Anda di halaman 1dari 258

Editor: Dr.

Tundjung
BANJARMASIN AKHIR ABAD XIX HINGGA MEDIO ABAD XX
Perekonomian di Kota Dagang Kolonial
© 2011 oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Pontianak
Hak cipta yang dilindungi undang-undang ada pada
Balai Pelestarian Nilai Budaya Pontianak.

Penulis : Dana Listiana


Editor : Dr. Tundjung
Sampul: Fahmi Ikhwan

Gambar sampul: Aktivitas perdagangan di Sungai Martapura Abad XX


(Sumber: Koleksi Tropen Museum).

Penerbit:
BPSNT Pontianak Press (Anggota IKAPI)
Jl. Letjen. Sutoyo Pontianak, telp. 0561-737906, Fax.0561-760707,
http://www. bpsnt-pontianak.org

Percetakan:
CV. Trijaya Mandiri
Jl. S. Parman Pontianak 78121

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku dalam bentuk apapun
tanpa mencantumkan sumber penulis dan penerbit.nya.
ABSTRAK
Karya tulis ini berjudul “Banjarmasin Akhir Abad XIX hingga
Medio Abad XX; Perekonomian di Kota Dagang Kolonial.” Kajian ini
bertujuan untuk membahas perkembangan perekonomian di Kota
Banjarmasin dengan perdagangan sebagai sektor utamanya. Diawali
dengan menguraikan riwayat awal perdagangan di Banjamasin sejak
masa klasik, tulisan ini membahas perkembangan perekonomian Kota
dalam sistem ekonomi kolonial, dan berakhir dengan pembahasan
dampak meningkatnya kegiatan ekonomi dan kebijakan pemerintah Hindia
Belanda terhadap perkembangan kota dan penduduknya. Untuk
mengungkapnya, penulis menggunakan metode sejarah yang terdiri atas
heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.
Berdasarkan penelitian, penetrasi sistem dan kebijakan ekonomi
kolonial terutama dalam bidang perdagangan telah memberi pengaruh
terhadap kehidupan sosial-ekonomi kota (termasuk penduduk
didalamnya). Pertama, proses migrasi (imigrasi yang dilakukan oleh
pedagang asing, transmigrasi yang khususnya dilakukan oleh kaum tani
Jawa dan Madura, serta urbanisasi yang banyak dilakukan oleh orang
Hulu Sungai) telah membuka dan mengembangkan wilayah permukiman
baru, membangun kesadaran akan komunitas, dan memengaruhi gaya
atau sifat kehidupan kota di mana masyarakat menjadi kenal akan
berbagai jenis barang. Kedua, menjamurnya perwakilan perusahaan
dagang Eropa yang memiliki jejaring perdagangan, tata kelola profesional,
dimiliki, serta dijalankan oleh wirausahawan Eropa. Ketiga,
berkembangnya perkebunan agrikultur yang bersifat komersil. Keempat,
berkembangnya praktik peminjaman uang. Kelima, berkembangnya
organisasi laba dan nirlaba yang bergerak di bidang ekonomi.

i
ULASAN EDITOR
Kalimantan adalah salah satu wilayah di kepulauan
Nusantara yang belum banyak diungkap sejarah atau masa lalunya.
Jika orang mendengar Kalimantan, kecenderungannya akan
melayangkan perhatian secara sosiologis maupun antropologis
melalui masyarakat Dayak dan kebudayaannya. Padahal, seperti di
wilayah lain, sejak lama Kalimantan telah dihuni berbagai macam etnis
dengan berbagai aktivitas baik dalam bidang politik maupun ekonomi.
Sehubungan dengan masih terbatasnya penulisan sejarah
Kalimantan, maka penulisan tentang perekonomian di Banjarmasin
Akhir Abad XIX hingga Medio Abad XX: Perekonomian di Kota
Dagang Kolonial, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, perlu
dihargai untuk menambah khasanah sejarah Kalimantan.
Pertama-tama, kekurangan terasa pada judul dari hasil
penelitian ini, yang menggunakan kalimat secara tumpang tindih.
Penunjukan waktu yang merupakan salah satu syarat dalam penulisan
sejarah sebenarnya telah menunjukkan masa tertentu. Tanpa disebut
masa kolonial pun orang sudah akan mengerti bahwa pada akhir abad
ke XIX hingga pertengahan abad ke XX, Indoesia masih dijajah oleh
pemerintah Hindia Belanda.
Pada bab pendahuluan bagian yang terpenting adalah
kerangka teoritis karena akan menjadi dasar analisa pembentukan
dan dinamika kota Banjarmasin. Uraian tentang pembentukan kota
dalam bab berikutnya, yang disajikan berdasarkan perkembangan
sejarahnya, tidak terlihat bagaimana secara teoritis suatu kota
terbentuk, dan berkembang. Penulisan sejarah masa kini mau tidak
mau harus meminjam teori maupun konsep dari ilmu lain agar dapat

ii
melihat dengan lebih jelas dinamika peristiwa suatu obyek penelitian.
Kota Banjarmasin yang berawal dari kumpulan beberapa kampung
mengalami pemekaran seiring dengan bertambahnya fungsi kota.
Perkembangan kota ini akan lebih menarik jika bisa diterangkan
melalui konsep mengembangan kota.
Penggambaran perekonomian di Banjarmasin sejak akhir
abad XIX hingga pertengahan abad ke XX terlihat kurang fokus.
Apakah daerah Hulu Sungai merupakan bagian dari kota Banjarmasin.
Alangkah lebih baik jika uraian tentang perekonomian Banjarmasin
berisi tentang segala sesuatu yang menyangkut aktivitas ekonomi di
kota itu, sedang daerah di luar kota diuraikan secara tersendiri
sebagai daerah penyangga. Dalam perdagangan memang selalu
terdapat jaringan dari hulu sebagai penghasil komoditi hingga muara
sebagai pasar. Jika uraikan ini membicarakan kota yang tidak lain
adalah muara atau pasar, lebih baik fokus pembicaraan ditujukan
pada dinamika perdagangan di kota itu tidak. Tujuannya supaya tidak
membingungkan pembaca yang tidak mengenal dengan baik kota
Banjarmasin.
Apalagi menyangkut komoditas yang diperdagangkan di
Banjarmasin. Bagaimana komoditas itu didistribusikan? Bagaimana
stratifikasi pedagang di Banjarmasin? Dalam perdagangan selalu
dijumpai stratifikasi pedagang dari pedagang besar hingga pedagang
kecil, yang langsung berhubungan dengan konsumen. Dalam bagian
ini tidak terlihat bagaimana jaringan perdagangan maupun stratifikasi
pedagang di Banjarmasin. Sedang sub judul “Pelayaran Niaga”,
kiranya lebih difokuskan pada kapal-kapal yang singgah di
Banjarmasin dengan segala aktivitas dan fungsinya, baik yang dari
daerah pedalaman maupun dari seberang lautan.

iii
Bab IV penempatannya terasa janggal, karena setelah
membicarakan aktivitas ekonomi di Banjarmasin, baru membicarakan
tentang penduduk dan segala fasilitas di kota itu. Diandaikan, kita
menceritakan segala kesibukan dalam suatu rumah, setelah itu baru
menceritakan penghuninya. Sistematika semacam ini sering
membingungkan pembaca, karena agak sulit mencari kausalitasnya.
Apa yang mendukung suatu aktivitas atau peristiwa, mengapa suatu
aktivitas bisa atau tidak bisa dilakukan, dan dalam kondisi seperti apa
suatu peristiwa terjadi? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu akan lebih
mudah dijawab bila kondisi statis diketengahkan terlebih dahulu, baru
kemudian dinamikanya.
Terlepas dari semua kekurangan, seperti telah saya katakan
di atas karya ini perlu dihargai, selain menambah khasanah sejarah
Kalimantan, juga telah mengungkapkan kembali berbagai peristiwa
yang hampir tidak dikenal lagi karena tertimbun dalam tumpukan surat
kabar lama. Seperti, pedagang sate dan es lilin di Banjarmasin pada
tahun 1930-an, yang diambil dari Oetoesan Kalimantan; daftar kapal-
kapal yang masuk ke pelabuhan Banjarmasin, yang diambil dari
Boneo Advertantie Blad; toko kacamata di pasar Sudimampir, yang
diambil dari Orgaan Bond Inlandsche Ambtenaren. Oleh karena itu
tulisan ini nantinya dapat dimanfaatkan sebagai salah satu rujukan
sumber penulisan sejarah Kalimantan.

Tangerang Selatan,
Tundjung

iv
KATA PENGANTAR
Dihapuskannya Kesultanan Banjar membuat kaum kolonial
leluasa menerapkan regulasi untuk kepentingannya. Kendali dan
peran bangsawan Banjar dipatahkan seketika melalui penetrasi
ekonomi kolonial. Apakah dengan begitu tatanan ekonomi baru telah
terbentuk? Atau hanya proses penggantian peran utama sementara
penduduk pribumi langgeng berperan dalam lakon kecil. Pertanyaan-
pertanyaan tersebut melandasi penelitian berjudul Banjarmasin Akhir
Abad XIX hingga Medio Abad XX: Perekonomian di Kota Dagang
Kolonial.
Harapan penulis semoga tulisan ini dapat memberi
gambaran akan praktik ekonomi kolonial di Tanah Banjar. Lebih dari
itu penulis berharap tulisan ini dapat dijadikan media refleksi bagi
kehidupan ekonomi Indonesia dewasa ini.
Kami menyadari bahwa susunan dan materi penulisan yang
dikemukakan masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, saran dan
kritik membangun sangat diharapkan demi penyempurnaan tulisan.
Akhir kata, penulis mengucapkan terimakasih kepada
semua pihak yang telah membantu. Terutama Drs. Salmon Batuallo
selaku Kepala BPSNT Pontianak, Ikhsan, S.Sos. selaku Kasubbag
TU, guru kami Drs. Soedarto atas ilmu dan motivasinya, dan seluruh
rekan peneliti yang telah memberi masukan.

Penulis

v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ......................................................................................... i
ULASAN EDITOR ............................................................................ ii
KATA PENGANTAR ........................................................................ v
DAFTAR ISI ..................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR .........................................................................viii
DAFTAR GRAFIK ............................................................................ x
DAFTAR TABEL .............................................................................. xi

BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1


1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
1.2 Perumusan Masalah ...................................................................... 4
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 5
1.4 Ruang Lingkup .............................................................................. 6
1.5 Metode Penelitian ......................................................................... 7
1.6 Tinjauan Pustaka ........................................................................ 10
1.7 Kerangka Pemikiran Teoretis ..................................................... 15
1.8 Sistematika Penulisan ................................................................. 17
BAB II BERMULA DARI BANDAR MASIH ....................................... 20
2.1 Riwayat Awal Perdagangan ....................................................... 20
2.1.1 Perdagangan Masa Nagara Dipa-Nagara Daha ..................... 20
2.1.2 Kampung Banjar, Cikal Bakal Kota ......................................... 25
2.1.3 Kontak Dagang Awal dengan Belanda .................................... 36
2.2 Lanskap Geo-Ekonomis ............................................................. 45

vi
BAB III PEREKONOMIAN BANJARMASIN AKHIR ABAD XIX
HINGGA PERTENGAHAN ABAD XX ................................. 50
3.1 Penghasilan Penduduk............................................................... 50
3.2 Pelaku Perdagangan .................................................................. 90
3.3 Komoditas................................................................................. 102
3.4 Pelayaran Niaga ....................................................................... 112
3.5 Lahirnya Lembaga-Lembaga Ekonomi..................................... 131
BAB IV PENDUDUK DAN KOTA BANJARMASIN
SEBAGAI KOTA DAGANG KOLONIAL ............................ 147
4.1 Pertumbuhan Penduduk ........................................................... 147
4.2 Kota Dagang Kolonial ............................................................... 155
4.2.1 Perkembangan Administrasi Kolonial .................................... 155
4.2.2 Gambaran tentang Kota ........................................................ 163
4.2.2.1 Garnisun dan Area Pemerintahan ...................................... 166
4.2.2.2 Permukiman ....................................................................... 175
4.2.2.3 Pembangunan Infrastruktur ................................................ 195
4.2.2.3.1 Fasilitas Transportasi ...................................................... 195
4.2.2.3.2 Fasilitas Perindustrian, Perdagangan, dan Jasa ............. 200
4.2.2.3.3 Fasilitas Pendidikan......................................................... 190
4.2.2.3.4 Fasilitas Peribadatan ....................................................... 217
4.2.2.3.5 Fasilitas Kesehatan ......................................................... 221
4.2.2.3.6 Fasilitas Hiburan ........................................................... 222
BAB V PENUTUP ...................................................................... 228
5.1 Simpulan .................................................................................... 228
5.2 Saran .......................................................................................... 230
DAFTAR SUMBER ....................................................................... 232
RIWAYAT HIDUP ......................................................................... 241

vii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 DAS Barito.................................................................48


Gambar 3.1 Persemaian padi apung di Banjarmasin ...................51
Gambar 3.2 Perbaikan waduk Riam Kanan awal abad ke-20 ......53
Gambar 3.3 Penjemuran ikan kering pada awal abad ke-20 ........61
Gambar 3.4 Peta topografi Banjarmasin tahun 1921-1926...........65
Gambar 3.5 Kebun karet rakyat di Borneo Selatan ......................67
Gambar 3.6 Penyadap karet ........................................................69
Gambar 3.7 Perdagangan karet di pasar orang Melayu ...............76
Gambar 3.8 Pengepakan karet di kapal awal abad ke-20 ............78
Gambar 3.9 Kesibukan perdagangan di Sungai Martapura.........82
Gambar 3.10 Figur tukang sate keliling di Banjarmasin................84
Gambar 3.11 Anak-anak penjual es lilin........................................85
Gambar 3. 12 Perahu dagang orang Hulu Sungai ......................113
Gambar 3.13 Perahu Bugis di Pelabuhan Banjarmasin..............118
Gambar 3.14 Tambangan dan tongkang Madura .......................120
Gambar 3.15 S.S. Janssen .........................................................125
Gambar 3.16 De Javaasche Bank di Banjarmasin .....................137
Gambar 3.17 Volkscredietbank di Banjarmasin ..........................141
Gambar 4.1 Batas wilayah Kota Banjarmasin.............................163
Gambar 4. 2 Peta Banjarmasin Tahun 1861...............................166
Gambar 4.3 Denah ruang Benteng Tatas tahun 1806 ................168
Gambar 4.4 Rumah residen di Banjarmasin tahun 1867 ...........172
Gambar 4.5 Jalan Chineesche Winkel di Pacinan .....................178

viii
Gambar 4.6 Anak Banjar di Kp. Antasan Kecil Timor ................183
Gambar 4.7 Kampung Pekapuran tahun 1939 ..........................186
Gambar 4. 8 Wilayah administratif Kota Banjarmasin................189
Gambar 4.9 Menara masjid di Kampung Kuin;
Langgar di muara Sungai Pekapuran...................190
Gambar 4.10 Rumah orang Eropa di Banjarmasin .....................192
Gambar 4.11 Jalan di depan kantor pemerintahan ....................196
Gambar 4.12 Pasar Lama pada awal abad ke-20 ......................203
Gambar 4.13 Jukung melintas di sekitar Pasar Sudimampir .....205
Gambar 4.14 Toko kelontong di Pasar Sudimampir ...................207
Gambar 4.15 Pasar pribumi di Banjarmasin ...............................209
Gambar 4.16 Angkutan umum di pasar Banjarmasin .................210
Gambar 4.17 Hotel Grevelink; Penginapan Islam .......................211
Gambar 4.18 Siswa di HCS Banjarmasin ...................................215
Gambar 4.19 Gereja Protestan; Gereja Roma Katolik ................220
Gambar 4.20 Rumah sakit perempuan dari Misi Basler .............221
Gambar 4.21 Bioskop Orion; Societet de Kapel .........................224
Gambar 4.22 Peta Kota Banjarmasin 1955.................................227

ix
DAFTAR GRAFIK

Grafik 3.1 Jumlah Kapal Dagang Masuk ke Banjarmasin...........129


Grafik 3.2 Muatan Kapal Dagang Masuk ke Banjarmasin .........130

x
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Rumah Asap di Borneo Selatan ....................................73


Tabel 3.2 Komoditas Impor dan Nilainya ....................................109
Tabel 3.3 Asal Kapal dan Muatan (dalam florin) Masuk ............121
Tabek 3.4 Kapal Masuk ke Pelabuhan Banjarmasin ..................128
Tabel 4.1 Jumlah Penduduk di Kota Banjarmasin ......................149

xi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Wasiat Sultan Surianata agar tidak menanam
lada secara masal karena jika dilakukan akan membawa
bencana tak dihiraukan keturunannya. Bagaimana tidak,
primadona perdagangan terutama sejak abad ke-16 itu
adalah incaran dunia. Bahkan saat itu Marco Polo
membuat ungkapan “semahal lada” untuk menyatakan
sesuatu yang bernilai tinggi.
Sebagai kesultanan pedagang, Kesultanan
Banjarmasin tidak menyia-nyiakan peluang tersebut.
Kegiatan perdagangan aktif dilakukan oleh sultan dan
para pembesar kerajaan. Untuk menggambarkan
dominasi tersebut, seorang penulis Belanda pernah
menyatakan bahwa ekonomi wilayah ini mengapung di
atas kegiatan perdagangan yang dijalankan oleh pihak
Kesultanan. Selain keuntungan atas penjualan
komoditas, mereka juga memeroleh pendapatan dari
bea masuk kapal dagang. Dalam menjalan kegiatan
dagang, Kesultanan memberlakukan perdagangan

1
bebas1 dan membuka luas pasar Banjarmasin bagi para
pedagang dari berbagai negeri.
Pemberlakuan kebijakan tersebut dikebiri oleh
usaha monopoli yang dipaksakan VOC. Friksi di dalam
keluarga Kesultanan menyangkut suksesi tahta kerajaan
semakin membuka peluang Belanda untuk
mengembangkan perdagangan melalui perjanjian-
perjanjian batas wilayah. Perolehan wilayah tidak hanya
terkait dengan kepemilikan kekayaan tanah dan alamnya
juga lokasi strategis perdagangan.
Pada abad ke-19 pola perdagangan antarpulau
di Hindia Belanda berubah. Saat itu persaingan di antara
negara-negara Eropa untuk mencari bahan baku mulai
timbul seiring masuknya dunia pada periode
industrialisasi. Penetrasi ekonomi kolonial dalam sektor
perdagangan masuk dan mengubah sistem yang telah
berjalan.
Dinamika ekonomi perdagangan ini tidak bisa
dipisahkan dari pembangunan dan perkembangan Kota

1
Sejak abad ke-17 pelayar dan pedagang Nusantara seperti Jawa,
Melayu, dan Bugis serta dari luar negeri seperti Arab, Cina, Siam,
Spanyol, Belanda, Inggris, dan Portugis telah meramaikan
perdagangan di Wilayah Kesultanan Banjar (van der Ven, 1855: 95-
96).

2
Banjarmasin sebagai daerah urban. Tulisan ini
menghadirkan potret penduduk dan kota sebagai sebab
dan akibat dari dinamika tersebut. Oleh karena itu, kajian
ini menjadi penting untuk memahami arti penting
kawasan perairan bagi kepentingan ekonomi dan
merencanakan pembangunan kota secara fisik dan non-
fisik yang berkelanjutan tanpa mengabaikan aspek
kesejarahan pembentuk kota. Dengan begitu, Kota
Banjarmasin dapat berkembang sebagai kota yang
memiliki karakter dan kepribadian sendiri serta tidak
kehilangan identitasnya.
Permasalahan-permasalahan tersebut dibahas
berdasarkan data yang diperoleh dari sumber-sumber
tertulis, baik sumber primer (arsip/dokumen ataupun
benda) maupun sekunder (buku dan artikel/berita dalam
majalah dan surat kabar). Di antara sumber-sumber
berupa buku, ada sejumlah buku yang ditulis oleh pelaku
sejarah dan orang-orang yang mengalami atau
menyaksikan sebagian peristiwa yang terjadi pada abad
ke-19 sampai awal abad ke-20. Dari segi bahasa yang
digunakan, sumber-sumber tersebut terdiri atas sumber
asing (sebagian besar berbahasa Belanda, sebagian
kecil berbahasa Inggris) dan sumber pribumi berbahasa

3
nasional (Indonesia). Sumber sekunder lain yang
digunakan berupa kajian sosial atau monografi tentang
masyarakat Borneo Selatan dan Timur. Sumber lain
adalah foto, peninggalan bangunan, dan tata kota lama
yang masih dapat dilihat memberikan informasi dan
gambaran nyata mengenai Kota Banjarmasin.
Walaupun kegiatan perdagangan di Kota
Banjarmasin sudah ditulis berbagai kalangan namun
konsekuensinya terhadap perkembangan kota dan
penduduk secara terintegrasi belum pernah ditulis. Oleh
karena itu, penulis tergerak untuk melakukan kajian yang
berjudul Banjarmasin Akhir Abad XIX hingga Medio
Abad XX; Perekonomian di Kota Dagang Kolonial.

1.2 Perumusan Masalah


Pembahasan tulisan kali ini mengenai
perkembangan ekonomi terutama perdagangan di
Banjarmasin pada akhir abad ke-19 hingga pertengahan
abad ke-20. Untuk mengungkapnya ada beberapa
permasalahan pokok yang perlu dikaji.
1. Bagaimana keadaan ekonomi masyarakat
Banjarmasin?
2. Mengapa Banjarmasin menjadi kota perdagangan?

4
Hal ini terkait dengan peran Banjarmasin sebagai
kota perdagangan dan statusnya yang menjadi
bagian dari Tanah Gubernemen. Status dan peran
tersebut terkait dengan kebijakan ekonomi
pemerintah Hindia Belanda. Jadi tulisan ini juga ingin
mengungkap aplikasi regulasi ekonomi yang
ditetapkan oleh pemerintah kolonial.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian


Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat
memberi informasi mengenai perkembangan
perekonomian Kota Banjarmasin. Tujuan dari penelitian
ini secara garis besar adalah sebagai berikut.
1. Menguraikan perkembangan kehidupan ekonomi
masyarakat Banjarmasin.
2. Menganalisa sebab dan proses Banjarmasin
sehingga menjadi kota perdagangan.
Hasil penelitian ini bermanfaat untuk menambah
pengetahuan tentang sejarah sosial-ekonomi kota,
mendapat gambaran tentang perkembangan Kota
Banjarmasin, memahami konsep tentang kota dan
masyarakat sebagai suatu sistem yang saling
memengaruhi. Selain itu, kajian ini dapat dimanfaatkan

5
sebagai bahan pertimbangan pembuatan kebijakan oleh
instansi pemerintahan seperti Pemerintah Kota dan
Bappeda Kota.

1.4 Ruang Lingkup


Secara temporal, titik awal penelitian ini dimulai
sejak akhir abad ke-19. Sebab saat itu Banjarmasin
sebenarnya telah berkembang sebagai pelabuhan di
kawasan Borneo Selatan dan Timur. Selain itu, jika
ditimbang secara lebih luas menurut A.B. Lapian abad
ke-19 adalah kurun waktu yang sangat berkaitan dengan
keadaan sekarang. Hal tersebut disepakati oleh Edward
L. Poelinggomang dengan menyatakan bahwa pada
masa itulah wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sekarang terbentuk setelah daerah kekuasaan
kolonial Belanda semakin meluas, termasuk di wilayah
Borneo Selatan dan Timur. Karenanya, penulis ingin
melihat bagaimana keadaan perdagangan di
Banjarmasin setelah muara Sungai Martapura yang
menjadi pintu masuk kapal telah menjadi bagian dari
tanah gubernemen setelah kontrak mengenai
pemisahan wilayah kekuasaan gubernemen dan
Kesultanan di tahun 1826 dan diperbarui pada 1845.

6
Sementara titik akhir kajian jatuh pada
pertengahan abad ke-20 di mana Belanda masih
bercokol dan menjalankan politik ekonomi kolonial.
Konsekuensi atas aplikasi kebijakan pemerintah kolonial
masih terlihat pada masa-masa akhir pendudukannya di
Borneo Selatan.
Adapun lingkup spasial kajian kota kali ini
sebenarnya terkonsentrasi pada wilayah Banjarmasin
sebagai hoofdplaats (ibukota) Keresidenan Borneo
Selatan dan Timur. Sebagai daerah urban yang memberi
pengaruh ekonomi cukup kuat maka daerah sekitar Kota
juga menjadi bagian pembahasan. Pada bagian tertentu
daerah-daerah dengan status administratif sebagai
afdeeling dan onderafdeeling Banjarmasin maupun
daerah pedalaman Borneo Selatan sebagai penyangga
perekonomian Kota akan turut disinggung.

1.5 Metode Penelitian


Metode sejarah digunakan penulis dalam
penelitian ini. Metode tersebut meliputi empat tahap,
yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.
Tahap pertama yaitu heuristik, merupakan
proses mencari, menemukan, dan menghimpun sumber

7
sejarah. Oleh karena periode penelitian ini mencakup
masa pemerintahan Hindia Belanda, maka sumber
utama yang digunakan penulis adalah sumber tertulis
dan benda. Sumber tulisan yang digunakan berupa
sumber primer dan sekunder. Sumber primer berupa
peta, foto, laporan pemerintah, buku, surat kabar, dan
majalah sezaman didapatkan di Arsip Nasional RI,
Perpustakaan Nasional RI, dan koleksi perseorangan.
Adapun sumber sekunder berupa buku-buku hasil kajian
tentang Banjarmasin didapatkan di Perpustakaan Balai
Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak,
Perpustakaan Daerah Kota Banjarmasin, Perpustakaan
Balai Arkeologi Banjarmasin, dan Perpustakaan
Museum Lambung Mangkurat. Sementara sumber lisan
dapat digunakan sebagai tambahan dan pembanding
dengan harapan bahwa ingatan yang dilestarikan antar-
generasi secara turun-temurun dapat menguak masa
lampau yang tidak terekam oleh tulisan.
Tahap kedua adalah kritik, yaitu proses
penyeleksian sumber. Tahap kritik mencakup kritik
eksternal dan kritik internal. Kritik eksternal dilakukan
untuk mendapatkan sumber yang otentik, asli, dan utuh.
Sementara kritik internal dilakukan untuk mendapatkan

8
sumber yang kredibel. Untuk menguji kredibilitas sumber
dilakukan penelaahan sifat dan pengarang dari sumber
tulisan. Data yang telah dikritik akan menjadi fakta yang
otentik dan kredibel.
Tahap ketiga adalah interpretasi. Interpretasi
dilakukan untuk merangkai fakta sejarah menjadi
kesatuan yang harmonis dan masuk akal. Penafsiran
dilakukan berdasarkan suatu perspektif tertentu.
Perspektif tersebut akan menuntun perumusan aspek-
aspek yang dapat digunakan dalam melakukan
historiografi.
Tahap keempat adalah historiografi yang
merupakan tahap terakhir dalam metode sejarah.
Historiografi merupakan hasil penafsiran pada sejumlah
fakta yang telah disusun secara kronologis menjadi
suatu kesatuan peristiwa sejarah yang jelas dan selaras.
Tahapan ini berupa rekonstruksi yang imajinatif dari
masa lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan
menempuh suatu proses (metode sejarah) (Gottschalk,
1975: 32; Kosim, 1988: 42). Tahap terakhir inilah yang
cukup berat bagi penulis. Sebab untuk mencapai
konstruksi yang tidak hanya valid dan dapat dipercaya
namun juga utuh, usaha koroborasi penuh ketelitian dan

9
sikap hati-hati harus diterapkan dalam menghadapi
berbagai sumber berupa serakan fragmen fakta.

1.6 Tinjauan Pustaka


Sebelum melakukan heuristik (pencarian data),
penulis terlebih dahulu melakukan suatu tinjauan
pustaka guna memberi suatu analisis, model, sumber
acuan, serta perbandingan mengenai masalah yang
akan dibahas. Berkenaan dengan itu, digunakanlah
beberapa sumber yang menyinggung substansi ataupun
memiliki tema sama dengan penulisan penelitian ini.
Informasi mengenai riwayat perdagangan di
Banjarmasin dan wilayah sekitarnya pada masa pra-
Kesultanan Banjar diperoleh penulis dari kajian Hikayat
Banjar yang ditulis oleh Johannes Jacobus Ras. Karya
yang berupa disertasi tersebut memberi gambaran
tentang tata kelola Kerajaan Nagara Daha dan Nagara
Dipa di bidang perdagangan serta perdagangan
internasional yang berlangsung kala itu. Namun
sebagaimana sumber tulisan yang berasal dari tradisi
lokal, Hikayat Banjar memuat data sejarah yang
terkadang bersifat anakronis juga bercampur dengan
mitos dan dongeng lokal. Karenanya, kejelian dalam

10
melihat sebuah data melalui perbandingan dengan fakta
sejarah sezaman harus dilakukan.
Sumber primer utama yang menjelaskan
keadaan masyarakat dan pembangunan fisik kota
khususnya yang berkaitan dengan kegiatan pemerintah
kolonial didapat pada laporan umum para pejabat.
Perkembangan mengenai kedua hal tersebut terangkum
dalam Algemeen Verslag (laporan umum) dan Politiek
Verslag (laporan politik).
Sementara penjelasan mengenai perkembangan
ekonomi terutama data ekspor-impor maupun
perdagangan dan pelayaran didapatkan dari berbagai
laporan tahunan baik dari instansi pemerintah maupun
swasta. Seperti Laporan Tahunan Bank Perkreditan,
Laporan Pertambangan, dan Laporan Perdagangan dan
Pelayaran.
Data tentang kegiatan ekonomi terutama
perdagangan di Banjarmasin dan Borneo Selatan,
aktivitas penduduk Banjarmasin, serta gambaran
perkembangan kota banyak diinformasikan oleh surat
kabar lokal. Kebijakan dan aplikasinya juga didapatkan
dari majalah yang diterbitkan oleh pemerintah lokal.
Surat kabar Oetoesan Kalimantan dan majalah Pelita

11
Ekonomi merupakan media cetak yang sarat memuat
kabar dagang pada kurun 1930-1940an.
Sementara artikel yang ditulis oleh Dr. Karl
Helbig yang berjudul Op Landwegen in Acht Maanden
door Borneo dan Mr. M.J.A. Oostwoud Wijdenes
berjudul Bandjermasin, Borneo cukup memberikan
gambaran yang komprehensif mengenai masyarakat
dan Kota Banjarmasin. Tidak hanya itu, tulisan mereka
memberi gambaran hidup karena ditulis berdasarkan
pandangan mata langsung.
Selain sumber mengenai Kota Banjarmasin,
penulis menggunakan studi tentang kebijakan
perdagangan maritim di Makassar abad ke-19 yang
ditulis oleh Edward L. Poelinggomang sebagai bahan
perbandingan dan penelaahan. Tulisan yang berupa
kajian tentang kebijakan Pemerintah Hindia Belanda
dalam perdagangan Makassar pada abad ke-19 dan
secara spesifk mengurai faktor-faktor yang mendasari
kebijakan itu telah membantu penulis dalam mengkaji
sistem ekonomi kolonial di Banjarmasin.
Kecuali sumber tertulis, penulis juga akan
menggunakan sumber piktoral berupa peta, gambar, dan
foto yang menggambarkan situasi Kota Banjarmasin

12
dalam kurun waktu yang menjadi fokus kajian kali ini.
Gambar maupun peta Banjarmasin merupakan sumber
yang sangat penting dalam merekonstruksi
perkembangan kota dan kehidupan masyarakatnya.
Peta Kerajaan Banjarmasin Lama, Tanah Laut,
Bekumpai, Mengkatip, Siong dan Patai, Dayak Kecil dan
Dusun (Kaart van het oude Bandjermasinsche rijk,
Tanah Laut, Bekompai, Mengkatip, Siong en Patai,
Kleine Dajak en Doesoen) yang dibuat oleh Letnan
Kolonel G.M. Verspijck, komandan tentara terakhir di
Borneo Selatan dan Timur pada 1861 sebenarnya
memuat titik-titik pertahanan Belanda. Namun
berdasarkan peta yang yang dicetak pada 1862 tersebut
juga menunjukkan daerah permukiman penduduk
khususnya di Kota Banjarmasin dan sekitarnya.
Peta Kota Banjarmasin dan sekitarnya
(Schetskaart van de Hoofdplaats Bandjermasin en
Omliggend Terrein). Peta yang dibuat pada 1901 atas
perintah Komandan Militer Borneo Selatan dan Timur
yang terakhir, Letnan Satu Infanteri J.J.M. Hageman dan
diperbaiki oleh seorang pengamat lapangan (verkenner)
pada 1901 dan digambarkan pada 1916 memberi

13
gambaran baik tentang bentang alam, permukiman,
serta sarana dan prasarana Kota Banjarmasin.
Peta topografi Banjarmasin yang dibuat
berdasarkan data tahun 1920an menunjukkan
persebaran perkebunan terutama kelapa dan karet yang
diusahakan oleh penduduk dan pengusaha swasta.
Kecuali itu, peta yang dicetak oleh Dinas Topografi
Hindia Belanda pada 1927 ini juga memperlihatkan
perkembangan permukiman di Banjarmasin dan
sekitarnya pada masa itu.
Peta Petah Kota-Besar Bandjarmasin
menggambarkan keadaan kota tahun 1955. Peta ini
merupakan jenis rencana kota yang digunakan oleh
otoritas administratif berdasarkan versi awal koloni
Belanda dan menunjukkan pusat kota Banjarmasin pada
masa akhir kolonial.
Berdasarkan penelitian terhadap berbagai
sumber yang terdapat di berbagai perpustakaan dalam
proses heuristik, penulis menyimpulkan bahwa topik
penelitian ini belum pernah dibahas. Oleh karena itu,
masalah perubahan sosial kota Martapura dapat
diangkat sebagai objek penelitian.

14
1.7 Kerangka Pemikiran Teoretis
Penggunaan konsep dan teori ilmu sosial,
khususnya sosiologi dan ekonomi pada tulisan ini
membantu penulis dalam membentuk kerangka
pemikiran saat menjalani penelitian dan penulisan.
Secara umum, untuk menganalisa dan memperkuat
eksplanasi historis studi ini menggunakan konsep
perubahan sosial. Konsep tersebut memiliki daya
penjelas untuk mencari kondisi-kondisi kausal dalam
fenomena sejarah terutama perubahan sosial-ekonomi
yang terjadi di Kota Banjarmasin.
Tulisan ini mengenai Kota Banjarmasin.
Karenanya, untuk membentuk kerangka pemikiran,
penulis perlu memahami konsep kota terlebih dahulu.
Secara umum, dalam pengertian sehari-hari kota terdiri
atas sekelompok rumah yang saling terpisah tetapi
merupakan tempat kediaman yang relatif tertutup.
Elemen berkelompok itulah yang terkandung dalam
konsep sehari-hari. Maka dari itu dapat disimpulkan
bahwa kota adalah lokalitas yang luas.
Berkenaan dengan kehidupan ekonomi, kota
didefinisikan sebagai tempat tinggal yang penduduknya
hidup dari perniagaan dan perusahaan, bukan dari

15
pertanian. Adapun kota perdagangan adalah tempat
kegiatan perdagangan yang dilakukan oleh sekelompok
orang atau lebih atau dapat disebut sebagai pusat
kegiatan ekonomi di suatu lokasi tertentu. Karenanya,
ekonomi menjadi faktor utama yang mendasari tumbuh
dan berkembangnya kota dan kontak-kontak sosial
budaya dari berbagai golongan etnik (Suryawati, 2005:
2-3).
Berdasarkan konsep-konsep tersebut berkaitan
dengan penelitian Banjarmasin Sebagai Kota
Perdagangan, penulis merumuskan empat elemen kota
yang harus diuraikan. Pertama, tempat yang akan
menunjukkan letak dan kondisi geografis. Kedua,
penduduk. Ketiga, permukiman. Keempat, kehidupan
ekonomi masyarakat di mana perdagangan menjadi
porsi utama yang harus dijelaskan.
Perdagangan merupakan transaksi jual beli
barang yang dilakukan antara penjual dan pembeli di
suatu tempat. Transaksi perdagangan dapat timbul jika
terjadi pertemuan antara penawaran dan permintaan
terhadap barang yang dikehendaki. Perdagangan sering
dikaitkan dengan berlangsungnya transaksi yang terjadi
sebagai akibat munculnya problem kelangkaan barang.

16
Perdagangan juga merupakan kegiatan spesifik, karena
di dalamnya melibatkan rangkaian kegiatan produksi dan
distribusi barang (Nastiti, 2003).

1.8 Sistematika Penulisan


Penulisan penelitian ini didasarkan atas
sistematika penulisan yang mengacu kepada kriteria
penulisan yang kronologis dan sistematis serta
berdasarkan syarat penulisan yang diakronis
(memanjang dalam waktu). Walaupun secara
keseluruhan uraian tulisan dibagi menjadi lima bab
namun bab utama hanya terdiri atas tiga bab yang
menggambarkan proses perkembangan kehidupan
ekonomi dan kegiatan perdagangan serta dampak atas
perkembangan tersebut bagi penduduk dan Kota
Banjarmasin.
Bab pertama merupakan kerangka ilmiah
penulisan yang memuat batasan kajian historis yang
menjadi pedoman pengkajian bagi penulis dan sekaligus
sebagai pertanggungjawaban ilmiah penulis. Penjelasan
hal-hal pokok yang mendasari pemilihan topik serta
permasalahan yang akan diteliti juga diuraikan. Bagian
pendahuluan ini terdiri atas latar belakang masalah,

17
perumusan masalah, ruang lingkup, tujuan dan
kegunaan penelitian, metode penelitian, tinjauan
pustaka, kerangka pemikiran teoretis, dan sistematika
penulisan.
Bab kedua berjudul “Bermula dari Bandar Masih”
memuat dua bagian. Pertama, menjelaskan riwayat awal
perdagangan di Banjarmasin mulai dari kegiatan
perdagangan masa Nagara Dipa-Nagara Daha dan
keberadaan Kampung Banjar sebagai cikal bakal Kota
Banjarmasin hingga kontak dagang awal dengan
Belanda. Kedua, lanskap geo-ekonomis keadaan
geografis dan potensi ekonomi yang dikandungnya
sehubungan dengan usaha eksploitasi dan hasrat
kekuasaan Belanda di Tanah Banjar juga dimuat dalam
bab ini.
Bab ketiga berjudul “Perekonomian Banjarmasin
Akhir Abad XIX hingga Pertengahan Abad XX.” Bab ini
menguraikan penghasilan penduduk yang memuat
kegiatan ekonomi penduduk Banjarmasin, pelaku
perdagangan khususnya yang terkait dengan komoditas
ekspor-impor, komoditas terutama perdagangan
internasional, serta aktivitas pelayaran niaga di
pelabuhan Banjarmasin.

18
Bab keempat berjudul “Penduduk dan Kota
Banjarmasin Sebagai Kota Dagang Kolonial.” Bab ini
terdiri atas dua bagian yakni pertumbuhan penduduk
dan gambaran tentang kota dagang kolonial. Bagian
terakhir terurai dalam tiga sub-subbab yakni
perkembangan administrasi kolonial serta gambaran
tentang kota yang berisi perkembangan permukiman
dan pembangunan sarana fisik. Keseluruhan bab ini
membuktikan bahwa dinamika ekonomi perdagangan
hampir tidak bisa dipisah dari dari pembangunan dan
perkembangan kota sebagai daerah urban. Oleh karena
itu gambaran tentang kehidupan kota dan
masyarakatnya dihadirkan sebagai potret akibat dari
perkembangan ekonomi daerah.

19
BAB II
BERMULA
DARI BANDAR MASIH

2.1 Riwayat Awal Perdagangan


2.1.1 Perdagangan Masa Nagara Dipa-
Nagara Daha
Riwayat perdagangan di daerah Banjar sudah
berlangsung sebelum Kesultanan Banjarmasin berdiri.
Setidaknya secara tertulis dalam Hikayat Banjar 1

1
Proses pengungkapan sejarah pada masa kerajaan sebagian besar
menjadikan tradisi sejarah lokal menjadi dasar kajiannya. Dalam
tradisi sejarah Melayu didapatkan dua model tradisi lokal yang
hingga kini masih terpelihara. Yakni tradisi lisan yang terjaga dari
satu generasi ke generasi selanjutnya dan tradisi tulisan seperti,
sejarah, tutur, dan salsila. Tradisi lokal umumnya memuat
pengagungan terhadap para raja atau seorang raja ataupun
menuturkan kisah tentang asal-usul kerajaan atau genealogi raja-raja.
Adapun uraiannya yang mengandung mitos , legenda, dan dongeng
lokal yang dipadu dengan sejarah telah menyulitkan sejarawan dalam
menilai unsur legenda dan sejarah secara tepat.
Tradisi sejarah biasanya akan tetap terpelihara di setiap tempat
di mana kerajaan di Indonesia berada. Sebut saja, babad, sêjarah, dan
sêrat Kanda di Jawa Tengah dan Jawa Timur, atau sajarah, carita,
wawacan di Jawa Barat, ataupun lontarak di Sulawesi, dan hikayat di
Sumatera serta Kalimantan (Djajadiningrat, 1995: 58).
Mitos merupakan bagian dari penulisan sejarah Indonesia lama.
Untuk membuat suatu analisa tentang mitologi kita perlu
mengembalikannya dalam suasana kebudayaan di mana mitos
terjadi, yakni dalam dunia religio magis atau cosmis magis. Di dalam

20
diketahui bahwa pada masa Nagara Dipa telah ada
jabatan menteri perdagangan dengan istilah mantri
pardagang. Kecuali itu terdapat pula petugas bea tol
(bandar tol) sejumlah lima puluh orang pegawai dengan
sebutan juru bayar dan anggamarta bagi kepalanya.
Bahkan telah dibentuk petugas patroli negara yang juga
melakukan pengawasan di pasar disebut dengan nama
pariwara atau singabana sedangkan komandannya
dinamakan singantaka dan singapati (Ras, 1968: 245-
249). Dengan begitu aktivitas ekonomi baik di pelabuhan
maupun pasar telah berlangsung. Adapun pariwara
sebenarnya adalah pasukan patroli negara yang
bertugas mengawasi keadaan negara dengan secara
terus menerus berkeliling negeri. Namun tampaknya
pengawasan—tindakan hukum atas semua pelanggaran
peraturan yang terjadi di pasar termasuk wewenang
mereka— terhadap aktivitas di pasar menjadi utama. Hal
tersebut terlihat dari penempatan pos pantau di dekat
pasar bukan di tempat lain. Penempatan tersebut

kebudayaan yang bersifat religio-magis, mitos merupakan suatu


kepercayaan dan bukan sekedar pengetahuan. Karenanya,
historiografi tradisional merupakan satu bentuk perkembangan mitos
yang memiliki fungsi sakral-magis yaitu alat legitimasi raja-raja
(Kartodirdjo, 1968: 13-16).

21
sepertinya disebabkan oleh tingkat kriminalitas
cenderung lebih sering terjadi di pasar dan diduga
karena barang sitaan yang didapatkan oleh pencuri
merupakan pendapatan mereka sementara tindakan
pencurian lebih banyak terjadi di pasar (Ras, 1968: 245).
Hikayat Banjar juga menjelaskan bahwa
Wiratamas, orang yang ditunjuk sebagai menteri
perdagangan luar negeri (overseas trade) pada saat itu,
adalah orang yang memiliki kemampuan berbagai
bahasa yakni Arab, Persia, Belanda, Melayu, Cina, dan
Jawa (Ras, 1968: 235). Uraian tersebut menunjukkan
bahwa pada masa itu Nagara Dipa telah berhubungan
atau paling tidak sudah memiliki orientasi dagang ke luar
negeri. Namun tidak keseluruhan dari infomasi itu dapat
diterima karena jika dibandingkan dengan catatan
kolonial diketahui bahwa Belanda (VOC) berjumpa
dengan pedagang Banjar di abad ke-16 dan baru datang
pada abad ke-17 ke Banjarmasin bukannya ke pusat
perdagangan Negara Dipa.
Adapun komoditas yang dihasilkan pada masa
itu dapat dilihat dari potongan cerita mengenai apa yang
akan diberikan kepada Raja Cina ketika Ampu Jatmaka
mengutus Wiramartas ke Cina untuk mencari pembuat

22
patung logam (pandai besi) adalah intan, mutiara,
jumantan (zamrud), polam (batu koral merah), mirah
(batu rubi), biduri (batu opal), lilin, damar, pekat (rotan),
madu, dan orang utan. Komoditas yang dimiliki hasil dari
membeli bisa dilihat dari barang kiriman sabuk/
selendang sutera, kain sarasah, dan baju bertulis air
mas. Hubungan dagang dengan Cina telah
diinformasikan oleh sumber-sumber tertua sejak zaman
Dinasti Han (Ras, 1968: 254). Selain komoditas, dapat
diambil informasi bahwa kala itu pemerintah Nagara
Dipa telah menjalin hubungan dagang menggunakan
tata cara diplomasi (dengan mengirim utusan) dan
membangun pertukaran komoditas .
Aktivitas perdagangan dan pelayaran bagaikan
dua sisi mata uang yang tak terpisahkan karena jejaring
perdagangan saat itu adalah jejaring pelayaran.
Prasarana yang digunakan dalam melakukan
perdagangan berupa sejumlah kapal berada di bawah
tanggung jawab menteri perdagangan. Yakni,
prabayaksa, pilang (kapal barang), gali (galley), galiung
(galeon), gurap (korvet), pargata (fregat), dan galiut
(galliot) (Ras, 1968: 248-249). Prabayaksa merupakan
kapal yang dibawa dari Keling dan memuat rombongan

23
Ampu Jatmaka. Gali adalah jenis kapal yang diawaki
tenaga manusia dengan cara didorong oleh pendayung
ini digunakan sebagai kapal perang, kapal dagang, atau
pembajakan dari milenium pertama sebelum masehi
(Poesponegoro dan Notosusanto, 2008: 110;
http://en.wikipedia.org/wiki/Galley). Galiung adalah kapal
besar, kapal layar dengan banyak dek dan biasanya
digunakan untuk perang atau perdagangan
(http://en.wikipedia.org/wiki/Galleons). Gurap adalah
kapal kecil merupakan jenis kapal perang yang lebih
kecil dari fregat (2000 ton atau lebih) dan lebih besar
dari kapal patroli pantai (500 ton atau lebih sedikit)
biasanya berfungsi untuk melindungi kapal dagang
(http://id.wikipedia.org/wiki/Korvet). Pargata adalah kapal
yang mampu melakukan pelayaran jarak jauh, namun
juga dapat mempertahankan diri dari serangan musuh.
Karenanya, kapal ini berfungsi untuk mengawal armada
dagang dengan medan tempuh yang jauh seperti
penjelajahan samudera (http://id.wikipedia.org/wiki/
Freg). Galiut adalah jenis kapal kecil dengan satu atau
dua tiang dan sekitar dua puluh dayung. Sebagai
penggerak kapal ini dibantu oleh kedua layar dan
dayung (http://en.wikipedia.org/wiki/Galliots).

24
Catatan Cina juga menyebutkan bahwa
tampaknya perdagangan telah membuat Nagara Dipa
menjadi lebih makmur dan berkembang. Hal itu
ditunjukkan dengan kedatangan para pedagang yang
membawa barang dagang seperti Cina, Melayu, Johor,
Aceh, Malaka, Minangkabau, Patani, Makassar, Bugis,
Sumbawa, Bali, Jawa, orang-orang dari Banten,
Palembang, Jambi, dan Tuban, Madura, Belanda, 2
Makau, dan Keling. Beberapa pedagang asing tersebut
bahkan menetap di Banjar (Ras, 1968: 262) dan
tentunya akan membuka kontak-kontak sosial-budaya di
antara mereka.

2.1.2 Kampung Banjar, Cikal Bakal Kota


Banjarmasin 3 ketika Masa Nagara Dipa-Nagara
Daha belum menjadi bandar dagang utama apalagi

2
Kedatangan Belanda merupakan suatu anakronisme karena
pedagang Belanda diketahui baru datang pada abad ke-17 yakni
masa Kesultanan Banjar.
3
Perihal nama Banjarmasin, A. Van der Ven menguraikan tiga versi
nama yang dipercaya sebagai asal nama Kerajaan dan Kota tersebut.
Versi yang telah diuraikan di atas merupakan yang paling populer
dan logis. Versi kedua berhubungan dengan riwayat Kesultanan
Banjarmasin sebagai kelanjutan dari sebuah koloni Hindu di bawah
kepemimpinan Ampu Jatmaka yang menetap di sekitar Sungai
Negara atau Sungai Bahan pada akhir abad ke-14. Riwayat tersebut
memunculkan pemahaman bahwa nama kerajaan yang baru
terbentuk berasal dari Bandar Keling (Keling adalah nama daerah

25
sebagai pusat pemerintahan. Kiprahnya sebagai kota
dagang dimulai dari sebuah bandar dagang penyokong
bagi bandar dagang utama Kerajaan Nagara Daha di
Muara Bahan (Marabahan) (Ras, 1968: 402). Bahkan
asal-usul namanya pun dikaitkan dengan nama bandar
tersebut. Adalah Bandar Masih yang berarti bandar
pimpinan Patih Masih 4 (van der Ven, 1860: 93).
Sehubungan dengan perannya tersebut, Bandar Masih
bersama bandar-bandar dagang penyokong lainnya
seperti Bandar Kuin dan Bandar Muhur berkewajiban
membayar upeti terhadap rezim berkuasa yang dipimpin
oleh Pangeran Tumenggung.
Bandar-bandar tersebut merupakan kampung.
Kampung-kampung itu berdiri berbanjar atau berderet di
tepian sungai mengikuti aliran sungai dari Muara Bahan

asal Ampu Jatmaka), seiring perjalanan waktu nama Bandar Keling


rusak menjadi Banjarmasin dan kemudian memendek menjadi
Banjar. Versi ketiga menyebut bahwa Banjarmasin berasal dari kata
banyu asin yang berarti air asin, Kondisi ini dialami oleh
Banjarmasin ketika musim kering (kemarau) datang (van der Ven,
1860: 93). Ada pula yang menyatakan bahwa derivasi nama
Banjarmasin dengan makna Benua (daerah) yang sering mengalami
air asin atau payau berasal dari kata Benua Anyar Asin atau
disatukan menjadi Banjarmasin. (Jaarboek Mijnwezen, 1893: 12).
4
Masih berarti Melayu dalam bahasa Ngaju. Sebutan Patih Masih
memang diberikan oleh orang Ngaju. Hingga akhir abad ke-16 Patih
Masih menjabat sebagai kepala di Kuin (Cerucuk) (van der Ven,
1860: 93).

26
hingga ke muara Sungai Barito. Di antara kampung-
kampung yang ada seperti Balandean, Sarapat, Muhur,
Tamban, Kuin, Balitung, dan Banjar, kampung yang
terakhir disebutlah yang paling bagus letaknya. Sebab
Kampung Banjar dibentuk oleh lima aliran sungai yang
muaranya bertemu di Sungai Kuin. Posisi tersebut
membuat Kampung Banjar kemudian berkembang
menjadi bandar, kota perdagangan yang ramai
dikunjungi kapal-kapal dagang dari berbagai negeri.
Sebagaimana kampung lainnya, Kampung
Banjar juga dipimpin oleh seorang patih atau pada masa
Kesultanan Banjar lazim disebut pembakal. Adapun
Kampung Banjar dipimpin oleh Patih Masih yang dalam
Hikayat Banjar dikatakan sebagai orang “besar”nya di
Banjar. Oleh karenanya bandar itu dikenal dengan nama
Bandar Masih (Ras, 1968: 398). Berdasarkan uraian
tersebut diketahui bahwa Banjar sejatinya merupakan
nama sebenarnya dari Banjarmasin.
Adapun proses berdirinya Kampung Banjar
hingga menjadi bandar dagang utama dan ibukota
Kesultanan Banjar bermula dari gagasan Patih Masih. Ia
mengundang pemimpin bandar lainnya yakni Patih Kuin,
Patih Balitung, Patih Balit dari Balandean, dan Patih

27
Muhur dari Sarapat untuk mengangkat seorang pewaris
tahta sebenarnya dari Kerajaan Negara Daha, yakni
Raden Samudera yang sejak kecil telah mengasingkan
diri 5 . Saran tersebut disambut baik oleh patih lainnya
atas empat pertimbangan. Pertama, kedudukan bandar-
bandar tersebut tidak lagi menjadi inferior atau dikatakan
sebagai daerah pedesaan yang hanya berperan dalam
penjualan produk untuk Bandar Muara Bahan. Kedua,
bandar-bandar tersebut tidak lagi harus membayar
retribusi kepada pihak Kerajaan Nagara Daha [orang
hulu/ Muara Bahan (ibukota Kerajaan Nagara Daha)].
Ketiga, posisi bandar dagang utama di Bandar Masih
akan menyenangkan para pedagang asing karena
dengan begitu mereka akan memiliki pasar dekat
dengan laut. Keempat, merupakan pertimbangan yang
utama adalah karena Raden Samudera adalah cucu dari
Maharaja Sukarama yang ditunjuknya sebagai raja (Ras,
1968: 402 cf. Poesponegoro, 1968: 11).
Pertemuan tersebut dilanjutkan dengan rencana
pendirian sebuah kerajaan di Banjar dengan Raden
Samudera sebagai rajanya. Kemudian dilanjutkan oleh

5
Selama mengasingkan diri, Raden Samudera berpindah-pindah
tempat. Terkadang di Sarapat, Balandean, Sungai Muhur, Tamban,
Kuwin, Banjar, atau di Sungai Balitung (Ras, 1968: 390).

28
perencanaan pengambilalihan Bandar Muara Bahan dan
memindahkannya ke Bandar Masih. Adanya
kekhawatiran bahwa berita tersebut akan didengar oleh
Pangeran Tumenggung membuat penyerangan segera
dilakukan.
Langkah awal yang dilakukan adalah meyiapkan
pasukan. Setelah sehari semalam terkumpullah 5000
(limaribu) orang berperahu besar dan kecil datang ke
Banjar untuk menyerang Muara Bahan. Penyerangan
tiba-tiba nyaris tanpa perlawanan itu diikuti oleh
perpindahan bandar dari Muara Bahan ke Bandar Masih
baik pedagang maupun penduduk yang tinggal di Muara
Bahan (Ras, 1968: 402-404).
Rencana pendirian kerajaan pun dilaksanakan
dengan menjadikan rumah Patih Masih sebagai istana
dan balai kerajaan. Sejak itu disusun pula tata
pemerintahan termasuk posisi mantri bandar yang
dinamakan Kiai Palabuhan. Bandar terletak pada sungai
di hulu Sungai Kalayan (oleh karena itu daerah ini
disebut Sungai Pelabuhan).
Diangkatnya Pangeran Samudera menjadi raja
dan Bandar Masih sebagai pusat kerajaan sekaligus
bandar perdagangan, membuat kedudukan Pangeran

29
Tumenggung semakin terdesak. Apalagi para patih tidak
mengakuinya lagi sebagai raja yang sah dan tidak rela
menyerahkan upeti kepadanya. Oleh karena itu
Pangeran Tumenggung melakukan serangan balasan ke
Banjar namun kekalahan yang didapatnya.
Setelah penyerangan balasan itu, Patih Masih
menyarankan untuk meminta bantuan kepada Demak6
sebab friksi ini harus dituntaskan. Karenanya, dikirimlah
Patih Balit ke Demak untuk meminta bantuan pasukan
dalam perang melawan Pangeran Tumenggung. Patih
Balit berhasil pulang ke Banjar dengan membawa
pasukan Demak sebanyak seribu orang beserta para
ulama yang disepakati akan mengislamkan raja dan
rakyat Banjar. Pasukan Banjarpun mendapat bantuan
lagi dari Sambas, Batang Lawai, Sukadana,
Kotawaringin, Pambuang, Sampit, Mandawai, dan
Sabangau, Biaju Besar, Biaju Kecil, Karasikan, Kutai,
Berau, Pasir, Pamukan, orang Laut Pulau, Satui,
Hasam-Hasam, Kintap, Sawarangan, Tambangan Laut,

6
Kerajaan Demak saat itu berada pada masa kejayaannya dan
memiliki kepentingan untuk memblokade ekspansi Portugis yang
sedang menjalin mata rantai perdagangan antara Malaka dan Maluku
(Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 2008: 11).

30
Takisong, Tabanio. Bantuan juga datang dari para
pedagang seperti Melayu, Cina, Bugis, Makasar, Jawa.
Pertempuran kembali pecah. Kali ini berlangsung
cukup lama (tujuh hari tujuh malam) dan memakan
banyak korban. Melihat alotnya pertempuran, seorang
mangkubumi Kerajaan Nagara Daha, Aria Taranggana,
menyarankan untuk dilakukan duel antara Pangeran
Samudera dengan Pangeran Tumenggung. Alih-alih
duel, yang terjadi adalah rekonsiliasi keluarga.
Puncaknya adalah penyerahan kerajaan secara sukarela
oleh Pangeran Tumenggung kepada keponakannya,
Raden Samudera.
Peristiwa tersebut menandakan berdirinya
Kesultanan Banjarmasin dengan Bandar Masih sebagai
ibukotanya. Untuk sementara waktu, rumah Patih Masih
dijadikan keraton. Pendirian Kesultanan diikuti oleh
perpindahan pedagang-pedagang asing, dan
penduduk—kecuali orang-orang di Distrik Hamandit dan
Alai menjadi rakyat Pangeran Tumenggung (Ras, 1968:
430).
Sesuai dengan kesepakatan, pasca-pendirian
Kesultanan Raden Samudera diislamkan oleh Penghulu
Demak dan diberilah nama Islam, Suryanullah, oleh

31
seorang Arab. Selanjutnya, Sultan memberi hadiah
kepada penghulu Demak berupa emas, intan, lilin, rotan,
damar, tudung saji, tikar, atap daun kelapa. Sejak itu,
setiap tahun Banjarmasih mengirimkan upeti kepada
Demak dan sebaliknya pula Demak mengirimkan
bumbu-bumbu Jawa.
Kekuasaan raja-raja Jawa khususnya Demak
semakin menurun tidak lama setelah supremasi mereka
atas Banjarmasin. Secara bertahap mereka kehilangan
prestisenya dan karena itu Sultan Banjar terus
mengurangi ketergantungan. Kesultanan Banjarmasin
terus melakukan ekspansi hingga akhirnya wilayah
subordinasi Banjar semakin meluas (van der Ven, 1860:
95 cf. van Rees, 1865: 2).
Kepemimpinan Demak atas lalu lintas
perdagangan antara Jawa dan Kalimantan pun ikut
terhenti seiring dengan kehancurannya (Poesponegoro
dan Nugroho Notosusanto, 2008: 230). Akhir abad ke-16
Bandar Masih telah berperan sebagai tempat
perdagangan utama dari Kerajaan Banjar dan kemudian
menjadi tempat pemerintah Hindia Belanda
berkedudukan (van der Ven, 1860: 93).

32
Secara ekonomis, pemindahan bandar dari
Muara Bahan ke Banjarmasin membawa perkembangan
bagi perdagangan. Lokasi Banjarmasin di muara sungai
selain dekat dengan pesisir juga bisa menjangkau
pedalaman melalui Sungai Merampiau hingga 18 km
dari Marabahan. Sementara lokasi Bandar lama yakni di
Muara Bahan (Marabahan) berada limapuluh (50) meter
dari muara cukup jauh dari pesisir. Jarak tersebut
diperparah oleh bentuk sungai yang berkelak-kelok
membuat pegawasan terhadap lalu lintas masuk dan
keluarnya barang cukup sulit.
Perkembangan Bandar Masih dapat diketahui
melalui buku 323 Sejarah Dinasti Ming. Dalam catatan
tersebut, Banjarmasin digambarkan sebagai sebuah
kota yang dikelilingi tembok kayu. 7 Adapun rajanya
digambarkan selalu berpenampilan megah, jika keluar
istana mengendarai gajah, dan selalu diiringi oleh
ratusan gadis yang mengenakan pakaian indah. Dari
gambaran tersebut tampaknya bisa disimpulkan bahwa
keadaan Banjarmasin saat itu maju terutama di bidang

7
Tembok kayu dapat dimaknai sebagai benteng (Hindarto, 2010:
191).

33
perdagangan karena informasi lanjutannya perihal
aktivitas tersebut.
Barang dagang yang diperjualbelikan menurut
berita Cina tersebut adalah cula badak, burung merak,
burung nuri, pasir emas, mahkota bangau, lilin malam,
tikar rotan, darah naga (getah pohon merah tua/ pohon
atau rotan penghasil getah berwarna merah tua yang
disebut drankenbloed oleh orang Belanda, pen.), buah
pala, dan kulit rusa adalah jenis komoditas yang
diperdagangkan di pasar Banjarmasin (Groneveldt,
2009: 149-150). Kecuali itu Banjarmasin juga mengimpor
beras dan mendatangkan budak
(http://subiyakto.wordpress.com /2010/04/30/berkah-
alam-borneo/).
Komoditas yang diperjualbelikan di Banjarmasin
tersebut tidak jauh berbeda dengan yang dibawa
pedagang Banjar ke Banten pada 1596. Yakni lilin, ikan
kering (ikan asin), beras, madu, damar, dan kapur barus
(A.A. Cense dalam Sjamsuddin, 2001: 72) juga intan dan
batu-batu permata
(http://subiyakto.wordpress.com/2010/04/30/ berkah-
alam-borneo/). Barang-barang inilah yang merupakan

34
hasil produksi olahan masyarakat maupun hasil hutan
Tanah Banjar.
Selain komoditas, berdasarkan catatan
tambahan Dong Xi Yang Kao, Buku IV, fol. 20 diketahui
bahwa setidaknya pada 1618 (kolofon buku tersebut)
transaksi dagang di Banjarmasin telah menggunakan
koin timah hitam (Groneveldt, 2009: 151). Penggunaan
koin sebagai alat tukar menggantikan metode
pembayaran dengan barang menunjukkan bahwa praktik
perdagangan di Banjarmasin telah dipengaruhi oleh
pedagang Asing baik Nusantara ataupun mancanegara.
Walaupun lalu lintas uang di Nusantara bukanlah hal
yang baru karena sudah ada sebelum kedatangan Hindu
sekitar tahun 400an namun pemakaiannya berkembang
pada periode Kerajaan Islam di daerah-daerah pantai.
Adapun keberadaan koin sebagai alat pembayaran di
Banjarmasin tak bisa dilepaskan dari jalur perdagangan
sekunder Nusantara. Pasalnya, koin yang diketahui
banyak beredar di Banjarmasin adalah koin tembaga
bukan timah hitam seperti yang ditulis dalam catatan
Cina. Maka jika membandingkan dengan peredaran
uang koin di Nusantara, penulis menduga transaksi yang
tercatat tersebut dilakukan oleh pedagang dari Sulawesi.

35
Hal itu dapat disimpulkan karena timah hitam diketahui
hanya beredar di Sulawesi 8 (Creutzberg, 1987: 295)
dan karena masa itu belum ada standar penggunaan
mata uang maka transaksi perdagangan dapat dilakukan
menggunakan berbagai mata uang sesuai dengan
kesepakatan antara pedagang dan pembeli.
Gambaran khas yang tak luput dari catatan Dong
Xi Yang Kao adalah model berdagang di sungai atau kini
disebut pasar terapung telah ada pada masa itu. Adapun
pelaku dagang umumnya dilakoni oleh para pria
walaupun perempuan juga diberitakan turut menjual
makanan menggunakan sampan kecil dengan
mendekati kapal-kapal (Groneveldt, 2009: 151).

2.1.3 Kontak Dagang Awal dengan Belanda


Perjumpaan pertama orang Belanda dengan
pedagang Banjar pada 1596 di Banten tidak serta merta
diikuti oleh jalinan dagang keduanya. Namun sepuluh

8
Penggunaan uang di daerah-daerah pantai Nusantara masa
Kesultanan Islam berkaitan dengan jalur dagang sekunder di Banten
(perak dan tembaga), Sumenep (bahan celup dioleskan pada koin
yang sudah dipakai), Cirebon (takaran kecil dari timah yang disebut
picis), Palembang(timah), Jambi (timah seperti di Palembang yang
disebut picis), Bangka (timah), Pontianak (tembaga dan timah),
Mempawah (timah), Banjarmasin (tembaga), dan Sulawesi (emas
dan timah hitam) (Creutzberg, 1987: 295).

36
tahun kemudian VOC mulai menjalin hubungan dagang
dengan Kesultanan Banjarmasin. Selain untuk
memonopoli komoditas lada (termasuk komoditas
unggulan lainnya), mereka juga tertarik akan wilayah
Banjarmasin sebagai entrepot9 yang dalam konteks ini
berarti kota-kota pelabuhan yang terbentuk dan
berkembang di kawasan pantai Asia Tenggara akibat
dari jejaring perdagangan Internasional dan
persimpangan antara Cina, India, Persia, Arab, dan
Eropa (Sjamsuddin, 2001: 72).
Pada 1606 orang-orang Belanda telah didorong
untuk melakukan perdagangan di Banjarmasin terutama
oleh kekayaan hasil bumi Kerajaan seperti lada, dan
serbuk emas. Di tengah persaingan antara pedagang
Eropa dan Asia. VOC mengirimkan utusannya, seorang
Opperhoofd Banten Gilis Michielszoon untuk menjalin
hubungan dagang dengan Kesultanan Banjar. Alih-alih
perjanjian, kedatangannya berakhir dengan kematian
atas dirinya (Hohendorf, 1861: 161).

9
Entrepot berasal dari bahasa Latin inner (di antara) dan postitum
(lokasi) yang bararti sebuah tempat yang berada di antara. Sebuah
entrepot adalah sebuah kota kecil dengan beberapa komoditas lokal.
Hampir seluruh barang yang diperdagangkan adalah komoditas
internasional yang singgah di tempat tersebut (Widodo, 2009: 8).

37
Baru pada 4 September 1635 Belanda berhasil
mengadakan hubungan dengan Kesultanan di tengah
meningkatnya perdagangan lada. Kontrak bermula dari
kedatangan sahbandar Kesultanan, Retnadij Ratja alias
Godja Babouw10 ke Batavia. Ia sengaja dikirim sebagai
utusan Sultan Banjar guna menghadap Gubernur
Jenderal. Hasilnya, kedua belah pihak menyepakati
bahwa pada musim lada pertama di bulan September-
Oktober, Sultan akan menjual lada sebanyak 600 pikul
kepada Belanda seharga 3000 real karena sebelumnya
telah ditentukan bahwa sepikul lada dihargai lima real
atau setara dengan 35 gantang Martapura. Kesepakatan
ini berlaku jika VOC menempatkan beberapa kapal
seperti yacht, fregat, dan kapal cepat di Banjarmasin.
Persyaratan ditentukan untuk melindungi keamanan
Banjarmasin karena sebelumnya Sultan telah memiliki
perjanjian dagang dengan seorang kepala orang-orang
Cina di Batavia sekaligus pemilik perusahaan dagang
(lantjong) bernama Bencon (Indonesia, 1965: 2-3).

10
Retnady Ratya alias Godja Babouw adalah sahbandar Kesultanan
Banjar asal Gujarat. Peng-angkatan orang Gujarat bukannya tanpa
sebab melainkan karena pihak Kesultanan menganggap bahwa orang
Gujarat adalah bangsa yang berpengalaman dalam melakukan
hubungan dangang internasional (Indonesia, 1973: 2).

38
Jika melihat isi dari kontrak tersebut sepertinya
Sultan mencari keuntungan yang lebih besar dan pasti
atas perdagangan lada. Pasalnya, jual beli dengan
orang Cina tersebut dilakukan tanpa kesepakatan harga
lebih dulu. Padahal para pedagang Cina yang memiliki
jejaring perdagangan luas dikenal suka mempermainkan
harga karena mereka memiliki pengetahuan mengenai
harga pasaran dunia.
Sementara motivasi VOC adalah menghalangi
masuknya pedagang Asing lain. Mengingat sejak 1630
pedagang Denmark, Inggris, Spanyol, dan Portugis telah
masuk ke Banjarmasin. Kecuali itu, saudagar-saudagar
Cina, Siam, Jawa, Makassar, dan Semenanjung Melayu
pun membeli dan membawa lada ke Cochin Cina dan
Makasar. Bahkan di dua pelabuhan terakhir tersebut
pedagang Portugis biasanya membeli lada untuk
diperjualbelikan kembali di Makao dan Manila
(Sjamsuddin, 2001: 74).
Kontrak lanjutan berkenaan dengan hubungan
dagang dilakukan kembali pada 2 Juni 1661. Masih
menyangkut lada, perjanjian tersebut menyepakati harga
lada yang akan dijual dan menyetujui bahwa semua lada
dari Banjarmasin jatuh kepada Kompeni dan tidak akan

39
diberikan ke pihak lain. Kalaupun pedagang Banjar mau
menjualnya sendiri, VOC membatasi hanya boleh
dilakukan hingga Batavia atau Malaka. Pada 1664
kembali dilakukan perjanjian mengenai penjualan lada
yang isinya tidak jauh berbeda dengan kesepakatan
sebelumnya (Indonesia, 1965: 7; 10).
Pada 26 Oktober 1733 dibuat perjanjian baru
yang lagi-lagi berkenaan dengan lada. Kali ini Kompeni
terpaksa harus realistis menghadapi perdagangan bebas
yang sulit dibendung dengan memberi sedikit toleransi
dan kembali mengizinkan gonting, jung, wangkang, atau
kapal-kapal lain dari Cina untuk membawa lada dari
Banjar. Namun jumlahnya tetap terbatas karena
selebihnya untuk transaksi dengan orang-orang Belanda
saja (Indonesia, 1965: 13).
Pembaruan kontrak perihal perdagangan lada
disepakati lagi pada 18 Mei 1747. Kontrak ini menyoal
perdagangan dengan Cina. Selain membatasi jumlah
wangkang Cina yang hanya boleh masuk satu buah
setiap tahunnya kontrak mengatur penjualan lada agar
tidak dilakukan oleh orang Banjar melainkan harus
dilakukan oleh Kompeni. Jika ditemukan keberadaan
kapal lain di luar yang telah ditetapkan maka muatannya

40
akan dirampas dan VOC akan mengambil setengahnya
sesuai dengan harga yang ditentukan. Kecuali itu,
kontrak juga membatasi kebebasan jelajah pedagang
Banjar yang hanya diizinkan beraktivitas di wilayah
perairan yang berada dalam pengawasan VOC.
Karenanya perlayaran hanya dibatasi sampai Batavia
dan Jawa. Tidak boleh lebih jauh ke timur dari
pelabuhan Gresik atau Surabaya ataupun ke sebelah
barat hingga Palembang, Malaka, Johor, dan Belitung
(Indonesia, 1965: 36).
Menelaah isi kontrak-kontrak di atas, Kompeni
dengan jelas memberi sedikit keleluasaan terhadap para
pedagang Cina. Hal itu disebabkan oleh karena VOC
dan pedagang Banjar membutuhkan informasi perihal
perdagangan dunia dari pedagang Cina.
Kontrak penting lainnya terjadi pada 13 Agustus
1787 di mana Sultan menyerahkan Kesultanan Banjar
ke Belanda, lagi-lagi untuk menerima pinjaman. 11 Walau
kenyataannya, kontrak ini tidak terlalu berpengaruh
karena Kesultanan tidak mematuhinya. Namun sejak

11
Perjanjian sebelumnya pada 27 Oktober 1756 juga berisi tentang
pinjaman Kesultanan. Namun pembayarannya masih berupa lada,
intan, dan emas.

41
kontrak ini secara bertahap pada 1817 dan 1824
Kompeni telah mengambil alih kerajaan-kerajaan
bawahan Kerajaan Banjar. Lalu kemudian menjadikan
daerah-daerah tersebut sebagai daerah hak Kerajaan
Belanda berdasarkan perjanjian tahun 1826 (Kartodirdjo,
1973: XC-XCIIIXCIV; C).
Setelah menerima kembali kekuasaan dari
Inggris, 12 orang-orang Belanda kembali di tahun 1816
dan memperbaharui kontrak lama di tahun 1817.
Belanda sekarang memiliki seorang residen, seorang
sekretaris, seorang kerani, seorang (sahbandar)
pegawai gudang dan penjual garam, dan beberapa
petugas pos di beberapa distrik (Veth, 1869: 70).
Pada 4 Mei 1826 kontrak kembali dibuat. Namun
kali ini tidak hanya menyangkut aktivitas perdagangan
melainkan status dan wilayah Kerajaan Banjar.
Berkenaan dengan status, kontrak tahun 1826
menghasilkan dua sistem pemerintahan di wilayah
Kesultanan. Yaitu pemerintahan Kesultanan Banjar dan
sistem pemerintahan Hindia Belanda (Ideham et al,
2005: 31). Pemerintahan pertama disebut dengan

12
Masa pendudukan Inggris tidak diuraikan karena tidak
berpengaruh besar terhadap perkembangan perdagangan Kota
Banjarmasin selanjutnya.

42
zelfbestuur (swapraja) atau pemerintahan otonom
sedangkan pemerintahan kedua disebut gewestelijk
bestuur (secara harfiah berarti pemerintahan wilayah)
atau pemerintahan gubernemen.
Pada pemerintahan zelfbestuur raja memiliki hak
otonom. Yaitu pemerintahan sendiri tetapi tetap berada
dibawah kedaulatan pemerintahan Belanda. Artinya, raja
memiliki kekuasaan untuk menjalankan
pemerintahannya sendiri namun sebenarnya para
penguasa kerajaan hanyalah simbol dan tenaga penguat
sistem feodal tradisional dengan tujuan untuk
mengawasi kegiatan rakyat di daerah masing-masing
(Listiana, 2010: 15). Status dan sistem pemerintahan
otonom tersebut dikenal dan dapat disejajarkan dengan
istilah zelfbestuurend landschap yang diberlakukan di
wilayah kerajaan lain di Hindia Belanda dan
pemerintahnya disebut dengan pemerintahan kerajaan
(rijkberstierde/ sultanaat bestuur) (Kielstra, 1917: 22).
Adapun pemerintahan Hindia Belanda berada di
bawah gubernur jenderal yang berkedudukan di Batavia
dan bertangung jawab langsung kepada Menteri Urusan
Daerah Jajahan (Minister van Kolonien) sebagai wakil
raja. Sebagai kepanjangan tangan, gubernur jenderal

43
menugaskan seorang residen di Banjarmasin yang kala
itu bertanggung jawab atas Borneo Selatan dan Timur
serta Borneo Barat. Oleh karena itu, wilayah tanah
kolonial disebut tanah gubernemen dan
pemerintahannya disebut pemerntahan gubernemen.
Berkenaan dengan wilayah, kontrak 4 Mei 1826
telah membagi wilayah Kerajaan Banjar menjadi dua.
Pertama, daerah yang dikuasai oleh Kerajaan dan
kemudian dikenal dengan sebutan Tanah Sultan
(Sultan’s Landen atau Vorstenlanden). Kedua, tanah
yang dihaki Belanda disebut Tanah Gubernemen.
Adapun Banjarmasin termasuk ke dalam Tanah
Gubernemen. Tanah tersebut meliputi Pulau Tatas dan
Sungai Kuin sampai dengan tepi kiri Sungai Antasan
Kecil; Pulau Burung dan daratan ke arah Sungai Mesa
sampai dengan Tanah Laut; sepanjang Sungai Barito
sampai ke Tanah Dusun; pantai selatan Kalimantan dari
tepi barat Sungai Barito sampai ke perbatasan-
perbatasan Pontianak, termasuk daerah aliran Sungai
Dayak Kecil (Sungai Kapuas Murung) dan Sungai Dayak
Besar (Sungai Kahayan); juga tanah-tanah Mendawai,
Sampit, Pembuang, Kotawaringin, Sintang, Lawai, dan
Jelai; Pantai timur Kalimantan dari Pagatan ke arah

44
Pulau Laut, Batu Licin, Pasir, Kutai, Berau, dan semua
daerah taklukannya (van der Ven, 1860: 99).
Penetapan wilayah berdasarkan kontrak 1826
inlah yang memberi pengaruh terhadap keadaan
perdagangan di Banjarmasin. Pasalnya, setelah muara
Sungai Martapura yang menjadi pintu masuk kapal telah
menjadi bagian dari tanah gubernemen pihak Kolonial
Belanda menguasai pintu masuk perdagangan dan
pelayaran di Tanah Banjar. Sebaliknya pula kontrak itu
pun telah mematikan aktivitas perdagangan yang
selama ini dihidupkan dan menghidupi Kesultanan
Banjar.

2.2 Lanskap Geo-Ekonomis


Keadaan geografis Keresidenan Borneo Selatan
dan Timur di mana Banjarmasin merupakan salah satu
kotanya. Keresidenan ini memiliki areal seluas
7000/8000 mil persegi geografis, melintang dari 1100 35‫׀‬
hingga 1190 Bujur Timur dan 4015‫ ׀‬hingga 40 8‫ ׀‬Lintang
Selatan (Algemeen Verslag, 1839).
Keresidenan Borneo Selatan dan Timur
berbatasan dengan Kerajaan Sulu di sebelah utara,
Brunei di sebelah barat laut, Keresidenan Borneo Barat

45
di sebelah barat, Laut Jawa di sebelah selatan, Selat
Makassar di sebelah timur. Adapun Borneo bagian
selatan yang akan menjadi pembahasan kita lebih lanjut
berbatasan dengan Sungai Kapuas dan Melawi di
sebelah utara, sebelah timur dengan Dayak Besar atau
Kahayan, sebelah selatan dengan Laut Jawa, sebelah
barat dengan Jelei dan Sungai Jelei dengan luas
permukaan seluas 1000 mil (van Rees, 1865: 18-19).
Sementara Kota Banjarmasin sendiri dapat
ditempuh sekitar empat jam dari muara sungai
Banjarmasin. Pusat kotanya terletak pada sebuah pulau
di dalamnya yang bernama Tatas pada 3o34‫ ׀‬40 ‫׀׀‬
Lintang Selatan dan 114‫ ׀׀‬30o Bujur Timur (Veth, 1869:
70).
Wilayah Kota Banjarmasin berbatasan dengan
Sungai Martapura dan Kota Martapura hingga
Mataraman di sebelah utara, di sebelah timur adalah
Riam Kanan, sebelah selatan berbatasan dengan Tanah
Laut, sebelah barat dengan Laut Jawa dan Sungai Barito
hingga Schans van Tuyl (van Rees, 1865: 20-21).
Banjarmasin merupakan pintu gerbang
perdagangan Borneo Selatan dan berfungsi sebagai
gudang dari segala produksi Tanah Banjar. Tanah yang

46
dialiri Sungai Barito hingga membentuk cabang dan
anak-anak sungai layaknya air yang menyemprot ke
daratan. Maka dari itu, berbicara aktivitas perdagangan
di Banjarmasin sudah tentu akan bersentuhan dengan
jaringan sungai sebagai jalur perdagangan.
Jaringan sungai tersebut merupakan Daerah
Aliran Sungai Barito (Susilowati, 2007: 213). Sungai
Barito adalah sungai terbesar dan terpanjang di
Kalimantan Selatan. Membujur dari hulu, di Pegunungan
Schwaner hingga bermuara di Laut Jawa. Dengan
panjang kurang lebih 1.000 kilometer dan lebar Sungai
Barito rata-rata antara 650 hingga 800 meter, serta
kedalaman rata-rata 8 meter (Indonesia, 1984: 57) tak
heran jika Barito disebut sebagai sungai di bagian timur
yang mengampuh banyak peran penting dibandingkan
dengan delapan sungai besar lain yang mengalir dari
utara ke pantai selatan Borneo.
Sungai Barito di Kalimantan Selatan mempunyai
dua anak sungai penting yaitu Sungai Martapura dan
Sungai Negara. Cabang dari kedua sungai tersebut
adalah lintasan sekaligus jaringan transportasi sungai
yang padat karena menghubungkan daerah-daerah
pedalaman dengan kota pelabuhan.

47
Gambar 2.1 DAS Barito
Sungai Martapura memiliki tiga cabang sungai,
yaitu Sungai Alalak, Sungai Riam Kiwa (Kiri), dan Sungai
Riam Kanan. Sementara itu Sungai Nagara memiliki
banyak cabang sungai, di antaranya yang terpenting
adalah Sungai Amandit, Sungai Tapin (Sungai
Margasari), Sungai Berabai, Sungai Balangan, Sungai
Batang Alai, Sungai Tabalong, dan Sungai Tabalong

48
Kiwa (Kiri). Sungai Amandit mempunyai dua cabang
sungai, yaitu Sungai Bangkan dan Sungai Kalumpang,
sedangkan Sungai Tapin mempunyai empat cabang
yaitu Sungai Muning, Sungai Tatakan, Sungai Halat, dan
Sungai Gadung (Susilowati, 2007: 213).
Dengan segala konsekuensinya, sungai adalah
bagian dari kehidupan masyarakat. Sebagai sarana
transportasi utama, air telah merangsang keahlian
mereka untuk memperpendek jarak dengan membangun
terusan atau kanal (antasan atau anjir). Antasan
merupakan saluran yang menghubungkan dua aliran
sungai atau danau. Sementara anjir dibuat untuk
memperlancar irigasi namun dimanfaatkan pula
sebagaimana antasan. Penduduk juga membuat handil,
yaitu semacam kanal yang dibuat untuk
menghubungkan daerah produsen tanaman
perdagangan dengan sungai yang dapat dilayari. Lebar
kanal-kanal tersebut sekitar 20 sampai 35 meter dengan
kedalaman sekitar tiga meter. Karenanya, hanya kapal
atau perahu berukuran sedang dan kecil saja yang dapat
melayari (Susilowati, 2007: 214).

49
BAB III
PEREKONOMIAN BANJARMASIN
AKHIR ABAD XIX HINGGA
PERTENGAHAN ABAD XX

Bab ini mengurai perkembangan Banjarmasin


sebagai pusat perekonomian Borneo Selatan dan Timur
pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20.
Berdasarkan data yang ada diharapkan berbagai
kegiatan ekonomi Kota Banjarmasin sebagai pusat arus
perdagangan Belanda akan diungkap. Selain melihat
aplikasi sistem ekonomi kolonial, fokus utama bagian ini
adalah menunjukkan peran ekonomi penduduk Kota dan
masyarakat Borneo Selatan.

3.1 Penghasilan Penduduk


Sebagai gambaran awal, secara umum sebelum
penghapusan Kesultanan Banjar, penduduk hidup di
atas aktivitas perdagangan para bangsawan (Veth,
1869: 70). Selama itu berlaku, penduduk berperan
sebagai penyedia barang dagang. Bagaimana pula
perkembangannya pasca-penghapusan Kesultanan?

50
Usaha agraris merupakan salah satu bidang
pekerjaan penduduk Kota. Adapun upaya terbesar yang
dilakukan oleh orang Banjar adalah persawahan
(Vleming, 1925: 265). Begitulah yang terungkap dari
berbagai laporan baik pemerintah maupun lembaga
swasta. Namun pada awal abad ke-19 bidang pertanian
di Borneo Selatan khususnya di Tanah Gubernemen
belum begitu berarti yang terlihat dari hasil lahan padi.

Gambar 3. 1 Persemaian padi apung di Banjarmasin 1939


(Sumber: http://kitlv.pictura-dp.nl).
Pada 1850 sawah di Tanah Gubernemen
mengalami kekeringan yang kuat dan serangan hama

51
tikus (Algemeene Verslag, 1850).1 Walaupun kemudian
membaik, di tahun 1858 hasil pertanian kembali
menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Hal itu
dikaitkan dengan kegagalan hasil tanaman lain seperti
sayur dan jenis buah lain. Kondisi tanah yang basah dan
berlumpur dikabarkan sebagai sebab dari berbagai
kesulitan. Karenanya pula produk pertanian tidak banyak
menghasilkan bagi penduduk (Algemeene Verslag,
1858). Gambaran tidak terlampau berbeda nampak pula
di tahun 1880. Para buruh tani bahkan terpaksa menjadi
kuli walaupun dengan pembayaran yang semakin
menurun sekitar f. 0,50 per hari (Algemeene Verslag,
1880).
Pengolahan sawah secara tradisional memang
merupakan usaha utama yang dikerjakan orang di
Tanah Banjar. Namun cara tersebut terbukti tidak
produktif. Oleh karena itu seiring laju wacana politik
balas budi di Hindia Belanda, memasuki abad ke-20
sistem pengairan sawah mulai dikembangkan oleh
pemerintah kolonial di Borneo Selatan termasuk di
Banjarmasin (Paulus, 1917-1918: 678). Pembangunan

1
Panen di Tanah Sultan pada masa itu juga dikabarkan tidak
melimpah yang menjadikan harganya meningkat (Algemeene
Verslag, 1850).

52
waduk, kanal-kanal, dan siring sebagai media irigasi
merupakan program kerja yang dilakukan untuk
mendukung pengembangan pertanian. Bahkan
pemerintah melalui Komisi Kota (Geweestelijke
Commissie) menngalokasikan uang bea karet bagi
pelaksanaan proyek-proyek tersebut (Oetoesan
Kalimantan No. 53, 1935: 4).

Gambar 3.2 Perbaikan waduk Riam Kanan awal abad XX


(Sumber: Arsip Nasional RI).
Pembangunan kanal tampaknya mendorong
produktivitas tanah pertanian tidak hanya di Afdeeling
Banjarmasin tetapi juga Hulu Sungai. Sekitar 1927
panen padi terlihat lebih baik dengan kualitas dan jumlah

53
produksi meningkat (Jaarverslag van de
Bandjermasinsche Credietbank, 1927: 1).
Kecuali itu kanal juga mendorong pembukaan
persawahan baru. Seperti yang diinformasikan
mingguan “Pelita Ekonomi” bahwa pada 6 September
1947 Banjarmasin akan dibanjiri persawahan baru
setelah pembukaan dua buah terusan (antasan).
Terusan pertama adalah Antasan Alalak (Pioelan dan
Tanipah). Terusan ini dimulai dari Sungai Tanipah terus
ke Sungai Alalak (Oeloe) bertemu dengan antasan
Soetan yang telah digali sejak masa kolonial dengan
panjang 14 km. Terusan kedua, Alalak-Pioelan yaitu dari
Sungai Alalak (ilir) terus sampai ke Sungai Pioelan
dengan panjang 11 km. Pada masa pendudukan Jepang
terusan ini dinamakan Terusan Semangat. Ketika itu,
terusan ini pernah dikerjakan oleh para kirohosi di
Banjarmasin dan sekitarnya. Tetapi sesudahnya Jepang
menyerah dan pekerjaan ini ditinggalkan. Pekerjaan
terusan baru dilanjutkan atas usaha Dinas Pertanian,
Dinas Tanaman Pangan (v. en w. landbouw) dan
Departemen Dalam Negeri (Binenland Bestuur).
Praktiknya, orang-orang kampung (petani) sendiri adalah
pihak yang justru lebih banyak memberi bantuan. Berkat

54
usaha mereka, pekerjaan ini dapat diselesaikan
walaupun melihat suasana politik kala itu pekerjaan
tersebut tampak sebagai sesuatu yang tidak mungkin.
Para pembesar Indonesia dan kepala kantor
pemerintah antara lain Kiai Besar Raden, Kiai Besar
Ibrahim Sedar, Ir. de Wilde de Ligny (landbouw), Ir.
Botman (v.en w.) Kiai Kepala Basoeni, Kadi Besar H.
Hanafie Gobet, para kiai, juga insan pers turut
menghadiri pembukaan pertama penggalian terusan.
Dalam pidatonya, Ir. H.J. de Wilde de Ligny menyatakan
bahwa pembangunan terusan diharapkan dapat
memperluas area persawahan yang berarti dapat
meningkatkan produksi beras lokal.
Dalam media massa pertanian daerah juga
dimuat bahwa tujuan utama dari penggalian dua terusan
tersebut adalah menjadikan tanah kosong di daerah
Banjarmasin sebagai persawahan. Adapun rakyat yang
ingin memiliki sawah dapat meminta ke lembaga terkait.
Dari dua terusan tersebut diperkirakan bahwa luas area
persawahan dan hasil`panen akan meningkat. Area
persawahan semula hanya meliputi sebagian kecil dari
Alalak, Tabing Rimba, Alalak Padang, Terantang, dan
sebagian di sekitar Kali Martapura. Adapun wilayah yang

55
kemungkinan akan dibuka meliputi tanah dari Sungai
Alalak hingga ke Kali Martapura dan dari Sungai Alalak
ke ujung Kali Pioelan mencapai sekitar 11 hingga 14 km.
Diharapkan pula dengan pembukaan areal persawahan
yang baru penduduk Banjarmasin tidak lagi kekurangan
padi sebagaimana kejadian masa lalu di mana
masyarakat yang kekurangan atau tidak mampu
membeli beras berharga mahal akhirnya mengonsumsi
sagu atau ubi-ubian (Pelita Ekonomi, 26 September
1947: 513).
Hasil dari pembangunan irigasi sudah terlihat dari
persawahan sekitar Banjarmasin. Panen di akhir tahun
1947 dinyatakan cukup memuaskan dan mengalami
peningkatan. Dari ladang seluas 50.300 ha telah
dipungut 60.000 ton beras (Pelita Ekonomi, 19
September 1947: 506; Pelita Ekonomi, 26 September
1947: 512).
Adapun perihal pengolahan sawah hingga 1947
diberitakan bahwa petani masih mengandalkan curah
hujan. Kecuali itu, sistem membakar ladang juga masih
dilakukan oleh petani di Banjarmasin (Pelita Ekonomi, 26
September 1947: 512).

56
Selain pertanian padi, masyarakat juga
membudidayakan kapas atau lebih tepatnya pemerintah
Belanda yang sebenarnya berusaha agar masyarakat
dapat membudidayakan kapas. Sebabnya, kapas
merupakan komoditas ekspor yang cukup luas
pasarnya. Terbukti, pada laporan umum tahun 1858
pemerintah menyatakan sudah melakukan ekspor
produk mentah kapas sebanyak 4000 pikul setiap
tahunnya. Kecuali dijual ke pasar dunia, sebagian mata
rantai kecil produk ini untuk di bawa ke pasar.
(Algemeene Verslag, 1840).
Area sekitar Banjarmasin yakni di tanah
gubernemen sepanjang daerah rawa jarang
penduduknya merupakan salah satu lokasi
pengembangan kapas. Usaha tersebut dilakukan
dengan mengirim benih kapas yang lebih baik,
memberikan uang muka di perkebunan, dan
menetapkan harga yang wajar.
Percobaan penanaman kapas dilakukan pada
1849. Namun benih kapas Dhaka gagal dan ditemukan
tidak berpengaruh pada penduduk. Percobaan pun
dilakukan lagi pada jenis yang telah dikenal oleh
perusahaan perdagangan Belanda (Nederlandsche

57
Handel Maatschappij) di sini. Jenis benih kapas
Amerikansche Sea Island-lah yang kemudian diminta
Komite untuk ditawarkan pada masyarakat.
Budi daya kapas diusahakan cukup serius
dengan mendatangkan delapan peneliti. Namun,
kekhawatiran pemerintah kolonial adalah apakah
penduduk serta para kepala pribumi akan bekerja
bersama untuk mendapatkan produksi yang lebih besar.
Terlepas dari itu, Nederlandsche Handel Maatschappij
tetap menginvestasikan uang tunai di perkebunan dan
membenahi undang-undang mereka sendiri untuk
kepentingan advokasi.
Kendati demikian, penduduk tetap saja sangat
sedikit melakukan perluasan pembudidayaan. Hal ini
disebabkan oleh karena kegagalan percobaan berulang
kali sehingga usaha yang dikerjakan tidak menghasilkan
apa-apa, tidak ada bimbingan yang tepat, dan tidak
mendapat dukungan pengelolaan (Algemeen Verslag,
1858).
Tidak hanya kapas, pemerintah kolonial juga
pernah berusaha mengembangkan tanaman kopi dan
lada. Namun tidak berhasil karena penanaman kedua
produk yang melibatkan banyak tenaga ini menghasilkan

58
produksi yang tidak signifikan dan proporsional dengan
kebutuhan modal. Alhasil, upaya pemerintah dengan
memaksa penduduk untuk memperluas dan memelihara
kedua produk ini mengakibatkan penduduk
meninggalkan tanah gubernemen (Algemeene Verslag,
1850).
Penanaman kapuk di tahun-tahun terakhir untuk
penduduk terbukti agak menguntungkan. Sehingga
dihadirkan petugas pertanian di Kandangan untuk lebih
merangsang minat di kalangan penduduk untuk
memperluas dan memperbaiki perkebunan. Untuk tujuan
ini biji kapuk resmi disediakan dengan harga rendah
untuk digunakan penduduk.
Penanaman buah-buahan tidak diperluas selama
awal abad ke-20. Akibatnya, impor buah-buahan dari
Jawa harus terus dilakukan secara bertahap karena
konsumsi buah cukup tinggi meskipun harga jualnya
menjadi tinggi. Melihat fenomena ini de
Bandjermasinsche Credietbank bahkan menyarankan
kepada pemerintah untuk melakukan usaha propaganda
yang lebih untuk penanaman buah karena mata
pencaharian tersebut dianggap dapat menjadi sumber

59
pendapatan bagi penduduk di masa depan (Jaarverslag
van de Bandjermasinsche Credietbank, 1927:1-5).
Masyarakat Banjarmasin mengabaikan produksi
ternak. Kalaupun ada pengembangan kerbau itupun
dilakukan di Tanah Laut. Ternak lain yang dilaporkan
adalah peternakan kuda yang keadaannya pun sangat
buruk. Peternakan kuda yang cukup baik adalah
peternakan kuda milik Pangeran Mangku di mana kuda
ras Jawa yang biasa digunakan untuk berburu
merupakan jenis peliharaan terbesarnya. Namun
menjelang dihapuskannya Kesultanan Banjar, aktivitas
peternakan tersebut tidak lagi diinformasikan.
Karenanya, pemerintah mengharapkan adanya pasokan
baru dari Jawa (Algemeene Verslag, 1940; 1858).
Aktivitas lain masyarakat adalah perikanan. 2

Perikanan dilakukan baik di lingkungan sungai, rawa,


danau, maupun laut masih menjadi tradisi mata
pencaharian masyarakat Banjar oleh karena perairan
terutama sungai-sungai yang ada menghasilkan
berbagai jenis ikan. Walaupun sebagian besar

2
Selama Kesultanan Banjarmasin masih berdiri, danau dan sungai
merupakan hak milik atau apanage Sultan. Namun mulai tahun 1862
hak tersebut menjadi milik Pemerintah Kolonial Belanda (Algemeene
Verslag, 1861).

60
penangkapan ikan masih diperuntukan bagi konsumsi
lokal, namun masyarakat telah melakukan usaha di
bidang perikanan dan perdagangan ikan dalam skala
kecil di sungai dan dalam skala besar untuk ekspor
(Algemeen Verslag, 1840).

Gambar 3.3 Penjemuran ikan kering awal abad XX


(Sumber: Arsip Nasional RI).
Usaha penangkapan ikan di Banjarmasin masih
mencakup skala kecil. Skala besar dilakukan di Tabanio,
Afdeeling Tanah Laut. Hasilnya banyak dijadikan terasi
untuk dikirim ke Jawa, sebagian dikeringkan (ikan asin)
untuk dikonsumsi sendiri, dan berbagai jenis ikan lain
yang dihasilkan terutama gurame dijual di Banjarmasin.
Adapun ikan asin sedikit tersedia di pasar Banjarmasin.

61
Hal ini mungkin disebabkan oleh kelangkaan garam
(Algemeene Verslag, 1858). Meskipun demikian
pengeringan (pengasinan) ikan menjadi cabang industri
yang penting (Algemeene Verslag, 1861).
Hasil hutan Borneo Selatan yang kaya
mengarahkan masyarakat khususnya di daerah
pedalaman untuk mencari penghasilan darinya.
Pencarian hasil hutan ini dilakukan secara individu dan
mandiri untuk kepentingan pribadi dan bebas biaya.
Adapun penduduk Banjarmasin bekerja pengumpul karet
atau hasil hutan lainnya seperti lilin dan rotan secara
langsung dari produsen dan menjualnya kepada
pedagang besar (Alfisyah, 2008: 62-63).
Penghasilan penduduk juga didapatkan dari
kelapa. Tradisi perkebunan rakyat berupa perkebunan
kelapa masih dikerjakan secara luas di seluruh Borneo
Selatan setidaknya hingga tahun 1930an. Sebab kebun
kelapa masih memberi tambahan biaya hidup bagi
masyarakat. Terutama saat harga kopra meningkat di
pasar Jawa dan supply bahan baku dari daerah
setempat kurang. Sehingga kelapa dari Kalimantan
menjadi andalan untuk mencukupi industri kopra.

62
Sayangnya, memasuki tahun 1930an kualitas
kelapa dikabarkan semakin menurun karena para tuan
kebun tidak lagi memelihara kebunnya seperti dulu. Hal
ini disebabkan oleh harga jual yang rendah dan hama
merajalela. Kalaupun harga kopra sedang meningkat,
masyarakat tidak merasakan karena tidak mendapatkan
informasi harga. Dan pihak yang mendapatkan untung
adalah para tengkulak yang banyak dilakoni orang
Tionghoa.
Meskipun gejala penurunan produksi kelapa
mulai muncul, usaha agar masyarakat kampung
mendapatkan untung tetap diusahakan oleh pemerintah
dari Dinas Pertanian (Landbouwvoorlichting) dan
Departemen Dalam Negeri. Salah satunya adalah
dengan mendirikan badan untuk mengurus pertanian
dan para petani. Usaha ini sudah dilakukan di Jawa
namun hasil penerapannya di Borneo Selatan belum
dapat diketahui hingga tahun 1936 (Oetoesan
Kalimantan No.14, 1936: 2). Selain usaha peningkatan
penghasilan petani, seiring maraknya wacana industri
membuat luasnya kebun kelapa menjadi peluang besar
bagi pembangunan pabrik-pabrik minyak kelapa dan
pabrik sabun cuci yang kini hanya dimiliki oleh orang

63
asing sementara pribumi hanya memiliki usaha kecil
(Oetoesan Kalimantan No.7, 1935: 1).
Gambar 3.4 menunjukkan bahwa hingga tahun
1926 perkebunan kelapa baik yang dikelola secara
bebas oleh rakyat maupun secara profesional oleh
perusahaan perkebunan 3 (onderneming) di Kota
Banjarmasin dan sekitarnya masih luas. Perkebunan
rakyat dapat dikatakan tumbuh di setiap perkampungan
dan di sepanjang aliran sungai.
Peta menunjukkan persebaran onderneming
(Og.) merata di berbagai sisi Kota. Di bagian utara Kota
yakni di sekitar aliran Sungai Alalak terdapat Og. Alalak
Besar dan Og. Tandjoeng Pagar. Sementara di bagian
barat Kota di sekitar Sungai Barito dan Sungai
Palamboean terdapat Og. Louise Albertine dan Og.
Palamboean. Di bagian timur kota yakni di aliran Sungai
Martapura terdapat Og. Pangambangan, Og. Pematang
Ramania, dan Og. Sungai Lokbantan. Juga di sepanjang
jalan darat antara Banjarmasin-Martapura yakni di aliran

3
Di Hindia Belanda tidak terdapat garis pemisah yang tegas antara
perkebunan dan kebun karet milik pribumi. Adapun di Malaya,
perkebunan adalah unit tanaman karet dengan luas lebih dari 40
hektar sedangkan bumiputera sekitar 1hingga 5 hektar (Barlow dan
John Drabble, 1988: 261).

64
Taboek, terdapat Og. Sungai Bakung, Og. Sungai
Madang, dan Og. Aboemboen (Topographische Dienst
anak Sungai Martapura, Sungai Lulut dan Sungai

van Nederlandsch Indie, 1927).

65
Gambar 3. 4 Peta topografi Banjarmasin dan sekitarnya berdasarkan data survey tahun
1921-1926 menunjukkan daerah sebaran penanaman kelapa dan karet baik yang dikelola
oleh rakyat maupun perkebunan atau onderneming (Sumber: Perpustakaan Nasional RI).
Usaha perkebunan rakyat yang juga
dikembangkan oleh masyarakat adalah tanaman karet.
Jika kebun kelapa sudah menjadi bagian hidup
masyarakat, penanaman karet (biasa disebut dengan
istilah getah oleh masyarakat lokal) di Borneo Selatan
dimulai dengan kebun getah perkebunan (onderneming).
Para pengusaha Belanda diketahui sebagai
pembawa karet Hevea brasiliensis 4 pada pertengahan
1920an. Melihat peluang dari pengembangan budidaya
karet rakyat, para pedagang Banjar yang sering
berdagang ke Sumatera, Kalimantan Utara, dan
sepanjang pantai Borneo turut membawa bibit karet
(Vleming, 1925: 265). Malahan di tahun 1918-1925 pun
pemerintah Belanda turut menganjurkan penanaman
karet unggul secara masal di sepanjang Sungai Barito
yang bibitnya didatangkan dari Kebon Raya Bogor. Karet
bibit unggul tersebut kabarnya berumur panjang, unggul
hasilnya, dan pohonnya tinggi besar (Inas, 2005: 40).

4
Hevea brasiliensis dikenal pula dengan nama pohon karet Pará
karena berasal dari daerah Pará, Brazil. Pohon karet milik keluarga
Euphorbiaceae ini adalah anggota paling ekonomis yang penting
dari genus Hevea karena menghasilkan getah seperti ekstrak (dikenal
sebagai latex), dapat dikumpulkan, dan merupakan sumber utama
alami karet.

66
Gambar 3.5 Kebun karet rakyat di Borneo Selatan berada dekat
dengan rumah tinggal (Helbig, 1939: 278).
Perluasan area kebun getah yang secara pesat
disebabkan oleh pengunaan mobil pada awal abad ke-
20 tidak berlaku di daerah Kota Banjarmasin dan
sekitarnya. Pada peta Banjarmasin tahun 1920an dapat
diketahui bahwa kebun karet yang telah ada pada masa
itu hanya terdapat di sekitar pertemuan Sungai Alalak
dengan Sungai Miai di dekat Kampung Awang 1, di
sekitar pertemuan aliran Sungai Martapura dengan
Sungai Pantoekan atau di area Kampung Sungai Asam
dan Kampung Patoekan, dan sekitar pertemuan Sungai
Martapura dengan Sungai Pamakoean atau sepanjang

67
Kampung Pamakoean (Topographische Dienst van
Nederlandsch Indie, 1927).
Sementara keadaan kebun getah anak negeri di
bagian lain Borneo Selatan saat itu, terutama di tahun
1920 dan 1925, pada umumnya masih muda dan
bertambah luas (Pelita Ekonomi, 6-13 Agustus
1948:779). Perkiraan kasar jumlah pohon karet di tahun
1927 mencapai kurang lebih 12.000.000 yang dikelola
oleh penduduk asli. Jumlah tersebut semakin meningkat
pada tahun berikutnya. Pada tahun tersebut orang-orang
Melayu mulai kembali menanam ketika pohon sudah
lima tahun lebih tua. Bahkan sebelumnya pun mereka
menanam jika harga karet melambung. Dengan semakin
meningkatnya populasi perkebunan karet, meskipun
ledakannya kurang dari tahun-tahun sebelumnya dalam
pasar karet, penanaman akan terus menjadi karena
Tanah Banjar menghasilkan pohon-pohon terbaik
(Jaarverslag van de Bandjermasinsche Credietbank,
1927:1).
Didorong oleh meledaknya komoditas karet di
pasar dunia penanaman karet diusahakan cukup besar
dan sawah terlihat diabaikan. Hal ini disebabkan oleh
cara penanaman karet di Borneo Selatan tidak dilakukan

68
di lahan ladang sehingga untuk membudidayakan
tanaman karet diusahakan secara terpisah tidak
bersama dengan padi (berbeda dengan budidaya karet
di Jambi) (Vleming, 1925: 265-266).

Gambar 3.6 Penyadap karet membawa hasil panennya selama


seminggu ke pasar (Sumber: Wijdenes, 1939: 279).
Kendati demikian jumlah perkebunan getah
sebelum Perang Dunia II terus meningkat hingga sekitar
600.000 ha sedangkan kebun getah anak negeri sekitar
dua kali lipatnya. Dari fakta tersebut seharusnya hasil
kebun getah negeri lebih banyak namun kenyataannya
tidak. Karena kebun rakyat tidak seperti perusahaan
perkebunan (onderneming) yang hampir semua
menggunakan bibit (benih) pilihan. Kecuali itu,

69
perkebunan juga memiliki kantor-kantor pemilihan getah
di mana setelah 10 tahun bekerja akhirnya memeroleh
kemajuan yang gemilang yakni 2 (dua) hingga 3 (tiga)
kali dari banyak hasil semula. Selain itu, kebun getah
anak negeri juga kekurangan penyadap.
Sebenarnya pribumi juga bisa mendapatkan bibit
pilihan. Sebelum perang, jawatan pertanian telah
membuat beberapa kebun bibit getah. Sehingga kebun
getah anak negeri juga mengecap keuntungan dari bibit
yang dikembangkan di perkebunan.
Sejak 1934 peraturan pembatasan pengeluaran
getah diberlakukan untuk menjaga harga karet karena
hasil keseluruhan kebun getah melimpah. Namun di
tahun 1947an pengeluaran tidak lagi dibatasi.
Getah masih banyak laku karena Amerika
melakukan persediaan getah yang sangat banyak.
Ditambah lagi Amerika sedang berusaha mengurangi
penggunaan karet sintetis dan di masa yang akan
datang akan semakin bertambah jenis barang
menggunakan getah (Pelita Ekonomi, 6-13 Agustus
1948:779-781).
Selain sektor pertanian, memasuki abad ke-20
wacana perindustrian dinyatakan sebagai salah satu

70
jalan untuk memajukan perekonomian. Hingga juni 1914
The Historical Section of The Foreign Office Inggris
mendaftar beberapa perusahaan yang bergerak di
bidang industri yang telah berdiri di Banjarmasin. Yakni
dua buah usaha penjilidan buku, enam buah usaha
penggosokkan intan, lima buah pabrik mebel, dua buah
pabrik limun, satu perusahaan pengecoran logam, satu
buah pabrik mesin, dua buah pabrik yang memproduksi
minyak, dua usaha percetakan, dua buah toko reparasi,
duapuluh satu usaha pengolahan/ penggergajian kayu
(sawmills), dan dua buah galangan kapal (The Historical
Section of The Foreign Office, 1920: 32).
Seiring kemajuan zaman, peningkatan
kecerdasan penduduk, keinginan dan inisiatif untuk
membangun perusahaan, semangat nasionalisme yang
sejalan dengan kelahiran semangat swadesi
(pemenuhan kebutuhan sendiri) dan koperasi telah
mendorong pertumbuhan perusahaan baik besar
ataupun kecil. Memasuki masa transisi, wacana yang
berkembang adalah perihal memajukan industri kecil
terlebih dulu. Di mana saat itu di Indonesia belum ada
kaum industriawan menengah melainkan berupa industri

71
rumah tangga (huisindustrie) seperti tenun, anyaman,
dan logam (Oetoesan Kalimantan No.7, 1935: 1).
Sejalan dengan tingginya kebutuhan karet dunia
yang diikuti oleh peningkatan perdagangan karet di
Banjarmasin, kegiatan industri masyarakat adalah
industri pengolahan karet yang berkembang di berbagai
daerah di Borneo Selatan.
Pada tahun 1935 diberitakan bahwa dua pabrik
karet milik pribumi yakni milik Tuan Doerachman di
Haruai dan Haji Moechtar di Halong telah berdiri
(Oetoesan Kalimantan No.7, 1935: 1).5 Pendirian rumah
asap dipantau dengan sungguh-sungguh oleh wakil
pemerintah kolonial di daerah. Pemantauan dilakukan
terutama untuk memastikan agar lokasi bangunan
rumah asap baru tidak terlalu dekat dengan rumah asap
yang sebelumnya telah dibangun. Pemeriksaan dimulai
oleh asisten kiai, dikontrol oleh hoofd kiai atau
gezaghebber sendiri yang tentu menimbang sebaik-
baiknya setelah mendengar kesaksian dari pemilik

5
Pada Oetoesan Kalimantan no. 7 juga diberitakan bahwa di daerah
Pemangkih telah didirikan pabrik karet. Selain itu, di Sumatra,
tepatnya Minangkabau telah berdiri pabrik getah yang dibangun
secara kongsi pimpinan M. Saldin. Fenomena ini menunjukkan
bahwa ledakan karet dunia telah merangsang pertumbuhan industri
pengolahan karet di Hindia Belanda.

72
rumah asap yang akan dibangun dan pemilik rumah
asap terdekat.
Tabel 3.1 Daftar Rumah-Rumah Asap di Borneo Selatan
Distrik 31-08- 31-01- 30-06-
1946 1947 1947
Rantau 46 51 55
Kandangan 109 124 129
Barabai 148 218 245
Amuntai 189 311 322
Tanjung 129 202 225
Kelua 86 135 146
Jumlah di Hulu Sungai 707 1041 1122
Martapura 95 101 104
Banjarmasin 15 16 19
Jumlah Martapura dan 110 117 123
Banjarmasin
Sampit 50 75 75
Pangkalan Bun 5 5 5
Muara Teweh/ Puruk Cahu 45 64 87
Kuala Kapuas/ Kahayan 62 90 177
Kota Baru 19 31 38
Jumlah di daerah 181 265 382
sungai –sungai
Jumlah total 998 1423 1627
di Borneo Selatan
(Sumber: Pelita ekonomi, 16 Agustus 1947:478).
Pembangunan rumah asap di daerah didukung
agar para produsen karet dapat meningkatkan kualitas
produksinya sehingga tidak lagi hanya mementingkan
kuantitas namun hasil yang didapat hanyalah getah

73
encer yang dapat membeku. Kecuali itu, pembangunan
rumah asap di daerah-daerah bertujuan untuk
memenuhi kecukupan pembelian latex di Banjarmasin.
Seperti halnya di Watas, Barabai. Pohon getah yang
berjumlah sekitar 30 juta diperkirakan membutuhkan 100
buah rumah asap dengan rata-rata setiap rumah asap
menangani 20.000 pohon (Oetoesan Kalimantan No. 61,
30 Mei 1935: 1-2).
Di Borneo Selatan dan Timur hingga tahun 1925
terdapat lima pabrik karet. Tiga dari lima pabrik milik
orang Jepang dengan nama Dutch Borneo Rubber
Industry Co. Ltd.. Pabrik tersebut juga memiliki
perkebunan karet Danau Salak-Atajoe dan Tanah Laut.
Pabrik yang keempat dimiliki oleh orang Cina bernama
The Soey Tjoan. Sementara pabrik kelima dimiliki oleh
orang Arab bernama Sjech Moetlek (Vleming, 1925:
265-266).
Pabrik-pabrik Jepang seperti Nomura-Concern
ikut aktif di tahun 1935. Badan Negara Rubber Unie
menyusul pengelolaan pabrik yang didirikan untuk
menggiling dan mengolah lebih lanjut karet rakyat. Untuk
kapasitas pabrik-pabrik semacam itu, keuntungan
menjadi faktor yang sangat sulit untuk mengendalikan

74
kualitas. Iming-iming harga produk mentah yang
menguntungkan membuat karet terus dijual meski
kualitasnya kurang baik. Karenanya, Rubber Unie untuk
sementara menutup pabriknya di Sungai Tabok
(Jaarverslag van de Bandjermasinsche Credietbank,
1927:1; Oetoesan Kalimantan No.43; Helbig, 1939: 278).
Sehubungan dengan meledaknya karet di pasar
dunia, pemerintah kolonial semakin terlibat dengan
membuat regulasi berkenaan atas komoditas ini. Salah
satunya dengan membentuk Badan Penerangan
Perusahaan Getah yang didirikan Rubber Unie untuk
memberi pertolongan kepada para pemilik dari rumah
asap getah untuk memeroleh kredit agar mereka dapat
mendirikan dan memperbaiki rumah-rumah asap. Alhasil
jumlah rumah asap mengalami peningkatan yang
signifikan dalam waktu dua tahun.
Usaha Rubber Unie atau kemudian menjadi
Nederlandsch Indie Rubber Fonds (NIRF) tidak selalu
berhasil. Bangunan perusahaan getah yang sedang
didirikan bersama sebagian besar bangunan lain di
Pelabuhan Banjarmasin sempat mengalami kebakaran
sehingga menyebabkan kerugian NIRF. Kerusuhan
seantero Indonesia dalam periode revolusi kemerdekaan

75
(perang mempertahankan kemerdekaan RI) juga
menyebabkan ekonomi lokal belum baik, politik devisa
harus dirancang kembali, kekurangan barang-barang
perkakas, dan uang untuk modal. Akhirnya malapetaka
akibat jatuhnya harga-harga getah dunia merusak apa
yang sudah dicapai. Pada masa revolusi, di bawah wakil
NIRF H. Wildervanck membuat janji-jani untuk kembali
membangun perusahaan getah Borneo Selatan (Pelita
ekonomi, 16 Agustus 19 47:478).

Gambar 3.7 Perdagangan karet di pasar orang Melayu. Tampak pada


gambar pemborong sedang menimbang getah masak menggunakan
dacing (Helbig, 1939: 280).
Kualitas karet juga terus ditingkatkan. Pekerjaan-
pekerjaan tersebut dilakukan di beberapa daerah di
Borneo Selatan. Pemerintah di Amuntai dan

76
perkumpulannya bekerja keras memperbaiki kualitas
getah dengan mengadakan pasar/ bazaar getah.
Pemerintah Barabai enam tahun lebih dulu
menyelenggarakan. Keberadaan bazaar tersebut telah
menampung penjualan getah di kota tersebut.
Pemerintah di daerah tersebutpun (gezaghebber dan
kiai) telah berusaha menjualkan namun tetap saja harga
jualnya ditetapkan oleh pembeli. Biasanya walaupun
para penjual telah menetapkan harga namun harga yang
jatuh tetap saja sesuai dengan tawaran pembeli karena
kebutuhan penjual. Contohnya, jika saat itu penjualan
karet lembaran (sheets) di Amuntai melalui makelar
dikenakan harga sekitar ƒ 17 maka penjualan langsung
maka harganya berkisar ƒ 10-20 sepikul (Oetoesan
Kalimantan No. 61, 30 Mei 1935: 1-2).
Kecuali pasar, karet diperdagangkan di atas
perahu. Harga jualnya ditentukan oleh pedagang
perantara dan eksportir per pikul dan seluruh partai
(karet) kemudian diangkut ke penyimpanan terakhir.
Setelah itu, barulah karet disortir ulang dan dikemaskan
untuk siap diekspor (Vleming, 1925: 255).

77
Gambar 3.8 Pengepakan karet di kapal awal abad ke-20
(Sumber: Arsip Nasional RI).
Hasil dari harga karet yang tinggi dapat
dirasakan rakyat pada 1930. Masyarakat semakin
meningkatkan produksi mereka sehingga karet
melimpah. Untuk itu pemerintah—melalui badan khusus
yang mengelola kebijakan perihal komoditas karet
adalah Burgelijke Rubber Restrictie yang berpusat di
Banjarmasin— melakukan penjagaan harga karet
dengan melakukan perhitungan getah yang
ditindaklanjuti dengan pemberlakukan pembatasan
penjualan karet (individuelle rubberrestrictie). Langkah
pertama adalah mendaftar kekayaan karet pribumi
dikelola dan dijalankan dengan baik. Registrasi
dilakukan oleh brigade leiders. Kesulitan dari proses

78
registrasi adalah penaksiran kekayaan rata-rata
perkebunan agar didapat pandangan tentang harga
keterangan registrasi dan produktivitas dari perkebunan
penduduk. Perhitungan dasar produksi individu telah
dicoba-coba dalam ujian menurut pendapatan setempat
sedangkan distribusi dan pemberian izin menjadi satu
pokok yang harus musyawarahkan terlebih dahulu
(Oetoesan Kalimantan No.11, 14 Maret 1936: 1).
Kebijakan perhitungan pohon dan pembatasan
penjualan karet diikuti oleh kebijakan karet kupon.
Kebijakan yang kemudian menandai masa ledakan karet
dengan sebutan zaman kupon adalah dengan
memberikan kupon kepada petani sesuai dengan jumlah
pohon karetnya dengan imbalan pemilik kupon berhak
atas sebagian keuntungan harga ekspor dari eksportir.
Perekonomian petani karet mulai membaik pada
masa itu di mana banyak yang membangun rumah dan
memperbaiki taraf hidup, naik haji6 dan lain-lain. Namun

6
Jumlah jemaah dari Borneo Selatan di tahun 1927 yang pergi ke
Mekah (baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak) adalah
6100 orang. Dengan rincian dari Amuntai dan daerah sekitarnya
berjumlah 1.280, Tanjung/ Kalua dan daerah sekitarnya berjumlah
280, Barabai dan daerah sekitarnya berjumlah 1.088, Kandangan/
Negara dan daerah sekitarnya berjumlah 1.582, Rantau/ Margasari
dan daerah sekitarnya berjumlah 261, Martapura dan daerah
sekitarnya berjumlah 129, Banjarmasin dan daerah sekitarnya

79
pemberlakuan kupon karet tidak berlangsung lama
karena dunia mengalami krisis ekonomi global
(malaisse) yang menyebabkan harga karet turun. Petani
karet se-Nusantara mengalami dampaknya (Inas,
2005:40).
Selain itu pemerintah juga menetapkan aturan
tentang penyimpanan karet. Staatsblad No. 651 memuat
aturan bagi pedagang getah di Onderafdeeling
Banjarmasin-Marabahan yang berlaku sejak 15
Desember berikut. (1) Setiap orang (bukan produsen
getah) tidak boleh menyimpan getah anak negeri lebih
dari 200 kg getah kering; (2) Khusus kepada eksportir
getah yang disahkan akan mendapatkan surat izin dari
Residen sehingga diperbolehkan untuk memiliki lebih
banyak persediaan. Adapun bagi eksportir yang juga
punya pabrik getah akan diizinkan memiliki persediaan
lebih dari 3-4 dari omset rata-rata tiap bulan menjadi 4-5.
Dengan banyaknya jumlah yang masuk maka untuk

berjumlah 480, Melalui Singapura dari berbagai afdeeling


berjumlah 1.000 (Sumber: Jaarverslag van de Bandjermasinsche
Credietbank, 1927: 6).

80
penumpukan tidak akan lebih dari 14 hari karena getah
sudah ada pada eksportir.
Ketika zaman Jepang tanaman karet yang
dirusakkan di Borneo Selatan tidak seberapa dibanding
dengan di Jawa ataupun jika dibandingkan dengan
rusaknya pabrik. Perusakan justru terjadi setelah zaman
Jepang terutama oleh orang yang tidak bertanggung
jawab.
Hasil getah tahun 1947 perkebunan belum
banyak bekerja. Namun di tahun-tahun berikutnya
diperkirakan mengalami peningkatan dari sebelum
masuknya Jepang.
Hasil kebun karet anak negeri banyaknya duaper
tiga dari sebelumnya. Adapun intensitas
pemeliharaannya bergantung pada harga beras. Jika
beras turun maka petani akan lebih memperhatikan
karet. Dan jika harga beras mahal maka petani lebih
mencurahkan pada penanaman padi bukan penyadapan
karet (Pelita Ekonomi, 6-13 Agustus 1948:779-781).
Sebagai kota dagang yang terlibat dalam pasar
internasional, maka kegiatan ekonomi penduduk
Banjarmasin banyak dituangkan di pasar. Karenanya,

81
pasar lokal pun disemarakkan oleh komoditas pasar
internasional dan menjadi wadah bagi komoditas impor.

Gambar 3.9 Kesibukan Banjarmasin di Sungai Martapura di pusat Kota,


sekitar Jembatan Coen, kini disebut Jembatan Dewi
(Sumber: Wijdenes, 1939: 44).

Laporan umum pejabat Belanda pada 1839


menyatakan bahwa pasar tidak diatur dalam residen ini.
Semua makanan dan barang dagang dibawa berkeliling
menggunakan perahu yang semuanya dilakukan oleh
orang Cina dan pribumi. Rumah-rumah mereka telah
berdiri di sisi sungai berupa rumah-rumah kayu kecil,
toko atau warung-warung di mana semua kejadian ramai
dan begitu banyak tersedia. Sepanjang hari perahu-
perahu, sampan, dan kapal yang lain berlayar menyusuri
Sungai Banjar yang bersih. Segera dan berlangsung

82
lambat sebagaimana aliran sungainya (Algemeene
Verslag, 1839). Bahkan Residen Borneo Selatan dan
Timur menyatakan bahwa seluruh Kota Banjarmasin
sebenarnya adalah pasar (Algemeene Verslag, 1860).
Kegiatan perdagangan pada umumnya tidak bisa
dikatakan tidak menguntungkan. Terutama dengan
adanya peningkatan perdagangan di Singapura yang
berhubungan dengan kapal uap reguler Banjarmasin.
Yakni dua kapal api bernama Vidar dan Petrell
(Algemeene Verslag, 1880). Akan tetapi rakyat yang
bekerja sebagai petani, penanam getah para, kelapa,
lada, rotan, damar dan sebagainya tidak dapat
mengetahui harga pasar. Mereka tidak bisa
mendapatkan keuntungan dari harga yang tinggi dan
gampang dipermainkan oleh para pedagang perantara.
Ketidaktahuan tersebut disebabkan oleh permainan
harga oleh tengkulak dalam kabar niaga yang
diumumkan. Daftar harga yang tertera biasanya tidak
sesuai dengan harga sebenarnya. Kecuali itu, jenis
barang yang terdaftar juga terbatas, petani tidak memiliki
kemampuan baca tulis, ataupun tidak rajin membaca
pengumuman harga pasar di surat kabar. Atas
kelemahan itu, beberapa surat pembaca

83
mengemukakan agar pemerintah terus memperbarui
harga pasar melalui kabar kawat dari Singapura seperti
yang dilakukan di Sumatera Timur (Oetoesan
Kalimantan, 1935).
Bidang perdagangan yang sering kali tak disoroti
adalah perdagangan kecil seperti pedagang keliling.
Padahal \pedagang jenis inilah yang akrab dengan
masyarakat luas. Pada dasawarsa ke-3 abad ke-20 di
perkampungan Kota Banjarmasin terdapat dua figur
pedagang keliling yang penting sekali adalah tukang
sate dan penjual es lilin.

Gambar 3.10 Tukang sate keliling di Banjermasin


(Wjdenes, 1939: 106).

84
Tukang sate tidak hanya ditunggu oleh penduduk
di kampung-kampung pribumi karena kehadirannya juga
telah menyemarakkan pesta orang-orang Eropa. Yang
paling istimewa adalah tusukan-tusukan daging kerbau
dan burung dara. Jika di Eropa hanya didapatkan di
restoran sementara di Banjarmasin bisa segera disantap
hanya dengan meneriaki (memanggil) penjualnya saja.
Sementara pribumi menyenanginya karena sulit untuk
mendapatkan warung-warung yang bersih, cepat, dan
baik.

Gambar 3.11 Anak-anak penjual es lilin di Banjarmasin memanggul


termos es berwarna merah, putih, dan merah (Wijdenes, 1939: 77).
Adapun tukang es lilin menjadi spesial karena
makanan itu merupakan barang baru. Pabriknya saja
baru dibuka pada tahun 2 Juni 1936 di Pasar

85
Sudimampir. Namun tidak hanya itu, pabrik yang
memonopoli Banjarmasin ini menyuguhkan es dengan
rasa dan warna menarik seperti rasa kelapa-nangka. Es
yang ditusuk menggunakan sebilah bambu tersebut
dijajakan di dalam termos (Oetoesan Kalimantan, 1936;
Wijdenes, 1939: 108-109).
Sepanjang kaum kolonial berkedudukan,
kegiatan perdagangan di Borneo Selatan mengalami
beberapa kali hambatan dan gangguan. Kondisi tidak
kondusif terjadi saat meledaknya Perang Banjar. Sebuah
laporan pejabat Belanda menyatakan bahwa kala itu
harga-harga di pasar Banjarmasin meningkat terutama
harga beras (Algemeene Verslag, 1861).
Hambatan berikutnya terjadi pada 1930-an kala
dunia mengalami resesi. Pada masa malaise tersebut
gaji para pegawai dikurangi. Jual beli tidak lagi
menggunakan uang melainkan banyak dilakukan secara
barter, seperti pertukaran kapuk dengan jagung, minyak
kelapa ditukar dengan padi. Bahkan Badan Perkreditan
Rakyat (volkscredietwezen) melaporkan bahwa pada
tahun 1932 telah dijual 3700 gigi emas di Banjarmasin
akibat desakan kondisi sulit (Oetoesan Kalimantan
No.50: 2).

86
Gangguan dalam pembangunan Borneo Selatan
selanjutnya adalah Perang Dunia II. Keterlibatan daerah-
daerah dalam kancah peperangan menyebabkan
kekacauan ekonomi di Borneo Selatan.
Puncak Perang Pasifik diikuti oleh putusnya
hubungan dengan Jawa (diduga pasokan utama beras
untuk Borneo Selatan berasal dari Jawa) bersamaan
dengan kedatangan musim kemarau. Ketika air mulai
terasa asin rakyat terpaksa membeli air tawar dan
dihadapkan dengan naiknya harga beras.
Tanaman padi di Kertak Hanyar pun mengalami
kekeringan dan menghasilkan sangat sedikit beras
(diduga lumbung padi bagi daerah Banjarmasin dan
sekitarnya adalah persawahan di Kertak Hanyar).
Bahkan beras tidak diperjualbelikan secara bebas
sehingga stok beras di pasar pun kosong. Masyarakat
dilarang menjual beras karena hanya pemerintah
Jepang yang boleh membeli dan menjual beras. Beras
diperoleh dengan menukarkan kupon beras yang
dibagikan. Seringkali masyarakat dikecewakan karena
meski telah mengantri berjam-jam atau telah berbaris
sejak pagi buta akan tetapi beras habis atau pegawai tak
kunjung datang.

87
Adapun perdagangan pada masa itu dilakukan
sembunyi-sembunyi bagai berdagang di atas ranjau dan
duri yang berbahaya. Namun dengan tantangan dan
ancaman bahaya yang sedemikian besar dalam waktu
yang sedikit saja para pedagang dapat mengumpulkan
uang yang banyak.
Sayangnya, walau uang yang dimiliki banyak
akan terasa percuma karena beras yang merupakan
bahan makanan pokok tidak ada di pasaran. Sebagai
gambaran akan berharganya beras, sebuah surat kabar
lokal memberitakan bahwa para penjual sate yang juga
menjual ketupat keberatan menjual lebih ketupatnya
karena persediaannya terbatas (Pelita Ekonomi, 3
Oktober 1947: 514).
Setelah pendudukan Jepang, masyarakat bergiat
untuk memperbaiki dan membangun kembali
perekonomian. Pasca-perang masyarakat terlatih untuk
menyesuaikan diri dengan keadaan. Segala kebutuhan
hidup dicukupi oleh usaha sendiri. Kesadaran akan arti
usaha sendiri bermuara pada pembentukan perusahaan-
perusahaan di kota dan kampong. Bermula dari usaha
kecil seperti pembuatan kertas dari ilong dan alalang,
sabun dari soda abu, sepatu dan ban sepeda dari getah,

88
dan bermacam-macam anyaman dari rotan. Produksi-
produksi tersebut telah sedikit meringankan kekurangan
yang dialami masyarakat Borneo Selatan. Barang-
barang hasil usaha rakyat ini mendapat peluang pasar
yang baik di seluruh Borneo Selatan dan sebagian
barang kerap dikirim ke Makassar. Oleh karena itu
beberapa bulan setelah perang, pasar masih diramaikan
oleh komoditas-komoditas tersebut. Hal ini menunjukkan
bahwa rakyat memiliki kepandaian dan usaha namun
karena kejemuan mereka sendiri telah menggganggu
kerajinan masyarakat dalam berusaha.
Setelah perang damai maka barang-barang dari
luar kembali membanjiri Borneo Selatan dan barang-
barang hasil usaha rakyat semakin berkurang
meninggalkan hingga 25 % saja. Perusahaan rakyat
terdesak oleh masuknya barang-barang impor.
Komoditas yang masih berlanjut dan diusahakan dengan
baik antara lain rokok, sabun, barang anyaman, dan
50% ban sepeda masih mendapat pasar di dalam negeri
(Pelita Ekonomi, 19 September 1947: 506).
Berdasarkan uraian mengenai penghasilan
penduduk dapat disimpulkan bahwa penduduk
Banjarmasin sebagian besar bersandar pada sektor

89
ekstraktif (khususnya pertanian dan perikanan) dan
perdagangan. Hal tersebut menunjukkan bahwa hingga
awal abad ke-20 telah tercipta dualisme masyarakat.
Masyarakat bertipe pedesaan yang terikat pada faktor
alam (tanah, pertanian, dan musim). Adapula
masyarakat yang mempraktikkan perekonomian tipe
pasar. Percampuran tipe perekonomian telah terbentuk
di Banjarmasin.

3.2 Pelaku Perdagangan


Pelaku utama perdagangan adalah pedagang.
Pedagang yang bergulat di Banjarmasin dapat
dikategorikan menjadi dua, yakni pedagang pribumi dan
pedagang asing.
Pribumi pedagang yang berkiprah di Banjarmasin
sebagian besar adalah orang-orang Banjar, khususnya
penduduk Hulu Sungai. Mereka pulalah yang menangani
sebagian besar kegiatan perdagangan dari Hulu Sungai
dan Tanah Dusun.
Seorang sosiolog Belanda di awal abad ke-20
menggambarkan bahwa tindakan orang-orang Banjar
berlandasan pada kepentingan keuangan. Mereka juga
menganggap dirinya sangat terkait dengan tanah dan

90
adat (permukiman di Sumatera, Kalimantan Utara, dan
sepanjang pantai Borneo). Dengan demikian lalu lintas
antara Kalimantan Utara (British Malaya) dengan
Banjarmasin memiliki ikatan tertentu (Vleming, 1925:
265).
Peran utama mereka dalam perdagangan di
Banjarmasin adalah sebagai pengumpul komoditas yang
berasal dari pedalaman Borneo Selatan, khususnya
Tanah Dusun. Tanah Dusun yang terletak di sepanjang
Sungai Barito merupakan ladang kekayaan para tonnair
dan millionair di Banjarmasin. Perdagangan di Tanah
Dusun lebih dulu dikenal sebelum perjalanan dagang ke
Hulu Sungai, Sampit, Pangkalanbuun, dan Kuala
Kapuas. Hasil yang didapatkan dari Tanah Dusun
adalah kayu-kayu yang baik untuk membangun rumah,
berbagai getah seperti panting, jelutung, getah merah,
ketiau, rotan, damar, lilin, sarang burung, kayu gaharu,
dan kandungan batu arang (batu bara).
Penguasaan orang Hulu Sungai terutama
Marabahan adalah pemeran pedagang perantara yang
paling aktif dan terkemuka sebelum orang-orang
Tionghoa mengetahui perniagaan secara mendalam.
Keberhasilan orang Marabahan dalam menguasai

91
perdagangan Tanah Dusun saat itu diibaratkan dengan
istilah “mandi kekayaan”. Salah satu hartawan dari
Marabahan adalah Haji Matnoer yang dikenal dengan
Haji Matnoer Borneo Sumatra (karena menjadi tangan
kanan Borsumij), Haji Mohd. Joesoef yang papan
namanya berlapis emas, ada pula H.Mohd. Djapri yang
memiliki istana peranginan dan bahkan saudara-
saudaranya pun memiliki rumah yang gedang (besar
dan mewah). Betapa suksesnya mereka hingga memiliki
kapal sendiri bernama Herma, sebagaimana yang
dimiliki pedagang Singapura.
Cara mereka berdagang ada yang menggunakan
modal sendiri ada pula yang berhubungan tauke-tauke
Tionghoa di Banjarmasin. Hubungan tersebut berupa
hubungan penjualan di mana para pedagang marabahan
yang kekurangan uang bisa mendapat voorschot dengan
perjanjian agar komoditas yang di dapatnya akan dijual
kepada orang Tionghoa. Adapun yang memiliki modal
sendiri bebas menjual dengan harga yang lebih tinggi
atau ke Borsumij yang juga dinamakan Kompeni Kecil
yang terkadang menggunakan orang Marabahan
sebagai pedagang perantara. Saat mencari barang
dagang ke Tanah Dusun, orang-orang Marabahan

92
membawa tembakau, kain, garam, korek api, dan
keperluan hidup lainnya dalam perahu mereka. Awalnya,
orang-orang Tionghoa juga ikut dalam rombongan
namun belum berani masuk ke sungai-sungai kecil untuk
berdagang dan berhadapan langsung dengan orang-
orang Dayak sehingga hanya mendatangi bagian pesisir
saja.
Keuntungan yang diperoleh orang-orang
Marabahan kala itu sangat besar karena orang Dayak di
pedalaman belum mengenal mata uang. Contohnya,
mereka akan sangat senang jika sepikul jelutung ditukar
dengan 2-3 kati (617,5 gr.) tembakau. Untuk komoditas
lain pun mereka hanya menggunakan barter saja.
Dengan perahu-perahu kecilnya yang penuh dengan
hasil hutan dan hasil bumi mereka menghampiri kapal-
kapal taukenya. Pedagang Marabahan lain juga
menggunakan rakit dengan muatan berbagai kayu
hingga ratusan meter, hasil bumi, kayu besi, dan batu
arang. Komoditas beserta rakitnya kemudian dijual di
Banjarmasin.
Lama kelamaan para pedagang Tionghoa
mengambil ilmu dan rahasia yang biasa dilakukan oleh
para pedagang Marabahan karena khawatir mereka

93
akan mengambil jalur distribusi dan mencari pasar
sendiri ke Singapura dan Jawa (Oetoesan Kalimantan
No. 71: 2). Saudagar-saudagar Tionghoa tersebut
mencari hubungan langsung dengan penduduk asli
Tanah Dusun. Usaha tersebut telah mengenalkan dan
memberi pemahaman penduduk pedalaman akan mata
uang. Pengetahuan tersebut juga menyadarkan
penduduk pedalaman bahwa selama ini mereka telah
dikelabui para pedagang Marabahan. Kian lama, para
pedagang Tionghoa lebih sohor di mata penduduk
Tanah Dusun dan sebaliknya pamor pedagang
Marabahan menurun. Karenanya, usaha pedagang
Marabahan di Tanah Dusun buntu dan hal tersebut
membuat perdagangan Tanah Dusun jatuh ke tangan
pedagang Tionghoa. Sebaliknya, aktivitas perdagangan
pedagang Tionghoa di Tanah Dusun semakin
meningkat. Mereka berani memasuki semua cabang-
cabang sungai bahkan hingga ke aliran terkecil untuk
mengambil hasil hutan yang tidak dapat dibawa oleh
orang-orang Dayak ke pesisir Barito sembari membawa
barang-barang keperluan rumah tangga bagi orang-
orang Dayak. Sejak itu, seluruh kegiatan perdagangan di
Tanah Dusun dapat dikatakan dikuasai oleh pedagang

94
Tionghoa. Dengan kapal-kapal mereka membawa
barang-barang ke sana dan megambil hasil hutan dan
bumi dari sana. Sejak itu pula kegiatan dagang saudagar
Marabahan mati dan jasa pelayaan KPM ke Tanah
Dusun berhenti karena tidak dapat bersaing dengan
kapal-kapal dagang Tionghoa.
Setelah berhasil bersaing dan mematikan
langkah pedagang Marabahan di Tanah Dusun, para
pedagang Tionghoa meluaskan arena dagang mereka
ke Hulu Sungai. Sebelumnya, Hulu Sungai hanya
dimasuki oleh kapal negara KPM dan kapal pembawa
pos (BIM). Sementara beberapa kapal dagang pribumi
seperti kapal Selamat dan Sempoerna hanya mengambil
upah dari menarik perahu-perahu pembawa komoditas
anak negeri Banjarmasin (namun lama kelamaan
mereka pun lelah bersaing dengan kapal-kapal
Tionghoa). Seiring perjalanan waktu, dengan perlahan
namun pasti pedagang Tionghoa dapat menanamkan
pengaruhnya ke daerah Hulu Sungai.
Langkah awal mereka adalah dengan membuka
jasa antar dan hanya memperoleh keuntungan dari upah
transportasi dari mengangkut barang dagang ataupun
penumpang saja. Namun kemudian mereka pun

95
berupaya untuk mengambil barang-barang hasil Hulu
Sungai dan mengangkutnya sendiri ke Banjarmasin.
Selain itu, usaha yang tidak jauh berbeda seperti ketika
mereka menaklukkan perdagangan di Tanah Dusun,
mereka juga menjual barang-barang bawaan dari kota
kepada toko- toko baik milik orang Tionghoa maupun
pribumi di Hulu Sungai.
Setelah berhasil membuka dan membuat jejaring
perdagangan, pedagang Tionghoa tidak lagi mau lelah
untuk membawa sendiri hasil bumi ke Banjarmasin
melainkan memberi modal kepada para pedagang
perantara pribumi di Hulu Sungai untuk menjualkannya.
Sementara para pedagang dari Hulu Sungai
sendiri dapat bertahan. Keuletan para pedagang yang
berasal dari Amuntai, Alabio, dan Nagara berhasil
bertahan dan tidak jatuh di tangan para pedagang
Tionghoa. Bahkan mereka terus bergiat untuk
melakukan hubungan langsung dengan tanah Jawa dan
Singapura (Oetoesan Kalimantan No.72: 3).
Para pedagang Banjar tersebut dikenal dalam
perdagangan internasional, khususnya jejaring
perdagangan Semenanjung Malaya. Eksistensinya
dalam berdagang dapat disejajarkan dengan kelompok

96
etnis Minangkabau, Melayu Deli, dan Aceh yang peran
ekonominya tetap dominan di tanahnya sendiri meskipun
berada di tengah persaingan dengan para pendatang
dan terutama dalam dominasi sistem ekonomi kolonial.
Jiwa dagang yang terbangun dalam proses panjang
perjalanan sejarah mereka dibentuk oleh konsentrasi
permukiman di daerah pesisir, kepribadian yang peka
terhadap kesempatan dan risiko, kemampuan adaptasi,
dan orientasi terhadap dunia luar yang tinggi dan
terbuka (Alfisyah, 2008: 56).
Selain orang Banjar, proses pembelian dari
petani bumiputera sebagai bangsa penghasil barang-
barang perdagangan sebagian besar dilakukan juga oleh
para pembeli Tionghoa. Para pedagang yang
memborong hasil tani atau bumi tersebut biasanya
membeli untuk keperluan ekspor atau dijual kembali di
dalam negeri. Dengan membayar uang muka
(voorschot) pada masa proses produksi (sebelum
panen) atau biasanya pada awal masa penanaman
sebagai modal, para pedagang mendapatkan hasil bumi
berharga lebih murah. Praktik pembelian ketika tanaman
masih hijau (masih muda) memunculkan sebutan sistem
ijon untuk sistem pemodalan ini.

97
Kecuali sistem voorschot (persekot), pedagang
Tionghoa 7 dan Arab dikenal juga suka memberi
pinjaman uang (kredit) kepada kaum tani. Mereka
berusaha masuk ke pedalaman dan biasanya membuka
toko atau menadah hasil bumi. Mereka akan membawa
dan menyediakan segala macam barang dan kebutuhan
para petani kredit dengan jaminan hasil panen nanti.
Kredit-kredit ini sama sekali tidak
menguntungkan kaum tani karena bunganya sangat
tinggi. Bisa dikatakan sebagian besar keuntungan dari
produksi tanah justru diperoleh para pemberi pinjaman.
Berita dalam surat kabar lokal menyebutkan pula
bahwa para pemberi pinjaman juga suka
mempermainkan nota di mana uang yang diberikan lebih
kecil dari nota terima yang ditandatangani. Untuk
menghindari renten dan meminimalisasi penipuan
tersebut dibentuk PBI. Melalui PBI, masyarakat

7
Jika sebelumnya telah diuraikan penghasilan masyarakat umum
maka ada bagian yang tak boleh dinafikan begitu saja yakni para
pachter Cina yang mendapatkan penghasilan dari pengelolaan
bidang usaha yang memiliki pacht (hak pengelolaan). Hak
pengelolaan tersebut meliputi pacht opium, Lombard, permainan po
dan tapho, minuman keras, dan tempat penyembelihan babi.
Keseluruhan pacht ini dipegang oleh orang Cina dan pemerintah
mengakui bahwa pendapatan atas sewa pacht ini cukup lancar
hingga tidak menimbulkan masalah (Algemeene Verslag, 1858).

98
mengimbau agar pemerintah membuat aturan
pembatasan bunga pinjaman (jika ada yang
memberlakukan bunga lebih dari aturan yang telah
ditetapkan pemerintah akan dihukum) dan pengadaan
kredit koperasi (Oetoesan Kalimantan No.50: 2).
Praktik peminjaman berkembang akibat penetrasi
ekonomi uang di kalangan bumiputera terutama yang
berusaha di bidang agraris. Sumber-sumber uang
tambahan dibutuhkan dengan jalan mencari kredit dalam
proses penanaman di tengah keterbatasan modal.
Sebab biasanya petani hanya cukup untuk membeli
bahan pokok utama dan membayar pajak, tidak memiliki
simpanan uang untuk modal kerja dan kalaupun memiliki
simpanan, bukan dalam bentuk uang (van Laanen,
1988: 350-351).
Jika sebelumnya telah diuraikan peran dan polah
pribumi dalam perdagangan di Banjarmasin. Selanjutnya
diuraikan peranan pedagang pendatang di Banjarmasin.
Orang Cina adalah pendatang yang sejak awal
dan tetap eksis dalam aktivitas perdagangan di
Banjarmasin. Untuk kegiatan ekspor di Banjarmasin
dapat dikatakan hampir seluruhnya berada di tangan
orang-orang Cina. Walaupun yang mengambil tempat

99
paling penting dalam kegiatan perdagangan impor
adalah orang-orang Eropa.
Eksportir besar karet di Banjarmasin diantaranya
adalah orang-orang Cina. Terdiri atas delapan
perusahaan mereka bersaing ketat. Pabrik karet
Singapura, Tan Ka Ké menjual langsung ke Banjarmasin
melalui cabangnya, begitu pula yang dilakukan oleh
Swie Kie, sementara eksportir Cina lain menanganinya
sendiri.
Masing-masing pedagang besar Cina di
Banjarmasin mendapat informasi tentang posisi produk-
produknya dalam perdagangan di Singapura melalui
telegraf setiap harinya. Termasuk pula informasi terbaru
tentang standar produk di Singapura, London, dan New
York, berikut daftar berbagai kualitas karet dari
Banjarmasin di Singapura, serta persediaan karet di
London.
Selain kapal KPM jalur no.13 (yang memuat
1000-1250 bruto ton) yang berlayar seminggu sekali,
kapal yang memuat karet rakyat dari Banjarmasin
adalah orang Cina. Meskipun dengan intesitas
pelayarannya lebih rendah yakni sekitar sekali dalam

100
dua minggu namun kapal-kapal Tionghoa telah bersaing
dengan kapal negara (Vleming, 1925: 265-267).
Adapun bangsa asing terutama Eropa dan
Jepang menguasai dunia perdagangan dan pelayaran
(kegiatan ekspor impor/ perdagangan besar). Perwakilan
perusahaan dagang Eropa yang ada di Banjarmasin
antara lain de Borneo Sumatera Matschappij, Carl
Schlieper, Lindeteves, Geo Wehry, Jacobson van den
Berg, Internatio, Tels & Co (Wijdenes, 1939: 105), dan
Firma Watson & Co milik Maclame Watson yang
memiliki keinginan untuk membeli getah untuk diekspor
ke Amerika atau Eropa (Oetoesan Kalimantan No. 61,
30 Mei 1935: 2).
Membandingkan dengan kiprah bangsa
Indonesia yang sebagian besar menjalani aktivitas
ekonomi skala kecil seperti perdagangan kecil,
pelayaran kecil, pertukangan kecil, pertanian kecil, buruh
dan tidak memiliki perusahaan sendiri, sebuah harian
umum di Borneo Selatan tahun 1930an memuat opini
tersendiri. Harian tersebut menyatakan bahwa orang
Tionghoa, Arab (Hadramauth), Belanda, dan Jepang
benar-benar menjalankan prinsip ekonomi. Mereka
melakukan pengorbanan sekecil-kecilnya guna

101
mendapatkan pendapatan sebanyak-banyaknya. Kecuali
itu, latar belakang motif yang kuat juga memengaruhi
etos kerja mereka. Seperti penghidupan yang sulit di
tanah air para perantau Tionghoa. Atau pula para
pedagang Jepang dilatari oleh cita-cita untuk menguasai
dunia dengan ekonominya sebagaimana pernyataan
Jenderal Araki bahwa bangsa Jepang adalah keturunan
Dewa Indra dan patut menguasai dunia (Oetoesan
Kalimantan No. 49: 2).

3.3 Komoditas
Komoditas secara umum dapat diartikan sebagai
barang niaga yang diperjualbelikan (Nastiti, 2003: 66).
Komoditas yang akan diurai dalam bagian ini adalah
barang dagang yang diperjualbelikan baik dari maupun
di Banjarmasin.
Jika pada bab sebelumnya telah diuraikan bahwa
sebelum abad ke-19 sebagian besar komoditas yang
dipasarkan di Banjarmasin maupun yang dibawa oleh
pedagang Banjar ke pasar luar adalah hasil hutan, maka
pada awal abad ke-19 komoditas ekspor utama
Banjarmasin adalah emas, intan, dan lada. Kecuali itu, di
tepian sungai ditemukan rotan berkualitas terbaik dan

102
sangat berlimpah. Komoditas tersebut sudah
diperjualbelikan di Singapura sekitar tahun 1830an tetapi
semua itu berada dalam otoritas Belanda (Earl, 1837:
336-338).
Sementara pada pertengahan abad ke-19
komoditas yang disediakan oleh Banjarmasin adalah
rempah-rempah terutama lada. Produk lain yang sering
diperjualbelikan adalah serbuk emas, batu bara, kapur
barus, rotan, kerajinan rotan, kayu gaharu, sirap, kayu
ulin dan berbagai jenis kayu lainnya, bambu, kapas,
kelapa, minyak, tembakau, gula aren, telur, ikan, kerbau,
kambing, ayam, dan itik, sagu, indigo, pisang, sirih, lilin,
cadik dan dayung perahu, perahu, buah-buahan, sarung
tenun, katun, tanduk rusa, tembikar, getah merah,
kamper, sarang burung walet, besi, dan senjata (van der
Ven, 1860: 132; Veth, 1869: 70).
Lilin merupakan salah satu hasil hutan yang
hasilnya dilaporkan cenderung stabil dari tahun ke
tahunnya. Penghasilan setiap tahunnya juga cukup
banyak (Algemeene Verslag, 1850).
Adapun rotan menjadi komoditas yang menjadi
pencarian utama masyarakat. Ekspor rotan menjadi
penting dan termasuk komoditas ekspor utama kala itu.

103
Namun anehnya, informasi selanjutnya tentang
komoditas ini cukup kontradiktif. Karena harga rotan
yang dikatakan cukup mahal (Algemeene Verslag, 1850)
dan masih relatif tinggi jika dikirim ke Jawa (Algemeene
Verslag, 1858). Lantas mengapa tergolong sebagai
komoditas ekspor utama belum terjawab.
Hasil hutan lain yang banyak dicari masyarakat
adalah kayu. Seluruh Afdeeling Borneo Selatan kaya
akan berbagai jenis kayu menjadi lahan pencaharian
masyarakat secara bebas untuk penghasilan sendiri
(Algemeen Verslag, 1860). Jenis kayu yang dicari
masyarakat kala itu adalah kayu besi, lanan tembaga,
lanan bras, bawang, erat, rasak, blangeran, masapang,
bangkirei, koesi, tjengal, anglai, mohor, boengoer,
bawalie, dan galam. Di antara berbagai jenis kayu,
masyarakat banyak mencari kayu besi. Karenanya, jenis
kayu paling keras ini semakin lama menjadi lebih sulit
untuk didapatkan. Tempat bermuaranya kayu-kayu ini
adalah ibukota dan biasanya di bawa oleh masyarakat
menggunakan jukung tiung yang nantinya akan diekspor
ke Jawa (Algemeen Verslag, 1858; 1860).
Jenis produksi hutan antara lain getah perca,
rotan, lilin, damar, madu disupply oleh penduduk

104
pedalaman. Mereka juga memotong kayu dan
memproduksi tikar rumah tangga (Algemeene Verslag,
1861).
Di beberapa daerah diproduksi jukung dan
perahu-perahu kecil. Sementara di bagian lain,
penduduk mencari serbuk emas dan di hulu Martapura
mencari intan. Di bagian lain, yakni penduduk Sungai
Negara mengembangkan cabang industri berupa
pembuatan senjata dari logam (Algemeene Verslag,
1861).
Hingga awal abad ke-20 komoditas ekspor yang
utama masih berupa hasil hutan seperti rotan, lilin, kapur
barus, dan karet liar (karet rakyat) seperti jelutung, gatah
hangkang, getah perca, damar, dan karet tanam
(perkebunan karet), juga kakao, kopra, tikar purun, telur
itik, buah-buahan, tikar kajang, rumbia, dan sirap. Di
samping yang telah disebutkan, obat juga banyak
dihasilkan hutan Borneo dan merupakan bisnis yang
ramai dilakukan oleh orang-orang Cina dan menjadi
komoditas ekspor utama ke Singapura dan Jawa. Jenis
obat yang akan didapatkan di toko-toko Cina seperti
madu liar, cabe (jenis lada), tanduk rusa, tulang harimau,
kuku dan tanduk badak (Vleming, 1925: 267). Kecuali

105
itu, komoditas ekspor dari hasil pertambangan pun
berupa batu bara, serbuk emas, dan intan masih tetap
bertahan.
Karet baru menjadi komoditas utama pada abad
ke-20. Karet atau juga disebut getah merupakan salah
satu hasil yang terpenting dari tanah Indonesia dan
terutama Borneo Selatan. Saking pentingnya karet bagi
Borneo Selatan, muncul istilah bahwa karet adalah
pelampung tempat seluruh ekonomi dari daerah ini
terapung. Sebutan tersebut bukan main-main karena
penghasilan getah daerah Borneo sungguh luar biasa
yaitu sekitar 60.000 ton dalam setahun dan istimewanya
produksi karet ini adalah hasil pohon karet rakyat bukan
hanya hasil perkebunan teratur yang dikelola secara
Barat melainkan sebagian besarnya dikelola oleh anak
negeri 8 . Maka banyak orang yang mendapatkan
penghidupan baik secara langsung ataupun tidak
langsung dari hasil produksi karet. Dari keseluruhan
hasil karet tahun 1941 yang berjumlah 53.362 ton

8
Departemen Pertanian, Industri, dan Perdagangan (Departement
van Landbouw, Nijverheid, en Handel) melalui laporan A. Luytjes,
seorang rimbawan hutan Hindia Belanda, menemukan fakta pada
1924 bahwa ¾ dari jumlah keseluruhan ekspor karet Borneo Selatan
dan Timur dari Banjarmasin disumbang oleh penghasilan daerah
Hulu Sungai (Vleming, 1925: 265).

106
ternyata 49.875 ton-nya berasal dari getah pribumi.
Sehabis perang diharapkan agar sumber devisa ini
dapat kembali diperoleh.
Sebuah jurnal ekonomi mengungkapkan bahwa
impor getah adalah sumber devisa bagi Indonesia.
Getah-getah tersebut dipesan oleh banyak negara luar
dan terutama kerajaan-kerajaan industri, Amerika dan
Inggris (yang kini menjadi produsen utama dalam
memeroleh barang-barang hasil pabrik) setelah Jepang
dan Jerman kalah pada Perang Dunia Kedua (Pelita
ekonomi, 16 Agustus 19 47: 478).
Dapat disimpulkan bahwa perdagangan di
Borneo Selatan berkembang dari hasil agraris dan
usaha ekstraktif. Sebagai perbandingan, secara umum
kemakmuran Indonesia kala itu juga bergantung pada
hasil buminya. Terutama getah, gula, minyak kelapa
sawit, teh, tembakau, serat, dan kina.
Sementara komoditas impor yang masuk ke
pasar Banjarmasin sejak abad ke-19 terutama terdiri
atas mesiu, pisau, opium, beras, garam, gambir, asam,
bawang, tembikar, kerajinan dari bahan logam (besi,
tembaga, dan timah), peralatan tenun, kerajinan kertas,
gadung, gula, porselen Cina, sutra, katun, kapur, karang,

107
mutiara, beberapa kuda Jawa (van der Ven, 1860: 132;
Veth, 1869: 70), dan teh yang di bawa oleh saudagar-
saudagar Cina (http://subiyakto.wordpress.com/2010/04/
30/berkah-alam-bor neo/).
Adapun komoditas impor yang paling utama di
awal abad ke-20 adalah beras (dari Thailand, Vietnam,
dan Jawa), ikan asin, minyak, biskuit, makanan olahan,
tepung, tembakau, garam, dan barang-barang dari besi,
barang kelontong, sepeda, kertas, keramik, semen,
mesin-mesin suku cadang, alat tenun, kain linen,
benang, dan bahan-bahan kimia (Paulus,1917/ 1918:
137; 373-374; Vleming, 1925: 267).
Dalam tabel berikut diurai lebih rinci berbagai
jenis komoditas impor yang masuk secara rutin dengan
nilai stabil dan cenderung meningkat. Sejak pertengahan
abad ke-19 hingga awal abad ke-20 diketahui bahwa
komoditas mengalami peningkatan jumlah pasokan
secara signifikan adalah beras, mesin-mesin, dan gula
(The Historical Section of The Foreign Office, 1920: 37).

108
Tabel 3.2 Komoditas Impor dan Nilainya (dalam florins/ ƒ)
Tahun/ Komoditas 1850 1860 1861 1867 1927
(a)
Beras 3882 39040 34473 47715 1156125
Barang-barang tekstil (d) 367559 713980 796467 1508355 1741753
Emas/Besi/baja/timah/ 17333 8783 38742 100186 1270155
tembaga/perak dan
produknya
Mesin-mesin(g) - 1355 - 2545 (h)
376119
Makanan kemasan - - 41899 44911 178442
Biskuit - - - - 234069
Tepung dan gandum - - - - 639327
Tembakau, cerutu, dan rokok 111464 83950 157903 211521 1004118
Tembikar/ keramik 6345 5422 9954 29876 102769
Gula 10390 20756 24872
Kulit/ produknya 50 630 4075 5487 49932
Perabot makan 11595 57721 37836 41907 143023
Barang pecah-belah(c) 1188 3208 3498 12848 35103
Barang keperluan rumah 4677 3613 9138 1540 91561
tangga
Minyak wangi(b) 55 1920 5526 4564 -
Kain wol 2098 11763 20194 39591 -
Alat tulis, buku, dan kertas 1234 4180 9293 13189 59213
Anggur dan minuman(e) 12003 78705 151084 119236 -
Sabun 526 6609 7245 9061 411311
Arak 1700 405 1260 7041 -
Kemenyan 426 436 2413 2637 -
Gambir 22570 1784 38097 20090 -
Kayu olahan 3000 56862 4018 7025 44498
Kopi 220 4494 35292 15640 -
Keranjang/anyaman 1746 3539 5769 1226 30949
Obat-obatan 834 3295 3988 8726 27318
Minyak(f) 20041 17821 18017 15090 149347
Rempah-rempah 2757 - - 90 126152
Batu-batuan 2079 - - 7040 55388
Cat dan pewarna 878 - - 5134 41940
Teh 204 4211 3371 2027 -
Ternak (hidup) - 5550 9738 59535 -

109
Keterangan tabel 3.2:
(a) Berasal dari Pulau-Pulau di Timur (yang dimuat bukan dari
Jawa).
(b) Termasuk barang dan pakaian mewah untuk tahun 1860, 1861,
1867.
(c) Termasuk barang dari kristal.
(d) Kain linen, katun, dan benang.
(e) Termasuk minuman keras untuk tahun 1860, 1861,1867.
(f) Termasuk minyak yang berasal dari kelapa, kacang, jarak.
(g) Termasuk suku cadang kapal.
(h) Mencakup mesin jahit, mesin uap, dan alat kerajinan dan
pertanian.
(Sumber: Diolah dari Algemeen Verslag,1850;1860;1861;1867;
ENI,1917/1918:373-374; The Historical Section of The Foreign
Office,1920:37; Jaarverslag van de Bandjermasinsche Credietbank
13e Boekjaar, 1927:23).

Sementara komoditas yang baru disebut pada


dasawarsa kedua abad ke-20 adalah mobil, sepeda, dan
ban sepeda (Jaarverslag van de Bandjermasinsche
Credietbank (13e Boekjaar), 1927: 23). Hal itu
menunjukkan ledakan industri dunia kala itu selain
karena prasarana transportasi berupa jalan yang mulai
terbangun.
Sementara komoditas yang masuk tidak rutin
ataupun dengan jumlah fluktuatif adalah bahan kimia
yakni bubuk mesiu, air raksa, ter, dan bahan kimia
tawas; garam yang hanya dimuat pada laporan 1867;
semen di tahun 1913; ataupun komoditas yang disebut
sekali-sekali seperti daging potong dan kerang.

110
Kecuali itu, dalam laporan juga telah dinyatakan
impor atas minyak tanah (petroleum) di tahun 1867
namun anehnya komoditas itu disebut sebagai barang
ekspor dalam laporan tahun 1913 padahal pada laporan
berikutnya di tahun 1927 diketahui bahwa bahan bakar
minyak merupakan komoditas impor. Penulis menduga
jenis minyak yang masuk dan keluar tersebut berbeda.
Sebagaimana keterangan dalam tahun 1927 diketahui
bahwa minyak yang diimpor adalah minyak gasoline di
mana diikuti oleh keterangan impor lampu minyak
(petroleum lampen) (Algemeen Verslag, 1867; The
Historical Section of The Foreign Office, 1920: 37;
Jaarverslag van de Bandjermasinsche Credietbank (13e
Boekjaar), 1927: 23). Informasi tersebut menunjukkan
bahwa impor gasoline diperuntukkan sebagai bahan
bakar lampu sebagaimana yang diberlakukan di Kota
Pontianak sejak tahun 1916 di mana lampu minyak
tanah yang digunakan sebagai penerang di tepian atau
persimpangan jalan mulai diganti bahan bakarnya
menggunakan minyak gasoline (Listiana, 2006. 24-25).
Terlepas dari jenisnya, komoditas di atas
menunjukkan bahwa Banjarmasin tidak hanya berfungsi
sebagai pasar bagi para konsumen atau distributor

111
domestik melainkan pula sebagai pasar bagi para
distributor Nusantara ataupun mancanegara. Seperti
yang dilakukan para pedagang Belanda pada awal abad
ke-19 dengan membeli teh yang dibawa oleh pedagang
Cina (http://subiyakto.wordpress.com/2010/04/30/berkah
-alam -bor neo/).

3.4 Pelayaran Niaga


Subbab ini diberi judul “Pelayaran Niaga” 9 sebab
uraian mengenai perdagangan di Banjarmasin dan
tentunya terkait dengan seluruh Borneo Selatan tidak
dapat dipisahkan dari pelayaran karena sungai berperan
sebagai jalur perdagangan. Aliran sungai dari daerah
pedalaman ke lautan membentuk jejaring atau sistem

9
Mengenai aktivitas pelayaran di Kalimantan Selatan dapat
ditelusuri melalui data arkeologi. Lukisan-lukisan gua prasejarah
telah menunjukkan adanya gambar-gambar perahu. Kronologi
gambar-gambar perahu tersebut diperkirakan 40.000 SM yang lalu.
Perkembangan tradisi pembuatan perahu tersebut berkembang
hingga sekarang dengan berbagai jenis teknik maupun bentuknya.
Adapun bentuk perahu yang sederhana dan sampai sekarang masih
diproduksi di Kalimantan Selatan adalah perahu jukung. Perahu ini
dibuat secara tradisional dengan teknik pembelahan kayu atau
pembakaran pada rongga kayu. Perahu jukung banyak ditemui di
setiap aliran sungai di Kalimantan Selatan seperti Das Barito dan
Das Martapura. Namun sebagian dari bentuk atau jenis jukung telah
mengalami perubahan menjadi kelotok atau perahu motor.

112
persungaian menjadi urat nadi perekonomian,
khususnya perdagangan.
Pembahasan pada Bab II membuktikan bahwa
tradisi pelayaran niaga masyarakat Banjar sudah
berlangsung sejak zaman kuno. Pelayaran sungai atau
pelayaran pedalaman di Banjarmasin dan sekitarnya
pada umumnya dilakukan oleh suku Banjar dan suku
Dayak yang bermukim di wilayah Borneo Selatan
dengan menggunakan perahu-perahu (biasa disebut
jukung berdaya angkut antara 10 sampai 50 ton, tetapi
ada pula yang berdaya angkut hingga 200 ton).

Gambar 3.12 Perahu dagang dari Hulu Sungai di Sungai Martapura


yang selalu sibuk pada hari Kamis (Wijdenes, 1939).

113
Jenis perahu yang biasa digunakan untuk
pengangkutan barang terutama adalah perahu khas
Banjarmasin, yaitu jukung tambangan. Kecuali
tambangan, jenis perahu lain yang juga digunakan untuk
aktivitas perekonomian penduduk adalah sudur,
rangkan, patai, gondol, rombong, klotok, tiung dan lain-
lain. Masyarakat Banjar juga mengenal jukung raksasa
yang biasanya digunakan untuk sarana pengangkutan
antara Kuala Kapuas di Kalimantan Tengah dan
Banjarmasin, serta perahu lambo yang dipergunakan
untuk pelayaran menyeberang lautan. Menurut kisah
dalam “Hikayat Banjar” perahu lambo bahkan sudah
dipergunakan sejak zaman kuno.
Dalam pelayaran sungai berbagai macam barang
diangkut dari daerah pedalaman ke pelabuhan.
Sebaliknya, melalui sungai pula barang-barang dari
pelabuhan diditribusikan ke daerah-daerah di
pedalaman. Berbagai hasil hutan, hasil pertanian,
perkebunan, perikanan, dan barang-barang hasil
kerajinan penduduk diangkut ke Banjarmasin dengan
perahu-perahu pedalaman menuju ke pelabuhan atau ke
berbagai pasar di kota yang biasanya berlokasi di tepian
sungai. Jadi selain untuk memenuhi kebutuhan pasar

114
lokal (Banjarmasin dan sekitarnya), aktivitas pelayaran
sungai juga berfungsi sebagai sarana pengumpul
barang-barang yang akan dikirim ke luar pulau untuk
memenuhi kebutuhan pasar yang lebih luas lagi. Sungai
dan aktivitas pelayaran menjadi bagian dari jejaring
perdagangan antarpulau dan bahkan juga perdagangan
internasional.
Pelayaran sungai mempunyai peran penting
dalam pengangkutan barang dagang. Hasil pertanian
dan hasil hutan merupakan salah satu komoditas utama
yang diangkut melalui pelayaran sungai. Selain itu juga
hasil tambang dan hasil kerajinan penduduk. Sebagai
contoh, komoditas lada diangkut dari daerah Negara
sebagai produsen lada ke daerah hilir atau ke pelabuhan
Banjarmasin. Di tempat itu para pedagang dari berbagai
daerah dan negara seperti pedagang Cina, Inggris,
Belanda, dan pedagang Melayu sudah menunggu untuk
membeli komoditas tersebut. Namun adakalanya para
pedagang tersebut, terutama pedagang Cina dan
Melayu sudah terlebih dahulu membawa perahu mereka
masuk ke pedalaman untuk membeli langsung
komoditas dagang yang mereka butuhkan.

115
Lain lagi dengan distribusi komoditas kayu. Aliran
Sungai Barito menjadi media untuk menghanyutkan
kayu-kayu yang telah ditebang, dengan cara dirangkai
seperti sebuah rakit. Kayu-kayu itu selanjutnya dimuat
ke kapal-kapal yang akan membawanya ke Jawa atau
daerah lain yang membutuhkannya. Selain kayu, hutan-
hutan di sepanjang aliran Sungai Barito juga kaya akan
pohon jelutung yang getahnya laku di pasaran. Pohon
jelutung boleh disadap secara bebas dan hasilnya yang
berupa getah biasanya diangkut ke tepian sungai oleh
para pencari getah jelutung. Pengangkutan getah dari
hutan ke tepi sungai dilakukan dengan berjalan kaki.
Selanjutnya hasil hutan tersebut diangkut ke pelabuhan
Banjarmasin untuk dikapalkan ke berbagai daerah yang
membutuhkannya.
Komoditas karet banyak diangkut dari wilayah
Hulu Sungai dan daerah-daerah di atasnya menuju ke
Banjarmasin. Namun pada saat terjadi kenaikan harga
karet di pasaran, biasanya para pedagang (Melayu dan
Cina) berlomba-lomba untuk mendatangi daerah
produsen agar bisa langsung membeli karet rakyat. Oleh
karena kondisi sungai di daerah yang dekat dengan hulu
mulai sulit untuk dilayari, maka dibuatlah terusan-terusan

116
(handil) untuk membawa karet ke tepi sungai yang dapat
dilayari perahu atau kapal kecil. Dari sungai-sungai itu
kemudian karet diangkut ke pelabuhan Banjarmasin
(Susilowati, 2001: 215-218).
Dalam perdagangan sungai, para pedagang
Tionghoa dapat dikatakan memonopoli angkutan melalui
sungai (Saleh, 1982: 66-67). Beberapa orang Tionghoa
di Banjarmasin memiliki kapal sendiri, berupa armada
kapal kecil (flottille) dengan daya tempuh ke sungai-
sungai di pedalaman Borneo Selatan, ke Surabaya, dan
Singapura. Tidak kurang dari duapuluh buah kapal
perang tua dan kapal-kapal pemerintah digunakan oleh
para pelayar Tionghoa hingga 1924 untuk melayani
tongkang dan perahu yang memuat barang. Beberapa
lainnya memiliki kapal pengangkut barang dan
penumpang yang diantaranya diawaki oleh orang-orang
Eropa pada pelayaran ke Singapura (Vleming, 1925:
267).
Selain Tionghoa, pedagang Bugis dan Makassar
telah banyak yang melakukan pelayaran niaga ke
Banjarmasinterutama sejak awal abad ke-19. Mereka
memiliki jejaring kuat dengan Banjarmasin karena kala
itu (sekitar 1800-1824) Banjar belum menjadi daerah

117
Gambar 3. 13 Perahu orang-orang Bugis di Pelabuhan Banjarmasin
dengan latar belakang Kantor Pelabuhan (Sumber: Wijdenes, 1939).

pengawasan pemerintah Hindia Belanda yang dikenal


cukup sulit memberi surat izin kepada pelayar Bugis-
Makassar. Komoditas yang dibawa cukup penting dan
laku keras di Cina dan karenanya mereka menjadi
pedagang bumiputera terpenting di wilayah Kepulauan

118
Hindia Belanda dan perairan Malaka hingga awal abad
ke-19. 10
Melihat jumlah dan peran para pelayar Bugis-
Makassar di Banjarmasin, pada 1820an pemerintah
Hindia Belanda mulai menjalin hubungan dengan
pedagang dan pelaut dari Sulawesi Selatan. Setelah
terlebih dahulu mendekatkan diri dengan Kerajaan
Gowa-Tallo/Makassar, Belanda berharap dapat
meningkatkan kegiatan di pelabuhan-pelabuhan di
bawah pengawasan pemerintah (Poelinggomang, 2002:
96-113).
Semakin meningkatnya pelayaran niaga baik
yang dilakukan oleh pedagang pribumi maupun asing
membuat pemerintah terus berusaha meningkatkan
penguasaan atas wilayah perairan Borneo
(Poelinggomang, 2002: 96-113). Praktiknya, di awal
abad ke-19 Belanda telah melakukan pengawasan ketat
terhadap perairan Banjarmasin terutama kepada kapal-
kapal Eropa. Pemberian dan pembatasan izin pelayaran
bagi kapal asing (Nusantara ataupun mancanegara)

10
Pada tahun 1800-1824 selain Banjarmasin, pedagang Bugis dan
Makassar banyak mendatangi berbagai pusat perdagangan dan
daerah produksi di luar pengawasan Belanda, seperti Sulu,
Palembang, Johor, Pahang, dan Aceh.

119
maupun milik Kesultanan Banjar, pemeriksaan terhadap
komoditas yang diperdagangkan di kapal adalah wujud
dari kekuasaan yang telah dijalankan sejak tahun 1806
(http://subiyakto.wordpress.com/2010/04/ 30/pelabuhan-
dalam-otoritas-belanda/).

Gambar 3.14 Tambangan dan Tongkang Madura


(Sumber: Koleksi Museum Lambung Mangkurat).
Selain perahu-perahu Bugis dan jukung dari Hulu
Sungai, perahu Madura merupakan pembawa muatan
dagang yang banyak berlabuh di Banjarmasin. Catatan
mengenai kapal-kapal muatan yang masuk pada
pertengahan abad ke-19 berikut membuktikannya.

120
Tabel 3.3 Daftar Kapal dan Muatan (f) Masuk ke Banjarmasin
Tempat Asal Kapal Muatan (florin) pada tahun
1850 1860 1861 1867
Eropa dan Amerika 335272 724123 901153 1494779
Pulau-Pulau di Timur* 271581 394392 591712 1151579
Cina, Manila, dan Siam 11779 20531 47118 59296
Banglades dan Hindia Barat 23401 9479 5927 2598
Jepang 700 1904 784
Jawa dan Madura 598180 1228936 1562805 2620410
Makassar dan Mandar** 2374 330 2160 6490
Mandar 842
Riau 10628 37969 23988
Pagatan 2145
Sukadana*** 31 520
Pantai Barat Borneo**** 18 255 940
Singapura 7423 18902 22761 39733
Siam 190
Bali 621 40
Kajeli 224 1744
Bawean 2515
Pulo Laut 3600
Selayar 4428 870
Jelai 1054
Sebamban 210
Bima 2083 3616
Lingga 1020
Cina 2100
Sumbawa 605
Mendawai 34
Sampit 260

121
Keterangan tabel 3.3:
* Pulau-Pulau di Timur yang dimaksud adalah Asia termasuk daerah
Nusantara.
** Untuk tahun 1860, 1861, dan 1867 hanya disebut Makasar (tanpa
Mandar).
*** Untuk tahun 1861 disebut dengan Ketapang.
**** Untuk tahun 1861 dan 1867 disebut dengan nama Pontianak.
(Sumber: Diolah dari Algemeen Verslag, 1850; 1860; 1861; 1867).
Berdasarkan daftar kapal yang membawa
muatan ke Banjarmasin diketahui bahwa lima daerah
asal pengimpor terbesar berasal dari Jawa dan Madura;
Eropa dan Amerika; Pulau-Pulau di Timur; Cina, Manila,
dan Siam; Banglades dan Hindia Barat; dan Singapura.
Pada daftar juga terlihat fakta bahwa sejak 1861
jumlah kapal dari wilayah Borneo Selatan dan Timur
masuk ke Banjarmasin lebih meningkat. Belum dapat
dipastikan apakah fakta tersebut berkaitan dengan
penghapusan Kesultanan Banjar. Dominasi elite sebagai
penampung hasil hutan atau produksi masyarakat
pedalaman (daerah hinterland Banjarmasin) menurun
bahkan terhenti membuat produsen pedalaman banyak
yang memasarkan secara langsung ke pasar
Banjarmasin.
Usaha lain pemerintah dalam menanamkan
jejaring perdagangan dan pelayaran adalah
mengadakan jalur pelayaran melalui perusahaan swasta

122
bersubsidi Cores de Vries sekitar tahun 1865 dengan
trayek Batavia-Makassar-Kupang dan Makassar-
Banjarmasin-Sambas-Pontianak. Namun trayek ini tidak
berlangsung lama karena pemerintah tidak melanjutkan
subsidinya lagi kepada perusahaan tersebut
(Poelinggomang, 2002: 96-113).
Pelayaran dalam kuasa pemerintah aktif
dilakukan sejak tahun 1891 di mana kapal dari Koninklijk
Paketvaart Maatschappij (KPM) hadir dalam lalu lintas
pelayaran di Sungai Barito yang melayari rute
Banjarmasin – Puruk Cahu setiap dua minggu sekali.
Sejak saat itu KPM mulai melakukan kontrol secara
langsung terhadap daerah-daerah penghasil komoditas
dagang yang selama ini berada di bawah kekuasaan
para saudagar/ pedagang besar yang kebanyakan
berasal dari keluarga bangsawan Banjar (Susilowati,
2001: 218 cf. Poelinggomang, 2002: 129).
Memasuki abad ke-20 diketahui bahwa selain
pedagang Tionghoa, sebuah perusahaan niaga bernama
Borneo-Sumatera Maatschapij (Borsumij) juga memiliki
empat armada perahu kecil yang turut menjalani rute
pelayaran dari Banjarmasin ke pelabuhan-pelabuhan di
Jawa dan sepanjang pantai selatan dan timur

123
Kalimantan seperti Sampit, Kumai, dan Pangkalan Bun.
Di tengah persaingan dengan pedagang Tionghoa dan
Eropa (KPM, Borsumij, dan perusahaan Tionghoa) yang
bermodal kuat dan jumlah armadanya terus bertambah,
ternyata masih ada pula seorang saudagar Banjar yang
tercatat turut aktif dalam pelayaran niaga. Saudagar
yang diduga kuat bernama Haji Abdoelmanap ini
memiliki perahu baru bernama Moetiara yang dianggap
lebih modern dibandingkan perahu pribumi lainnya
(Susilowati, 2008: 45-46).
Sementara armada KPM melayani pelayaran dari
Banjarmasin pada awal abad ke-20. Berikut ini
merupakan jadwal dan rute pelayaran yang dilakukan
setiap bulannya.
1) Stoomschepen (SS) van de Capellen yang melayani
pelayaran ke Surabaya, Semarang, Cirebon,
Batavia, dan Pontianak
2) SS. Jansens ke Sampit dan Singapura
3) SS. Elout ke Stagen, Kotabaru, Samarinda,
Dongala, dan Wani.
4) SS. Sampit ke Pagatan, Stagen, Kotabaru,
Makasar, dan Pasir.

124
Gambar 3.15 S.S. Janssen merapat di Pelabuhan Banjarmasin.
Pada gambar terlihat pula dua jukung Banjar
(Sumber: Wijdenes, 1939).
5) SS. Negara ke Marabahan, Negara, Bebirik,
Amuntai, Boentok, Muara Teweh, dan Puruk Cahu.
6) SS. London ke Bawean dan Surabaya
7) SS. Buykes ke Singapura

125
8) SS. Reynst ke Stagen, Kotabaru, Balikpapan,
Samarinda, Tarakan, dan Boelongan.
9) SS. Elout ke Surabaya, Bawean, dan Singapura
10) SS. GG Daendels Surabaya, Semarang, Cirebon,
Batavia, dan Pontianak
11) SS. Jansens ke Kumai dan Singapura
12) SS. Loudon ke Surabaya
13) SS. de Weert ke Stagen, Kotabaru, Samarinda, dan
Donggala
14) SS. Sampit ke Pasir
15) SS. Negara ke Marabahan, Negara, Bebirik,
Amuntai, Boentok, Muara Teweh, dan Puruk Cahu.
16) SS. Reynst ke Singapura
17) SS. Loudon ke Bawean dan Surabaya
18) SS. Buykes Stagen, Kotabaru, Balikpapan,
Samarinda, Tarakan,Berau
19) SS. Sampit ke Kotabaru, Pasir,dan Pagatan
20) SS. de Weert ke Surabaya, Bawean dan Singapura
21) SS. v.d. Capellen ke Surabaya, Semarang, Cirebon,
Batavia, dan Pontianak.
(Borneo Advertantie Blad No.1: Oktober 1916).
Dapat disimpulkan bahwa pada awal abad ke-20
pelayaran dari Banjarmasin sudah dilayani angkutan

126
kapal uap yang berhubungan dengan Singapura,
Surabaya, Sampit, Kotabaru, Samarinda, Martapura,
Marabahan, Negara, Amuntai, Boentok, Moeara Tewe,
dan Kuala Kapuas (Paulus, 1917/1918: 137). Sementara
pada pertengahan abad ke-20 berita KPM menyebutkan
bahwa dalam sebulan hanya melayani rute pelayaran ke
Surabaya-Banjarmasin, setelah kembali lagi maka
perjalanan dilanjutkan ke rute Koemai-Sampit-
Banjarmasin-Sampit-Koemai (Pelita Ekonomi 3 Oktober
1947: 520).
Jumlah kedatangan kapal api yang sebagian
besar dari mancanegara dilaporkan cenderung stabil.
Sempat terjadi penurunan terjadi di sekitar tahun 1930
hingga 1933. Hal tersebut sepertinya dipengaruhi oleh
melemahnya perdagangan internasional akibat resesi
dunia. Adapun yang menarik dari jumlah kedatangan
kapal layar yang sebagian besar berasal dari Nusantara
yang walaupun sempat mengalami penurunan pada
tahun 1928 hingga 1932 dan justru meningkat secara
signifikan sejak akhir dasawarsa ketiga abad ke-20.
Fenomena tersebut juga terjadi di Pelabuhan Pontianak
di mana kapal-kapal kecil milik pedagang pribumi ini
banyak beralih ke pelabuhan luar Jawa karena pada

127
masa itu aktivitas perdagangan di Jawa sangat menurun
sebagai dampak krisis ekonomi dunia (Listiana, 2006:
72).
Tabel 3.4 Kapal Dagang Masuk ke Pelabuhan Banjarmasin
KAPAL MASUK
Tahun Kapal Api Kapal Layar
3
Jumlah Muatan (m ) Jumlah Muatan( m3)
1919 396 530537 979 44080
1920 396 541235 877 46568
1921 416 569125 1040 55318
1922 405 656113 955 45529
1923 426 701966 863 29745
1924 407 605592 758 28608
1925 381 587790 875 23935
1926 357 616268 938 21973
1927 381 660774 1031 24275
1928 385 652703 928 21748
1930 335 568133 882 20330
1931 319 534749 891 21906
1932 332 553706 833 24347
1933 340 566973 1061 27680
1934 375 586487 1154 30032
1935 363 550031 1264 33708
1936 287 540651 1249 37147
1937 338 560386 1569 56531
1938 335 528841 1772 68844
1939 426 531352 1872 77803
(Sumber: Diolah dari
Statistiek van de Scheepvaart in Nederlandsch Indie).

128
Gejala tersebut juga menunjukkan bahwa
armada perahu layar cukup kuat menghadapi depresi
ekonomi dengan tetap bertahan dan menjadi andalan
pengangkutan antarpulau dan antardaerah. Sementara
di lain pihak telah menyebabkan terhentinya aktivitas
perusahaan pelayaran juga perdagangan nasional dan
internasional (Susilowati, 2008: 47).
Grafik 3.1 Jumlah Kapal Dagang Masuk ke Banjarmasin
2000
Kapal Api
1800 Kapal Layar
1600
1400
1200
1000
800
600
400
200
0
1919
1920
1921
1922
1923
1924
1925
1926
1927
1928
1930
1931
1932
1933
1934
1935
1936
1937
1938
1939

Berdasarkan muatannya, grafik 3.2 berikut


menunjukkan bahwa muatan yang dibawa oleh kapal api
mengalami penurunan sejak tahun 1928. Sementara
muatan kapal layar sejalan dengan jumlahnya juga
cenderung terus meningkat setelah tahun 1930an.

129
Grafik 3.2 Muatan Kapal Dagang Masuk ke Banjarmasin
800000
Kapal Api
700000
Kapal Layar
600000
500000
400000
300000
200000
100000
0
1919
1920
1921
1922
1923
1924
1925
1926
1927
1928
1930
1931
1932
1933
1934
1935
1936
1937
1938
1939
Uraian subbab 3.4 menunjukkan bahwa
pelabuhan di Banjarmasin merupakan tujuan pelayaran
niaga baik Nusantara maupun mancanegara dan
tentunya kawasan Borneo Selatan. Berdasarkan
paparan diketahui bahwa pelayaran rakyat baik dari
daerah pedalaman Borneo maupun Nusantara pada
awalnya menduduki peran utama dalam pelayaran
niaga. Kapal-kapal yang terutama berasal dari Jawa,
Madura, dan Sulawesi Selatan ini merupakan pesaing
kuat dan dianggap menghambat kemajuan bagi
pelayaran modern yang dijalankan KPM. Bahkan untuk

130
menghadapi dan mematikan “armada semut 11 ” yang
jumlahnya cukup banyak pemerintah kolonial
mengeluarkan kebijakan seperti menurunkan tarif dan
mereduksi ongkos pengangkutan barang-barang tertentu
pengangkutan kapal-kapal KPM (Susilowati, 2001: 65-
66).

3.5 Lahirnya Lembaga-Lembaga Ekonomi


Kegiatan perdagangan yang berkembang di
Banjarmasin merangsang pertumbuhan lembaga
keuangan baik pemerintah maupun swasta dan
organisasi kemasyarakatan yang bergiat di bidang
ekonomi. Lembaga keuangan berperan dalam
membiayai proses produksi komoditas, kebutuhan akan
modal untuk ekspor hasil pertanian, dan memberi
pinjaman kepada pemborong atau perusahaan-
perusahaan dagang. Sementara perkumpulan dagang
selain memotivasi baik kepada pedagang maupun petani

11
Sebutan armada semut ditujukan bagi pelayaran rakyat yang
walaupun kecil (berupa perahu kayu dengan ukuran di bawah 500
m3) namun jumlahnya sangat banyak dan dapat menjangkau rute
sungai kecil. Perahu rakyat tetap menjadi armada utama dalam
pelayaran antarpulau hingga berkembangnya sarana transportasi laut
dan terutama setelah dipindahkannya pelabuhan ke Sungai Barito di
tahun 1965 (Susilowati, 2001: 66).

131
untuk meningkatkan keuntungan juga menanamkan
kesadaran akan penjajahan ekonomi.
Pemerintah Hindia Belanda dapat dikatakan
sebagai sebuah institusi politik yang melakukan praktik
ekonomi. Karenanya, pemerintah sangat campur tangan
untuk mengatur perekonomian daerah koloni. Lembaga
pemerintah banyak didirikan ketika perekonomian
Borneo sudah stabil pada abad ke-20 antara lain.
(1) Geweestelijk Rubber Commissie (Komisi Karet
Kota) didirikan oleh pemerintah kota untuk
mengelola produksi karet rakyat. Organisasi ini
perhatian terhadap mutu dan hasil produksi karet.
Berbagai usaha yang dilakukan untuk menjaga
harga karet di pasar Singapura seperti membuat
propaganda pendirian rumah asap dengan
pinjaman Volkscredietbank, mengawasi kapasitas
penggilingan karet di pabrik-pabrik, dan
pengawasan lain seputar rumah asap dan pabrik
getah (Oetoesan Kalimantan No. 24, 1935).
(2) Voedingsmiddelenfonds (lembaga permakanan)
mengurusi keberadaan bahan makanan pokok.
Lembaga ini juga melakukan pembelian gabah atau
memasukkan beras (biasanya) ke Jawa untuk

132
menekan harga beras (Pelita Ekonomi, 26
September 1947:512-513). Dalam menjalankan
tugasnya, Voedingsmiddelenfonds berkonsultasi
dengan de landbouwconsulent (konsultan
pertanian) untuk Borneo Selatan (Pelita Ekonomi,
26 September 1947: 512).
(3) Perkumpulan di Amuntai dipimpin oleh pegawai
Departemen Dalam Negeri pribumi dan
pemimpinnya seorang kontrolir. Adapun
komisarisnya adalah pembesar-pembesar. Oleh
karenanya, perkumpulan tersebut tidak lagi
dianggap sebagai perkumpulan pribumi karena
keputusannya sudah dapat diduga akan sesuai
dengan kemauan kiai dan kontrolirnya.
(4) Pendirian NIRUB (Nederlansch Indie Rubber)
bertujuan untuk membantu kesulitan modal dll serta
mngusahakan agar perkebunan dan pekerjaan
membikin getah selekas mungkin bisa bangun
kembali dan selanjutnya mengatur devisa (Pelita
ekonomi, 16 Agustus 19 47:478).
(5) NIRUB berganti nama menjadi NIRF (Nederlandsch
Indie Rubber Fonds). Lembaga baru memiliki ruang
untuk aktif dalam meningkatkan produktivitas

133
perkebunan karet. NIRF juga terlibat dalam
mengusahakan pabrik untuk menggiling getah.
Pabrik-pabrik ini lantas menopang perkembangan
komoditas karet (Pelita ekonomi, 16 Agustus
1947:478). Setelah perang, pada Oktober 1945
NIRF mulai bekerja kembali. Untuk menghidupkan
kembali perusahaan getah ternyata menyangkut
banyak hal mengenai kegiatan ekonomi. Salah satu
hal yang diperlukan adalah alat pengangkut dan di
mana di Borneo Selatan sudah terdapat 16 buah
kapal motor yang dapat memuat 15 ton/ km dan 33
buah lichter yang mampu memuat 50 ton per lichter.
Kapal-kapal tersebut bisa mendatangi tempat-
tempat yang jauh di udik bahkan di musim kemarau.
(6) NIRF juga membentuk Badan Penerangan
Perusahaan Getah untuk mempertinggi derajat
getah yang dibuat anak negeri. Selain itu, badan ini
juga diwajibkan untuk memberi pertolongan kepada
para pemilik dari rumah asap getah untuk
memeroleh kredit agar mereka dapat dapat
mendirikan dan memperbaiki rumah-rumah asap.
Barang-barang perkakas yang perlu dibeli
dari luar negeri dibagikan dengan harga yang

134
pantas tanpa perantara. Harga barang-barang
perkakas, cuka, bak takongan dari aluminium,pisau
penyadap, ember tempat latex, mesin penggiling
(Pelita ekonomi, 16 Agustus 19 47:478).
(7) Pendirian Rubberverwerkingsbedrijf Kalimantan
(Ruveka). Ruveka adalah sebuah perkumpulan
(stichting) pabrik getah diserahi tugas untuk
mengelola getah di mana sebelumnya dilaksanakan
oleh rubberfonds (NIRUB) berdasarkan persetujuan
pemerintah. Ketiga daerah di Kalimantan Selatan ini
akan mendapat kedudukan yang kuat dalam badan
pengurusnya. Sementara di daerah lain yang
memiliki posisi kuat adalah Barabai dan Klua yakni
pabrik milik Nomura. Menurut akte pendirian dan
rencana dari perkumpulan ini, kemampuannya
ditaksir sejumlah f. 650.000 yang dianggap sebagai
pokok pertama. Tujuan dari perkumpulan ini adalah
untuk menolong penduduk daerah Banjar, Dayak
Besar, dan Kalimantan Tenggara dengan tidak
mengeluarkan modal yang besar. Dengan cara
yang paling banyak membawa hasil meyuruh
mengerjakan getah seluas-luasnya, istimewa dalam

135
kepentingan perindustrian getah dan ekspor getah
(pengeluaran).
Perusahaan ini harus memerhatikan
petunjuk-petunjuk teknis dari sekretaris-sekertaris
negara untuk urusan ekonomi, dalam negeri, dan
keuangan, dalam badan pengurus yang terdiri atas
7 orang anggota yakni ketua,wakil ketua, dan
penulis yang dipilh oleh anggota-anggota sendiri.
Menurut kepangkatan turut duduk ketua-ketua atau
wakil-wakilnya dari dewan-dewan daerah tersebut.
Pemilihan pemimpin harian merupakan hak
prerogatif dewan daerah yang bertempat di
Banjarmasin dan dijalankan oleh seorang direksi
yang bertanggung jawab dan dua orang kepala
jabatan yang diangkat dan diberhentikan oleh
badan pengurus.
Saat penyerahan dilakukan, perusahaan
yang memiliki kapasitas 6-700 ton per bulan telah
terbakar rumah perniagaan getah pada minggu 3
Juli tidak dipergunakan lagi. Perusahaan ini akan
kembali berjalan jika pengiriman rumah untuk
mengeringkan getah yang lengkap dan modern
datang dari Jakarta (Pelita ekonomi, 1949: 3).

136
Perkembangan kegiatan ekspor-impor dan
menjamurnya perwakilan perusahaan dagang Eropa di
Banjarmasin telah menumbuhkan lembaga keuangan
yang menangani arus lalu-lintas uang antar-negara.
Lembaga keuangan dengan tujuan memeroleh laba
tersebut antara lain.

Gambar 3.16 De Javaasche Bank di Banjarmasin


(Sumber: Koleksi Troepen Museum).
(1) de Javasche Bank merupakan bank komersial
terbesar di Hindia Belanda. Sebagai bank sentral di
daerah koloni Belanda de Javasche Bank melalui
perpanjangan berkala akte pendiriannya oleh
pemerintah kolonial diberi hak istimewa untuk
mengeluarkan uang kertas, sekalipun baru pada
tahun 1914 uang kertasnya menjadi alat
pembayaran yang sah. Kecuali itu, ia juga

137
menetapkan nilai daya beli (gulden) beserta nilai
tukarnya sebagai valuta asing di luar negeri.
Disamping tugas utamanya tersebut, de Javasche
Bank sepenuhnya bekerja sebagai bank dagang
yang ditunjukkan dengan cara langsung membiayai
perusahaan-perusahaan dagang dan pertanian
terutama pada masa resesi ekonomi.
(2) de Nederlandsch Indie Handels Bank merupakan
salah satu bank dagang Belanda yang ada berdiri di
Banjarmasin. Sebagai bank niaga, pada awalnya
kegiatan utama NIHB adalah melakukan pengadaan
kredit jangka pendek dan jangka sedang yang
disebut sebagai usaha perbankan perkebunan juga
melayani pinjaman jangka panjang berupa saham-
saham dalam usaha perkebunan.
Lambat laun bersama beberapa bank dagang
lainnya, NIHB melepaskan diri dari kepentingan
perkebunan menjadi pemberi modal pokok atau kerja
(modal usaha) kepada perusahaan-perusahaan
dagang.
(3) de Nederlands Indische Escompto Maatschappij
beraktivitas tidak jauh berbeda dengan bank dagang
lainnya. Yang istimewa adalah daerah operasi NIEM

138
terbatas hanya di Hindia Belanda (Wijdenes,1939:
105; van Laanen, 1988: 338; 346-347).
Keterbatasan bank-bank komersial barat dengan
masyarakat pedesaan oleh karena modalnya sangat
kecil membentuk sikap penghalang psikologis bagi
pelanggan-pelanggan potensial bumiputera. Kecuali itu,
wacana politik etis yang di atas kertas membaca
kebutuhan masyarakat Indonesia dengan membangun
sistem perkreditan rakyat melalui syarat-syarat yang
wajar. Walaupun kenyataannya, berbagai keluhan
masyarakat Banjarmasin di surat pembaca ataupun
artikel di surat kabar lokal menunjukkan bahwa
pencairan kredit dinilai tidak adil dan selektif. Setidaknya
terdapat dua lembaga perkreditan rakyat yang eksis di
Banjarmasin.
(1) Seiring perkembangan perdagangan dan industri,
pegadaian telah berdiri di Kota Banjarmasin.
Pegadaian (pandhuis) biasa disebut rumah pak atau
rumah gade (rumah gadai). Perusahaan yang
semula berdiri untuk menghapus praktik
peminjaman uang yang tidak diinginkan tersebut
sempat diberitakan mengambil untung berlebihan.
Karenanya, pernah mendapat protes dari

139
masyarakat yang mengharapkan kepada Gubernur
Jenderal agar pandhuis juga dapat
mempertimbangkan rakyat kecil yang menyimpan
atau menggadaikan barangnya di sana. Harapan
tersebut ditanggapi oleh Gubernur Pandhuis yang
menyatakan bahwa pinjaman-pinjaman kecil akan
diturunkan tarif bunga atau rentenya (Oetoesan
Kalimantan No.2-3, 18 Jan 1936: 1).
(2) Algemeene Volkscredietbank semula
Volkscredietbank adalah suatu pendirian yang
tadinya diperuntukan untuk menyokong masyarakat
yang ingin bekerja tetapi tidak memiliki modal.
Dengan AVB, masyarakat bisa mendapat uang
sekedarnya dengan sedikit bunga demi
melangsungkan pekerjaannya.
Sejak hilangnya Bandjermasinsche
Volkscredietbank maka AVCB berpusat di
Banjarmasin dengan menempatkan sementara
agen-agen di tempat yang tidak perlu. Agen-agen
tersebut berfungsi sebagai perantara
(tusschenpersoon) antara kepala AVCB dengan
mereka yang ingin meminjam uang. Namun agen-
agen ini memiliki pengaruh besar dalam

140
memutuskan pemberian pinjaman. Beberapa fakta
menunjukkan meskipun peminjam sangat
membutuhkan jika agen tidak menyetujui maka dia
tidak diberi pinjaman. Praktiknya, masyarakat
merasa aktivitas perbankan tidak adil karena
keputusan sepenuhnya berada di tangan agen
tanpa pengawasan beheerder. Hal tersebut dapat
memundurkan AVCB dan menyuburkan praktik
lintah darat (Oetoesan Kalimantan No. 63, 4 Juni
1935: 1).

Gambar 3.17 Volkscredietbank di Banjarmasin


(Sumber: Koleksi Tropen Museum).

141
Lembaga lain yang berkembang adalah
organisasi oleh masyarakat yang bergiat di bidang
perekonomian antara lain. Banyaknya organisasi
kemasyarakatan yang bergerak di bidang ekonomi saat
itu menunjukkan derasnya pengaruh penetrasi ekonomi
kolonial dan tata kelola modern.
(1) Pendirian “Koperasi Rukun Setia” (Oetoesan
Kalimantan No. 45, 1935).
(2) Pendirian “Perkumpulan Dagang Para Haji.”
Perkumpulan ini dikabarkan menerapkan organisasi
modern karena telah menyusun anggaran dasar
yang dilegalisasi oleh notaries. Kecuali itu, mereka
juga bersepakat untuk membuat koperasi dan toko
perkumpulan dagang (Oetoesan Kalimantan No. 51,
1935).
(3) Berdiri pula “Persatuan Kaum Berniaga” dalam
rangka menyambut animo berdagang masyarakat.
Di mana awal abad ke-20 semangat dagang
masyarakat Borneo Selatan meningkat dan
berdagang dianggap usaha yang berderajat
(Oetoesan Kalimantan No. 40, 1935).
(4) Handels Organisatie (Organisasi Perdagangan)
adalah organisasi dagang yang cukup berperan

142
dalam keadaan ekonomi (perdagangan) di
Kalimantan. Sayangnya, kepengurusannya berada
di tangan bangsa Asing. Oleh karena itu, pada
tahun 1930an dikabarkan bahwa kaum pribumi
berusaha untuk mengambil alih agar dapat
memengaruhi jalannya perdagangan di Kalimantan
dan keuntungan-keuntungan perniagaan akan jatuh
ke tangan pribumi (Oetoesan Kalimantan No. 82,
1934).
(5) Serikat Penanam Indonesia berdiri pada tahun
1934. Perkumpulan ini bergerak seputar
perdagangan hasil pertanian. Oleh karena itu usaha
yang dilakukan adalah melakukan pembelaan
terhadap petani seperti penanam getah para,
kelapa, kapuk, dan lada. SPI juga menganjurkan
kredit perdagangan dan koperasi pertanian, mencari
hubungan dagang dalam dan luar negeri,
menetapkan kualitas produksi, meningkatkan
pengetahuan penanam pribumi mengenai
perdagangan komoditas yang ditanamnya terutama
mengenai harga pasar dan perdagangan
internasional (Oetoesan Kalimantan No. 18, 1935;
No. 71: 2).

143
(6) Sarekat Penanam Dagang Borneo adalah
perkumpulan yang beranggotakan rumah asap.
Perkumpulan ini akan membuat cabang di mana-
mana sehingga membentuk sebuah jejaring.
Tujuannya untuk dapat mencapai pasar luar negeri
agar dapat mempertahankan harga dari penawaran
konsumen. SPDB berdiri di daerah-daerah yang
sarat tanaman karet seperti Barabai, Tanjung, dan
Kloea. SPDB juga memiliki tujuan untuk
meminjamkan uang kepada rumah-rumah asap
yang mengalami kesulitan dan mendirikan asuransi
bagi rumah asap dengan aturan setiap rumah asap
membayar premi setiap bulan guna menutupi
segala kerugian jika terjadi kebakaran. Hampir
seluruh rumah asap di HuluSungai menyetujui
aturan tersebut. Untuk memperbaiki kualitas karet
(Oetoesan Kalimantan No. 61, 30 Mei 1935: 1-2).
(7) Rubberstudy Group adalah kelompok yang
melakukan kajian untuk menemukan jalan keluar
tentang kelebihan hasil karet dengan diadakan kerja
sama dengan negara-negara internasional. Bahkan
jika perlu organisasi ini akan menyarankan kepada
pemerintahan negara penghasil karet untuk

144
mengurangi hasilnya (Pelita Ekonomi, 6-13 Agustus
1948:779-781).
Secara umum, berdasarkan uraian di atas
keadaan perekonomian di Banjarmasin menunjukkan
gejala perekonomian dualisme yang pernah
dikemukakan oleh Clifford Geertz. Pertama,
perekonomian tipe pasar. Tipe ini dijalankan oleh
masyarakat berciri pedesaan yang cenderung terikat
dengan alam (tanah, pertanian, dan musim). Kedua,
perekonomian tipe firma atau perusahaan. Tipe ini
dijalankan oleh masyarakat berciri perkotaan yang lebih
mengembangkan model perusahaan atau perindustrian.
Geertz menambahkan sebenarnya dualisme ini tidak
mutlak di mana dalam perkembangannya dapat
mengalami proses perubahan perekonomian dari tipe
pertama ke kedua atau percampuran antara kedua tipe
tersebut (Utami, 2000: 17).
Pelaku tipe pertama adalah masyarakat petani.
Sementara tipe kedua selain dilakukan oleh pengusaha
Asing juga oleh masyarakat pribumi kelas menengah.
Fenomena sosial baru yang mencolok dalam
perkembangan kegiatan ekonomi ini muncul setelah
runtuhnya Kesultanan Banjarmasin akibat pergeseran

145
kebijakan politik Belanda. Yakni, pergeseran loyalitas
dan ikatan patronase dari elite politik yang dilakoni oleh
raja dan didukung oleh kaum ulama/ haji) ke elite
ekonomi baru yang dilakoni oleh saudagar dan haji. Hal
ini merupakan hasil kebijakan Belanda yang telah
mematikan kendali para bangsawan atas kegiatan
ekonomi terutama perdagangan (Listiana, 2010: 75).
Uraian di atas menunjukkan bahwa Kota
Banjarmasin berorientasi ekonomi karena memiliki
perhatian terhadap perdagangan internasional di mana
pelabuhan menjadi pusat kegiatan. Fokus tersebut
terjadi karena pelabuhan dianggap sebagai pintu
gerbang aktivitas ekonomi Kota terutama perdagangan.
Karenanya, Banjarmasin berkembang sebagai kota
pelabuhan dan terkait dengan kehidupan ekonomi
penjajah. Kota pelabuhan ini berfungsi sebagai pusat
arus perdagangan kolonial.

146
BAB IV
PENDUDUK DAN KOTA
BANJARMASIN SEBAGAI
KOTA DAGANG KOLONIAL

4.1 Pertumbuhan Penduduk


Jumlah penduduk Banjarmasin pada 1824
diperkirakan sekitar 3000 jiwa (Anon., 1838: 4).
Sementara jumlah populasi pada akhir Desember 1850
adalah 5139 jiwa. Rinciannya terdiri atas orang Eropa
sejumlah 110 orang; orang asli Borneo sejumlah 972
orang; orang Cina, Melayu, Moor 1 , Arab, dan orang
Timur Asing lainnya sejumlah 954 orang. Sementara

1
Mor ialah nama yang dipergunakan oleh orang Romawi Timur
(Bizantium) untuk orang Arab dan Barbar Muslim di Afrika Utara
bagian barat yang menyeberang ke Spanyol pada tahun 709. Nama
tersebut diperkirakan berasal dari kata “mauri” dalam bahasa Funisia
dan dipakai dengan lafal “Moro” orang Inggris menyebut “Moor”.
Kata Moors, dalam bahasa Arab ”almar” merupakan bentuk yang
sedikit agak samar-samar yang masih digunakan oleh orang-orang
barat dalam bahasa eropa sampai abad ke 19 yang ditunjukan kepada
Muslim spanyol dan penduduk yang tinggal disepanjang laut tengah
Afrika pada zaman dulu. Maka dari itu bentuk aslinya belum jelas.
Para penulis Eropa menggunakan nama Mor untuk orang Arab Bar-
bar yang tinggal disepanjang Pantai Laut Tengah dan sekitar Sahara
Afrika. Kemudian secara perlahan nama tersebut hanya untuk orang
Islam di Afrika Utara, terutama mereka yang hidup sebagai Nomad
di Sahara Barat (Ensiklopedia Islam,1993: 244-245).

147
total penduduk di wilayah Schans van Tuyl adalah 448
orang. Dengan rincian orang Eropa sejumlah 2 orang
dan orang asli Borneo sejumlah 446 orang (Algemeen
Verslag, 1850).
Penduduk Banjarmasin sekitar tahun 1860
sejumlah 5650 orang (van Rees, 1865: 20). Pada 1
Januari 1887 jumlah penduduk di Kota Banjarmasin
adalah 8.549 orang. Jumlah ini tidak termasuk garnisun
yang terdiri atas tiga kelompok dari batalion garnisun
dan dua kelompok batalion lapangan (Jaarboek
Mijnwezen, 1893: 13).
Menurut pencatatan jumlah jiwa penduduk Kota
Banjarmasin di tahun 1905 lebih kurang 16700 orang,
sekitar 455 orang Eropa, 12700 pribumi, 2600 orang
Cina, 900 orang Arab, dan 80 orang Timur Asing
(Paulus: 137). Pada 1920 penduduk Kota Banjarmasin
sekitar 46.993 jiwa terdiri atas 752 orang Eropa, 3207
orang Cina, 1276 orang Arab, 97 orang timur asing
lainnya, dan 41661 pribumi (Stibbe et al, 1927: 268 cf.
Volkstelling, 1930: 46). Sementara pada 1930 berjumlah
64.223 dengan rincian 56.346 pribumi, 1.022 orang
Eropa dan peranakan, 4.940 orang Cina, dan 1915
orang Timur Asing lainnya (Volkstelling, 1930: 46).

148
Adapun pada 1939 sebuah buku panduan wisata
“Stockums Travellers Handboek” menyebutkan bahwa
penduduk Kota Banjarmasin telah mencapai 75000
orang dan bahkan orang Eropanya meningkat hingga
1400 jiwa (Wijdenes, 1939: 105 cf. Helbig, 1939: 259).
Tabel 4.1 berikut akan mempermudah melihat
angka pertumbuhan penduduk Kota dari tahun ke-tahun.
Dari tabel terlihat bahwa penduduk Kota meningkat
secara signifikan dalam awal abad ke-20. Peningkatan
tersebut diduga terkait masuknya transmigran dari Jawa
dan Madura yang didatangkan pemerintah Hindia
Belanda guna meningkatkan kegiatan pertanian di
Tanah Banjar.
Tabel 4.1 Jumlah Penduduk di Kota Banjarmasin
Tahun Jumlah Penduduk (dalam jiwa)
1824 3.000
1850 5.139
1860 5.650
1887 8.549
1905 16.700
1920 46.993
1930 64.223
1939 75.000
(Sumber: Diolah dari Tijdscrift voor Neerlands Indie,
AlgemeenVerslag, W.A. van Rees, Jaarboekmijnwezen, Volkstelling,
Tropisch Nederland).
Satu hal yang mengejutkan dan cukup disoroti
oleh para pejabat Belanda adalah kenaikan penduduk

149
Eropa menjelang pertengahan abad ke-20. Peningkatan
jumlah penduduk Eropa disebabkan oleh kebijakan
ekonomi pemerintah yang membuka luas daerah koloni
(Borneo Selatan dan seluruh wilayah Hindia Belanda)
bagi investor perseroan Eropa. Investor tersebut
sebagian besar menanamkan sahamnya di bidang
perdagangan ekspor-impor, perkebunan, dan
pertambangan. Mereka kemudian membangun
perwakilan dagangnya di Kota Banjarmasin. Selain
kantor, mereka juga memperkerjakan pegawai Eropa
untuk mengelola perusahaannya.
Mengenai jumlah penduduk di kawasan sekitar
Kota Banjarmasin baik Onderafdeeling maupun
Afdeeling akan menggambarkan cakupan dan lalu lintas
masyarakat yang kemungkinan melakukan aktivitas
ekonomi di Kota. Penduduk Onderafdeeling Banjarmasin
pada 1930 adalah 86.778. Rinciannya 78.792 pribumi,
1.029 orang Eropa dan peranakan, 4.979 orang Cina,
dan 1.978 orang Timur Asing lainnya (Volkstelling, 1930:
16). Sementara penduduk Afdeeling Banjarmasin
berdasarkan perhitungan penduduk tahun 1920
berjumlah 192.395 dengan rincian jumlah pribumi
sebanyak 185.509, orang Eropa dan peranakan

150
berjumlah 868, orang Cina berjumlah 3.990, orang Timur
Asing lainnya berjumlah 2.028. Sementara pada 1930
jumlah penduduk meningkat menjadi 210.574 dengan
rincian 200.801, 1.165 orang Eropa dan peranakannya,
5.694 orang Cina, dan orang Timur Asing lainnya sejulah
2.914 (Volkstelling, 1930: 16).
Berdasarkan komposisi penduduk, kelompok
masyarakat Banjar adalah penduduk mayoritas di
Banjarmasin. Kelompok masyarakat
(groepsgemeenschap) dengan nama Banjar dibentuk
oleh Belanda berdasarkan ordonansi di Lembaran
Negara Tahun 1938 No.133 sebagai dengan dasar
Groepsgemeenschap Ordonantie (Undang-Undang
Kelompok Masyarakat) dalam Indische Staatsblad 1937
No. 464. Ordonansi tersebut menyatakan bahwa
kelompok masyarakat ini terdiri atas masyarakat di
Afdeeling Hulu Sungai dan Afdeeling Banjarmasin
(kecuali onderafdeeling Pulo Laut-Tanah Bumbu)
(Paulus (Encyclopaedie van Nederlandsch Indie
Supplement, 1917/1918: 1876).
Seorang pejabat Belanda menyatakan bahwa
etnis Banjar sulit didefinisikan dan bahasanya banyak
terpengaruh. Mereka memiliki seperti yang dimiliki orang

151
Minangkabau, Madura, Jawa, Arab, dan Dayak.
Karenanya, orang Banjar dikatakan sebagai etnis yang
sedikit kosmopolitan (terjadi dari orang-orang atau
unsur-unsur yang berasal dari pelbagai bagian dunia).
Kecuali itu, orang Banjar juga dikabarkan memiliki sifat
yang tidak menunjukkan rasa takut terhadap Belanda.
Dibandingkan dengan pribumi lainnya, mereka relatif
kaya sebagai petani karet dan pedagang.
Orang-orang Dayak dikabarkan tinggal di
pedalaman dengan waktu tempuh sekitar dua atau tiga
hari dari kota baru dapat dicapai. Oleh karena itu mereka
masih dianggap misteri dan yang dikenal luas adalah
penampilannya yang belum berpakaian dan profil
perempuan bertelinga panjang hingga bahu serta
momok pemenggalan kepala yang simpang siur.
Koloni Jawa juga cukup banyak di Borneo
Selatan, khususnya di Banjarmasin. Koloni ini dipercaya
telah datang sejak masa Majapahit dan belakangan
didatangkan oleh Inggris dan pemerintah Hindia Belanda
untuk percobaan pengembangan dan perbaikan teknik
bersawah dan berkebun. Kelompok masyarakat ini
meraih keberhasilan cukup baik di sini.

152
Kelompok masyarakat lain di Kota adalah orang
Madura. Kelompok etnis ini masuk ke Banjarmasin
dengan menumpang pada perahu orang terpidana
melalui Laut Jawa. Mereka digambarkan sebagai orang
yang bebas, pelaut yang riang, ceroboh dan
sembarangan (Wijdenes, 1939: 105-107).
Gelombang kedatangan kedua komunitas yang
disebut terakhir secara besar-besaran terjadi pada akhir
masa pemerintahan Belanda, sekitar tahun 1930an.
Pembukaan hutan membuka peluang garapan sehingga
membutuhkan para penggarap dari Jawa. Oleh karena
itu, kampung-kampung rakyat pun kemudian diharapkan
dapat terlihat sehingga jumlah kampung, penduduk, dan
kepemilikan tanah subur bagi perkebunan dan pertanian
dapat ditaksir akan lebih meningkat. Sehingga keadaan
sekarang di mana pembukaan kampung baru selalu
dipenuhi oleh para penduduk Hulu Sungai akan
berubah. Karena migran Jawa dan Madura akan turut
memenuhi kampung-kampung baru dan tampaknya
orang Hulu Sungai pun tidak mampu dan akan
kewalahan untuk mengisi kampung yang banyak dibuka.
Kedatangan mereka memang sudah
dipertimbangkan oleh pemerintah. Penduduk Madura

153
masuk ke pesisir Borneo untuk mengolah tanah menjadi
lahan pertanian. Etos kerja mereka yang rajin dan giat
telah memberi pengaruh positif kepada masyarakat
setempat. Harapannya mereka dapat mengisi kampung-
kampung kosong yang penggarapannya dipimpin oleh
pegawai Dinas Pertanian (Landbouw Voorlichting
Dienst) agar kemungkinan kegagalan penggarapan
semakin kecil (Oetoesan Kalimantan No. 64, 6 Juni
1935: 1).
Komunitas orang Sulawesi yang berasal dari
etnis Makasar dan Bugis cukup banyak di Kota
Banjarmasin. Kelompok masyarakat yang dikenal
dengan perahunya yang indah dan kuat tersebut ada
yang hidup berkelompok di bagian utara Kota yakni di
Kampung Bugis. Kelompok ini biasanya menikah
dengan kelompoknya sendiri.
Orang-orang Cina di Banjarmasin juga cukup
besar. Mereka tinggal dalam keluarga besar, rumah biru
atau di los yang gelap dan misterius. Yang unik dari
Kampung Cina di sini adalah klentengnya yang kurang
artistik tidak seperti di daerah lain penuh dengan
berbagai hiasan Cina.

154
Komunitas Arab yang berada di Banjarmasin
sebagian tinggal di Kampung Arab. Berdasarkan
keterangan dari warga Kampung yang merupakan
generasi ketiga diketahui bahwa komunitas tersebut
sebagian besar datang dari Hadramauth (Yaman
Selatan).
Komunitas Arab dikenal sebagai pedagang yang
memiliki jejaring luas terutama di Pulau Jawa. Selain itu
mereka juga dikenal dengan serikat pemberi kredit
berbunga. Karena praktik bunga tingginya ini, mereka
kerap diproses dalam pengadilan Residen (Wijdenes,
1939: 105-107). Seperti sebagian kalangan orang
Tionghoa, orang Arab diketahui juga suka memberi
pinjaman uang (kredit) kepada kaum tani. Berita dalam
surat kabar lokal menyebutkan bahwa mereka suka
mempermainkan nota di mana uang yang diberikan lebih
kecil dari nota terima yang ditandatangani (Oetoesan
Kalimantan No.50: 2).

4.2 Kota Dagang Kolonial


Peran Banjarmasin sebagai pusat arus
perdagangan kolonial memengaruhi perkembangan
kota. Perkembangan administrasi kolonial dan ruang

155
kota dalam peran tersebut akan diuraikan dalam subbab
berikut.

4.2.1 Perkembangan Administrasi Kolonial


Sejak 1839 2 Kerajaan Belanda membagi
kawasan Kalimantan yang menjadi haknya—
berdasarkan Konvensi London 1824— menjadi tiga
wilayah. Pertama, Afdeeling Pantai Selatan dan Timur.
Kedua, Afdeeling Sambas. Ketiga, Afdeeling Pontianak.
Afdeeling pertama terbagi menjadi 16 negeri, yaitu
Berou, Koetei, Passir, Tanah Boemboe, Tanah Laut,
Bandjermasin, Tattas, Doesoen Oeloe, Doesoen Ielir,
Bekoempeij, Daijak Besar/ Kahaijan, Daijak Kecil/
Kapoeas, Mendawei, Sampit, Pemboean, dan Kotta
Waringin (Kartodirdjo et al, 1973: 148). Pembagian
afdeeling ini mulanya bukan kedudukan administratif
karena saat itu Hindia Belanda masih menganut sistem
pemerintahan tidak langsung (indirect rule). Sehingga
kalaupun kemudian di beberapa afdeeling atau negeri
ditempatkan residen ataupun asisten residen hanya
melakukan fungsi pengawasan (supervisor) dalam

2
Berdasarkan susunan ketatanegaraan, Kalimantan dibagi menjadi
tiga kawasan pada 1839. Pertama, kawasan yang dihaki oleh
Kerajaan Belanda. Kedua, Kawasan Kerajaan Brunei. Ketiga,
kawasan timur laut yang masuk lingkungan Kerajaan Sulu.

156
upaya pengamanan wilayah dari “gangguan” kolonialis
lain.
Keresidenan yang dibentuk sejak 1839 oleh
pemerintah Hindia Belanda ini diperintah oleh seorang
residen di Banjarmasin namun dua pemerintahan
terakhir dipimpin oleh seorang asisten residen dengan
berbagai sub-ordinan di bawahnya (Kartodirdjo, 1973:
XXX).
Adapun perkembangan pembentukan afdeeling
di Borneo Selatan dan Timur sebelum proklamasi
penghapusan Kerajaan Banjar meliputi empat wilayah
afdeeling. Pertama, Afdeeling Tanah Laut yang terdiri
atas Onderafdeeling Tabanio, Poelaiarie (Pleihari),
Maloeka. Kedua, Afdeeling Doesson en Bacompaij
(Dusun dan Bakumpai) terdiri atas Onderafdeeling
Marabahan dan Doessoon Ilir. Ketiga, Afdeeling Groote
en Kleine Daijak (Dayak Besar dan Dayak Kecil) terdiri
atas Onderafdeeling Pulau Petak, Beneden Kahaijan
(Kahayan Hilir), Dajak Roengan. Keempat, Afdeeling
Sampit en de Zuidkust Kantingan (Pantai Selatan
Katingan) terdiri atas Onderafdeeling Mandawe,
Pemboeang en Samboebe, Kantingan (Staatsblad,
1859).

157
Untuk menjalankan fungsi pengamanan, usaha
serius pertama yang dilakukan Belanda di Borneo
Selatan dan Timur adalah mendirikan benteng
pengawasan di Schans van Tuil, Kween, Tabanio, dan
Marabahan (Algemeen Verslag, 1840). Adapun wilayah
ibukota Keresiden mencakup wilayah Banjarmasin,
Kween, dan Schans van Tuil. Sebagaimana daerah
lainnya, ketika Belanda mulai memasuki dan menguasai
suatu wilayah, sesuai dengan pendekatannya yaitu
perdagangan dan keamanan maka untuk memenuhinya,
Belanda akan mendirikan benteng terlebih dahulu. Untuk
itu dibangunlah keempat benteng tersebut dengan fungsi
awal untuk mengawasi jalannya perdagangan.
Setelah penghapusan Kesultanan Banjar, Borneo
Selatan dan Timur selain mengalami perubahan sistem
pemerintahan juga perubahan status wilayah
administratif di daerah-daerah bekas Tanah Sultan.
Dalam Laporan Politik tahun 1860 dijelaskan bahwa
Borneo bagian selatan terdiri atas daerah Kerajaan
Kottaringin dan sebagian daerah Jelai, Afdeeling Dayak
Besar dan Kecil, Afdeeling Bakumpai dan Dussun,
Afdeeling Banjarmasin, Afdeeling Amuntai, Afdeeling

158
Martapura, Afdeeling Kuin (Kween), dan Afdeeling
Tanah Laut (Politiek Verslag, 1860).
Pembagian wilayah Borneo Selatan dan Timur
tahun 1861 berkembang menjadi Afdeeling Tanah Laoet,
Dusun-Dusun Bakumpai (Doessonen Bacompaij), Dayak
Besar dan Kecil, Kutai dan Pantai Timur (Koetei en de
Oostkust), Sampit dan Pantai Selatan (Sampit en de
Zuidkust), Amuntai (Amonthaij), Martapoera, dan Kween.
Sementara tahun 1915 Keresidenan Borneo Selatan dan
Timur terdiri dari enam afdeeling dan duapuluh tiga
onderafdeeling. Pertama, Afdeeling Bandjermasin yang
terdiri atas Onderafdeeling Banjarmasin, Martapura,
Marabahan, Pleihari. Kedua, Afdeeling Oeloe Soengei
(Kandangan) yang terdiri atas Onderafdeeling
Kandangan, Rantau, Barabai, Amuntai, Tanjung. Ketiga,
Afdeeling Doesoen Landen/ Tanah Dusun (Muara Tewe)
yang terdiri atas Onderafdeeling Muara Tewe, Buntuk,
Puruk Cahu. Keempat, Afdeeling Koeala Kapoeas yang
terdiri atas Onderafdeeling Beneden Dayak (Kuala
Kapuas), Boven Dayak (Kuala Kurun), Sampit, dan Kota
Waringin. Kelima, Afdeeling Pantai Selatan dan Timur
Borneo (Kota Baru) terdiri atas Onderafdeeling Pulau
Laut, Tanah Bumbu (Pegatan), dan Pasir. Keenam,

159
Afdeeling Samarinda terdiri atas Onderafdeeling Kutai
Timur (Samarinda), Kutai Barat (Tenggarong), Boven
Mahakam/ Mahakam Hulu (Long Iram), Berau (Tanjung
Redeb), dan pada tahun 1918 terdapat satu tambahan
Onderafdeeling Bulungan (Tanjung Selor) (Staatsblad,
1915; 1918).
Perubahan terakhir termuat dalam staatsblad
tahun 1940 yang terdiri atas lima afdeeling. Pertama,
Afdeeling Bandjermasin ditambah dua onderafdeeling
yaitu Pulau Laut dan Tanah Bumbu (Kota Baru). Kedua,
Afdeeling Hulu Sungai (Kandangan) onderafdeelingnya
hanya terdiri atas Onderafdeeling Kandangan dan
Rantau. Ketiga, Afdeeling Kapoeas-Barito (Banjarmasin)
terdiri atas Onderafdeeling Beneden Dayak (Kuala
Kapuas), Sampit, Kota Waringin (Pangkalan Bun),
Boven Dayak (Kuala Kurun), Muara Tewe, Puruk Cahu.
Keempat, Afdeeling Samarinda yang pada tahun 1923
terdiri atas Kutai Timur (Samarinda), Kutai Barat
(Tenggarong), Balik Papan, Boven Mahakam (Long
Iram), Berau, Bulungan, dan Apo Kayan kemudian pada
1940 menjadi empat terdiri atas tiga onderafdeeling yang
disebut pertama ditambah Pasir (Tanah Grogot). Kelima,
Afdeeling Bulungan dan Berau (Tanjung Selor) yang

160
mulai dibentuk tahun 1929 terdiri atas Onderafdeeling
Tarakan, Tanah Tidung (Malinau), Apo Kayan (Long
Nawang), Bulungan (Tanjung Selor), Berau (Tanjung
Redeb) (Staatsblad, 1923; 1929; 1940).
Banjarmasin selain sebagai onderafdeeling juga
memiliki status administratif sebagai afdeeling dari
Keresidenan Borneo Selatan dan Timur berada di bawah
pemerintahan sebagai kepala dari afdeeling, dibantu
oleh seorang kontrolir sebagai kepala onderafdeeling
yang bertempat di Banjarmasin. Onderafdeeling ini
memiliki sebuah distrik yang juga bernama Distrik
Banjarmasin (Paulus,1917/ 1918: 137).
Adapun dalam pengelolaan pemerintahan, sejak
berlakunya Undang-Undang Desentralisasi/
Decentralisatie Wet (DW) pada 1903 mengantar sebuah
praktik otonomi daerah. Kebijakan tersebut memberi
peran lebih besar bagi pejabat pemerintah daerah dalam
kekuasaan kolonial di daerah walaupun masih meliputi
seputar masalah keuangan.
Sementara implementasi DW dalam bidang
ketatanegaraan secara bertahap dialami oleh Borneo
Selatan dan Timur pada 1 Juli 1919 (Staatsblad, 1919
No. 252) dengan pemberian status sebagai ibukota

161
Keresidenan Borneo Selatan dan Timur dan sejak itu
Banjarmasin memiliki status baru sebagai gemeente.
Dengan berlakunya status ini, Banjarmasin diberi
bantuan uang sebesar ƒ 43.500 setiap tahun yang dapat
dialokasikan untuk memelihara, memperbaiki, dan
membuat jalan, serta pengadaan penerangan, pemadam
kebakaran, kuburan, dan lain sebagainya (Ideham et al,
2003: 238; Wingnjosoebroto, 2004: 24-34).
Batas ibukota Banjarmasin termuat dalam
Indische Staatsblad tahun 1893 No. 212 berdasarkan
besluit dari Gubernur Jenderal tanggal 25 Agustus 1893
no.17. Bagian timur laut dan utara Kota Banjarmasin
berupa garis lurus imajiner terus ke jembatan di atas
Sungai Bilu di jalan besar untuk Martapura hingga 300
meter dari timur di sepanjang tepi kiri jalan menuju
Martapura; dari garis tersebut menuju ke tengah muara
Kuin; dan hulu sungai ini berlanjut hingga muara Sungai
Blitong. Batas bagian barat adalah pertemuan antara
Sungai Blitong dan Kuin, sungai yang disebut paling
awal sampai titik pertemuannya dengan selokan
lapangan tembak, kemudian selokan ini hingga ke
lapangan tembak dan dari garis lurus imajiner hingga di
mana pertemuan Sungai Begantang dan lebih jauh dari

162
sungai ini hingga jatuh (bermuara) ke Martapura. Dari
garis ini, melintang Sungai Kuin menuju ke tengah
muara Sungai Basirih, hulu Sungai ini berlanjut hingga
pada jarak 300 meter ke selatan sepanjang jalan kiri
Martapura. Batas bagian tenggara dan timur, dari titik
terakhir garis melengkung imajiner, pada 300 meter
jarak pararel di atas jalan jarak jauh, hingga di mana
Sungai Pekapoeran tersebut bertemu, dan dari dari sana
langsung (lurus) ke titik batas timur-laut (Staatsblaad,
1893).

163
Gambar 4.1 Batas wilayah Kota Banjarmasin
(Sumber: Staatsblad th. 1893 No. 212).

4.2.2 Gambaran tentang Kota


Seorang pengembara Inggris bernama George
Windsor Earl telah melakukan perjalanan ke
Banjarmasin pada 1824. Berdasarkan catatan
perjalanannya yang berjudul The Eastern Seas on

164
Voyages an Adventures in The Indian Archipelago, ia
menyatakan bahwa walaupun Belanda menyatakan
bahwa pantai selatan Borneo telah dikuasai tetapi
kenyataannya sebagian besar dari keseluruhan wilayah
tersebut benar-benar tidak dikenali mereka.
Kenyataannya, mereka hanya menetap di Banjarmasin
di mana digambarkan sebagai sebuah kota di tepi
sungai besar yang mengalir di daerah pantai selatan
Borneo. Sementara muaranya berjarak sekitar sembilan
puluh mil dari ujung barat daya pulau.
Sebelum kedatangan orang-orang Eropa ke
Nusantara, Banjarmasin telah menjadi koloni Jawa tetapi
telah masuk begitu besar orang Bugis dan pemukim
asing lainnya sehingga penduduknya hampir kehilangan
kemiripan dengan orang-orang Jawa. Adapun tepian
sungai di bagian hulu kota diduduki oleh suku besar
Dayak. Meskipun posisinya lebih sulit dijangkau namun
dibanding masyarakat lainnya, orang-orang ini kerap
mengadakan komunikasi dengan orang Eropa.
Banjarmasin sebelumnya banyak dikunjungi oleh
Inggris dan Belanda. Di tahun 1747 sebuah gudang
telah didirikan oleh Belanda yang dilanjutkan hingga
tahun 1809 ketika pendapatan tidak melebihi

165
pengeluaran sehingga semua itu kemudian ditinggalkan
dan dibeli oleh Sultan seharga 50.000 rix-dollar kepada
Belanda untuk benteng-benteng dan gedung
pemerintahan. Tahun berikutnya, utusan Sultan
mengunjungi Malaka dengan tujuan mengundang Inggris
untuk tinggal di Banjarmasin. Sepertinya Kesultanan
tertarik setelah mendengar kabar bahwa ketika Jawa
diambil alih oleh tentara Inggris, sebuah tempat
perdagangan didirikan di sana (Earl, 1837: 336-338).
Maka walaupun tak lama, orang Inggris pun mencoba
mulai dari Alexander Hare hingga Raffles ditunjuk
sebagai residen Banjarmasin. Yang sempat mereka
lakukan adalah usaha kolonisasi dengan mendatangkan
orang-orang Jawa untuk bermukim. Tidak lama
kemudian pengabilalihan dilakukan orang-orang Belanda
kembali di tahun 1816 dan di tahun 1817 kontrak lama
diperbarui. Belanda kemudian memiliki seorang residen,
seorang sekretaris, seorang pencatat bea tol, seorang
pegawai gudang (syahbandar) dan penjual garam dan
beberapa petugas pos di beberapa distrik (Veth, 1869:
70).
Lalu bagaimana gambaran Kota Banjarmasin
setelah menjadi Kota Dagang Kolonial Belanda akan

166
diuraikan dalam bagian ini. Dengan begitu, kita dapat
mengetahui sejauh mana kegiatan perdagangan di
Banjarmasin memberi bentuk atau karakter bagi kota ini.

4.2.2.1 Garnisun dan Area Pemerintahan

Gambar 4. 2 Peta Banjarmasin Tahun 1861. Simbol bendera


merupakan titik lokasi garnisun. Sementara area yang diraster merah
merupakan permukiman di Kota Banjarmasin yang kala itu masuk
dalam wilayah administratif Afdeeling Kween (Kuin)
(Sumber: KIT Library).
Garnisun adalah suatu tempat atau wilayah atau
daerah di mana terdapat penempatan pasukan, markas,
serta instansi militer terdiri atas kesatuan-kesatuan lebih
dari satu angkatan tetap atau sementara di bawah
pimpinan perwira yang bertanggung jawab atas
penegakkan disiplin, tata tertib dan hukum militer

167
dengan batas-batas daerah yang telah ditentukan.
Selain pasukan, markas, dan instansi militer keberadaan
garnisun di suatu kota ditandai juga oleh sarana
penunjang seperti kompleks perumahan perwira, rumah
sakit garnisun, barak/ tangsi, dan penjara militer
(Listiana, 2009: 72).
Garnisun di Banjarmasin terletak di Kampung
Loji. Yakni bertempat di pulau di atas sungai yang
bernama Tatas. Tatas merupakan bangunan pertahanan
militer dilengkapi oleh gudang mesiu, barak dan
garnisun sepenuhnya lengkap yang berdiri dengan
dinding tertutup (Algemeene Verslag, 1839). Benteng
pertahanan ini semula menggunakan kayu besi tapi
kemudian didirikan kembali menggunakan kayu nibung3
(sebuah pohon yang sangat mirip dengan pohon pinang

3
Nibung (Oncosperma tigillarium syn. O. filamentosum) adalah
sejenis palma yang tumbuh di rawa-rawa Asia Tenggara, mulai dari
Indocina hingga Kalimantan. Tumbuhan ini berupa pohon dengan
bentuk khas palma, batang tidak atau jarang bercabang, dapat
mencapai 25 m., dapat memunculkan anakan yang rapat, membentuk
kumpulan hingga 50 batang. Batang dan daunnya terlindungi oleh
duri keras panjang berwarna hitam. Daunnya tersusun majemuk
menyirip tunggal (pinnatus) yang berkesan dekoratif. Kayu nibung
sangat tahan lapuk sehingga dipakai untuk penyangga rumah-rumah
di tepi sungai di Sumatera dan Kalimantan. Temuan arkeologi di
daerah Jambi menunjukkan sisa-sisa penyangga rumah dari kayu ini
di atas tanah gambut dari perkampungan abad ke-11 hingga ke-13
(http://id.wikipedia.org/wiki/Nibung).

168
besar). Pohon ini tidak bertahan lama karena pada tahun
1827 curah hujan meningkat dan terancam akan
serangan pelapukan (Anon., 1838: 4-7).

Gambar 4.3 Denah ruang Benteng Tatas tahun 1801


(Sumber: Koleksi Balai Arkeologi Banjarmasin).
Peta yang dibuat pada 1806 oleh van Boekholtz
memuat pembagian ruang Benteng Tatas secara rinci
sebagai berikut.

169
A: Parit perlindungan P: Kediaman
bendahara
B: Pintu gerbang Q: Dapur
C D E F: Pojok benteng (selekoh) R: Kediaman sersan
yang menjorok ke luar di
mana di bagian atasnya
terdapat tempat pengintaian.
CC: sejumlah meriam di atas S: Barak orang
tanah Eropa
G H I J: Dinding U: Gudang besar
L: Kanal V: Gudang beras
M: Jembatan W: Kamar budak
N: Sungai X: Tiang bendera
O: Kediaman residen dan Y: Kamar budak
komandan militer
Pentingnya keberadaan benteng Tatas bagi
pemerintah Kolonial tampak dari fasilitas transportasi
dan akses lalu lintas yang dimilikinya. Di mana kapal
besar dapat mengangkut hingga depan Tatas (Anon.,
1838: 4-7). Lebih dari pada itu Benteng Tatas juga
difungsikan sebagai tempat pemeriksaan atas kapal
masuk dan keluar termasuk armadanya dan dalam
prosesnya kapal-kapal tersebut bersandar di Benteng4

4
Seperti yang tertuang dalam catatan pejabat Belanda 8 April 1806
mengenai pemeriksaan Bloem atas nakhoda kapal “Levingen” agar
membawa kapten F.A. Rangel beserta kapalnya, ke pelabuhan
(Tatas) untuk dilakukan pemeriksaan. “De Adventurier” yang berada
di Muara Banjar kemudian memasuki sungai Martapura dan
berlabuh di Fort Tatas (http://subiyakto.wordpress.com /2010/04/30/
pelabuhan-dalam-otoritas-belanda/).

170
(http://subiyakto.wordpress.com/2010/ 04/30/pelabuhan-
dalam-otoritas-belanda/).
Kecuali itu, fasilitas transportasi lain berupa jalan
yang telah dibangun cukup baik berada di sekitar
kompleks bangunan pemerintah. Namun jalan tersebut
pun benar-benar tidak berguna pada muson barat
sehingga pemeliharaannya sangat sulit (Anon., 1838: 4-
7).
Setelah benteng pertahanan, bangunan lainnya
terus menyusul dididirikan sesuai dengan keperluan dan
ketersediaan bahan bangunan yang sebagian besar
menggunakan kayu (Algemeene Verslag, 1839). Kantor
residen, rumah-rumah pegawai, barak, dan
penyimpanan senjata adalah bangunan yang didirikan
berikutnya (Anon., 1838: 4-7).
Pada tahun 1864 hingga 1867 kantor residen
berikut sebuah biro dibangun kembali menggunakan
kayu besi dan kayu lanan sebagai kerangkanya juga
sirap untuk atapnya. Biro utama terdiri atas sepuluh
ruang di mana satu ruang difungsikan sebagai ruang
pengadilan sementara biro khusus terdiri atas tiga buah
ruang yang masing-masing dirancang untuk bagian
keuangan, pos, dan penjagaan. Berdasarkan peta

171
Banjarmasin tahun 1901/1916 dan tahun 1955 berada di
Jalan Wilhemina atau kemudian Jalan Tugu (kini Jl.
Jend. Sudirman) dimanfaatkan sebagai kompleks
perkantoran pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan.
Adapun gudang senjata dibangun kembali tahun
1851 dengan fondasi menggunakan kayu besi, kerangka
menggunakan kayu lanan, dan atap rumbia. Gudang ini
kemungkinan besar berada di dalam kompleks benteng
Tatas termasuk pula barak militer (kazerne) yang dimuat
dalam peta tahun 1901/ 1916.
Sementara bangunan penjara didirikan pada
1852. Bangunan tersebut terdiri atas ruang untuk
pengasingan, dua buah kamar sebagai rumah sakit, dua
ruang untuk tahanan pengadilan militer dan
pemasyarakatan, dan satu ruang untuk tahanan kriminal
(Algemeen Verslag, 1867).
Selain Kampung Loji, kampung yang ditempati
oleh pemerintah kolonial adalah Kampung Amarong.
Residen tinggal di rumah yang berada di kampung yang
letaknya tidak jauh dari rumah residen yang lama
(Anon., 1838: 4-7). Awalnya, rumah-rumah milik
pemerintah di kompleks gedung pemerintahan di Tatas
dibangun dari bambu dengan jenis yang dibawa dari

172
Jawa (Anon., 1838: 4-7). Namun kemudian seperti yang
dilakukan pada pembangunan rumah residen pada
tahun 1834 diketahui bahwa bahan yang digunakan
adalah papan dan sirap kayu besi. Karenanya walaupun
sudah tua namun kondisinya masih cukup baik di tahun
1867. Dalam lingkungan rumah terdapat pula sebuah
bangunan untuk memasak, air, dan gudang juga sebuah
bangunan untuk para pelayan (Algemeen Verslag,
1867).

Gambar 4.4 Rumah residen di Banjarmasin tahun 1867


(Sumber: http://kitlv.pictura-dp.nl/).
Sekitar rumah residen terdapat pula blok
bangunan untuk para tamu yang terdiri atas lima buah

173
kamar dan satu galeri. Bangunan tahun 1850 ini
didirikan menggunakan kayu blangiran dan kayu besi.
Ada pula kediaman sipir yang dibangun pada
1855. Rumah tinggal ini dilengkapi oleh sebuah
bangunan dua kamar untuk dapur dan kamar mandi
(Algemeen Verslag, 1867).
Kampung ini juga mewadahi kediaman resmi
pabean. Komandan militer juga tinggal bersebelahan (di
samping) kompleks gedung pemerintahan yang lama.
Gudang berdiri pada sisi lain lebih jauh dari tempat
pemungut pajak tempat di mana ditemukan rumah tol.
Jalan tanah (jalan negara) ada di sepanjang aliran
sungai, mulai dari rumah residen sampai ke rumah tol
atau pelabuhan (boom). Dari sana ada jalan lain di
belakang kompleks gedung pemerintahan di mana
menjadi tempat tinggal petugas kesehatan, rumah sakit,
dan terdapat sebagian perumahan pegawai. Melalui
belakang rumah residen dan Kampung Amarong atau di
belakang kompleks gedung pemerintahan terdapat
sebuah jalan melintang melalui Pulau Tatas, yang mana
disebut jalan militer. 5 Jalan militer agak lebar dan

5
Dari situ dapat dicapai tepi Sungai Banjar Besar dalam satu atau
satu setengah jam, pada bagian tinggi terletak pulau sungai bernama
Pulau Kembang. Di sini sebelumnya dapat dijumpai benteng kecil

174
terutama di musim kering amat dapat digunakan hingga
mengatur pengangkutan meriam (Anon., 1838: 4-7).
Di sekitar kampung ini juga berdiri rumah tinggal
pangeran yang pindah. Kepindahan ini kemungkinan
berhubungan dengan penghapusan Kerajaan Banjar di
mana Belanda memindahkan semua pangeran
Kesultanan terutama yang semula berdomisili di
Martapura ke Banjarmasin (van Rees, 1865: 267-270).
Pemindahan ini dimaksudkan untuk mematikan Kota
Martapura sekaligus kubu pertahanan dan perlawanan
para pangeran. Perpindahan secara paksa para elite
Kesultanan merupakan upaya Belanda untuk
menghilangkan patron yang selama ini menjadi payung
kehidupan rakyat (Listiana, 2010: 58). Rumah yang
berdiri pada 1862 disertai pula dengan pembangunan
rumah untuk para pengikut mereka (Algemeen Verslag,
1867).

4.2.2.2 Permukiman
Sebelum dibentuk Keresidenan Borneo Selatan
dan Timur di mana Banjarmasin menjadi tempat residen
berkedudukan, wilayah ibu negeri yang juga biasa

bernama Prins Frederik yang sekarang telah ditarik (Anon., 1838: 4-


7).

175
disebut dengan memperpendek namanya menjadi
Banjer (Banjar) sepertinya memiliki lokus lebih luas yakni
meliputi daerah yang terbentuk oleh Sungai Banjar kecil
atau Sungai Martapura mulai dari Schans van Tuil
hingga menuju Kuin lalu bertemu dengan Sungai Banjar
Besar atau Sungai Barito. Wilayah yang terbangun di
tepian sungai adalah permukiman berupa kampung-
kampung (distrik) berupa wilayah yang kecil namun
padat penduduk. Setiap distrik ini dikepalai oleh seorang
kepala distrik yang disebut kiai dan bertempat di
Banjarmasin. Sekitar tahun 1824 disebut bahwa
Kampung Cina, Kampung Loji, Amarong, Antasan
Besar, Kuin, Gayam, Benyiur (Banjioer), Antasan Kecil,
Rawa Kuin, Binjei, Jawa Baru, Sungai Baru, Pekapuran,
Kalayan Besar, Bagauw (Bagao), Bahauer (Bahaoer),
Besiri (Basirih), dan van Tuil (Mantuil) merupakan
perkampungan yang terdapat didalamnya (Anon., 1838:
4).
Kampung Cina di Banjarmasin berdasarkan
laporan tahun 1850 terdiri atas Kampung Ulu dan
Kampung Ilir (Algemeen Verslag, 1850). Keberadaan
kedua kampung tersebut tidak diketahui dengan pasti.
Namun berdasarkan data lapangan baik informasi

176
maupun rumah-rumah tua peninggalan keluarga-
keluarga Tionghoa penulis menyimpulkan bahwa
Kampung Ulu adalah Pacinan yang terletak di sekitar Jl.
Pacinan dan karena posisinya di pinggir Sungai maka
disebut Pacinan Laut (kini Jl. Pierre Tendean), Jl.
Pacinan Darat (Jl.Nasution), Jl. Martapura (Jl. Veteran),
dan sepanjang Sungai Takkong (anak Sungai Martapura
yang sejajar dengan Jl. Veteran) karena terletak lebih
hulu dibandingkan Kampung Ilir yang kemungkinan
adalah Kampung Rantauan Kuliling Ilir.
Kedua kampung tersebut berada di sebelah kiri
aliran Sungai Martapura. Sementara uraian laporan
pertambangan mengenai letak perkampungan di Kota
tahun 1887 menyatakan bahwa Kampung Cina juga ada
di sebelah kanan Sungai (Jaarboek Mijnwezen, 1893:
13). Sepertinya kampung tersebut adalah Pacinan yang
berada di sekitar Jalan Sudimampir atau area Pasar
Baru (Dagblad Expresse, 1935). Keberadaan Pacinan di
area Pasar diperkuat oleh keberadaan sebuah klenteng
tua yang disebut klenteng pasar di Jl. Niaga.
Pada 1850 Kampung Cina adalah kampung
terpadat di Kota Banjarmasin. Kala itu jumlah penduduk
di Kampung Ulu adalah 697 orang dengan rincian 275

177
orang pribumi dan 422 orang pendatang yang terdiri atas
orang Cina, orang Moor, orang Arab, dan Timur Asing
lainnya. Sementara Kampung Ilir berjumlah 493 orang
dengan rincian 173 orang pribumi dan 493 orang
penduduk keturunan (Algemeen Verslag, 1850).
Aktivitas ekonomi sangat sarat mewarnai kedua
kampung Cina tersebut. Catatan awal yang merekam
kegiatan ekonomi di sekitar area tersebut menyebutkan
bahwa pada tahun 1806 kapal layar Cina yang
membawa barang-barang dagang menambatkan
kapalnya hingga berhari-hari di tepian Sungai di daerah
Pacinan seberang Tatas(http://subiyakto.wordpress.com/
2010/04/30/pelabuhan-dalam-otoritas-belanda/).
Perihal kegiatan ekonomi juga terlihat dari
keberadaan gudang atau kantor dagang yang berderet
di sepanjang pinggiran sungai di tepi Jalan Pacinan yang
berada di seberang Benteng Tatas (Masjid Sabilal
Muhtadin) dan di sepanjang Jalan Martapura, juga yang
berada di seberang pelabuhan yakni di tepian sungai
sepanjang Jalan Rantauan Kuliling Ilir. Keberadaan
bangunan tersebut jelas terlihat pada peta tahun 1901
dengan simbol kotak merah. Sejalan dengan keterangan

178
pada peta, informasi dari beberapa informan6 diketahui
bahwa para pemukim Tionghoa yang memiliki usaha
sendiri biasanya memiliki tempat usaha di rumah
tinggalnya atau membangun kantor, gudang, atau pabrik
di depan rumahnya yang dibangun di tepian sungai atau
jalan.

Gambar 4.5 Jalan Chineesche Winkel (Chineesche Winkelstraat atau


dapat berarti Jalan Toko Orang-Orang Cina) pada awal abad ke-20
(Sumber: Helbig, K. 1939: 263).
Kecuali itu, aktivitas dagang orang Tionghoa
jelas disebut dalam Encyclopedie van Nederlandsch
Indie di mana sebuah pasar berupa toko-toko dagang
dapat ditemui di tepi kanan kampung Cina (Paulus,
1917/ 1918: 137). Namun persoalannya informasi

6
F. Martinus Gojaya (71 th.), Mariana Jayanegara/ Teng Kim Nio
(91 th.), Lina Tanu/ Tan Eng Tjiang (94 th.), dan Judianti Muara/
Tjoe Kiok Swan (56 th.).

179
tersebut tidak menjelaskan rinci mengenai keberadaan
kampung tersebut. Terlepas dari itu, peta Banjarmasin
tahun 1955 telah jelas menunjukkan kegiatan
perdagangan di Pecinan dengan memuat keberadaan
Pasar Pecinan di sudut (hoek) pertemuan antara Jl.
Pacinan dengan Jalan Martapura (Petah Kota-Besar
Bandjarmasin, 1955). Selain itu keberadaan pasar yang
diaktifkan oleh orang-orang Tionghoa kemungkinan juga
berada di area Pasar Baru adalah keberadaan deretan
bangunan toko di sepanjang jalan yang dinamakan Jalan
Toko Orang-Orang Cina (Helbig, 1939: 263).
Adapun mengenai informasi tentang jumlah
orang Cina dijadikan satu kolom dengan orang Timur
Asing lainnya. Hal ini tidak seperti lazimnya laporan
pejabat kolonial dalam menjelaskan jumlah penduduk di
wilayah lain. Kemungkinan disebabkan karena
komposisi golongan para pendatang lainnya juga cukup
besar.
Kampung Talawang terletak di sebelah barat
komplek pelabuhan. Mayoritas penduduknya adalah
pribumi walaupun terdapat juga orang Eropa yang hanya
berjumlah 14 orang dari 314 jiwa pemukim pada 1850
dan sedikit bertambah pada 1887 yakni 328 jiwa

180
(Algemeen Verslag, 1850; Jaarboek Mijnwezen, 1893:
13). Dapat diperkirakan bahwa orang-orang Eropa yang
tinggal di sana adalah pegawai pelabuhan.
Kampung Jawa atau disebut pula Jawa Baru
(Anon., 1838: 4) berada di sebelah barat Sungai
Martapura (Jaarboek Mijnwezen, 1893: 13). Namun
belum diketahui posisi tepatnya karena pada peta
Banjarmasin yang telah dibuat pada 1901 nama
kampung ini sudah tidak ditemukan lagi (Schetskaart
van de Hoofdplaats Bandjermasin en Omliggend Terrein,
1916). Penduduk kampung ini murni pribumi yang pada
1850 berjumlah 191 orang (Algemeen Verslag, 1850)
dan meningkat menjadi 414 orang di tahun 1887
(Jaarboek Mijnwezen, 1893: 13). Berdasarkan informasi
Earl, penulis menduga keberadaan kampung ini
berhubungan dengan usaha kolonisasi orang Jawa pada
masa Inggris.
Kampung Sungai Baru terletak di sebelah timur
atau kiri Sungai Martapura, tepatnya berada di selatan
Kampung Cina. Kampung dengan penduduk cukup
padat yakni 586 orang pribumi pada 1850 meningkat
menjadi 895 pada 1887 (Anon., 1838: 4; Algemeen
Verslag, 1850).

181
Kampung Kuin telah disebut pada Hikayat
Banjar. Entah mengalami pergeseran atau tidak, yang
jelas Kampung ini sering dihubungkan dengan Kampung
Keraton yang dipercaya sebagai lokasi berdirinya
Keraton Banjar—pusat pemerintahan Kerajaan Banjar—
untuk pertama kali di Kuin. Dari Kampung tersebutlah
kemudian berkembang dan menjadi wilayah dan
Kerajaan Banjar (Saleh, 2009: 2; Ras: 581). Nama
kampung lain yang diikuti nama Kuin adalah Kampung
Rawa Kuin. Kampung ini pernah disebut dalam catatan
Earl. Namun nama kampung yang kedua ini tidak lagi
ditemukan dalam catatan lain. Bahkan pada tahun 1893
saja yang disebut hanya Kampung Kuin (Jaarboek
Mijnwezen, 1893: 13). Sementara pada peta 1901 area
yang terletak sebelah utara Sungai Kuin sudah disebut
dengan Kampung Kuin Utara dan di sebelah selatannya
disebut Kampung Kuin Selatan (Schetskaart van de
Hoofdplaats Bandjermasin en Omliggend Terrein, 1916).
Adapun penduduknya yang selain penduduk awal juga
dikait-kaitkan dengan pemindahan penduduk dari Muara
Bahan pada 1526 ini hingga 1850 didiami oleh 265 jiwa
yang terdiri atas 12 orang Eropa dan 252 pribumi
(Algemeen Verslag, 1850). Keberadaan orang Eropa di

182
sini sepertinya adalah para petugas di Benteng Belanda
(Algemeen Verslag, 1840) yang mengawasi Sungai Kuin
(Cerucuk) yang langsung bertemu dengan Sungai Barito
dan merupakan pintu masuk pedagang ketika masa
Kesultanan.
Kampung Besiri (Basirih), Bahauer (Bahaoer),
Benyiur (Banjioer), dan Bagauw (Bagao) juga telah
disebut pada 1824. Hingga peta tahun 1926 dan 1945
kampung-kampung tersebut masih disebut dan berada
berjajar di tepian kanan dan kiri Sungai Martapura.
Sementara Kampung Gayam dan Binjei yang juga
disebut dalam Tijdschrijft voor Neerland’s Indie tidak
diketahui lebih jauh (Anon., 1838: 4).
Kampung van Tuil terletak di bibir muara
pertemuan antara Sungai Barito dengan Sungai
Martapura di seberang sudut selatan Pulau Tatas.
Awalnya di sini terdapat sebuah benteng lama kemudian
di awal abad ke-20 dibangun seinpost (tempat untuk
menyampaikan isyarat). Dengan begitu, kampung yang
disebut dengan Kampung Mantuil oleh pribumi ini
melayani pesawat telpon yang terhubung dengan
Banjarmasin untuk memperingatkan waktu kapal masuk
dan keluar (Paulus, 1917/ 1918: 137).

183
Gambar 4.6 Sekelompok anak Banjar di Kampung Antasan Kecil
Timor awal abad ke-20. Tampak dua buah rumah di mana yang
satu beratap dan berdinding daun sementara yang lain telah
berdinding kayu (Sumber: Wijdenes, 1935: 107).
Kampung Antasan Kecil berada di aliran Sungai
Kuin. Kampung yang pada 1850 ini didiami oleh 340
orang pribumi dan 1 (satu) orang Cina ini pada 1901
didapati telah terbagi menjadi dua kampung. Di bagian
timur sungai dinamakan Antasan Kecil Timor dan di
bagian barat sungai dinamakan Antasan Kecil Barat
(Schetskaart van de Hoofdplaats Bandjermasin en
Omliggend Terrein, 1916).

184
Kampung Antasan Besar terletak di sebelah
barat kompleks perkantoran pemerintah (Anon., 1838: 4-
7). Pemukimnya saja tidak hanya pribumi yang pada
1850 berjumlah 341 melainkan pula orang Eropa
sebanyak 81 orang (Algemeen Verslag, 1850).
Kampung Kalayan atau disebut juga Kalayan
Besar berada sebelah kiri Sungai Martapura yakni di
anak Sungainya yang memiliki nama sama dengan
nama kampungnya (Anon., 1838: 4-7). Dengan jumlah
550 jiwa yang seluruhnya adalah pribumi, Kampung ini
tergolong cukup padat (Algemeen Verslag, 1850).
Keberadaan permukiman di Kota Banjarmasin
didapatkan dari Laporan Umum Pejabat Pemerintah
Hindia Belanda diketahui bahwa pada 1850 juga telah
dikenal Kampung Panghulu, Kampung Bugis, Kampung
Arab, dan Kampung Keling.
Penamaan Kampung Panghulu kemungkinan
berhubungan dengan nama jabatan para alim ulama
yang ketika masa pemerintahan Sultan Adam
ditempatkan pula dalam struktur birokrasi Kerajaan.
Selain sebagai petugas yang menjalankan pelaksanaan
perkawinan menurut hukum Islam, saat itu panghulu
adalah hakim tingkat rendah yang dapat menjatuhkan

185
hukuman menurut alquran dan mendapat kepercayaan
untuk memegang piagam atau cap dari Sultan (van der
Ven, 1858: 107). Sayangnya, letak kampung belum
dapat diketahui sehingga dapat dilacak perihal
pembentukan namanya. Kampung yang hingga akhir
abad ke-19 tidak disebut-sebut lagi ini pada 1850
dilaporkan telah didiami oleh 535 orang pribumi
(Algemeen Verslag, 1850).
Kampung Bugis terletak di sebelah barat area
pertemuan antara Sungai Kuin dan Sungai Martapura.
Jumlah penduduknya pada 1850 adalah 283 orang
pribumi (Algemeen Verslag, 1850). Nama kampung ini
pada laporan pertambangan disebut dengan Kampung
Pasar Lama Bugis di mana jumlah penduduknya 1091
jiwa (Jaarboek Mijnwezen, 1893: 13). Jumlah penduduk
yang dilaporkan tahun 1887 itu merupakan akumulasi
dari dua buah kampung, Kampung Pasar Lama dan
Kampung Bugis. Karena dalam peta 1901, terlihat
bahwa Pasar Lama merupakan kampung tersendiri
(Schetskaart van de Hoofdplaats Bandjermasin en
Omliggend Terrein, 1916).

186
Kampung Pekapuran yang telah ada pada 1824
terletak di sebelah selatan Kampung Sungai Baru
(Anon., 1838:4-7; Schetskaart van de Hoofdplaats
Bandjermasin en Omliggend Terrein, 1916).

Gambar 4. 7 Pemandangan Kampung Pekapuran di mana telihat


jalan kayu menuju tempat mandi dan rumah-rumah di sepanjang
sungai (Sumber: Wijdenes, 1939: 90).
Kampung Arab pertama kali disebut dalam
laporan pemerintah pada 1850. Penduduk kala itu
dilaporkan berjumlah 164 orang yang terdiri atas 144
pribumi dan 20 orang Arab atau Timur Asing lain
(Algemeen Verslag, 1850). Jumlah ini meningkat pesat
pada 1887 dengan total penduduk sebanyak 748 jiwa
(Jaarboek Mijnwezen, 1893: 13).

187
Kampung Keling juga disebut dalam Laporan
Umum Tahun 1850 namun setelah itu tidak ditemukan
lagi data mengenainya. Pada laporan tersebut
dilaporkan bahwa penduduknya berjumlah 125 orang
dengan rincian 102 orang pribumi dan 23 orang Timur
Asing lain (Algemeen Verslag, 1850).
Jika pada artikel dalam Tijdschrijft voor
Neerland’s Indie digambarkan bahwa pada 1824 di
Banjarmasin telah terdapat 18 kampung 7 , Laporan
Umum 1850 8 Banjarmasin dikatakan memiliki 13
kampung (distrik), dan P.J. Veth menyatakan bahwa
kota ini dibagi menjadi 17 kampung (Veth, 1869: 69-71),
kenyataannya menunjukkan bahwa jumlah kampung di
wilayah Kota lebih banyak dari itu. Belum lagi yang
disebutkan pada laporan pertambangan tahun 1886-

7
Kampung Cina, Kampung Loji, Antasan Besar, Amarong,
Dekween, Gayam, Benyiur, Antasan Kecil, Rawa Kuin, Bindjei,
Jawa Baru, Sungai Baru, Pekapuran, Kalayan Besar, Bagauw,
Bahauer, Besiri, dan van Tuil (Anon., 1838: 4).
8
Berdasarkan Laporan Umum Pejabat Pemerintah Hindia Belanda
diketahui bahwa pada 1850 terdapat 13 kampung di Kota
Banjarmasin. Kampung Cina yang terdiri atas Kampung Ulu dan
Kampung Ilir, Kampung Telawang (Talawang), Kampung Jawa,
Kampung Sungai Baru, Kampung Antasan Besar, Kampung
Panghulu, Kampung Bugis, Kampung Antasan Kecil, Kampung
Kuin, Kampung Kalayan Besar, Kampung Arab, dan Kampung
Keling (Algemeen Verslag, 1850).

188
1887 9 di mana Kota Banjarmasin meliputi kampung-
kampung sepanjang Sungai Martapura dari Kuin sampai
Kampung Banjeor. Beberapa nama kampung yang
belum disebutkan di atas yakni Kampung Pasar Lama,
Sungai Mesa, Kampung Rantauan Kuliling Ilir, dan
Rantauan Kuliling Ilir Cina (Jaarboek Mijnwezen, 1893:
13).
Pada peta 1916 yang sebenarnya menunjukkan
data tahun 1901 memperlihatkan bahwa kampung-
kampung yarng masuk di dalam batas wilayah ibukota
hanyalah Kampung Antasan Kecil Barat, Bugis, Pasar
Lama, Antasan Besar, Telok Dalam, Kertek Baru (Kertak
Baru), Talawang, Taloek Tiram (Teluk Tiram), Banjioer
(Banyiur), Basirih, Rantauan Koeliling Ilir, Pekapuran,
Sungai Baru, Kampung Cina, dan Sungai Mesa.

9
Laporan pertambangan tahun 1886-1887 menguraikan bahwa di
Kota Banjarmasin terdapat beberapa kampung. Yakni Pasar Lama
Bugis, Sungai Mesa, Kampung Eropa, Kampung Cina, Kampung
Jawa, Sungai Baru, Kampung Arab, Kampung Rantauan Kuliling
Ilir, Rantauan Kuliling Ilir Cina, dan Kampung Talawang (Jaarboek
Mijnwezen, 1893: 13).

189
Gambar 4.8 Wilayah administratif Kota Banjarmasin berada di
dalam garis batas putus-putus (Sumber: Schetskaart van de
Hoofdplaats Bandjermasin en Omliggend Terrein, 1916).

Area sekitar Kota dan masuk dalam wilayah


administratif Onderafdeeling Banjarmasin, permukiman
juga telah berkembang. Mulai dari bagian utara terdapat
Kampung Barangas, Alalak, Awang, Terantang, Kuin

190
Utara, Kuin Selatan, Pageran, Sungai Miai. Sementara
bagian timur ada Kampung Antasan Kecil Timor, Banua
Anyar, Juragan Kusin, Sungai Sabrang Masjid, Sungai
Jinga, Perodan, Pangambangan, Sungai Bilu, Sungai
Lulut, Malayu, Sungai Parit, Kalayan. Sebelah selatan
terdapat Kampung Teluk Mantung dan van Tuil. Lalu
sebelah barat terdapat Kampung Palambuan
(Schetskaart van de Hoofdplaats Bandjermasin en
Omliggend Terrein, 1916).
Permukiman di Kota Banjarmasin hingga
menjelang pertengahan abad ke-20 dipandang sebagai

Gambar 4.9 (kiri) Menara masjid di Kampung Kuin (Wijdenes,


1939: 109); (kanan) Langgar di muara Sungai Pekapuran yang
didirikan oleh warga Kampung Pekapuran dan Sungai Baru (R.,
Moh, 1932: 329).
pemandangan yang menakjubkan. Permukiman tua
yang padat berdiri di atas air; rumah-rumah yang berdiri

191
dengan tidak teratur tertutup oleh pohon buah mangga,
kebun karet, dan pohon sagu; jembatan-jembatan kayu
yang menghubungkan antar-rumah; perahu-perahu
penduduk yang lalu lalang di sungai; serta langgar dan
surau bermihrab dengan jumlah berlebih di mana para
haji biasa berkumpul.
Pemandangan sekitar permukiman juga sarat
oleh aktivitas ekonomi seperti di Kampung Alalak di
mana terdapat pabrik garam dan pabrik penggergajian
kayu, Jilapat di mana terdapat ladang padi, Cerucuk di
mana terdapat sebuah pasar besar pada muara Kuin
dan juga terdapat sebuah pabrik garam, Sungai Tabok di
mana terdapat perkebunan karet dan tempat
pembakaran tembikar, Alu-Alu di mana terdapat banyak
kebun kelapa, Kalayan di mana terdapat ladang padi
dan pabrik penggergajian kayu (Paulus,1917/ 1918: 137;
Wijdenes, 1939: 109).
Jikalau ada pemandangan yang berbeda, itu
akan terasa di permukiman orang Eropa yang ada di
pusat kota. Permukiman ini sangat khusus, terpisah dari
pribumi. Transportasi lokal seperti dokar terbatas oleh
karena di pekarangan rumah tidak tersedia rumput yang

192
menjadi sumber kehidupan bagi kuda (Wijdenes, 1939:
109).

Gambar 4.10 Tipe rumah orang Eropa di Banjarmasin biasa disebut


landhuizen yakni rumah dengan pekarangan luas awal abad ke-20
(Sumber: Koleksi Tropen Museum).
Permukiman terpisah bagi orang-orang Eropa
dengan tipe rumah pasanggrahan (landhuizen) berupa
tempat tinggal dengan teras terbuka yang sejuk sebagai
pengganti pendapa, bilik berukuran luas dan banyak,
lingkungan yang rimbun, serta dikitari oleh kebun yang
luas merupakan fenomena historis yang dibangun oleh
pemerintah kolonial. Permukiman berkelompok dan
khusus di bagian wilayah kota yang dianggap terbaik
serta tempat tinggal menggunakan ciri-ciri dan lambang

193
yang berbeda dari pribumi ditujukan selain untuk
memperlihatkan kekuasaan dan kebesaran juga untuk
menunjukkan jati diri dan kedudukan mereka (Soekiman,
2011: 2; 5-6; 31).
Tampaknya, saudagar-saudagar Cina
Banjarmasin pun selain diarahkan untuk membentuk
permukiman berkelompok dan mengikuti rumah tinggal
Eropa dengan tipe pasanggrahan. Tipe rumah tersebut
hingga kini masih dapat dilihat di Pacinan dan Rantauan
Kuliling Ilir. Pengelompokkan ini sebenarnya juga
merupakan usaha pemerintah untuk mengatur dan
mengawasi pergaulan hidup sesuai tingkat sosialnya
(Soekiman, 2011: 7). Sementara gejala ikut-ikutan salah
satunya untuk memperlihatkan kebesaran dan
kedekatan kelompoknya dengan penguasa. Walaupun
pada kenyataannya kebijakan-kebijakan pemisahan dan
pembedaan tersebut tidak dapat dilakukan secara
mutlak karena kenyataan secara fisik menunjukkan
adanya pertemuan budaya antara kelompok kelas
pertama (Eropa) dan kedua (Timur Asing) dengan
budaya kelompok kelas ketiga (pribumi), khususnya
Banjar yang terwujud dalam gaya dan ornamen
arsitektur rumah tinggal mereka juga adaptasi terhadap

194
iklim tropis dan ketersediaan sumber daya alam di
daerah.
Sebagai kota perdagangan, Banjarmasin adalah
media bagi para pedagang selain untuk melakukan
transaksi dagang juga membuka peluang akan
terjadinya kontak sosial budaya. Kota yang berfungsi
sebagai pintu masuk komoditas dari berbagai negara
sekaligus menjadi gerbang kedatangan berbagai
bangsa.
Perkembangannya, orientasi ekonomi yang kuat
akibat meningkatnya kegiatan perdagangan dan
perindustrian di kalangan penduduk kota telah
memunculkan inisiatif individu untuk mengembangkan
kota secara sektoral. Hal tersebut terlihat dari pola
permukiman yang cenderung terkotak-kotak dan
terpisah antara kelompok etnis satu dan lainnya. Pola
permukiman kota yang demikian cenderung
mencerminkan kerenggangan hubungan antarkelompok.
Orang-orang Eropa tinggal di pusat kota, orang-orang
Cina dan timur asing lainnya tinggal di sekitar area
perdagangan yang berada di ruas jalan utama atau di
kampung-kampung yang telah ditetapkan oleh
pemerintah, elite pribumi cenderung senang untuk

195
tinggal di sepanjang jalan raya dekat area pemerintahan,
dan penduduk pribumi tersebar di perkampungan yang
kebanyakan di luar pusat kota. Kecuali itu, segregasi
etnik dalam permukiman di Kota Banjarmasin secara
tidak langsung sejalan dengan kota bentukan
pemerintah kolonial yang bersifat sektoral.

4.2.2.3 Pembangunan Infrastruktur


Meningkatnya kegiatan masyarakat di berbagai
bidang terutama perdagangan harus ditunjang oleh
fasilitas kota. Selain itu, aktivitas ekonomi pun telah
menjadikan Banjarmasin sebagai kota urban yang
didatangi tidak hanya oleh penduduk lokal dari daerah
pedalaman melainkan pula pendatang domestik dan
mancanegara. Kedua hal itu memunculkan kebutuhan
akan pembangunan infrastruktur yang hingga awal abad
ke-20 telah mewujudkan fasilitas transportasi, fasilitas
perindustrian, perdagangan, dan jasa, fasilitas
pendidikan, fasilitas peribadatan, dan fasilitas hiburan.

4.2.2.3.1 Fasilitas Transportasi


Jalan merupakan infrastruktur yang menjadi
perhatian pemerintah kolonial. Hal tersebut terwujud dari
pembangunan jalan secara pesat. Pembangunan jalan

196
diutamakan di pusat kota terutama area pemerintahan
dan permukiman Eropa.

Gambar 4. 11 Jalan di depan kantor pemerintahan, kini Jl. Jend.


Sudirman (Sumber:Arsip Nasional RI).
Jalan angkutan pertama di Ibukota dibangun
menyerupai bintang ke arah luar Martapura. Selain itu
terlihat pula jalan raya (post weg) lama dari Martapura
menuju Banjarmasin sepanjang 35 km. Kecuali itu, sejak
tahun 1920 jalan penghubung baru dari Banjarmasin ke
Martapura (Paulus-supplement ENI, 1917/ 1918: 1883).
Jalan utama yang kedua dilakukan dari
Martapura ke Banjarmasin sepanjang garis sungai. Jalan
ini semula untuk urusan militer dan kemudian berguna
untuk kendaraan. Setelah meredam perlawanan rakyat

197
Banjar tapi pada awal abad ke-20 berada dalam kondisi
baik.
Pembuatan jalan antara Banjarmasin-Pagattan
sudah mendapat anggarannya (Oetoesan Kalimantan
No. 62, 1935). Berdasarkan rute pembangunan jalan
yang telah diuraikan terlihat bahwa selain sebagai
sarana transportasi publik, jalan raya banyak dibangun
untuk mendukung kegiatan ekonomi. Jalan raya
menghubungkan antara ibukota Martapura dengan
kantong-kantong ekonomi seperti tempat pengolahan
intan dan perkebunan ataupun juga batubara. Kecuali
itu, jalan provinsi menghubungkan daerah-daerah
penggiat ekonomi dengan pusat distribusi di Kalimantan
Selatan dan Timur, yaitu Banjarmasin.
Kecuali itu, pembangunan jalan juga dilakukan
seiring pembukaan hutan baik untuk perkebunan
ataupun perkampungan baru. Jalan darat dari
Banjarmasin ke Kalimantan Timur baik melalui Hulu
Sungai maupun Pleihari sudah lama dirintis adapun
hingga tahun 1935 masih belum selesai karena
pemerintah kekurangan uang. Akan tetapi sejak ada
uang bea karet bertambah perhatian. Bukan jalan itu
yang menjadi perhatian tetapi orang akan berdaya

198
mengadakan jalan ke seluruh bagian afdeeling di
Kalimantan ini.
Kala itu jalan bagi pemerintah adalah jiwa
penghidupan rakyat. Persoalan jalan darat merupakan
hal yang utama di Kalimantan ini. Hal itu sejalan dengan
pernyataan pegawai Departemen Dalam Negeri baik di
Banjarmasin maupun Kutai dengan mengatakan bahwa
jalan darat penting untuk kehidupan rakyat. Dengan
maksud, agar perhubungan jalan darat dapat
meningkatkan pendapatan rakyat yang berhubungan
dengan perdagangan darat sebaliknya hasil kebun juga
ternyata mempercepat pembangunan jalan darat
lainnya. Pembukaan jalan juga berhubungan dengan
pembukaan hutan dan kampung (Oetoesan Kalimantan
No. 64, 6 Juni 1935: 1).
Onderafdeeling Banjarmasin terletak pada
daerah muara Sungai Barito dan Sungai Martapura di
mana keseluruhannya merupakan tanah rawa.
Karenanya jalan-jalan tempat tinggal di Banjarmasin
dibangun di atas panggung (menyerupai jembatan kayu)
karena tanahnya basah.
Kecuali jalan-jalan di ibukota dan perbatasan
kampung-kampung yang sebagian besar dalam kondisi

199
tidak baik, untuk jalan transportasi yang dapat digunakan
menggunakan angkutan gerobak disebut dengan jalan
raya pos (postweg). Banjarmasin berada di sepanjang
Sungai Martapura menuju ke Martapura terus melalui
Rantau, Kandangan, Pantai Hambawang, Amuntai, Klua,
Tanjung, hingga Haruai dan Bongkang berjalan sejauh
260 km. Adapun Barito dan Kapuas Murung terhubung
oleh Aernout Kanal. Kanal yang sekarang diperluas dan
diperdalam, mengalir menuju Kuala Kapuas, dan sangat
penting bagi pelayaran perahu pribumi (Paulus,1917/
1918: 137).
Selain jalan raya, pemerintah kolonial
membangun landasan pesawat dan pelabuhan pada
awal abad ke-20. Landasan untuk kapal terbang Ulin
sepanjang 22 km dibuka pada Februari 1936 (Oetoesan
Kalimantan, 18 Jan 1936: 1).
Sementara Pelabuhan Banjarmasin
kemungkinan telah beroperasi pada abad ke-19 karena
telah tertera pada peta Banjarmasin yang memuat
keadaan tahun 1901 walaupun belum dinamai dan
hanya disebut sebagai boom. Akan tetapi pengukuhan
pengelolaan pelabuhan yang kemudian dikenal dengan
nama Pelabuhan Martapura ini baru dilakukan pada

200
tahun 1925 dengan dikeluarkan besluit Gubernur
Jenderal No. 19 tanggal 25 Nopember 1925 yang
kemudian diperbaiki dengan besluit No. 14 tanggal 17
Oktober 1938 dalam staatblad No. 616/1938. Pelabuhan
ini masih terus aktif walau sempat terhenti karena
pembumihangusan yang dilakukan oleh pemerintah
kolonial pada 8 Februari 1942. Akan tetapi setelah
pembangunan kembali pada masa pendudukan militer
Jepang yang bahkan telah memperpanjang dermaganya
pelabuhan sungai ini terus beroperasi namun mengingat
daya tampung yang tidak memadai seiring kemajuan
transportasi laut maka pada tahun 1965 aktivitas
pelabuhan sungai ini dialihkan ke Pelabuhan Trisakti di
Sungai Barito (http://www.dephub.go.id/files/media/file/
25%20pelabuhan /Banjarmasin).

4.2.2.3.2 Fasilitas Perindustrian, Perdagangan, dan


Jasa
Perkembangan kegiatan industri terwujud dari
berdirinya fasilitas berupa gudang-gudang penyimpanan
dengan jenis utama berupa garam, batu bara, dan
minyak. Peta Banjarmasin menunjukkan bahwa letak
gudang-gudang tersebut berada di tepian Sungai
Martapura dan sebagian besar sebelum pelabuhan

201
karena area tersebut selain memiliki aksesibilitas yang
tinggi juga menyediakan area lebih luas (Algemeen
Verslag, 1867; TDNI, 1916).
Pada 1850 telah didirikan gudang penjualan
garam menggunakan kayu besi, kayu blangiran, dan
kayu jati. Bangunan yang diberitakan memiliki konstruksi
yang buruk ini terdiri atas sebuah kantor untuk kepala
gudang penjualan garam, satu ruangan untuk kepala
gudang umum, dua ruang untuk penerimaan dan
pengeluaran cukai, satu ruang untuk reserse, dan satu
ruang untuk gudang umum. Pada 1864 pemerintah
kembali membangun gudang terbuka untuk penjualan
garam (Algemeen Verslag, 1867).
Gudang berikutnya yang dibangun secara
berturut-turut pada 1850, 1852, dan 1853 adalah lima
buah gudang batubara. Gudang yang dibangun
menggunakan kayu besi dengan tambahan kayu lanan
dan atap rumbia ini terletak di sekitar Kampung
Rantauan Kuliling Ilir persis di seberang pelabuhan
(Algemeen Verslag, 1867; TDNI, 1916).
Gudang lainnya adalah gudang pengolahan kayu
berikut sebuah kantor untuk pegawai Perusahaan Air
Negara (Waterstaat). Gudang yang dibangun pada 1856

202
tersebut berupa bangunan kayu dari kayu besi dengan
tambahan kayu bengkirai dan kayu lanan serta atap
rumbia.
Ada pula gudang-gudang untung menyimpan
perahu. Seperti gudang tempat penyimpanan perahu
yang dibangun pada 1856 menggunakan kayu besi dan
atap kajang. Atau pula gudang tempat reparasi perahu
pengangkut batubara pada 1865.
Sementara gudang-gudang umum seperti untuk
menyimpan persediaan umum dan kantornya dibangun
pada 1860 dan 1861 menggunakan kayu besi dan kayu
lanan serta atap sirap. Ada pula gudang perbekalan
yang dibangun pada 1865 dan 1866. Gudang yang
konstruksinya dianggap baik ini didirikan menggunakan
kayu besi sebagai rangka utama dengan tambahan kayu
blangiran dan kayu lanan serta ubin dari Surabaya.
Gudang lain yang didirikan cukup besar adalah
dua blok gudang pasar yang dibangun pada 1865 dan
1866. Setiap bangunan gudang mencakup panjang 199
kaki dan luas 25 kaki. Gudang yang memiliki kondisi baik
ini didirikan menggunakan kayu besi dengan atap
menggunakan kayu damar putih (Algemeen Verslag,
1867).

203
Adapun perkembangan kegiatan perdagangan
terlihat dari keberadaan fasilitas perdagangan dan jasa
di pusat kota. Pada tahun 1861 telah dilaporkan bahwa
di Ibukota telah berdiri lima buah pasar yang cukup
penting dalam bentuk permanen di darat yang
keberadaannya disokong oleh beberapa pasar di
wilayah onderafdeeling Martapura, Pengaron, Barabai,
dan Amuntai (Algemeene Verslag, 1861). Jika
dibandingkan dengan keterangan yang dimuat dalam
peta Kota Banjarmasin tahun 1955 maka kelima pasar
tersebut adalah Pasar Lama, Pasar Pacinan, Pasar
Sudimampir, Pasar Kain, dan Pasar Lima (Petah Kota-
Besar Bandjarmasin, 1955).

Gambar 4.12 Pasar Lama Banjarmasin pada awal abad ke-20


(Sumber: Arsip Nasional RI; Koleksi Tropen Museum).

Pasar Lama berlokasi di tepi kiri Sungai


Martapura di Kampung Pasar Lama, yakni kampung
yang berbatasan dengan Kampung Bugis dan Kampung

204
Arab. Komoditas yang dijual di pasar ini cukup beragam
namun berdasarkan informasi yang dihimpun baik dari
pedagang maupun warga kampung sekitar Pasar
diketahui bahwa rempah-rempah dan kain merupakan
barang dagang yang paling dikenal dan dijual oleh
orang-orang Tambi dan Arab. Kecuali itu, hasil hutan
sepeti rotan pun diperdagangkan di toko-toko bagian
depan. Selain itu, berdasarkan iklan surat kabar lokal
sekitar tahun 1930 diketahui pula bahwa berbagai
barang mulai dari koran, syair, hikayat, emas, kurma
yang dijual oleh pedagang keturunan Arab bernama
Zainal Abidin bin Mohd. Junus Alhindi hingga koepiah
yang dijual oleh orang Banjar bernama Hadji Dahlan bin
Anang (Oetoesan Kalimantan No.83: 5).
Pasar Pacinan terletak di sebelah kanan Sungai
Martapura. Pasar yang berada di Kampung Cina ini
kurang begitu dikenal. Pasar ini berada di ujung Jalan
Pacinan Laut (Jl. Pierre Tendean sekarang) yang
bertemu dengan Jalan Martapura (kini Jl. Veteran).
Keberadaan pasar ini tampaknya berhubungan dengan
barang yang dibawa oleh para pedagang Cina yang
berlabuh sekaligus bongkar muat di daerah Pacinan
(Petah Kota-Besar Bandjarmasin, 1955;

205
http://subiyakto.wordpress.com/2010/04/30/pelabuhan-
dalam -otoritas-belanda/).
Ketiga pasar yang disebut belakangan
sebenarnya berada dalam satu kompleks perniagaan
yang dilalui oleh Jalan Pasar Baru. Walaupun
berdasarkan peta Kota Banjarmasin tahun 1901 dapat
diketahui bahwa bangunan di kawasan pasar ini telah
berdiri namun nama Pasar Sudimampir-lah yang disebut
untuk menamai zona dagang tersebut pada awal abad
ke-20.

Gambar 4.13 Sebuah jukung melintas di sekitar Pasar Sudimampir


(Wijdenes, 1939: 58).

206
Letak ketiga pasar ini berada di tepian Sungai
Martapura. Lokasi ini memudahkan lalu-lintas barang
dan manusia untuk masuk dan keluar pasar. Posisi
tersebut merupakan lokasi lazim di daerah yang
menjadikan sungai sebagai jalan utama. Kecuali itu,
posisi pasar juga berada di tengah zona perekonomian
kota, yakni di antara pelabuhan dan lembaga ekonomi
dan pemerintahan seperti bank dan kantor pos.
Berdasarkan letaknya tersebut diduga bahwa pendirian
pasar dan pengembangan kawasannya adalah bentukan
pemerintah Belanda. Alasan utamanya adalah
pemenuhan kebutuhan hidup orang-orang Eropa
terutama pegawai pemerintahan dan militer yang tinggal
tidak jauh dari pasar.
Pasar Sudimampir terdiri atas beberapa blok dan
sepertinya mengalami perluasan. Perluasan dari pasar
inilah yang menurut dugaan penulis kemudian
dinamakan Pasar Baru sesuai dengan nama jalan
utama.
Pasar ini menjual berbagai kebutuhan hidup dan
barang rumah tangga baik produksi lokal, Nusantara,
maupun mancanegara. Beberapa iklan di surat kabar

207
lokal menggambarkan bahwa selain komoditas,
pedagang yang berjualan di Pasar ini juga beragam.

Gambar 4.14 Sebuah toko kelontong di Pasar Sudimampir,


Banjarmasin (Sumber: Hebig, 1939: 260).
Beberapa toko yang aktif memromosikan diri di
surat kabar lokal misalnya Toko Borneo Optical Cie yang
merupakan toko kacamata (Orgaan Bond Inlandsche
Ambtenaren, 1930: 4). Juga ada Toko bernama Radja
Katja Mata di Sudimampir yang menjual kacamata impor

208
dari Jerman dengan pemilik toko bernama P.V.M.
Teacher. Ada pula penjual koepiah bernama Hadji
Dahlan bin Anang yang berjualan di Blok Borsumij,
Pasar Baru (Oetoesan Kalimantan No.83: 5). Juga Toko
Bandoeng milik Boesramansoer di Sudimampir menjual
gramofon (Oetoesan Kalimantan No. 61, 1935: 1-2).
Kecuali itu, di Sudimampir juga terdapat pusat penjualan
intan yang dikenal dengan sebutan Pasar Kong10. Intan
yang berasal dari rumah-rumah penggosokan intan di
Martapura ini kecuali langsung di bawa ke Jawa, negeri
di Semenanjung Malaya, ataupun negeri Eropa seperti
Belanda dan Perancis juga banyak dijual di Banjarmasin
(Paulus- supplement ENI, 1917/1918: 1883).
Adapun Pasar Kain yang terletak di sebelah
selatan Pasar Sudimampir menjual kain sebagai barang
dagang utamanya walau pada kenyataannya tidak
hanya menjual produk itu. Sementara Pasar Lima yang
berada di sebelah selatan Pasar Kain dikenal sebagai
pasar sepeda dan menjual besi11.

10
Informasi dari Lim Tjoey Gwat (Tionghoa, 68 tahun).
11
Informasi dari A Song (Tionghoa, 73 tahun), Tiono Husin
(Tionghoa, 67 tahun), dan Abdul Hamid Salim (Keturunan Arab, 68
tahun).

209
Selain kelima pasar tersebut, pada tahun 1930an
hampir di setiap kampung yang berada di Kota
Banjarmasin telah terdapat pasar walau tidak
berlangsung setiap hari. Seperti halnya pasar di
Kampung Kalayan Kecil yang hanya diadakan setiap
Kamis.

Gambar 4.15 Suasana pasar pribumi yang menjual kebutuhan sehari-


hari di Banjarmasin awal abad ke-20 (Sumber: Arsip Nasional RI).
Keadaan pasar di kampung-kampung ini
dikabarkan kotor dan becek terutama saat hujan,
sebagian besar tidak berbangsal. Hal ini dikeluhkan
penduduk karena mereka telah dipungut bea (cukai)
pasar oleh pemerintah. Cukai yang berlaku sejak 1923
ini dikenakan tidak hanya kepada pelaku pasar namun
juga kepada perahu-perahu dagang. Meskipun

210
kondisinya tidak baik namun pembukaan pasar diakui
mengurangi pengangguran rakyat dan pemerintah pun
memberi kelonggaran dengan tidak memungut cukai
pada permulaan pembukaan pasar (Tjanang, 22
Desember 1933; Oetoesan Kalimantan, 1934; 1935).

Gambar 4.16 Angkutan umum di salah satu pasar di Banjarmasin


(Sumber: Wijdenes, 1939).
Peningkatan aktivitas perekonomian masyarakat
memunculkan kebutuhan akan kemudahan mobilitas
masyarakat. Kebutuhan tersebut bersimbiosis dengan
adanya produksi alat-alat transportasi khususnya mobil
yang kemudian menjadi sarana transportasi publik.
Keberadaan angkutan publik berupa mobil mulai terlihat
sejak memasuki dasawasa ketiga abad ke-20 di mana

211
mobil-mobil Chevrolet tampak memadati jalan di Pasar
Lima yang sepertinya menjadi terminalnya (Wijdenes,
1939 cf. Saleh, 1982: 150-151).
Tumbuhnya aktivitas ekspor-impor dan peran
Banjarmasin sebagai kota dagang. Membuat kota ini
kerap disinggahi oleh para pendatang yang tidak
menetap namun harus tinggal dalam waktu tertentu.
Gejala tersebut menyebabkan residen Borneo Selatan
membuat peraturan bagi penduduk Banjarmasin yang
termuat dalam Staatblad 1939 No. 582 untuk dapat
menyediakan penginapan sendiri bagi orang di luar
Keresidenan yang akan diam untuk sementara di
Banjarmasin (Santapan Rakyat, 1949).

Gambar 4.17 Hotel Grevelink tampak sebagai latar; Penginapan


Islam dan area parkirnya (Sumber: Arsip Nasional RI; Koleksi
Tropen Museum).
Peraturan tersebut menunjukkan bahwa
menjelang dasawarsa keempat abad ke-20 kedatangan

212
para pendatang ke Banjarmasin cukup tinggi. Padahal
fasilitas jasa penginapan telah dibangun sejak awal abad
ke-20. Sebut saja Grand Hotel Bandjer yang telah ada di
tahun 1901 lalu Hotel Grevelink yang berdiri di tepi
Sungai Martapura dan Penginapan Islam.

4.2.2.3.3 Fasilitas Pendidikan


Adapun fasilitas pendidikan hingga awal abad ke-
20 setidaknya telah ada tujuh buah sekolah. Sekolah
tertua kemungkinan adalah sekolah partikelir di
Kompleks Misi Basel atau sejak November 1950 dikenal
dengan nama Gereja Kalimantan Evangelis. Sekolah ini
dalam pendiriannya di tahun 1849 mendapatkan
bantuan dari pemerintah (Algemeene Verslag, 1858).
Pada masa awal jumlah siswanya hanya 28 orang dan
pada tahun 1850 jumlahnya bertambah 36 orang.
Pejabat Belanda menyatakan bahwa anak-anak
mengalami kemajuan yang sangat baik dan pengaturan
ini dimaksudkan untuk meningkatkan budaya pemuda
Banjar. Sekolah ini diasuh oleh misionaris evangelis
Branstein (Algemeene Verslag, 1850). Sekolah swasta
dengan subsidi pemerintah ini kemungkinan adalah
Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzer (sekolah
guru) dari Rijnsche Zendelinggenootschap yang disebut

213
dalam Encyclopadie van Nederlandsch Indie
(Paulus,1917/ 1918: 137).
Sementara sekolah khusus untuk anak-anak
Eropa atau Hollandsch School yang berdiri di sekitar
area pemerintahan di sebelah selatan Benteng Tatas
yang diperkirakan berada Jalan Lambung Mangkurat
(Swartplein) di sekitarnya ada gedung-gedung publik
termasuk Societet di ujung (hoek) Jl. Lambung
Mangkurat yang bertemu dengan Jalan Taman (kini Jl.
Merdeka) (Schetskaart van de Hoofdplaats
Bandjermasin en Omliggend Terrein, 1916). Memasuki
abad ke-20 di mana ide etis yang salah satunya adalah
pendidikan sepertinya telah memasuki sendi-sendi
kehidupan masyarakat dan memengaruhi aplikasi
kebijakan warna kulit yang tidak seketat masa
sebelumnya. Karenanya penulis menduga Hollandsch
School kemudian berubah menjadi Hollandsch
Inlandsche School atau Sekolah Pribumi negeri Kelas
Satu (1e klasse Inlandsche School) dimana
keberadaannya disebut dalam Encycopedie van
Nederlandsch Indie (Paulus,1917/ 1918: 137).
Sekolah lain yang sejak awal disebut Hollandsch
Inlandsche School kemungkinan dibangun pada waktu

214
bersamaan dengan Hollandsch School di akhir abad ke-
19. Yakni sekitar tahun 1893 kala pemerintah kolonial
telah membangun struktur pendidikan yang rumit
dengan pendirian beragam jenis sekolah. Hollandsch
Inlandsche School adalah sekolah pribumi kelas satu
bagi anak laki-laki dan perempuan kaum bangsawan
serta anak-anak orang kaya yang namanya tersebut
diubah pada 1914 ketika bahasa Belanda mulai
diperkenalkan sebagai bahasa pengantar (Hellwig. 2007:
30; Gouda. 2007: 141-142). Sekolah ini berada di
Kampung Talawang tepatnya di Kroesenlaan (Jl.
Nagasari atau kini diganti menjadi Jl. H. Djok Mentaya).
Atas dasar tuntutan kepentingan pembangunan
perekonomian negara secara ekstensif, pemerintah
Belanda terpaksa memberikan kesempatan pendidikan
kepada kaum bumiputera. Oleh karena itu, didirikanlah
Sekolah Pribumi negeri Kelas Satu (1e klasse
Inlandsche School) dengan bahasa pengantar
belajarnya adalah bahasa daerah dan lama studi selama
5 tahun. Hingga awal abad ke-20 setidaknya telah
dibangun dua buah Inlandsche School yaitu di Kampung
Kuin dan Kampung Melayu (Schetskaart van de

215
Hoofdplaats Bandjermasin en Omliggend Terrein, 1916;
Paulus,1917/ 1918: 137).

Gambar 4.18 Siswa di HCS Banjarmasin pada awal abad ke-20


(Sumber: Koleksi Tropen Museum).
Untuk memenuhi kebutuhan pendidikan warga di
Kampung Cina tersebut. Pada awal abad ke-20 (sekitar
1901-1916) sebuah Holland Chinesche School (HCS)
yang dikelola oleh pihak gereja Katolik Roma dibangun
di lingkungan Kampung Cina di Jalan Pecinan (kini Jl.
Nasution) (Petah Kota-Besar Bandjarmasin, 1955).
Sekolah ini awalnya memisahkan antara kelas
perempuan dan laki-laki (Paulus,1917/ 1918: 137;
Schetskaart van de Hoofdplaats Bandjermasin en
Omliggend Terrein, 1916). Perkembangan jumlah siswa

216
juga menyebabkan dibentuknya HCS II di Kampung
Pekapuran di tahun 1930an.
Sekolah partikelir lain yang telah ada di tahun
1901 terletak di Kampung Bugis (Schetskaart van de
Hoofdplaats Bandjermasin en Omliggend Terrein, 1916).
Sekolah partikelir ini jika dibandingkan dengan informasi
yang dimuat dalam catatan tambahan Encyclopaedia
van Nederlandsch Indie merupakan sekolah pribumi
(Stibbe et al, 1927: 267). Maka dari dapat disimpulkan
keberadaannya dibangun oleh kalangan pribumi sendiri
berbeda dengan sekolah partikelir sebelumnya yang
dibantu oleh pemerintah.
Sekolah partikelir lain yang belum dimuat dalam
peta tahun 1901/ 1916 yang karenanya dapat
diperkirakan bahwa keberadaannya baru muncul di
tahun-tahun berikutnya adalah sekolah Ma Hua. Sekolah
dengan bahasa Tionghoa sebagai bahasa pengantar ini
terletak di Pacinan. Jika berdasarkan keterangan
informan bahwa terdapat pengajar yang datang dari
Daratan Tiongkok sekitar tahun 1930 sepertinya
pendirian sekolah ini berhubungan dengan gerakan
nasionalisme Cina di mana aktivis-aktivis pergerakannya

217
mulai masuk ke Nusantara pada dasawarsa kedua abad
ke-20.

4.2.2.3.4 Fasilitas Peribadatan


Sejalan dengan motivasi awal kaum kolonial ke
Nusantara yang dipengaruhi oleh semangat 3G (gold/
kekayaan, gospel/ keyakinan, dan glory/ kejayaan),
pemerintah terbuka akan kedatangan misi gospel ke
Banjarmasin. Karenanya bukan hal yang mengherankan
jika di antara bangunan yang didirikan pada masa
kolonial seiring perkembangan Kota adalah gereja,
sedangkan masjid dan klenteng sudah tumbuh lebih
awal.
Pekabaran injil dari Zending Barmen (Rhein
Missionary Genootschaap) pada 26 Juni 1835 adalah
misi pertama yang datang untuk memenuhi kebutuhan
pastoral warga Eropa di Banjarmasin dengan misionaris
evangelis Branstein sebagai utusannya. Sejak itu
masyarakat misionaris ini membuka kantor di
Banjarmasin. Meskipun demikian, kesadaran bahwa
pilihan agama masyarakat Kota adalah menjadi muslim
maka utusan misi berikutnya memfokuskan tujuan ke
masyarakat Dayak di pedalaman yang menganut agama
tradisional. Karenanya penginjil dari Jerman lainnya

218
yang menyusul kemudian, yaitu Becker, Hupperts,
Krusman, dan langsung ditempatkan di pedalaman dan
Johan Becker bahkan melakukan pengalihan bahasa
terhadap Injil menjadi bahasa Ngaju.
Setelah Perang Dunia Pertama RMG diganti oleh
Zending Basel yang membidani lahirnya organisasi
Gereja Dayak Evangelis (GDE) pada 4 April 1935
melalui Sinode Umum. Adanya kesadaran bahwa gereja
bukan hanya untuk orang Dayak tetapi terbuka bagi
semua orang membuatnya berubah nama menjadi
Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) pada November
1950 walau hingga kini tetap dikenal dengan nama
Gereja Dayak yang berlokasi di Heerengracht (Jl. Jawa
dan kini menjadi Jl. Panjaitan) dan berbasis di
Kalimantan Tengah
(http://www.pgi.or.id/index.php?option=com_content&vie
w= article&id=227&Itemid=382).
Adapun gereja lain adalah gereja protestan yang
kini dinamakan GPIB (Gereja Protestan di Indonesia
bagian Barat12) Maranatha. GPIB adalah bagian dari

12
Teologi Gereja ini didasarkan pada ajaran Reformasi dari Yohanes
Calvin, seorang Reformator Prancis (http://www.gpib.org/tentang-
gpib/).

219
GPI (Gereja Protestan Indonesia) yang dulunya
bernama Indische Kerk (gereja pribumi). Meskipun GPIB
diketahui baru didirikan pada 31 Oktober 1948 dengan
nama “De Protestantse Kerk in Westelijk Indonesie”
(http://www.gpib.org/ tentang-gpib/) namun
keberadaannya telah dimuat dalam peta 1901/1916
(Schetskaart van de Hoofdplaats Bandjermasin en
Omliggend Terrein, 1916) sehingga diduga bahwa
sebenarnya gereja ini telah berdiri sejak masa itu.
Gereja lain yang menyusul kemudian adalah
gereja Roma Katolik yang kini bernama Gereja Katedral
Keluarga Kudus. Gereja yang bangunannya merupakan
bangunan gereja batu pertama di Banjarmasin ini
semula adalah losmen. Baru pada 30 Desember 1929
bangunan yang terbuat dari dinding kayu beratap sirap
dibeli oleh misi MSF dan pada 28 Juni 1931 diresmikan
dan diberkati sebagai gereja dengan bentuk
bangunannya sangat sederhana tetapi di atas atap
terdapat menara kecil dengan loncengnya.
Pembangunan gereja dan pastoran dirancang
oleh arsitek bernama Roestenhurg dibantu oleh Bruder
Longinus MSF. Sesuai peraturan Liturgis, pada 19
November 1935, Pastur J. Groen MSF. Meletakkan Salib

220
ditempat mana altar akan dibangun dan keesokan
harinya baru dilaksanakan peletakkan batu pertama oleh
Pastur.

Gambar 4.19 Gereja Protestan dengan kesibukan perahu di mukanya


menunjukkan posisinya di Kerklaan (Jl. Gereja, kini Jl. A.S.
Musyaffa No.2, Kelurahan Antasan Besar). Kemungkinan gambar
tersebut adalah gereja yang kini dinamakan GPIB Maranatha karena
berdasarkan peta Banjarmasin tahun 1955 diketahui bahwa di antara
ketiga gereja yang ada di Banjarmasin hanya gereja inilah yang di
mukanya dialiri kanal; Gereja Roma Katolik di Jl. Resident De Haan
Weg (voorheen Boomstraat atau Jl. Lambung Mangkurat)
merupakan bangunan gereja batu pertama di Banjarmasin (Sumber:
Wijdenes, 1939: 108; Arsip Nasional RI).
Seluruh bangunan termasuk pondasi terbuat dari
beton, juga menara setinggi 17 meter. Hal tersebut
mungkin dilaksanakan oleh perancang agar bangunan
Gereja Katedral tahan sampai hari kiamat.
Pembangunan memakan waktu hanya 5 (lima) bulan
dengan biaya termasuk pengurukan tanah kompleks dan
bangunan sebanyak ƒ 22.000 sementara pengukuran

221
tanah dan bangunan Pastoran telah dikeluarkan
sejumlah ƒ 7.000 (http://fkubkalsel .org/index.php/
tempat-ibadah).

4.2.2.3.5 Fasilitas Kesehatan


Dampak politik etis terhadap kondisi kesehatan
masyarakat ditunjukkan oleh perhatian yang lebih serius
dari pemerintah kolonial Belanda dalam bentuk pendirian
lembaga pelayanan kesehatan. Hingga pertengahan
abad ke-20 diketahui setidaknya telah ada empat rumah

Gambar 4.20 Rumah sakit untuk perempuan dari Misi Basler


(sumber: kitlv-pictura).
sakit atau balai pengobatan di Banjarmasin. Yakni
Rumah Sakit Militer di Militaire Weg (Jl. Militer atau Jl.
Kalimantan dan kini menjadi Jl. S. Parman), Rumah
Sakit Ulin di Jl. Ulin (Jl. Ahmad Yani sekarang)

222
(Telefoongids, Januari 1949), Rumah Sakit Jiwa di Ring
Weg (Jl. Lingkar atau Jl. Lodji dan kini menjadi Jl.
Suprapto. Lokasi bangunan diperkirakan di posisi
Mahligai Pancasila sekarang (Petah Kota-Besar Bandja
rmasin, 1955), dan pelayanan kesehatan yang cukup
lama adalah sebuah rumah sakit untuk perempuan yang
didirikan oleh Misi Basler. Bangunannya hingga kini
masih utuh dan dijadikan rumah dosen dan asrama
mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Banjarmasin di
Heerengracht (Jl. Kanal Tuan-Tuan atau Jl. Jawa dan
kini menjadi Jl. Panjaitan).

4.2.2.3.6 Fasilitas Hiburan


Kehidupan mewah akibat keberhasilan di bidang
ekonomi yang mengacu kepada kehidupan para petinggi
di Batavia memunculkan gaya hidup eksklusif pejabat
pemerintah di daerah. Selain kalangan pemerintah,
kegiatan perdagangan terutama ekspor-impor di
Banjarmasin juga telah menghasilkan kaum niaga baik
Eropa maupun timur asing, khususnya Tionghoa yang
membutuhkan tempat sosialisasi antara mereka di mana
societet sebagai wadahnya. Kalangan lain yang turut
meramaikan societet adalah pembesar pribumi yang

223
keberadaan dan keikutsertaannya merupakan penunjuk
status sosialnya.
Selain sebagai tempat pertemuan dan sosialisasi
di mana pesta-pesta mewah para kalangan elite Belanda
ataupun orang-orang Indonesia kalangan atas yang
dekat dengan Belanda diadakan, societet menjadi
tempat bersantai dan pelesir yang menyuguhkan
berbagai pagelaran kesenian. Setiap minggunya societet
dipenuhi oleh masyarakat elite yang mendengarkan
lagu-lagu dari rombongan musik. Lantai gedung pun siap
untuk gala dansa bagi mereka. Jelaslah bahwa societet
selain digunakan untuk keperluan rekreasi juga
menghasilkan berbagai perkumpulan khusus bagi
kalangan eksklusif sehingga menunjukkan perbedaan
mencolok dengan kelompok-kelompok sosial lain
(Soekiman, 2011: 69; Soemardjan, 2009).
Fasilitas hiburan lain yang menjadi salah satu
bagian dari pertumbuhan kota-kota kolonial adalah
gedung bioskop. Walaupun sebenarnya film yang pada
masa itu disebut gambar idoep telah masuk dan
dinikmati oleh sebagian masyarakat Hindia Belanda
sejak 1900 namun gedungnya mulai dibangun pada
periode 1920-1936 dengan memperhatikan struktur dan

224
unsur-unsur lainnya didukung dengan peralatan yang
lebih memenuhi standar kualitas. Karenanya,
kemungkinan besar bioskop Orion di Banjarmasin pun
berdiri pada fase tersebut.
Kendati gedung bioskop diperuntukan bagi
masyarakat umum namun pemberlakuan stratifikasi
sosial berdasarkan warna kulit tetap dijalankan melalui
aturan pembagian tempat duduk berdasarkan kelas
sosial. Yaitu, kelas 1 untuk warga asli Belanda, kelas 2
untuk warga Timur Asing (Tionghoa, Jepang, India, tidak
termasuk Arab), kelas 3 untuk warga campuran
Indonesia-Belanda, dan kelas 4 bagi pribumi (http://the
sis.binus.ac.id/Asli/Bab4/Bab4__10-117.PDF).

Gambar 4.21 Bioskop Orion; Societet de Kapel tampak mencolok


berwarna putih (Sumber: Koleksi Tropen Museum; Wijdenes, 1939).
Keberadaan sarana kota yang tidak baik
mendapatkan perbaikan dengan dianggarkannya
penggunaan uang bea yang ditetapkan oleh Komisi Kota

225
(Geweestelijke Commissie) bersumber dari pembatasan
karet rakyat. Perbaikan dialokasikan terutama untuk
sarana dan prasarana umum seperti pekerjaan irigasi;
membuat dan memperbaiki jalan dan jembatan;
memperbaiki loods pasar getah; memperbaiki poliklinik;
membikin dan memperbaiki sekolah desa; membuat
sekolah baru di Banjarmasin; dan perbaikan jalan air
ataupun memperbaiki dan memperbarui siring-siring
(Oetoesan Kalimantan No. 53: 4).
Secara umum, ketersediaan berbagai fasilitas
kota tentu saja harus dilihat dari kepentingan dan
kebutuhan pemerintah kolonial. Sebab sarana umum
utama yang terbangun di pusat kota merupakan
pendukung kehidupan masyarakat golongan pertama
yaitu bangsa Eropa baik secara politik, ekonomi, dan
sosial, juga psikologis dan biologis.
Pembangunan fasilitas sosial ekonomi juga
menunjukkan bahwa Banjarmasin berkembang sebagai
kota perdagangan yang dikelola oleh pemerintah
kolonial Belanda. Pasalnya, bentuk dan struktur fisik
Kota Banjarmasin menampakkan tumbuh kembang kota
sebagaimana lazimnya kota-kota kolonial di Hindia
Belanda. Hal itu ditandai oleh keberadaan beberapa

226
daerah peruntukan. Pertama, zona militer. Kedua, zona
pemerintahan. Ketiga, zona perdagangan. Keempat,
zona permukiman. Zona pertama dan kedua
menunjukkan aspek politik sedangkan zona ketiga dan
keempat menunjukkan aspek sosial-budaya.
Kecuali ciri sebagai kota dagang kolonial,
sebagaimana kota-kota lain di pesisir, Banjarmasin
memiliki karakteristik yang kompleks karena mengalami
kontak dengan budaya-budaya asing dibanding dengan
kota-kota yang berada di pedalaman. Hal ini berkaitan
erat dengan aktivitas sosial masyarakat pendukungnya
yang banyak berinteraksi dengan orang asing.
Perpaduan budaya lokal dengan budaya asing terjadi
dalam wujud jenis, bentuk, dan corak bangunan maupun
sarana kehidupan lain. Pertumbuhan kota baru ini
sekaligus telah memindahkan pusat kota lama yang
tumbuh pada abad ke-16 sebagai sebuah bandar
dagang sekaligus ibukota Kesultanan Banjar.
Penumpukan aktivitas di pusat kota sebagai
dampak dari pertumbuhan ekonomi terlihat pada peta
1955. Bangunan berikut menunjukkan berbagai fasilitas
yang mengakomodasi kebutuhan kaum kolonial.

227
Gambar 4.22 Peta Kota Banjarmasin 1955
(Sumber: Perpustakaan Nasional RI).
Keterangan gambar 4.2
1. Kantor residen; 2. Kompleks perkantoran
pemerintah;
3. Kompleks misionaris 4. Gereja Dayak;
Protestan;
5. Rumah Sakit Jiwa; 6. Barak militer;
7. Gereja Protestan; 8. Rumah residen;

228
9. Pasar Lama; 10. Societet;
11. Pekuburan Eropa; 12. Gereja Katolik dan
Gedung Pastoran;
13. Penjara; 14. Kompleks Pelabuhan;
15. Pasar Sudimampir; 16. Pasar Lima;
17. Hotel Banjarmasin; 18. Misi Katolik;
19. Pasar Kain; 20. Kantor Pos.

229
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Penghapusan Kesultanan Banjar membuka penetrasi
ekonomi kolonial di Tanah Banjar. Kendali dan peran
ekonomi bangsawan Banjar dimatikan dan peran regulasi
digantikan oleh pemerintah Hindia Belanda sedangkan peran
ekonominya dibagi bersama antara investor Barat dan Timur
Asing dengan porsi yang lebih besar bagi pihak pertama.
Adapun penduduk pribumi walau ada yang bisa bersaing
menghadapi gempuran perilaku ekonomi pendatang,
sebagian besar tetap menjadi produsen penghasil produk
ekspor dan berada di luar pusaran ekonomi pasar yang
berlangsung di Tanahnya sendiri. Banjarmasinpun semakin
mantap sebagai pusat perdagangan kolonial dengan
kegiatan perdagangan tersier sebagai sandaran kehidupan
ekonomi kota.
Banjarmasin menjadi dan berkembang sebagai kota
perdagangan sekaligus pusat perekonomian Keresidenan
Borneo Selatan disebabkan oleh berbagai faktor. Pertama,
letak geografis yang strategis mempermudah proses

228
distribusi dan lalu-lintas barang dan jasa. Kedua, kegiatan
perdagangan disokong oleh pelaku dagang baik pribumi
maupun asing sehingga mampu menembus daerah
penghasil komoditas di pedalaman dan memasarkannya ke
mancanegara. Ketiga, ketersediaan berbagai macam
komoditas yang dihasilkan oleh daerah hinterland. Keempat,
kebijakan dan fasilitas sosial-ekonomi yang menunjang
kegiatan pelaku ekonomi.
Penetrasi ekonomi kolonial dalam sektor
perdagangan memberi pengaruh terhadap kehidupan sosial-
ekonomi kota (termasuk penduduk didalamnya). Pertama,
proses migrasi (imigrasi yang dilakukan oleh pedagang
asing, transmigrasi yang khususnya dilakukan oleh kaum tani
Jawa dan Madura, serta urbanisasi yang banyak dilakukan
oleh orang Hulu Sungai) telah membuka dan
mengembangkan wilayah permukiman baru, membangun
kesadaran akan komunitas, dan memengaruhi gaya atau
sifat kehidupan kota di mana masyarakat menjadi kenal akan
berbagai jenis barang. Kedua, menjamurnya perwakilan
perusahaan dagang Eropa yang memiliki jejaring
perdagangan, tata kelola profesional, dan dimiliki serta
dijalankan oleh wirausahawan Eropa. Ketiga,
berkembangnya perkebunan agrikultur yang bersifat
komersil. Keempat, berkembangnya praktik peminjaman

229
uang. Kelima, berkembangnya organisasi laba dan nirlaba
yang bergerak di bidang ekonomi.
Pengaruh penetrasi Barat membawa perubahan di
berbagai bidang yang mengarah pada modernisasi di
berbagai bidang kehidupan masyarakat. Namun hal tersebut
cenderung ditujukan untuk kepentingan pemerintah kolonial
Belanda. Terbukti, berbagai berita di surat kabar sezaman
menunjukkan bahwa terbukanya investasi dari luar negeri
(Barat) tidak memberi kesejahteraan rakyat dan tetap tidak
sentausa dengan indikator upah yang rendah dan sewa yang
murah.

5.2 Saran
Perencanaan kota merupakan aktivitas yang akan
berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan masyarakat
seperti sosial, budaya, teknologi, dan ekonomi. Oleh karena
itu perencana harus mempertimbangkan keselasaran
lingkungan dan masyarakat agar tercipta sebuah kota yang
organis antara bangunan dan konstruksi dengan karakteristik
sosial dan geografis dan pertumbuhan yang diinginkan.
Kecuali itu, penelitian ini diharapkan dapat memberi
pemahaman mengenai proses perkembangan Kota
Banjarmasin sehingga perencanaan pembangunan kota
selanjutnya dapat memperhatikan aspek kesejarahan
230
pembentuk kota sehingga kesinambungan sejarah kawasan
kota dapat terjaga. Dengan begitu, Kota Banjarmasin dapat
berkembang sebagai kota yang memiliki karakter dan
kepribadian sendiri serta tidak kehilangan identitasnya.
Proses dan hasil penyusunan tulisan ini setidaknya
diharapkan akan dapat bermanfaat bagi para pembuat
kebijakan dalam perencanaan pembangunan kota.
khususnya, Pemerintah Kota Banjarmasin dan Bappeda Kota
Banjarmasin.

231
DAFTAR SUMBER
Arsip
Algemeen Verslag, 1839; 1840; 1850; 1858; 1860; 1861;
1867; 1880.
Politiek Verslag, 1860.

Arsip Terbitan

Jaarverslag van de Bandjermasinsche Credietbank (13e


Boekjaar), 1927; 1930.
Jaarboek Mijnwezen, 1893.
Statistiek van de Scheepvaart in Nederlandsch Indie 1909-
1939.
Staatsblad, 1838; 1859; 1893;1915; 1918; 1923; 1929; 1940.
Topographische Dienst van Nederlandsch Indie (TDNI),
1916; 1927.
Volkstelling, 1930.

232
Buku
Barlow, Colin dan John Drabble. 1988. “Pemerintah dan
Industri Karet yang Muncul di Indonesia dan Malaysia
1900-1940,” dalam Sejarah Ekonomi Indonesia.
Creutzberg, Pieter dan J. T. M. van Laanen (penyunting).
1987. Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Djajadiningrat, Hoesein. 1995. “Tradisi Lokal dan Studi
Sejarah Indonesia”, dalam Historiografi Indonesia;
Sebuah Pengantar.
Earl, George Windsor. 1837. The Eastern Seas on Voyages
an Adventures in The Indian Archipelago in 1832-33-
34. London: WM. Hallen and Co.
Gottschalk, Louis. 1975. Mengerti Sejarah. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
Gouda, Frances. 2007. Dutch Overseas; Praktik Kolonial di
Hindia Belanda 1900-1942. Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta.
Groneveldt. 2009. Nusantara dalam Catatan Tionghoa.
Jakarta: Komunitas Bambu.
Haryono, Anton. 2009. Awal Mulanya Adalah Muntilan; Misi
Jesuit di Yogyakarta 1914-1940. Yogyakarta:
Yayasan Kanisius.

233
Hellwig, Tineke. 2007. Citra Kaum Perempuan di Hindia
Belanda. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ideham, M. Suriansyah (ed.) et al. 2003. Sejarah Banjar.
Banjarmasin: Badan Penelitian dan Pengembangan
Daerah Prov. Kalsel.
_________________ (ed.) et al. 2005. Urang Banjar dan
Kebudayaannya. Banjarmasin: Badan Penelitian dan
Pengembangan Daerah Prov. Kalsel.
Inas, Nukeri (penyunting). 2005. Sejarah Barito Utara;
Tenggelamnya Kapal Onrust. Barito Utara:
Pemerintah Kabupaten Barito Utara.
Indonesia. Kompartimen Perhubungan dengan Rakyat. 1965.
Surat-Surat Perjanjian antara Kesultanan
Bandjarmasin dengan Pemerintahan-Pemerintahan
VOC, Bataafse Republik, Inggeris, dan Hindia
Belanda 1635-1860. Jakarta: ANRI.
Indonesia. 1984. Sejarah Sosial Daerah Kalimantan Selatan.
Jakarta: Departemen Pendidikan & Kebudayaan,
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
Kartodirdjo, Sartono, Soeri Soeroto, dan Suhardjo
Hatmosuprobo. 1973. Ikhtisar Keadaan Politik Hindia
Belanda Tahun 1839-1848. Jakarta: ANRI.

234
Kosim, E. 1988. Metode Sejarah; Asas dan Proses.
Bandung: Universitas Padjadjaran.
Listiana, Dana. 2006. Perkembangan Pasar Pontianak
Sebagai Pusat Perekonomian Afdeelingshoofdplaats
Pontianak. Jatinangor: Skripsi S1.
____________. 2009. Ibukota Pontianak 1779-1942: Lahir dan
Berkembangnya Sebuah Kota Kolonial. Pontianak:
BPSNT Pontianak.
____________. 2010. Dua Wajah Kota Martapura 1826-1942:
Studi tentang Perubahan Sosial Ekonomi Kota.
Pontianak: BPSNT Pontianak.
Nastiti, Titi Surti. 2003. Pasar di Jawa; Masa Mataram Kuna
Abad VIII-XI Masehi. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Ras, Johannes Jacobus. 1968. Hikajat Bandjar; A Study in
Malay Historiography. The Hague: Martinus Nijhoff.
Paulus, J. 1917/ 1918. Encyclopadie van Nederlandsch
Indie. S’gravenhage: Martinus Nijhoff.
_______. 1917/ 1918. Encyclopadie van Nederlandsch Indie;
Supplement 8. S’gravenhage: Martinus Nijhoff.
Poelinggomang, Edward L. 2002. Makassar Abad Ke-19;
Studi tentang Kebijakan Perdagangan Maritim.
Jakarta: KPG.

235
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto.
2008. Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman
Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Saleh, M. Idwar. 1982. Banjarmasih: Sejarah Singkat
mengenai Bangkit dan Berkembangnya Kota
Banjarmasin serta Wilayah Sekitarnya sampai
dengan Tahun 1950. Banjarbaru: Departemen
Pendidikan Nasional.
Sjamsuddin, Helius. 2001. Pegustian dan Temenggung: Akar
Sosial, Politik,Etnis, dan Dinasti, Perlawanan di
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-
1906. Jakarta: Balai Pustaka.
Soekiman, Djoko. 2011. Kebudayaan Indis; Dari Zaman
Kompeni Sampai Revolusi. Jakarta: Komunitas
Bambu.
Stibbe, C.D.G., C. Spat, dan E.M. Uhlenbeck. 1927.
Encyclopadie van Nederlandsch Indie II.
s’Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Tim Penyusun. 2005. Sejarah Barito Utara; Tenggelamnya
Kapal Onrust. Muara Teweh: Pemkab. Barito Utara.
The Historical Section of The Foreign Office. 1920. Dutch
Borneo. London: H.M. Stationery Office.

236
Van Diessen, J.R.; F.J. Ormeling, et al. 2006. Grote Atlas
van Nederlandsch Oost Indie; Comprehensive Atlas
of the Netherlands East Indies. Nederlandsch:
Begeleidings Commissie Koninklijk Nederlands
Aardrijkskundig Genootschap Royal Dutch
Geographical Society Advisory.
Van Rees, Willem Adriaan. 1865. De Banjarmasinsche Krijg
van 1859-1863.Arnhem: D.A. Thieme.
Veth, P.J. 1869. Aardrijkskundig en Statistisch Woordenboek
van Nederlandsch Indie. Amsterdam: P.N. van
Kamper.
Vleming, J. L. 1926. Het Chineesche Zakenleven in
Nederlandsch-Indië. Weltevreden: Landsdrukkerij.
Wingnjosoebroto, Soetandyo. 2004. Desentralisasi dalam
Tata Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda;
Kebijakan dan Upaya Sepanjang Babak Akhir
Kekuasaan Kolonial di Indonesia 1900-1942).
Malang: Bayumedia Publishing.

Artikel
Alfisyah. Februari-April 2008. “Etika Dagang Urang Banjar”
dalam Jurnal Kebudayaan Kandil, Edisi “Saudagar
Banjar”.

237
Anon. 1838. “Borneo; Eenige Reizen in de Binnenlanden van
dit Eiland door eenen Ambtenaar van het
Gouvernement in het Jaar 1824” dalam Tijdschrijft
voor Neerland’s Indie.
Helbig, Karl. Desember 1939. “Op Landwegen in Acht
Maanden door Borneo” dalam Tropisch Nederland.
Hindarto, Imam. Oktober 2009. “Dikotomi Budaya Sungai
pada Masa Awal Perkembangan Budaya Islam di
DAS Barito,” dalam Nadirira Widya; Buletin Arkeologi.
Kartodirdjo, Sartono. 1968. “Beberapa Fasal dari Historiografi
Indonesia,” dalam Lembaran Sejarah.
Kielstra, E.B. 1917. “Het Sultanaat van Bandjermasin,”
dalam Onze Eeuw.
R., Moh. 22 Februari 1932. “Dari Banjarmasin”, dalam Panji
Pustaka.
Suryawati, Cok. Istri. 2005. “Singaraja Sebagai Kota
Perdagangan pada Belahan Kedua Abad XIX” dalam
Jurnal Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional.
Susilowati, Endang. 2001. “Dari Pelabuhan Martapura ke
Pelabuhan Trisakti: Pelayaran Rakyat di antara Derap
Modernisasi, 1965-1995,” dalam Arung Samudera:
Persembahan Memperingati Sembilan Windu A.B.
Lapian.

238
_____________. 2001. “Peranan Jaringan Sungai Sebagai
Jalur Perdagangan di Kalimantan Selatan Pada
Pertengahan Kedua Abad XIX.”
_____________. 2008. “Modernisasi Pelabuhan Banjarmasin
dan Pengaruhnya Terhadap Aktivitas Pelayaran dan
Perdagangan pada Paroh Kedua Abad XX,” dalam
Jurnal Kebudayaan Kandil; Edisi Saudagar Banjar.
Tundjung. 2007. “Budidaya Karet di Kalimantan Selatan;
Suatu Tinjauan Sejarah tentang Pengembangan
Karet Rakyat,” dalam Jurnal Kebudayaan Kandil;
Edisi Perdagangan di Tanah Banjar.
Utami, C. Santi Muji dan Djoko Suryo. Januari 2000.
“Perdagangan Suatu Bentuk Kehidupan Ekonomi
Kota” dalam Sosiohumanika.
Van der Ven, A. 1860. “Aanteekeningen omtrent Het Rijk
Bandjermasin,” dalam Tijdschrift voor Indische Taal,
Land, en Volkenkunde.
Widodo, Johanes. 2009. “Morfologi dan Arsitektur Kota
Komunitas Diaspora Cina di Indonesia,” dalam Masa
Lalu Masa Kini: Arsitektur di Indonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Wijdenes, M.J.A. Ooostwoud. 1939. “Bandjermasin, Borneo
I-VI, ”dalam Tropisch Nederland.

239
Surat Kabar dan Majalah
Dagblad Expresse, 1935.
Oetoesan Kalimantan, 1935; 1936.
Orgaan Bond Inlandsche Ambtenaren, 1930.
Pandji Pustaka, 1932.
Pelita Ekonomi, 1947.
Santapan Rakyat, 1949.
Telefoongids, 1949.
Tjanang, 1933.

Media Internet
http://subiyakto.wordpress.com/2010/04/30/pelabuhan-
dalam-otoritas-belanda/
http://subiyakto.wordpress.com/2010/04/30/berkah-alam-
borneo/
http://kitlv.pictura
http://en.wikipedia.org/wiki/
http://www.dephub.go.id/files/media/file/25%20pelabuhan/Ba
njarmasin.pdf

240
RIWAYAT HIDUP
Dana Listiana lulus dari Jurusan Ilmu Sejarah Universitas
Padjadjaran tahun 2006 dengan skripsi berjudul
“Perkembangan Pasar Pontianak Sebagai Pusat
Perekonomian di Afdeelinghoofdplaats Pontianak 1918-
1942.” Selama bergabung dengan Balai Pelestarian Sejarah
dan Nilai Tradisional Pontianak, ia mengkhususkan perhatian
pada studi sejarah kota. Kajian kota sebelumnya ditulis pada
tahun 2009 dengan judul “Ibukota Pontianak 1779-1942:
Lahir dan Berkembangnya Sebuah Kota Kolonial.” “Dua
Wajah Kota Martapura: Studi tentang Perubahan Sosial-
Ekonomi Kota” diselesaikannya pada tahun 2010.

Dr. Tundjung hingga kini aktif sebagai dosen Fakultas


Ekonomi di Universitas Lambung Mangkurat. Melalui
disertasi berjudul “Karet dari Hulu Sungai: Budidaya,
Perdagangan, dan Pengaruhnya terhadap Perekonomian di
Kalimantan Selatan 1900-1940,” ia memeroleh gelar doktor
sejarah dari Universitas Indonesia pada tahun 2004.

241

Anda mungkin juga menyukai