarta bagian Timur (Monconegoro Timur),
yang dipimpin oleh Mangun nagara, Kertodirdjo, Surodirjo, Tumenggung Alap-
alap, Pangeran Serang, dan Raden Sukur. Mereka menguasai desa di hampir semua
wilayah tersebut dan menyerang pas-pas penjagaan.
Karena seringkali jatuh korban dari ekses yang dilakukan oleh kedua belah
pihak, komandan Kolone Mobil 2 yang berkedudukan di Ngawi, memberikan
instruksi kepada anak buahnya antara lain:
a. Membakar desa yang menjadi pangkalan pemberontak,
b. pasukan dilarang bergerak dalam kelompok kecil dan gerakan mereka tidak
lebih dari tiga pal sehari,
c. mereka harus menyampaikan berita baik kepada pengikut pemberontak,
d. dia akan mengundang dan berjanji akan memberi pengampunan kepada
Mangunnegara, Kertodirjo, Pangeran Serang, Surodirjo, Raden Sukur,
Tumenggung Alap-alap, dan membebaskan mereka yang dengan sukarela

17
Edisi 4 / Maret 2018 SYAMINA

menyerah, mereka dilarang berbuat tercela terhadap perempuan dan anak-


anak, siapa yang berbuat akan dihukum keras.23
Pemberontakan yang meluas ke berbagai daerah di seluruh wilayah
Kesultanan Yogyakarta bukanlah tidak dipersiapkan. Diponegoro telah dengan
cermat dan melakukan conspiracy of silence dengan para demang dan dengan penuh
kesabaran menunggu saat yang tepat untuk bertindak, Komunikasi dengan para
demang dan komunitas pesantren (para kyai beserta santrinya), terus dipelihara
dengan baik. Keberhasilan seperti penyerangan terhadap pas di Pisangan dan
Bantulan, 400-500 orang dengan senjata api (senapan) menunjukkan bahwa mereka
telah mempersiapkannya sejak lama.
Kebijakan perpajakan yang semakin memberatkan, persewaan tanah
dan pengusiran rakyat dari desa-desa oleh para penyewa semakin menjauhkan
masyarakat dengan pemimpinnya, merupakan puncak kegelisahan masyarakat.
Dalam pandangan masyarakat lapisan bawah Diponegoro adalah Ratu Adil yang
ditunggu kedatangannya. Rangkaian peristiwa dan cita-cita membentuk balad
Islam tersebut menjadi faktor pendukung mengapa perlawanan dengan cepat
meluas dan sulit dipadamkan dengan kekuatan militer.24
Sebagian besar rakyat dan pejabat kesultanan serta para bupati mendukung
perjuangan Diponegoro. Kali ini Belanda bukan hanya menghadapi seorang
pemberontak namun menghadapi perlawanan hampir semua orang Jawa dan para
pemimpinnya. Bahkan para bandit dan orang-orang dari dunia hitam pun bersatu
padu mendukung perang sabil yang dilancarkan sang Sultan Ngabdulkamid. Perang
sabil telah benar-benar berkobar di tanah Jawa. Dengan segala kekuatan militer
dan pendanaan yang besar sekalipun Belanda kesulitan menghadapi perang yang
didukung hampir semua masyarakat Jawa.
Jumlah pasukan Belanda yang terbatas, kurang lebih 6000 orang infanteri dan
1200 artileri, tanpa memiliki pasukan cadangan, harus melakukan manuver terus-
menerus dari satu tempat ke tempat yang lain, tidak sempat istirahat dalam waktu
cukup, energinya terkuras. Kelelahan menjadi salah satu penyebab demoralisasi dan
menambah jumlah yang jatuh sakit.25 Faktor logistik dan penyalurannya ke pasukan
yang tidak teratur, karena sulitnya medan. Daerah sumber logistik dikuasai oleh
pemberontak atau hancur pada saat bertempur, sehingga penyaluran logistik dan
pelayanan kesehatan buruk.
Kedatangan pasukan baru sejumlah 3000 orang bala bantuan dari Nederland
pada 1826, tidak dapat segera digunakan secara efektif. Sebenarnya NOIL26 belum
siap untuk menerima pasukan yang menuntut syarat logistik dengan standar Eropa,
seperti asrama, dan sarana lain. Demikian pula informasi tentang medan (topografi)

23 ARA, Instructie voor den Kommandant der Gewapende Inlandscbe Mobiele Kolonne, bestemd om tegen de
Muitelingen in het Madioensche le afgeven, Ngawi, 3 Desember 1825. Arsip Koleksi H.M. de Kock, Serie 14
Volgnr, 18 (1825).
24 Djamhari, op.cit. h.92-94
25 Sebelum pecahnya perang Jawa, kekuatan NOIL di Pulau Jawa berjumlah 13.200 orang terbagi dalam tiga
Daerah Militer Besar (Groote Militaire Afdeelingen). Wilayah Komando Daerah Militer Besar I meliputi
sepanjang Pantai Utara Pulau Jawa bagian barat, dari Banten sampai Kali Losari (Cisanggarung), yang termasuk
18 keresidenan Banten, Batavia, Buitenzorg, Karawang, Priangan, dan Cirebon, bermarkas di Batavia
26 NOIL = Tentara Hindia Timur, kesatuan Tentara Belanda di Hindia Beelaanda (indonesia)
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2018

wilayah Kesultanan Yogyakarta tidak akurat. Pasukan yang berada di medan dipaksa
harus terlebih dulu berperang melawan alam, membangun jalan-jalan baru, yang
kadang-kadang medannya bergunung terpaksa menebangi pohon yang merintangi
gerakannya ditambah dengan cuaca yang tidak mendukung. Batas desa yang berupa
pagar bambu hidup di desa-desa di daerah operasi, merupakan rintangan alam yang
menyulitkan. Bahkan lawan seringkali memasang perangkap atau ranjau dari bambu
(borang) untuk menghambat gerakan sangat menyulitkan pasukan penjajah.
Sikap tidak terang-terangan dari sebagian besar bangsawan dan kepala-
kepala desa (demang dan bekel) yang berpihak kepada Diponegoro membuat
tentara penjajah kebingungan karena sulit membedakan antara kawan dan lawan.
Kenyataannya mayoritas masyarakat saat itu memandang tentara Belanda sebagai
lawan. Strategi berperang orang Jawa yang inkonvensional, secara taktis juga amat
membingungkan lawan. Karakter dan seni perlawanannya sulit diduga. Untuk
memastikan pangkalan perlawanan, seringkali terjadi kejahatan perang, seperti
pembakaran desa-desa, perampasan ternak, dan pembunuhan tawanan.
Faktor lainnya yang terpenting adalah strategi militer Diponegoro, yang
mampu mengulur waktu untuk menguras tenaga dan kemampuan perang lawan.
Lawan tidak pernah diberi kesempatan untuk istirahat sekalipun teknologi
persenjataannya lebih unggul. Pasukan Diponegoro juga mampu mengoperasikan
senjata-senjata yang dirampas dan mampu membuat senjata api dan mesiunya.
Bahkan secara rahasia mereka membeli senjata-senjata baru. Problema lainnya
adalah merajalelanya pemakai opium di kalangan prajurit Belanda. Isteri-isteri
prajurit pribumi ikut menambah beban. Satu kolone kadang-kadang harus
menyediakan logistik untuk 1000 orang setiap hari.
Sampai bulan April 1827, lebih kurang 1603 orang serdadu Belanda tewas atau
27% dari serdadunya yang berjumlah 6.000 orang. Pecahnya pemberontakan baru
di suatu daerah sulit diantisipasi. Sikap dan tingkah laku para penguasa setempat
(tumenggung, demang) tidak dapat dipercaya sepenuhnya, terutama di daerah-
daerah yang pernah terjadi persewaan tanah.
Informasi dari spion-spion yang tersebar hampir di seluruh medan, seringkali
tidak akurat dan meleset. Politik penghematan dari Komisaris Jenderal Du Bus sangat
besar pengaruhnya terhadap pengelolaan dan pelaksanaan perang. Kesejahteraan
dan perlengkapan para prajurit merosot. Rekrutment prajurit baru sulit dilakukan.27
Untuk mengimbangi strategi Stelsel Benteng de Kock, pada 1827 Diponegoro
juga mengaplikasikan strategi baru. Setelah gagal mengaplikasikan strategi
langsung yang mengandalkan keunggulan jumlah (superior number), Diponegoro
menggunakan strategi atrisi (attrition strategy, die Ermattuug Strategie) yang
berarti strategi penjemuan atau penggerogotan, sehingga perang berubah sifatnya
menjadi perang jangka panjang (protracted war).28 Strategi atrisi29 Diponegoro pada

27 Djamhari, op.cit. h.110-112


28 Hans Delbruck, History of the Art of War, Within the Framework of Political History, 1985, hal, 294-298 dalam;
Djamhari, op.cit. h.10 19
29 strategi atrisi adalah strategi penggerogotan kekuatan lawan, penjemuan. Ibid, h.xv
Edisi 4 / Maret 2018 SYAMINA

awalnya berhasil menguras energi, menurunkan moril dan kemauan berperang


tentara Belanda, Diponegoro juga berhasil memperpanjang jangka waktu perang.30
“Perang Jawa” berawal dari 19 Juli 1825 sampai 28 Maret 1830, telah menelan
korban yang amat besar, menimbulkan penderitaan, keletihan yang luar biasa bagi
semua pihak. Lebih kurang 12749 meninggal di rumah sakit di wilayah Daerah Militer
Besar II, (Jawa Tengah). Jumlah seluruh korban yang hilang dan mati dalam perang
sejumlah 15.000 orang, yang terdiri atas 8.000 orang dari Eropa. Expeditionnaire
Afdeeling (yang datang dari Nederland pada 1826) yang berkekuatan 3134 orang,
lebih dari dua pertiganya tewas. Sisanya kurang dari sepertiganya memilih tetap
berdinas sebagai NOIL.
Hanya seperenam dari mereka yang memilih kembali ke Eropa. Untuk perang
yang lama dan melelahkan ini Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan biaya
f.5.000.000, setiap tahunnya. Seluruh biaya ditaksir sejumlah f.25. 000.000.31
Pemberontakan yang meluas ke berbagai daerah di seluruh wilayah Kesultanan
Yogyakarta bukanlah tidak dipersiapkan. Diponegoro telah dengan cermat dan
melakukan conspiracy of silence dengan para demang dan dengan penuh kesabaran
menunggu saat yang tepat untuk bertindak, Komunikasi dengan para demang
dan komunitas pesantren (para kyai beserta santrinya), terus dipelihara dengan
baik. Keberhasilan seperti penyerangan terhadap pas di Pisangan dan Bantulan,
400 - 500 orang dengan senjata api (senapan) menunjukkan bahwa mereka telah
mempersiapkannya sejak lama. Kebijakan perpajakan yang semakin memberatkan,
persewaan tanah dan pengusiran rakyat dari desa-desa oleh para penyewa semakin
menjauhkan masyarakat dengan pemimpinnya, merupakan puncak kegelisahan
masyarakat.
Dalam pandangan masyarakat lapisan bawah, Diponegoro adalah Ratu Adil
yang ditunggu kedatangannya. Rangkaian peristiwa dan cita-cita membentuk balad
Islam tersebut menjadi causal factor mengapa pemberontakan dengan cepat meluas
dan sulit dipadamkan dengan kekuatan militer.32
Banyak kegagalan strategis akibat under estimate terhadap kekuatan dan
kemampuan pasukan Diponegoro. Penilaian yang berbeda tentang medan antara
Jenderal de Kock dan Diponegoro, menjadi sebab berlarut-larutnya perang. Dalam
pola pikir Jenderal de Kock, medan antara Progo dan Bogowonto merupakan suatu
killing area, meniru model operasi Jenderal Lazarre Roche di Vendee pada 1793,
didukung oleh jumlah personel yang memadai. Ada kecenderungan de Kock menutup
kelemahannya dengan mengandalkan senjata artileri. Letak bangunan benteng yang
hanya mengandalkan posisi strategis, tanpa memperhitungkan jarak antar benteng
berakibat fatal. Pasukan Diponegoro berhasil mengisolasi benteng-benteng dengan
mencegat konvoi-konvoi logistik atau merebut alat-alat transportasi mereka.
Sebaliknya Diponegoro berpikir medan antara Progo dan Bogowonto
sebagai medan yang tepat untuk menggerogoti (attritiated) pasukan lawan. Daerah

30 Ibid. h.296
20 31 Djamhari, op.cit. h.20-21
32 Djamhari, op.cit. h.93-94
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2018

antara Progo dan Bogowonto merupakan daerah yang subur, penduduknya relatif
padat dan para demang, bekel, dan masyarakat lapisan bawah menjadi pendukung
Diponegoro yang fanatik, dengan pemahaman masing-masing, antara cita-cita
membangun balad Islam dan keinginan melepaskan diri dari penderitaan dan
penindasan penjajah.
Kondisi alam di medan, kelebaran sungai, derasnya arus, kemudahan
untuk memperoleh sarana perbekalan dan peralatan, cuaca, keberanian sebagai
faktor tetap dan faktor tidak tetap yang mempengaruhi pelaksanaan perang dan
pelaksanaan operasi kedua belah pihak. Killing area yang diangankan oleh Jenderal
de Kock tidak pemah tercapai, justru sebaliknya dari bukit-bukit yang terjal pasukan
Diponegoro mampu mengeksploitasi medan. Dari bukit-bukit tersebut dilakukan
taktik perang gunung, bertahan dan menyerang setiap saat tanpa dibatasi oleh
waktu, jumlah logistik dan kondisi cuaca.33

Network atau Jaringan


Jaringan (network) adalah organisasi yang secara sosial terdiri dari komposisi
antara para pelaku dan hubungan mereka. Tidak ada perbedaan mengenai karakter
dibandingkan dengan bentuk organisasi yang lain—yaitu sekelompok orang yang
bekerja bersama untuk mencapai tujuan bersama.
Organisasi menawarkan hasil capaian yang lebih dibandingkan jika hanya
dilakukan sendirian. Dua variabel utama yang membedakan berbagai bentuk
organisasi adalah frekuensi kontak personal dan letak otoritas. Karakteristik struktural
yang membedakan network dengan bentuk organisasi lainnya terletak pada (i)
otonomi lokal dan informal, (ii) interaksi yang fleksibel di antara para anggotanya
berdasarkan hubungan personal, serta (iii) terbatasnya kontrol dari pusat.34

Jenis-Jenis Jaringan (Network)


1. Chain: Network jenis ini berbentuk garis linier, dimana hubungan antara satu
orang dengan yang lainnya terpisah dalam pola garis. Orang, barang, dan layanan
berpindah melalui simpul perantara dalam pola beruntun.
2. Star atau Hub: Dalam jenis network ini, beberapa simpul dihubungkan ke satu
simpul pusat dalam satu hub, dengan bentuk seperti jari-jari. Sumber daya dan
komunikasi dilakukan melalui hub pusat.
3. All-Channel: Network jenis ini dibentuk dalam sebuah matriks hubungan, dimana
setiap simpul terkoneksi satu sama lain dalam pola yang padat.
Menurut Arquilla dan Ronfeldt, tiga bentuk di atas merupakan tiga bentuk
utama network, meskipun terkadang ada beberapa kombinasi atau variasi dari
ketiga bentuk tersebut.35

33 Djamhari, op.cit. h.240-241


34 Mustarom, Network Vs Network, Saat yang Kecil Melawan yang Besar, Syamina ed.5, September 2013, h.3 21
35 Ibid, h.4
Edisi 4 / Maret 2018 SYAMINA

Teori Strategi Kontra Network


Beberapa studi tentang irregular warfare menekankan akan pentingnya usaha
untuk melakukan gangguan secara langsung atas sebuah jaringan. Menurut Carley,
ada tiga indikator utama terjadinya destabilisasi sebuah jaringan, yaitu berkurangnya
aliran informasi, kesulitan untuk mencapai konsensus umum, dan berkurangnya
efektivitas pelaksanaan tugas secara keseluruhan.36
Sebuah organisasi network adalah elemen dari struktur jaringan sosial
masyarakat yang lebih besar, dan memahami populasi di mana mereka berinteraksi
juga tak kalah penting dengan usaha untuk mengacaukan mereka. Organisasi
network bukanlah organisasi militer standar, di mana dalam banyak kasus, usaha
yang paling penting untuk mematahkan mereka adalah dengan melakukan
bujukan pada persepsi masyarakat.37
Kompleksitas mengenai apa, bagaimana, dan mengapa masyarakat
berinteraksi adalah aspek yang penting dalam pengumpulan data intelijen. Begitu
juga dengan faktor budaya. Gordon Hahn menyatakan bahwa “usaha untuk memecah
kelompok pemberontak tidak akan sukses tanpa pemahaman yang rinci akan
pembagian politik, sosial, kesukuan, dan ekonomi jaringan tersebut. Pengetahuan
secara detail atas sejarah, budaya, ideologi politik, dan seluk beluk struktural juga hal
yang esensial.”38
Berikut adalah beberapa teori cara untuk melawan jaringan:
1. Illumination (Penerangan)
Iluminasi adalah sebuah usaha untuk mengidentifikasi dan menentukan
letak simpul dalam sebuah jaringan.
2. Offensive Swarming
Swarming merupakan alat yang paling valid untuk melawan sebuah jaringan.
Sebuah organisasi berbentuk jaringan biasanya terdiri dari beberapa simpul yang
tersebar, yang jika mereka berkumpul sekalipun tetap susah untuk disasar, karena
mereka biasanya pandai bersembunyi dan menghindar. Karenanya, diperlukan
kontra-simpul yang mempunyai kegesitan dan kecepatan yang mampu melawan
simpul tersebut. Dalam hal ini unit counter-swarming bisa menjadi salah satu jawaban.
Unit counter-swarming akan melakukan serangan secara mengejutkan untuk terus
menerus memaksa jaringan tersebut untuk bersembunyi atau menghindar.
3. Information Disruption (Pengacauan Informasi)
Pengacauan informasi berfungsi untuk melawan ketergantungan jaringan
yang tinggi pada informasi, dan mencoba mengeksploitasi kelemahan yang terungkap
dalam strategi informasi jaringan tersebut.
4. Fusion (Penggabungan)

36 Carley, Lee, and Krackhardt, “Destabilizing Networks,” h. 90


37 Michael T. Flynn, Matt Pottinger, dan Paul D. Batchelor, Fixing Intel: A Blueprint for Making Intelligence
Relevant in Afghanistan, Washington, D.C.: Center for a New American Security, 2010, h. 24
22 38 Gordon Hahn, ”The Jihadi Insurgency and the Russian Counterinsurgency in the North Caucasus,” Post-Soviet
Affairs 24, no. 1 (January–March 2008): 3
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2018

Fusi adalah usaha untuk melawan koneksi tersinkronisasi yang digunakan


oleh jaringan. Fusi memiliki elemen organisasi dan elemen doktrin. Secara
organisasi, fusi membutuhkan konektivitas tingkat tinggi diantara unsur-unsurnya
sebagaimana jaringan, dan hal ini sangat penting dalam sebuah usaha kolaboratif.
Secara doktrin, fusi melibatkan penggabungan berbagai kemampuan operasional
dan upaya analitis dalam sebuah proses pemecahan masalah yang sistematis. Fusi
merupakan gabungan antara mendapatkan data intelijen yang sangat luar biasa dan
melakukan aksi operasional yang mampu mengacaukan lawan irregular.39

Para Wanita Tangguh Yang Menempa Diponegoro


Para leluhur pria Diponegoro memberi pengaruh besar secara pribadi
dan sebagai sumber ilham Diponegoro. Namun para kerabat wanita nampaknya
lebih berpengaruh dalam membentuk pandangan sosial selama masa anak-anak
dan remaja. Pandangan sosial yang khas itu berakar pada keyakinan agama yang
mendalam dan hubungan yang luas dengan masyarakat santri Jawa, hubungan
yang tidak umum untuk seorang kerabat keraton seperti Diponegoro. Keyakinan
agama dan hubungan sosial itulah yang akan menentukan kharisma dan gaya
kepemimpinan Diponegoro selama perang Jawa.

R.M. Mustahar atau Raden Ontowiryo (Diponegoro Muda)


23
39 Mustarom, op.cit. h.16
Edisi 4 / Maret 2018 SYAMINA

Diponegoro dibesarkan di bawah asuhan kaum perempuan yang


berkepribadian baik sampai ia berusia 18 tahun. Hal itu berpengaruh besar pada
tumbuh kembang kepribadiannya. Melalui jalur ibu dan kerabat perempuan,
diponegoro memeiliki hubungan darah dan kekerabatan dengan beberapa kiai
terkemuka di Jawa. Ibunda Diponegoro, Radan Ayu Mangkorowati, garwo ampeyan
Sultan ketiga yang melahirkannya pada usia sekitar 15 tahun merupakan keturunan
Ki Ageng Prampelan, seorang tokoh yang sezaman dengan raja pertama Mataram,
Panembahan Senopati. Ki Ageng Prampelan merupakan keturunan ke sepuluh
Sunan Gresik atau Sunan Ngampel Denta, salah seorang wali songo yang membentuk
sebuah masyarakat Islam di Jawa Timur sebelum berakhimya kerajaan Hindu-Budha
Majapahit.
Ibunda Diponegoro lahir di daerah perdikan (desa bebas pajak yang diberikan
pada pemimpin agama) Majasto yang letaknya dekat dengan pusat Islam di
Tembayat. Kedua tempat ini dihuni oleh keturunan Panembahan Kajoran (penentang
raja mataram yang zalim pada abad ke-17) dan pendukungnya. Diponegoro juga
mendapat dukungan yang besar dari dua daerah tersebut saat meletus perang
Jawa. Sebagai satu-satunya anak lelaki Diponegoro sangat dekat dan disayangi oleh
ibundanya. Diponegoro di bawah asuhan ibunya sampai usia 7 tahun.
Seorang perempuan lainnya yang ikut berperan membentuk kepribadian
dan pandangan hidup Diponegoro adalah neneknya, Ratu Kedaton. Neneknya ini
merupakan keturunan panembahan Cokrodiningrat II dari Madura (berkuasa 1680-
1707). Kesetiaannya pada Islam yang merupakan ciri yang menonjol masyarakat
Madura, begitu berkesan dan dikagumi Diponegoro. Semangat Maduranya juga
menyala-nyala sampai di usia senjanya.40

Peta Areal Hasil Bumi untuk Perdagangan Jawa tengah pada masa remaja
Diponegoro
24
40 Peter Carey, Kuasa Ramalan Jilid 1, h.84-87
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2018

Pengaruh terbesar seorang wanita pada pandangan hidup dan kepribadian


Diponegoro adalah nenek buyutnya, Ratu Ageng Tegalrejo. Ia dalam pengasuhan
Ratu Ageng mulai usia 7 tahun sampai nenek buyutnya meninggal saat Diponegoro
berusia 18 tahun.
Diponegoro remaja praktis di bawah didikan seorang perempuan tua
berpengaruh, yang kritis dengan perkembangan istana Yogyakarta. Ratu ageng
merupakan putri seorang kiai terkemuka di Sragen, dan merupakan keturunan Sultan
Bima di Sumbawa, sebuah kesultanan Islam yang begitu kuat menjaga kedaulatannya
di kepulauan Nusantara Timur. Diponegoro juga dekat dengan kerabat ratu Ageng
yang banyak menjadi pejabat keagamaan di istana.

Gb. Denah Ndalem Tegalrejo, tempat tinggal Ratu Ageng dan Diponegoro
Remaja (1792-1803)
Ratu Ageng merupakan seorang perempuan yang sangat tangguh. Ia
mendampingi sultan pertama dalam semua pertempuran melawan Belanda (1746-
1755) sebelum perjanjian Giyanti. Bahkan ia melahirkan anaknya (yang kemudian
menjadi sultan ke-2) di lereng gunung Sindoro. Setelah kesultanan Yogyakarta berdiri
pasca perjanjian giyanti, Ratu Ageng menjadi panglima pasukan kawal perempuan,
semacam korps srikandi kerajaan.
Ratu Ageng juga terkenal ketekunannya dalam mempelajari dan menjalankan
nilai-nilai ajaran Islam. Ia suka membaca kitab-kitab agama dan tekun menjaga adat
25
Edisi 4 / Maret 2018 SYAMINA

keraton. Usianya sudah enam puluh tahunan ketika ia mulai mengasuh Diponegoro
yang saat itu baru berusia tujuh tahun.41

Network Diponegoro
Pribadi dan kondisi Diponegoro membuatnya memungkinkan dapat
membangun network dengan hampir semua kalangan. Posisinya sebagai anak dan
cucu Sultan Yogyakarta membuatnya begitu disegani dan menambah kharismanya
sehingga bisa diterima bergaul dengan semua kalangan bangsawan di Yogyakarta.
Pengasuhannya oleh nenek buyutnya, Ratu Ageng yang begitu dekat
dengan para ulama dan komunitas santri juga memberikan pengaruh besar bagi
kepribadian dan pandangan hidupnya serta kemampuannya untuk bergaul dengan
kalangan bawah ketika hidup di tengah-tengah petani dan santri di Tegalrejo dalam
kurun waktu lebih dari sepuluh tahun. Faktor-faktor tersebut telah memungkinkan
Diponegoro untuk membangun network ke berbagai kalangan untuk medukung
perang sabil melawan penjajah Belanda yang ia gelorakan. Berikut ini beberapa
network yang berhasil digalang Diponegoro:
1. Ulama dan Santri
Lingkungan kehidupan di Tegalrejo yang religius membentuk kepribadian
dan karakter Diponegoro sebagai muslim yang taat. Seperti anak Jawa yang
lain pada abad 19, semasa mudanya ia berguru di pesantren, berpindah dari
pesantren yang satu ke pesantren yang lain. Karena itu ia mempunyai banyak
guru (kyai, ulama) dan mempunyai hubungan yang luas dengan komunitas
santri.
Diponegoro juga sangat antusias mendalami sejarah kehidupan Nabi
Muhammad dan sejarah Islam. Kegemarannya berkelana dari pesantren ke
pesantren dari masjid ke masjid ataupun ke tempat-tempat yang sepi, gua-
gua, dengan menyamar sebagai santri. Yang paling membahagiakannya tatkala
ia berkumpul dengan santri rendahan yang miskin (lamun kang den karemi
tunggal santri alit kang samya nisthanipun), mengikuti jejak kehidupan Nabi
Muhammad di masa muda.
Pengembaraannya secara fisik dan spiritual, mengubah sikap, gagasan, dan
pandangannya tentang diri dan masyarakatnya. “Saya bukan Diponegoro saya
adalah Ngabdul Kamid”42 dan ia menanggalkan pakaian Jawa, lalu menggantinya
dengan pakaian yang mencontoh Nabi yang serba putih. Secara simbolik
peristiwa tersebut menegaskan idealismenya untuk mengikuti jejak sang Nabi.
Sejak masa pemerintahan ayahnya ia mengidentikkan masyarakatnya dengan
masyarakat Arab pada pra Islam, yang disebutnya masyarakat jahiliyah. Karena

41 Ibid, h.89-90
42 Nama Ngabdul Kamid, menurut Peter Carey mengadopsi nama Sultan Turki Abd Al Hamid I ( 1774-1789)
dan memberikan inspirasi dan motivasi yang kuat terbadap Diponegoro untuk menjadi contoh dan teladan,
Peter Carey "$atria and Santri, Some Notes on the Relationship Between Diponegoro's Keaton and Religious
26 Supporters During the Java War (1825-30) dalam T. Ibrahim Alfian, (eds) Dari Babad dan Hikayat sampai
Sejarah Kritis, 1987, hal. 271
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2018

itu ia berambisi untuk merubah masyarakat jahiliyah, menjadi masyarakat


yang Islami berdasarkan tuntunan Rasul. Untuk menyusun masyarakat baru
dalam wadah balad (negara) agama (Islam) bisa dicapai hanya dengan perang
sabil (jihad) terhadap kafir Belanda.
Pergaulannya yang luas dengan para komunitas santri dan petani
memudahkan ia memperoleh simpati, dukungan, dan pengakuan legitimasi
kepemimpinan oleh masyarakat, sebagai pemimpin yang legal. Apalagi ia seorang
keturunan Sultan.

Hubungannya yang akrab dengan para pemimpin bawahan; demang, bekel,


serta para kyai dan ulama terutama Kyai Mlangi, Kyai Kwaron, Kyai Taptazani
menetapkan tekadnya untuk mendirikan balad Islam. Salah seorang anaknya,
RM. Alip, tatkala diinterogasi oleh Belanda setelah ayahnya memberontak,
menjelaskan bahwa ayahnya bersahabat dengan keluarga ulama Syeh Ahmad,
Mudo Wiryodikromo, dan Jo Mohammad yang tinggal di wilayah Pajang. Mereka
mengakui Diponegoro sebagai pimpinannya.
Diponegoro memiliki kemampuan (power) dan kharisma untuk membangun
solidaritas (masyarakat) melalui aktivitas lobbying terhadap semua golongan
masyarakat tidak terkecuali para bangsawan kelompok Kasepuhan.
Tegalrejo adalah suatu “markplaats”, tempat “menjual dan membeli”
gagasan, konsep-konsep ideologi, politik, kenegaraan, budaya, militer, rencana
strategi dan aksi, serta tempat berkumpulnya pemimpin masyarakat tatkala
Kesultanan Yogyakarta terjadi kekosongan kepemimpinan. Di sini Diponegoro
memperoleh basis legitimasi dan permufakatan sukarela dari kelompok yang
berkepentingan.
Peranan para santri sebagai komunikator terdepan bagi penyampaian ide
dan gagasan balad Islam, perang sabil, tentang masyarakat jahiliyah, tidak
dapat diabaikan, Mereka memiliki jaringan yang luas di masyarakat. Ada
sebuah tradisi di pesantren, seorang santri yang tamat belajar dan akan menjadi
kyai wajib menjalani semacam inisiasi, mengembara dari satu tempat ke tempat
lain untuk mengajarkan ilmunya kepada orang lain (dakwah).
Dukungan untuk Diponegoro juga berasal dari kalangan pejabat dan
pembesar keagamaan. Para penghulu istana Yogyakarta termasuk yang memberi
dukungan. Banyak guru agama dan para ulama dari pondok-pondok dan
pesantren-pesantren yang berasal dari daerah perdikan (daerah bebas pajak)
yang bergabung mendukung perjuangan Diponegoro. Para haji dan para kyai
serta orang-orang yang berpengaruh di desa-desa di wilayah Yogyakarta dan
Surakarta juga menggunakan pengaruh mereka untuk membangkitkan dukungan
menggelorakan perang sabil di desa dan wilayah mereka masing-masing.43

27
43 Peter Cerey, Asal-usul Perang Jawa, LKiS Yogyakarta 2001. h.39-40
Edisi 4 / Maret 2018 SYAMINA

Gambar Peta Daerah Mataram dan Pesantren awal abad 19

Peter Carey menemukan ada 131 kyai, 22 haji, 17 syeh atau syarif, 18
pejabat keagamaan (penghulu, khatib, modin) yang mendukung perang sabil
Diponegoro. Ia menyusun nama-nama pria dan wanita tokoh dari kalangan
santri dan ulama Islam yang mendukung perjuangan Diponegoro, semuanya
berjumlah hampir 200 orang. Di antara mereka terdapat sejumlah orang Arab
dan Tionghoa berdarah campuran (peranakan). termasuk di dalamnya kalangan
santri keraton yang merupakan pejabat agama dan pasukan khusus yang terdiri
dari para pejabat agama seperti kelompok Suronatan dan Suryogomo yang
mengabdi di keraton.
Para penduduk desa-desa perdikan (bebas pajak) dan santri-santri dari
pesantren-pesantren (pathok nagari) yang berada di bawah yuridiksi seorang
ulama atau kyai juga menjadi bagian pendukung perang sabil. Satu kelompok
besar santri lagi adalah yang di bawa oleh Kyai Mojo saat ia bergabung di Selarong
pada awal Agustus 1825. Saat itu Kyai Mojo membawa serta keluarga besarnya
dan para santri yang belajar di pesantrennya di Mojo dan Baderan, kawasan
dekat Delanggu Klaten.
Diantara syekh yang menjadi pendukung Diponegoro adalah syekh Abul
Ahmad bin Abdullah al Anshari dan menantunya yang juga dikenal dengan
syekh Ahmad. Kedua syekh tersebut berasal dari Jedah. Seorang lagi adalah syarif
keturunan Arab bernama Syarif Samperwedi (Hasan Munadi), seorang komandan
28
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2018

resimen kawal Diponegoro bernama Barjumungah yang beranggotakan para


ulama.
Panji-panji perang selalu didoakan para ulama sebelum dibawa ke medan
perang. Panji-panji itu dihiasi dengan gambar bulan sabit, ular dan ayat-ayat
Al Qur’an. Setiap satuan yang terdiri dari 150 orang mempunyai panji tempur
tersendiri yang berwarna merah, putih atau kuning.44
Kedudukan Diponegoro di mata para santri sangat terangkat berkat sifat
keagamaan perlawanannya terhadap kafir Belanda beserta sekutunya orang
Jawa yang ‘kafir murtad’. Sifat agamis perang ini mengandung banyak sisi
sebagai perang suci, atau perang sabil (jihad fi sabilillah). Maka menteri kelautan
dan Jajahan Belanda, C.Th. Elout (menjabat 1824-1829) mengemukakan dalam
suratnya para raja Belanda tatkala ia menolak gagasan untuk berdamai dengan
Diponegoro dengan mengakuinya sebagai raja yang terpisah dari Kesultanan
Yogyakarta. Elout beralasan kuatnya pengaruh keagamaan dalam peperangan
tersebut. Ia menggambarkan bahwa di hampir semua pertempuran kelompok-
kelompok ulama yang mencolok dengan jubah putih atau hijau lengkap
dengan sorban mereka, telah membantu memperkuat semangat juang tentara
Diponegoro dengan menyerukan ayat-ayat Al Qur’an.
Ciri-ciri keagamaan dalam perang itulah yang menyebabkan Elout menolak
saran para pejabat tinggi Belanda agar perang diakhiri dengan cara mengakui
Diponegoro sebagai seorang penguasa kerajaan. Kebijakan yang pernah
dilakukan Belanda terhadap Mangkubumi (Hamengku Buwono I), Raden Mas
Said (Mangkunegoro I) dan Notokusumo (Pakualam I), yang diakui masing-
masing pada tahun 1755, 1757, dan 1812.
Menurut Elout tuntukan Diponegoro agar diakui sebagai pelindung dan
penata agama Islam serta pergaulan eratnya dengan kelompok-kelompok
keagamaan membuat tuntutan tersebut mustahil dikabulkan. Menurutnya
perang itu benar-benar telah mengancam landasan kekuasaan Kristen Eropa di
Jawa, karena hanya faktor agamalah yang membedakan dengan perang-perang
perebutan takhta sebelumnya.45
2. Kaum Bangsawan
Jatuhnya kraton Yogyakarta dan perjanjian-perjanjian yang dipaksakan
setelahnya, menandai suatu fase penting dalam proses mengubah kerajaan-
kerajaan Jawa menjadi sekedar Kerajaan boneka yang tergantung dan
dikendalikan oleh penjajah Eropa. Peristiwa-peristiwa itu telah membawa
kesedihan dan keprihatinan dikalangan bangsawan istana yang masih peduli
dengan kedaulatan negara Islam Jawa. Disamping kedaulatan yang hilang, para
pejabat istana dan keluarga bangsawan banyak kehilangan jabatan dan tanah
lungguh mereka disebabkan perampasan wilayah yang dilakukan penjajah
Eropa.

44 Peter Carey, Kuasa Ramalan Jilid 2, h.738-739 29


45 Ibid. h.741-742
Edisi 4 / Maret 2018 SYAMINA

Perampasan uang perbendaharaan istana sultan juga mempercepat


pemiskinan semua orang yang kebutuhan hidupnya tergantung dengan istana.
Penghinaan yang diterima Yogyakarta tentunya dirasakan pula pada tingkat
psikologis yang sangat mendalam oleh kebanyakan orang Yogyakarta. Istana
dianggap telah tercemar dan ternoda oleh ulah penjajah Eropa dan perlu suatu
upaya pemindahan tempat istana tersebut.
Perasaan demikian membangkitkan harapan baru pada upaya-upaya
Diponegoro pada awal dilancarkannya perang Jawa yang akan menghancurkan
keraton Yogyakarta dan menggantinya dengan yang baru, yang tidak bernoda di
suatu tempat yang lain. Oleh sebab itu banyak dari kalangan bangsawan yang
memihak Diponegoro di permulaan perang Jawa.46
Pada awal perang Diponegoro, sebanyak 15 pangeran dari 29 pangeran yang
tersisa di Yogyakarta mendukung perjuangan Diponegoro. Para abdi dalem
kraton dan anggota pasukan pengawal sultan juga mendukung dan bergabung
dengan pasukan Diponegoro.
Para Bupati saat itu tak kalah antusias menyambut seruan Diponegoro.
Sebanyak 41 bupati dari total 88 bupati di wilayah Yogyakarta telah menyatakan
dukungan dan kesetiaannya ikut berjuang bersama pasukan Diponegoro. Banyak
kepala pemerintahan daerah ini yang kehilangan kedudukan mereka atau
menderita akibat semakin menciutnya tanah-tanah mereka karena pencaplokan-
pencaplokan yang dilakukan oleh penjajah Eropa. Mereka dan para bangsawan
Yogyakarta yang datang ke Selarong mendapat gelar-gelar baru. Para bupati
ini kemudian diperintahkan untuk mengorganisir dukungan di daerah mereka
masing-masing.47
Pada saat pecah perlawanan Diponegoro, wilayah Monconagoro Timur
cenderung berpihak kepada Diponegoro. Tiga orang bupati di wilayah Magetan,
Tumenggung Sosrowinoto, Tumenggung Cokrodipuro dan Tumenggung
Sosrodipuro menyatakan mendukung Diponegoro, Bahkan Bupati Kertosono,
Tumenggung Wironegoro, pada bulan Oktober 1825 mengerahkan pasukan
untuk menyerang orang-orang Cina. Demikian pula dua orang Bupati Rowo,
Tumenggung Pringgokusumo dan Tumenggung Notodiwiryo serta dua orang
rekannya Tumenggung Mangundirono dan Tumenggung dari Kalangbret,
berpihak kepada Diponegoro sekalipun belum melakukan gerakan.48
Dalam Babad Dipanegara versi Surakarta, juga disebutkan bahwa “banyak
para Tumenggung (Bupati), Kliwon, Penewu, Mantri, Pangeran, dan Aria, hampir
setiap malam datang ke Tegalrejo dan berjanji setia dan akan mendukung
Diponegoro, untuk melakukan perang sabil.49 Para bangsawan dan kepala
daerah tersebut tentunya mempunyai banyak prajurit dan pendukung yang ikut
bersama-sama mendukung Diponegoro.

46 Pater Carey, Asal usul…, op.cit. h.12-13


47 Ibid. h.39-40 lihat juga: Subroto, Beban Pajak, Prakondisi Jihad Diponegoro, Syamina edisi 12, September
2017, h.12-13
30 48 P.J.F. Louw, I, 1894, hal.593, E.S. de Klerck, 1905, Bijlage XIV -XV, hal, 876-881, dalam: Djamhari, op.cit. h.38
49 Peter B.R. Carey, Babad Dipanegara, 1981, hal. 10. dalam: Djamhari, op.cit. h.56
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2018

Para bangsawan pendukung Sultan HB II yang dibuang ke Ambon juga


banyak yang mendukung perjuangan Diponegoro. Diantaranya adalah Pangeran
Adiwinoto (Putra Sultan HB II), Pangeran Joyokusumo (pendukung setia HB II),
Haji Ammatir (salah satu ulama penasehat terdekat HB II).50
Pada tahap-tahap awal kepemimpinan utama perang sabil diberikan pada
para pangeran dan pejabat tinggi Yogya yang bergabung dengan Diponegoro.
Banyak pangeran yang datang ke Selarong untuk mendukung perang sabil dan
taat menerima perintah Diponegoro pada akhir Juli dan awal Agustus 1825.
Ketika masih di Tegalrejo Diponegoro telah mengirimkan surat-surat kuasa
(piagem) yang memberi wewenang pada para pangeran dan priyayi untuk
bertindak sebagai panglima perang sabil.
Dalam Babad Kedung Kebo ditulis bahwa Diponegoro menerangkan
maksudnya melancarkan perang sabil dan memerintahkan para komandan
pasukan di desa-desa yang sudah ia angkat agar memobilisasi penduduk
dan memberitahu bahwa mereka akan ikut serta dalam perang sabil atau
perang suci. Diponegoro menyatakan diri sebagai pemimpin agama Islam di
Jawa. Cap resmi Diponegoro yang beraksara arab pegon berbunyi, ingkang
jumeneng Kanjeng Sultan Ngandulkamid Erucokro Kabirul Mukminin
Sayidin Panatagama khalifah Rasulullah ing Tanah Jawi.
Begitu besar permintaan surat kuasa yang dibubuhi cap Diponegoro
sehingga para pendukungnya di tempat-tempat yang jauh, seperti wilayah
Pantura dan wilayah Jawa Timur (manca negara) memohon padanya untuk
mendapatkannya. Beberapa diantara panglima dari kalangan bangsawan
tersebut membawa piagemnya ke kabupaten-kabupaten terdekat, seperti
Pajang dan Sukowati untuk menggalang dukungan. Namun sebagian besar
piagem semacam ini dibagi-bagikan oleh para ulama untuk menyebarkan
berita perlawanan sampai pelosok wilayah Mataram.51

Gambar Piagem Dan Surat Resmi Diponegoro dengan Huruf Pegon dan Cap
Resmi

3. Rakyat di Pedesaan
Diantara para pendukung Diponegoro yang berasal dari daerah-daerah
pedasaan, terdapat sebanyak 78 Demang (pejabat pedesaan) yang berasal dari
berbagai wilayah Mataram. Dukungan massa (milisi) untuk Diponegoro datang
dari penduduk desa yang dikoordinir dan dimobilisasi oleh oleh para pejabat
desa (demang) dan para bangsawan yang berpengaruh. Sebagian besar mereka
menggunakan senjata yang amat sederhana, berupa bandul-bandul dan bambu
yang diruncingkan.

50 Carey, Kuasa Ramalan Jilid 2, h.697 31


51 Ibid, h.732-733
Edisi 4 / Maret 2018 SYAMINA

Beberapa diantara mereka terpilih untuk masuk ke dalam resimen-resimen


pilihan yang menjadi pengawal pribadi Diponegoro. Resimen-resimen pilihan
itu diantaranya bernama; bulkio-bulkio, turkio-turkio, dan arkio-arkio, nama-
nama yang diambil dari resimen Janissary khilafah Turki Utsmani (Ottoman).52
Sebagian besar rakyat Mataram dengan sukarela mendukung dan bergabung
dengan pasukan sabil Diponegoro. Diponegoro benar-benar telah berhasil
menyatukan seluruh komponen dan sumberdaya masyarakat Jawa saat itu
melawan musuh bersama, kafir Belanda dan Cina yang telah menyengsarakan
rakyat. Seorang komandan pasukan gerak cepat Belanda di Bagelan Timur pada
juli 1826 menceritakan:
“Penduduk desa biasa di sini begitu menyatu dengan para pemberontak
sehingga mereka langsung bergabung dengan musuh dan menyerang
orang-orang kita dengan tembakan ketapel yang menyebabkan beberapa
orang kita cedera.”53
De Stuers menggambarkan bagaimana petani-petani Jawa bisa dengan mudah
beralih dari pekerjaan tani ke penyergapan pasukan Belanda dan sekutunya.
Mereka selalu menyisipkan sebuah keris di pinggang, biasanya disembunyikan
dilipatan celana pendek sementara mereka mengolah sawah. Ketika terjadi
perang mereka segera menjadi juru tombak dengan cara mengikatkan senjatanya
di ujung sebuah bambu. Senjata semacam ini paling umum digunakan karena
keefektifannya. Keris yang dimodifikasi menjadi tombak tersebut digunakan
untuk menjatuhkan tentara Belanda dari kudanya saat mereka mengisi ulang
bedilnya.
Setelah penyergapan selesai, mereka mencopot kerisnya dan kembali ke
rumahnya meneruskan hidup sebagai petani yang damai. Karena itu perang
sabil Diponegoro ada yang menyebut sebagai bentuk pemberontakan agraris,
semacam perlawanan petani seperti yang terjadi di Vendee, Prancis Barat (1793-
1795).54
4. Network Logistik
Diponegoro faham akan pentingnya menjaga jalur perbekalannya agak
terbuka. Ia mengangkat seorang putra pamannya, Mangkudiningrat I sebagai
kepala kapal tambang di kali Progo. Selain itu, berbagai kelompok jawara di
Kamijoro dan Mangir yang menguasai tempat-tempat penyeberangan sungai
diundang ke Selarong pada akhir juli 1825 untuk mendapat pengarahan dan
perintahnya. Hal ini wajar karena diantara pendukung perjuangan Diponegoro
adalah para jago (jagoan, pendekar) dan gerombolan wong durjana (geng,
kelompok kliminal) yang berada di bawah kendalinya.
Siasat melumpuhkan jalur komunikasi musuh sambil menjaga kelancaran
jalur perbekalan terus digunakan pasukan Diponegoro selama perang.55 Para

52 Beberapa lembar sejarah peperangan Hindia Belanda dari tahun tahun 1820-1840, Amsterdam 1911, h.34,
dalam; Peter Cerey, Asal-usul…, op.cit. h.41
53 Carey, Kuasa Ramalan Jilid 2, h.718-719
32 54 Carey, Kuasa Ramalan Jilid 2, h.719
55 Carey, Kuasa Ramalan Jilid 2, h.715
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2018

kuli panggul yang bekerja di jalanan merupakan pelaku utama pengangkutan


perlengkapan militer dengan membawa mesiu dalam kantung-kantung kulit
besar. Para bandit yang merupakan momok di pedesaan juga membantu
kelancaran pasokan logistik pasukan Diponegoro.
Para pemasok yang lihai dari Semarang, agar tidak terendus Belanda,
menyembunyikan mesiu di dalam muatan ikan asin saat berlangsungnya
serangan Diponegoro terhadap Surakarta pada Oktober 1826. Belerang dari
dataran tinggi Ijen di selat Bali dekat Banyuwangi tampaknya telah dimanfaatkan
untuk pembuatan mesiu di Jawa saat itu.
Namun kabar bahwa Diponegoro mendapat pasokan dari Lombok
dan Sumbawa serta laporan bahwa ia mendapat senjata dari sebuah kapal
penyelundup Inggris atau Amerika yang berlabuh di muara kali Progo agaknya
tidak berdasar.56
Para wanita juga terlibat dalam memperlancar logistik dan meyiapkan mesiu
pasukan Diponegoro. Di beberapa tempat pembuatan mesiu yang berkualitas
tinggi sebagian dikerjakan oleh kaum wanita. Ada juga laporan tentang para
wanita yang memberikan dan mengantarkan ke medan perang berbagai barang
berharga dan uang kontan untuk menopang biaya perang sabil.57

Strategi Melemahkan Dan Menghancurkan Network Diponegoro


Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada musim
penghujan; para senopati menyadari manfaat bekerjasama dengan alam sebagai
"senjata" tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan
melakukan usaha-usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan
tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria,
disentri, dan sebagainya merupakan "musuh yang tak tampak", namun berdampak
besar karena dapat melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa
pasukan mereka.
Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengonsolidasikan pasukan
dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa-desa dan
kota-kota; menghasut, memecah-belah dan bahkan menekan anggota keluarga
para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang dibawah komando
Pangeran Diponegoro.
Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang
serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu di mana suatu wilayah yang
tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan
ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan
semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang
terbuka (open warfare), maupun metode perang gerilya (guerrilla warfare) yang
dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan (Surpressing).

56 Carey, Kuasa Ramalan Jilid 2, h.718-719 33


57 Ibid. h.725
Edisi 4 / Maret 2018 SYAMINA

Perang ini bukan merupakan sebuah tribal war atau perang suku. Tapi suatu
perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah
dipraktekkan. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war)
melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap
mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi (spionase)
di mana kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai
kekuatan dan kelemahan lawannya.58
De Kock mempelajari dengan cermat situasi perang, untuk menemukan
strategi yang baru, yang memadukan penyelesaian militer dan politik secara
komprehensif. Selama operasi-operasi militer 1825 - 1827, sasaran strategis de Kock
dan van Geen, dengan cara pendekatan langsung, yang meliputi:
Pertama, mengikat persahabatan dengan musuh-musuh Diponegoro,
para pangeran di Kesultanan Yogyakarta, agar setidak-tidaknya tidak membantu
Diponegoro sekalipun bersikap pasif.
Kedua, mengikat persahabatan dengan Sunan Surakarta dan Mangkunagoro,
baik secara militer maupun politis, untuk membentuk pendapat umum bahwa
pemberontakan sebagai perbuatan jahat.
Ketiga, merebut kembali daerah-daerah Kesultanan Yogyakarta yang diduduki
oleh pengikut Diponegoro dan menegakkan kembali keamanan dan pemerintahan
agar pajak-pajak dapat dipungut kembali dan perekonomian berjalan lancar.
Keempat, menggiring pasukan pemberontak ke daerah antara Sungai Progo
dan Bogowonto (killing area), dan selanjutnya di daerah ini pemberontakan akan
dihancurkan.
Kelima, menangkap pemimpin tertinggi pemberontak Diponegoro, sebagai
"center of gravity" atau "to capture of whatever they prize most ".59
Tertangkapnya pimpinan tertinggi pemberontak diharapkan berpengaruh
terhadap pengikutnya dan pemberontakan dapat segera padam. Dalam pikiran de
Kock, sebenarnya ia ingin membiarkan lawan berperang dengan cara perangnya
sendiri, sampai mereka kehabisan logistik, namun ternyata keliru. Prajurit-prajurit
Diponegoro mampu bertahan hanya dengan makan nasi kering (sego aking) dan
garam. Pada bulan Juni 1826, de Kock menyebarkan seruan kepada para pengikut
Diponegoro, bahwa bagi mereka: para tumenggung, demang, ulama, lurah yang
dengan sukarela menyerahkan diri akan diberi pengampunan.60 Secara makro
pelaksanaan operasionalnya gagal karena perang tidak dapat diselesaikan dalam
tempo dua tahun. Kegagalannya operasional 1825 - 1827 dipengaruhi oleh beberapa
faktor.
58 Rijal Mumazziq, Menelusuri Jejak Laskar Diponegoro di Pesantren, Jurnal Falasifa, STAI Al-Falah As-Sunniyyah
Kencong Jember, Vol. 7 Nomor 1 Maret 2016, h.145-146
59 Dalam strategi militer, pemimpin atau tokoh dikategorikan sebagai "center of gravity". Dalam perang kecil,
kecuali pemimpin tertingginya, center of gravity sangat sulit ditentukan. Karena itu sasaran pokoknya adalah
sesuatu yang paling berharga bagi mereka, menangkap atau membunuh para pimpinannya, menghancurkan
sumber penunjang kemampuan perangnya, menawan keluarga atau anak isterinya (to capture of whatever
they prize most), C.E. Call well, 1976, hal. 34. dalam; Djamhari, op.cit. h.108-109
60 ANRI, Oproep H.M. de Kock aan de aanhangers van Diponegoro om den opstand te beeindigen, Juni 1826,
34 Arsip Djocja .9.9.2/7 dalam; Djamhari, op.cit. h.109
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2018

Akhir tahun 1826 situasi mulai berbalik, pasukan Diponegoro mulai


kewalahan dengan strategi baru penjajah. Strategi baru itu adalah gabungan antara
strategi benteng darurat (benteng stelsel) dan pada saat yang sama melipatgandakan
pasukan gerak cepat.
Pada masa ini, di medan Bagelen yang menonjol adalah keberhasilan Kolonel
Cleerens dalam melaksanakan operasi teritorial. Para pemuka pribumi yang diangkat
memperoleh penghasilan yang besar, di samping gaji mereka seperempat bagian
dari hasil pajak yang dipungut. Mereka dibebani untuk membentuk dan memelihara
Barisan dan sejumlah kuli untuk sebagai tenaga bantuan operasi militer. Tugas
mereka terutama mengamankan daerah dengan mengawasi aktivitas orang-orang
yang tidak dikenal. Penduduk asli atau orang yang tidak dikenal (asing), yang dicurigai
membantu pasukan Diponegoro diusir dari desa tempat tinggal mereka.
Operasi teritorial ini bertujuan untuk merebut daerah yang dikuasai oleh
pasukan Diponegoro, memisahkan pasukan Diponegoro dari rakyat setempat.
Secara strategis sebagai upaya menggagalkan strategi atrisi Diponegoro yang
berbasis wilayah. Banyak para pimpinan pasukan Diponegoro karena bujukan
uang dan hadiah kemudian menyerah. “Fanatisme dan patriotisme dilumpuhkan
melalui kantongnya.” Pada 1829 sebagian besar wilayah Bagelen berhasil direbut
oleh Cleerens. Wilayah Diponegoro tinggal di Bagelen Tengah di lembah lima sungai
(Sungai Watu, Loni, Gembor, Alang-alang Ombo, dan Lesung) dan pasukannya
dikonsentrasikan di sekitar Kemiri.61
Dalam pelaksanaan operasi-operasi militer 1828, terdapat perbedaan
antara daerah operasi Bagelan dan Yogyakarta. Komando Daerah Operasi Militer
Yogyakarta, yang dipimpin oleh Kolonel F.D. Cochius, menggunakan pola represif,
menghancurkan sumber kekuatan lawan, pangkalan logistik lawan, merampas
harta benda dan memperlakukan lawan secara tidak manusiawi, baru membangun
benteng. Di Daerah Operasi Militer Bagelen, Kolonel Cleerens menerapkan operasi
militer yang sesuai dengan kondisi setempat. la menerapkan pola operasi yang
represif sekaligus operasi militer yang persuasif. la mengijinkan anak buahnya untuk
melakukan gencatan senjata (wapenstilstand) secara lokal untuk memperoleh waktu
dan persiapan yang lebih baik, demi keselamatan anak buahnya. Cleerens melakukan
gencatan senjata (lokal) di sekitar Benteng Cengkawak dengan Tumenggung
Cokrojudo, komandan pasukan Diponegoro yang menguasai desa-desa tepi timur
Sungai Bogowonto.
Bagaimana pun bentuk operasi taktisnya, Jenderal de Kock tetap berpegang
pada strategi besarnya, merebut kembali wilayah Kesultanan Yogyakarta dengan
melipatgandakan pasukan gerak cepat dan sistem benteng serta melalui indirect
approach dengan mengejar center of gravity atau to capture whatever they prize most
pihak lawan.
Dalam kepemimpinan perangnya yang terpenting adalah sejak bulan Maret
1828, Jenderal de Kock sebagai pemimpin tunggal yang mengendalikan seluruh

35
61 Djamhari, op.cit. h.276
Edisi 4 / Maret 2018 SYAMINA

operasi militer taktis maupun strategis. Sifat kepemimpinannya terbuka, sampai


pada masalah-masalah sederhana diperintahkan agar dilaporkan kepadanya.62
Jenderal de Kock, mempelajari buku yang ditulis oleh Mayor Jenderal
Malcolm, The Political History of India, kemudian memadukan model operasi
Jenderal Malcolm, model Lazarre Roche serta pengalaman pasukannya sendiri
di medan, secara konsisten diterapkan dalam Rencana Operasi 1827. Tetapi baru
pada tahun 1828, memberikan prestasi yang nyata, dengan menyerahnya beberapa
pemimpin utama pasukan Diponegoro, seperti Pangeran Notodiningrat, putera
Pangeran Mangkubumi, salah seorang pimpinan pasukan elite Bulkiyo dan terutama
Kyai Mojo, center of gravity dari peperangan.63
Menurut sejarawan Inggris, Peter Cerey, kegagalan Belanda menghancurkan
perang sabil yang dilancarkan Diponegoro dengan cepat, dan berlarutnya
pertempuran dalam perang Jawa disebabkan karena ketiadaan seorang penasehat
strategi militer seperti Snouck Hurgronje. Setelah membahas sejarah jalannya
peperangan Cerey menyimpulkan;
“Barangkali kelemahan terbesar terletak dalam pemahaman Belanda
akan unsur Islam dalam perang tersebut, mereka bertempur secara buta.
Tidak ada seorang Christian Snouck Hurgronje (1857-1936) yang memberi
mereka nasihat. Seandainya ada, de Kock dan para komandan militer senior
lainnya bisa terdorong untuk memanfaatkan ketegangan antara pendukung
Diponegoro yang santri dan yang berasal dari keraton sejak dini dan dengan
akibat yang lebih besar. Tentunya kesalahan memalukan yang berkaitan
dengan siasat bumi-hangus van Geen di Jawa Tengah selama tahun 1825-
1827 yang berakibat pada permusuhan penduduk desa mungkin bisa
dihindari. Selain itu, kebijakan yang bersahabat berdasarkan penghormatan
terhadap lembaga-lembaga dan kebiasaan Islam, khususnya pemulihan
wewenang pengadilan Islam (surambi), bisa jadi akan sangat membantu
menghilangkan bermacam kekecewaan para pendukung Diponegoro dari
kalangan santri.”64

Pendekatan Budaya
Sebagai bagian dari operasi militer, de Kock mengutus P.P. Roorda van
Eysinga, Kepala Urusan Pribumi dan seorang ahli tentang orang Jawa (Javanicusi,
untuk datang ke Rembang menemui Kepala Penghulu, Notorojo untuk mengadakan
tukar pikiran tentang orang Jawa. Notorojo memberikan rekomendasi atas empat
hal, agar orang Jawa tidak memberontak,
Pertama, jangan diganggu agamanya.
Kedua, jangan di ganggu anak dan isterinya.
Ketiga, harus saling menghormati.

62 Djamhari, op.cit. h.242


36 63 Djamhari, op.cit. h.241
64 Carey, Kuasa Ramalan Jilid 2, h.773-774
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2018

Keempat, tunjukkan sikap yang bersahabat.65


Sejak 1827, pimpinan operasi diambil alih oleh Jenderal de Kock, dari tangan
Mayor Jenderal van Geen. Jenderal de Kock kemudian menetap di Markas Besar di
Magelang. Pada tahun ini Jenderal de Kock merintis perundingan dengan tokoh-
tokoh perlawanan. Pada Oktober 1828, Belanda sangat senang karena berhasil
memulai perundingan dengan Kyai Mojo, Kyai Mojo dianggap begitu berharga
karena memiliki prajurit 2000 - 3000 orang. Sekalipun belum membuahkan hasil,
yang terpenting adalah peristiwa ini memberikan efek psikologis para pengikutnya.
Selama perundingan diadakan gencatan senjata (wapenstilstand) selama satu bulan
5 hari.66

Black Campaign
Pada rencana operasi tahun 1827, para Komandan diperintahkan untuk
mengintensifkan operasi intelijen mengerahkan pribumi yang dapat dipercaya
dengan diberi bayaran dan perawatan yang baik. Para bangsawan pemilik apanage
yang dengan sengaja di kirim ke medan perang, untuk mempengaruhi masyarakat
agar tidak melakukan “perbuatan jahat”. Istilah ‘’brandal” dipopulerkan di
masyarakat. Dari rencana operasi ini dapat dipahami Jenderal de Kock mulai
melakukan pendekatan baru.67

Offensife Swarming Dengan Stelsel Benteng Pasukan Gerak Cepat


Akhir tahun 1826 situasi mulai berbalik, pasukan Diponegoro mulai
kewalahan dengan strategi baru penjajah. Strategi baru itu adalah gabungan antara
strategi benteng darurat (stelsel benteng) dan pada saat yang sama melipat gandakan
pasukan gerak cepat (Kolone Mobil). Pada saat dimulai strategi benteng hanya ada
8 kolone pasukan gerak cepat, tetapi saat akhir perang berlipat ganda menjadi 14
kolone. Daerah operasi mereka terentang dari dari Banyumas di Sebelah Barat
sampai ke Boyolali di Sebelah Timur.68
Stelsel Benteng sebagai sistem senjata diaplikasikan untuk sasaran politik,
sosial, ekonomi, budaya, dan militer. Dari aspek taktis, Stelsel Benteng diaplikasikan
dalam bentuk patroli-patroli taktis-ofensif secara teratur untuk memaksa lawan
ke suatu daerah yang dikehendaki oleh strategi. Dari aspek strategi, Benteng
dengan operasi tempur, operasi teritorial, psikologi, dan budaya yang dilaksanakan
oleh kolone-kolone, berhasil memisahkan musuh dengan rakyat, mencegah dan
membatasi ruang geraknya atau keleluasaan bergeraknya Sejumlah benteng
dibangun, menyebabkan mobilitas lawan tinggi, konsentrasi kekuatan lawan
terpecah belah, kelelahan perang dan menurunnya semangat berperang sampai
akhimya mereka menyerah. Namun dalam pelaksanaannya Jenderal de Kock harus
membangun 258 benteng dengan berbagai macam ukuran yang tersebar di seluruh

65 Djamhari, op.cit. h.175


66 Djamhari, op.cit. h.19
67 Ibid, h.123 37
68 Carey, Kuasa Ramalan Jilid 2, h.753
Edisi 4 / Maret 2018 SYAMINA

medan (Pajang, Mataram, Kedu, Bagelen, Ledok, dan Monconegoro Timur) yang
menelan biaya sangat besar dengan jangka waktu perang yang panjang.
Strategi Benteng yang diaplikasikan dalam bentuk operasi-operasi teritorial
yang persuasif dan operasi psikologis berhasil melemahkan sikap fanatisme para
pimpinan pasukan Diponegoro tanpa merasa direndahkan martabatnya.69
Bersamaan dengan aktivitas operasi teritorial, Kolonel Cleerens menambah
jumlah benteng di bekas pangkalan pasukan Diponegoro di Penunggulan, Banyuurip,
Gedungong (Kedunggong), dan Tanggung di sebelah timur Sungai Bogowonto. Pada
prinsipnya operasi teritorial secara strategis sebagai lawan dari operasi teritorial
Diponegoro, yakni merebut daerah secara persuasif untuk memperoleh keleluasaan
ruang gerak bagi pasukan tempurnya. Fungsi benteng yang semula terbatas sebagai
perlindungan dan ertahanan, berubah menjadi tempat melakukan berbagai aktivitas
operasi teritorial, sebagai tempat berunding dengan pimpinan pasukan Diponegoro.
Biasanya perundingan diakhiri dengan pemberian hadiah yang berupa uang, opium
atau kain sarung.70
Pada Rencana Operasi 1827 Jenderal de Kock belum membayangkan berapa
jumlah benteng yang akan dibangun. Benteng baru berfungsi sebagai tempat
berlindung pasukannya dan tempat mengamati daerah yang diperkirakan akan
menjadi pusat kekacauan, seperti Bantulkarang, Selarong, dan daerah tepi barat
Sungai Progo.71
Di desa-desa yang strategis dan terpencil dibangun benteng, sekalipun
dalam bentuk sederhana, tanpa meninggalkan persyaratan pokoknya yaitu harus
dipersenjatai dengan dua pucuk meriam. Pasukan yang melakukan patroli intensif
dan berpindah-pindah sesuai dengan kondisi taktis dan strategis. Konsekuensi dari
pembangunan benteng-benteng adalah pembuatan jaIan dan prasarana lainnya yang
berarti membuka jaringan komunikasi antara daerah baru yang semula terisolasi,
karena benteng berfungsi juga sebagai markas komando yang membawahi sejumlah
pos depan di medan. Jumlah benteng yang dibangun sama dengan luas penguasaan
daerah.
Dari aspek strategi benteng merupakan tanda batas operasi atau prestasi
penguasaan medan, yang mempersempit ruang gerak lawan, yang secara politis
merupakan simbul penguasaan daerah. Akibat dari pembangunan benteng ini
Jenderal de Kock berhasil memaksa pasukan Diponegoro selalu mobil, karena
sempitnya medan, sehingga menguras energi dan membuat mereka frustrasi
karena kecapaian (war fatigue), serta kehilangan kemauannya untuk berperang.
Inilah sukses dari strategi Benteng dari aspek strategi. Oleh karena itu setiap
upaya pembangunan benteng dan keberadaan benteng di suatu medan, dihambat,
dihalang-halangi dan menjadi sasaran strategis pasukan Diponegoro.72
Akhir tahun 1828 masih ada kemenangan gemilang bagi pasukan sabil,
termasuk diantaranya keberhasilan menghancurkan pasukan gerak cepat ke-8
69 Djamhari, op.cit.h.296
70 J. Hageman Jez., 1856, h. 234. Dalam Djamhari, Ibid, h.227
38 71 Ibid, h.123
72 Djamhari, op.cit. h.240
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2018

(kolone mobil 8) di Kroya Bagelan Timur. Namun secara umum pasukan sabil yang
tersisa mulai terdesak dan terjepit oleh musuh. Tertangkapnya Kyai Mojo pada
November 1828 menjadi pukulan berat bagi tentara Diponegoro.
Strategi Belanda mendirikan benteng-benteng darurat untuk melindungi
desa yang baru direbut mulai mempersulit Diponegoro dan panglimanya untuk
mendapatkan pasokan logistik terutama bahan keperluan pokok. Secara khusus
timbul kesulitan memungut pajak guna membiayai seluruh pasukan inti. Sementara
itu di tengah kesulitan ekonomi ini, patih Adipati Abdullah Danurejo dipersalahkan
oleh beberapa panglima atas ketidakbecusan pemerintahannya.
Dalam keadaan yang makin sulit inilah panglima Sentot menulis surat ke
Diponegoro pada Desember 1828. Ia meminta, agar diberi izin untuk langsung
memungut pajak untuk keperluan prajuritnya yang berarti mengabaikan
pemerintahan patih. Permintaan ini menyebabkan Diponegoro sangat prihatin
karena ia sungguh menyadari perannya di mata rakyat sebagai seorang pemimpin,
Sultan dan ratu adil yang akan menjamin berlakunya kebijakan pajak yang ringan
dan tersedianya pangan dan sandang yang murah. Ia khawatir jika jika sentot
diperbolehkan menggabungkan wewenang pemerintahan dan militer, rakyat kecil
akan tertindas dan dukungan mereka terhadap perang sabil akan sirna. Setelah
dimusyawarahkan dengan para penasehatnya akhirnya ia mengabulkan permintaan
Sentot tersebut.
Hal ia khawatirkan akhirnya terjadi. Terjadi beberapa penyimpangan dalam
penarikan pajak, ada yang menarik pajak melebihi ketentuan yang berlaku. Setot
juga sudah tidak fokus dengan perang karena sibuk menerima laporan pajak,
sehingga kurang sigap mengahadapi pergerakan musuh yang berakibat fatal dengan
kekalahan dengan jumlah korban yang banyak.
Dengan semakin banyaknya benteng-benteng Belanda, pemerintahan
Diponegoro sudah kesulitan menyediakan kebutuhan pokok bagi rakyat yang berada
di bawah kontrolnya karena penyaluran logistik terhambat dengan blokade benteng
yang ada di mana-mana. Hal itu mengakibatkan pasokan pangan semakin jarang
dan mahal. Di samping itu jumlah pasar yang berada di bawah kontrol Diponegoro
juga semakin sedikit, membuat pemerintahannya kesulitan membayar gaji para
prajuritnya dan menambah tekanan ekonomi bagi pemerintahannya.
Dengan kondisi semacam itu para pejabat desa yang dulu mendukung
perjuangannya sekarang berbalik melawan dan memilih pulang kembali ke wilayah
yang berada di bawah kendali benteng Belanda dimana mereka dijamin mendapat
kehidupan yang lebih baik dan perlindungan keamanan. Hal itu mungkin juga
dipengaruhi oleh kebijakan dan strategi Belanda yang berusaha mengambil hati
rakyat dengan janji akan memberi bajak, hewan penariknya dan benih secara gratis
jika mereka mau pindah ke daerah yang mereka kuasai. Belanda juga merayu rakyat
dengan mengurangi pajak, memperkecil jumlah pekerja paksa dan membayar lebih
banyak upah buruh harian di sekitar benteng untuk mendorong para petani dan
keluarganya tinggal dan menetap.
39
Edisi 4 / Maret 2018 SYAMINA

Akibat tak terhidarkan dari perkembangan ini, pada akhir September 1829,
pada tahun keempat peperangan, perlawanan teratur terhadap Belanda di daerah-
daerah persawahan subur Jawa Tengah berakhir. Semangat Diponegoro masih
membara, namun pamannya, Mangkubumi dan para komandannya sudah lemah
sekali karena tidak ada yang bisa dimakan.73

Usaha Merobohkan Tiang-tiang Penyangga (Ulama dan Santri)


Hanya ada dua orang yang memiliki kemampuan memahami pikiran strategis
Diponegoro, yaitu Pangeran Bei dan Kyai Mojo, sekalipun mereka berbeda pendapat
tentang konsep perang sabil. Oleh karena itu keduanya dianggap sebagai musuh
pemerintah Belanda yang jahat (Gouvernement bitterste vijanden), karena mereka
tokoh penting yang berhasil menanamkan motivasi dan mengembangkan ideologi
perang sabil dan sikap fanatik kepada bawahannya, sehingga mereka menjadi
prajurit yang berdedikasi tinggi.74

Kyai Mojo (kira-kira 1792-1849) Ulama Penasihat Diponegoro


Namun tahun 1827 bibit-bibit perpecahan kemudian tumbuh dan
mengganggu hubungan harmonis yang selama ini terjalin antara Diponegoro dan
Kyai Mojo. Hal itu dimulai ketika mereka berbeda pendapat dalam memutuskan
untuk menyerang Surakarta. Akhir 1826, ketika pasukan perang sabil banyak
memperoleh kemenangan di medan perang. Wilayah pajang yang dekat dengan
Surakarta sebagian besarnya telah jatuh ke tangan pasukan Diponegoro.

40 73 Carey, Kuasa Ramalan Jilid 2, h.767-769


74 Djamhari, op.cit. h.180-181
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2018

Kyai Mojo kemudian mengusulkan agar daerah di sekitar Surakarta yaitu


Boyolali dan Kalitan segera direbut yang tujuan akhirnya adalah menguasai keraton
Surakarta. Diponegoro kurang sependapat dengan Kyai Mojo. Peluang bagi kemajuan
militer terbuang sia-sia karena perselisihan tersebut. Beberapa pekan terbuang
begitu saja sampai akhirnya pada 15 Oktober 1826, 5.000 tentara Diponegoro
mulai menyerang Surakarta namun menderita kekalahan di Gawok, sebelah barat
Surakarta. Saling menyalahkan terjadi antara kalangan bangsawan dan santri.

Mangkunegoro II (bertakhta, 1796-1835) komandan Legiun Mangkunegaran


pendukung Belanda
Pada Agustus 1827 terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat lagi
antara Diponegoro dan Kyai Mojo mengenai posisi dan kedudukan ulama dalam
pemerintahan Diponegoro. Kyai mojo ingin agar ada pembagian kekuasaan dalam
pemerintahan Diponegoro. Diponegoro sebagai kepala negara (ratu/raja), penguasa
politik sedang ia sebagai ulama diberi kedudukan sebagai panotogomo (yang
mengatur segala urusan agama Islam). Ia mencontohkan kedudukan para wali
dalam pemerintahan Islam di Demak. Namun Diponegoro menolak usulan tersebut.
41
Edisi 4 / Maret 2018 SYAMINA

Ia ingin seperti sosok sultan Agung yang berkedudukan sebagai raja atau Sultan
sekaligus panotogomo.75
Perbedaan pendapat antara dua tokoh kunci perang sabil tersebut agaknya
diketahui oleh Belanda yang berusaha mengeksploitasi perbedaan pendapat
tersebut untuk kepentingan melemahkan perjuangan Diponegoro. Hal ini terbukti
ketika pada 22 September 1827, datang dua orang utusan Kyai Mojo (H. Ngabdul
Wahab dan Jakaria) pada Jenderal de Kock. Pada kesempatan ini Jenderal de Kock
menulis surat menawarkan sejumlah uang sekiranya Kyai Mojo mau berunding di
suatu tempat, yang jauh dari tempat Diponegoro. Dari tawaran tersebut tampak jelas
usaha Belanda untuk memecah persatuan Diponegoro dengan Kyai Mojo.
Tawaran kali ini tidak menggoyahkan pendirian Kyai Mojo, untuk tetap berdiri
di pihak Diponegoro, Bersamaan dengan tawaran itu Kyai Mojo juga menerima
surat dari Pangeran Purboyo yang menyarankan agar ia menghentikan perang. Ia
membalas: “tidak ada raja yang berbaik budi yang mengangkat derajat para ulama,
selain Sultan Hamid. Darah yang tertumpah dalam perang untuk memperkuat
keyakinan agama berdasarkan perintah al-Qur’an.”
Ngantepi Islamnya samya nglampahi parentah, dalil ing Qur ‘an pan ayat
Katal 76

memantapkan Islamnya bersama melaksanakan perintah, dalil di dalam al-


Qur’an ayat Qital (perang).77
Tatkala berada di Pengasih, pada bulan Juni 1828, Diponegoro menerima
surat dari Residen Kedu, van Valck, yang isinya menyampaikan tentang keinginan
Jenderal de Kock yang mengajak mengakhiri perang. Surat residen tersebut setelah
dibicarakan bersama dengan Kyai Mojo, Pangeran Ngabei, dan Raden Adipati
Anom, mereka menolak ajakan Jenderal de Kock seperti yang pernah terjadi dalam
pertemuan di Joholanang bulan Agustus 1827 antara Kyai Mojo dan Kapten Stavers.
Diponegoro memutuskan mereka bertiga tidak seorangpun boleh bertemu dengan
Residen Kedu van Valek (tan kalilan lamun panggya Ian Residhen Kedhu iki).
Pada bulan Oktober 1828, Kyai Mojo meninggalkan desa Pengasih, Markas
Besar Diponegoro, bergerak menyeberangi Sungai Progo menuju pajang, seperti
perintah Diponegoro padanya. Usaha Belanda tidak berhenti, keretakan hubungan
antara Kyai Mojo dengan Diponegoro dimanfaatkan oleh Belanda. Dalam perjalanan
ke Pajang, ia berubah pendirian. Ia terbujuk oleh muridnya Kyai Dadapan (Kyai
Barmawi) agar pergi ke Melati untuk bertemu dan berunding dengan Wironegoro.
Dalam pertemuan tersebut, Kyai Mojo mengajukan beberapa permintaan dan
syarat. Wironegoro menyanggupi semua permintaan Kyai Mojo dengan syarat mau
menghentikan perang. Setelah berunding yang dirancang dan sengaja dibuat gagal,
Kyai Mojo beserta pasukannya menuju Pajang. Dalam perjalanannya pasukan Kyai
Mojo diikuti oleh Letnan Kolonel Le Bron de Vexela bersama anak buahnya, yang
pada dini hari tanggal 11 November 1828 mencegat dan menyergap pasukan Kyai
75 Carey, Kuasa Ramalan Jilid 2, h.749
76 Babad Diponegoro, II, 1983, hal. 144, yang dimaksud ayat qatal/qital adalah; Al-Baqarah (Q.S. 2:190-191), Al-
42 Anfal (Q.S. 8:60), At-Taubah (Q.S. 9:36), dan Al-Hajj (Q.S. 22:39-41), lihat; Djamhari, op.cit. catatan kaki h.138
77 Djamhari, op.cit. h.137-138
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2018

Mojo, yang berada di tepi barat Sungai Bedog. Pasukan Kyai Mojo yang berkekuatan
500 orang di desa Babedan, disergap oleh detasemen yang dipimpin oleh Letnan
Roeps. Dari tempat tertangkapnya, Kyai Mojo dan pengikutnya dibawa ke Salatiga.
Pada 17 November 1828 Jenderal de Kock datang ke Salatiga, menemui
Kyai Mojo bersama Residen Kedu F.G. van Valek dan Letnan Kolonel Rcest, Kepala
Staf Panglima. Dalam pertemuan itu, Kyai Mojo mengemukakan bahwa dalam
kepercayaan agama Islam di Jawa terutama di Yogyakarta, ada satu keinginan
untuk menghapus kekuasaan raja. Ketika ditanya apakah ia setuju kalau Pulau Jawa
dikembalikan kepada Diponegoro? Kyai Mojo menjawab sebaiknya Pulau Jawa
dikembalikan kepada Diponegoro. Apakah sekiranya pemerintah setuju agama
Islam dijadikan agama negara, apakah Pangeran Diponegoro akan menanda tangani
perjanjian penghentian perang? Kyai Mojo menolak menjawabnya.
Dalam pertemuan tersebut pemerintah Hindia Belanda memberi
kesempatan kepada Kyai Mojo untuk memilih :
a. Bahwa orang-orang Belanda akan berkuasa di Pulau Jawa sampai pemberontak
bersedia bergabung lagi dengan Sunan Surakarta atau Sultan Yogyakarta.
b. Bahwa pemerintah (penjajah Hindia Belanda) tidak mempunyai maksud untuk
mengubah Islam yang menjadi keyakinan mereka. Sebaliknya agama tetap berada
di bawah lindungan Sultan atau Sunan yang tetap setia kepada agama dan negara.
Masalah-masalah yang berkaitan dengan agama tetap bernafaskan Islam dan
mengacu kepada Qur’an.
Kyai Mojo tidak menjawab pertanyaan tersebut dan menyerahkan kepada
adiknya Kyai Hajali ntuk menjawabnya. Dalam masalah agama dan negara ia tetap
memegang teguh prinsip dan pendiriannya. Kyai Mojo tetap sependirian dengan
Diponegoro, menghapuskan kerajaan, dan membangun balad Islam.
Kyai Mojo kemudian menyanggupi akan menulis surat kepada Diponegoro.
Surat Kyai Mojo kepada Diponegoro sangat singkat, ia meminta Diponegoro
mempertimbangkan kembali pendiriannya terhadap pemerintah, ia mengutip ayat
al Qur’an, yang juga diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda, “Als men den vrede
aanbiedt ten goeden, maet de gene aanwien de vrede aangeboden wordt, dit aanbood
aannemen en billijke vaorwaarden (of overeenskomst) maken”, Surat tersebut
dibawa oleh Hajali bersama kitab Tatakul Wahab.78
Diponegoro amat marah setelah membaca surat Kyai Mojo. Perbuatan Kyai
Mojo dinilai sebagai perbuatan nista, perbuatan orang takut mati, menghina para
rekan-rekannya yang telah gugur karena perang sabil menegakkan agama Islam.79
Menurut sumber Belanda, Kyai Mojo menuntut agar ia dan keluarganya bisa
kembali ke Pajang dan memperoleh hak-hak istimewa -seperti yang telah diberikan
pada para bangsawan yang menyerah dan berdamai dengan Belanda-, termasuk
pengakuan atas dirinya sebagai panotogomo di keraton yang difasilitasi pasukan
khusus yang terdiri dari bekas pasukan Bulkio. Namun semua tuntutan itu tidak
dipenuhi Belanda. Satu hal yang tidak disadari Kyai Mojo adalah sikap Belanda
78 Djamhari, op.cit. h.243-245 43
79 Djamhari, op.cit. h.184-185
Edisi 4 / Maret 2018 SYAMINA

yang jauh lebih lunak terhadap bara Bangsawan yang membelot ke pihak mereka
daripada para santri terkemuka seperti dirinya. Hal ini karena ulama dianggap
orang yang bertanggung jawab dalam mengobarkan semangat perang sabil dalam
perlawanan Diponegoro.
Setelah ditangkap Kyai Mojo dikirim ke Salatiga, Semarang dan kemudian ke
Batavia. Di Batavia ia ditahan selama setahun dan dibujuk agar ia mau menggunakan
pengaruhnya untuk membelotkan sejumlah pemimpin perang Jawa yang lain.
Namun karena Belanda gagal membujuknya, maka ia kemudian diasingkan di
Tondano seumur hidup.80
Para komandan Belanda begitu takut dan khawatir dengan pengaruh
dan peran serta para ulama dalam peperangan, sehingga mereka juga berusaha
menyertakan ulama dalam barisan tentara mereka. Mereka memerintahkan para
ulama tersebut untuk memimpin zikir sebelum pasukan berangkat berperang. Hal
itu bertujuan untuk menguatkan semangat tempur pasukan Belanda dari unsur
pribumi yang beragama Islam. Para komandan Belanda juga mengikutsertakan tokoh
agama terkemuka dalam berbagai perundingan dengan pihak Diponegoro sebelum
1830 dengan harapan akan meningkatkan kekuatan runding mereka. Setelah perang
usai para ulama pendukung Diponegoro juga berusaha direkrut untuk menduduki
jabatan penghulu dan asisten penghulu di berbagai kabupaten yang baru dibentuk
di daerah-daerah yang baru direbut pada 1830.81

Menggerogoti Network dari kalangan Bangsawan.


Keberhasilan menangkap Kyai Mojo dan pasukannya merupakan sukses
besara bagi Belanda, Jenderal de Kock kemudian memerintahkan untuk sekali lagi
melakukan hubungan dengan Ali Basah Sentot Prawirodirjo salah seorang center
of gravity peperangan. Pada bulan Januari 1829, Kapten Roeps bersama Kyai Hajali
berhasil menemui Sentot di desa Kalibondol tepi barat Sungai Progo menyampaikan
surat Kyai Mojo. Temyata di tempat tersebut telah berkumpul para Pangeran
pimpinan pasukan Diponegoro. Mereka menyatakan mendapat perintah dari
Diponegoro untuk menentukan perang atau damai.82 Usaha perundingan dengan
sentot kali ini gagal. Karena diponegoro tidak setuju dengan draf perundingan yang
ditawarkan de Kock.
Di samping operas militer, Jenderal de Kock melancarkan operasi intelijen
dan operasi psikologi terhadap pimpinan pasukan Diponegoro. Diangkatnya kembali
Sultan Sepuh bulan Agustus 1826, adalah salah satu strateginya untuk menggerogoti
kekuatan jaringan Diponegoro dari kalangan Bangsawan. Strategi itu mempunyai
pengaruh besar terhadap sebagian bangsawan yang berpihak kepada Diponegoro.
Cucu Sultan Sepuh, Pangeran Mangkudiningrat pimpinan pasukan Diponegoro
di Sambiroto meninggalkan Diponegoro. Setelah diangkatnya kembali Sultan
Sepuh, ia menghubungi Residen Kedu, van Valek, menyatakan keinginannya untuk
menghentikan permusuhan dengan meminta imbalan apanage di Kaliabu.
80 Carey, Kuasa Ramalan Jilid 2, h.751-752
44 81 Carey, Kuasa Ramalan Jilid 2, h.741
82 Djamhari, op.cit. h.245-246
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2018

Sentot Ali Basah (kira-kira 1808-1855)


Sekalipun permohonannya ditolak, Mangkudiningrat tetap menyerah pada 1
Desember 1826, tepat pada hari upacara pengangkatan Sultan Sepuh di Yogyakarta,
bersama prajuritnya yang berkekuatan 250 orang bersenjata api, yang dipimpin oleh
Tumenggung Wiryodiningrat. Kasus menyerahnya Pangeran Mangkudiningrat ini
dicermati oleh Jenderal de Kock. Jendera de Kock kemudian memerintahkan para
Residen Solo, Kedu, dan Yogyakarta untuk menulis surat kepada para pemimpin
pasukan Diponegoro, dengan bunyi dan maksud yang sama, mengajak berdamai
dan menghentikan permusuhan.
Pangeran Notoprojo dan Pangeran Serang, pemimpin pasukan Diponegoro
di sekitar Gunung Kidul, yang kemudian dipindahkan ke Pasar Gede, terbujuk. Sejak
bulan Mei 1827, Residen Yogyakarta, Lawick van Pabst merintis kontak dengan
Pangeran Notoprojo, dilanjutkan oleh Kolonel Cochius, Komandan Komando
Daerah Operasi Yogyakarta. Kedua pangeran ini semula pemimpin pasukan
Diponegoro di Serang dan daerah Semarang sejak 1825, kemudian diangkat sebagai
Bupati Yogyakarta Timur yang berkedudukan di Kota Gede.
Tanpa kesulitan pada bulan Juli 1827 mereka menyerah, bersama 47 demang,
280 prajurit, 485 pengikutnya yang seluruhnya berjumlah 820 orang. Notoprojo
adalah adik Pangeran Mangkudiningrat. Setelah menyerah ia mendapat gelar
Pangeran Adipati, yang diberi apanage seluas 2000 cacah, dan Pangeran Serang
dikembalikan sebagai Adipati Serang. 45
Edisi 4 / Maret 2018 SYAMINA

Berita menyerahnya Pangeran Notoprojo bersama pasukannya membuat


Diponegoro marah dan sedih, Ia segera mengangkat penggantinya Resosentono
sebagai bupati baru. Menyerahnya Notaprojo dinilai bukan sekedar menyerahnya
pribadi dan pasukannya, akan tetapi secara strategis melapangkan jalan kepada
Belanda untuk merebut Kota Gede. Kota Gede akhirnya dapat dikuasai penjajah
dengan dukungan para pembelot tersebut.
Keberhasilan mengejar pasukan Diponegoro di Yogyakarta bagian tengah
(suatu lembah yang subur antara Sungai Progo dengan dua anak Sungainya, Sungai
Bedog dan Sungai Konteng) terjadi berkat bantuan dari Pangeran Notodiningrat
dan Tumenggung Reksoprojo, dua orang bekas pimpinan pasukan Diponegoro
yang menyerah kepada Sollewijn. Mereka dijadikan penunjuk jalan karena amat
mengenal medan di sekitar Pegunungan Selarong. Selain itu, mereka juga digunakan
pengaruhnya untuk merebut hati rakyat.
Upaya berunding tetap dilakukan, dengan cara mengirim utusan kepada
tokoh-tokoh tertentu, dilanjutkan dengan gencatan senjata. Gencatan senjata ini
diakui oleh de Stuers sangat menguntungkan pihak Belanda. Pada Februari 1829
Kapten Roeps melakukan pendekatan dengan Alibasah Sentot Prawirodirjo, la
menyampaikan surat Letnan Jenderal H.M. de Kock, pada 11 Februari 1829. Dengan
cara ini Sentot berhasil dibujuk untuk meninggalkan Diponegoro bersama dengan
500 pasukannya. Aktivitas yang sama juga dilakukan kepada para Bangsawan yang
lain.83

Tipudaya Untuk Mengakhiri Perang


Di berbagai medan, sejak bulan Agustus 1829, pasukan Diponegoro mulai
terdesak sehingga mobilitas mereka sangat tinggi. Beberapa tempat pertahanan
strategis berhasil direbut dan diduduki oleh pasukan Belanda. Juga beberapa pimpinan
pasukan tertangkap atau menyerah. Tetapi Diponegoro dan Sentot berusaha keras
untuk mempertahankan daerah lembah Progo. Ia mengkonsentrasikan pasukannya
di bukit-bukit Pegunungan Selarong.
Sejak 16 September 1829 Kolonel Cochius mengetahui secara pasti bahwa
Diponegoro bersama Sentot dengan kekuatan 300 orang bergerak ke Pegunungan
Selarong. Kemudian diperoleh informasi bahwa Diponegoro mengkonsentrasikan
kekuatannya di desa Siluk atau Sela. Siluk nama sebuah desa juga nama bukit yang
mengelilinginya, di bagian selatan Pegunungan Selarong. Desa tersebut strategis,
untuk masuk ke desa tersebut harus melewati dua celah (passage) di sebelah timur
dan sebelah barat yang telah dijaga ketat oleh pasukan Diponegoro.
Setelah memperoleh kepastian adanya konsentrasi pasukan di Siluk, Kolonel
Cochius mempersiapkan kekuatan tiga kolone pasukan gerak cepat. Kolone Mobil
3 yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Le Bron de Vexela yang berkedudukan di
Gamplong (tepi barat Sungai Progo), Kolone Mobil 10 dipimpin oleh Kolonel
Cochius yang bermarkas di Kanigoro dan Kolone Mobil 1 yang dipimpin oleh
Letnan Kolonel Sollewijn dari Bantar bergerak ke sebelah timur Siluk.
46
83 Djamhari, op.cit. h.20
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2018

Pada 17 September 1829, didahului dengan tembakan artileri ketiga kolone


tersebut menyerbu desa Siluk. Desa Siluk dipertahankan mati-matian oleh prajurit
Diponegoro, yang dipimpin oleh Sentot. Hampir seluruh prajuritnya bersenjata.
Demikian dahsyatnya pertempuran, bahkan sampai terjadi perkelahian perorangan.
Pertempuran Siluk digambarkan merupakan pertempuran yang paling berdarah
dan memiliki bobot strategis. Sejumlah 54 orang tewas di pihak Diponegoro.
Pertempuran Siluk merupakan pertempuran terakhir dan menentukan (decisive
battle) yang dipimpin oleh Diponegoro dan Sentot panglima perangnya. Diponegoro
dan Sentot berhasil lolos dari penangkapan. Diponegoro bersama pengawalnya
bergerak ke arah barat. Sentot bergerak ke selatan menuju ke Imogiri.
Lolosnya Diponegoro dan Sentot pada pertempuran Siluk, Jenderal de Kock
secara emosional pada 21 September mengeluarkan pengumuman, barang siapa
yang berhasil menyerahkan Diponegoro hidup atau mati kepada pemerintah akan
diberi hadiah SpM.20.000, suatu jumlah yang sangat besar. Tidak seorang Jawa pun
tertarik menanggapi pengumuman tersebut.
Akibat terbesar dari pertempuran Siluk, para pimpinan pasukan Diponegoro
yang berada di daerah Mataram menyerah. Mereka adalah Raden Rio Yudosinto
bersama ibunya Masajeng Langensarie dan 18 orang anggota pasukannya, Pangeran
Renorejo bersama pengikutnya, Pangeran Purwokusumo bersama barisannya,
Tumenggung Seconegoro, Kertonegoro, Mangunprawiro. Mereka sebagian besar
anak buah Sentot. Sentot sendiri tatkala masih berada di sekitar Sentolo pernah
menulis surat kepada Pangeran Notoprojo, pemimpin Barisan Notoprojo.
Satu minggu sesudah pertempuran di Siluk, pada 24 September 1829, Kapten
Bauer melapor kepada Le Bron de Vexela bahwa ia telah melakukan korespondensi
dengan Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi menolak diajak melanjutkan
peperangan, dan memilih menyerah. Pada 26 September 1829 Mangkubumi telah
berada di Wonopeti, didampingi puteranya Notodiningrat, pada 28 September tiba
di Yogyakarta lewat Mangir.
Banyaknya pimpinan pasukan yang menyerah, membuat Sentot mulai
berfikir terhadap keselamatan dirinya. Perubahan sikap dan perlakuan para
komandan kolone terhadap mereka yang menyerah berbeda dengan sebelumnya.
Banyak prajurit Diponegoro yang menyerah atau tertawan dianggap sebagai missing
in action. Mereka dibiarkan hidup hanya tatkala diperlukan. Di samping itu, Jenderal
de Kock masih mempunyai keinginan melakukan pendekatan pribadi kepada Sentot
secara tidak langsung. Melalui Pangeran Notoprojo, akhimya. Sentot menulis surat
yang menyatakan kesediaannya untuk menghentikan permusuhan dengan tujuh
syarat. Residen Yogyakarta van Nes mendapat wewenang penuh dari Jenderal de
Kock berjanji menerima semua syarat yang diajukan oleh Sentot.
Akhirnya pada 17 Oktober 1829, Sentot menyerah. Sentot menyerah bersama
3 orang pangeran, 4 tumenggung kepala, 37 tumenggung, 352 ingabei, panji dan
pimpinan pasukan dan 300 prajurit, yang jumlah seluruhnya 600 orang.84

47
84 Djamhari, op.cit.h.268-272
Edisi 4 / Maret 2018 SYAMINA

Pada akhir tahun 1829, Diponegoro beserta sisa pasukannya telah secara
jelas diketahui posisinya, yang secara militer tidak ada artinya lagi, tinggal diserbu
dan Diponegoro ditembak mati. Tapi Jenderal de Kock tidak berbuat demikian, ia
sadar tatkala ia mengumumkan akan memberikan hadiah besar: “barang siapa yang
bisa menangkap Diponegoro hidup atau mati akan mendapat hadiah uang yang
sangat besar sebanyak SpM.20.000, namun tidak seorang Jawa pun yang tertarik dan
menanggapi, ini berarti Diponegoro pengaruhnya masih terlalu besar di kalangan
orang Jawa, sekalipun mereka berpihak padanya. Ia dihadapkan pada dua pilihan,
menyerbu dan mengejar (vervolging) atau melakukan tipu daya (overreding).
Sebagai pribadi ia sebenarnya ingin mengakhiri perang secara kesatria
sebagai seorang prajurit, tetapi ia juga tidak ingin menjadikan Diponegoro sebagai
pahlawan. Sebagai seorang ahli strategi, ia mengembalikan permasalahan perang ke
pokok permasalahan awal. Diponegoro telah melanggar hukum kolonial Belanda,
tetapi ia tidak menghendaki kematian Diponegoro, karena ia tidak ingin orang
Belanda dianggap sebagai musuh orang Jawa,85 sekalipun ribuan prajuritnya tewas
dalam peperangan.
Ia ingin memberi bukti kepada para penentangnya bahwa konsep strategi
Benteng sebagai sistem senjata adalah yang tepat, sekalipun pelaksanaannya
didukung oleh biaya yang terbatas dan kekuatan prajurit yang terbatas, tetapi mampu
menaklukkan Diponegoro yang sekaligus menaklukkan kekuatan militer orang Jawa
dan menghapus sumber perang permanen yang menjadi kebiasaan para bangsawan
feodal di Kerajaan Mataram sejak masa pemerintahan Amangkurat II (1704-1708).
Oleh karena itu ia memilih pilihan kedua, memperdaya dan membujuk Diponegoro
agar ia keluar dari “kantong” pertahanannya.
Pilihan pertama dinilai merugikan baik material maupun moril. Serbuan
terhadap kantong pertahanan terakhir Diponegoro, memerlukan biaya yang besar
dan belum tentu berhasil, sedang kondisi pasukannya termasuk pasukan lokal
sudah lelah berperang dan minta pulang kembali ke daerah asalnya. Kondisi ini yang
menjadi dasar oleh de Kock memilih pilihan kedua, memperdaya dan membujuk
Diponegoro agar ia ke luar dari “kantong pertahanannya” secara damai, kemudian
menangkapnya.
De Kock ingin mengexploitasi nilai-nilai budaya dan karakter kesatria
bangsawan Jawa sebagai kelemahan. Nilai-nilai dan karakter kesatria tersebut ada
pada pribadi Diponegoro. Nilai-nilai budaya kekesatriaan, yang dianggap luhur antara
lain seorang kesatria pantang ingkar terhadap janji. Karena itu ia memerintahkan
Kolonel Cleerens agar melakukan aksi tipu daya terhadap Diponegoro, sampai dia
mengucapkan janjinya.86
Pada tanggal 21 Februari 1830 tiba di Menoreh untuk berunding dan
mengakhiri perang dengan pihak Belanda, dikawal oleh 700 orang prajurit.
Kedatangan Diponegoro disambut dengan penghonnatan yang besar-besaran oleh
rakyat. Mereka secara sukarela menyediakan berbagai makanan untuk prajurit
85 Ada pepatah Jawa yang bidup sebagai tradisi, lego larane ora tego patine, (ikhlas ia dihukum, tetapi tidak
48 ikhlas jika dibunuh).
86 Djamhari, op.cit. h.279-280
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2018

Diponegoro. Pengaruh Diponegoro di Menoreh masih sangat besar. Karena itu


Diponegoro memerintahkan para prajuritnya untuk menghentikan perang dan
menghormati perjanjian.
Masyarakat Menoreh masih bersimpati kepada Diponegoro. Jumlah pengawal
Diponegoro setiap hari meningkat, membingungkan Kolonel Cleerens. Diponegoro
harus segera disingkirkan dari Menoreh, perjalanan diteruskan ke Magelang. Pada 8
Maret 1830, Diponegoro beserta rombongannya tiba di Magelang, yang dikawal oleh
200 orang prajurit kavaleri. Ia disambut oleh Residen Kedu beserta para pembesar
militer dan sipil, antara lain Kolonel Cochius.
Pada hari yang sama, Jenderal de Kock membuat keputusan, menahan
Diponegoro dan langsung melaporkan kepada Gubernur Jenderal.” Ia mengeluarkan
perintah rahasia kepada Letnan Kolonel Du Perron dan Mayor Michiels, tentang tata
cara dan prosedur penangkapan Diponegoro. Pasukan harus sudah siaga di dalam
asrama masing-masing, pasukan kavaleri harus sudah siap tiga hari sebelumnya atau
hari H-3. Penjagaan di sekitar Keresidenan harus diperketat, satu detasemen hussar,
akan dikirim untuk pengawalan. Para perwira yang tidak membawahi pasukan harus
sudah berkumpul di tempat tinggal residen dan bersenjata. Kendaraan residen harus
sudah siap untuk membawa Diponegoro.87
Cara penangkapan Diponegoro dianggap banyak pihak belanda sebagai aib
yang memalukan, seperti yang diungkap dalam Catatan Buku Harian Prins Hendrik
(7 Maret 1837);
Memang alangkah baik jangan kami sampai membuka rahasia yang menutupi
sejarah ini. Tapi saya akan mengambil risiko itu. Semua orang tahu bahwa
Diponegoro telah memberontak terhadap kami. Tapi cara penangkapnya,
menurut hemat saya, adalah suatu aib atas pamor kami orang Belanda.
Memang benar ia seorang pemberontak, tetapi ia datang untuk mengakhiri
perang yang telah menelan begitu banyak korban dan dia mengandalkan
kesetiaan kepada kejujuran Belanda untuk bernegosiasi dengan dia dengan
tulus. Lalu ia tertangkap atas perintah Jenderal de Kock.
Saya percaya bahwa ini akan mengakibatkan suatu malapetaka besar bagi kita
dalam hal moral, karena jika kami sampai harus berperang lagi di Jawa salah
satu akibat akan terjadi: atau kami atau orang Jawa akan dikalahkan, karena
tak seorang pun petinggi pribumi akan sudi lagi untuk berurusan dengan
kami - tidak hanya disini di Jawa tapi dimana-mana [di Nusantara]. Saya
yakin bahwa penyebab kampung Bonjol di Sumatera tidak menyerahkan diri
tidak lain daripada sikap kepala [Tuanku Imam Bonjol] yang pasti berbilang
kepada diri sendiri bahwa kalau saya sampai bernegosiasi dengan Belanda,
saya pasti akan diperlakukan seperti Diponegoro.88
Hal senada disampaikan dalam Surat Pangeran Hendrik kepada ayahnya,
Putra Mahkota Belanda (kelak Raja Willem II, bertakhta 1840-1849);
87 Djamhari, op.cit. h.283
88 Peter Carey, Menghadapi Zaman Edan: Etnisitas & Globilisasi di Jawa Tengah-Selatan pada Era Gelombang
Globalisasi Kedua (1750-1850): Teladan Pangeran Diponegoro (1785-1855): Suatu Warisan dan Suatu 49
Tantangan bagi Bangsa Indonesia, Summer School Lecture for the ICRS, Yogyakarta, 26 June 2013, h.40-41
Edisi 4 / Maret 2018 SYAMINA

Ayahku yang tercinta dan terbaik, Hari pertama [di Makassar] akan melihat
Benteng [Rotterdam] di sini, saya bertemu dengan tawanan kita yang
tampak tak bahagia, Diepo Negoro (Diponegoro), yang jatuh ke tangan kita
sebenarnya secara khianat.89
Diponegoro pasrah terhadap takdir (angur sun sumendhe takdir) karena dia
tidak memiliki apa-apa lagi di tanah Jawa, Untuk menghormati mereka yang gugur
dalam peperangan, karena membela dan melaksanakan perintahnya lebih baik ia
meninggalkan tanah Jawa.
Jenderal de Kock dalam laporannya kepada Gubemur Jenderal van den Bosch,
antara dia dan Diponegoro terlibat percakapan yang panjang, yang disimpulkan
bahwa Diponegoro masih berpegang teguh pada pendiriannya, bahwa dia adalah
seorang Pemimpin Agama dan Sultan. Sebaliknya de Kock tetap menganggap
Diponegoro sebagai tawanannya. Pada suatu kesempatan, “saya perlu bertindak,
saya perintahkan pasukan untuk melucuti para pengikutnya dan dia ditangkap
langsung dinaikkan kereta dikawal oleh Mayor de Stuers dan Kapten Roeps dibawa
ke Semarang.”

Babad Diponegoro Babon Asli, disalin di Batavia sesudah wafat Diponegoro (8


Januari 1855)
Jenderal de Kock yang telah berpengalaman bergaul dengan para pemimpin
dan bangsawan Jawa, mengenali karakter dan nilai-nilai yang mereka anut. Nilai-
nilai yang dianggap luhur oleh orang Jawa, yang juga dimiliki oleh Diponegoro,
diexploitasi sebagai kelemahannya, digunakan untuk memukul balik Diponegoro.90
Diponegoro telah kalah secara militer, dan diasingkan seumur hidup di
pulau Sulawesi. Namun ia tidak putus asa dan tetap dalam pendiriannya, maka ia
50 89 Ibid. h.38
90 Djamhari, op.cit. h.287
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2018

kemudian menuliskan seluruh kejadian yang ia alami dan cita-cita yang ia impikan
dalam sebuah karya yang monumental, Babad Diponegoro sebagai pelajaran yang
sangat berharga bagi generasi penerus perjuangannya.

Babad Diponegoro Babon Asli, disalin di Batavia sesudah wafat Diponegoro


(8 Januari 1855)

Salinan Naskah Babad Diponegoro dalam Huruf Pégon di Batavia (1860-an)

Penutup
Di awal perang sabil tentara sabil Diponegoro lebih unggul di berbagai medan
perang, sebagian besar peperangan yang terjadi sampai akhir tahun 1826 dimenangkan
oleh pasukan Diponegoro. Namun network yang dibangun Diponegoro mulai goyah
setelah satu persatu berusaha dihantam dan dihancurkan oleh pasukan penjajah.
Sehingga setelah unggul selama dua tahun keadaan mulai berbalik setelah de Kock
menerapkan strategi baru dengan menggerogoti sendi-sendi kekuatan tentara sabil
Sultan Ngabdulkhamid.
Dalam teori perang melawan network, Belanda menggunakan Offensive
Swarming untuk melemahkan dan menghancurkan network yang dibangun
Diponegoro. Strategi baru tersebut berhasil melemahkan dan menghancurkan
network kekuatan Diponegoro secara perlahan, sedikit demi sedikit dan diakhiri
dengan tipudaya yang memalukan -pejabat Belanda sendiri merasa malu untuk
mengungkapkannya- untuk mengakhiri perang.
Jendral de Kock tidak nyaman dengan perbuatannya memperdayai dan
menipu Diponegoro. Ia dengan tidak ksatria menangkap Diponegoro dalam meja
perundingan yang seharusnya dihormati dan dilindungi sebagaimana sebuah
perjanjian gencatan senjata yang disepakati. Ia juga mengingkari janji yang
sebelumnya disampaikan pada Diponegoro, bahwa ketika perundingan gagal
Diponegoro akan dibiarkan dengan aman kembali ke markasnya.
Ketidaknyamanan tersebut ditambah lagi dengan kritikan dari bebrapa teman
sejawatnya yang mengkritik tindakan dia yang tidak bisa memenangkan perang secara
ksatria dan sebaliknya dengan ingkar janji dan penipuan. Namun hal itu terpaksa 51
Edisi 4 / Maret 2018 SYAMINA

ia lakukan karena ia tak punya pilihan lain yang menguntungkan pihaknya untuk
menghentikan perang Diponegoro yang telah banyak merugikan penjajah Belanda,
memakan waktu yang lama dan mengakibatkan banyak tentaranya tewas serta telah
mengahbiskan biaya yang sangat besar. Selain itu perlawanan diponegoro baginya
adalah batu sandungan yang sangat berbahaya bagi misi penjajahan Belanda di Jawa
yang subur kalau tidak segera dihentikan.
Sebenarnya siapa yang menang dalam perang ini? Dari sisi militer Belanda
telah memenangkan pertempuran karena berhasil menyingkirkan batu sandungan
yang berusaha menghalangi misi penjajahan untuk mengeruk kekayaan sebesar-
besarnya dari negeri yang dijajah bagi kepentingan negara Belanda di Eropa.
Namun di satu sisi, walaupun kalah secara militer, Diponegoro dan para
pejuang pendukungnya telah berhasil mengerjakan kewajiban dan amanat yang
diberikah Allah untuk menegakkan agama Islam di Jawa. Kewajiban itu telah berhasil
dilaksanakan walaupun tujuannya belum tercapai. Karena kewajiban Diponegoro
dan orang Jawa pendukungnya hanyalah mengerjakan perintah Allah di dalam Al
Qur’an sebagaimana ditulis Ngabdulkhamid dalam Babad Diponegoro, adapun
hasilnya Allah yang menentukan. Hal ini sebagaimana kewajiban manusia untuk
bekerja memenuhi perintah Allah, adapun seberapa hasil yang diperoleh adalah
sesuai kehendak Allah, dan manusia harus menerima dengan senang hati berapapun
hasilnya. Kalau banyak atau sedikit tetap bersyukur dan kalau belum mendapatkan
bersabar.
Demikian jualah yang dilakukan Diponegoro ketika dia sudah berusaha
maksimal sesuai kemampuannya namun hasilnya belum sesuai yang diharapkan, ia
menerima takdir dan tetap dalam pendiriannya dan yakin dengan kebenaran jalan
yang selama ini iatempuh. Manuasia harus berusaha dengan sungguh-sungguh,
setelah itu menyerahkan hasilnya pada Allah (ikhtiar kemudian tawakkal dan
qonaah).

Daftar Pustaka
Abdul Qadir Djaelani, Perang Sabil Versus Perang Salib: Ummat Islam Melawan
Penjajah Kristen Portugis Dan Belanda, Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-
Munawwarah, Jakarta, 1999.
Diponegoro, Babad Dipanegara ing nagari Ngayogyakarta Adiningrat, jilid I dan
II (salin aksara Ny. Dra. Ambaristi dan Lasman Marduwiyota), Jakarta, 1983,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra
Indonesia dan Daerah.
Gordon Hahn, ”The Jihadi Insurgency and the Russian Counterinsurgency in the North
Caucasus,” Post-Soviet Affairs 24, no. 1 (January–March 2008).
Ika Fatmawati, Peranan Tumenggung Seconegoro Dalam Perang Diponegoro Di
Kadipaten Ledok (1825-1830), Skripsi Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan
52
Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, 2013.
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2018

Michael T. Flynn, Matt Pottinger, dan Paul D. Batchelor, Fixing Intel: A Blueprint for
Making Intelligence Relevant in Afghanistan, Washington, D.C.: Center for a
New American Security, 2010.
Mustarom, Network Vs Network, Saat yang Kecil Melawan yang Besar, Syamina ed.5,
September 2013
Norbertus Gilang Pradipta Kuncoro, Peran Masyarakat Dekso Dalam Perang Jawa
1825 -1830, Skripsi Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta 2013.
Pangeran Dipanegara, Babad Dipanegara, edisi terjemah, Penerbit Narasi Yogyakarta,
2016.
Peter Carey, Kuasa Ramalan, Pangeran Diponegoro Dan Akhir Tatanan Lama Di
Jawa, 1785-1855, Jilid 1, Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Jakarta, 2011.
Peter Carey, Kuasa Ramalan, Pangeran Diponegoro Dan Akhir Tatanan Lama Di
Jawa, 1785-1855, Jilid 2, Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Jakarta, 2011.
Peter Carey, Menghadapi Zaman Edan: Etnisitas & Globilisasi di Jawa Tengah-
Selatan pada Era Gelombang Globalisasi Kedua (1750-1850): Teladan
Pangeran Diponegoro (1785-1855): Suatu Warisan dan Suatu Tantangan bagi
Bangsa Indonesia, Summer School Lecture for the ICRS, Yogyakarta, 26 June
2013, kebudayaan.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2013/07/ICSSIS-
Presentation-Yogyakarta-13-June-2013.pdf (seluruh gambar dalam tulisan ini
diambil dari sumber tersebut)
Peter Carey, Asal-usul Perang Jawa, Penerbit LKiS Yogyakarta 2001.
Peter Carey, The Power Of Prophecy, Prince Dipanagara and the end of an old order in
Java, 1785-1855, Second edition KITLV Press Leiden 2008.
Rijal Mumazziq, Menelusuri Jejak Laskar Diponegoro di Pesantren, Jurnal Falasifa,
STAI Al-Falah As-Sunniyyah Kencong Jember, Vol. 7 Nomor 1 Maret 2016.
Saleh Asad Djamhari, Stelsel Benteng Dalam Pemberontakan Diponegoro 1827-1830,
Suatu Kajian Sejarah Perang, Disertasi Bidang Ilmu Pengetabuan Budaya
Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia 2002.
Saleh As’ad Djamhari, Strategi Menjinakkan Diponegoro, stelsel Benteng 1827-1830,
Komunitas Bambu, cetakan kedua, Maret 2014.
Simon C. Kemper, War-bands on Java: Military labour markets described in VOC
sources, Research Masters in Colonial and Global History, Department of
History, Leiden University 2014.
Subroto, Beban Pajak, Prakondisi Jihad Diponegoro, Syamina edisi 12, September
2017

53

Anda mungkin juga menyukai