Anda di halaman 1dari 232

Sulawesi Bersaksi

DAFTAR ISI

Kata Pengantar - hal. 2


Kata Mereka - hal. 5
Ucapan Terimakasih LKK - hal. 7
Memadu Inspirasi di Palu, Catatan Seorang Pendamping Nurhasanah - hal .8

1. Achmad Bantam Mengungkap Kebenaran, Menjadi Sahabat Korban - hal. 24


2. Andi Sutra Kau Siksa Bapakku Tanpa Nurani - hal. 36
3. Anwar Naba Dasar Anak PKI - hal. 46
4. Hanouk Makatipu Jalan Panjang Menuju Setara - hal. 57
5. Hari Wisastra Menggeliat Menghentikan Keterpurukan - hal. 75
6. Jozef B. Kalengkongan Sejujur-jujurnya - hal. 84
7. Mahardian Memutus Rantai Pengucilan - hal. 114
8. Maryam Labonu Hikayat Cinta Tak Bertepi - hal. 128
9. Muhammad Said Baharudin 32 Tahun Ditahan Orde Baru - hal. 147
10. Naina Kalau Saya Tidak Tabah Mungkin Sudah Gila atau Bunuh Diri - hal. 168
11. Poppy & Marten Piai Pahit Getir Di Bawah ORBA - hal. 182
12. Rafin Pariuwa Kisah Panjang Kerjapaksa - hal. 198
13. Windra Berjuang Melawan Beban Sejarah - hal. 206
14. Yenny Oro Berhasil Menembus Kabut Hitam - hal. 216

Apa & Siapa.: - hal. 234

Alamsyah A. K Lamasitudju.(Penulis)
Anita Taurisia (Pewawancara)
Fredy Sreudeman Wowor (Komentator)
Gagarisman (Penulis)
Ivan R.B.Kaunang (Penulis Kata Pengantar)
Muhammad Abbas (Pewawancara & Penulis)
Netty Kalengkongan (Pewawancara)
Nurhasanah (Pewawancara & Penulis)
Nurlaela AK Lamasituju (Pewawancara & Koordinator)
Putu Oka Sukanta (Editor & Penerbit)
Rusdy Maturah (Komentator)
Salim M. (Perancang Sampul)

1
Sulawesi Bersaksi
Sisi Lain Penulisan Sejarah
Pengantar Buku Sulawesi Bersaksi
Dr. Ivan R.B Kaunang

Buku yang ada di tangan pembaca bagi saya adalah buku menarik, buku yang
langka, dan kelangkaan itu terlihat dari cara pengungkapan, teknik penulisan seadanya,
teknik bercerita dengan metode jurnalisme sastrawi, imajinatif historis, imajinatif
kontekstual kelampauan, lirik yang memikat pembaca untuk sulit meninggalkan barisan
kata, kalimat, alinea bahkan seluruh bab buku ini. Mengapa begitu, karena bagi saya hal
yang sulit ditemukan dalam karya penulisan akademik untuk tema-tema sejarah yang serius
dengan sistematika ketat sesuai tuntutan penulisan karya akademik. Namun begitu, bagi
saya karya ini bukan tidak termasuk akademik, justru karya ini memberi masukan yang
amat luas, bagaimana kebebasan menulis sejarah yang tidak dibatasi oleh sekat sistematika
panduan penulisan di perguruan tinggi. Karya ini mengisi banyak kekosongan baik data
dan konteks historis yang terabaikan. Karya ini banyak mengungkap berbagai hal yang
selama ini kurang diungkap, takut diungkap atau segan untuk diungkap. Ketakutan itu
kaitan dengan regim atau kuasa politik yang mengiringi proses penulisan sejarah di tanah
air ini. Banyak buku tentang Gerakan 30 September/PKI tetapi bagian yang ditulis adalah
bagian yang umum tentang sebab terjadinya, proses sejarah, dan akibat yang
ditimbulkannya bagi perkembangan kelanjutan (nasionalisme) bangsa ini. Belum banyak
secara terbuka mengungkap seperti dalam buku ini.
Buku selalu hadir dalam setiap peradaban manusia, takkan pernah berhenti dibuat
dan dihentikan oleh apapun, oleh waktu sekalipun. Buku dapat sampai ke tangan pembaca
bukanlah hal yang mudah. Prosesnya (bisa) sangat panjang dan penulis biasanya hanya
menikmati pujian dan citra diri selain kebanggaan dan kepuasan bahwa (dia) penulis sudah
mampu memberi diri, ikut ambil bagian dalam sejarah zaman melalui penulisan buku. Buku
dapat sampai ke tangan pembaca oleh karena proses jasa yang panjang, dimulai dari
percetakan, selanjutnya penerbit, distributor, dan toko buku. Penulis biasanya, hanya dapat
dari sisa hasil bagi usaha sekian prosen (%) dari total pembiayaan dan penjualan.
Kebanggaan penulis bukanlah pada nilai uang, kebanggan penulis berada di tangan
pembaca ketika buku dibaca dan dinikmati, apalagi mau dibedah. Tak banyak penulis
seperti penulis buku ini.
Bagi saya, buku ini dapat dikategorikan sebagai buku sejarah, bukan karena yang
diungkapkan tentang suatu masa politik periode tahun 1965 dalam sejarah Indonesia, tetapi

2
Sulawesi Bersaksi
lebih dari itu, isi cerita sekali lagi memberikan imajinatif historis untuk peneliti sejarah
politik, bahkan sejarah dengan pendekatan sosiologi, sejarah kemanusiaan, hukum dan hak
asasi manusia, bahkan sejarah pemikiran, mentalitas bangsa dengan bertumpu pada kondisi
bangsa Indonesia di masa krisis politik dan kemanusiaan di masa itu. Disebut krisis politik
karena serba berubahnya tatanan (penilaian) politik sesuai dengan keinginan penguasa dan
memarginalkan aspek-aspek kemanusiaan yang lain yang dikuasai tanpa proses rasionalitas
yang jelas, pertimbangan politik tetapi kepada kuasa dan wibawa, individu, kelompok,
kerakusan untuk menguasai yang lain dengan cara apapun, bahkan sering dan banyak
terjadi tanpa sebab. Sebagai buku sejarah, karya ini memberikan sisi lain dalam
pengungkapan dengan gaya bercerita, bernarasi seperti jurnalisme sastrawi. Advokasi
pengungkapan dengan kekuatan imajinasi sastra (novel sejarah), kekuatan sejarah terletak
pada penggunaan kata, data dan fakta yang dirangkai dalam sejarah.
Sejarah demikian nama suatu disiplin yang telah berkembang sejak lama di
Indonesia, mulai eksis di Indonesia sejak tahun 1967, yang dalam proses pencarian identitas
tulis telah menempati posisi yang diperhitungkan dalam berbagai disiplin. Sejarah memiliki
tugas membongkar, mengumpulkan, menemukan, mendapatkan sumber-sumber sejarah,
baik lisan maupun tulisan (arsip, dokumen, naskah ketikan, wawancara). Membicarakan
sejarah membicarakan kebenaran, karena memang sejarah adalah ilmu yang mempelajari
masa lampau, kini, dan masa akan datang. Sejarah adalah ilmu mengungkap kebenaran,
sejarah berusaha dengan metodologinya merekonstruksi masa lampau, sejarah menjemput
masa lampau untuk disajikan pada kekinian (pembaca). Kaitan dengan buku yang terbit ini,
masa lampau dari sisi lain yang ditinggal dalam penulisan sejarah di Indonesia dijemput lagi
untuk disajikan. Sumber-sumber sejarah yang dijemput, walau dengan metode wawancara
yang dikategorikan sebagai sejarah lisan tetapi banyak hal informasi, fenomena, data, dan
fakta yang mampu berbicara dan melengkapi kekurangan-kekurangan penulisan sejarah
selama ini. Ada hal yang sudah pernah terungkap, tetapi ada pula informasi baru, ada hal
yang belum diketahui masyarakat umum, sekaranglah informasi ini hadir dan terbuka
untuk diinterpretasi.
Periode 1965 dalam sejarah Indonesia sering terlupakan untuk dibahas dalam buku
sejarah. Walaupun begitu ada fakta, bahwa kisah dan peristiwa di periode itu benar-benar
terjadi mewarnai kehidupan bangsa ini, langsung ataupun tidak langsung banyak
melibatkan kalangan tokoh militer di daerah dan nasional, tetapi juga peran tokoh-tokoh
muda atau generasi muda yang memiliki idealisme membangun bangsa dengan caranya
dalam kondisi waktu itu. Pada sisi lain, membicarakan periode 1965 di kalangan generasi

3
Sulawesi Bersaksi
muda sering hanya menjadi mitos, mungkin karena tidak merasakan pergolakan itu, atau
tidak banyak tahu dan memahami sejarah politik Indonesia, termasuk berbagai peristiwa
sejarah politik di daerah Sulawesi, atau mungkin sebab lain, bisa saja tidak tertarik dan tidak
mau tahu, itu kan persoalan masa lampau, itu persoalan Oma dan Opa kita, dan lebih
memilih sikap tidak peduli (apatis). Sangat disayangkan memang, periode ini sering
terlupakan dalam banyak buku-buku pelajaran sejarah yang tidak mencantumkannya. Tidak
salah memang, mungkin karena beda generasi dan beda sudut pandang serta tantangan
zaman yang serba berubah, atau mungkin juga karena data sejarah yang sulit diakses, dan
peka untuk diceritakan. Ini zamannya membangun, berkreasi dan mengisi kemerdekaan.
Paling tidak, buku ini memberikan wawasan baru walaupun gaya penceritaan
dengan jurnalisme sastrawi, di satu sisi memberi tanda tanya bagi sejarawan yang skeptis
dengan metode sejarah lisan. Namun begitu, jika sejenak sejarawan mengesampingkan
skeptisismenya dan dengan rasionalitas melihat isi, maka akan semakin terbuka rentang
sejarah yang terlewati dalam banyak buku sejarah selama ini. Terdapat banyak lobang-
lobang hitam dalam sejarah Indonesia yang belum terisi, dan buku ini hadir untuk
mengisinya. Kehadiran buku ini dalam peta penulisan sejarah politik Indonesia semakin
melengkapi dan menyempurnakan sejarah Indonesia dari sisi lain. Dalam bagian-bagian
tertentu, bagaimana aspek kemanusiaan pada bangsa ini di suatu fase tidak mencerminkan
bangsa yang religius, berkemanusiaan yang adil dan beradab. Tanpa proses pengadilan
hukum, siapapun itu terkait ataupun tidak, bahkan hanya tercium baunya, sudah divonis
sebagai antek-antek PKI. Suara mereka dipendam sekian tahun, dan ruginya bagi anak
keturunannya menderita mental yang berkepanjangan. Tidak ada yang benar, yang ada
dalam kondisi itu anda bersalah karena berada di tempat yang salah, di tempat yang tidak
sesuai dengan keinginan penguasa. Ada yang pasrah tetapi ada pula optimis, bahwa ini
adalah kehidupan yang harus dilewati, dan sebagian mempertanyakan dimanakah posisi
Tuhan, terutama kepada mereka yang merasa tidak melakukan kesalahan. Dalam proses
sejarah ini, ada yang kemudian mati dibunuh atau karena sakit, atau karena sebab lainnya,
tetapi ada pula yang sampai hari ini tetap eksis di usia senja dengan berbagai pendapat dan
kesaksian seperti yang ada dalam buku ini.
Saya sangat tersentuh ketika membaca buku ini, imajinasi sejarah saya mulai muncul
lagi untuk berkaca dalam penulisan sejenis. Sejarah biasanya ditulis karena seorang tokoh,
sedikit yang menulis untuk mereka yang tertindas, dilindas oleh kekuasaan, dan tidak
mampu melawan lagi termasuk bersuara. Buku ini hadir mewakili suara-suara yang
terpendam di Sulawesi sebagai bagian dari memori kolektif pada bangsa ini yang belum

4
Sulawesi Bersaksi
banyak diungkap. Sejarah ibarat potret, ibarat foto, dan kisah sejarah ini seperti foto lama
yang discanning kembali dan sudah tentu tak bisa kembali lagi sesuai keinginan, tetapi
paling tidak suara-suara mereka yang terbalut politik boleh dihadirkan lagi untuk mengisi
kegairahan anak bangsa yang termarginal, ingin berontak, tersisi tapi ingin (dan mau)
membangun bangsa ini sebagaimana anak bangsa lainnya, karena bagi mereka, sejelek
apapun negara ini dengan apa yang telah mereka alami, mereka tetap mengatakan ini
adalah negara(ku), negara mereka juga yang harus dibangun, dan tidak untuk diri sendiri
tetapi untuk anak cucu mereka juga.

Selamat membaca.

Manado, Juli 2013


di Minggu terakhir puasa Ramadhon

Kata Mereka:

Fredy Sreudeman Wowor (SASTRAWAN DARI MINAHASA. DOSEN FAKULTAS SASTRA UNSRAT
MANADO. AKTIF DII MAWALE MOVEMENT SUATU GERAKAN TERKAIT BUDAYA) :
Kisah para korban kekerasan di tahun 1965 ini adalah kesaksian hidup dari orang-
orang yang dipenjara tanpa tahu apa kesalahan mereka. Tapi tragedi terbesar dari kenyataan
ini tidak berakhir dengan keluarnya mereka dari penjara. Tragedi itu justru dimulai ketika
mereka melintas ke luar tembok penjara karena dinding penjara itu kini meluas
mengerangkeng ingatan orang-orang yang melihat mereka melangkah melintasi ambang
pintu penjara. Penjara itu kini bernama ketidakperdulian. Arti terpenting dari kehadiran
kisah para korban ketidakadilan dan ketidaperdulian ini adalah kisah ini memberi kita
ingatan dan pegangan untuk berani menyaksikan kenyataan historis ini bukan hanya pada
generasi terkini tapi pada generasi akan datang, agar tragedi ini tidak berulang kembali

Dra. Hj. Ince Mawar Abdullah (MAJELIS WARGA KKPK SULAWESI TENGAH DAN KETUA DEWAN
KESENIAN SULAWESI TENGAH) :
Dulu setiap ada sesuatu yang membutuhkan tanda tangan, saya selalu curiga dan
ketakutan, jangan sampai ada urusan dengan PKI. Kini setelah mendengar suara-suara
korban dari Palu, Manado, Kendari, Buton, Makassar, juga setelah membaca kisah korban
lainnya [Memecah Pembisuan] dari luar Sulawesi, saya justru terpanggil untuk mengajak

5
Sulawesi Bersaksi
kita semua melihat lebih dekat keadaan mereka. Sungguh sangat tidak adil, karena alasan
politik di masa lalu, kita membiarkan para korban menderita sampai hari ini, bahkan sampai
ke anak cucu mereka. Buku Sulawesi Bersaksi ini, hanya sebagian dari kisah sanak
saudara kita di Sulawesi yang menjadi korban. Mendengar suara mereka merupakan
langkah maju membuka lembar kebenaran. Saya salut dengan semangat genarasi muda
Sulawesi yang telah menuliskan cerita korban dalam buku ini. Upaya mereka sejalan dengan
semangat kampanye Tahun Kebenaran yang digagas oleh KKPK (Koalisi Keadilan dan
Pengungkapan Kebenaran). Kebenaran ini demi masa depan Bangsa kita.

H. Rusdy Mastura (WALIKOTA PALU, SULAWESI TENGAH) :

Bagi saya tidak ada persoalan, terlepas suka atau tidak suka, mau atau tidak mau,
penulisan menyangkut permasalahan tentang masa lalu [tragedy 1965/66] sangat penting.
Ini untuk lebih memperkaya kita punya daya berpikir dalam sikap dan dalam melihat suatu
permasalahan. Sehingga diri kita sendiri yang dapat memilah mana yang benar mana yang
salah. Tulisan selalu akan memperkuat kita untuk lebih terbuka dan lebih transparan dalam
melihat permasalahan itu. Saya kagum dengan buku Sulawesi Bersaksi ini. Walaupun kita
orang yang keras, tapi kita lebih terbuka, sehingga kita mau saling memaafkan.

Nasir, MAHASISWA UNIVERSITAS BUNG KARNO (UBK) JAKARTA ASAL PARIGI MOUTONG
(PARIMO) SULTENG, DIREKTUR UMUM LEMBAGA PERS MAHASISWA (LPM) MARHAEN
UBK, PENGURUS EKSEKUTIF NASIONAL LIGA MAHASISWA NASIONAL UNTUK DEMOKRASI
(LMND) :

Gerakan 30 September 1965 (G30S), nampaknya bukanlah suatu hal yang asing lagi
bagi generasi muda di era saat ini, namun apakah sejarah yang diajarkan kepada generasi
muda, yang mereka pelajari di bangku Sekolah Dasar (SD) bahkan sampai Sekolah
Menengah Atas (SMA) itu benar atau sejarah yang benar-benar terjadi? Saya adalah salah
satu anak muda yang menjadi korban dari pelajaran sejarah itu, saat ini saya sadar bahwa
sejarah yang saya pelajari beserta film (Pengkhianatan G30S-PKI) wajib yang dipertontonkan
kepada kami waktu itu adalah sejarah yang keliru. Karena sejarah itu adalah rekayasa dan
propaganda belaka untuk mewakili kepentingan rezim yang berkuasa (Orde Baru).
Peristiwa yang terjadi di Sulawesi adalah salah satu representasi sejarah kelam 1965, banyak
di antara mereka yang tak bersalah ditangkap disiksa, dirampas hak kemerdekaan individu

6
Sulawesi Bersaksi
maupun keluarganya, tak hanya siksaan fisik yang mereka dapatkan tapi siksaan bathin
yang tak berkesudaan sampai saat ini, ironisnya di antara korban-korban itu tak ada
dendam sedikitpun. Sebuah kesukuran dan apresiasi bagi kawan-kawan yang sudah
menginisiatifi terbitnya buku Sulawesi Bersaksi terutama kepada Putu Oka Sukanta, yang
sudah bersedia dan pantang menyerah memperjuangkan HAM khususnya tragedi HAM
1965. Buku ini patut di baca oleh generasi muda khususnya generasi muda Sulawesi, agar
tahu sejarah yang sebenarnya dan agar kekerasan yang dilakukan oleh Negara terhadap
Rakyatnya tahun 1965 tidak terulang lagi di masa ini. Saya sedikit mengutip apa yang
dikatakan Bung Karno Jangan Sekali-kali melupakan sejarah. Marilah generasi muda kita
sama-sama belajar sejarah yang sebenarnya dan ikut berjuang bersama mereka yang menjadi
korban, karena kalau bukan kita siapa lagi dan kalau bukan sekarang kapan lagi.

Ucapan Terimakasih
Program Merangkum Tutur untuk Memahami Sejarah, yang diemban oleh Lembaga
Kreatifitas Kemanusiaan (LKK) sejak berdirinya di tahun 2005, telah menghasilkan 6 episode
film dokumeneter Dampak Sosial Tragedi Kemanusiaan 1965-66. Film-film tersebut sudah
ditonton oleh banyak orang di dalam maupun di luar negeri. LKK juga sudah menghasilkan
terbitan 3 buah buku kumpulan cerita pendek beberapa pengarang (Titian, cerita pendek
kerakyatan; Lobakan,kesenyapan gemuruh Bali 65, cerita pendek tentang pembunuhan di
Bali tahun 1965-66; serta TakKan Melupakanmu.). Juga sudah menerbitkan sebuah buku
kumpulan dokumenter kesaksian para eks Tapol ORBA yang disajikan dalam bentuk
feature berjudul Memecah Pembisuan, tuturan penyintas tragedi 65-66. Buku ini telah
menarik banyak perhatian masyarakat dan akan diterbitkan dalam bahasa Inggris di
Australia. Memecah Pembisuan pernah disiarkan berturut-turut dalam bentuk digital di
dunia maya.
Semua langkah dan hasil yang sudah dicapai adalah berkat adanya kebersamaan
dalam memandang dan mensikapi perjalanan bangsa Indonesia, di antara beberapa
seniman, akademisi, aktivis kemanusiaan, Eks TAPOL-ORBA dan para dermawan.
Kali ini LKK mondok di Sulawesi, bekerjasama dengan nara sumber, penggiat HAM,
sebagai lembaga maupun perseorangan untuk menerbitkan sebuah kumpulan kesaksian
penyintas tragedi 1965-66, di Sulawesi. Karena keterbatasan energi maka dalam buku
Sulawesi Bersaksi ini hanya mampu mengedepankan beberapa kesaksian eks TAPOL-
ORBA saja, yang berasal dari nara sumber di Palu, Manado, Bau-bau, Wajo, Kendari, dan

7
Sulawesi Bersaksi
Makassar. Masih banyak nara sumber di bagian lain Sulawesi yang belum terwakili.

Untuk keterbatasan tersebut LKK mohon maaf sebesar-besarnya.


LKK bergandengan tangan memulai proses penerbitan buku ini dengan Komnas
Perempuan, AJAR Jakarta, KontraS, SKP HAM Palu dan TAPOL London. Kami
menyampaikan banyak terimakasih kepada semua sahabat yang sudah bekerjakeras untuk
terbitnya buku ini, yang namanya dapat dijumpai di setiap bagian buku ini, baik sebagai
nara sumber, pendukung dana, pemberi fasilitas, pewawancara, penulis feature, penulis
komentar, penulis Kata Pengantar, perancang sampul, penyemangat maupun
pencetakannya.
Khusus kepada penulis feature, saya ucapkan banyak terimakasih atas kepercayaan yang
diberikan untuk membongkar pasang: titik, koma, awalan, akhiran dan bangunan kalimat
tulisannya tanpa mengurangi sedikitpun makna yang dikandungnya.
Sampai saat sekarang LKK belum meminta dan mendapat dukungan dari pemerintah,
petinggi negara, partai politik, dan orang kaya, untuk merealisasi programnya. LKK
percaya, siapapun yang merasa tidak ikut menistakan rakyat, akan tergerak hatinya untuk
bergabung dengan LKK dalam melanjutkan pekerjaannya. Mari terus melangkah.
Salam hangat,

Putu Oka Sukanta


poskanta@indosat.net.id

MEMADU INSPIRASI DI PALU

(Catatan Nurhasanah, seorang pendamping)

Nurhasanah, lahir di Jakarta, tahun 1975, sekarang aktif di Gerakan Rakyat Peduli (GRP)
HAM, Yayasan Dian Rakyat Indonesia (YDRI), freelance Project BASICS-CIDA Canada,
additional admin SIPS-CIDA Canada sekarang tinggal di Manado, Sulut. email :
nur_agro@yahoo.com

8
Sulawesi Bersaksi
Dalam kebingungan, akhirnya menemukan jalan.

Setujukah teman-teman, dengan pernyataan:

Sejarah, sepahit apapun itu harus diungkapkan.


Diturunkan dari generasi ke generasi tanpa dikurang juga ditambah, tidak demi kepentingan apapun tapi untuk
sebuah pembelajaran, bahwa pasti akan ada yang dipetik dari sebuah peristiwa.

Bagaimana kami, generasi muda, bisa menjelaskan kepada dunia luar tentang suatu peristiwa yang
terjadi pada bangsa kami sendiri dengan versi yang berbeda-beda. Hanya karena kami mendapat
cerita dari kakek kami masing-masing yang kebetulan berada pada pihak yang berseberangan.

Lalu bagaimana dengan nasib saya dan teman-teman lain yang bukan berasal dari keluarga pejuang?
Kasihan?!

Kakek kami orang biasa, yang tidak punya keberanian menyatakan pendapat. Akibatnya kami tidak
pernah didongengkan tentang peristiwa-peristwa sejarah yang mereka alami. Jangan salahkan kami
jika kami tidak peduli akan suatu peristiwa penting dalam sejarah bangsa atau bahkan tidak tahu.
Karena yang berkepentingan dalam hal ini, pemerintah sendiri, tidak yakin akan sejarah yang terjadi
pada masa lalu, seperti peristiwa Gerakan Tiga puluh September 1965 (G/30.S. tahun 1965.), dengan
tuduhan PKI sebagai dalangnya.

Banyak hari besar nasional bangsa Indonesia yang setiap tahun kita peringati, yang paling besar dan
meriah adalah hari Kemerdekaan. Saya mau mempertanyakan kepada generasi yang lebih muda:
tanggal berapa? Ayo, kalau tidak tahu jangan jadi orang Indonesia. Mereka menjawab benar . ya
benar 17 Agustus. Bukan 4 Juli ya.

Ada hari Sumpah Pemuda, tanggal 28 Oktober. Kenapa disebut Sumpah Pemuda? Tanya sama
guru sejarah pasti dijawab dengan antusias ataupun baca di buku sejarah pasti ada.

Hari Pahlawan, 10 November ini juga bisa dicari di buku sejarah dari tingkat SD sampai SMA

1 Oktober, hari apa ya..?!!!

Iseng saya tanya keponakan, yang duduk di bangku SMP kelas 2. Put, 1 Oktober diperingati sebagai
hari apa ya..?

Dengan ringan dia menjawab,Ngga tahu

Kalau hari KESAKTIAN PANCASILA tanggal berapa? saya tanya lagi

9
Sulawesi Bersaksi
Ngga tahu.. sambil tersenyum

Put, 1 Oktober itu hari Kesaktian Pancasila..

Oohh cukup hanya sampai disitu jawabnya.

Apalagi kalau saya tanya Kenapa dibilang hari kesaktian pancasila ?, pasti tambah bingung dia.

Tapi itu sangat saya maklumi, dia bersekolah baru di SMP. Tetapi seorang teman dari Kendari
Sulawesi Tenggara menemukan kasus kalau mahasiswa di semester dua tidak tahu tentang peristiwa
65. Saya kira keadaan seperti itu tidak hanya terjadi di Kendari, itu bisa terjadi di semua daerah.

Coba cari di buku sejarah SD sampai SMA cetakan 5 tahun terakhir. Kalian tidak akan mendapatkan
keterangan yang jelas tentang hari bersejarah itu. Kejadian apa yang melatarbelakangi sehingga
Pancasila dikatakan sakti.

Lalu saya buka buku PKn (Pendidikan Kewarganegaraan) kelas 2 SMP, karena memang
tidak ada mata pelajaran khusus tentang sejarah.

Saya menemukannya dengan sub judul Arti Penting Sikap Positif Terhadap Pancasila
dalam Kehidupan.

Pengantarnya seperti ini:

Penting untuk kita mengembangkan sikap positif terhadap Pancasila dalam kehiudpan sehari-
hari.Upaya menggantikan ideologi Pancasila ditandai dengan berbagai pemberontakan dan gerakan-
gerakan sosial lainnya.

Pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia)

PKI adalah partai politik yang berusaha menggantikan ideologi pancasila dengan komunisme.
Pemberontakan PKI dilakukan dua kali dalam sejarah Indonesia merdeka. Pertama dilakukan tahun
1948 yang terjadi di Madiun dan kedua pada tahun 1965. Yang dikenal dengan G-30-S/PKI. Kedua
pemberontakan tersebut dapat diatasi oleh pemerintah. Akan tetapi G-30-S/PKI merupakan peristiwa
yang tragis dalam sejarah Indonesia karena menimbulkan korban yang sangat besar dan menyebabkan
terjadinya perubahan politik Indonesia dari Orde Lama ke Orde Baru.

10
Sulawesi Bersaksi
Tidak sedikitpun membicarakan tentang hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober, tapi anehnya
ada gambar monumen Pancasila Sakti sebagai simbol dari Kesaktian Pancasila pada
halaman itu.

Tapi coba pertanyaan itu kita lontarkan pada saat Orde Baru masih berkuasa, akan terjawab
dengan jelas apa dan mengapa bisa lahir hari Kesaktian Pancasila. Lengkap dengan buku
dan film rekaan yang menggambarkan peristiwa pada saat itu. Film tersebut ditayangkan
setiap malam tgl 30 September. Film wajib ditonton oleh seluruh masyarakat. Lalu kenapa
pemerintah sekarang menjadi gamang untuk melanjutkan cerita versi orde baru, kalau
memang itu benar-benar terjadi dan bukti sejarah mendukungnya.

Tetapi kalau memang ada versi lain dan perlu diluruskan, kenapa tidak segera dilakukan.
Bukan dengan cara pura-pura lupa dan berharap rakyatnya juga lupa seperti sekarang ini.

Bahkan pelajaran sejarah tidak lagi penting untuk dipelajari. Kalah penting dengan pelajaran
Matematika dan Bahasa Inggris.

Berbekal dari pengalaman iseng saya yang bertanya kepada keponakan terkait pelajaran
sejarah, saya pun tergelitik untuk berdiskusi dengan 3 orang teman yang generasinya
berbeda. Mereka adalah mahasiswa, dan penggiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Saya mencari tahu pandangan mereka tentang sejarah.

Apakah perlu belajar sejarah.?

Semuanya menjawab perlu, karena masa sekarang tidak terlepas dari perjuangan masa lalu.
Atau dari sejarah kita bisa tahu mana yang bisa dicontoh dan harus dipelajari untuk
mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Bisa bercermin dari sikap para pahlawan yang
rela berkorban nyawa demi kemerdekaan.

Hanya saja faktanya tidak mendukung, karena umumnya mereka tidak tertarik untuk
mempelajari sejarah. Anehnya, alasannya hampir sama, sejarah adalah pelajaran yang
membosankan dan tidak menarik. Saya juga demikian.

Tahu tidak tahun 1965 ada peristiwa apa?

Jawabannya berbeda-beda. Dua orang mengatakan tidak tahu, satu orang lagi bilang
Permesta, Linggarjati

11
Sulawesi Bersaksi
Tanggal 1 Oktober, diperingati sebagai hari apa? (pertanyaan yang sama, yang saya ajukan
kepada keponakan saya yang baru kelas 2 SMP)

Hari pahlawan.

Hari pendidikan

Hari Sumpah Pemuda.

Ternyata Pancasila tidak sakti di mata mereka.

Ada juga sih teman yang tahu tentang peristiwa tahun 65. Awalnya dia juga tidak tahu
sebelum bertemu langsung dengan para saksi sejarah di tahun itu. Tapi belum banyak
membawa virus ke teman-teman lain.

Sampai di sini saya menjadi semakin limbung.

DARI SULAWESI UTARA BERLABUH DI PALU

Pengalaman ini saya tulis untuk teman-teman yang mau peduli dengan sejarah masa lalu, khususnya
buat teman-teman diskusi di komunitas.

Tanggal 6-10 November 2012, saya berkesempatan mendampingi Opa-Oma dari Sulawesi
Utara ke Palu Sulawesi Tengah untuk mengikuti kegiatan TEMU KORBAN/PENYINTAS
TRAGEDI 65/66 REGION SULAWESI. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Solidaritas
Korban Pelanggaran HAM (SKP-HAM) Palu Sulawesi Tengah, Kontras Jakarta, Lembaga
Kreatifitas Kemanusiaan (LKK) Jakarta, Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran
(KKPK) Jakarta.

Menempuh perjalanan darat selama kurang lebih 30 jam tidak mengurangi semangat mereka
untuk bertemu teman senasib dan seperjuangan. Rombongan kami berjumlah delapan
orang, yang tertua dan yang paling semangat namanya Opa Pioh, usianya 84 tahun.

Selama perjalanan beliau selalu menyanyikan lagu-lagu doa, lagu-lagu nasional dan
bergurau bersama Opa-Oma yang lain. Tidak terlihat sedikitpun rasa lelah, meskipun
perjalanan kami sesungguhnya tidak nyaman sama sekali, karena kami harus berdesakan
dalam mobil. Sementara saya yang muda, tidak setangguh beliau-beliau.

12
Sulawesi Bersaksi
Apa itu Tragedi 65/66?

Peristiwanya sudah 47 tahun yang lalu, banyak orang yang sudah lupa atau berusaha untuk
lupa demi harapan bisa menjalani hidup yang lebih baik ke depan. Tapi tidak buat mereka
yang memiliki jiwa pejuang, buat mereka ini adalah perjuangan sampai mati selagi tuntutan
mereka belum terpenuhi. Perjuangan ini menjadi sedikit berat ketika ditentang atau tidak
didukung oleh keluarga seperti anak dan cucu, karena pertimbangan status atau kondisi
perekonomian yang sudah mulai membaik.

Tahukah kalian apa yang mereka perjuangkan.?!!!

Bukan materi, meskipun itu seharusnya memang mereka dapatkan karena mereka semua
telah dimiskinkan.

Lalu apa?!!!

Mereka hanya menuntut permintaan maaf dan rehabilitasi nama baik !!!!

Meskipun KOMNAS HAM sudah mengeluarkan laporan resmi pada tanggal 9 Juli 2012
bahwa pada tahun 65/66 telah terjadi pelanggaran HAM berat, dan merekomendasikan
untuk ditindak lanjuti. Tidak secara otomatis tuntutan itu bisa terpenuhi, perjuangan masih
panjang.

Karenanya kami di sini, sekelompok anak muda di seberang pulau Jawa tepatnya Sulawesi,
mencoba untuk melawan lupa itu. Sesuai dengan karakter daerah kami masing-masing
tentunya. Makassar (Sulawesi Selatan), Kendari, Buton/Bau-bau (Sulawesi Tenggara), Palu
Sulawesi Tengah, Manado (Sulawesi Utara). Seperti juga yang sudah dilakukan oleh teman-
teman di Jakarta, Jawa dan Bali.

Bahkan teman-teman SKP HAM Palu sudah menunjukkan hasil dari usaha kerasnya, di
mana pemerintah setempat sudah mengakui bahwa memang ada yang salah di masa itu.
Tindakan nyata yang diambil oleh Walikota Palu, Bapak H. Rusdy Mastura, adalah meminta
maaf secara terbuka kepada para penyintas tragedi 65/66.

Perjuangan mereka bukan tanpa hambatan, tekanan dan ancaman sudah menjadi hal biasa.
Hingga dituduh sebagai PKI gaya baru, yang perlu diwaspadai oleh pihak berwenang. Salut

13
Sulawesi Bersaksi
buat teman-teman di Palu, yang akhirnya menjadi doping semangat buat teman-teman yang
sedang berjuang pada titik yang sama.

Lain lagi keunikan teman-teman muda dari Kendari. Mereka adalah generasi kedua dari
penyintas tragedi 65/66 tapi sekaligus menjadi pendamping untuk mereka sendiri. Pada
titik ini mereka bangga menjadi anak ET (Eks Tapol), semua itu tidaklah lepas dari peran
orangtua yang tidak pernah menutupi sejarah hidup mereka, sekaligus memberikan
pemahaman bahwa mereka berbeda dari orang lain. Jangan terlalu berharap untuk bisa
mengabdi pada Negara dengan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), karena masih banyak
pekerjaan lain yang bisa menjadi pilihan.

Hingga lahirlah seorang Mahardian Revolusi (menurut yang punya nama artinya cahaya
yang selalu menerangi dan selalu berbuat perubahan). Hebat sekali ayahmu anak seorang
ET, yang telah menamatkan jenjang pendidikan S1-nya di bidang Hukum Tata Negara.
Saat ini aktivitasnya magang di LBH Kendari.

Skripsinya pun berkaitan dengan situasi korban 65/66, berjudul Tinjauan Yuridis
Terhadap Penetapan Hak Pensiun PNS yang Dikenakan Skorsing Pemberhentian
Sementara Paska Peristiwa 65.

Saya benar-benar kagum sama dia, usianya jauh lebih muda dari saya tapi pengetahuan
sejarahnya hebat. (duh Dian, kamu bikin saya tertarik belajar sejarah lagi). Dian tidak
sendiri, ada Resma dan Hary Wisastra (Heri) yang optimis dan punya semangat terus
berjuang untuk mengembalikan nama baik keluarga.

Saat ini hubungan sosial mereka sangat baik dengan lingkungan sekitar, dulu memang ada
sedikit perlakuan yang tidak mengenakkan. Seperti pada saat kecil mereka bersekolah,
masyarakat mengatakan bahwa percuma mereka bersekolah tidak akan menjadi pegawai.
Alhasil mereka akan protes kepada orangtua masing-masing kenapa seperti itu (cerita Hary
Wisastra alias Heri).

Lain dulu lain sekarang. Saat ini mereka bukan lagi korban tapi penyintas. Bersama
mahasiswa-mahasiswa yang sudah mulai banyak tertarik tentang peristiwa 65, mereka
sering mengadakan diskusi-diskusi.

14
Sulawesi Bersaksi
Begitu juga secara ekonomi mereka sangat mandiri, contohnya Harry. Saat ini dia sedang
membangun usaha yang bekerjasama dengan instansi pertanian, yakni penangkaran bibit
pohon durian. Usaha ini sudah berjalan satu tahun dengan jumlah bibit 10.000 pohon. Bibit
ini akan didistribusikan ke kelompok-kelompok tani ataupun individu.

Lokasinya ada di Nanga-nanga sekitar 10 KM dari kota Kendari (Nanga-nanga adalah


tempat istimewa. Ada 48 KK yang tinggal di sana dan semuanya adalah keluarga eks
tapol).Setelah kegiatan di Palu, mereka kedatangan tamu dari Prancis (teman dari YPKP
Jakarta) yang tertarik dengan Nanga-nanga. Selama 6 hari dia tinggal di Nanga-nanga,
melihat langsung aktivitas masyarakat.

Hidup Nanga-nanga ! (kalau datang ke Kendari jangan lupa berkunjung ke Nanga-nanga)

Buton/Bau-bau, teman-teman di sana juga sudah melakukan pendampingan terhadap para


penyintas tragedi 65/66. Hasil yang sudah dicapai saat ini adalah pernyataan pemerintah
setempat yang mencabut status Bau-bau sebagai Basis PKI, atau dengan kata lain Bau-bau
bukan basis PKI.

Sulawesi Utara, saat ini memang belum sampai pada tingkatan pemerintah seperti yang
sudah dicapai teman-teman di Palu. Kami hanya melakukan pendampingan ketika ada
kasus diskriminasi terhadap penyintas tragedi 65/66.

Seperti penolakan keluarga eks tapol tidak boleh mengikuti bursa pencalonan Hukum Tua
(Kepala Desa), berdasarkan Peraturan Daerah (PERDA) yang penjabarannya juga tidak jelas.
Sementara masyarakat setempat mendukung sepenuhnya pencalonan beliau. Alhasil bisa
lolos administrasi asal memakai nama anak.

Hasil akhir anaknya terpilih menjadi Hukum Tua tapi yang bekerja adalah bapaknya.

Artinya stigmatisasi eks tapol tidak lagi berlaku di masyarakat, ketika sudah terjadi interaksi
yang sangat baik. Pada dasarnya pada tingkat peraturan pemerintah juga tidak bermasalah,
hanya saja masih bisa dipolitisasi oleh kandidat lain yang menjadi lawan politik dalam bursa
pemilihan.

Organisasi keagamaan di Sulut sangat berperan dalam hal solidaritas antar penyintas,
misalnya mereka mempunyai Dana Kedukaan dan Kesehatan. Perekonomian mereka juga

15
Sulawesi Bersaksi
sudah mulai membaik dengan menjadi petani cengkeh dan kelapa untuk diolah menjadi
kopra.

Bergaul dan bercerita dengan mereka secara intens selama 4 hari 5 malam, membuat saya
banyak berpikir dan sedikit iri dengan mereka. Mereka benar-benar pemenang, atas semua
hal yang tidak menyenangkan dari semua yang mereka alami. Saat ini, buat mereka itu
menjadi cerita yang tidak lagi menyedihkan, menyakitkan, tapi tidak sedikitpun rasa
dendam. Tidak ada lagi air mata ketika seorang bapak bercerita, bagaimana beliau
diperlakukan selama dalam penjara 14 tahun bahkan 3 tahun pertama istri dan 3 orang
anaknya ikut ditahan. Bukan mereka yang menangis tapi kami yang mendengar cerita
mereka.

Saya yang jelas-jelas tidak bersinggungan secara langsung dengan tragedi yang mereka
alami karena saya bukan korban tragedi, saya bukan anak atau cucu korban (usia mereka
antara 70 84 tahun). Tapi sesungguhnya saya juga korban, korban dari jalan cerita sejarah
yang terpaksa saya anut karena waktu itu tidak ada pilihan. Saya bersyukur bisa mendengar
cerita mereka langsung bukan dari membaca.

Dua malam saya tidur dengan Ibu Naina, usianya 71th, datang dari Buton (Baubau)
Sulawesi Tenggara. Beliau bercerita bagaimana awal hingga akhir kisah sedihnya, dengan
gaya khas daerah. Saya sangat suka mendengar gaya bicara beliau. Hangat, keibu-ibuan dan
sederhana. Lucu, pokoknya wajahnya menyejukkan.

Dulu beliau itu seorang guru, memang pernah ditawarkan masuk ke organisasi perempuan
tapi beliau menolak karena sibuk mengajar dan sedang melanjutkan sekolah. Tapi entah
mengapa pada tahun 65 itu, beliau langsung dituduh sebagai bendahara GERWANI. Beliau
tetap menolak dan memang ketika ditanyakan kepada ketua GERWANI setempat, beliau
tidak masuk. Beliau memang tidak dipenjarakan tapi dikenakan wajib lapor padahal jelas-
jelas tidak ada hubungannya. Hukuman yang berat justru beliau terima dari lingkungan
sekitarnya, beliau tidak jadi menikah karena tunangannya tidak mau ikut menanggung
stigma itu.

Pada akhirnya beliau menikah tapi seiring dengan berjalannya waktu ketika suaminya
mendapat pekerjaan, justru beliau ditinggal. Karena stigma yang disandang beliau bisa
mengancam pekerjaan suaminya, sementara mereka sudah dikarunia 4 orang anak yang
masih kecil-kecil. Di sinilah beliau memulai perjuangannya. Demi untuk menghidupi dan

16
Sulawesi Bersaksi
menyekolahkan anaknya, beliau menjual makanan di pinggir jalan dan di pasar bahkan
sampai ke Maluku membawa anaknya yang bungsu meninggalkan 3 orang anaknya di
rumah. Karena sejak beliau dikenakan wajib lapor, beliau diberhentikan menjadi guru dan
gaji yang dijanjikan dibayarkan setengah tidak pernah beliau dapatkan. Saat ini anak
pertama beliau sudah sarjana dan sudah 3 kali mencoba mendaftar PNS tidak diterima
karena sudah ditandai warna merah. Anak keduanya S2 bahasa Inggris dan mengajar di
sekolah swasta. Semua itu beliau ceritakan sambil tertawa, sambil mengenang masa itu. Saya
hanya bisa menatap beliau, dan sedikit tersenyum. Menimpali cerita beliau dengan
pertanyaan-pertanyaan yang terus muncul dalam pikiran saya.

Lain lagi cerita dari Makassar, Kak Andi Baso begitu saya panggil beliau. Teman sekamar
sebelum dan setelah saya menemani Bu Naina. Entah kenapa juga saya merasa klik saja
ketika bertemu beliau (dan terbukti sampai sekarang saya menjadi begitu akrab dengan
keluarganya, ketika satu waktu saya menyambangi beliau). Beliau rutin metelpon saya,
hanya untuk menanyakan kabar. Mungkin karena usia kami yang tidak jauh terpaut, beliau
suka saya jadi adiknya.

Ayahnya seorang tentara yang membantu orang yang dituduh PKI. Pada akhirnya dia yang
dituduh PKI dan dipenjarakan. Yang lebih menyakitkan sebenarnya setelah dipenjara,
semua hartanya diambil oleh adik kandungnya. Waktu itu kak Andi masih kecil, jadi semua
hartanya dititipkan untuk dikelola dan dijaga oleh pamannya. Semua surat-surat
diserahkan, tapi akhirnya diklaim milik pribadinya.

Akhirnya ibu dan adik-adiknya harus ke luar dari rumah yang ditinggali. Selanjutnya
mereka harus bekerja untuk mencari nafkah, dengan berjualan makanan yang dibuat
ibunya. Mereka tidak putus asa dan menyerah, semua mereka jalani dengan kuat. Pada
akhirnya sekarang beliau sudah menjadi seorang pengacara.

Banyak pelajaran yang saya dapat selama saya tinggal dengan mereka, kurang lebih 40
orang kakek nenek dari daerah dan budaya yang berbeda terasa menjadi sebuah keluarga
besar. Lagu-lagu nasional menjadi pembuka dalam setiap sesi acara kami. Begitu bangga
mereka menyanyikannya, dengan segenap hati. Membayangkan sewaktu mereka berada di
tahun sebelum tahun 65. Karena setelah itu mereka tidak lagi menjadi orang yang merdeka,
mereka terikat oleh tali yang tak berwujud.

17
Sulawesi Bersaksi
Pelajaran lainnya.

Tahukah kalian, mereka itu semua orang-orang hebat, kalau cuma bahasa Inggris dan
Belanda sih lewat. Mereka seniman, penyanyi, penulis, ahli pengobatan tradisional. Mereka
juga sangat menghargai waktu, selalu tepat waktu, kecuali kami pendamping yang selalu
telat. Mereka selalu lebih semangat dibanding kami yang muda.

Dengan tangan dan kaki gemetar karena usia, mereka terus bernyanyi. Saya bersyukur
berada di tengah-tengah mereka. Karena di situ saya menyadari betapa lagu-lagu itu
sebenarnya punya makna yang sangat dalam bagi yang menciptanya. Seharusnya sebuah
lagu bisa mengobarkan semangat dan menumbuhkan kebanggaan, tetapi itu tidak kita
dapatkan ketika bernyanyi waktu di sekolah dulu.

Mendengar mereka bernyanyi, sungguh hati saya bergetar, saya menangis, tidak bisa
dibayangkan dan tidak bisa diceritakan hanya bisa dirasakan.

Untuk bisa merasakan, kalian harus bergabung dengan kami.

Eit..sebelum bergabung, kalian harus jawab satu pertanyaan

Apa alasan kalian mau bergabung?!!!

Karena kasihan atau karena ingin membantu memperjuangkan hak kami?

Kalau karena kasihan, pergi saja kalian jauh-jauh, kami tidak perlu dikasihani. Kalian justru
menjadi beban perjuangan kami

Itu kata Pak Putu Oka. Buat saya, salah satu inisiasi yang sangat berkesan.

Saya bukan tipe orang yang menerima satu statement tanpa ada perdebatan. Pada satu
kesempatan coffee break, saya mendekati Pak Putu dengan perasaan sedikit tersinggung
dengan pernyataannya itu.

Saya bertanya, Pak Putusoal kasihan tadi, maksudnya apa Pak?

Apa bedanya kasihan dengan empati ?

18
Sulawesi Bersaksi
Dengan gaya santainya, beliau menjawab, begini, kalau kasihan, kamu memandang kami
ini kaum dhuafa, miskin yang perlu disantuni,

Saya ngga nyangka jawabannya seperti itu. Lalu saya tanya lagi, Tapiga salah juga kan
Pakkalau ada yang awalnya karena kasihan?

Ya ga salahtapi biasanya dia akan merasa terbebani, kemudian mulai mengeluh dan
menyebarkan virus negatifitu yang saya bilang, kalian akan membebani perjuangan
kami.

Dalam hati saya berkata, awalnya saya memang merasa kasihan, tapi bukan dalam konteks
karena dhuafa atau miskin sehingga harus disantuni. Lebih karena melihat usia, yang
menurut saya ada keterbatasan fisik dan tenaga, tapi kalau menurut Bapak salah, saya akan
coba rubah arah sudut pandang saya.

Sesaat suasana menjadi kaku, saya sedikit takut melanjutkan percakapan.

Tiba-tiba beliau bersuara

Hei, saya ini orang gila. Jadi jangan dengarkan orang gila ngomong. sambil tertawa beliau
berlalu.

Agak berteriak saya menjawab, Orang gila ga ada yang ngaku Pakjustru yang ngaku
waras, ternyata gila

Saya cuma bisa menggeleng, tersenyum sendiri dan bergumam hmmorangtua yang
nyentrik

Sekali lagi terimakasih banyak Pak, saya suka gaya Bapak .

Pagi itu hari kedua workshop atau hari ketiga kegiatan.

Acaranya mempresentasikan rencana selanjutnya yang sudah disusun kemarin. Saya baru
saja ke luar kamar, bersiap menuju ke ruang pertemuan. Tiba-tiba saya dipanggil Pak
Asman, bintang film kami dari Palu.

Nur, sini

19
Sulawesi Bersaksi
Iya, Pak

Saya cuma mau bilang, kamu, mungkin sedikit lebih muda dari anak saya yang sama
posisinya seperti kamu sekarang sebagai pendamping. Tapi saya yakin kamu bisa, jangan
nyerah mendampingi mereka. Keberhasilan kami sampai saat ini memang panjang
perjalanannya.

Sejenak saya terdiam, dan cuma bisa bilang, Insya Allah Pak, mudah-mudahan saya bisa.

Sesaat saya berpikir, mampukah saya ?

Saya merasa sedikit terbebani dengan tanggungjawab ini.

Sesi pertama workshop hari itu, lagi-lagi saya kena sentil Pak Putu terkait rasa terbebani
dengan tanggungjawab.

Sebenarnya, beliau tidak tahu tentang obrolan saya dengan Pak Asman tadi pagi.

Setelah mempresentasikan langkah apa yang akan saya lakukan, beliau hanya bertanya
dengan sedikit sinis (cuma perasaan saya):

Mungkin dilakukan, berapa persen kemungkinannya, kalau tidak mungkin dan kamu
merasa terbebani, jangan kamu lakukan. Ini pekerjaan sukarela bukan karena terpaksa.

Tiba-tiba saya tersadarkan.

Benar, kenapa saya harus terbebani.

Kalau saya tidak mampu melakukan itu, kenapa saya tidak melakukan sesuatu yang lain
yang mungkin bisa saya lakukan, walaupun itu cuma langkah kecil.

Perasaan saya menjadi ringan, sambil tersenyum sendiri saya bergumam terimakasih Pak
Putu, sudah menyadarkan saya tanpa bapak sadari, saya coba dengan langkah kecil yang
saya bisa, yang penting berproses kan Pak ?

Seperti yang bapak bilang, bukan hasilnya yang penting tapi prosesnya jangan pernah
berhenti

20
Sulawesi Bersaksi
Dengan segala keterbatasan pengalaman saya, dengan sekelumit keberanian yang saya
punya saya coba berbuat.

Beberapa hal yang akan dilakukan setelah kegiatan temu korban di Palu, di antaranya
adalah membuat buku Memecah Pembisuan edisi region Sulawesi. Di mana penulisnya
melibatkan para mahasiswa Universitas Tandulako (UNTAD) Sulawesi Tengah, para
pendamping di masing daerah seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi
Utara. Buku ini akan diluncurkan pada akhir tahun 2013.

Sementara delegasi Sulawesi Utara sekembalinya dari kegiatan Temu Korban/Penyintas


Tragedi 1965/66 Region Sulawesi ini, Gerakan Rakyat Peduli Hak Asasi Manusia (GRP
HAM) di mana saya masuk di dalamnya sebagai wadah para penyintas tragedi 65/66
langsung berbenah diri untuk lebih memantapkan langkah ke depan. Fokus apa yang ingin
dicapai, baik untuk penguatan ke dalam maupun untuk mempublikasikan diri di luar dari
komunitas. Karena salah satu kendala adalah belum ada regenerasi atau generasi kedua
yang bisa diharapkan untuk melanjutkan perjuangan ini.

Bukan kami tidak peduli akan situasi perjuangan teman-teman di pusat tapi kami mencoba
untuk fokus penguatan di dalam. Di mana GRP HAM sudah melegalisasikan lembaga secara
hukum, kemudian membuat struktur sederhana di setiap Kabupaten/Kota. Antara lain
Minahasa, Minahasa Selatan (Minsel), Bolaang Mongondow Utara (Bolmut), Sangihe, Talaud
dan Manado.

Tujuannya untuk lebih mengkoordinir kegiatan, tidak harus terfokus di Provinsi (Manado),
sementara jarak cukup jauh. Seperti yang terjadi di Boroko Kab. Bolmut sekitar 4 jam
perjalanan dari Manado. Ada kasus Bupati Bolmut Drs. Hamdan Datunsolang MM yang
menyudutkan kandidat calon bupati dan wakil bupati lainnya dengan mengatakan tim
suksesnya adalah eks Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pernyataan ini disampaikan pada saat pelaksanaan apel Korpri yang diikuti ribuan pegawai
negeri sipil (PNS), di halaman kantor Bupati. Hal ini langsung direspon oleh ketua
perwakilan GRP HAM Bolmut, Arifin Bolota SPd. Kemudian membuat pengaduan ke
Komnas HAM untuk ditindaklanjuti. Tindakan ini juga didukung oleh Ketua Kerukunan
Pelajar Mahasiswa Indonesia Bolaang Mongondow Utara (KPMIB), Ketua Karang Taruna,
Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia, Ketua Relawan Sulut. Juga dimuat dalam media
cetak Swara Kita, halaman 15 hari Jumat 19 April 2013.

21
Sulawesi Bersaksi
Jadi ketua perwakilan cukup berkoordinasi dengan perwakilan-perwakilan Kab/kota lain,
lewat telpon. Sehingga lebih cepat mengambil tindakan. Selain memang kami juga,
mengagendakan diskusi-diskusi reguler untuk tetap menjaga silaturahmi. Ke depan teman-
teman Yayasan Dian Rakyat Indonesia (YDRI) selaku pendamping akan membuat program
pelatihan sederhana terkait HAM dan kepemimpinan untuk teman-teman komunitas juga
akan melibatkan para generasi kedua atau ketiga dari penyintas tragedi 65/66.

Di Makassar, yang diwakili oleh Pak Anwar Naba. Generasi kedua yang sekaligus menjadi
pendamping. Beliau menyatakan bahwa akan fokus pada satu daerah yang bisa dijangkau,
setelah mendengar bagaimana awal perjuangan SKP HAM Palu dalam mendampingi para
penyintas. Selama ini dia merasa sangat kesulitan karena tidak fokus, sementara banyak
penyintas yang tidak berada pada satu wilayah.

Lain lagi Harry Wisastra dari Kendari, sebagai generasi kedua yang juga sebagai
pendamping. Dia tertarik dengan pemberdayaan secara ekonomi, dan pengetahuan akan
generasi muda. Misalnya saja dia ingin orang-orang yang tinggal di Nanga-nanga, yang
mayoritas eks-tapol harus mandiri khususnya dalam bidang pertanian. Di samping dia
berusaha sendiri, saat ini dia juga punya kelompok tani. Kemudian dia juga punya cita-cita
mendirikan perpustakaan umum di Nanga-nanga. Sekarang sudah mulai mengumpulkan
buku katanya.

Yah, itulah gambaran singkat perjuangan yang sedang kami lakukan. Untuk Sulawesi Utara
memang belum seberapa hasil yang kami capai, tapi kami coba terus untuk bergerak.

Tak lupa dan tak akan bosan saya mengajak teman-teman yang mau membaca tulisan ini,
untuk sama-sama belajar kembali atau setidaknya membuka diri untuk segala kemungkinan
sumber pengetahuan tentang sejarah atau apapun itu. Karena pengetahuan yang kita miliki
dan diyakini benar ternyata belum tentu benar 100 %.

Mulailah melakukan tindakan nyata sebagai bentuk kepedulian, untuk mencari tahu
kebenaran yang tersembunyi dan mungkin kebenaran yang sudah terkuak tapi tidak kita
hiraukan, terhadap sejarah yang disamarkan bahkan mungkin dilupakan.

Tidak perlu juga menjadi ahli sejarah, cukup tahu saja, terhadap suatu peristiwa yang
pernah terjadi sudah merupakan bentuk nyata kepedulian kita akan sejarah bangsa ini. Di

22
Sulawesi Bersaksi
era teknologi seperti sekarang ini, banyak informasi yang mudah kita dapat. Seperti
searching di mbah google, apapun pasti ada termasuk peristiwa 65.

Menurut saya ketidaktahuan kita, khususnya generasi muda sebenarnya disebabkan dua
faktor pendukung. Pertama seperti yang telah saya tulis di atas yaitu kegamangan
pemerintah dalam menentukan alur sejarah atau bisa juga dikatakan keengganan Negara
dalam meluruskan sejarah.

Kedua ketidak pedulian kita sendiri atau tidak ada rasa ingin tahu yang besar untuk
mengetahui akan sejarah bangsa, sebagai akibatnya, generasi muda sekarang dituduh tidak
punya jiwa Nasionalisme.

Anehnya lagi tuduhan itu justru datang dari para pendidik yang notabene bertugas untuk
menumbuhkan rasa nasionalisme. Ayo dong ibu bapak guru, beritahu kami apa yang
terjadi sebenarnya, atau sepanjang pengetahuan ibu/bapak saja deh, biar kami tidak buta
sama sekali akan satu peristiwa sejarah bangsa kita.

Dan jangan bilang generasi kami tidak punya jiwa nasionalisme, karena bukan generasi
kami yang sedang menggerogoti bangsa ini dengan KORUPSI, kami hanya sekedar
menikmati apa yang diberikan orangtua kami. Maaf yah

Akhirnya saya hanya bisa mengingatkan, siapapun yang membaca tulisan ini.

Apapun pendapat kita dulu, tidak ada salahnya kita mencari tahu sisi lain dari koin sejarah
yang kita yakini.

Kami siap membantu Penyintas Tragedi 65/66**

Manado, awal 2013

Ahmad Bantam

Mengungkap Kebenaran, Menjadi Sahabat Korban

Saya ini orang Islam, saya tidak mau berbohong, tiga orang PKI itu sebenarnya bukan hilang, atau
lari kemana, tapi sudah dibunuh. Saya ini yang gali lubangnya.

23
Sulawesi Bersaksi

Kalimat itu dengan lugas keluar dari mulut Ahmad Bantam, laki-laki berusia 83
tahun, pensiunan tentara dari Korem 132 Tadulako Palu. Suatu sore di bulan Maret setahun
yang lalu, saya menjambangi rumah pak Bantam, begitu ia kusapa, di Kelurahan Baiya
Kecamatan Tawaeli. Rumah pak Bantam dekat dengan kompleks perumahan Bea Cukai. Di
dalam kompleks perumahan itu terdapat sebuah masjid. Sudah beberapa tahun belakangan,
pak Bantam dipercayakan oleh warga sekitar menjadi imam di masjid tersebut. Selain
menjadi imam setiap sore setelah mengimami sholat ashar, pak Bantam mengajarkan
mengaji kepada anak-anak SD (Sekolah Dasar) di sekitar tempat tinggalnya. Sama seperti
sore itu ketika saya bertamu ke rumah pak Bantam, ia baru saja menutup AL-Quran, murid-
murid pengajiannya satu persatu baru saja pulang. Kedatangan saya yang tanpa
pemberitahuan sebelumnya mengagetkan pak Bantam. Ini kali pertama kami berkomunikasi
secara langsung. Sebelumnya saya dan pak Bantam pernah beberapa kali bertemu, dalam
agenda SKP-HAM (Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia), namun kami
belum pernah berbicara langsung.

Bapak masih ingat saya?, begitu saya memulai pembicaraan. Oh, iya, ibu Ella
yang dari Komnas HAM toh, saya masih simpan itu saya punya pernyataan dulu. Pak
Bantam ternyata sulit membedakan SKP-HAM dan Komnas HAM. Saya berusaha
menjelaskan kembali bahwa saya dari SKP-HAM, bukan Komnas HAM. Tahun 2008 kami
memang pernah bertemu di Komnas HAM. Dia menjadi salah satu saksi yang diambil
pernyataannya oleh tim penyidik projustisia Komnas HAM tentang pelanggaran HAM
tragedi kemanusiaan 1965/66 di Indonesia. Pak Bantam masuk dalam daftar orang-orang
yang di BAP( Berita Acara pemeriksaan) kala itu. Kesaksiannya diambil terkait peristiwa
hilangnya empat orang pimpinan partai dan ormas PKI di Sulawesi Tengah, empat puluhan
tahun yang lalu. Keempat korban penghilangan paksa itu adalah, Abdul Rahman Dg Maselo
(Sekretaris I CDB PKI), S. Chaeri Ruswanto (Sekretaris II CDB PKI), Zamrud (Ketua PKI
Kabupaten Donggala) dan Sunaryo (Ketua Pemuda Rakyat Sulawesi Tengah).

Mulai Bercerita

Saya ini, sebenarnya kasihan sama itu istrinya Maselo, sudah lama saya simpan-
simpan ini rahasia, tentang nasibnya diorang tiga PKI itu. Saya ini orang Islam, saya tidak
mau berbohong, tiga orang PKI itu sebenarnya bukan hilang, atau lari ke mana, tapi sudah

24
Sulawesi Bersaksi
di bunuh. Saya ini yang gali lubangnya. - Pak Bantam terdiam sejenak, kepalanya
tertunduk, ia menarik nafas panjang. Kedua tangannya naik ke atas pangkuannya. Saya
memilih ikut diam. Walaupun rahasia pak Bantam itu sebelumnya pernah saya dengar dari
Gagar Risman, anak Abd Rahman Dg Maselo. Saya tidak ingin mendahului pembicarannya.
Ini kesempatan saya mendengarkan langsung kronologi penghilangan empat orang korban
65, yang kabarnya telah dieksekusi tersebut.

Bantam melanjutkan ceritanya. Waktu itu kalau tidak salah tahun 67 muda-muda.
Saya ini diperintahkan bajaga orang-orang PKI yang disuruh bakerja di Kalikoa itu. Dorang
ini ada ratusan orang, laki-laki semua. Diorang bapasang bronjong itu sepanjang sungai
Palu. Saya ini yang baatur diorang punya makanan, beras berapa, gula berapa, kopi, teh,
dengan ikan garam. Jadi saya yang baatur diorang punya uang belanja. Makan tidak makan
tahanan itu saya punya tanggung jawab.
Jadi waktu siang-siang itu, sudah mo masuk sore juga, Umar Said ini datang di
gudang makanan dekat Kalikoa itu. Saya sementara baator-ator di dalam. Dia datang
langsung bilang,- pak Bantam, kasi naik pacul, tandu-tandu, linggis, sekop ke mobil.- Jadi
saya ini tidak banyak bertanya langsung jalankan perintah naik ke oto. Di dalam oto itu
ternyata sudah ada dua orang saya punya teman, kopral Effendi dan kopral Mangadil.
Begitu saya naik, oto ini langsung berangkat ke arah Donggala. Umar Said yang bawa oto.
Kami tiga orang ini semua anak buahnya di bagian satu Korem 132 Tadulako.

Tidak berapa lama itu, oto berenti di antara Loli Vatusampu. Waktu itu masih
bahutan-hutan di situ, bulum banyak rumah seperti sekarang. Umar Said ini parkir oto di
pinggir jalan sablah kiri, karna di kanan laut. Baru dia suruh kitaorang turun, ikut dia
bajalan naik ka gunung-gunung itu. Sampe di atas gunung itu dia langsung perintah gale di
sini. Jadi kitaorang langsung bagale, pake sekop tentara punya yang pendek itu. Gale gale
gale, banyak batu. Pindah lagi, gale lagi. Ada dua lubang itu, satu tidak dalam karena
banyak batu, hanya sekitar satu meter begitu. Satu lagi yang sedikit dalam, lewat satu meter.
Bulum habis kita ini bagale lubang, Umar Said langsung pamit. Dia bilang dia mau ka
Donggala, mau beli tali. Jadi kitaorang disuruh menyusul kesana, menumpang saja oto yang
lewat.

Sebelum pak Bantam melanjutkan ceritanya, saya mencoba bertanya apakah dia
maupun temannya mengetahui untuk apa lubang itu digali? Apakah Umar Said

25
Sulawesi Bersaksi
memerintahkan berapa lubang yang harus digali? Dan apakah ada orang lain yang melihat
mereka menggali lubang itu? Jawab Bantam; Waktu bagale itu dalam hati kitaorang sudah
pikir, berarti ada orang yang mo ditanam di sini, cuman tidak tahu siapa ini. Kapten Umar
Said ini tidak bilang juga berapa lubang yang mau digale. Jadi kitorang gale-gale saja. Hanya
ada dua lubang itu kitaorang gale. Setengah mati bagale karena banyak batu. Baru
sementara bagale itu ada orang baintip dari rumpu-rumpu. Saya batariak, we siapa
itu?.Orang itu langsung lari. Dalam hati saya langsung pikir lagi, orang sudah tau ini lubang
ini.

Setelah merasa tugas selesai, Bantam dan dua orang kawannya langsung mencegat
mobil truk yang kebetulan lewat. Cukup lama juga mereka menunggu, karena ditahun 60an
itu kendaraan di Palu masih langka. Dengan menumpang truk mereka menuju penjara
Donggala.Tempat Umar Said meminta mereka untuk datang. Bantam melanjutkan kisahnya;
bagitu sampe di penjara Donggala saya langsung toki pintu penjara. Saya yang melapor
karena saya yang tertua di antara kitaorang tiga tentara ini. Tok tok tok, yang buka pintu
bukan orang penjara tapi Kapten Umar Said. Lapor pak, tugas selesai. Begitu saya bilang.
Umar Said langsung jawab tunggu di luar jadi kitaorang sudah baduduk di kursi depan
penjara itu.

Karena penasaran, saya mencoba menyela cerita pak Bantam dengan pertanyaan;
apakah Bapak tahu untuk apa datang ke penjara Donggala? Dan jika untuk menjemput
tahanan apakah Bapak sudah tahu siapa saja atau berapa orang tahanan yang akan
diambil? Untuk kedua pertanyaan itu Bantam menjawab singkat saya tidak tahu.

Tidak lama bagitu, tabuka pintu penjara, lanjut Bantam. Keluar pertama ini
Maselo, tangannya diikat tali nilon putih. Baru kedua, Ruswanto, dia tinggi hitam, teman
dekatnya Maselo. Baru ketiga Sunaryo, dia dari pemuda, di Maesa itu rumahnya. Rumahnya
itu bakudekat dengan kantor PKI dulu. Tiga-tiga tangannya diorang ini sudah taikat semua,
bakusambung-sambung. Jadi kasihan setengah mati diorang keluar dari pintu, karena kalo
jatuh satu, jatuh semua. Begitu juga waktu naik ke oto, cuma dipegang diorang baru bisa
naik. Habis tiga orang tahanan ini keluar, tidak lama keluar lagi satu orang pake pakean
preman. Baju putih lengan pendek, calana hitam, tidak pake tutup kepala. Orangnya hitam,
tinggi besar, rambut guntingan tentara. Saya belum pernah lihat orang itu, cuma saya pikir
jangan-jangan ini jendral dari Jakarta. Dia bawa senjata jenis sten yang pendek begini.

26
Sulawesi Bersaksi
Bantam mencontohkan ukuran senjata itu dengan menyodorkan tangan kanannya, sambil
tangan kirinya memberi batas pada siku. Jika diukur kira-kira 40 centimeter.

Orang pakean preman itu duduk di muka dengan Umar Said, saya dengan tiga
orang tahanan dan dua orang teman tentara di belakang. Baru jalan ini oto, Maselo ini saya
liat mukanya pucat, gelisah. Dia tanya, pak mau dibawa kemana kami ini? saya jawab mo
ke Manado, tapi mau ke Palu dulu. Dia tanya lagi, tidak apa-apa ini pak?, terpaksa saya
jawab tidak. Padahal saya sudah khawatir juga ini, jangan-jangan diorang mau dibunuh.
Tapi saya kasi tenang dia.
Atas jawaban Bantam bahwa para tahanan akan dibawa ke Manado, saya kembali bertanya
apakah sebelumnya dia sudah mengetahui bahwa ada tahanan yang akan dipindahkan ke
penjara Manado?, atau jawaban itu hanyalah karangannya sendiri untuk menenangkan
Maselo. Menurut Bantam; sebelum meninggalkan penjara Donggala, dia mendengarkan
percakapan antara Umar Said dan seorang sipir penjara yang bertanya, para tahanan hendak
dibawa kemana. Jawaban Umar Said, para tahanan di bon ke Palu, setelah itu akan dikirim
ke Manado. Jawaban dari percakapan itulah yang dikutip Bantam.

Mobil melaju meninggalkan penjara Donggala, perjalanan kembali berbalik menuju


ke arah kota Palu. Tiba di dekat tempat lubang digali mobil berhenti. Kecurigaan Bantam
semakin kuat. Lanjut kisahnya; Sampe di tempat dekat lubang digale tadi itu, Umar Said
kasi berenti oto. Kita semua disuruh turun. Umar Said bajalan duluan naik ke gunung tadi
itu, yang ada lubang itu. Di belakangnya bajalan itu orang pakean preman, baru tiga orang
tahanan, baru dua orang tentara. Saya ini disuruh Umar Said bajaga oto. Jadi saya baduduk
di rumput itu dekat oto. Tidak lama itu, barangkali cuma berapa menit, saya dengar bunyi
senjata ketak ketak ketak. Ini bunyi senjata sten. Saya langsung begini, Bantam diam
sejenak mengelus dadanya, sejenak kemudian dia melanjutkan, kasihan so mati dorang
Maselo ini. Selang beberapa menit kemudian, Umar Said turun dari gunung, bersama satu
orang berpakaian preman dan dua orang tentara, tanpa tiga orang tahanan. Mobil kembali
melaju menuju Palu.

Timbul Kecurigaan

Tiba kembali di gudang peralatan di Kalikoa, Bantam menurunkan alat-alat yang tadi
dibawa untuk menggali lubang. Di depan gudang menunggu Rafin Pariuwa, seorang

27
Sulawesi Bersaksi
tahanan yang dipercayakan memegang kunci gudang peralatan dan gudang makanan.
Seperti biasa setiap sore setelah selesai melaksanakan kerja paksa membendung kali Palu,
Rafin bertugas mengembalikan peralatan kerja ke gudang. Sore itu di depan gudang dia
mendapati sepeda milik pak Bantam diparkir tanpa dikunci. Karena khawatir sepeda itu
akan curi orang, Rafin memutuskan untuk menjaga sepeda sampai pak Bantam tiba. Hampir
sejam menunggu, dari arah Donggala mobil jeep melaju dengan kencang berhenti tepat di
depan gudang. Dari dalam mobil Rafin melihat Bantam dan dua orang rekannya seperti
basah kuyup. Padahal cuaca di Palu sedang cerah. Bantam turun mengeluarkan peralatan
dari mobil dan meminta Rafin membawanya ke dalam gudang. Dari peralatan itu Rafin
melihat ada bercak darah di salah satu pacul. Bantam tidak mengetahui apa yang disaksikan
Rafin. Ia menyuruh Rafin segera pulang ke penjara Maesa. Jarak antara gudang peralatan
dengan penjara Maesa kurang lebih satu kilometer. Rafin melaluinya dengan berjalan kaki.

Sepanjang perjalanan menuju penjara Maesa Rafin menaruh curiga pada pak Bantam
beserta dua orang rekannya yang basah kuyup dan adanya bercak darah segar di pacul. Tiba
di penjara Rafin langsung menceritakan kecurigaannya itu pada teman-teman sesama Tapol
(tahanan politik), ia berasumsi telah terjadi sesuatu dengan teman-teman mereka yang
berada di penjara Donggala. Saat itu ada tujuh orang Tapol yang dipindahkan ke penjara
Donggala. Mereka merupakan pimpinan partai dan ormas PKI Sulawesi Tengah.
Di dalam penjara para Tapol berembuk dan menghasilkan kesepakatan harus ada
yang mengecek keadaan Tapol di penjara Donggala. Keesokan harinya Rafin mengatur
strategi memasukan nama Subagyono adik dari Sunaryo untuk mengikuti kerja paksa.
Tugas Subagyono mencuri waktu sebelum bekerja untuk menghubungi ibunya, juga istri
Sunaryo agar segera berangkat ke penjara Donggala mengecek keberadaan kawan mereka di
sana. Misi itu berhasil, esok harinya terdengar kabar dari istri Sunaryo bahwa tiga orang
Tapol, Abd Rahman Dg Maselo, S. Chaeri Ruswanto dan Sunaryo telah di bon dari penjara
Donggala oleh kapten Umar Said.

Hari-hari sesudah itu, Rafin dan kawan-kawannya tidak lagi mendengar kabar
keberadaan tiga orang penting di tubuh PKI itu. Bahkan sebulan kemudian satu lagi teman
mereka bernama Zamrud ikut hilang dan tidak pernah kembali sampai saat ini.

28
Sulawesi Bersaksi
Hilangnya Zamrud

Tentang hilangnya Zamrud baik Rafin maupun Bantam sama-sama mengetahui


peristiwa itu. Sebelum mendengarkan kesaksian Bantam, saya sudah beberapa kali
mendengar cerita tentang peristiwa itu dari Rafin Pariuwa. Berikut ini versi dari masing-
masing mereka tentang hilangnya Zamrud. Menurut Rafin, tanggal 30 Mei 1967 hilangnya
tiga orang Tapol dari penjara Donggala. Itu hari di mana dia melihat ada bercak darah di
pacul yang diturunkan Bantam dari mobil. Sebulan setelah itu, siang hari di tempat kerja
paksa di Kalikoa, Zamrud datang diantar oleh seorang tentara bernama kopral Nopo.
Kedatangan Zamrud ke Kalikoa kala itu, kembali menimbulkan kecurigaan pada Rafin.
Sehari-hari Zamrud tidak tercatat dalam daftar Tapol yang bekerja membendung kali Palu
di Kalikoa. Dia ditugaskan menjaga mess Korem di Jalan Hasanudin Palu. Ini kali pertama
Zamrud datang ke Kalikoa. Kopral Nopo meminta Rafin untuk memberi Zamrud makan
siang. Tidak lama setelah itu, datang Kapten Umar Said. Dia menanyakan kepada Rafin,
apakah mengetahui rumah Laohe. Rafin segera menjawab tidak tahu, dia heran mengapa
Umar Said bertanya tentang Laohe, sebab Laohe adalah orang yang pernah memimpin demo
pembubaran dan penggayangan PKI di Palu. Sebenarnya Rafin mengetahui tempat rumah
Laohe, tapi dia memilih berbohong untuk mencari aman.

Tanpa diduga-duga, Zamrud berdiri dari duduknya setelah makan dan menjawab
bahwa ia mengetahui alamat dimaksud. Segera Umar Said memerintahkan Zamrud untuk
mengikutinya. Sampai malam hari, Zamrud tidak juga kembali ke penjara Maesa. Didera
rasa khawatir Rafin dan teman-temannya berinisiatif melaporkan keberadaan Zamrud pada
petugas penjara. Zamrud dicari sampai ke kantor CPM. Dari CPM mereka mendapatkan
kabar, bahwa Zamrud berada dalam pengawasan Korem. Beberapa hari kemudian tersiar
kabar ada tangan mayat ditemukan di desa Jono Oge. Sekitar 30 kilometer ke arah selatan
kota Palu. Jono Oge salah satu desa di Kabupaten Sigi saat ini. Kabar yang simpang siur
tentang penemuan potongan tangan mayat itu. Terlanjur diyakini masyarakat sebagai mayat
orang PKI. Seakan menjadi pembenaran dengan kabar angin itu, Zamrud hilang dan tidak
pernah kembali hingga saat ini.

Lain Rafin, lain pula Bantam. Menurut Bantam setelah eksekusi tiga Tapol di gunung
Vatusampu, Umar Said menyuruh mereka tutup mulut. Beberapa hari sesudah itu, ia
kembali mendapat perintah dari Umar Said agar membawa Zamrud ke kantor Korem.

29
Sulawesi Bersaksi
Bantam tidak mengindahkan perintah itu, berikut kisahnya; Habis eksekusi di Vatusampu
itu saya ini tidak tenang, saya pikir-pikir turus kasian ini orang tiga dibunuh itu. Saya tidak
tahu rupanya Rafin, guru dari Kayumalue ini ada liat darah di pacul waktu itu. Makanya
diorang taruh curiga sudah. Tapi saya cuma badiam saja. Karena saya tidak pigi antar ini
Zamrud ke Korem, marah Kapten Umar Said sama saya. Barangkali ada 10 kali
diperintahkan itu, saya tetap tidak mau bawa dia. Saya khawatir ini Zamrud mau jadi
sasaran juga. Akhirnya saya kasi jawaban sama Umar Said, bahwa saya ini punya tugas
penting bajaga ratusan orang-orang PKI yang disuruh kerja itu. Kalo ada satu orang yang
hilang, pasti saya yang pertanggungjawabkan. Padahal itu alasan saja. Orang PKI di Palu
sini baik-baik semua, tidak ada diorang yang berontak. Apa yang disuruh semua diorang
kerjakan. Biasa kalau ada diorang punya istri-istri datang bajenguk, bawa makanan, telur,
kue, pisang itu, saya kasih ketemu diorang. Ada rumah petani yang kosong di dekat situ,
saya suruh masuk diorang di sana. Asalkan yang penting tidak ada suara, tidak merokok,
tidak ada asap. Baru saya jaga diorang, kalau ketahuan Umar Said bahaya itu.

Karena marah Umar Said ini dia ancam mau kasi turun saya punya pangkat dari
dua strep kuning jadi satu strep kuning. Saya tetap badiam, tidak mau saya antar ini
Zamrud. Akhirnya sore-sore itu saya dapat perintah bawa ini Zamrud dari Kalikoa ke toko
Matahari. Di dekat toko itu sudah ada oto batunggu. Terpaksa saya antar ini Zamrud, sampe
di oto itu saya tidak lihat juga siapa yang ada di dalam. Hanya ada suara mari masuk pak.
Bagitu naik ini Zamrud oto langsung bajalan. Saya juga langsung pulang ulang ke Kalikoa.

Tidak banyak yang diketahui Bantam tentang kronologi hilangnya Zamrud, karena
sehari-harinya Zamrud tidak dipekerjakan di Kalikoa Bantam pun tidak lagi mengetahui
kabar Zamrud. Namun ia pun mendengar kabar angin tentang penemuan tangan mayat PKI
di Jono Oge beberapa hari setelah itu. Saya mencoba mengkonfirmasi pak Bantam, apakah
sebagai orang yang bertugas pada bagian satu Korem 132 Tadulako dia mengetahui siapa
yang memerintahkan Umar Said mengeksekusi tiga orang Tapol hingga hilangnya Zamrud.
Dan apakah Komandan Korem saat itu, M. Yasin mengetahui tentang skenario penghilangan
empat tapol tersebut. Dengan lugas Bantam menjawab; tentu saja Komandan tahu,
bagaimana tidak, karena dia punya oto yang dipakai Umar Said waktu baambil tiga orang
PKI di Donggala. Oto itu juga yang bawa Zamrud dari toko Matahari. Kalau soal siapa yang
perintah, sudah habis peristiwa itu baru saya dengar-dengar dari teman kalau ada kawat
(telegram) dari Kodam di Manado supaya empat orang ini dikasi hilang. Kawat itu masuk

30
Sulawesi Bersaksi
sama Komandan, dari Komandan tentunya baru ke Umar Said sebagai kepala bagian satu
Korem.

Tentang hilangnya empat orang tapol PKI di Palu sedikit menimbulkan tanda tanya.
Mengapa hanya empat orang tersebut yang disasar? Jika semua pimpinan partai dan ormas
PKI berbahaya mengapa hanya tiga orang yang dijemput dari penjara Donggala, sementara
empat orang lainnya dibiarkan hingga bebas. Dari kesaksian Rafin Pariuwa dan beberapa
korban lainnya, keempat kawan mereka itu pernah melarikan diri ke Parigi pada oktober
1965. Mereka berjalan kaki melintasi gunung Poboya selama dua hari dua malam. Tujuan
mereka ke Parigi untuk mencari bantuan keamanan dari kepala Polisi Parigi. Setibanya di
Parigi, Komandan Korem 132 Tadulako M. Yasin memerintahkan Mayor Jamber Wardana
menjemput keempat orang tersebut untuk diamankan di Palu. Sebelum terjadi peristiwa
G30S, para pimpinan PKI di Palu cukup dekat dengan M. Yasin.

Mengungkap kebenaran

Puluhan tahun Bantam menyimpan rahasia besar itu. Awal tahun 70an ia memasuki
usia pensiun. Walaupun sudah pensiun Bantam tidak ingin pulang ke kampung
halamannya di Ambon. Dia memilih tetap tinggal di Palu. Mengisi hari-hari pensiunnya kala
itu Bantam bekerja sebagai securiti di CV. Kemenangan. Sebuah perusahaan yang bergerak
dalam bidang kontraktor bangunan. Bantam bersama istri dan keempat anaknya menyewa
sebuah rumah di Jalan Cumi-cumi, persis di depan teluk Palu. Memasuki tahun 1975,
Sulawesi Tengah kembali digemparkan dengan isu gerakan PKI Gaya Baru. Bantam tidak
mengetahui persis apa yang dimaksud PKI Gaya Baru. Hingga suatu hari di tahun 75,
rumahnya didatangi oleh dua orang tentara muda. Kedua orang juniornya itu membawa
surat pemanggilan agar Bantam datang ke kantor Korem menjadi saksi atas penangkapan
Umar Said. Penangkapan Umar Said karena diindikasi terlibat PKI Gaya Baru. Sontak
Bantam kaget dengan kabar itu. Dia tidak menyangka mantan komandannya terlibat PKI.

Keesokan hari, Bantam langsung menuju kantor Korem memenuhi surat panggilan.
Setiba di sana Bantam bertemu dengan dua orang kawannya yang masih bertugas, Kopral
Efendi dan Kopral Mangadil. Ternyata mereka bertiga dipanggil oleh tim pemeriksa untuk
memberikan kesaksian atas laporan Umar Said tentang eksekusi tiga orang Tapol dari
penjara Donggala. Kisah Bantam selanjutnya; Sebenarnya masalah ini tidak akan terungkap

31
Sulawesi Bersaksi
kalau bukan bodoknya Umar Said. Kenapa saya bilang dia bodok? Karena di dalam
laporannya itu dia tulis kalau tiga orang tahanan ini diambil dari penjara Donggala mau ka
Palu. Sampe di tengah jalan diorang minta turun bakincing. Waktu dilepas mau bakincing
itu tiga orang ini lari, baru Ahmad Bantam yang tembak. Dia kambing hitamkan saya.
Katanya saya yang tembak. Baru dia tidak tulis dilaporannya itu, habis ditembak sama
Bantam ini tiga orang PKI ini mati atau lari. Kalau mati di mana kuburnya? Kalau lari, lari ke
mana?.Nah inilah kenapa saya bilang Umar Said itu bodok sekali.

Saya sudah nekat waktu itu, kita mau bongkar ini rahasia. Saya ajak Efendi dengan
Mangadil kita lawan laporannya Umar Said. Waktu itu kitaorang tiga diperiksa baku
sebelah ruangan dengan ruang pemeriksaannya Umar Said. Jadi sepertinya dia dengar-
dengar ini kitaorang punya kesaksian. Saya bilang sama tim pemeriksa dari Makassar dan
Jakarta itu. Saya ini sudah tua, saya orang Islam, saya seorang tentara, saya tidak mau
berbohong. Tiga orang PKI itu bukan saya yang tembak baru lari. Tapi sudah dibunuh di
Vatusampu. Saya dengan dua orang teman ini yang gali lubang. Habis saya bicara, Kopral
Efendi dengan Kopral Mangadil lagi yang ditanya, diorang juga bilang yang sama. Orang
tiga itu yang tembak bukan Ahmad Bantam tapi orang suruhan Umar Said yang pake
pakean preman. Habis ditembak langsung dikubur di situ. Karena hanya ada dua lubang,
jadi ada satu lubang yang sedikit besar dan dalam dikubur dua orang di situ. Satu lubang
lagi yang pendek satu orang di situ. Diorang ditembak di depan lubang, tapi ada yang tidak
langsung jatuh ke lubang, makanya ditarik pake pacul itu. Sudah itu dia, ada darah Rafin
lihat di pacul waktu itu.

Setelah memberikan kesaksiannya pada tim pemeriksa Bantam merasa lega. Dia
mendengar kabar Umar Said dipenjara. Namun tidak sampai setahun Umar Said pun
dibebaskan. Konon kabarnya Umar Said tidak terbukti terlibat PKI Gaya Baru. Setelah
dibebaskan semua gaji dan tunjangannya dibayarkan. Setelah itu ia lalu pulang ke Madura.
Sebelum kembali ke Madura, Umar Said pernah mengirim pesan agar Bantam datang ke
rumahnya. Orang suruhan Umar Said berpesan bahwa permintaan Umar Said bertemu
Bantam untuk menyerahkan beberapa perabot rumah tangganya. Namun Bantam enggan
menemui Umar Said. Dalam hati dia menaruh khawatir jangan sampai Umar Said dendam
padanya atas kesaksiannya itu.

32
Sulawesi Bersaksi
Waktu bergulir, kehidupan Bantam berjalan di Palu. Tahun 80an ia berhasil membeli
tanah di Kelurahan Baiya Kecamatan Tawaeli. Di tempat baru itu Batam aktif dalam
berbagai kegiatan kemasyarakatan. Karena pengetahuan agamanya yang kuat, ia diangkat
sebagai pegawai syara sekaligus imam masjid kompleks perumahan Bea Cukai. Ia juga
kerap diundang untuk membaca doa dalam acara-acara kematian maupun pesta-pesta di
lingkungan tempat tinggalnya. Hingga Orde Baru tumbang dan reformasi bergulir, Bantam
semakin terusik. Lewat pemberitaan-pemberitaan di layar televisi ia menyaksikan peristiwa
masa lalu kembali disoal. Bantam terpanggil untuk menemui keluarga korban. Sudah lama
dia menimang-nimang apa dampak jika rahasia eksekusi tiga orang PKI itu diberitahukan
kepada keluarga korban. Apakah tidak ada ancaman dari Korem kapadanya karena
membongkar rahasia Negara, dan apakah keluarga korban akan marah padanya.
Cukup lama Bantam merenung, dalam setiap sholatnya ia selalu memohon
penguatan dari Allah SWT. Ia ingin mengungkapkan rahasia itu sebelum ia meninggal
dunia. Satu hal yang paling diinginkannya keluarga korban mengetahui kebenaran peristiwa
itu. Kebulatan hati Bantam, dituntaskannya ditahun 2007. Ia tahu siapa orang yang tepat
untuk dibeberkan rahasia itu. Sudah lama Bantam mengetahui bahwa salah satu adik
perempuan Abd Rahman Dg Maselo berjualan di pasar Tawaeli. Rahman Maselo memang
berasal dari Tawaeli. Orang tua dan keluarga besarnya tinggal di Kelurahan Panau. Hanya
berjarak beberapa kilometer dari kediaman Bantam.

Pagi itu tepat hari pasar, Bantam mengayun langkahnya dengan pasti menuju pasar
Tawaeli. Pasar Tawaeli hanya dibuka setiap hari selasa dan jumat. Di pasar itu Andi Adi
adik Rahman Maselo berjualan nasi kuning, kopi, teh dan berbagai kue-kue. Ini bukan kali
pertama Bantam berbelanja di warung Andi Adi. Dia bahkan sering berbincang-bincang
dengan Maid Halim suami Andi Adi di warung itu. Namun mereka tidak pernah membuka
persoalan tentang hilangnya para Tapol 65 dari penjara Donggala. Bantam pun memulai
pembicaraan; saya kasi tahu kasian ini Maid, karena saya tahu dia bakukawin dengan
adiknya Maselo ini. Saya bilang sama diorang, sebenarnya empat orang itu bukan hilang
atau lari kemana, tapi sudah dibunuh oleh Umar Said. Mo hamah, kasian taget diorang. Saya
bilang saya berani bikin kesaksian, sebelum saya mati saya mau ketemu istri dengan
anaknya Maselo. Kasihan dorang bacari selama ini.

Mendengar penuturan Bantam, Maid dan Andi Adi terperanjat. Desas desus
kematian kawan sekaligus keluarga mereka terjawab sudah. Walau tersontak kaget mereka

33
Sulawesi Bersaksi
tidak menyalahkan Bantam karena mereka yakin Bantam hanya menjalankan perintah Umar
Said. Semasa menjadi tapol pun Maid menganggap Bantam satu-satunya tentara yang baik
hati. Tidak pernah berlaku kasar apalagi marah kepada Tapol. Maid salah satu Tapol yang
juga dipekerjakan membendung sungai Palu di Kalikoa. Setelah pertemuan di warung itu,
Maid mengunjungi Mariam Labonu istri Rahman Maselo untuk menyampaikan kabar
kematian suaminya. Kabar itu juga disampaikan kepada anak-anak Mariam, Gagar Risman,
Lina dan Gamal. Dari Gagar Risman pula saya mendengar kabar itu. Suatu hari dia
mengundang saya ke rumahnya di Jalan Yojokodi Palu. Walaupun tidak aktif di SKP-HAM
Gagar Risman selalu mendukung perkembangan organisasi korban ini. Gagar juga sudah
bertemu secara langsung dengan Bantam. Dia bahkan merekam kesaksian Bantam dalam
handponenya. Secara khusus Gagar berterima kasih kepada pak Bantam karena telah berani
mengungkap peristiwa itu, sekaligus menjawab teka teki penghilangan paksa ayahnya.

Menjadi Sahabat Korban

Pak Bantam hanya satu dari sekian banyak pelaku pembantaian orang-orang PKI
yang terpanggil mengungkap kebenaran di Negara ini. Kesadaran pak Bantam penting
untuk mendapatkan apresiasi. Sejak pertama kali berani mengungkap kebenaran pada
keluarga korban, pak Bantam sudah sering kami libatkan dalam agenda kegiatan korban di
SKP-HAM. Jika tidak dalam kondisi sakit pak Bantam selalu menyempatkan hadir setiap
kali diundang. Beberapa pertemuan korban yang pernah dihadiri pak Bantam di antaranya,
diskusi membahas nasib korban pelanggaran HAM tragedi 1965/66 dan menghadiri BAP
bersama 23 orang korban 65 di kantor perwakilan Komnas HAM Sulteng, diskusi publik
membahas RUU KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) di kantor Kanwil Depkumham
Sulteng, launcing buku Memecah Pembisuan di kantor walikota Palu.

Kedatangan saya mengunjunginya kali ini, kembali ingin mengajak pak Bantam
untuk dua agenda rekonsiliasi di Palu. Bersama beberapa orang korban kami mengundang
pak Bantam untuk napak tilas 17 titik tempat kerja paksa di Palu. Juga untuk menghadiri
acara dialog terbuka Stop Pelanggaran HAM. Kedua kegiatan itu adalah rangkaian
agenda peringatan hari Hak Atas Kebenaran dan Martabat Korban Pelanggaran HAM Berat,
dilaksanakan pada 13 dan 24 Maret 2012.

34
Sulawesi Bersaksi
Dengan senang hati pak Bantam menyanggupi undanganku. Dia bahkan tidak
berkeberatan saat saya memintanya memberikan kesaksian di depan publik pada acara
dialog terbuka yang akan digelar tiga minggu lagi. Di acara itu kami mempersilahkan pak
Bantam dan Rafin Pariuwa untuk sama-sama memberikan kesaksian tentang tragedi 65 di
Palu. Saat berdiri menyampaikan kesaksiannya kedua orang tua itu saling berpelukan,
bahkan meneteskan air mata sedih bercampur bahagia. Menurut Rafin, Bantam bukan hanya
tentara tapi juga sahabat baginya, dari semenjak menjadi tapol hingga saat ini. Bantam
menambahkan Rafin dan ratusan orang-orang PKI di Palu, semua orang baik-baik. Selama
ditugaskan menjaga tahanan PKI dia tidak pernah kesulitan. PKI bukan pembunuh, mereka
orang baik semua. Termasuk empat orang pimpinannya yang sudah dibunuh. Kesaksian
Bantam dan Rafin ini didengarkan oleh puluhan undangan dari pelajar, mahasiswa,
wartawan, seniman, aktivis LSM, aktivis Partai, anggota dewan hingga walikota Palu.
Setelah acara rekonsiliasi yang perankan Bantam dan Rafin, Walikota Palu H. Rusdi Mastura
tanpa diduga mengungkapan kebenaran bahwa dia pernah disuruh menangkap orang-
orang PKI awal tahun 1966. Saat itu usianya baru 15 tahun, sebagai pelajar SMA yang aktif
di pramuka ia dan teman-temannya mendapat perintah ikut menangkap orang-orang PKI
dan menjaga rumah tahanan di jalan Matahari dan jalan Sedap Malam. Mengikuti jejak pak
Bantam, Rusdi Mastura meminta maaf kepada para korban di Palu. Ia bahkan berjanji akan
membuat program pemulihan bagi korban. Termasuk merehabilitasi nama baik korban yang
selama bertahun-tahun distigma sebagai penjahat, tidak bertuhan dan lain sebagainya.
Untuk menghindari kesalahpahaman, Rusdi menegaskan bahwa dia bukan meminta maaf
kepada PKI, tetapi kepada orang-orang yang menjadi korban pada peristiwa 65, terutama
warga masyarakat kota Palu.

Kini, diusianya yang kian senja memasuki 84 tahun, Ahmad Bantam tetap bersahaja.
Ia merasa telah menuntaskan tugasnya mengemban amanah rahasia besar. Kepada siapapun
yang ingin mendengarkan kesaksiannya pak Bantam dengan sudi mengulang kembali
ceritanya, tanpa lelah. Termasuk saat saya datang berkali-kali untuk melengkapi wawancara
bersama beberapa orang yang berbeda-beda. Termasuk saat saya membawa kontributor
majalah Tempo yang meminta keterangannya untuk ditulis dalam edisi khusus Algojo 65.
Saya bersedia, biar mau dibawa kemana, ke Palu, ke Jakarta atau kemana saja, supaya
semua orang tahu peristiwa yang sesungguhnya. Itu kalimat terakhir yang diucapkan pak
Bantam menghantarkanku di pintu pagarnya. Matahari hampir terbenam, dari masjid suara
adzan memanggil umat Islam menunaikan sholat maghrib. Pak Bantam telah siap dengan

35
Sulawesi Bersaksi
kopiah hitam, baju koko putih dan sarung kotak-kotak putih biru menuju masjid.
Langkahnya sedikit pelan menyangga tubuhnya yang mulai membungkuk. Dari kejauhan
saya menatap pak Bantam masuk ke masjid, ia siap memimpin jamaah sholat maghrib. Di
luar masjid sesungguhnya ia juga telah memimpin bagi para pelaku untuk berani
mengungkap kebenaran demi kebaikan bangsa ini kedepan. ***

Pewawancara dan penulis: Nurlaela AK Lamasitudju.

Andi Sutra

KAU SIKSA BAPAKKU, TANPA NURANI

Aku tidak pernah menangisi masa kecil hingga dewasa yang harus berjuang
membantu Mamakku berjualan agar bisa terus bersekolah. Karena pada akhirnya aku
berhasil menjadi seseorang yang bisa berdiri dan berjalan tegak dengan percaya diri. Tidak
ada yang bisa membuatku menangisi kehidupan yang harus kujalani, seberat apapun itu.
Semua kujalani dengan keyakinan bahwa satu hari nanti aku harus berhasil, sehingga anak-
anakku tidak mengalami hidup sepertiku.
Tapi tidak jika aku mengingat Bapak, atau ada yang menanyakan kisah hidup Bapak dulu
kenapa beliau dipenjarakan.
Apa yang kalian bayangkan tentang Bapakku? Apakah kalian pikir Bapakku penjahat maka
pantas dipenjarakan? Sehingga aku pun pantas menderita sebagai anak penjahat? Tapi
Bapak bukan penjahat, puluhan tahun beliau mengabdi sebagai anggota TNI Angkatan
Darat. Perjuangannya bahkan dimulai sejak sebelum Indonesia merdeka. Tapi apa yang dia
terima?
Selama 13 tahun lamanya Bapak ditahan, bukan hanya di satu tempat tapi terus berpindah-
pindah. Empat tahun dipindah dari satu Kodim ke Kodim yang lain, sejak ditangkap tahun
1974 di Selayar. Tahun 1975 dibawa ke Kodim Bulukumba, tahun 1976 di Korem Bone.
Beberapa bulan di Bone ada informasi mau dibebaskan maka dikirim lagi ke Bulukumba.
Di sini pun menunggu beberapa bulan sudah masuk tahun 1977 dikirim kembali ke Selayar
di masukkan ke Kodim lagi. Ditunggu dari minggu ke bulan, bulan ke tahun janji
dibebaskan tak kunjung menjadi kenyataan. Sampai akhirnya tahun 1978, datang kabar yang
menyatakan bahwa Bapak mau dikirim ke Makassar tepatnya di Moncongloe.

36
Sulawesi Bersaksi
Waktu Bapak ditangkap usianya sudah 65 tahun, usiaku baru 10 tahun. Tidak akan pernah
aku lupa kejadian malam itu, satu malam di bulan Ramadhan. Seperti biasa setelah berbuka
puasa kami bersiap untuk sholat Taraweh, Bapak sedang duduk di ruang tamu sambil
minum teh. Tiba-tiba terdengar ribut-ribut di luar rumah, Mamak bilang Kenapa ramai
sekali di luar, ada orang meninggalkah? Masa mau dimakamkan malam-malam, gelap tidak
ada lampu pula? Belum sempat aku jawab, beliau sudah menjawabnya sendiri. Karena
memang jalan di depan rumahku adalah jalan menuju ke pemakaman umum.
Bapak ke luar untuk memeriksa, ada beberapa orang yang berlari-lari di jalan depan rumah.
Lalu beliau bertanya, Ada apa, ada apa? Tidak ada yang menjawab. Beliau pikir mungkin
ada pencuri, lalu masuk kembali. Karena masih ramai, beliau ke luar lagi. Tiba-tiba ada cucu
kemenakan istilahnya di daerah kami, jadi bukan cucu kandungnya, berteriak-teriak sambil
berlari masuk ke dalam rumah, Datok tolong aku, aku diborongi (dikeroyok). Bapak
mengikuti dia masuk ke dalam rumah, lalu beliau tanya,Kenapa kau di borongi?.
Dia bilang dia dituduh PKI, akhirnya Bapak suruh dia keluar. Di luar sudah banyak orang
yang berkumpul, sementara kami tidak berani keluar. Tiba-tiba salah satu dari mereka
memukul kening Bapak dengan tongkat yang sedang dipegangnya. Karena ditongkatnya
ada paku, keningnya tergores. Ketika Bapak usap dan lihat ada darah spontan beliau
menempeleng kepala orang itu.
Bapak bilang, Aku ini ABRI, TNI...
Langsung orang itu bilang, Aku tidak takut sama ABRI, aku ini Bupati. Kamu melindungi
PKI
Kenapa ada Bupati ke luar? Biasanya kan bupati ada pesuruhnya, ada polisinya. Lagipula
aku tidak melindungi PKI, aku hanya melerai. Pastikan dulu perkaranya jawab Bapak.
Bupati langsung pergi, kerumunanpun ikut bubar. Aku masih ingat nama Bupati waktu itu,
yaitu Andi Palijoi.
Mamaknya (nenekku) bilang,Kenapa kau lawan, dia itu Bupati.
Bapak jawab, Dia itu bukan Bupati tapi anak-anak.
Bapakpun masuk ke rumah. Tidak berapa lama datang mobil polisi yang biasa untuk
membawa tahanan mau ambil Bapak. Dijelaskan bahwa ada perintah untuk membawa
Bapak ke Kantor Polisi, masalahnya nanti diberitahukan di kantor. Lalu Bapak bilang,
Tidak usah aku dinaikkan mobil itu, nanti aku pergi sendiri ke kantor polisi dan aku tidak
mungkin lari. Jarak antara rumah dengan kantor polisi sekitar satu kilo meter, Bapak
datang dengan berjalan kaki.

Cerita lengkapnya aku tidak tahu tapi yang pasti setelah dari kantor polisi, Bapak langsung
di antar ke Kodim Selayar. Alasannya karena Bapak pensiunan ABRI, jadi diserahkan ke

37
Sulawesi Bersaksi
Kodim. Sampai di sana Bapak tidak diperbolehkan pulang. Bapak minta diijinkan pulang
untuk mengabarkan kepada keluarga, bahwa beliau harus menginap. Akhirnya Bapak
diantar oleh tentara, jarak Kodim ke rumah kurang lebih 750 meter.
Waktu itu kami memang cemas, pasti Bapak akan diperkarakan. Tapi karena Bapak juga
ABRI, kami percaya bisa selesai secepatnya. Yang aku pikirkan adalah di usianya yang
sudah memasuki masa pensiun, kenapa harus menjalani ini. Namun ternyata kasus Bapak
tidak pernah diselesaikan, setelah 3 bulan di Kodim, Bapak malah dipindahkan ke penjara
Selayar yang jaraknya kira-kira 800 meter dari rumah. Di tempat itu selama 2 bulan.
Kemudian dikembalikan ke Kodim lagi, dan ditahan di sana selama 2 bulan.
Masuk tahun 1975 aku tidak ingat bulannya Bapak ternyata dipindahkan ke Kodim
Bulukumba, di sana selama 5 bulan. Kami tidak tahu apa alasannya, bahkan kami tidak
diberitahu ketika Bapak dipindah. Jadi kami sempat kehilangan jejaknya, aku yang selalu
ikut dengan Mamak dibawa ke sana ke mari. Ke penjara, ke Kodim tidak ada pemberitahuan
apapun dan mereka juga tidak menjawab ketika kami tanya.
Dua hari kemudian akhirnya kami diberitahu kalau Bapak dikirim ke Bulukumba.
Kemudian dikirim lagi ke Korem Bone selama 4 bulan. Dari sini Bapak dikirim lagi ke
Selayar dan akhirnya dibolehkan pulang hanya dikenakan wajib lapor di Kodim Selayar
selama 4 bulan. Entah apa alasannya Bapak kembali ditahan di Kodim Selayar beberapa
bulan sampai akhirnya berakhir di Moncongloe seperti yang aku ceritakan di atas.
Setelah dipindah ke sana ke mari tanpa kejelasan hukum, akhirnya Bapak sampai di
Moncongloe. Usia Bapak waktu itu sudah sekitar 69 tahun. Usia yang tidak lagi produktif,
dan tidak ada manfaat yang bisa diambil dengan memenjarakan Bapak.
Aku lupa tahun pasti Bapak lahir, yang pasti pada tahun 1964 beliau pensiun usianya 55
tahun. Tidak bisa kubayangkan di usia tuanya itu dia harus bekerja di kebun. Di
Moncongloe, Mamak sudah ikut tinggal bersama Bapak. Setidaknya mereka bisa berkumpul
meskipun bukan di tempat yang mereka harapkan.
Tahun 1986 keluar dari Moncongloe. Dalam usianya yang sudah menginjak 77 tahun, Bapak
kembali ke Selayar, untuk mendapatkan haknya kembali yang diambil paksa oleh adik
kandungnya sendiri.
Tahun 1997, ibuku meninggal di usianya yang ke 65 tahun. Bapakku masih hidup dan sehat,
di usianya yang menginjak 104 tahun. Bapak tidak mau kuajak tinggal bersamaku, bahkan
sesekali beliau yang menjenguk kami. Tempat tinggal kami memang tidak terlalu jauh masih
di sama-sama di Kota Makassar. Apalagi sekarang ini, dalam kondisi aku yang sedang sakit.
Rumah Bapak berada di Jl. Angkasa 4 No. 23 Paikang Kecamatan Panakukang Kota

38
Sulawesi Bersaksi
Makassar Km 5. Jaraknya sekitar 1 KM dari rumahku dan tinggal sendiri tidak mau
ditemani.
Sampai saat ini jika teringat bagaimana Bapak dulu dipenjarakan tanpa sebab, tidak pernah
diperkarakan pula. Aku selalu tidak pernah bisa menahan air mataku, karena aku tidak bisa
berbuat apa-apa saat itu. Dulu itu ada istilah siapa yang membangkang berarti dia termasuk
PKI. Bapakku dibilang yang membangkang karena melawan pejabat.
Bapak memang tidak pernah disiksa secara fisik, tapi jelas secara bathin. Siksaan bathin di
usia yang seharusnya dilayani oleh keluarga, dan menikmati pensiun dengan tenang. Tidur
di tempat yang nyaman bukan di penjara atau di rumah bedeng seadanya.
Tiga belas tahun beliau harus menjalani itu semua, setelah bebas menyandang status eks
tapol golongan B. Malah Bapak masih mau dikirim ke Pulau Buru, tentu saja kami melawan.
Waktu itu aku juga sudah kuliah di Fakultas Hukum, jadi aku sudah ada bekal untuk
melawan. Aku tidak mau kejadian dulu terulang lagi, aku mau merawat Bapak dan Mamak.
Aku, Andi Sutra.
Andi Sutera, nama yang diberikan oleh kedua orangtuaku. Aku lahir di Selayar, 11 Nov
1964, Kecamatan Benteg Kabupaten Selayar Provinsi Sulawesi Selatan. Bapakku bernama Pat
Ta Gau dan Mamakku bernama Andi Mujenab. Aku anak bungsu dari lima bersaudara dan
perempuan satu-satunya. Kakak pertama laki-laki, pendidikan terakhir SMA sekarang
sudah meninggal. Kakak kedua, pendidikan terakhir SMA sekarang tinggal di perbatasan
Atambua. Kakak nomor 3, pendidikan terakhir SMA sekarang tinggal di Selayar. Kakak
keempat pendidikan terakhir SMA sekarang tinggal Kepulauan Pangkep.
Sebagai anak bungsu dan satu-satunya perempuan tentu saja aku diperlakukan istimewa,
baik oleh kakak-kakak maupun kedua orangtuaku. Meskipun Bapak sudah pensiun, tapi
kami punya beberapa tempat usaha yang dikontrakan. Lagipula semua keluarga Bapak
banyak yang tinggal di Selayar. Tanpa terasa akupun sudah harus masuk sekolah, tahun
1971 akhir aku masuk Sekolah Dasar (SD). Setiap hari berangkat ke sekolah berjalan kaki,
jaraknya juga tidak begitu jauh kurang lebih 100 meter. Pertama masuk tentu saja aku
diantar oleh Mamak, tapi akhirnya aku berani pergi sendiri.
Pakaian sekolahku juga sudah memakai seragam, selain putih merah aku ingat ada juga
seragam pramuka. Aku tumbuh sebagai anak yang periang, aku juga punya banyak teman.
Banyak permainan yang aku kuasai salah satunya adalah lompat tali.
Sampai akhirnya terjadi peristiwa itu, di mana Bapak ditangkap dan baru dibebaskan
setelah aku dewasa. Tahun 1974 menjadi tahun yang sangat berarti buatku. Di awal tahun
itu kakakku yang pertama sudah berangkat ke Bone untuk sekolah ABRI. Karena Bapak

39
Sulawesi Bersaksi
ditahan, akhirnya kedua kakakku yang lain juga dibawa oleh tante dari Mamak yang di
Bulukumba dan yang di Makassar. Tinggallah kami bertiga, kakak nomor empat, aku dan
Mamak.
Aku tidak tahu, kenapa masih ada saja orang yang dituduh PKI. Padahal peristiwanya
sudah lama berlalu hampir 10 tahun. Maksud baik juga tidak selalu berakhir baik, padahal
Bapak hanya mau melerai tapi malah dianggap melawan pejabat. Hingga akhirnya beliau
juga dituduh PKI. Waktu itu aku sendiri tidak mengerti apa itu PKI.
Setelah Bapak dipindahkan ke penjara, setiap terima uang pensiun kami mengantar
makanan untuk Bapak. Tapi waktu Bapak masih di Kodim hampir setiap hari aku datang
bersama teman-teman sekolah, bermain lompat tali di halaman Kodim. Nanti menjelang sore
aku baru pulang dan pamit ke Bapak. Penjaga-penjaganya juga tidak melarang aku masuk
untuk bertemu Bapak.
Dulu waktu di Rumah Tahanan Militer (RTM), ketika menjenguk Bapak ada sel-sel yang
diatasnya ada tulisan G30S/PKI. Lalu aku tanya sama penjaga yang mengantar, dia bilang
oh itu Gula 30 Sendok. Karena waktu itu juga aku masih kecil dan juga belum tahu, belum
belajar di sekolah aku terima saja informasi itu. Setelah aku SMP sudah mendapat pelajaran
sejarah, dan hal itu dipelajari, lalu aku tahu, G 30 S itu Gerakan 30 September.
Hidup kami seharusnya baik-baik tidak kurang satu apapun meskipun Bapak ditahan.
Kalau saja Bapak tidak mempercayakan semua surat-surat berharga terkait rumah dan
sebidang tanah serta 3 ekor ternak sapi kepada adik kandungnya. Maksudnya adalah untuk
berjaga-jaga kalau-kalau ada yang berniat jahat kepada kami. Karena Mamak tidak bisa
berbahasa Selayar.
Om berjanji akan menjaga kami, dia ibaratkan, kalau anaknya makan kami juga makan.
Bapakpun merasa tenang karena percaya adiknya akan menjaga keluarganya. Tapi apa yang
terjadi, seperti kisah dalam sinetron. Tidak berselang lama kami diusir, dipaksa ke luar dari
rumah. Dan benar-benar seperti sinetron jaman sekarang, hujan-hujan kami harus pergi.
Lalu kami pergi ke rumah kakak perempuan Bapak, menceritakan apa yang terjadi.
Kemudian Tante pergi ke rumah Om, dan menanyakan apa yang terjadi. Om bilang kalau
Bapak sudah berhutang sama dia, dan belum dibayar.
Tantepun tidak bisa berbuat apa-apa, kemudian kami mencoba merebut satu rumah petak
yang ada di deret paling ujung ruko dari 4 ruko yang ada. Kami tetap bertahan, meskipun
dipaksa. Mungkin dia sudah merasa cukup kamipun dibiarkan tinggal.

40
Sulawesi Bersaksi
Waktu kami datang membesuk Bapak, lalu Mamak menceritakan apa yang sudah terjadi.
Akhirnya Bapak hanya bisa bilang, biarkan saja dulu biar nanti dia yang selesaikan. Tapi
entah kapan Bapak bisa bebas.
Sejak itulah kami seolah-olah hidup dari nol, kami hanya bertahan dengan gaji pensiun
Bapak. Aku dan kakak mulai belajar berjualan makanan di sekolah, yang aku ambil dari
orang. Tentu saja tanpa sepengetahuan Mamak. Kakak yang ambil makanannya naik sepeda
nanti aku yang menitipkan di luar kelas-kelas, tidak boleh di dalam.
Aku bersyukur karena selama ini aku banyak teman, maka tidak susah meminta teman-
teman membantu, merekapun membantu dengan sendirinya. Aku titip ke setiap teman
dalam kelas di mana aku letakkan jualanku, nanti waktu keluar main mereka yang akan
mengumpulkan uangnya. Sebelum masuk mereka setor, sebagai upahnya mereka dapat satu
kue yang ukurannya lebih besar. Karena memang sudah dibuatkan khusus oleh si Pemilik
kue.
Sepulang sekolah aku singgah dulu menengok Bapak di Kodim, bermain lompat tali dengan
teman-teman. Setelah itu aku pamit mandi kemudian berangkat mengaji. Di tempat
pengajian aku juga berjualan, sebelum mulai. Makanannya diantar sama kakak, karena
sepulang sekolah dia langsung bekerja di Koh tempat pembuatan kue. Sebenarnya aku yang
suruh kakak untuk minta pekerjaan disana, tujuannya untuk belajar membuat sambal.
Karena terlalu banyak pesanan kebetulan mereka membutuhkan banyak tenaga, jadi
masuklah kakak bekerja.
Karena kami hanya berdua, hubunganku dengan kakak menjadi sangat akrab. Kemana-
mana kami selalu berdua, ke hutan mencari kayu kami juga berdua. Gayaku memang
tomboy, tidak suka bergaya perempuan.
Lama kelamaan akhirnya Mamak tahu kalau kami berjualan. Akhirnya aku mengusulkan
kenapa Mamak tidak membuat kue atau nasi santan saja lalu aku dan kakak yang akan
keliling. Daripada kami harus berjualan punya orang lain, Mamak bilang, Apa kalian tidak
malu?
Kenapa harus malu, jawabku.
Akhirnya Mamak khusus membuat nasi santan, lalu kita ambil es di orang Cina. Waktu itu
cuma dia yang punya alat untuk membuat es. Namanya es lilin. Ada beberapa termos
panjang kita ambil. Jadi aku yang jaga, nanti kakak yang pergi ambil es. Karena pabrik es
jaraknya agak jauh, dia pakai sepeda. Lalu dia taruh es, kemudian dia pergi lagi ambil
makanan jalang kote (pastel). Kadang kita bawa 10 tempat (keranjang kecil yang bisa
menampung 100 kue). Kakak yang bolak-balik ambil naik sepeda.

41
Sulawesi Bersaksi
Di Selayar, rumah kami kebetulan bertetangga dengan SMA Negeri Selayar cuma dibatasi
pagar kayu. Bahkan anak-anak sekolah parkir sepeda di rumah. Lalu aku pikir kenapa kami
tidak jualan, apa saja di rumah. Jual ubi dan pisang goreng, kalau perlu nasi dan ikan.
Setelah kami bicarakan bertiga akhirnya Mamak setuju untuk berjualan nasi, dan goreng-
gorengan. Modalnya dari hasil kami jualan sebelumnya, yang kami kumpulkan. Karena
kakak sudah tahu juga cara membuat lombok (sambal) hasil dia bekerja bantu-bantu di
tempat Koh yang buat makanan. Sementara jualan sore aku yang jaga di tempat mengaji,
sambil main lompat-lompat tali.
Sampai akhirnya Bapak dipindahkan ke Moncongloe Makassar pada tahun 1978, di sana
Mamak dan Kakak ikut. Dia sudah lulus SMP, sementara aku sebentar lagi tamat SD. Karena
tidak memungkinkan untuk melanjutkan sekolah kalau aku ikut Bapak, maka aku diambil
tante untuk melanjutkan sekolahku di Makassar. Nanti kalau libur baru aku ke Moncongloe.
Jarak dari Makasar ke Moncongloe itu sekitar dua jam, jalannya juga rusak belum lagi
banyak pos penjagaan yang harus dilewati agar tidak ada tahanan yang melarikan diri.

Pindah-pindah mengikuti suara hati.


Masa di Sekolah Menengah Pertama (SMP) aku rasakan paling kacau, aku sering pindah
sekolah karena aku pindah tempat tinggal. Tidak kurang dari 4 sekolah aku berpindah-
pindah. Pertama aku masuk di SMP PGRI di Makassar, tinggal dengan kakak sepupu.
Karena tinggal dengan saudara, kalau aku rasa kurang nyaman aku pindah ke saudara yang
lain. Kalau sekolahnya jauh aku pindah sekolah, seperti yang kedua aku pindah ke SMP
Negeri 6 Makassar. Kemudian aku pindah lagi ke SMP Negeri 8 Makassar.
Kepindahan sekolah aku urus sendiri, macam-macam alasan aku keluarkan. Alasan jauh
dari rumah karena sudah pindah, padahal tidak pindah. Nanti di rumah setelah sekolah
pindah alasannya karena sekolah jauh. Aku pamit dengan tante di tempat yang terakhir aku
tinggal. Aku bilang karena sekolah jauh, jadi cari tempat tinggal yang dekat sekolah. Setelah
itu tidak balik lagi.
Tapi ada juga pindah rumah, tapi tidak pindah sekolah. Seperti waktu aku ikut tante dari
Mamak, karena tidak punya anak dia suka kejam, suka marah-marah. Kalau sedang marah
dia suka memukul, jadi setiap hari aku was-was kalau-kalau ada salah. Dan aku takut sekali
kena pukul, jadi bagaimana caranya aku harus ke luar dari rumah. Alasanku adalah karena
aku pindah sekolah dan jaraknya jauh dari rumah, padahal aku tidak pindah.
Terakhir aku bersekolah di SMP Muhammadiyah dan lulus di sekolah ini. Waktu itu aku
diajak tinggal oleh sepupu yang orangtuanya sudah almarhum, mereka tinggal bersama 3

42
Sulawesi Bersaksi
orang. Waktu itu dia sudah kuliah di UNHAS ( Universitas Hasanudin) Aku berterimakasih
karena dipanggil untuk tinggal bersama mereka, tapi aku minta ijin dulu ke Bapak.
Bapak hanya bilang,Terserah kamu, enaknya seperti apa. Karena Bapak juga tidak bisa
berbuat apa-apa selama tinggal di Moncongloe. Terserah kamu yang penting bisa jaga diri.
Akhirnya aku tinggal di tempat sepupu , sampai akhir SMP tahun 1980.
Selama masa SMP aku sudah mulai berjualan, apa saja yang bisa aku jual. Seperti yang aku
lakukan waktu di masa SD dulu. Karena aku sadar bahwa aku harus mandiri dan tidak
boleh bergantung terus menerus. Biarlah aku numpang untuk tidur tapi makan aku harus
cari sendiri.
Karena sejak tahun 1979 uang pensiun Bapak tidak lagi diberikan, maka aku harus benar-
benar berpikir mencari uang untuk biaya sekolah. Meskipun aku sempat berpikir tidak akan
bisa melanjutkan sekolah. Waktu aku urus ke Ajendam (Ajudan Jendral Daerah Militer)
berkas Bapak katanya sudah hilang, tidak tahu kenapa bisa hilang.
Terus bersekolah sambil berjualan.
Meskipun sekolahku sering pindah-pindah aku bisa masuk SMAN 5 Makassar, masih
tinggal dengan sepupu Bapak yang guru dan sudah bekerja di Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan. Di SMA aku mulai berani berjualan barang-barang yang dibutuhkan teman-
teman seperti sepatu hitam dengan sistem kredit. Kegiatan itu aku lakukan sampai tamat
SMA tahun 1983.
Aku hanya menumpang rumah untuk tidur, aku membeli beras sendiri. Kalau aku kasih
beras mereka pasti tanya dapat beras dari mana? Lalu aku jawab, baru mendapat kiriman
dari Moncongloe.
Masa ini aku lewati dengan santai tidak lagi terbebani dengan hal-hal yang dulu aku alami
waktu masih SMP. Sekarang (masa SMA) aku juga sudah mulai berpikir dewasa, untuk
tidak membuat keputusan yang terburu-buru. Aku juga masih datang ke Moncongloe kalau
sedang liburan.
Setelah aku tamat SMA, aku masukkan kakakku sekolah di SMA 5 tempatku bersekolah.
Karena selama ini dia hanya tinggal di Moncongloe.
Tamat SMA aku tidak langsung kuliah, aku ikut kursus mengetik 10 jari selama 3 bulan.
Lalu aku melamar pekerjaan, diterima di perusahaan CV. Aneka Cipta Maju, sebuah
perusahaan yang menjual alat-alat kelistrikan dan juga developer. Oleh pimpinan aku
disarankan mengambil kursus Tata Buku, Bon A dan Bon B, kalau sekarang Akuntansi 3
bulan. Untuk menunjang pekerjaanku, aku juga disarankan lagi kursus Sekretaris 3 bulan.

43
Sulawesi Bersaksi
Semuanya aku ikuti dengan menyisihkan sebagian dari gajiku, karena buatku itu memang
investasi.
Satu tahun bekerja, aku merasa sudah cukup untuk bisa melanjutkan kuliah. Aku minta ijin
untuk bisa bekerja di shift malam, karena aku mau melanjutkan kuliah. di Universitas
Hasanudin Makassar mengambil kuliah sore, di jurusan Hukum. Waktu itu pilihannya ada 2
yang pertama ekonomi tidak lulus yang kedua hukum lulus. Kalau kuliah pagi, aku tidak
bisa bekerja, yang akhirnya aku digaji per kehadiran.
Pimpinan perusahaan sangat mendukung kemajuan karyawannya, aku mengatakan
kepadanya terus terang tentang keadaanku. Buat beliau yang penting aku mau bekerja.
Kurang lebih 4 tahun aku menyelesaikan kuliah sampai tahun 1988, dan aku masih bekerja
di kantor yang sama.
Perusahaannya juga buka sampai malam, makanya aku bisa mengambil jam kerja waktu
malam. Sampai aku menikah dan punya anak satu aku masih bekerja sekitar tahun 1998.
Karena tidak enak sama teman-teman, sering tidak masuk bekerja, maka aku mengundurkan
diri. Lalu aku pindah bekerja di perusahaan marmer di bagian adminintrasi, selama satu
tahun. Sampai punya anak kedua.
Aku menikah tahun 1992. Di karunia 3 orang anak, dua laki-laki dan 1 perempuan. Yang
pertama laki-laki kami beri nama Awalia Rezky lahir tahun 1995, yang ke dua perempuan
kami beri nama Tendri lahir tahun 1997, anak ke tiga laki-laki kami beri nama Tata lahir
tahun 2000.
Aktivitasku sekarang adalah menjadi pengacara di salah satu Biro Hukum di Kota Makassar.
Aku juga aktif di salah satu partai politik di Makassar. Tapi sejak setengah tahun ini aku
tidak lagi bisa beraktivitas sebagaimana biasa, setelah sebelah tubuh bagian kanan lumpuh
tiba-tiba. Menurut dokter aku tidak menderita stroke, karena tekanan darahku normal.
Secara medis tidak ada penyakit yang aku derita. Akhirnya dengan pengobatan alternatif,
keadaanku sudah mulai mengalami perubahan. Aku sudah mulai bisa melangkah walaupun
masih terasa berat. Tapi aku tidak pernah putus asa untuk terus berusaha mencari
kesembuhan.
Sisi positifnya aku menjadi semakin dekat dengan anak-anakku, begitu juga dengan sang
pencipta tentunya. Bergantian mereka melayani semua keperluanku. Aku selalu berdoa
untuk kebaikan mereka.
Perebutan harta antara kakak dan adik
Keluar dari Moncongloe tahun 1986, Bapak memutuskan kembali ke Selayar. Tujuannya
untuk meluruskan masalah titipan harta yang dia berikan ke adik kandungnya. Berupa

44
Sulawesi Bersaksi
sebuah rumah batu 2 tingkat, lantai 2 nya berupa bangunan kayu dan ternak 3 ekor kerbau.
Sesampainya di sana Bapak langsung ke rumah lama, lalu bertemu dengan adiknya . Waktu
ditanya kenapa dia melakukan itu, dia bilang kalau Bapak punya hutang. Bapak balik tanya
hutang apa?
Akhirnya Bapak menawarkan jalan tengah daripada berperkara antar saudara. Bapak minta
dibayar saja dengan harga 350 juta, pengganti rumah dan ruko. Kalau tidak terpaksa Bapak
memperkarakan. Ternyata Om setuju maka tidak jadi diperkarakan. Namun hal itu tidak
pernah dipenuhi, sampai saat ini uang itu tidak pernah diberikan kepada Bapak.
Akhirnya aku memutuskan untuk tidak lagi mempedulikan harta yang menjadi rebutan itu.
Sedikit demi sedikit aku bisa mengumpulkan uang dari hasil kerjaku untuk membeli
sebidang tanah kosong. Aku mengatakan kepada Bapak, bagaimana kalau kita membangun
sendiri saja rumah di sini. Rumah yang sekarang Bapak tempati, sebagian bahannya diambil
dari Moncongloe di tanah bagian Bapak seperti bambu petung. Sisanya aku beli dengan
mencicil sedikit-sedikit. Aku terus mengingatkan Bapak untuk tidak lagi memikirkan harta
itu. Mungkin itu juga yang membuat Bapak marah kepadaku hingga beliau terkadang
berkata kasar. Terutama aku pikir dia marah dengan dirinya sendiri, mengingat betapa dulu
dia melakukan kesalahan begitu percaya dengan orang lain meskipun itu adiknya
kandungnya sendiri.
Buatku itu bagian dari masa lalu, lagi pula sekarang ini harta itu sudah tidak ada. Sudah
banyak yang terjual, untuk mengobati penyakit yang diderita Om. Itu juga sudah
merupakan hukuman bukan lagi dari manusia, tapi dari Yang Maha Adil. Mungkin juga
harta itu memang bukan hak kami. ***

Pewawancara dan penulis : Nurhasanah

Anwar Naba

DASAR ANAK PKI

Kamu ini, masih anak-anak sudah berani bicara. Tanda-tandanya ini anak PKI, masih kecil
sudah berani melawan aparat.
Masih terngiang jelas kata-kata itu di telinga saya, padahal kejadiannya sudah cukup lama.
Saat itu usia saya 16 tahun kira-kira karena saya ingat baru lulus SMP.

45
Sulawesi Bersaksi
Malam itu, sebenarnya belum juga malam. Belum lama lepas mahgrib karena saya juga baru
selesai sholat. Waktu saya sedang duduk di depan rumah cari angin, tiba-tiba datang
seorang aparat polisi. Dia berhenti di depan rumah lalu dia bilang, tadi ada laki-laki yang
lari ke sini membawa lari perempuan. Dia pura-pura cari petugas ronda, sementara waktu
itu masih jam setengah 7 sore.

Lalu saya bilang ke dia, Bagaimana ada petugas ronda Pak, baru jam-jam begini. Lagipula
kan Bapak yang lihat perempuan itu dibawa sama laki-laki. Bapak kan seorang polisi,
kenapa bukan Bapak yang menangkap laki-laki itu? Kenapa justru Bapak menyalahkan
orang yang di sini?. Dia marah, lalu keluarlah kata-kata itu.

Datang bersama seorang kepala lingkungan dari lingkungan lain, dia terus mengeluarkan
kata-kata yang tidak pantas dikeluarkan oleh seorang terhormat seperti dia. Sampai
sekarang orangnya masih ada, dan tidak sedikitpun saya hormat sama dia.

Terkadang saya bertanya dalam hati, apa yang dia tahu tentang PKI? Apa yang sudah kami
ambil dari dia? Apa yang salah dengan orang yang menjawab pertanyaannya ? Bagaimana
bisa dia bilang saya berani melawan aparat?

Tidak hanya itu saya dianggap melawan aparat, ada lagi kejadian yang membuat saya
merasa heran. Dengan stigma yang mereka sematkan ke saya dan semua anak yang ada di
daerah saya, seolah-olah kami tidak punya hak untuk bicara. Bukankah berani karena benar
itu sudah merupakan suatu keharusan?
Tahun 1996 saya membantu sebuah lembaga yang melakukan pendataan orang-orang yang
dianggap PKI tapi dia pegawai negeri. Karena saya ada di dalam kampung itu, saya merasa
terpanggil untuk membantu mereka yang dulunya pegawai negeri yang saat itu
diberhentikan secara sepihak tanpa digaji atau mendapat pensiun.

Belum selesai melakukan pendataan, ada 2 polisi datang ke rumah. Saya dijemput paksa,
dibawa ke Koramil untuk menghadap Komandan. Saya ikuti saja dan tidak banyak
bertanya. Sampai di Koramil langsung disuruh masuk ke ruangan Komandan, yang saat itu
masih kosong. Sambil menunggu Komandan datang saya duduk di kursi di depan meja
beliau. Begitu beliau masuk saya tidak berdiri, tapi tetap duduk.
Beliau langsung bilang, Eh, kamu ini. Anak kurang ajar.

46
Sulawesi Bersaksi
Kenapa Pak.. tanya saya.
Siapa yang suruh kamu duduk?. Ayo berdiri. Kemudian saya berdiri, di belakang kursi
yang saya duduki tadi.
Kau mau bangun lagi partai komunis? dengan suara yang agak keras
Lalu dia bilang, Saya pertaruhkan saya punya pangkat ini, kalau kau berani melawan
saya.
Saya kaget. Kenapa sampai saya ditangkap, kenapa sampai saya dibilang mau membangun
...anu Pak...e...Partai Komunis?
Kau kan yang mendata orang-orang PKI yang pernah menjadi pegawai negeri..
Iya Pak, kebetulan ada organisasi minta dibantu supaya mencatat.
Mau diapakan. Mau dibangun lagi tuh PKI.?
Tidak Pak, kebetulan ada lembaga mungkin karena apakah ada bantuan untuk orang-orang
yang seperti itu atau bagaimana jadi saya disuruh mencatat.
Ada ijin dari polisi?. Ada ijin dari Danramil?
Tidak ada Pak, karena saya juga tidak disuruh minta ijin ke polisi, ke Danramil.
Dia buka bajunya, lalu dia panggil anak buahnya untuk ambilkan senjatanya di kamarnya.
Ambil senjata di dalam.
Saya bilang dalam hati, mungkin sudah ajal saya ini.
Jadi kamu masih mau mendata orang-orang PKI di sini?
(Di Kecamatan itu ada tercatat 420 orang yang terdaftar sebagai pegawai negeri yang
dituduh PKI)
Kalau saya disuruh oleh lembaga itu saya akan jalankan pak, tapi kalau di sini ada larangan
dari Koramil sini dan polisi, saya minta ada catatan sedikit bahwa saya dilarang untuk
mendata, sebagai pertanggungjawaban saya ke lembaga itu.
Kamu ini, kurang ajar betul jadi anak. Saya tidak mau memberikan catatan melarang tapi
itu jangan kau lakukan.
Ya Pak. Kalau memang saya dilarang untuk itu, nanti saya melapor pada lembaga itu
bahwa saya tidak diberi ijin.
Kau berjanji yah.
Janji Pak.
Kau berjanji itu.

Setelah itu saya diijinkan pulang, dengan janji yang dipaksa. Kira-kira seminggu kemudian,
datang anggota Koramil duduk di bale-bale di lingkungan Tabaringan (pos ronda). Kami

47
Sulawesi Bersaksi
dipanggil dan disuruh kumpul, dia bilang, Kamu di sini jangan macam-macam, kau biar
dibunuh semua di sini tidak ada artinya. Lebih ada artinya seekor ayam daripada kamu-
kamu semua.

Itu baru perlakuan yang langsung saya alami sendiri, masih banyak perlakuan yang sifatnya
mendiskriminasikan kami sebagai satu kelompok. Pasti kalian bingung, siapa sih saya ini.
Apa maksudnya kelompok?. Saya tinggal di satu lingkungan yang namanya Tabaringan,
Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan.

Tabaringan menurut penduduk setempat berarti tak baring-baring. Maksudnya ada rasa
kekhawatiran, karena dianggap tempat kramat. Pada jaman penjajahan Belanda, Tabaringan
merupakan salah satu tempat yang tidak bisa dimasuki oleh Belanda. Orang yang berani
datang dan tinggal untuk pertama kali dikenal dengan nama Karaeng Tabaringan.
Tidak ada yang tidak kenal di Kabupaten Takalar, lingkungan Tabaringan. Lingkungan yang
dianggap paling najis sekabupaten, basisnya PKI. Sekarang ada 270 KK (Kepala Keluarga),
dulu sekitar 50an KK. Kami tidak bisa bergaul di luar lingkungan, karena kami tidak bisa
diterima. Ibaratnya seperti air dengan minyak tidak akan menyatu, sampai sekarang masih
tetap dicurigai sebenarnya.

Meskipun sejak reformasi diberi kebebasan untuk bergaul tapi tetap ada imbas bahwa kami
anak PKI. Contohnya sekarang kan ada anak korban yang masuk bursa calon legislatif. Ada
pernyataan-pernyataan dari lawan politik untuk berhati-hati dengan PKI. Bahkan mereka
tidak segan-segan mengatakan bahwa Anda-anda itu dibunuh tidak ada artinya lebih ada
artinya seekor ayam daripada kalian-kalian semua. Itu semua saya dengar secara langsung
dan ditujukan kepada kami satu lingkungan di sana.

Lalu kenapa bisa Tabaringan dibilang basis PKI di tahun 1965? Saya pikir ini tidak lepas dari
peristiwa-peristiwa yang sesungguhnya tidak berkaitan secara politik tapi lebih kearah
ekonomi yang terjadi sebelumnya. Sebenarnya tidak ada PKI di Tabaringan, hanya saja
hampir 90% masyarakatnya adalah anggota Barisan Tani Indonesia (BTI) Namun pada saat
itu juga belum ada struktur kepengurusannya, belum ada ketua ataupun sekretaris. Cuma
ada cabangnya di Kab. Takalar, baru bergerak untuk mensosialiasi program. Tokoh
masyarakat yang aktif mensosialisasikan program BTI di mana salah satunya
memperjuangkan nasib petani adalah Hadi Makka Daeng Lawu.

48
Sulawesi Bersaksi
Waktu sebelum peristiwa G.30.S. di tahun 1965, yaitu sekitar tahun 1963 ada kejadian tanah
desa mau dijual oleh pejabat pemerintah desa dan kecamatan. Semua anggota BTI tidak
setuju maka ketika terjadi peristiwa 65, dijadikan alasan untuk membalas dendam. Karena
sebagai pejabat merasa tidak dihargai dan masyarakat berani melawan.

Salah satu yang membantu mensosialisasikan BTI adalah orangtua dari istri saya sekarang,
namanya Piso. Karena beliau masih ada hubungan dengan Hadi Makka Daeng Lawu,
seorang tokoh masyarakat, diminta ikut mensosialisasikan program BTI. Sekarang usianya
70 tahun, aktivitasnya sehari-hari bertani.
Tahun 1965 setelah pecah peristiwa G 30-S, beliau termasuk yang kena wajib lapor ke Kodim
Takalar. Disuruh kerja paksa tanpa dibayar.
Beberapa tempat yang pernah beliau kerjakan:
Membuat irigasi yang panjangnya 2 km selama 2 bln. di kampung Taddiniang Kec.
Galesong Utara, jarak dari rumah sekitar 1 km.

Pembuatan jalan desa Tamalate, sejauh 1 km, selama 3 bulan. Dipekerjakan untuk
menimbun rawa-rawa dengan tanah. Hanya menggunakan tangan dan peralatan
sederhana. Tempatnya di Jalur Soreang Sampulungan.

Pembuatan lapangan olahraga Kecamatan, luasnya 1 hektar. Lama pengerjaan


kurang lebih tiga bulan, pekerjaan ini menjadi lama karena untuk menebang pohon-
pohon kelapa dan pohon lontar tidak boleh menggunakan peralatan tajam seperti
gergaji atau golok. Melainkan hanya tali yang diikatkan di pohon lalu ditarik
bersama-sama, satu pohon bisa ditarik oleh sebanyak 20 orang. Tujuannya memang
untuk menyiksa bukan karena tidak ada peralatan.

Membuat empang untuk Pemerintah daerah, di Puntondo Kecamatan


Mangarabondang, jarak dari Tabaringan 40 km yang ditempuh dengan berjalan kaki
pulang pergi. Mereka harus berangkat jam 03 dini hari, untuk bisa sampai di lokasi
jam 07 pagi. Kemudian pulang sekitar jam 4 sore, sampai di umah sekitar jam 8 atau
9 malam. Bayangkan, setelah lelah bekerja seharian harus menempuh perjalanan
pulang 4 sampai 5 jam dengan berjalan kaki. Dengan perut menahan lapar, berharap
di rumah juga sudah tersedia makanan meskipun hanya nasi yang tersisa. Tidak
setiap hari memang, karena digilir dengan desa-desa lain yang ada di Kecamatan.

49
Sulawesi Bersaksi
Pekerjaannya membuat pematang rawa-rawa yang akan dibuat empang. Luasnya
puluhan hektar sampai sekarang masih ada, dan sudah dikelola oleh masyarakat.

Lalu pembuatan pasar Soreang, desa Tamalate

Cerita-cerita tersebut saya dapatkan sedikit demi sedikit setelah saya menjadi menantu
beliau sejak tahun 1996, namun sebelum itu saya juga sudah mendengar cerita ini karena
memang saya juga lahir dan besar di Tabaringan.

Teror aparat

Selain tekanan yang saya alami sendiri banyak lagi tekanan yang dilakukan oleh aparat-
aparat yang datang ke lingkungan kami. Tahun 80an satu hari dalam satu seminggu, selalu
ada aparat yang datang ke tempat kami dan menakut-nakuti. Datang ke masyarakat yang
sedang kumpul-kumpul, atau hanya berkeliling dengan naik sepeda sambil dia lewat
berteriak.

Soal membayar pajak kami tidak lepas dari kewajiban itu, meskipun kami tidak tahu apa
yang menjadi hak kami sebagai warga negara. Telat membayar pajak, kami mau taat pajak
(aneh orangnya tidak diakui tapi pajaknya diminta). Dulu itu ada namanya pajak jiwa.

Setiap jatuh tempo bayar pajak, datang petugas kecamatan bersama aparat polisi ke
lingkungan Tabaringan. Lalu kami dikumpulkan di satu rumah, dan dipanggil satu-satu.
Kalau ada yang tidak bisa membayar pajak, sembarang dia mau ambil. Apa saja dia ambil
kalau tidak bayar pajak, mau piring, peralatan dapur atau apa saja yang dianggap ada
harganya di rumah.

Ketika saya bercerita ini, orang yang mendengar selalu bertanya, lalu kenapa saya tidak
berusaha keluar dari lingkungan itu?

Buat saya sedikitpun tidak terpikir untuk meninggalkan Tabaringan. Keadaan tempat
tinggal yang dianggap tidak bersih lingkungan sejak kecil sudah saya terima saja dengan
lapang dada sebagai takdir Tuhan sepertinya. Waktu saya kecil sampai remaja tidak ada
juga terpikir bahwa cap itu adalah cap pemberian dari manusia.

50
Sulawesi Bersaksi
Tapi sesungguhnya memang tidak ada niatan saya untuk meninggalkan identitas itu,
meskipun itu masih membuat kami kesulitan untuk mecari pekerjaan yang sifatnya formal
dan di swasta sekalipun. Perusahaan-perusahaan yang lumayan besar tidak mau menerima
pegawainya ketika tahu alamatnya di Tabaringan. Misalnya sampai tahun 2000an Pabrik
gula di Takalar, tidak mau menerima pegawai yang alamatnya di Tabaringan. Tapi sekarang
sudah, belum lama juga baru beberapa tahun ini. Ada juga yang menjadi anggota DPRD,
cucunya sudah ada yang menjadi polisi ataupun tentara. Sejak reformasi semua kesempatan
sudah mulai terbuka meskipun belum sepenuhnya.

Meskipun begitu saya merasakan kerugian yang lain. Kerugian di mana masa produktif saya
berlalu tanpa kesan yang baik. Sebelum Suharto akan lengser, saya berkeyakinan bahwa
kami anak-anak, cucu-cucu yang dituduh PKI, selamanya akan seperti itu. Tidak pernah
terbayangkan akan datang suatu masa yang seperti sekarang ini.

Meskipun dulu saya sudah bisa bergaul dengan orang luar tapi stigma itu tidak bisa hilang.
Kan masih dipelajari dalam buku-buku sejarah, misalnya waktu SMP guru sejarah biasanya
mencontohkan kalau masih banyak PKI di Tabaringan. Akhirnya saya hanya sekolah saja
tanpa punya harapan apa-apa,. Pikiran saya, yang penting bisa membaca dan menulis.
Reformasi

Bulan Mei Tahun 1998 merupakan titik tolak dari perjuangan yang sekarang ini kami
lakukan. Ramai di Jakarta minta Suharto turun, jadilah keadaan seperti sekarang. Tidak
lama kemudian beredar buku yang berjudul Dosa-Dosanya Soeharto karangan Wisman
Jaya. Baru bisa merasa ada kebebasan untuk bicara, tetap ada tekanan tapi sudah tidak ada
rasa ketakutan. Saya menjadi tidak takut lagi, mulai disitu saya tidak mau mengerti,
pokoknya kalau ada pertemuan saya telanjangi polisi atau tentara kalau dia ngomong.

Satu waktu ada Om yang pernah dinyatakan tidak lolos di Telkom karena punya sambul D,
sekarang mau ikut jadi calon kepala desa Bontolebang. Begitu dia bermohon mendaftar,
diterima namanya. Tiba-tiba ada surat dari Kabupaten bahwa dia tidak bersyarat karena dia
anak korban.

Saya menghadap ke Sospol, seorang tentara namanya Mayor Burhan. Lalu saya bilang, Pak,
ini saya punya Om mendaftar untuk ikut seleksi penerimaan calon kepala desa. Oleh panitia
dinyatakan lolos, Tapi saya tidak mengerti sampai namanya mau dicoret karena Bapaknya

51
Sulawesi Bersaksi
dianggap terlibat PKI. Masih adakah peraturan untuk itu yang berjalan sampai sekarang?
Kalau ada mohon diperjelas.
Tunggu pak, nanti saya koordinasi dengan pihak Pembangunan Desa (Bandes) nanti saya
turun melakukan sosialisasi.

Ternyata pihak Bandes masih tetap bersikeras menolak. Tdak bisa pak, memang ada
undang-undangnya. Sudah ada aturannya itu bahwa anak-anak PKI tidak bisa ikut.
Kemudian kami minta diadakan pertemuan untuk meminta bukti, pernyataan kepala
Bandes. Pertemuan diadakan di kantor desa, sementara yang hadir antara lain ketua panitia
seleksi Drs. Sultan Syarif, Abdul Azis (pendamping korban), Fiala Rahman (calon), saya
sendiri, Kepala Bandes, Ahmad Tamanggong profesi guru (dari warga pihak pemerintah).

Pertemuan sepertinya tidak mencapai titik temu, dan Kepala Bandes masih tetap bersikeras
untuk tidak menerima. Oleh Om Afif anak korban yang tidak lolos masuk kepolisian, dia
usir itu Kepala Bandes. Lalu dia melapor ke Camat, dia bilang Itu anak-anak Tabaringan
bukan otaknya yang bicara tapi ototnya yang bicara.
Jadi sebenarnya sekalipun kami sudah membaur dengan mereka, tapi pada intinya masih
tidak senang dengan kami-kami. Oleh karena itu sepanjang orang-orang tua tidak
direhabilitasi namanya perjuangan tidak akan berhenti. Bukan karena meninggalnya Bapak
sebagai orang yang dianggap PKI maka terputus hubungannya. Ternyata tidak, karena
ketika stigma itu masih melekat maka anak dan cucu juga masih menerima sebagai anak PKI
dan cucu PKI. Tapi kalau sudah ada pengakuan dari negara bahwa Bapak atau Ibunya tidak
bersalah maka stigma itu akan hilang.

Sekarang ini di lingkungan kami juga sudah banyak orang luar yang mau tinggal atau
membeli rumah kami. Kuliah Kerja Nyata (KNN) mahasiswa juga sudah masuk tahun lalu,
sebelumnya tidak ada karena dilarang oleh pihak universitas.

Tidak lama kemudian lalu datang Danramil, Kapolsek sama dari Kesbang. Saya langsung
bilang bahwa anda-anda ini yang mengatakan bahwa PKI pembunuh tapi justru anda-anda
ini pelakunya. Saya kasih bukunya , Dosa-dosa Suharto.
Komandan Kodim bilang, Saya punya buku yang lain ini. Lalu saya lihat disampulnya ada
gambar Indonesia di bawah di atasnya sepatu laras. Akhirnya Om itu lolos masuk jadi
kepala desa.

52
Sulawesi Bersaksi
Sekarang ini polisi-polisi dan tentara yang dulunya selalu datang ke lingkungan kami, untuk
meneror tidak lagi berani datang. Akhirnya memang sampai saat ini mereka jadi malu kalau
bertemu dengan saya. Tidak mau bicara sama saya. Karena sudah ketahuan bahwa dulu
memang Soeharto yang membuat gerakan mengorbankan orang-orang demi
kepentingannya.

Saya dan keluarga

Saya lahir di Takalar, 20 Desember 1967. Anak kedua dari dua bersaudara, laki-laki semua.
Kakak saya lahir 1962, sekarang tinggal di kampung Nene karena sudah menikah dan punya
dua anak. Pendidikan terakhir Sekolah Dasar (SD), pekerjaan sekarang petani. Orangtua
sudah meninggal, Bapak meninggal tahun 78 dan Ibu tahun 2008.

Saya masuk SD tahun 1975 di Tabaringan, tidak diberlakukan untuk memakai seragam
meskipun sudah ada aturannya, karena memang tidak memungkinkan. Sekolah berada di
kolong rumah Hadi Makka Daeng Lawu seorang tokoh masyarakat Tabaringan. Kolong
rumah disekat dengan anyaman bambu menjadi 5 ruangan. Kelas satu dan dua masuknya
bergantian (kelas pagi dan kelas siang). Kelas 3, 4, 5 dan 6 masing-masing satu ruangan.
Lantainya masih tanah, tempat duduknya dibuatkan dari bambu. Papan tulisnya masih
pakai kapur, sekolahnya gratis tidak dipungut biaya.

Tempat ini dipakai menjadi Sekolah Dasar Negeri, karena tidak ada sekolah. Saya tidak tahu
kenapa tidak dibangun saja sekolah dasar. Padahal empat guru yang mengajar sudah
berstatus pegawai negeri berasal dari luar Tabaringan. Mereka datang setiap hari dengan
naik sepeda.

Secara keseluruhan jumlah muridnya sekitar 60 orang. Kelas angkatan saya ada 20 orang.
Pelajaran yang diajarkan ada aljabar, agama, bahasa indonesia, bahasa daerah.

Buku tulis untuk yang dipakai mencatat, saya ambil dari buku bekas kakak-kakak yang dari
kelas 6. Biasanya masih ada sisa 3-4 lembar. Nah itu saya kumpulkan dan saya satukan.
Karena memang tidak memungkinkan untuk membeli buku.

Tahun 1980 masuk Sekolah Menengah Pertama Negeri Bontolebang. Tidak ada perlakuan
diskriminasi yang saya rasakan karena memang guru-gurunya banyak dari luar. Dan teman-

53
Sulawesi Bersaksi
teman masih belum mengerti. Menempuh jarak 2 kilo meter pulang pergi, dengan jalan kaki
ke sekolah. Karena jalannya masih tanah yah kendalanya kalau musim hujan jadi becek. Di
samping memang tidak ada angkutan umum, tentu saja kalaupun ada saya tidak bisa naik
karena memang tidak punya uang. Sementara biaya sekolah saja masih sangat keberatan.

Sementara kakak saya sudah tidak melanjutkan sekolah dan membantu Ibu di sawah, karena
sudah tidak ada Bapak. Saya sendiri kalau pulang sekolah, menggembala kerbau dan
kambing orang yang dititip. Dengan upah bagi hasil, 3 tahun kemudian baru dapat.

Tahun 1983 saya masuk Sekolah Menengah Atas (SMA) di Galesong 10 Km dari rumah,
sudah naik sepeda ke sekolah. Tamat SMP saya dibelikan sepeda oleh Om, adik dari Bapak.
Dari Tabaringan saya sendiri, kalau sudah sampai di Bontolebang baru sama-sama dengan
teman-teman satu sekolah. Jalan ke SMA sudah ada pengerasan batu gunung sebelum
diaspal dan baru 10 tahun kemudian baru diaspal.

Setamat SMA, saya bekerja di empang tambak udang. Di desa Tamasaju kurang lebih 5 km
dari rumah. Masih kecamatan Galesong, tinggal di sana sekitar 4 tahun sampai tahun 1991.
Tidak ada gaji bulanan jadi pendapatannya tidak menentu, karena dibayarkan berdasarkan
hasil panen.

Kemudian saya menjadi sopir di salah satu perusahaan di Makassar namanya CV. Rahayu
Jaya Expedisi, karena sudah belajar menyetir mobil waktu bekerja di tambak. Kurang lebih 3
tahun sampai tahun 1994.

Kemudian pindah menjadi sopir pribadi orangnya Gapensi Provinsi, sekitar setengah tahun.
Setelah itu saya pindah lagi kerja di tempat pemeliharaan ayam potong di Tabaringan,
mengingat Ibu yang sudah mulai tua dan tinggal di rumah sendiri. Kakak sudah menikah
dan tinggal di kampung istri. kurang lebih 2 tahun kerja, setelah itu saya memutuskan untuk
bertani mengolah tanah keluarga. Maka saya mencoba menanam sayur dan padi, sampai
sekarang.

Waktu saya pergi ke Kendari, baru satu minggu saya diminta pulang. Saya tidak tahu kalau
mau di jodohkan. Sampai di rumah saya langsung dinikahkan, waktu itu tahun 1996. Anak
pertama, lahir 1997, laki-laki. Sekarang kelas 1 SMAN 1 Galesong Utara. Jarak dari rumah

54
Sulawesi Bersaksi
sekitar 3 km, berangkat sekolah dijemput dengan temannya yang bawa motor. Anak kedua
lahir tahun 2006, perempuan. Kelas 1 SD Tabaringan.

Tahun 2008 baru saya masuk kuliah di Universitas Indonesia Timur Makassar jurusan
hukum, seharusnya selesai tahun 2013. Alasan saya melanjutkan kuliah, di samping merasa
kekurangan ilmu pengetahuan saya juga mau tahu tentang bagaimana bidang akademis
yang lebih tinggi. Saya kuliah dan memilih hukum karena saat ini aktif dalam organisasi
masyarakat sipil. Merasa kasihan kalau ada yang bisa dibantu melalui pengadilan tapi
karena tidak bisa memenuhi syarat tidak bisa dibantu. Ada kasus-kasus di pengadilan atau
di kepolisian itu kita tidak bisa tanpa syarat. Hal itu berlangsung sampai saat ini karena
belum mengikuti ujian terakhir jadi belum bisa mendampingi. Tapi sekarang sudah bisa
mengadvokasi di luar pengadilan karena sudah mulai mengerti alurnya.

Rumah saya dulu rumah panggung, terbuat dari kayu. Bentuknya memanjang, lalu disekat
menjadi 3 petak. Petak depan untuk menerima tamu, petak tengah untuk tidur, dan petak
belakang dapur. Tangga ada di depan dan belakang untuk masuk ke dapur. Ada sumur
dekat rumah, karena jarak rumah satu dengan lainnya jarang-jarang, maka setiap rumah jadi
harus punya sumur sendiri. Karena setelah menikah saya masih tinggal dengan Ibu, maka
rumahnya sedikit ditambah sekat untuk kamar saya dan istri. Nanti direhab benar tahun
2003, sudah permanen pakai bata merah. Atapnya seng, dan memang belum selesai
dibangun. Jarak ke pantai kurang lebih 1 km.
Pekerjaan utama sat ini bertani. Tanam sayur bayam dan kangkung.

Saya Bukan Anak PKI

Sebenarnya orangtua saya tidak ada dalam lingkaran peristiwa ini secara langsung, tapi
karena pada saat pemerintahan Orde Baru ada istilah bersih lingkungan, maka saya
dianggap tidak bersih lingkungan. Tabaringan dianggap sebagai basis PKI di Kab. Takalar,
sementara kakek nenek dan orangtua saya tinggal di sini. Siapapun yang ada di daerah yg
dianggap tidak bersih lingkungan, maka dianggap orang yang tidak bersih lingkungan.

Meskipun keluarga saya tidak terlibat tapi saya sudah merasa bahwa saya memang bagian
dari itu. Karena selain stigmatisasi yang diberikan secara sepihak oleh pemerintah, saya juga

55
Sulawesi Bersaksi
merasa bahwa ini memang keluarga saya. Karena dari neneknya nenek kakek saya sudah
tinggal di situ.

Jadi sebenarnya soal terdaftarnya nama di Sospol atau Kesbang, saya dan keluarga tidak ada
dalam daftar nama-nama korban. Tapi dari segi perlakuan saya ini korban langsung, saya
mendapat perlakuan-perlakuan serupa dari aparat-aparat polisi dan Koramil.

Dan tingkat kemiskinan lingkungan Tabaringan, tidak bisa dilepaskan dari peristiwa ini.
Karena tingkat kebebasan orang-orang yang dianggap terlibat pembunuhan ini tidak pernah
diberikan ruang gerak untuk ke mana-kemana. Karena mereka wajib lapor satu minggu
sekali, setiap hari kamis.
Bapak saya memang tidak kena wajib lapor, tapi sudah termasuk orang yang diawasi karena
dianggap sudah terkontaminasi oleh pemikiran-pemikiran orang-orang di situ. Jadi tetap
tidak bisa keluar untuk mencari nafkah kecuali bertani, bercocok tanam sawah. Untuk
urusan lain tidak boleh. Hasil pertaniannya juga hanya cukup untuk makan.

Tahun 1972 itu tahun yang paling mengerikan kehidupan di Tabaringan. Hampir tidak ada
beras karena gagal panen, lalu tidak ada yang bisa kami makan, saya sudah ingat itu karena
usia saya sudah 5 tahun. Kadang kami makan bongkol pisang yang dibakar lalu dicincang
kadang dicampur dengan terigu, susah mau makan. Dan tidak bisa dibantu karena dianggap
orang buangan. Jadi tidak ada bantuan sama sekali masuk, karena memang target mau
dimatikan semua.

Ada struktur pemerintahan, di lingkungan Tabaringan tapi hampir tidak ada fungsinya
keluar. Ada Rukun Tetangga (RT), ada Rukun Keluarga (RK). Yang diangkat RT dan RK
juga harus yang tidak terdaftar namanya di Kesbang sebagai orang terlibat. Kepala
Lingkungan malah tidak boleh dari orang dalam, dia diambil dari lingkungan lain makanya
digabungkan ada beberapa lingkungan yang dipegang oleh kepala lingkungan. Jadi
tinggalnya juga jauh, tugasnya hanya mengkoordinir urusan perpajakan. Bantuan tidak
pernah datang.

Pak Camat saja datang sekali setahun ketika kami mengadakan pesta panen, itupun hanya
datang untuk mengawasi. Karena kami juga tidak mengundang dia.

56
Sulawesi Bersaksi
Kecemasan akan masa depan anak-anak, karena secara struktur keluarga atau silsilah tetap
ada kakek dan nenek yang masih dinyatakan bersalah. Jika tidak ada rehabilitasi nama baik
maka itu akan terus dibawa dan terus dianggap belum bersih lingkungan.

Saya aktif di organisasi korban 65 mulai tahun 2003 bergabung di YPKP ( Yayasan Penelitian
Korban Peristiwa 65). Tahun 2009 bergabung di LPR KROB (Lembaga Perjuangan dan
Rehabilitasi Korban Orde Baru) Sejak tahun 2011 menjadi ketua DPD Sulawesi Selatan.

Kegiatannya adalah melakukan silaturahmi dan pendataan korban di Takalar. Jarak kantor
di Makasar dari rumah 40 km kurang lebih ditempuh selama 2 jam naik motor. Tapi saya
tidak selalu datang. Ke kantor hanya kalau ada keperluan, karena kesibukan saya mencari
nafkah untuk keluarga. Mengurus tanaman sayur, yang cukup membantu memenuhi
kebutuhan kami sekeluarga.***

Pewawancara dan penulis : Nurhasanah.

Hanouk Makatipu

JALAN PANJANG MENUJU SETARA

Tidak banyak yang bisa aku ceritakan tentang Papaku terkait dilibatkannya
dengan peristiwa G 30-S. Di samping memang tidak ada kaitannya secara langsung,
beliau juga baru memasuki dunia politik saat itu. Sepanjang pengetahuanku, Papaku
mulai tertarik ikut partai ketika beliau berkenalan dengan seorang tentara Brawijaya
dari Jawa Timur. Waktu itu tentara tersebut bertugas di tempat kami dalam rangka
mengamankan situasi saat ada pergolakan Perjuangan Rakyat Semesta yang dikenal
dengan nama Permesta tahun 1958 1960.
Nah dari dialah Papa tertarik menggeluti dunia politik. Sejak itu Papa mulai aktif di
partai yang diperkenalkan oleh tentara tersebut yakni Partai Komunis Indonesia
(PKI), tepatnya tahun berapa aku tidak ingat. Aku juga tidak tahu nama tentara itu,
tapi dia memang sering datang ke rumah. Karena memang rumah kami tidak jauh
dari kantornya. Sebenarnya aku juga tidak tahu tepatnya alasan Papa tertarik masuk
ke PKI, hanya saja saat itu pekerjaan utama beliau melaut dan berkebun. Mungkin

57
Sulawesi Bersaksi
karena PKIlah waktu itu yang dirasa lebih mewakili golongannya sebagai nelayan
dan petani. Entahlah, aku pun tidak tertarik untuk lebih jauh tahu. Karena waktu itu
aku juga merasa masih kecil, masih Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Beliau mulai ikut-ikut di kegiatan yang diadakan partai di Manado. Kalau di desa
atau kecamatan beliau belum ada kegiatan apa-apa. Kemudian karena aktif
mengikuti kegiatan partai di provinsi akhirnya mulai dipercayakan memimpin di
kecamatan yang istilahnya CSS (Comite Sub Seksi).
Sejak ditunjuk sebagai pimpinan CSS di Kecamatan Tombariri tahun 1965, Papa
belum melakukan kegiatan apapun terkait program partai. Dia masih beraktivitas
seperti biasa menjadi nelayan sesekali ke kebun. Anak-anakpun tidak tahu apa
kegiatan Papa terkait tugasnya sebagai pemimpin Sub Seksi. Jadi memang belum
bisa dikatakan bahwa di Kecamatan Tombariri ada perwakilan partai PKI. Tidak ada
kantor ataupun kegiatan melaksanakan program partai.
Memang Papa pernah ditunjuk sebagai ketua panitia 9 yang anggotanya terdiri dari
9 partai yang ada di kecamatan, istilahnya itu FrontNas (Front Nasional). Pada tahun
1963 waktu upacara 17 Agustus, Papa dipercaya menyampaikan pidato di kantor
Kecamatan Tombariri.
Sebelum menikah Papa hanyalah seorang anak muda lulusan SMA, yang tidak
punya pekerjaan tetap. Tahun 1946 Papa menikah dan tahun itu juga lahir kakakku
yang pertama, perempuan. Tahun 1948 lahir aku, kemudian tahun 1949 dia
memutuskan hijrah ke Sorong Papua dengan memboyong semua keluarganya.
Awalnya tahun 1949 Papa yang bernama Yan Makatipu adalah seorang pegawai
perusahan Belanda di Sorong, Papua.
Tahun 1953 ketika ada peristiwa Irian Barat, Papa memutuskan pulang ke kampung
di desa Borgo Tanah Wangko, Minahasa Sulawesi Utara. Kami tinggal di satu tempat
yang dulunya orang tidak berani masuk ke lingkungan itu, karena masih hutan dan
rawan gerombolan. Papa berhasil mengajak sekitar 20 KK untuk membuka lahan
dan membuat pemukiman. Tapi sekarang Papa yang terusir dari tempat yang
dulunya beliau rintis. Ada 3 orang yang dianggap terlibat, yang tanah dan rumahnya
diambil alih oleh pemerintah desa sekarang.

58
Sulawesi Bersaksi
Kemudian Papa diterima bekerja di Dinas Pekerjaan Umum (PU), ditugaskan
sebagai bendaharawan di distrik Amurang. Sebagai bendahara salah satu tugasnya
adalah mengambil uang di Provinsi. Namun suatu hari setelah pulang dari
mengambil uang di provinsi tiba-tiba dihadang oleh Pasukan Pengacau Keamanan
(PPK). Mereka akan merampok uang yang dibawa oleh Papa, tentu saja beliau
berusaha melawan meskipun saat itu pengacau-pengacau membawa senjata api.
Beruntung beliau bisa mengatasi dan lari sekuat tenaga, hingga tidak ada satupun
peluru yang mengenainya. Setelah kejadian itu Papa memutuskan untuk berhenti
dari PU karena mengingat ancaman dari para pengacau yang akan membunuhnya.
Sejak itu beliau memutuskan melaut dan berkebun.
Tahun 1964 Mamaku meninggal, waktu itu aku sudah di Sekolah Lanjutan Tingkat
Atas (SLTA). Sejak itu aku dan 6 saudaraku hanya tinggal dengan Papa, beliaupun
belum memutuskan untuk menikah lagi. Waktu Papa ditangkap tgl 5 Oktober tahun
1965 bersama orang-orang yang dituduh baik sebagai anggota PKI maupun
simpatisan partai, praktis kami tidak punya tempat bersandar. Akhirnya sejak itu
kami semua menyebar tinggal di mana ada saudara yang mau menampung.
Siang itu ketika Papa ditangkap aku sedang tidak berada di rumah. Sorenya aku
pulang, kakak dan adikku hanya bisa menangis menceritakan kalau Papa dibawa ke
kantor polisi. Malam itu aku tidak langsung membesuk Papa, rasa takut
membayangi aku dan saudara-saudara ku. Meskipun aku anak laki-laki pertama,
tapi aku tetap lah seorang anak. Dengan situasi yang mencekam saat itu, kami tidak
bisa berbuat apa-apa. Beberapa hari kami tidak berani keluar rumah. Sampai
akhirnya Om dan Tante baik dari pihak Mama maupun Papa datang untuk
mengatur ke mana kami harus tinggal. Karena sudah tidak memungkinkan lagi
tinggal di rumah kami.
Akhirnya kami harus rela tinggal terpisah, aku dan adik nomor lima Alex namanya
tinggal dengan Om Parera Makatipu (adik dari Papa). Kakak dan adik yang nomor
tiga tinggal dengan keluarga Wandal Woru adalah sepupu Mama di desa Sarani
sekitar 500 meter dari rumah lama. Anak nomor empat tinggal dengan keluarga
Weling Manopo, saudara dari pihak Mama. Anak nomor enam tinggal dengan

59
Sulawesi Bersaksi
keluarga Bertha Makatipu, kakak dari Papa. Anak ke 7 tinggal dengan keluarga
Pongo Tero, adik Mama.
Setelah itu kami juga baru berani membesuk Papa, di kantor polisi yang jaraknya
hanya 50 meter dari rumah. Sebenarnya itu juga bukan kantor polisi hanya rumah
penduduk yang kosong, dipakai kantor polisi sementara. Waktu ditahan di sana
kami melihat Papa baik-baik saja, hanya tidak bisa keluar dari sel.
Satu minggu di kantor polisi lalu dibawa ke Komando Operasi Tertib (KOTIB) di
Sario Manado. Dulu belum ada koramil, yang membawa dari Perwira urusan
teritorial (Putertra). Yang kemudian diganti menjadi ODM (Onder Distric Militer),
berganti lagi menjadi Koramil. Dulu kecamatan Tombariri namanya district
bawahan Tombariri (baru tahun 70an berganti Kecamatan)
Setelah di Sario, kami tidak pernah lagi membesuk Papa. Karena kami juga tidak
tahu bagaimana nasib kami ke depan. Sampai akhirnya Papa dikeluarkan dari
penjara Manado tahun 1969 sebagai golongan B. Dikenakan wajib lapor dan
bergabung dengan yang lainnya untuk menjalani kerja paksa.
Keluar dari penjara Papa tidak tinggal dengan anak-anaknya karena waktu di
penjara Papa bertemu dengan pendamping baru sama-sama dari penjara. Lagipula
rumah kami sudah tidak ada lagi, sejak Papa ditangkap rumah sudah diambil alih
oleh pemerintah desa. Dan sudah ditempati orang lain, tidak tahu dijual atau
diberikan oleh pemerintah desa. Yang pasti kami sudah tidak punya hak lagi di sana,
karena pengambilan paksa itu. Waktu itu kami juga tidak berani melakukan apa-apa,
begitu juga Om dan Tante di mana kami tinggal. Luas tanah dan rumah kami itu
luasnya 20 X 30 meter dua kavling (15X10 meter/kavling).
Aku 7 bersaudara, dua perempuan dan lima laki-laki. Aku anak kedua. Anak
pertama perempuan bernama Yosephin Makatipu pendidikan terakhir SMA, pernah
menjadi guru SD. Tahun 1968 diberhentikan jadi guru terkait penangkapan Papa dan
aku. Sekarang tinggal di Borgo bersama adik perempuanku yang nomor tiga karena
suaminya sudah meninggal. Anak ketiga perempuan bernama Mince Makatipu,
tinggal di Borgo. Pendidikan terakhir SMP. Anak keempat laki-laki bernama Tommy
Makatipu, tinggal di Timika. Pendidikan terakhir SMP, pekerjaan pensiunan
Freeport. Anak ke lima laki-laki bernama Alex Makatipu, tinggal di Nabire.

60
Sulawesi Bersaksi
Pendidikan terakhir SD, pekerjaan Sub Kontraktor. Anak keenam laki-laki bernama
Berty Makatipu, tinggal di Teling Manado. Pendidikan terakhir SD, pekerjaan sopir.
Anak ketujuh laki-laki bernama Bastian Makatipu, tinggal di Mokupa Kecamatan
Tombariri. Pendidikan terakhir SD.

Rumah bambu, sekolah dan guru.


Aku tinggal di sebuah kampung kecil yang bernama Borgo Kecamatan Tombariri,
Kabupaten Minahasa Sulawesi Utara. Jarak kampungku dengan pusat kecamatan
sekitar 150 meter. Kampungku ini terletak dekat pantai, makanya mayoritas
penduduknya adalah nelayan, berkebun dan berdagang. Waktu aku kecil belum ada
listrik, listrik masuk desa sekitar tahun 70an. Kalau malam penerangannya pakai
lampu minyak yang kami buat dari botol pakai sumbu kain.
Rumahku terbuat dari bambu dengan 3 ruangan, dengan lantai yang masih tanah.
Dua kamar tidur, satu ruang tamu dan satu dapur. Ada kamar mandi sederhana dan
sumur di belakang rumah. Satu kamar tidur untuk 2 saudara perempuanku, satu
kamar tidur untuk orangtuaku tentunya. Sementara kami anak laki-laki, tidur
tergeletak di ruangan yang katanya untuk menerima tamu. Itu makanya aku
sebenarnya sering tinggal bersama Oma.
Waktu kecil aku dan teman-teman sering main di pantai, memperhatikan orang-
orang yang sedang mengangkut kopra ke perahu. Baru nanti setelah SD kelas 5 aku
mulai ikut Papa ke laut, mengail ikan, pergi waktu pagi pulang sore hari. Itupun
kalau sekolah libur atau di hari minggu.
Aku bersekolah di SR yang ada di Desa Borgo (Tanawangko), namanya Sekolah
Rakyat Negeri tahun 1954. Jaraknya kurang lebih 150 meter, jalan kaki. Cuma pakai
sandal dan tidak pakai seragam. Waktu itu seingatku muridnya sudah lumayan
banyak ada sekitar 30 orang, dengan jumlah guru 6 orang termasuk kepala sekolah.
Lalu aku melanjutkan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Kristen yang jaraknya
sekitar 200 meter dari rumah. Setiap hari jalan kaki, masih pakai sendal dan belum
pakai seragam. Aku lulus tahun 1963.
Kemudian melanjutkan ke Afiliasi Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri
Tanawangko, kelas jauh dari SMAN 2 Manado. Jaraknya sekitar 130 meter dari

61
Sulawesi Bersaksi
rumah, juga belum berseragam sudah pakai sepatu kets. Masuk tahun 1963, tahun
1965 ketika terjadi peristiwa G-30/S sekolah ku ditutup karena dipakai untuk kantor
Komando Pemuda Anti G-30/S (KOPAG). Tempat penampungan dan interogasi
orang-orang yang dianggap terlibat dalam peristiwa tersebut. Otomatis akupun
berhenti sekolah, hanya sampai di kelas dua.
Setelah Papa ditangkap aku pergi ke Makeret Manado, ke tempat paman (kakak dari
Papa). Di sana aku les selama 3 bulan untuk mengikuti ujian SMA tahun depan
(1966). Waktu ujian seharusnya diadakan pada bulan Agustus tapi diundur ke bulan
Oktober. Keputusanku untuk ke luar dari kampung, selain memang mau
melanjutkan sekolah juga menghindar dari keadaan yang tidak menentu di desa ku.
Akhirnya aku bisa mengikuti ujian di SMA Pancasila di Jl. Kartini, yang kebetulan
Kepala sekolahnya adalah sahabat dari paman. Oktober tahun 1966 aku dinyatakan
lulus SMA.
Setelah lulus SMA aku disuruh pulang oleh mertuanya paman yang bernama
Pandelaki. Dia yang dipercayakan oleh Camat Butje Senduk, membawa ku pulang
untuk menjadi guru. Aku tidak mau, karena aku ingin menghindar dari keadaan
yang sedang tidak jelas di Desa. Selain itu aku juga takut, karena aku tidak punya
keahlian apapun untuk menjadi guru. Apalagi aku juga baru lulus, tentu masih
berpikir seperti anak-anak.
Ada kira-kira satu bulan kemudian, datang serombongan yang di pimpin oleh
Camat Senduk. Dalam rombongan ada Kepala sekolah yang akan bertugas di sana
yakni Lefran Torar serta Wim Manopo pemuda dari Tombariri serta Pak Pandelaki.
Aku masih ingat, waktu itu hari minggu. Karena pulang dari gereja aku dan paman
berada di laut sedang mengail (memancing). Wim tidak turun dari perahu, hanya
menunggu. Tanpa basa-basi Pak Camat langsung bilang, Ayo kamu berangkat ke
Poopoh sekarang.
Aku masih mencoba membantah, aku bilang, Aku tidak membawa baju, sekarang
saja hanya pakai celana pendek.
Sudah jangan khawatir, kami sudah membawa pakaianmu. Jawab beliau
Aku cuma bisa pasrah, dan tidak ada alasan lagi untuk menolak. Akhirnya
mengikuti apa yang diperintahkan. Kami pun berangkat bertiga, Kepala sekolah

62
Sulawesi Bersaksi
Lefran Torar, Wim Manopo dan aku sendiri. Naik perahu karena kalau jalan kaki
harus menyusuri pantai dan jaraknya lebih jauh. Kami mengajar di Sekolah Dasar
GMIM, Desa Poopoh Kecamatan Tombariri. Tujuh (7) km dari Desa Borgo tempat
tinggalku, jika jalan darat.
Sampai di lokasi kami dijemput oleh pengurus Gereja GMIM. Waktu dijemput
mereka kira gurunya cuma dua orang, mereka anggap aku anak perahu karena cuma
pakai celana pendek. Lalu Pak Lefran Torar minta aku mengganti baju di dalam
gereja, pakai kemeja pakai celana panjang. Setelah aku siap baru dimulai acara
perkenalan.
Malamnya hanya dilakukan briefing sedikit, koordinasi bersama persatuan orangtua
murid dan guru. Pengaturan yang tidak berdasarkan peraturan berlaku di sini.
Karena Wim lebih tua dari aku maka dia ditunjuk mengajar kelas 5 dan 6. Sementara
aku minta pegang kelas 3 dan 4 karena aku pikir tidak terlalu merepotkan dan juga
belum besar-besar seperti kelas 5 dan 6. Sementara kelas 1 dan 2 dipegang Kepala
Sekolah.
Setelah itu pengaturan ruangan, karena ruangannya tidak cukup. Ruang yang ada
hanya 3 maka jadilah satu ruangan dibuat dua kelas hanya dengan dibatasi kain
yang digantung ditali yang dibentangkan di tengah kelas. Satu ruangan untuk kelas
1 dan 2, satu ruangan untuk kelas 3 dan 4 satu ruangan lagi untuk kelas 5 dan 6.
Muridnya memang sudah disiapkan oleh orangtua murid, dan Hukum Tua di sana.
jadi kami memang sudah tinggal mengajar. Hanya saja kami tidak ada waktu untuk
persiapan. Muridnya sudah tua-tua, tapi mereka tetap mau sekolah. Mereka
didatangi di kebun-kebun tempat mereka tinggal, diajak untuk bersekolah lagi.
Misalnya waktu ditutup dulu tahun 1958 kelas 2 masuk kembali tahun 66 tetap kelas
2, padahal usianya sudah 16 tahun. Aku merasa mereka mau melawan saja,
mengingat badanku juga kecil.
Seingatku kelas enam hanya lima orang. Kelas lima ada dua belas orang, kelas-kelas
dibawahnya 10 orang lebih. Yang sekarang ada yang bekas Kumtua Poopoh, aku
kasih les waktu itu.

63
Sulawesi Bersaksi
Hari pertama aku sudah bingung, mau mengajar apa. Pelajarannya hanya tiga,
Matematika, Bahasa Indonesia dan Pengetahuan Umum. Pelajaran pertama kupilih
matematika, perkalian sederhana.
Selama mengajar, kami bertiga tinggal di rumah bendahara sekolah. Setiap sabtu
siang aku pulang ke Desa Borgo, menginap di rumah Om di mana biasa aku tinggal
sebelumnya. Senin pagi-pagi sekali aku harus berangkat jalan kaki sejauh 7 km
menuju sekolah.
Lalu baru dua bulan mengajar Wim keluar, sementara dia pegang kelas 6 yang
sebentar lagi mau ujian. Terpaksa aku pegang 4 kelas. Alasan Wim keluar karena ada
tawaran yang lebih baik di SD Kecamatan Tumpaan. Perjanjiannya kami digaji
Rp.1500/bln, makan ditanggung jemaat (oleh masyarakat). Kenyataannya 2-3 bulan
baru dibayarkan.
Setelah membawa kelas enam ujian dan dinyatakan lulus, sekolah libur 40 hari.
Kalender pendidikan nasional, sekolah akan mulai lagi bulan Agustus. Pada liburan
sekolah itu aku ditangkap, tepatnya bulan Juli tahun 1967 di rumah Om, sekitar jam
1 tengah malam. Waktu itu kami semua sudah tidur, tiba-tiba pintu rumah digedor-
gedor bukan diketuk. Bangun, bangun, sambil berteriak. Kami semua terkejut dan
ke luar. Di luar sudah banyak pemuda-pemuda, mereka bilang mau membawa aku.
Lalu aku tanya mereka dari mana? Mereka bilang dari KOPAG (Komando Pemuda
Anti G30S), dan dilarang banyak bertanya. Antara bingung dan takut aku mengikuti
mereka, setelah diijinkan mengganti baju.

Kamu ini orang PKI, pemberontak ngoni.


Sampai di KOPAG sudah banyak orang yang diduga-duga orang PKI. Padahal aku
sendiri tidak pernah punya kartu anggota partai atau bukti lainnya. Aku hanya
seorang guru yang mengajar di SD. Sebenarnya kami tidak diinterogasi atau ditanya
lagi, karena kami sudah dibilang kamu ini orang PKI, pemberontak ngoni
(kalian)....pokoknya segala macam tuduhan. Lalu kami menjawab, Torang mo bekeng
apa? ( Memangnya kami mau buat apa?) Siapa mau melawan...? KOPAG itu, dia
ditugaskan luar biasa kekuasaannya. Unsur KOPAG ini dari IPKI, PNI, PARTINDO,
PARKINDO, ada juga partai Katolik. Tapi yang galak pada waktu itu IPKI dan

64
Sulawesi Bersaksi
PARKINDO. Yang menjadi pemimpin dan anggota kepengurusan KOPAG waktu
itu rata-rata dari IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia).
Malam itu juga akhirnya kami disuruh membuat surat pernyataan bersedia ke luar
dari PKI. Kemudian partai-partai yang tergabung dalam KOPAG berebutan. Aku
pilih PNI, tidak jelas apa alasanku waktu itu memilih partai itu. Selama tiga hari aku
ditahan di kantor KOPAG, keluarga tidak ada yang berani datang. Karena takut
ditangkap dan aku memaklumi itu. Tapi tidak dengan Oma, malamnya aku
ditangkap besok pagi beliau sudah datang membawakan selimut. Aku akui memang
aku adalah cucu kesayangannya, karena aku pernah tinggal lama dengan Oma.
Padahal beliau tinggal di desa sebelah, sekitar 600 meter dari rumah. Kantor KOPAG
sendiri adalah bekas SMA di mana aku dulu sekolah, tahun 1965 ditutup dan
sekarang sudah menjadi asrama pegawai Kecamatan.
Sesudah di KOPAG selama 3 hari, kami mendapat pembinaan di kantor Perwira
Urusan Teritorial, kemudian diijinkan pulang. Seminggu kemudian dapat panggilan
lagi, dan mulai saat itu diharuskan wajib lapor dan mendapat jadwal kerjapaksa tiga
hari dalam seminggu.
Wajib lapor ini berlangsung sampai tahun enam puluh sembilan (1969), jadi selama 2
tahun. Inilah awal dari pemasungan semua sendi kehidupan kami, semua gerak
langkah kami selalu dipantau tidak peduli siang atau malam. Pagi sudah disuruh
apel, sebelum melakukan kerja tanpa dibayar, tidak juga dikasih makan. Tenaga
kami diperas untuk mengerjakan pekerjaan terkait kepentingan umum seperti
membersihkan rumput di pinggir jalan, membersihkan atau membuat got-got.
Malam tidak boleh ke luar rumah, jam 6 sore sampai jam 6 pagi. Satu waktu aku
pergi nonton hiburan di rumah teman yang kawin (pesta pernikahan), masih satu
kampung. Ketika diperiksa di rumah ternyata aku tidak ada, Hansip langsung
mencariku. Ketika dia lihat aku, langsung diangkat (ditangkap). Kebetulan pergi
dengan pacarku yang nantinya jadi istriku. Dibawa pulang, baru besoknya
dilaporkan ke Koramil, akibatnya dimasukkan sel satu malam. Bayangkan selama
empat tahun tidak boleh ke luar rumah, hanya ke luar untuk melapor dan
melaksanakan kerja paksa.

65
Sulawesi Bersaksi
Kerjapaksa, penyiksaan dan terror mental
Kami mulai apel tiap jam 7 pagi, kalau lewat jam 7 baru datang, pasti mendapat
sanksi. Sanksinya semau-maunya petugas, dipukul, disuruh lari-lari, pokoknya buat
orang takut. Pernah ada satu orang dari Lemong, Kristian Mantiri namanya. Karena
lupa membawa cangkul, sehabis apel dia pulang ke rumah lagi mengambil cangkul.
Waktu itu lokasi kerja tidak begitu jauh dari Kantor KOPAG. Ketika dia balik ke
kantor KOPAG, orang-orang sudah berjalan ke tempat kerja. Jadi dia berlari
mengejar rombongan. Kopral Mandolang yang berjaga waktu itu, melihat ada orang
berlari, lantas ditegurnya, Mau ke mana?
Ooh sudah terlambat pak, ada ambil cangkul di rumah tadi. Sekarang mau pergi
kerja
Oh bawa lari cepat..!!! terus dia tembak teman itu. Untung cuma kena celana, tapi
dia sempat jatuh.
Jarak rumahku dengan kantor KOPAG sekitar 150 meter, dari KOPAG baru kami
berangkat menuju tempat kerjapaksa setelah apel pagi. Jarak tempat kerja dari
kantor KOPAG bisa sampai 3 km. Setiap hari aku harus membawa bekal makanan
untuk makan siang, kalau tidak, bisa kelaparan. Kalau tidak ada yang dibawa, yah...
terkadang mengambil ubi yang ditanam oleh petani di sekitar tempat kerja.
Ada satu waktu semua laki-laki disuruh gundul, aku lupa tahun berapa itu. Sekitar
jam sepuluh pagi aku dipanggil, giliran untuk dicukur. Kebetulan yang mau
mencukur itu sudah kenal, dia pegawai kecamatan. Waktu pergolakan kita kenal
dekat, namanya Anis Patuma seusia dengan aku. Sambil mencukur dia bilang sambil
tertawa, Kita kase sisa di muka, biar kayak orang cina.... Pada waktu itu Cina
dianggap imperialisme timur, jadi yang berbau Cina itu anti. Ahh nih, kopral
Mandolang mendengar, lalu dia berdiri sambil berteriak,Oh kamu main-main ya..
Kamu mau main-main ya..
Loh bukan saya pak.. jawabku.
Kamu mau ini..?!!! lalu dia ambil air sabun untuk cukur, dia suruh aku minum
Aku tidak mau, Pak bukan saya yang salah... Aku tetap bertahan untuk membela
diri.

66
Sulawesi Bersaksi
Karena aku tetap tidak mau minum, dia ambil pisau cukur. Dulu kan cukur itu pakai
pisau, dia taruh di leher, dia bilang, Kalau kamu tidak mau minum aku mau potong
leher kamu... Bekasnya masih ada di leherku sampai sekarang. Aku berprinsip tetap
tidak mau minum, tapi kalau aku merasa sudah terlalu pedih aku mau bertindak
melawan, mau lari atau apa saja. Tapi akhirnya tidak jadi sebab teman yang tukang
cukur bilang, Duh jangan Pak, bukan dia yang salah, yang salah saya. Saya hanya
bergurau....
Waktu kami kerjapaksa di Desa Ranotongkor Kecamatan Tombariri 9 km dari kantor
KOPAG, pekerjaannya mengangkat batu dari sungai untuk pembuatan jalan
Ranotongkor Tomohon sepanjang 3 KM. Menjadi perbatasan Kecamatan Tombariri
dengan Tomohon. Selama satu minggu, kami ditampung di bangsal (tempat
pertemuan desa), karena para pemuda di sana marah, berteriak-teriak menyuruh
kami ke luar, mereka mau bunuh kami
Karena mereka sudah diberikan pemahaman PKI itu jahat harus dibasmi dari bumi
Indonesia. Jadi bekerjapun kami menjadi takut dan was-was kalau-kalau pemuda
datang tiba-tiba menyerang, meskipun kami dijaga oleh petugas. Setiap hari sebelum
kerja, jam 5 pagi apel paling lambat jam 6 mulai kerja. Aku siapkan makanan untuk
seminggu satu tas, beras beli apa semua. Karena kami tidak dibayar ataupun dikasih
makan. Yang tidak sempat bawa persediaan makanan, berbagi dengan yang
membawa. Kalau sudah habis pintar-pintar cari apa yang bisa dimakan di tempat
kerja.
Jarak dari Desa Borgo ke Manado 25 km, tapi kami bekerja tidak sampai di Manado.
Kami bekerja hanya sampai desa Buloh sekitar 12 km dari rumah. Sepanjang jalan itu
kami mengerjakan perbaikan jalan rusak.
Kurang lebih 2 tahun kami bekerja untuk kepentingan umum, setelah itu disuruh
mengerjakan pekerjaan untuk kepentingan pribadi-pribadi artinya tidak ada
kaitannya dengan pemerintah. Misalnya KOPAG minta kami bekerja, pegawai
Koramil minta kami bekerja. Tapi yang paling banyak minta dari KOPAG, termasuk
komandan KOPAG, Jon Rasun.
Suatu hari setelah apel pagi dia umumkan, Siapa tahu ( bisa) kerja kopra..?

67
Sulawesi Bersaksi
Aku dan beberapa orang angkat tangan, ya orang kan lebih suka kerja di luar
daripada bekerja di rumah-rumah pimpinan KOPAG maupun KOREM meskipun
masih di Tanah Wangko. Sejak saat itu aku bekerja di kebun kelapa untuk membuat
kopra. Sebenarnya itu kebun kelapa penduduk, jaraknya tidak jauh dari rumahku.
Dia membayar ke Komandan sementara kami yang disuruh kerja, kami tetap tidak
dibayar semua uang diambil dia.
Sistem pembayaran kerja membuat kopra waktu itu, 20 % untuk biaya
pengangkutan, 80% dibagi dua. 40% untuk pemilik, 40% KOPAG yang mengambil.
Sementara kami hanya dapat peringatan, hati-hati, kalau hangus kopranya, habis
kalian.. sudah kerja tidak dikasih ongkos, malah kena ancam. Tugas kami
menghitung dan melapor berapa jumlah kopra yang sudah diselesaikan.
Pernah juga bekerja untuk orang Koramil, kalau ini kebun kelapa orangtua dari
pacar gelapnya Komandan. Memang dia juga tidak dibayar tapi kami yang kerja dia
yang dapat nama. Pernah juga disuruh berkebun. Kami yang bikin bersih, kami yang
tanam nanti hasilnya mereka ambil. Waktu tanam padi, pas panen sebagian kami
bawa ke rumah diam-diam, dia tidak pernah tahu.
Buat aku yang paling aku anggap kerja paksa itu waktu kerja di jalan, dijaga, tidak
boleh berhenti kalau belum jam waktu berhenti. Mulai bekerja jam 7 pagi, istirahat
sebentar kemudian mulai lagi bekerja sampai jam 4 sore terkadang sampai jam 5.
Selain aku dan beberapa orang yang bekerja membuat kopra ada juga yang bekerja
di hutan menebang pohon kemudian di potong-potong menjadi kayu balok.
Disuruh menyetor setiap hari berapa kubik ke KOPAG, ada target setoran.
Sekitar tahun 68, ada Satgas Intel Pusat datang menginterogasi. Kami dikumpulkan
di Koramil. Pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan, kami tidak tahu
jawabannya. Sementara mereka paksa kami harus tahu.
Mereka tanya aku, Siapa-siapa PKI di sini..?
Aku jawab,Tidak tahu. Yang aku tahu di Kecamatan ini hanya Papaku yang PKI,
sementara beliau sudah ditangkap. Dengan marah terus saja mereka ulang-ulang
pertanyaan itu, kemudian ibu jari kakiku diletakkan di bawah kaki meja lalu ditekan.
Aku hanya bisa menahan sakit, sementara aku tidak tahu mau menjawab apa.
Selama tiga hari mereka memanggil orang-orang yang sudah terdaftar wajib lapor.

68
Sulawesi Bersaksi
Tempat melapor untuk wajib lapor golongan C di Kecamatan. Kalau yang bekas
tahanan yang sudah dibebaskan, termasuk Papa yang golongan B, di Koramil
(TEPERDA).
Saudaraku yang lain tidak ditangkap karena masih kecil dan aku waktu itu karena
sudah jadi guru makanya ditangkap. Kakak perempuanku juga guru tapi tidak
ditangkap karena tidak ada yang sentimen. Mungkin dalam pergaulan ku ada yang
sentimen atau tidak suka, entahlah...
Suatu waktu pernah ada kejadian, aku dihukum karena mau membela Papa yang
dipukul oleh aparat. Ketika itu sedang antri lapor di koramil yang mau diperiksa.
Papa ada di barisan depan, aku sendiri ada di barisan belakang. Tiba-tiba aku
melihat Papa jatuh ke dekat selokan karena dipukul. Aku ingat yang memukul
adalah letnan Angko namanya, lalu aku marah. Aku juga tidak tahu alasan Papa
dipukul karena aku berada di baris belakang. Aku hanya melihat Papa jatuh. Lantas
aku bilang kepada aparat itu, Kalau mau pukul saya saja, jangan Papa saya yang
sudah tua.
Lalu letnan Angko memberikan perintah kepada kopral Kusuma, Kop, angkat dia.
Aku dibawa, kemudian dimasukan ke dalam WC kantor polisi, dari pagi sampai
besok pagi lagi. Bayangkan di ruangan yang kecil gelap, bau kotoran dari lubang
WC yang hanya ditutup kayu. Aku tidur berdiri jika lelah berjongkok. Terkadang
aku berpikir, apakah mereka menghukum itu benar-benar dipikirkan atau tidak
akibatnya. Besok paginya aku dikeluarkan dari WC, karena ada Kapolsek yang
kebetulan aku kenal. Beliau tanya aku, Apa salah kamu?
Saya tidak tahu, saya marah mereka pukul Papa. Kemudian dia bicara dengan
letnan Angko,. Tidak lama kemudian lalu aku dikeluarkan.

Menikah walau KTP berkode ET


Tahun 1969 aku memutuskan menikah, calon istriku seorang guru. Waktu mau
menikah dia disuruh pilih oleh pihak Yayasan di mana dia mengajar, mau menikah
atau tetap menjadi guru tapi tidak boleh menikah. Akhirnya dia memilih tidak lagi
menjadi guru dan menikah dengan aku . Salah satu syarat menikah adalah punya
KTP, maka akupun mengurus pembuatan KTP. Proses pembuatan KTP sebenarnya

69
Sulawesi Bersaksi
tidak sulit, datang saja ke Hukumtua lalu ke Kecamatan. Tidak ditanya, langsung
jadi karena sudah ada data. KTP pertama ku spesial karena ada tanda khusus ET
golongan C, yang dampaknya juga khusus. Aku dibebaskan dari kewajibanku
mengabdi pada negara.
Anak pertama kami lahir tgl 9 Juli 1969, perempuan. Pendidikan terakhir sempat
kuliah di jurusan Sosial Politik tapi tidak sampai lulus karena menikah,. Sudah
punya anak 3 orang, pekerjaan sekarang jadi Hukumtua (kepala Desa). Anak kedua
lahir tanggal 19 April 1971 laki-laki. Pendidikan terakhir SMA, pekerjaan sekarang
pengusaha pengiriman buah ke luar kota, sudah punya anak 1 orang. Anak ketiga
lahir tanggal 27 Januari 1973 perempuan. Pendidikan terakhir SMA, pekerjaan
sekarang ibu rumah tangga di Sorong Papua punya anak 1 orang. Anak yang
keempat lahir tahun 1981 tapi sudah meninggal. Jadi sekarang tinggal 3 orang.
Secara tertulis sejak tahun 1969, kami dinyatakan bebas. Berikutnya hanya wajib
lapor ke kantor Camat setiap tanggal 17 tiap bulan sampai tahun 1979. Namun pada
kenyataannya sampai tahun 1973 kami masih harus kerja paksa. Karena aku sudah
berkeluarga, maka aku harus benar-benar bijaksana membagi waktu. Siang malam
aku bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Pekerjaanku setelah menikah menadi nelayan dan juga bertani. Dalam satu minggu
ada 7 hari, 3 hari bekerja untuk mereka, 3 hari bekerja untuk keluarga. Cukup tidak
cukup harus cukup, dampaknya aku kesulitan memenuhi kebutuhan sekolah anak-
anak. Sampai-sampai mereka pernah tidak mau lagi sekolah. Tapi aku terus
menguatkan mereka, bahwa cuma sekolah yang bisa membantu kita keluar dari
kesulitan ini.
Sisa satu hari adalah hari buat ke Gereja. Tidak masuk gereja dipanggil oleh Hukum
Tua (Kepala Desa), dibawa dicatat ke Koramil. Biasanya Hukum Tua tanya dulu,
kenapa tidak masuk gereja? Kalau alasannya dia mengerti tidak dilaporkan ke
Koramil. Hari gereja ini sudah diberlakukan sejak tahun 1965 sama dengan kerja
paksa.
Sebenarnya sebelum ditangkap bukan aku tidak pernah ke gereja tapi memang
terkadang tidak datang. Itukan urusan aku dengan Tuhan, tidak bisa dipaksa. Sejak
tahun 1965 ke gereja buat aku menjadi keharusan, jadi kewajiban. Perlakuan gereja

70
Sulawesi Bersaksi
terhadap kami yang dituduh PKI biasa saja, tidak ada perlakuan diskriminasi. Malah
pada tahun 1975 aku pernah dipilih menjadi samas yakni pelayan gereja. Tapi pihak
gereja mendapat surat teguran dari Koramil untuk membatalkan itu, karena aku PKI.
Begitu juga perlakuan para jemaat lainnya, mereka biasa-biasa saja. Kalau secara
pribadi orang gereja mungkin ada rasa benci, tapi tidak kelihatan.
Di lingkungan sekitar dulu memang ada kata-kata yang merendahkan, waktu aku
masih belum menikah. Namanya anak muda kadang suka bikin ulah atau sedikit
membuat kegaduhan. Langsung ada yang bilang,ngana ini memang PKI, nda
bertuhan.... Sampai ada perasaan, sebenarnya apa yang torang buat so, kong ngoni
anggap manusia lemah. (sebenarnya apa yang sudah kami lakukan, terus kalian
anggap manusia lemah.)
Diskriminasi yang kami alami terutama kaitannya dengan pemerintah melalui
Koramil, misalnya tidak bisa menjadi pegawai negeri, dirapat-rapat aku tidak boleh
bicara. Seperti rapat desa, rapat apa saja. Di organisasi kerukunan saja tidak boleh
jadi pemimpin. Organisasi independent saja tidak boleh, pimpin ibadah tidak boleh.
Kalau dilanggar dipermasalahkan, seperti di Gereja juga disalahkan, kenapa mereka
memilih aku lalu disuruh mencopot.
Sampai ke anak-anak juga kena, kalau mereka nakal sedikit saja di sekolah langsung
dibilang anak PKI. Aku tahu mereka merasa kecewa, menangis dan tidak mau
bersekolah lagi. Tapi seperti aku bilang tadi mereka harus tetap bersekolah karena
hanya itu pegangan kita. Mungkin juga, anak-anak menyalahkan aku tapi aku tidak
pernah merasa bersalah kepada negara. Pemerintah yang mendesak kami bersalah,
aku tidak merasa memberontak pada negara.
Pernah waktu aku mau jadi Hukum Tua (Kepala Desa) tahun 2007, tidak bisa karena
aku dianggap tidak setia pada negara. Aku bilang: Buktikan kalau aku tidak setia,
aku pernah mengajar, pernah memberikan bakti kepada bangsa dan negara lewat
pendidikan. Aku pernah berturut-turut baik di Gereja maupun di desa jadi ketua
panitia. Ketua panitia 4 kali waktu ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan. Sewaktu
hari Paskah, aku juga jadi panitia.
Lalu aku mengirim surat keluhan ke KOMNAS HAM. Mereka menjawab, bahwa
memang sampai saat ini baik pemerintah maupun masyarakat di daerah belum

71
Sulawesi Bersaksi
memahami undang-undang. Aku tidak mau menyerah, aku terus berjuang sampai
satu tahun. Walaupun pada akhirnya aku mundur, karena tetap tidak bisa. Padahal
semua persyaratan, dan semua surat keterangan sudah lengkap. Tetap saja mentok
di Kabupaten, mereka bilang belum bisa. Sempat sidang sampai 7 kali, tetapi tetap
dinyatakan kalah. Aku mau banding tapi tidak ada kesempatan untuk banding.
Tahun 2008 anak pertama ku yang perempuan kusuruh dia maju ke pemilihan
Hukum Tua. Kali ini sudah tidak diperdebatkan lagi karena tahun lalu aku sudah
berjuang dan mereka sudah takut. Tahun 2007 itu semua lembaga sudah aku
hubungi, yaitu KOMNAS HAM, Komisi Yudisial, sampai Mendagri. Akhirnya dia
terpilih menjadi Hukum Tua Tanah Wangko 6 tahun masa jabatan dari 2008 sampai
2014.

Tak henti melangkah menuju Penyintas.


Tahun 2008 istriku meninggal, sekarang aku tinggal di rumah dengan anak pertama.
Meskipun begitu aku tidak mau bergantung kepada anak, aku masih dapat mencari
nafkah sendiri. Pekerjaan yang biasa aku lakukan adalah mencari ikan di laut
ataupun mengurus kebun cengkeh dan kelapa.
Aktivitas lain saat ini aku ikut kegiatan organisasi di Gerakan Rakyat Peduli Hak
Asasi Manusia (GRP HAM) Sulawesi Utara, kebetulan saat ini dipercaya menjadi
Ketua. GRP HAM adalah sebuah organisasi yang fokus kegiatannya
memperjuangkan hak-hak para korban tragedi kemanusiaan 65-66. Salah satunya
adalah mendesak pemerintah untuk melakukan permintaan maaf atas pelanggaran
HAM berat yang dilakukannya pada tahun tersebut
Kemudian diakuinya bahwa kami punya kedudukan yang sama sebagai warga
negara baik dalam segi hukum maupun ekonomi. Tujuan utama yang penting
adalah hak-hak sipil yang pernah dicopot dikembalikan, seperti cabut stigma segala
macam, harus diberikan pemahaman bahwa sebenarnya PKI tidak bersalah.
Pemerintah seharusnya minta maaf, sekalipun bukan pemerintah sekarang yang
berbuat. Tapi setidaknya pemerintah sekarang mengakui bahwa pendahulu mereka
itu bermasalah lalu minta maaf.

72
Sulawesi Bersaksi
Sekarang ini kami sedang mencoba menggalang solidaritas bersama, bersatu dalam
memperjuangkan tujuan bersama dengan para korban 65 lainnya. Agar tidak terjadi
diskriminasi dalam bidang apapun, seperti yang pernah aku alami. Meskipun ada
beberapa kendala yang kami temui, seperti ada yang masih malu-malu mau
mengaku karena pensiunan PNS atau anaknya yang sudah jadi PNS. Mereka selalu
menolak jika diajak untuk kumpul-kumpul karena sudah terlanjur
menyembunyikan diri. Padahal sekarang sudah reformasi, sudah tidak masalah.
Tugasku sekarang adalah mensosialisasikan gerakan dan program dari GRP HAM,
ke siapa saja. Misalnya melalui pendekatan diskusi ke organisasi-organisasi pemuda,
kalau perlu ada perekrutan generasi muda. Program pertama memang sosialisasi
dan pembetukan pengurus kabupaten/ kota. Sosialisasi tingkat kecamatan untuk
mengingatkan kembali peristiwa masa lalu untuk meluruskan sejarah.
Buatku sejarah perlu diluruskan sebab selama ini orang mengetahui sejarah itu tidak
sesuai arti sejarah itu sendiri. Selama ini kan cuma isu yang dijadikan sejarah, sejarah
versi pemerintah. Perjuangan ini juga bukan karena kami dendam tapi hanya ingin
menyuarakan pengungkapan kebenaran sejarah.
Aku tidak ada rasa dendam, dengan orang yang pernah menyiksaku. Tahun 1989
aku pernah bertemu dengan komandan KOPAG waktu itu. aku masih ingat
namanya John Ransun, kebetulan kami makan di rumah makan yang saman.
Sepertinya dia juga masih mengenaliku, melihat ku malu-malu.
Lalu aku sapa, Eh...dari mana?,
Dia bilang, Dari Kotamobagu.
Karena kami berada di meja yang berbeda, hanya menyapa saja. Aku secara pribadi
biasa saja tidak ada dendam, malah waktu itu sehabis makan aku yang bayar makan
dia. Naik angkutan juga, aku yang bayar meskipun dia turun duluan sebelum aku.
Tanpa ku duga besoknya dia datang ke rumah, mungkin ada beban. Dia bilang yang
lalu-lalu sudah jangan diingat lagi.
Aku bilang,Oh tidak... itu situasinya memang bukan kita punya mau, ndak usah
diungkit-ungkit lagi

73
Sulawesi Bersaksi
Dia minta maaf atas apa yang terjadi dulu. Orangnya masih ada sampai sekarang,
usianya sudah 70an. Dulu dia paling jahat, dia sangat berpengaruh, Koramil saja
masih bisa dia atur. Waktu itu cuma dia yang membawa senjata, dari sipil.
Sekarang ini banyak teman-teman yang dulunya dikekang tanpa kebebasan bisa
lebih berhasil daripada orang-orang yang dulu mengucilkannya. Yang dulu
berkuasa sekarang malah, ...yah tidak lebih baik keadaannya. Lebih dari sepuluh
tahun, kami benar-benar diperas. bekerja untuk pemerintah yang utama, baru
kemudian mencari uang untuk makan.
Semua penderitaan hidup ini dijadikan pengalaman. Mudah-mudahan peristiwa-
peristiwa seperti ini tidak akan terjadi lagi. Itu sebabnya generasi-generasi
selanjutnya harus memahami demokrasi itu seperti apa. Selama ini menurutku
demokrasi belum benar-benar dilaksanakan. Di mana demokrasi itu kan berarti kita
punya hak yang sama, kebebasan yang sama untuk semua orang
Aku senang bisa melampiaskan apa yang aku pikir. Senang bisa melampiaskan kebenaran-
kebenaran yang lalu, agar orang lain bisa tahu bagaimana aku dulu menderita. Tidak ada
dendam, tapi semua harus diluruskan. Kuncinya ada di pemerintah, dimana harus
melindungi dan menjamin warga negaranya memperoleh hak-haknya. Jangan hanya
mementingkan pencitraan. ***

Pewawancara dan penulis : Nurhasanah.

Hari Wisastra

MENGGELIAT MENGHENTAKKAN KETERPURUKAN

Dengan berjalan kaki kami harus menempuh jarak kurang lebih 8 Km, untuk
bersekolah. Tungkai yang masih lemah membelah hutan-hutan dengan menyusuri
jalan setapak. Setiap subuh sekitar jam 5 sudah harus bangun mempersiapkan
peralatan sekolah, dan mandi, yang kadang-kadang tidak bisa dilakukan karena
tidak ada air di musim kemarau. Di subuh yang dingin, berkabut tebal, harus

74
Sulawesi Bersaksi
menyusuri jalan setapak, dan meniti titian sebatang kayu lapuk. Sesekali menjumpai
sapi liar, rusa, dan monyet, tapi kami tetap berjalan beramai-ramai. Setiap hari kami
memakai seragam putih merah yang lusuh, nampak kotor, selain karena tidak punya
seragam lain, juga karena bekas getah buah jambu mete. Pada saat musim jambu,
selepas pulang sekolah di sepanjang jalan kami bermain-main saling melempar
dengan kurame [daging buah jambu monyet]. Inilah salah satu cerita ceria anak-anak
yang dikucilkan, walaupun kami tetap bisa berbagi satu sama lain. Kami, anak-anak
tahanan PKI, masih ceria kendatipun guru sejarah menerangkan pelajaran sejarah
yang tak benar, menyalahkan mati-matian Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu kami. Kami
hanya berpandang-pandangan satu sama lain karena kami belum mengerti betul
siapa yang salah.

Saat itu umur kami baru 7 tahun. Di rumah, dari orang tua kami mendengar bahwa
mereka tak bersalah karena tidak pernah divonis bersalah oleh pengadilan, tetapi
justru ditahan. Orang tua kami diinterogasi dengan pertanyaan, Di mana senjata itu
disembunyikan?. Di sekolah kami dicekoki versi yang berbeda hasil bikinan Orde
Baru. Kami hanya dianggap sebagai manusia ketika pemimpin butuh suara kami.
Menjelang pemilihan umum barulah kami dikunjungi dan diarahkan untuk memilih
Golkar. Hanya untuk memilih, setelahnya kami tidak lebih dari masyarakat kelas
dua yang berdiam di negeri yang bernama Indonesia.

Berjalan menuju sekolah ada yang memakai sepatu, ada yang cuma memakai sandal.
Di saat musim hujan, pakaian, sepatu ataupun sandal kami bungkus dengan
kantong plastik usang sobek. Lumpur di rawa yang kami lalui sampai setinggi lutut.
Banjir menghanyutkan titian kami. Daun pisang dijadikan payung karena ketika itu
payung bukan kebutuhan yang harus benar-benar diadakan. Terpaksa orang tua
mengantarkan kami menyeberang dan hampir setiap tahun ada waktu selama
semingguan kami tak bisa bersekolah ketika sungai Wanggu meluap. Kami belum
pandai berenang dan takut menyeberang karena ketika banjir, kata orang tua dan
penduduk sekitar, buaya naik dari muara ke hulu atau turun dari hulu ke muara.
Pulang sekolah bersama tiga lima orang berjalan beriringan menyusur jalan setapak.

75
Sulawesi Bersaksi
Ada kalanya kami memakan buah hutan yang ada di pinggir jalan, seperti Ruruhi
(bahasa Tolaki) buah yang sangat kecut berwarna agak merah Begitu tiba di rumah,
sudah menanti beberapa potong ubi sebagai makanan siang hari, atau gadung yang
telah hilangkan racunnya. Ubi atau gadung tersebut dicampur dengan parutan
kelapa. Ini adalah makanan selama menunggu musim panen padi di sawah di
belakang rumah atau di tempat lain yang jauh tempatnya di dalam hutan. Lahan
tersebut telah dibagi-bagi untuk aku dan adikku. Terkadang juga berangkat ke
sekolah dari ladang padi di belakang rumah. Pernah juga Bapakku bercerita karena
mungkin membawaku berpanas-panas memanen padi terpaksa kakiku di ikat di
salah satu tiang pondok tempat kedua orangtuaku berladang. Waktu itu aku sedang
lincah belajar merangkak.

Kalian takkan pernah bisa menjadi apa-apa karena kalian tidak diterima oleh
masyarakat, meski setinggi apapun sekolah kalian, kata-kata itu terkadang masih
terus terngiang di dalam otakku, terutama kalau aku sedang termenung sendirian.
Aku hanya tersenyum dan bergumam sendiri, bicara sendiri, Betapa bodohnya
orang yang mengatakan itu, dia pikir dia adalah Tuhan yang menentukan jalan
kehidupanku. Teringat pula ketika suatu hari ada salah seorang kenalan Bapak
yang aku lupa namanya, datang kepada Bapak dan menawarkan agar aku diadopsi
demi perbaikan masa depanku. Tapi dengan halus Bapak menolak.

Walau mungkin ada protes kecil dengan kehidupan kami saat itu tapi aku sangat
bersyukur sekali berada dalam asuhan Bapak. Dia ayah yang baik, sahabat yang
baik, karena kedekatan dengan sosoknya maka aku bisa betukar pikiran,
membicarakan apa saja, beliau tidak melarang, tapi memberikan gambaran sisi baik
dan buruknya, setelah itu ia menyerahkan kepadaku. Yang akan menjalani
semuanya kan kamu. Sebab akibatnya yang akan menanggungnya ya kamu. Begitu
juga kalau ada yang kurang disetujuinya Akibatnya ya yang merasakan. Oleh
karena aku bisa bertukar pikiran dan membahas apa saja sama seperti ketika aku
hendak menceritakan yang terjadi dalam keseharianku, hal-hal yang kudengar dari
guru ketika menjelaskan pelajaran sejarah tentang PKI yang digambarkan jahat dan

76
Sulawesi Bersaksi
lain sebagainya. Kedua orang tuaku justru memberikan gambaran yang sangat jauh
berbeda. Mereka mengajarkan kepada kami budi pekerti, seperti tidak boleh mencuri
dan mengambil hak orang lain, dan lainnya yang sangat-sangat jauh berbeda dengan
apa yang digambarkan oleh masyarakat di luar sana. Terkadang memang ada
perasaan menyalahkan Bapak atas apa yang terjadi karena menurutku kehidupan
kami akan lebih menyenangkan dan bebas mencita-citakan apa saja seperti anak-
anak lainnya, kalau Bapak tidak menjadi tahanan. Teman-teman boleh memimpikan
untuk menjadi apa saja, boleh bersekolah tanpa harus saling berpandang-pandangan
dengan sesama anak korban, atau dipandangi oleh teman-teman lain ketika
pelajaran Pendidikan Pancasila. Begitulah pikiran kecilku saat itu. Di Sekolah Dasar
prestasi sekolahku juga tidak jelek-jelek amat, karena aku hampir selalu masuk
kelompok 5 besar.

Terkadang bila kami ingin membeli kue, padahal kami tak punya uang, maka
terpaksa kami menjual jasa mengambilkan air untuk pemilik warung, mengisi
tempat penampungan air, drum, dan ember. Air kami ambil dari sumur yang
lumayan jauh. Sebagai upahnya kami diberi ubi goreng, atau kue-kue yang lainnya.

Setamat Sekolah Dasar, aku ditawari oleh mas Ridwan, anak Ibu Murdinah teman
Bapak di Nanga-Nanga untuk ikut bersamanya ke Makassar (waktu itu Ujung
Pandang]. Tanpa pikir panjang lagi aku iyakan saja tawaran itu, di samping untuk
mengurangi biaya sekolah yang harus ditanggung oleh Bapak juga ingin
menghindar dari lingkungan sekitar yang selalu saja punya alas an untuk
mencemoohklu. Kemudian mereka akan mngumpatku dengan kata, Dasar anak
PKI. Sampai di Makassar aku ternyata dimasukkan ke pesantren. Bagiku, yang pen
penting aku bisa sekolah. Kadang-kadang aku menertawai teman-temanku di awal-
awal masuk sekolah, karena banyak dari mereka yang sering nangis karena tidak
bertemu dengan orang tuanya selama beberapa minggu. Mereka tidak mendapat
kiriman dari orang tua mereka. Kami diasramakan pada waktu itu. Aku dan sekitar
100 orang berada di asrama yang memang dibiayai oleh pengasuh sekolah sebagai
anak kurang mampu dan anak yatim. Di bangku sekolah aku masih juga

77
Sulawesi Bersaksi
mendengarkan tentang PKI yang jahat dan tidak bertuhan, tapi aku diam saja karena
mereka tidak tahu keadaanku sebagai anak tahanan politik.

Tahun 1995 aku pulang dan dalam perjalanan aku berpikir sudah waktunya ada
perubahan.

Senang rasanya bisa berkumpul dengan Bapak Ibuku dan kedua adikku. Kami
bercanda dan bertukar pikiran dengan Bapak dan mendengarkan nasehat-nasehat
beliau, sesuatu yang kurindukan selama tiga tahun. Tapi hanya sepuluh hari
bersama mereka karena aku harus kembali lagi, untuk mendaftarkan diri masuk
SMU di sekolah yang sama di SMU PPM Al-Iklash Lampoko Campalagian waktu itu
di kabupaten Polmas Sulawesi Selatan, sekarang sudah masuk wilayah Sulawesi
Barat.

Ketika melihat orang tua kawan-kawanku membesuk anak-anak mereka dan


membawakan apa saja, timbul juga rasa rinduku kepada orang tua. Tapi aku biarkan
saja dan menikmati rindu ini dengan menulis apa saja yang ada dalam pikiranku.
Pernah juga ada kawan-kawanku yang minta dibuatkan surat cinta. Waktu itu belum
banyak telpon genggam. Kadang aku bingung, karena dekat dengan perempuan saja
aku gugup, minta ampun, apalagi harus menuliskan surat. Tapi aku
menyanggupinya. Aku suruh ia bercerita tentang apa saja yang berkaitan dengan
apa yang akan kutuliskan dan anehnya berhasil. Sejak saat itu aku sering di minta
teman untuk menuliskan surat-surat semacam itu dan aku kebagian oleh-oleh yang
dibawa oleh orang tua mereka.

Pernah juga aku coba coba menulis puisi buat salah satu majalah remaja ketika itu.
Kalau tidak salah nama majalahnya KUNTUM. Puisiku dimuat tahun 1998 ketika
mahasiswa ramai berdemo untuk menurunkan Soeharto.

BIAS MAYA
Dan mencipta bayangan maya.

78
Sulawesi Bersaksi
Membentang bias nafas.
Dan gedung-gedung menantang angkasa sumber sabda.
Dan kata-kata bebas tercekat di tenggorokan.
Ketika timah panas menembus ruang kehidupan.

(Hari Wisatra, Desember 98.)

Sesudah menyelesaikan pendidikan SMA, sebenarnya dapat melanjutkan kuliah atas


biaya Yayasan perguruan Al-Iklash. tapi tawaran itu ku biarkan saja mengingat
kondisi Bapakku yang sakit-sakitan dan tak mungkin meninggalkannya lagi untuk
waktu yang lama.

Dalam perjalanan pulang, kupikir Nanga-Nanga yang dulu kutinggalkan dengan


segala ketertinggalannya, mungkin sudah mulai ramai dan tersentuh pembangunan.
Tetapi semuanya buyar karena aku masih mengulang harusa berjalan kaki sepanjang
4 kilometer untuk mencapai rumah. Hitung-hitung bernostalgia ketika bersama
teman-teman berjalan kaki ke sekolah di jaman S.D dulu.

Betapa senangnya tiba di rumah dan berkumpul kembali dengan kedua orang tuaku
dan adik-adikku. Baru sepuluh hari berada di rumah, aku sudah coba-coba masuk
hutan mengikuti kawan-kawan yang lain untuk mengikuti membalak kayu dengan
menggunakan parang untuk dijual. Baru satu sisi yang aku tebas dengan parang,
tiba-tiba aku melihat di kakiku keluar darah ketika kuangkat kaki, darah muncrat
seperti keluar dari selang kecil, Ternyata parang yang aku gunakan sudah menores
pembuluh darah di pergelangan kakiku. Aku duduk mengangkat kaki lebih tinggi
dari kepala sambil memegang sekuatnya agar darah tidak mengucur. Aku berteriak
memberitahukan kawan-kawan yang lain kalau aku terluka. Aku pikir dapat
berjalan pulang ke rumah yang berjarak 2 km tapi hanya sektar 500 meter saja aku
sudah tak kuat, tulang-tulang rasanya nyeri. Terpaksa aku berbaring. Untung waktu
itu ada pondok untuk tiduran. Sambil menunggu kawan-kawan yang lain selesai,
akhirnya aku digendong pulang.

79
Sulawesi Bersaksi
Sesudah tamat sekolah, pekerjaan serabutan lebih sering kukerjakan, mulai dari
menjadi kuli bangunan, batu, kayu, pernah juga menjadi kolektor di koperasi simpan
pinjam. Aku keluar dari pekerjaan tersebut karena kurasa sangat bertentangan
dengan prinsip-prinsip koperasi. Kemudian aku mendulang emas di tambang
rakyat. Ketika dalam perjalanan pulang aku mengalami kecelakaan motor. Kami
bertabrakan dengan mobil bak terbuka. Aku tidak mengalami cedera berat, tetapi
kawan yang memboncengku harus dioperasi lututnya yang sobek. Setelah itu aku
menjadi sales di Adira, Mulit, dan Kuantum. Kemudian aku keluar dan sekarang
berwiraswasta dengan membuka usaha penangkaran holtikultura khusus bibit
pohon durian. Jenis durian montong dan kani. Dengan sistim tanam penempelan
atau sambung yang direkomendasikan oleh Dinas pertanian dan perkebunan.
Usahaku ini sudah berjalan dua tahun yang kuolah bersama dengan seorang adik
dan seorang teman di Nanga-nanga yang bernama Sumarmin. Sumarmin adalah
temanku waktu kecil. Usaha ini adalah hasil diskusi dengan kawan-kawan lainnya
di luar Nanga-nanga seperti di Konawe Selatan. Dengan tidak bisa lagi
mengharapkan sumber daya dari daerah sekitar maka aku bersama adik dan teman
melakukan penangkaran ini. Di samping sudah banyak juga lahan yang telah dijual
oleh masyarakat lainnya untuk di jadikan perumahan di sekitar mereka. Peluang
lainnya yang sedang kami gagas mensuplai kebutuhan Kendari akan bibit yang
selama ini masih didatangkan dari Makassar. Kendala yang dihadapi sekarang
adalah belum mampu mengurus izin penangkaran resmi karena keterbatasan dana.
Oleh karena itu posisi kami masih menjadi cabang atau bagian dari penangkaran
Konawe Selatan. Sudah pernah sekali menghasilkan bibit untuk penangkaran
Konawe Selatan sebanyak 1500 bibit pohon durian. Selain itu sampai sekarang ada
juga petani yang datang ke tempat kami untuk membeli bibit. Di belakang rumah,
kami sudah menyediakan pupuk kandang sebanyak 370 karung untuk keperluan
praktek teman-teman kelompok tani Tunas Baru, agar bisa mengurangi penggunaan
pupuk kimia dan kembali ke tanaman organik. Anggota kelompokku sebanyak 19
orang, dan aku sebagai ketua. Anggotanya terdiri dari petani muda dan tua.
Kelompok tani ini sekarang tidak aktif menyelenggarakan pertemuan setiap minggu.
Namun kelompok ini melakukan pertemuan berdasarkan kebutuhan mereka di

80
Sulawesi Bersaksi
lapangan saja., masing-masing sibuk dengan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Aku sebagai ketua terkadang sering keluar kota untuk mengikuti
pelatihan, dalam rangka pengembangan pengetahuan mengenai kelompok tani agar
bisa maju bersama.

Selain melakukan pembibitan durian, aku juga merencanakan mendirikan


perpustakaan (rumah baca) untuk anak-anak Nanga-nanga. Di samping rumah
kami.
Aku juga aktif berorganisasi sejak diadvokasi oleh LBH Kendari untuk mendapatkan
Sertifikat tanah di Nanga-nanga. Kegiatan ini aku ikuti sejak tahun 2006. Organisasi
ini bernama PERMIN (Perjuangan Rakyat Miskin Nanga-nanga) yang akhir-akhir ini
mengalami kemandekan.
Pada tahun 2012 aku akhirnya kuliah di Fakultas Hukum Unsultra (Universitas
Sulawawesi Tenggara). Alasanku kuliah di fakultas hukum adalah bila kita
mengetahui hukum maka kita akan punya posisi tawar lebih tinggi dan tidak akan
mudah di intimidasi oleh orang lain. Kuliah di fakultas hukum Unsultra (Universitas
Sulawawesi Tenggara) masuk tahun 2012. Alasan kuliah di fakultas hukum, jika kita
mengerti hukum akan mampu berbicara masalah hukum dan akan memiliki posisi
tawar lebih kuat.
Terahir kegiatan yang aku ikuti adalah Temu Regional Korban Tragedi 1965 di Palu ,
Sulawesi Tengah.
Ada hal lain yang kualami, ketika menghadiri pertemuan tersebut. Seorang teman
meminta aku menceritakan riwayat Bapakku. Permintaan teman ini, seperti
membongkar memori yang selama ini aku pendam. Permintaan ini memberiku
semangat dan berharap bahwa lebih banyak lagi orang yang akan tahu apa yang
dialami oleh Bapakku, dan kami sekeluarga. Sebuah riwayat pelanggaran terhadap
hak azasi kami.

Alm. Bapakku bernama ARI SUTARI lahir di Pandegelang tanggal 31 Desember


1935. Yang aku ingat, kakek dan nenekku bernama Mas Awa Parta Atmaja dan Ratu
Rohama. Bapakku bekerja di Perusahaan Aspal Negara (PAN) yang berada di

81
Sulawesi Bersaksi
Lawele Kabupaten Buton. Ketika itu ia tenaga yang dikirim dari Perusahaan Umum
di Bandung, untuk bekerja mengawasi Explorasi Aspal tersebut.
Bapakku ditangkap dan ditahan karena Bapak pada waktu itu menjadi salah satu
pimpinan Serikat Buruh Tambang. Penangkapan terjadi pada tanggal 30 November
1965.
Sebelumnya Bapak sudah pernah menikah dan mempunyai empat orang anak. Pada
saat Bapakku tertangkap atau selama dalam tahanan Bapak ditinggalkan atau
diceraikan oleh istrinya, karena istrinya ini mendengar cerita dari orang-orang di
sekitar dan pemerintah, tentang cerita yang tidak begitu enak didengarkannya. Oleh
sebab itu dia pisah dengan Bapak. Setelah Bapak lepas dari tahanan tahun 1977,
Bapak menikah lagi untuk yang ke dua kalinya dengan Ibuku Haena. Lahirlah aku
yang pertama HARI WISASTRA, sekarang berumur 32 tahun, anak kedua bernama
YUNANSRI SAFITRI, berumur 31 tahun, dan anak ketiga bernama KAISAR
POBALIA, berumur 27 tahun.
Ketika itu saudara-saudaraku yang dari lain Ibu sangatlah trauma, karena mereka
sangat merasakan langsung dampak penahanan terhadap Bapak. Situasi saat itu
sangat mencekam dan meresahkan perasaan mereka. Pada saat itu rumah dinas di
obrak-abrik, katanya, untuk mencari dokumen-dokumen, terutama dokumen
tentang senjata yang ditinggalkan oleh kapal KRI DOMPU. Kapal itu singgah di
Buton karena mengalami kerusakan sebelum meneruskan perjalanannya ke Irian
Barat. Cerita tentang kapal yang singgah itu dimanfaatkan oleh para tentara dalam,
memeriksa para tahanan, dengan tuduhan bahwa kapal tersebut tidak rusak
melainkan berlabuh untuk menurunkan senjata sebanyak 500 pucuk untuk
persiapan mengambil alih pemerintah Buton pada waktu itu. Selain tuduhan
terhadap senjata yang dibawa oleh kapal tersebut, juga tentang lubang lubang
yang digali mirip lubang Buaya seperti di Jakarta yang katanya untuk mengubur
penjabat pemerintah setempat. Mengenai kapal KRI DOMPU yang oleh para
pemeriksa dikatakan menurunkan senjata, dibantah oleh Kapten kapal Letkol
Busono, bahwa kapal tersebut tidak benar menurunkan senjata tetapi memang
mengalami kerusakan. Keterangan Letkol Busono itulah yang menyebabkan para

82
Sulawesi Bersaksi
tahanan tidak lagi mendapat siksaan. Demikian menurut Yunus Lameaso, salah
seorang Tapol.
Bapakku menceritakan perlakuan yang dialami selama Orde Baru berkuasa antara
lain, diberinya tanda ET di KTP, yang baru dihapuskan pada tahun 1995. Ketika
pemilu diarahkan untuk memilih GOLKAR. Juga pada masa Orde Baru dikenal
dengan sampul D artinya anak-anak korban tidak boleh menjadi pegawai negeri
nantinya. Juga para tentara mengatakan agar tidak mendekati TAPOL karena
TAPOL itu orang-orang jahat.
Bapak juga mengalami pemukulan, disetrum, dan makan jagung hanya 50 butir
sehari selama dua bulan, makan ubi satu potong dan terkadang makan sagu satu
sendok. Selama dalam pengasingan mereka dipaksa untuk bekerja seperti:
menggergaji/memotong kayu yang kemudian dijual oleh tentara, pembuatan jalan
dan, jembatan. Mereka juga disuruh bercocok tanam dan hasilnya dinikmati oleh
para tentara. Tapi pada saat Bapak disuruh memotong kayu itu oleh para pengawas,
Bapak sering sakit, maka Bapak tidak banyak bekerja di lapangan. Bapak bertugas
mengantarkan makanan bagi para tahanan yang bekerja di hutan.
Setelah bebas, tahanan ditawari untuk dimukimkan dengan diberi tanah garapan,
Katanya rumah yang akan diberikan oleh pemerintah pusat itu, semi permanen
dengan berlantaikan semen. Tapi hanya rumah papan biasa yang tiangnya hanya
ditabas, dengan lantai tanah.
Biaya perumahan semi permanen itu sebesar Rp 500.000 dari pusat, tetapi karena
banyak potongan hingga tersisa Rp 200.000 saja. Dengan uang segitu itu rumah
tersebut dibangun yang diborongkan kepada tahanan. Pada saat itu juga tahanan
harus bekerja untuk menghidupi keluarga, dengan terpaksa bercocok tanam. Banyak
yang tidak tahan bekerja, akhirnya pulang ke kampungnya masing-masing., berjalan
melewati jalan setapak.
Aku sekarang tinggal bersama ibu dan adik laki-laki di Nanga-nanga. Nanga-nanga.
Nanga-nanga luasnya 1000 HA adalah tempat yang di persiapkan oleh pemerintah
untuk hunian dan kerjapaksa tapol napol. Sekarang masyarakat luar mengkalim
tanah tersebut sebagai miliknya. Nanga-nanga ini berada di wilayah Kelurahan
Baruga, Kecamatan Baruga, Kota Kendari.

83
Sulawesi Bersaksi
Pewawancara : Nurhasanah
Penulis: Mohamad Abbas.

Jozef Beinhard Kalengkongan

AKU INGIN ENGKAU BERKATA JUJUR SEJUJUR-JUJURNYA

Suatu hari saya ditanya oleh seorang anak muda, yang sudah cukup lama saya kenal.
Dia suka mendengarkan cerita saya, dia mengatakan cerita-cerita kami membuat dia menjadi
lebih mengerti bagaimana suatu peristiwa dalam sebuah sejarah terjadi dibanding dia harus
membaca buku. Sehingga dia dapat melihat sejarah dari dua sisi yang berbeda, tidak hanya
mendapat informasi dari satu sisi apalagi terkait dengan peristiwa 1965. Dan bagaimana dia
sangat menghormati perjuangan kami, buat saya itu sudah cukup memberi semangat.
Karena memang tidak banyak anak muda yang mau tahu apa sih yang sedang kami
perjuangkan.
Sore itu kebetulan kami hanya berdua di kantor tempat kami biasa berdiskusi, tiba-tiba dia
bertanya ke saya. Om... mau tidak kalau saya minta cerita Om dari awal ketika pertama kali
Om dinyatakan sebagai salah satu orang yang harus ditangkap, sampai akhirnya Om
dibebaskan?
Loh selama ini kan kamu sudah dengar seperti apa cerita saya....
Iya sih Om... tapi saya kan mendengarnya cuma sepotong-sepotong, kali ini saya mau
dengar utuh Om. Siapa tahu ini bisa jadi cerita yang bisa menginspirasi banyak orang
terutama anak muda....
Lalu saya harus mulai dari mana...?
Ya sudah, gimana kalau Om jawab saja pertanyaan dari saya?
Boleh juga seperti itu.
Oh iya Om, nanti saya rekam ya....
Boleh... boleh....
Kamipun berdialog panjang tentang bagaimana pengalaman saya dari sebelum tahun 1965
sampai sekarang (2013). Terkadang dia tertawa, bukan karena mentertawakan cerita saya.

84
Sulawesi Bersaksi
Tapi kadang memang saya menyelingi cerita-cerita lucu saja. Tanpa terasa hari sudah
menjelang malam, kamipun harus kembali ke rumah kami masing-masing.
Beberapa hari kemudian kami bertemu lagi, dia menyodorkan tulisan yang katanya hasil
wawancara dengan saya waktu itu. Dia minta saya membaca kembali hasil tulisannya, kalau
ada yang terlewat mungkin bisa ditambahkan.
Sekilas saya membaca judulnya SEJUJURNYA, AKU INGIN ENGKAU BERKATA
JUJUR SEJUJUR-JUJURNYA. Judul yang agak aneh, tapi cukup menarik perhatian.
Nama saya Jozef Beinhard Kalengkongan, memasuki usia 74 tahun di tahun 2013 ini.
Saya bersyukur masih diberikan kesehatan oleh Tuhan. Hanya saja saya sudah tidak
bisa makan sayuran tertentu, maklumlah sudah lama saya bersahabat dengan si
asam urat. Tapi soal pedas saya masih nomor satu, karena orang Sulawesi Utara
tidak bisa lepas dari rica (cabai). Istri saya satu dan masih setia mendampingi saya
sampai sekarang, usianya 72 tahun. Pada bulan November 2012, baru saja diwisuda
S1 nya di Universitas Negeri Manado (UNIMA ) jurusan Keguruan Ilmu Pendidikan
(KIP). Fisik boleh tua tapi jiwa kami tetap muda.
Anak saya ada empat (4) orang. Anak pertama perempuan namanya Suryati,
pendidikan terakhir insinyur pertanian. Pekerjaan wiraswasta penata kecantikan.
Anak kedua laki-laki namanya Ato Pendidikan terakhir kedokteran, pekerjaan
Dokter Umum. Anak ketiga laki-laki namanya Surya pendidikan terakhir SMA
kuliah tidak lanjut karena ketiadaan biaya, pekerjaan berdagang. Ke empat
perempuan namanya Sari pendidikan terakhir SMK kecantikan pekerjaan penata
kecantikan bersama dengan anak pertama.
Saya lahir di desa Motoling, Minahasa Selatan Sulawesi Utara pada tanggal 6 April
1937. Ayah saya bernama Eli, beliau seorang pemimpin gereja. Ibu saya bernama
Bina Paat. Beliau seorang ibu rumah tangga tulen. Saya anak ke 4 dari 8 bersaudara.
Tapi yang saya tahu sekarang tinggal dua adik, perempuan dan laki-laki yang
bungsu, mereka tinggal di Minahasa Selatan.
Saya masuk Sekolah Rakyat (SR) tahun 1944 di Motoling, kemudian melanjutkan ke
SMP tahun1950 di Motoling. Tahun 1953 masuk SMA Insula (Institut Sulawesi)
jurusan B di Makasar. Karena tidak punya saudara maka saya kos. Saya sempat
kuliah di Universtas 17 Agustus Fakultas Pers Jurnalistik, tapi hanya sampai tingkat

85
Sulawesi Bersaksi
dua (1956-1957). Karena sewaktu masih kuliah saya sudah bekerja menjadi
wartawan surat kabar harian Marhaen (1956-1961). Lalu saya dipilih oleh pimpinan
redaksi menjadi wartawan perang Komando Daerah Pertempuran SULUTTENG di
Sulawesi Selatan (KDPSST), dalam rangka penumpasan gerombolan DI/TII tahun
(1956-1957). Pada Maret 1958 bertempat di Markas Perwakilan Komando Operasi
Sadar Sulawesi Tengah di Jl. Kutai 74 Surabaya, saya dilantik sebagai Letnan Satu
Tituler oleh Mayor Jendral A. H. Nasution dan menjadi wartawan perang komando
operasi sadar untuk penumpasan Perjuangan Rakyat Semesta (PERMESTA ) di
Sulawesi Tengah. Kemudian berlanjut menjadi wartawan perang komando operasi
Sapta Marga III di Gorontalo, operasi penumpasan Permesta di tahun yang sama
(1958). Terakhir wartawan perang komando operasi merdeka di SULUT Manado,
Minahasa, Bitung, masih di tahun 1958 - 1961. Tugas saya sebagai wartawan perang
adalah memantau penumpasan DI/TII dan PERMESTA. Kadangkala saya berada
pada dua kelompok yang saling menembak dan biasanya berada di daerah
perkebunan atau hutan. Berhari-hari berada di lokasi pertempuran. Cara pelaporan
berita melalui telegram lewat kantor pos.
Di tahun 1956 saya aktif di Panitia Aksi Pembebasan Irian Barat (PAPIB) Propinsi
Sulawesi Selatan di Makasar. Tahun 1957 aktif di Sekretaris Badan Kerjasama
Pemuda Militer (BKS-PM) Sulawesi Selatan di Makasar. Tahun 1958 menjadi Wakil
Ketua Badan Kerjasama Pemuda Militer (BKS-PM) Sulawesi Utara di Manado.
Lalu ketemu istri saya di sekitar tahun 1958. Waktu itu dia masih sekolah di Sekolah
Guru Atas (SGA) Katholik Manado. Setiap hari saya antar jemput dia dengan sepeda
hingga dia melanjutkan kuliah di Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas
Hasanudin (FKIP UNHAS) di Manado. Dulu ada program kuliah kelas jauh. Waktu
itu saya sudah bekerja menjadi wartawan perang yang sudah ditugaskan di Manado.
Kemudian saya juga melanjutkan kuliah di Universitas Pinaesaan, jurusan Hukum.
Belum sampai selesai kuliah di jurusan hukum, tahun 1962 saya memutuskan untuk
menikah. Lima (5) tahun kami bertunangan, akhirnya memutuskan menikah. Karena
calon mertua tidak suka saya pakai baju hijau (baju tentara), lalu saya mencari
pekerjaan lain. Jadi sejak tahun 1961 akhirnya saya melamar menjadi guru SMP,

86
Sulawesi Bersaksi
mengajar di SMP Kristen bersubsidi, Manado. Saya mengajar Bahasa Indonesia,
sejarah umum, sejarah dunia dan civic.
Selama menjadi guru saya aktif di organisasi Persatuan Guru Republik Indonesia
Non Vaksentral (PGRI NV), organisasi pecahan dari PGRI karena tidak setuju atas
pilihan PGRI berafiliasi pada organisasi lain. Sementara PGRI Non Vaksentral ini
setuju dengan program PKI tapi bukan underbow PKI.
Pada tanggal 30 september 1965 (peristiwa itu sebenarnya terjadi sesudah jam 24.00,
berarti sudah masuk tanggal 1 Oktober) terjadi sebuah peristiwa yang menggemparkan
di Jakarta, yaitu penculikan dan pembunuhan 7 Petinggi Angkatan Darat. Pagi
tanggal 1 Oktober 1965, seperti biasa saya masih melaksanakan tugas mengajar. Di
sekolah saya mendengar dari teman-teman guru tentang peristiwa di Jakarta itu.
Tidak sampai selesai jam sekolah saya izin pulang dan mencoba mencari tahu
kejadian yang sebenarnya ke teman-teman yang aktif di partai (PKI).
Pertama saya mendatangi rumah bung Herman Siwu seorang anggota DPRD
Provinsi yang mewakili PKI, di Jalan Bethesda Manado. Beliau juga hanya
mendengar di radio tapi belum tahu rinci peristiwa itu. Ia masih menunggu
klarifikasi atau pemberitahuan dari CC PKI (Kantor Pusat PKI) di Jakarta dan
menyuruh saya pulang sambil menunggu komando selanjutnya. Kemudian saya
menemui bung Jhon Umboh di rumahnya di Ranotano. Dia ketua Consentrasi
Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) Sulutteng sekaligus kader PKI juga. Ternyata
dia juga belum mendapat informasi dan perintah untuk melakukan apa pun terkait
peristiwa di Jakarta.
Keesokan harinya saya masih tetap pergi mengajar, semuanya berlangsung normal
hingga sampai tanggal 9 Oktober 1965, walaupun keadaan mulai memanas ketika
tanggal 4 Oktober mayat jendral-jendral diketemukan. Pada saat itu Soeharto
mengatakan, kemaluan-kemaluan jendral dipotong, disayat oleh Gerwani. Jadi saya
pikir siapapun orang Indonesia yang mendengar berita ini pasti timbul amarah.
Sejak tanggal 5 Oktober, sudah mulai terjadi gelombang demonstrasi yang dilakukan
oleh kelompok-kelompok masyarakat yang mengaitkan peristiwa yang terjadi di
Jakarta dengan PKI sebagai pihak yang bertanggung jawab. Puncaknya penyerbuan,
pengambilalihan, pembakaran gedung kantor Comite Daerah Besar (CDB) PKI

87
Sulawesi Bersaksi
Sulawesi Utara dan Tengah (Sulutteng) pada tanggal 7 Oktober. Aksi itu dimotori
oleh tentara dan dibantu organisasi pemuda seperti Gerakan Pemuda Ansor (GP
Ansor), Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI), Gerakan Pemuda
Islam Indonesia (GPII) dan Pemuda Pancasila.
Lalu saya datang ke sekolah berencana mau pamitan ke teman-teman guru di
sekolah, yang kebetulan mereka adalah aktivis IPKI (Ikatan Pendukung
Kemerdekaan Indonesia/Pemuda Pancasila). Lalu ada teman-teman guru yang
Pemuda Pancasila bilang, Bapak nginap saja di sekolah. Saya disuruh tinggal di
sekolah, tidak ada yang mau ganggu... betul... sebab mereka mau melindungi saya.
Dua hari saya tinggal di sekolah. Tiba-tiba ibu saya datang sambil berteriak-teriak
lari kamu... kamu mau dibunuh, kamu mau digantung. Beliau datang dari
Minahasa Selatan untuk berjualan telur ayam kampung dan gula aren di pasar 45 di
pusat kota Manado. Belum sempat berjualan, beliau mendengar pengumuman
dengan pengeras suara. bunuh Nico Mamoto pimpinan Partai Nasional Indonesia,
Tangkap Yan Joshua pimpinan PKI.... Lalu diantara nama-nama itu ada nama
saya...gantung Yosef Kalengkongan....
Sebelumnya memang saya sudah merasa akan ditangkap karena pada tanggal 27
September saya memimpin aksi demonstrasi di Manado. Tuntutan aksi : Turunkan
harga dan tarif kendaraan umum, yang hadir kira-kira 2000an, yang memang pada
waktu itu merupakan satu-satunya demonstrasi yang terbesar. Tapi itu tidak
mewakili partai apapun, itu gabungan masyarakat. Waktu itu tarif kendaraan mahal,
barang-barang semua mahal. Jadi kita menuntut turunkan harga.
Jadi tanggal 9 Oktober saya memutuskan melarikan diri, ke kampung ibu di
Minahasa Selatan. Sementara istri, saya suruh pulang ke kampung orangtuanya di
Tondano bersama dua anak saya. Kebetulan istri saya juga guru, tapi dia tidak
ditangkap hanya diberhentikan. Karena memang dia tidak masuk dalam organisasi
apapun. Saya lari menuju kebun-kebun di daerah pinggiran Manado karena tak
ingin diamuk massa yang sudah terlanjur kalap di bakar emosi.
Di persembunyian inilah saya bertemu Herman Siwu anggota DPRD Sulawesi Utara,
Jhon Umbo guru SMEA ketua organisasi CGMI, Sam Solang Ketua Pemuda Rakyat
Suluteng, Willem Tan bukan PKI dia pengusaha tapi Cina karena takut dia ikut lari,

88
Sulawesi Bersaksi
Alo Rembet aktifis PKI. Akhirnya kami menjadi satu rombongan yang berpindah-
pindah dari satu kebun ke kebun lain.
Sebenarnya mungkin kami tidak akan tertangkap kalau lebih berhati-hati dan
waspada. Apalagi terhadap ibu-ibu yang berjualan makanan yang kami temui
sepanjang perjalanan. Kami dengan mudah bisa tertangkap oleh pemuda-pemuda
dan polisi. Karena ternyata dari cerita ibu-ibu tersebut, bisa memastikan bahwa kami
memang rombongan yang sedang melarikan diri. Kebetulan di antara ibu-ibu itu
juga ada yang anaknya pimpinan komando pemuda anti G30S.
Pada tanggal 18 Oktober 1965 sekitar jam 3 sore, kami dikepung dan ditangkap.
Mereka dari kelompok pemuda, ada Ansor, pemuda GAMKI Kristen, pemuda
Katolik dibantu tentara di bawah Komandan Komando Rayon Militer (KORAMIL),
Letnan TNI Ngantung dan Kepala Polisi Sektor (POLSEK) Kecamatan Pineleng
Inspektur Polisi Wollah. Penyergapannya di sekitar area persawahan dekat Sekolah
Tinggi Filsafat (STF) Seminari Pineleng ketika hendak menuju pegunungan
LolOmbulan.
Nah waktu kami ditangkap, polisi dan pemuda membawa kami ke kantor
koramil/kantor militer Pineleng. Di sana sampai malam sekitar 4 jam. Waktu mau
makan kami tidak mau makan. Takut toh takut diracun lalu ini pemuda Ansor,
dia bilang makan.... karena kami tidak mau makan, dia lebih dulu makan. Dia
makan lauk pauk lalu nasinya, dia kasih contoh bahwa makanan ini aman.
Sesudah makan, baru tangan kami diikat semua. Di antara pemuda-pemuda yang
menangkap kami, ada yang kasar sekali ayo mau diperiksa padahal ketika
mereka bicara keras begitu, mereka mau melonggarkan ikatan. Jadi di antara mereka
itu ada seorang yang murid saya. Juga ada murid John Umboh yang ketua PGRI dan
guru SMEA.
Anak-anak muda ini bicara kasar jangan lari kamu. Periksa-periksa tali tapi dia
berbisik, dia bilang bapak tangannya jangan begini yah (maksudnya dibuka
kepalannya) tetap seperti diikat padahal talinya dia sudah buka tapi dia
punya kata-kata diikat kamu, jadi jangan lari dia buka, sebab waktu diikat oleh
militer, memang tangan biru-biru seperti darah mati. Sekitar jam 10 malam kami
dijemput dengan mobil dibawa ke Kodim Manado. Di tempat ini tidak sampai dua

89
Sulawesi Bersaksi
jam, lalu kami dibawa ke penjara (yang sekarang dikenal dengan nama Gedung
Juang) atas perintah Letnan Kolonel Rauf Moo selaku komandan Kodim. Tiba di
penjara kami menjumpai belasan tentara yang sedang menjalani hukuman kasus
pidana penyelundupan. Tentara-tentara itu sudah ditugaskan oleh bagian intel
Komando Daerah Militer (KODAM) XIII Merdeka, Sulawesi Utara Tengah untuk
melakukan penyiksaan kepada semua kader ataupun simpatisan PKI yang sudah
tertangkap dan berada di penjara.
Di penjara tidak ada interogasi, yang ada cuma memaki dan memukul. Kalau kami
disuruh ke lapangan, berarti kami harus lari berkeliling lapangan. Ketika kami lari-
lari, ada petugas yang duduk-duduk di pinggir lapangan sambil memegang kayu
untuk dipukulkan di tulang kering, dan tangan.
Di penjara tiap blok punya WC, lalu semua kotoran itu mengalir di got besar menuju
ke satu septictank yang besar. Dari berapa puluh kamar menuju ke situ. Ada seorang
teman kami, Derek Wondan, anggota Comite Sub Seksi Kecamatan Tomohon. Pada
suatu ketika Bapak Derek dimasukkan ke dalam bak kotoran itu. Bak kotoran yang
setinggi leher. Para penyiksa ini sudah tes lebih dulu dengan tongkat. Jadi bapak
Derek Wondan itu, kalau dia menunduk, mukanya akan masuk ke tai (kotoran).
Kotorannya sebatas dagu, sehingga mukanya harus tegak terus. Kalau tidak, akan
kemasukan kotoran.
Bayangkan bagaimana tersiksanya Bapak Derek saat itu, tidak hanya menahan
kepalanya untuk tetap tegak tapi juga bau yang keluar dari kotoran. Kira-kira 3
sampai 4 jam di dalam bak, lalu ada salah seorang petugas yang datang dan berkata,
sudah angkat saja....
Pengalaman saya sendiri, ketika awal saya diinterogasi mereka langsung bilang...
kamu PKI, pembunuh jendral, komunis tidak bertuhan mereka tidak mau percaya
kalau saya bukan PKI .Meskipun saya jawab, saya bukan PKI... . dia tidak mau
pusing, pokoknya dia siksa saya.
Empat hari kemudian saya dan beberapa orang yang tergabung dalam satu
rombongan sewaktu ditangkap pertama, diambil dari penjara dibawa ke markas
Resimen Tim Pertempuran (RTP) I Sulawesi Utara. Markas ini juga markas

90
Sulawesi Bersaksi
Komando Operasi Tertib Wilayah I yang meliputi Sulawesi bagian utara dari Talaud,
Sangihe, Minahasa, Manado, Bolaang Mongondow dan Gorontalo.
Rupanya ada yang melapor kepada panglima bahwa kita orang ini mau dibunuh
semua di sana, dan ada yang sudah mati dalam tahanan. Yang meninggal itu Willem
Tan yang orang Cina waktu sama-sama lari. Sementara keadaan saya sendiri juga
sudah sangat mengenaskan. Tangan ini sudah membesar seperti paha, bengkak. Lalu
kami diperiksa oleh dokter di RTP. Lalu perwira-perwira itu bilangangkat
tangan, coba gerakan kelingking, gerakan jari tengah. Kesimpulan dari dokter
tidak ada yang patah, karena masih bisa digerakkan. Sebab kalau ada yang patah,
putus syaraf tidak boleh diperintah lagi. Selama tiga bulan kami di RTP terhitung
Oktober, November, Desember, Januari. Akhir bulan Januari kami dipindahkan
kembali ke penjara pertama.
Selama di RTP, nasib kami tidak menjadi lebih baik. Tiap hari kita diperiksa, dengan
pertanyaan yang sama dan kadang tidak masuk akal hanya untuk mencari alasan
menyiksa. Seperti dimana disembunyikan senjata. Tentu saja saya jawab tidak
tahu dan memang tidak ada, setelah saya bilang tidak ada justru lebih dia beringas.
Disetrum, ibu jari kaki diletakkan di kaki meja kemudian mejanya diduduki,
dipukul, menjadi sesuatu yang biasa buat kami. Pokoknya di Korem ini kami lebih
disiksa lagi tapi kalau ini yang melakukan memang petugas. Tiap hari sekitar satu
jam kami harus menerima siksaan-siksaan ini, siang malam. Waktu penyiksaan tiap
harinya tidak pernah sama, semau mereka. Sesuai dengan mereka punya selera,
panggil pagi boleh, panggil malam boleh. Karena di RTP banyak sekali tahanan jadi
bisa 24 jam penyiksaan itu, setiap orang minimal satu jam saja.
Alat setrum yang digunakan di militer ini adalah semacam alat telepon yang diputar
secara manual dan menggunakan batu baterai, lalu ujung kabel itu yang
mengandung setrum. Jika batu baterainya baru, setrumnya tidak begitu
menyakitkan tapi kalau baterainya sudah bekas maka setrumnya semakin terasa
sakit. Biasanya yang disetrum tangan, tetapi sering kalau perempuan di buah dada,
laki-laki di kemaluan.
Waktu diinterogasi dalam ruangan itu kadang-kadang sendiri kadang-kadang
berdua. Pernah saya diinterogasi satu ruangan dengan satu anak gadis. Saya bilang

91
Sulawesi Bersaksi
anak gadis, memang saya lihat masih muda sekali. Waktu itu saya kan sudah
menikah, jadi saya pikir beda jauh usianya dengan saya. Anak gadis ini berasal dari
desa dan dia anggota biasa Pemuda Rakyat. Sebuah organisasi pemuda tapi bukan
pengurus juga. Bayangkan ini di desa, entah bagaimana dia ditangkap. Dia duduk di
sebelah saya, kami tidak boleh baku (saling) tengok. Jadi waktu dia disuruh buka
blus, rupanya dia tidak mau. Akhirnya juga terpaksa dibuka. buka BH teriak
mereka. Kemudian pemeriksa itu bilang ke saya, . silakan kamu tengok.... saya
tidak mau tengok, dia pukul saya,bandel kamu. Lalu perut saya ditinju, kaki saya
dipukul pakai rotan.... uuh, saya meringis kesakitan, tapi saya tetap tidak mau
melihat.
Lalu yang lebih menyiksa lagi begini, ini lima jari, ada 4 pensil diletakkan disela-sela
jari aduh siksa sekali itu... lalu diremas dengan mengepalkan tangan. Tersiksa
sekali.
Tiba-tiba saya dibentak lagi, Tengok....
Saya tetap bertahan untuk tidak melihat. Kenapa saya berani melawan, karena saya
dan teman-teman di penjara punya pikiran dan perasaan memang tidak akan pulang
lagi ke rumah. Sehingga kami merasa mati hanya tinggal menunggu giliran saja. Jadi
kita punya sikap tidak perlu menghormat petugas, tidak perlu, memang kita rasa
pasti mau dibunuh. Lain hal kalau tadinya kita pikir ada yang tidak akan dibunuh,
mungkin bisa kita layani. Saya pribadi berpikir seperti itu, jadi saya juga keras.
Lalu mereka teriak lagi, coba tengok
Saya tidak bilang tidak, tapi saya tidak mau tengok. Dia ambil saya punya badan
dengan paksa menghadap ke anak gadis tadi, lalu saya bilang ke perwira itu
saudara saya tahu saudara dilahirkan oleh seorang perempuan. Saudara kan
punya ibu, perempuan. Jadi kalau saudara bukan dilahirkan oleh seorang ibu
silahkan teruskan
Masalahnya begini... saya sudah kawin toh waktu ditahan, jadi saya bisa bedakan itu
nona yang so kawin atau dia belum kawin tapi so tahu batona. Ini nona pe putting...
eh.. .itu kopral masih mau pegang, mau kasih keluar apa tuh... depe putting susu,
karena memang belum pernah batona nihperempuan. Maksudnya mau kasih
keluar puting susu, mau ikat akang kabel beda kalau sudah pernah menetek... ini

92
Sulawesi Bersaksi
memang masih dipegang mau dikasih keluar lalu ikat tuh kabel.(masalahnya begini...
saya sudah menikah waktu ditahan, jadi saya bisa membedakan gadis yang sudah menikah
atau belum tapi sudah tahu pacaran. Puting gadis ini... eh... itu kopral masih tetap mau
pegang, untuk mengeluarkan puting susu, untuk diikatkan kabel. Beda kalau sudah pernah
menyusui... ini masih tetap ditarik keluar untuk diikat kabel).
Nah sekarang masalahnya, sedangkan ketua pemuda rakyat di Kabupaten itu saja
belum tentu tahu soal senjata ini. Terbukti sampai sekarang tidak ada senjata itu,
tapi andaikata betul ada, tidak mungkin ini perempuan tahu. Dia cuma anggota
biasa, bukan pengurus ranting, bukan pengurus kecamatan, bukan pengurus
kabupaten, masa dia tahu itu logika saya. Sebenarnya logika dari petugas, juga
seperti itu. Dia tidak tahu apa-apa, tapi tetap dipaksakan.
Sementara gadis itu hanya bisa berteriak kesakitan dan sesekali bicara... saya tidak
tahu saya tidak tahu saya cuma anggota... Akhirnya saya sempat melihat
bagaimana dia jatuh ke lantai dan terbanting-banting kemudian mengejang pingsan
ketika disetrum. Saya masih ingat nama-nama tentara yang menyiksa kami. Letnan
Sangit, Sersan Mayor Saragih dan Letnan Kolonel Supomo.
Di RTP selama satu bulan kami berenam tinggal di WC yang berukuran 1,5 m X 1,5
m. Dalam ruangan ada WC, ada bak air sepanjang ruangan dengan lebar 40cm tinggi
setengah meter. Pada awal kami masuk keadaannya masih bersih, ada air sekitar
satu jengkal. Karena selama satu bulan itu tidak pernah ditambah air, maka kotoran
kami menjadi menumpuk. Satu minggu pertama kami masih merasa risih tapi
selanjutnya menjadi terbiasa. Bahkan ketika kami tidur kadang ada ulat-ulat keluar
dari kotoran menggerayangi kami. Selama satu bulan itu kami tidak pernah
dikeluarkan kecuali kalau ada panggilan interogasi. Seminggu kadang dua kali saya
dipanggil, jatah makan sehari satu kali. Ada dua ventilasi dalam ruangan satu di atas
pintu, satu lagi di atas bak air. Itu makanya kalau ada yang sudah mulai sesak napas,
gantian berdiri di atas bak air untuk menghirup udara di lubang udara. Kalau tidur
kadang kami bergantian, atau kalau malam diatur sedemikian rupa. Ada yang
kakinya di atas bak mandi, di atas WC. Untuk mengurangi bau dari kotoran
biasanya kami buang puntung rokok ke dalam WC.

93
Sulawesi Bersaksi
Saya ingat tanggal 31 Januari 1966, baru saja kami sampai di penjara Manado, belum
sempat kami masuk ke sel, ada pengumuman dari kantor penjara terkait
pemanggilan nama-nama.
Terdengar suara: Dengar nama-nama ini Siapa yang namanya dipanggil siapkan
barang-barang.... Biasanya kalau begitu mungkin mau bebas. Sementara memang
yang dipanggil, semuanya ketua-ketua atau orang-orang penting di organisasi.
Ketua PKI Sulawesi Utara, Ketua Partai Nasional Sulawesi Utara Semuanya 47
orang yang dipanggil. Di antara nama-nama itu ada Herman Siwu, Jhon Umboh.
Terdengar omelan dari orang-orang di dalam penjara... merasa kesal dan dongkol :
uh... kok yang mau dibebasin yang tokoh-tokoh, sementara kita cuma kroco kok
tidak dipanggil . Termasuk saya.
Semua yang namanya dipanggil diharuskan melewati portir penjara langsung dan
naik ke mobil yang sudah disiapkan oleh militer. Ternyata mereka yang dipanggil 47
orang ini bukan bebas, ... tapi pergi ke tempat pembunuhan karena mereka tidak
kembali. Beberapa anggota keluarga korban yang sempat datang menjenguk saya,
diantaranya istri Herman Siwu dan Jhon Umboh mengatakan bahwa semua keluarga
mendapat sebuah surat dari Letnan Kolonel Ichdar selaku Komandan Komando
Tertib (KOTIB I) KODAM XIII Merdeka. Isi suratnya pemberitahuan bahwa telah
terjadi kecelakaan kapal laut yang menenggelamkan seluruh penumpangnya ketika
akan menuju ke sebuah pulau pengasingan di daerah Sangir Talaud.
Saya secara pribadi memang dipanggil oleh salah satu tentara yang menjaga kami,
berdua dengan bapak Fatah guru SMAN Manado. Dia orang Jawa, mungkin dia
dulu Pemuda Rakyat lalu jadi tentara sebelum peristiwa atau bapaknya di Jawa sana
terlibat jadi dia merasa ada kedekatan dengan kami. Dia kasih tahu saya bahwa dia
salah satu yang melaksanakan perintah pembunuhan terhadap 47 orang itu di
Tomohon, dulu itu namanya Kantor Rindam, kantor resimen induk KODAM XIII
Merdeka oleh sebuah kesatuan Zenit Tempur (ZIPUR) yang dipimpin oleh Kapten
Kosim. Dikemudian hari Kapten Kosim sempat menjabat komandan KODIM
(Dandim) di Madiun, Jawa Timur dengan pangkat Letnan Kolonel.
Jadi tentara ini pelaku langsung, dia bercerita bagaimana mereka diperintahkan
membunuh tidak dengan ditembak, tidak ditusuk, tapi mereka disuruh berjalan di

94
Sulawesi Bersaksi
lubang yang sudah digali. Alat berat sudah menggali saluran setinggi orang, lalu
ketika mereka pura-pura disuruh pindah ke tempat lain dari kamar interogasi
melalui jalan lorong. Waktu di lorong itu, tentara-tentara yang ditugaskan, mereka
sudah berdiri di tanggul dengan pentungan besi. Jadi tidak ditembak, tidak ditusuk,
tapi dipukul dengan pentungan besi. Sampai pas ditimbun ada yang sempat masih
hidup.
Mereka ada yang Kristen, dan Islam. Dari Gorontalo banyak yang Islam. Waktu mau
ditimbun ada yang berteriak... Yesus..., dia orangnya tinggi besar, putih dan lebih
sering berbahasa Belanda. Itu benar karena memang dari 47 orang itu ada yang ciri-
cirinya seperti itu namamya Bert Waroka anggota dewan pemerintah Provinsi
sekaligus pimpinan PKI. Meninggalnya 47 orang tersebut dipertanggungjawabkan
oleh pihak militer, dengan kebohongan bahwa mereka tenggelam di laut.
Sekarang, andaikata betul mereka tenggelam di laut, mengapa sampai sekarang ini
belum pernah kami dengar ada perusahaan perkapalan swasta yang disewa oleh
Kodam yang menuntut ganti rugi. Atau belum pernah kami dengar sampai sekarang
ini, istri-istri dari prajurit-prajurit pengawal ini yang suaminya mati tenggelam
bersama kapal, yang menuntut ganti rugi. Tidak pernah ada tuntutan begitu dari
orang-orang bersangkutan. Jadi memang tidak benar itu kecelakaan di laut, yang
benar memang dibunuh.
Pada saat saya diperiksa di kantor Polisi Militer (POM), giliran saya punya kemaluan
yang disetrum. Tempatnya memang kantor polisi militer tapi yang memeriksa saya
Tim pemeriksa TEPERDA, Tim Pemeriksa Daerah. Yang memeriksa saya seorang
perwira namanya Mayor Bimo. Memang sangat kejam sekali orang ini.
Dia perintahkan saya begini... sebutkan 10 anggota ABRI yang saudara kenal.
Kalau cuma sekedar kenal banyak yang saya kenal. Puluhan bahkan ratusan
mungkin, tapi saya tidak mau bilang. Sebab, saya ini tahanan politik, kalau saya
sebutkan nama seseorang ini kaitan dengan politik. Nanti dikira dia juga teman saya.
Saya tidak mau gara-gara mulut saya lalu ada istri orang lain tersiksa, atau anak
orang lain tersiksa karena dia punya ayah berteman dengan seorang tahanan politik.
Waktu dipaksa saya cuma bilang begini, Contoh waktu saya masih bujangan di
Makassar... e... orang Manado kan suka makan ikan anjing toh... di Makassar banyak

95
Sulawesi Bersaksi
sekali anjing liar, lalu malam-malam kita mencuri anjing. Tapi masyarakat tahu,
malah mereka yang membantu. Mereka kasih tunjuk, disana yang banyak ...disana
yang banyak. Kita pakai jerat malam-malam. Tidak ada yang melarang, malah
masyarakat merestui kami mencuri anjing. Dari kegiatan ini lalu saya berteman
seorang Brimob, polisi tentara yang orang Minahasa. Saya bilang, kalau saya sebut
mereka, yah dikira mereka ini anggota sama-sama dengan kita. Padahal mereka
cuma kenalan dalam kegiatan mencuri anjing.atau umpamanya ada teman saya
teman ABRI, tinggal sama-sama di satu kompleks, kita punya tunangan sama-sama,
saya tidak mau sebut.
Dia tetap memaksa saya untuk menyebutkan, karena saya tidak mau sebutkan satu
orangpun kemudian saya disuruh buka baju seluruhnya. Waktu tinggal pakaian
dalam saya tidak mau buka. Kami bertiga dalam ruangan, dengan satu sersan yang
mendampingi mayor Bimo.
Kamu bandel yah,.. bentak Mayor Bimo
Saya jawab, Tidak... saya menghormati bapak. Saya ini orang timur...
Tidak perlu saya dihormati, buka. Akhirnya dengan sangat terpaksa saya buka.
Kemudian Si sersan disuruh ikatkan kabel di kemaluan saya... tapi dia diam saja
seperti tidak mendengar padahal ujung kabelnya sudah dipegang. Sekali lagi mayor
Bimo memerintahkan dia seperti membangkang tidak mau. Lalu... tiba-tiba alat
setrum itu diputar oleh si mayor, jadi si sersan yang kena setrum. Karena saya
kasihan sama tuh sersan, dia sudah kena setrum... saya bilang, silakan saja sersan...
Dia juga minta maaf, Saya minta maaf bapak, saya hanya diperintah...
Mayor Bimo cuma mendengarkan saja. Mungkin karena dia bukan orang sini yah,
dia itu orang Jawa, sedangkan si sersan orang Manado.
Waduh... bukan main... rasanya saya tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata
bagaimana tersiksanya itu. E... kalau saya tidak salah hitung, mungkin 4 kali saya
pingsan. Saya sudah dilantai, pingsan lagi berdiri... woo... hanya mengulang
pertanyaan yang sama. Waktu itu saya dapat jam siang, jadi bayangkan saya pulang
ke penjara dengan menahan rasa sakit setelah disetrum....
Hari berikutnya memang tidak disetrum lagi tapi waduh... memang disiksa, mayor
ini memang benar-benar... saya tidak tahu mau bilang apa... Salah satunya seperti

96
Sulawesi Bersaksi
ini, berdiri lalu ini (sambil menunjuk ibu jari kaki) diletakkan dibawah kaki kursi
lalu dia dudukin.
Saya disuruh kembali lagi besok, tapi sudah diancam dapat lagi penyiksaan yang
lebih hebat dari hari sebelumnya. Kalau kamu masih bandel, tetap tidak mau
menjawab apa yang saya tanyakan. Kamu akan dapat yang lebih dari hari ini.
begitu katanya.
Meskipun sebelum dipenjara saya jarang pergi ke gereja, tapi bukan berarti saya
tidak percaya Tuhan. Dan juga selama di penjara saya juga tidak pernah mengikuti
ibadah yang diadakan teman-teman. Dalam keyakinan saya sebagai orang kristen,
jika saya berdusta maka wajar saya dipukul. Tapi ini saya jujur dan kenapa saya
dipukul?
Malamnya saya belum tidur, memikirkan siksaan apa lagi yang akan saya terima.
Pintu kamar terbuka, didepan ada lapangan dan ditengahnya ada tiang bendera.
Lalu saya keluar, saya duduk di bawah tiang bendera. Bukan maksud untuk
bersemedi, tapi mencoba merenung.
Entah kenapa akhirnya saya datang di keimanan, duduk sendirian di tengah
lapangan. Suasana sunyi, tidak ada lagi suara orang-orang beraktivitas. Lalu saya
berkata sendiri, Tuhan, ... kalau betul kamu ada dan kamu benar, Tuhan... Besok
saya mau dipanggil ke ruang periksa, saya minta saya tidak disiksa. Jadi dalam
lamunan ini, sambil ngoceh saya bilang Tuhan... kalau saya disiksa karena saya
berdusta saya terima, tapi ini saya bicara betul kenapa saya disiksa...?. saya ulang-
ulang terus, kalau betul kamu ada Tuhan, saya minta ...besok saya tidak mau
dipukul. Saya ulang lagi...kalau betul kamu Tuhan... saya minta besok saya tidak
mau dipukul. Sampai saya lelah dan masuk ke sel untuk beristirahat.
Besoknya pagi-pagi sudah terdengar dari pengeras suara, Josef Kalengkongan,
siap. Biasanya siap dengan pakaiaan dan lain-lain. Setiap mau pergi siap dua buah
selop (sandal jepit karet), satu selop baru tidak dipakai satu selop yang dipakai. Satu
selop baru itu kita pakai kalau kita mau disiksa. Untuk menahan sakit kita gigit itu
selop yang kita ambil dari saku supaya bisa tahan. Dan ini pemeriksa bisik-bisik ke
kita...sudah bawa selopnya?. Memang seperti alat kerja, setiap dapat jatah panggil

97
Sulawesi Bersaksi
yah pasti dibawa. Setelah dari penyiksaan kita simpan,... kalau cuma air liur atau apa
lalu kita bersihkan, simpan bungkus dengan saputangan, atau handuk...
Sesampainya di tempat pemeriksaan, ketemu pemeriksa yang kemarin... dia
langsung bertanya, masih bertahan pada jawaban kemarin?
Ya, karena itu yang benar jawab saya.
Lalu dia ambil kertas, dia kasih sama saya...ini kertas kamu tulis sendiri
jawabanmu, jam 2 saya kembali kamu sudah selesai menulis... Jadi apa jawaban
saya, saya tulis sendiri lalu dia bilang jam 2 dia kembali. Waktu itu pemeriksaan
mulai jam 9. Waktu dia keluar lalu datang ibu-ibu. Ibu kantin di kantor CPM itu
membawa kue kukis 6 biji, satu kukis 2 biji jadi 3 jenis kukis 6 biji dengan kopi susu.
Saya bilang,ibu.... Dia tahu saya orang tahanan, mereka juga merasa tersiksa kalau
mendengar teriakan-teriakan dari ruang pemeriksaan. Ibu, saya tidak bawa uang.
Terus, ibu bilang begini, itu bapak mayor yang suruh.... Bapak penyiksa itu
menyuruh ibu kantin bawakan kue dengan kopi susu. Dia yang bayar. Pengalaman
ini saya kaitkan dengan keimanan saya tadi malam.
Lalu saya makan habis, jam 2 dia kembali. sudah selesai? saya bilang sudah, sudah
saya tulis berlembar-lembar dan dia baca.
Salah satu pertanyaannya menyebutkan 10 orang anggota polisi atau tentara yang
saya kenal. Jawaban saya tetap tidak mau menyebutkan nama. Saya cuma
menjelaskan bahwa mengapa saya tidak mau sebut nama orang-orang yang saya
kenal itu. Saya takut karena mulut saya ada istri orang, anak orang lain jadi tersiksa
seperti anak saya. Sebab hubungan saya dengan dia bukan hubungan politik,
hubungan saya karena kegiatan mencuri anjing. Kegiatan saya dengan oknum polisi
itu karena ketemu dalam kami punya pacar sama-sama sekolah perawat.
Pertanyaan lainnya seperti kegiatan sebagai wartawan perang di Sulawesi Selatan,
saya tulis semua.
Lalu saya disuruh pulang begitu saja. Sejak saat itu, dimana saya lihat ada kelompok
ibadah siang atau malam saya ikut. Saya hanya mengucap terimakasih... ternyata
engkau Tuhan betul ada, terimakasih Tuhan, begitu saya punya doa. Dan mulai itu
saya...saya memang selama ini pernah atheis tapi yah... begitulah hanya jarang ke

98
Sulawesi Bersaksi
gereja... mulai waktu itu saya... waduh... mengucapkan terimakasih. Kali berikut juga
masih ada penyiksaan tapi tidak seperti yang saya alami sebelumnya.
Di penjara kami dapat jatah makan dua kali sehari. Sebelum makan, itu nasi kita
taruh air lalu kita goyang-goyang dan korek-korek dengan jari, maksudnya biar
pasir itu mengendap didasar piring. Sebab memang tidak dibersihkan lagi berasnya
dan ini bukan lalai memang sengaja. Itu makanya banyak tahanan yang dioperasi.
Saya juga dioperasi usus buntu tahun 73.
Jadi kita pisahkan dulu batu-batu pasir dengan nasi, lalu lauk kangkung dengan
talinya. Tali pengikat kangkung sekalian direbus. Karena tidak cukup mendapat
jatah makan, biasanya teman-teman mengumpulkan sisa-sisa yang sudah dibuang
seperti kulit-kulit ketimun jepang. Mereka ambil, dicuci kemudian direbus dengan
kulitnya sekaligus.
Diantara kami ada yang dapat kunjungan keluarga, tetapi banyak juga yang tidak.
Istri saya masih rajin datang membesuk. Tidak ada jadwal tetap untuk bisa bertemu,
terkadang bisa satu minggu sekali atau bahkan bisa satu bulan sekali. Tetapi
mengirim makanan boleh tiap hari.
Saya ditahan sejak 18 Oktober 1965 di RTP sampai akhir Desember 1965. Dari tahun
1966 sampai 1980 di penjara Manado. Sekitar tahun 1975, penyiksaaan sudah mulai
berkurang. Sejak itu banyak pekerjaan tangan yang kami buat. Ada yang bikin
kompor, alat-alat musik, pertukangan kalau yang di dalam penjara. Tapi kalau yang
mau bekerja di luar yah pekerjaannya lumayan berat, kelebihannya kita bisa pulang
ke rumah meskipun sebentar. Saya dapat pekerjaan memikul batang kelapa.
Potongan-potongan batang kelapa dibawa ke pabrik tela. Pabrik telanya kepunyaan
militer. Kalau sekarang ini batangan kelapa yang potongan satu meter dibawa dua
orang. Tapi dulu dipikul oleh satu orang, angkat ke mobil. Tapi teman-teman lain
ada yang dipekerjakan umpama tambang pasir, tambang batu. Yah di galian pasir
begitu...
Ada teman tahanan bekas polisi dipekerjakan di galian pasir di Bitung lalu kena
longsoran. Sampai sekarang orangnya lumpuh, karena tertimbun. Orangnya sampai
sekarang masih hidup, anaknya baru saja menyelesaikan kuliahnya di fakultas
hukum.

99
Sulawesi Bersaksi
Tahun 1977, setelah 12 tahun saya ditahan baru ada proses peradilan. Sebenarnya ini
juga untuk melegalkan penahanan yang 12 tahun itu.
Saya diadili di Pengadilan Manado, didampingi pengacara tapi tidak ada
pengaruhnya dengan masa tahanan saya. Ya waktu itu saya sudah menghubungkan
dengan keimanan yang mulai saya yakini. Waktu disidang majelis bilang karena
saudara diancam dengan hukuman mati, dan dikenakan pasal Perpres 11/63
subversi maka saudara harus didampingi oleh pengacara.
Yah... tuduhannya adalah karena saya seorang guru CIVIC yang dianggap merusak
mental generasi muda. Mata pelajaran Civic itu yang kemudian hari dirubah
menjadi Pendidikan Kewarganegaraan atau Pendidikan moral Pancasila. Dulu mata
pelajaran Civic adalah Manifesto poltiknya (Manipol) bung Karno yang disusun
menjadi mata pelajaran. Tapi mata pelajaran civic adalah kurikulum resmi
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Saya bilang,Saya tidak ada uang
Karena saudara tidak mampu untuk membayar pengacara maka sesuai dengan
undang-undang negara akan menyediakan pengacara yang ditunjuk Bapak Julian
SH.
Lalu saya bicara lagi, saya bilang... saya merasa saya tidak perlu pembela, karena
saya punya pengacara yang lebih hebat dari pembela siapapun. Saya sudah punya
pembela.
Tadi kamu bilang tidak ada, karena kamu tahanan politik kamu sebutkan siapa
pembela yang kamu rencanakan, kamu tidak boleh berhubungan dengan orang
luar?
Pembela yang saya sudah pilih melebihi kehebatan pengacara yang ada.
Iya siapa?
Yesus. Jadi ini bukan mengada-ada tapi karena saya punya iman. Karena saya
punya keyakinan, biar majelis yang mulia mau menghukum berat pada saya tapi
kalau Tuhan menginginkan saya harus diringankan tapi sebaliknya walaupun
majelis yang terhormat mau menghukum ringan pada saya tapi kalau Tuhan
menginginkan saya harus dihukum berat itu yang terjadi. Begitu saya punya
keyakinan.

100
Sulawesi Bersaksi
Tetap didampingi, karena hakim tidak terima. Pengadilannya sama seperti
pengadilan biasa, ada saksi-saksi tapi tidak ada pengaruhnya. Sebenarnya saya
sudah tahu berapa hukuman yang akan saya terima. Ada kenalan saya bilang,
Bapak punya hukuman 15 tahun, ini cuma untuk melegalkan itu penahanan.
Saya bilang tadi saya percaya betul Tuhan mau tolong. Saya bilang sama hakim,
hakimnya orang Kristen, ada satu Yoselema, Islam. Waktu saya dituntut 15 tahun
tidak potong tahanan, berarti saya baru bebas tahun 1992 karena putusan tahun
1977. Saya langsung protes, harusnya saya divonis 15 tahun, tapi potong tahanan
yang sudah saya jalani selama 12 tahun dari tahun 1965 sampai 1977. Sisanya tinggal
3 tahun berarti saya bisa bebas tahun 1980.
Waktu mau makan. Makan dengan hakim dengan jaksa di kantin disediakan oleh
negara. Saya punya saksi, kapten polisi, kapten koramil dan ada satu komandan
arsip, tiga kita punya saksi. Waktu duduk makan saya bilang, ibu, 3 bungkus rokok
dengan tambah 3 nasi. Tapi saksi sudah pulang, setelah selesai sidang dia langsung
pulang. Tapi dorang (mereka) tetap terima ini pembagian toh.
Lalu ibu menyahut yang mengurus pembagian makanan,oh so nda ada tu orang.
(oh sudah tidak ada lagi itu orangnya).
kalau so nyanda kenapa mesti bayar ini. Sebab kan dibebankan pada terdakwa
toh. Saya bilang,ibu saya so bayar. Kita makan, kasihkan dorang pe rokok 3, dorang
pe nasi 3. (kalau sudah tidak ada kenapa harus bayar ini. Sebab kan dibebankan pada
terdakwa. Saya bilang, ibu saya sudah bayar. Yang saya makan, berikan 3 rokok mereka, 3
nasi mereka)
Didengar oleh hakim-hakim dan jaksa yang sementara makan toh. Waktu itu ada
minuman dang, minuman. Ini negara yang tanggung toh, kita minta semua. Lalu tuh
hakim ketua, orang kristen ini dia punya nama Hari. Dia bilang sama saya, katanya
kamu yakin Tuhan mau tolong, baru tuntutan jaksa begitu kamu sudah
menyerah.... maksudnya sudah hilang iman. Kalau dia vonis 15 tahun tidak potong
tahanan, 15 tahun lagi saya menjalani. Kong (terus) dia bilang sama saya, dia bisik,
saya hakim ketua, saya salah kalau saya mau bilang itu rahasia, pokoknya kamu
berdoa saja. Jadi tuntutan 15 tahun potong tahanan. Waktu dia vonis 15 tahun saya
di tanya, apakah saya mau terima atau tolak.

101
Sulawesi Bersaksi
Saya tanya, Apakah 15 ini potong masa penahanan?
Dia bilang, potong, diperhitungkan semua.
Saya terus maju, saya terima. Tapi tetap dikategorikan golongan A.
Berarti 3 tahun lagi... jadi sejak persidangan itu, tinggal menghitung harilah. Karena
sudah tahu kapan bebas. Tapi itu juga seringkali dipanggil-panggil juga ke Korem
atau di Komando Operasi Tumpas atau Satgas intel pusat atau Teperda, diperiksa
tentang orang lain. Kadang masih ditempeleng atau ditinju.
Bulan Agustus 1979 terjadi gempa bumi di Manado, membuat tembok-tembok
penjara retak-retak. Khawatir akan roboh maka kami dipindahkan ke penjara baru
yang belum selesai, tapi ukurannya lebih besar. Di sini satu ruangan hanya diisi 4
orang. Tanggal 17 Agustus 1980 menjadi hari yang bersejarah buat saya, karena hari
itu saya dinyatakan bebas. Ternyata bebas bagi kami para tapol adalah kebebasan
semu, saya masih harus wajib lapor minimal satu kali dalam sebulan ke kantor
KORAMIL Manado Selatan.
Dua hari kemudian saya bertemu lagi dengan dia, kali ini kami memang sengaja
bertemu untuk mendiskusikan ini. Saya langsung bertanya sama dia,menurutmu
dari tulisan ini sudah cukup membuat orang memahami apa yang sudah saya dan
teman-teman alami...?.

Sejenak dia berpikir... lalu dia bilang Mungkin ada yang kurang Om....
Apa...? jawab saya
Tentang Tante, Om... bagaimana dia bisa bertahan menghadapi perlakuan lingkungan
sekitar sementara dia harus menafkahi dua anak...?
Kamu benar. Memang sulit... sulit sekali... pernah ini rumah waktu masih di penjara
ditanya mau jual itu rumah karena so sulit. Mungkin ada orang sudah bikin
konsepnya, di penjara saya bilang tidak boleh. Bukan saya menentang. Cuma saya
bilang sama dia, kalau kamu di rumah itu (ini sekarang), biar kamu tinggal makan
ketela, ubi dengan lombok kamu tidak malu tapi kalau jual rumah ini lalu kamu
menyewa. Lalu kamu malu mau makan ketela atau ubi. Jadi tidak boleh... tidak
boleh. Saya berkeras. Ini untuk kamu tapi tidak boleh dijual. Dijual dulu biar mahal
kan habis. Ini juga didorong oleh orang-orang yang kelihatannya mau menolong tapi
mau menghancurkan.

102
Sulawesi Bersaksi
Yah... seperti orang kusta, tapi saya sangat bangga dan beruntung punya istri dia.
Sejak dia dipecat menjadi guru praktis tidak ada gaji yang diterima. Waktu itu dia
mencoba berjualan kecil-kecilan tapi tidak mencukupi karena tidak ada yang
membeli.
Tante sampai sekarang masih semangat, bayangkan sudah 73 tahun bulan lalu
(Desember 2012) diwisuda di UNIMA Fakultas Ilmu Pendidikan jurusan luar
sekolah. Memang dulu sebelum kita kawin dia sudah tingkat dua FKIP Universitas
Hasanuddin. Tahun 2008 dia mulai kuliah lagi, dengan diwajibkan 6 semester saja.
Karena ternyata waktu kuliah dulu yang sampai tingkat 2 masih diperhitungkan
sehigga seolah-olah melanjutkan saja.
Tahun 2009 ada 14 guru kursus di seluruh Indonesia yang dapat penghargaan
Widya Karya Bhakti Khusus dari menteri. Lalu dari 6 provinsi di Sulawesi (Sulsel,
Sultra, Sulteng, Sulbar, Sulut dan Gorontalo). Cuma Tante yang dapat.
Ya pokoknya saya sangat berterima kasih kepada istri saya yang tetap tabah
menghadapi cobaan waktu itu dan tetap setia sampai saat ini. Mungkin saya tidak
bisa menggambarkan bagaimana tersiksanya dia dan anak-anak ketika itu tapi saya
merasakan. Karena perlakuan diskriminasi ini tidak hanya di lingkungan tempat
tinggal tapi juga ibadah didiskriminasi. Tapi kami yakin kalau masalah ibadah tidak
ada hubungannya dengan manusia, tapi hanya kita dengan Tuhan.Tapi setelah lama
kelamaan yah akhirnya sudah banyak juga orang yang berani untuk menyatakan
sikap yang benar.
Tapi akan lebih baik lagi kamu tanyakan langsung ke Tante, bagaimana situasi waktu itu
ketika saya dalam penjara. Karena itu juga saya diceritakan tante waktu beliau membesuk
saya dalam penjara. Usul saya.
Pasti itu Om, saya akan bertanya langsung ke tante nanti... agar ceritanya menjadi lebih
nyata, karena langsung dari sumbernya katanya.
Kemudian dia tanyakan apa aktivitas saya sekarang.
Saya jawab kalau aktivitas saya sejak reformasi, fulltime menyatukan diri dengan
organisasi-organisasi yang memperjuangkan pelurusan sejarah, kepedulian terhadap
korban pelanggaran HAM. Selain di organisasi peduli hak asasi, saya ditunjuk oleh
ibu Siti Fadilla sebagai ketua Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Sulawesi Utara tahun

103
Sulawesi Bersaksi
2010. Masih ikut-ikut aksi demonstrasi, seperti waktu demo menolak undang-
undang sistem jaminan sosial nasional, menolak undang-undang no.4 th 2004.
Menuntut pada presiden supaya dibikinkan peraturan tentang jamkesmas dan
Jamkesda.
Sejak tahun 1999 saya mulai berorganisasi, saya mendirikan yayasan Humaniora di
Manado juga mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat Merah Putih. Desember
1999 saya masuk dalam bursa bakal calon Gubernur Propinsi Sulawesi Utara. Tahun
2000 menjadi pemimpin redaksi Tabloid Populer Merah Putih. Tahun 2001 sebagai
Responden/Kontributor Ensiklopedia Tanah Air Indonesia (ENSTAIN) Jakarta. Mei
2005 mendeklarasikan Law Centre Tim investigasi Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi LSM Merah Putih di Manado. Ketua Yayasan Siloam
Minahasa Selatan. Sebagai seorang Evangelis, dipercayakan menjadi ketua wilayah
IV (meliputi Sulawesi dan Kalimantan) Persekutuan Pelayanan Penjara Prison
Fellowship Indonesia (Internasional) sejak tahun 1999. Pada Desember 2006
menghadiri pertemuan Asia Caucus Prison Fellowship International di Singapura.
Praktis tidak ada kegiatan untuk mencari nafkah keluarga, saya minta izin dengan
istri. Beliau mengizinkan dan bisa mengerti keinginan saya untuk bergabung dengan
teman-teman senasib. Puji syukur pada Tuhan kami masih punya usaha sebagai
sumber nafkah keluarga. Kursus dan salon masih jalan, dikelola istri dan anak. Jadi
bersyukur dan terima kasih kepada keluarga yang mendukung perjuangan saya
hingga saat ini.
Di lingkungan, dalam hal saling hubungan dengan masyarakat, pada umumnya
mereka hormat dan segan, bukan berarti tidak ada masalah. Tapi buat saya buat saya
itu sudah cukup menjalin hubungan baik. Saya tidak punya jabatan formal tapi
ternyata saya dituakan di sini. Begitu juga di daerah kelahiran saya di Motoling,
Amurang Minahasa Selatan. Contohnya saja lurah-lurah itu kalau ada masalah,
datang kesini minta pendapat saya. Begitu juga dengan tokoh-tokoh gereja.
Sekarang ini, baik pemerintah di Minahasa Selatan, gereja, maupun masyarakat
umum tidak lagi melihat saya seperti dulu. Andaipun saya mau ikut pemilihan
kepala desa di beberapa desa, umpamanya desa Kapitu Amurang, desa Towasen

104
Sulawesi Bersaksi
Amurang, desa Pondos, desa Karimbo Motoling, saya bisa memenangkan kalau saya
mau.
Saat ini bukan itu yang menjadi tujuan hidup saya. Perjuangan saya untuk mencari
dan mengungkap kebenaran sejarah hidup saya belum sampai pada titik yang
diharapkan. Bukan untuk balas dendam tapi supaya terungkap itu kebenaran. Kan
selama ini cerita tentang G30S yang tersebar baru satu versi, yaitu versi pemerintah.
Mari lapang dada, hadapkan muka juga kepada cerita dengan versi-versi lain.
Perasaan Om menceritakan masa lalu itu seperti apa Om... ?
Yah... saya menceritakan ini, saya ingin ada orang yang mau dengar. Artinya bahwa keadaan
yang kami alami waktu lalu itu memang betul-betul tidak sesuai dengan apa yang menjadi
fakta bangsa yang Pancasilais. Benar-benar tidak sesuai. Luar biasa... luar biasa... diluar
kemampuan orang menerima itu. Jadi saya menceritakan ini juga supaya orang bisa
memahami bahwa penderitaan yang kami alami ini memang luar biasa.
Kalau soal penderitaan bathin semua bisa tahu karena kami memang terisolir tapi
kalau penderitaan fisik tidak semua orang tahu. Cuma yang mengalami. Woo...
hebat sekali. Jadi saya bercerita tidak dengan latar belakang untuk balas dendam.
Kalau umpamanya tidak atas dasar iman saya disiksa luar biasa. Saya bisa berpikir
begini, saya ambil pisau saya tusuk dia. Kalau saya mau ditangkap saya berani
jawab kenapa dulu saya disiksa tidak ada pemerintah yang mau bela. Saya bisa
berbuat begitu, tapi Tuhan tidak suka dengan balas dendam. Kedua saya punya
anak punya cucu, malu mereka. Dan juga saya merasa orang-orang yang pernah
berbuat tidak baik pada kami ikut-ikutan atau dia juga hanya diperintah. Dan saya
tidak tahu agama lain, kalau keimanan saya pembalasan diserahkan pada Tuhan.
Sejujurnya saya kecewa dan marah dengan sikap pemerintah Orde Baru. Bagaimana
mereka mengambil kemerdekaan saya selama 14 tahun 9 bulan, dengan kesalahan
yang mereka tuduhkan secara sepihak tanpa pembelaan. Luka fisik mungkin bisa
disembuhkan tapi waktu yang terenggut tidak bisa dikembalikan. Bayangkan saya
tidak bisa berkumpul dengan istri dan anak layaknya sebuah keluarga. Saya tidak
bisa memeluk anak saya ketika mereka menangis saat terjatuh belajar naik sepeda.
Mencium mereka ketika mereka berangkat tidur, atau mengantar mereka pergi

105
Sulawesi Bersaksi
sekolah. Bukankah itu salah satu fase penting untuk setiap manusia dalam
perjalanan hidupnya.
Terlebih menyakitkan lagi saya tidak bisa membela ketika anak dan istri saya
diperlakukan seolah-olah penyakit menular yang harus dijauhi. Mendengar cerita
mereka pulang sekolah menangis karena dibilang anak PKI, anak pembunuh.
Stigma buruk itu tidak habis di saya tapi itu akan melekat terus hingga keturunan
berapapun kalau saja sejarah ini tidak pernah diluruskan.
Saat ini rasa kecewa dan marah itu berangsur-angsur hilang setelah saya menerima
kemurahan Tuhan, saya tidak ada dendam. Sebenarnya di penjara juga saya sudah
ada perasaan saya tidak boleh dendam pada siapa-siapa, tapi bukan berarti saya
tidak berhak untuk menuntut keadilan... bukan... beda itu. Justru saya merasa atas
dasar iman inilah maka harus dibuktikan siapa yang bersalah.
Saya pernah tulis surat sama Mbak Tutut (anak presiden Suharto), saya bilang
begini: Kamu punya ayah pahlawan pembangunan. Selama ini banyak buku-buku
menuliskan bahwa kamu punya ayah pembunuh berdarah dingin, kamu punya
ayah rakus. Sekarang biarpun masa reformasi, tapi kalau itu memang fitnah atau
mencemarkan nama baik ayahmu, silakan laporkan. Maksudnya kalau dia merasa
tidak benar tuduhan itu, laporkan dan bawa ke pengadilan. Kan nanti bisa jelas siapa
sebenarnya yang difitnah dan memfitnah.
Harapan saya pemerintah yang sekarang ini mau jujur, punya keberanian untuk
mengungkap kebenaran masa lalu. Sebab ini bukan hanya berguna bagi kami para
korban tapi juga bagi generasi berikut. Jangan disuguhi dengan sebuah peristiwa
sejarah yang direkayasa, dibikin bangsa ini jadi munafik seterusnya.
Artinya seperti ini andaikata betul G30S didalangi oleh PKI di Jakarta tapi saya di
Manado tidak tahu apa-apa. Sampai ada istilah Jakarta yang minum bir Manado
yang mabuk. Tapikan ternyata bahwa yang melakukan pembunuhan Cakrabirawa
Pasukan Pengawal Presiden. Secara resmi sampai sekarang sejarah tentang G30S
masih satu versi meskipun sudah ada buku versi lain tapi banyak yang belum tahu.
Nah maksud dari meluruskan sejarah, bahwa saya tidak salah, saya tidak berbuat
apa-apa. Saya seorang guru yang mengajar mata pelajaran kurikulum resmi

106
Sulawesi Bersaksi
kementerian pendidikan lalu dituduh merusak mental generasi muda. Dimana
logikanya saya bersalah, sementara mata pelajaran itu sudah lama diajarkan.
Cerita ini buat saya tidak lagi menjadi kesedihan, cuma saya mesti menceritakan apa
adanya. Belajar jujur menceritakan apa adanya, begitu. Sebab kalau kita sedih tidak
menyelesaikan masalah. Jadi dengan menceritakan ini lebih mau mendorong, lebih
mau mengapresiasi kita untuk bergabung dengan teman-teman untuk
memperjuangkan kebenaran dan keadilan.
Memang tidak semua teman-teman korban mau bercerita, yah mungkin karena
trauma yang berkepanjangan. Sebab kalau menurut saya punya pengalaman, orang
takut itu jangan dipaksa jadi berani, tidak boleh. Tapi masih banyak yang mau
bercerita dan mau memperjuangkan hak-haknya. ***
Yah.. saya juga mengucapkan terimakasih kepada generasi muda yang dengan ketulusan hati
mau turut memperjuangkan penegakan kebenaran di tanah air tercinta ini. Generasi muda
yang peduli untuk meluruskan sejarah. Termasuk anda, yang sudah mau mendengarkan
cerita saya.
Sama-sama Om, buat saya ini satu kehormatan bisa mendengar langsung dari tokoh sebuah
peristiwa yang selama ini masih diselimuti kabut gelap. Tidak semua generasi saya ataupun
generasi dibawah saya punya kesempatan ini. Saya doa kan Om sehat selalu dan tetap
semangat.
Manado sore ini sangat cerah, secerah harapan saya akan akhir perjuangan kami... Semoga
Tuhan mendengar dan membukakan jalannya, Amiin.
Duduk di sebuah warung kopi dengan pemandangan pantai, sungguh saat yang indah. Kami
pun melanjutkan obrolan dengan topik yang berbeda.

Manado, Januari 2013

Cerita Tante:
Nama saya Antje H. Kalengkongan-Bolung, S.Pd. Lahir 16 April 1939 di Kayu Besi,
Tondano Minahasa Sulawesi Utara. Menikah dengan Jozef Beinhard Kalengkongan
tahun 1962. Tahun 2012 baru saja merayakan pernikahan emas.

107
Sulawesi Bersaksi
Tahun 1965 ketika Om ditangkap, kami sudah punya anak dua. Situasi pada saat itu
memang sudah sangat kacau, Om sudah tidak tidur di rumah sekitar satu minggu
lebih sesudah peristiwa pecah. Karena tanggal 7 Oktober sudah ada banyak
pembakaran di pusat kota Manado.
Saya dan anak-anak mencoba tetap bertahan di rumah sambil menunggu kabar dari
Om. Tapi tidak juga ada kabar dan saya juga semakin cemas, tapi juga saya khawatir
dengan anak-anak. Akhirnya saya memutuskan untuk pulang ke kampung orangtua
di Desa Kayu Besi Tondano, Minahasa. Ketika mau berangkat saya dapat kabar Om
sudah ditangkap di daerah Pineleng, tapi tidak tahu dibawa kemana. Di dalam
angkutan Bus umum, saya mencoba menguatkan diri dan berdoa agar supaya Tuhan
selalu melindungi Om.
Orangtua sebenarnya tinggal di Manado, hanya saudara yang ada. Dan memang di
kampung ada rumah orangtua kosong. Selama di kampung juga sebenarnya suasana
sudah mencekam, saya melihat langsung orang yang disiksa dan dibunuh di sekitar
danau. Beberapa hari di kampung saya mendapat kabar kalau Om ada di Korem,
lalu saya memutuskan untuk kembali ke Manado. Sampai di rumah, semua sudah
berantakan, buku-buku yang ada di dalam lemari sudah dikeluarkan semua. Begitu
juga berkas-berkas pribadi dan foto-foto keluarga.

Memang rumah kami tidak sampai dihancurkan. Setelah membersihkan rumah, saya
bersiap untuk datang ke Korem. Dengan menumpang becak saya pergi ke Korem,
membawa anak-anak. Sampai di sana memang ada nama Om, ketika saya bertanya
kepada petugas jaga saat itu. Tapi hari itu saya tidak boleh bertemu. Saya pasrah dan
bertanya, apakah saya boleh mengantarkan makanan untuk suami saya? Mereka
bilang boleh tapi hanya makanannya saja, orangnya masih belum boleh bertemu.
Saya tidak tahu apa alasannya, tapi saya hanya menduga saja mungkin karena habis
disiksa badannya bengkak-bengkak. Jangan sampai orang luar tahu apa yang
mereka alami di dalam, maka siapapun tidak boleh bertemu. Sejak saat itu setiap
hari saya mengantarkan makanan ke Korem, meskipun tidak pernah bertemu, tapi
saya sedikit lega, karena ternyata suami saya masih hidup. Mengingat apa yang saya
lihat di Tondano, nyawa manusia seakan tidak berharga.

108
Sulawesi Bersaksi
Sekitar bulan Desember 1965, tepatnya tanggal berapa saya lupa, tapi yang pasti
pada hari Natal kami sudah bisa bertemu. Bulan Januari Om di pindahkan ke
penjara besar di gedung juang. Di sana juga saya datang besuk tiap hari, mungkin
karena saya datang setiap hari ada beberapa dari penjaga yang kenal saya. Dan itu
juga yang menolong Om mungkin, sehingga mereka tidak berani membawa atau
dihilangkan... mungkin yah, saya juga tidak tahu alasannya kenapa Om tidak
dihilangkan seperti teman-temannya.

Oh ya waktu baru datang dari kampung, sama teman disuruh datang ke pos. Saya
jawab, kenapa saya harus datang ke pos?
Untuk lihat apakah nama kamu ada dalam daftar. jawabnya.
Oh saya berani langsung datang ke sana, dengan polosnya saya bertanya kepada
penjaga-penjaga yang bertugas. Ternyata ada beberapa dari mereka bekas murid
saya di SMP Kristen Ranotana tempat saya mengajar dulu. Mereka bilang, Tidak
ada nama di sini kenapa dating ?
Sejak saat Om dipenjarakan praktis untuk memenuhi kebutuhan keluarga menjadi
tanggungjawab saya. Terkadang orangtua juga membantu dari hasil kebun
cengkehnya. Tapi untuk kebutuhan sehari-hari dan juga untuk menyiapkan
makanan yang diantar untuk Om setiap hari saya harus mencari sendiri, meskipun
itu hanya sayur dan nasi.
Saya mulai putar otak, apa yang bisa saya kerjakan untuk bisa menghasilkan uang.
Karena sejak dinyatakan Om terlibat, saya juga langsung diberhentikan menjadi
guru dan tidak bisa mendapat pensiun. Awal-awal saya memulai usaha dengan
berjualan, apa saja yang bisa saya jual. Saya pergi membeli sayuran ke petani sayur,
lalu saya jual di depan rumah. Kue-kue saya beli di pasar lalu saya jual lagi, sama
minuman khas Minahasa Saguer (air nira yang baru diambil) yang diantar
langsung oleh petani.
Saya coba buka usaha jual bunga, padahal saya tidak punya keahlian membuat
bunga. Caranya saya beli satu tangkai bunga lalu saya buka dan saya pelajari cara
membuatnya. Bahannya ada yang dari kertas, plastik atau kain-kain perca. Saya

109
Sulawesi Bersaksi
suruh Yatty jual berkeliling, waktu itu dia masih SD. Terpaksa saya suruh dia, untuk
bisa tetap bersekolah.
Setelah itu saya membuka usaha Krans (karangan bunga untuk orang meninggal).
Saya beli bunga-bunga plastik lalu saya rangkai-rangkai, dengan kreasi saya sendiri.
Cukup lama saya menekuni usaha bunga ini. ingga pada satu waktu presiden
Soeharto membeli karangan bunga saya. Ya memang bukan presiden langsung, tapi
rangkaian bunganya saya yang buat. Mungkin waktu ada rukun Ratulangi dari
Jakarta meninggal dikubur di Manado, dia memesan karangan bunga di sini. Sejak
itulah usaha saya mulai dikenal orang.
Selain itu saya juga terima jahitan dan tukang kriting rambut, karena waktu itu
namanya belum salon. Kalau di rumah hanya buka begitu saja, tidak ada papan
nama seperti sekarang. Langganannya hanya orang yang sudah kenal. Lalu kalau
saya pulang ke kampung saya bawa alat-alat salon, kemudian saya keliling ke
rumah-rumah. Berkat kesabaran, lama-lama ada yang datang untuk keriting ataupun
menjahit. Karena hasilnya bagus dan memuaskan akhirnya mulai ramai. Lalu sudah
ada yang mulai mau belajar dan bersedia membayar tapi belum resmi jadi tempat
kursus. Tahun 1969 baru diresmikan menjadi tempat kursus tapi belum ada izin dari
departemen, baru tahun 1977 dapat izinnya dengan nama Lembaga Kursus dan
Pelatihan YATTY. Tahun 1980an sampai 1990an, sangat maju sekali. Kita punya
murid sampai 300 orang satu kali belajar, terbaik diseluruh Slawesi Utara.
Pesertanya SMA dan Sarjana yang mau melamar kerja.
Dulu ada kecantikan rambut, kecantikan kulit, rias pengantin, menjahit pakain
wanita, komputer, akutansi, bahasa Inggris, Jerman, Belanda, Jepang, seni griya.
Muridnya sejak berdiri kurang lebih 8000 orang. Cuma yang aktif sekarang tinggal
kecantikan rambut, kecantikan kulit, menjahit.
Begitulah proses bagaimana saya membangun perekonomian keluarga tapi tentu
saja dalam perjalanan banyak yang saya alami, terutama intimidasi secara mental.
Begitu juga dengan anak-anak saya yang merasakan perlakuan-perlakuan yang tidak
menyenangkan.
Sebenarnya perlakuan-perlakuan yang sifatnya penekanan mulai kami rasakan sejak
Om ditahan, misalnya saja ketika saya mencoba untuk merenovasi rumah untuk

110
Sulawesi Bersaksi
membuka usaha. Tidak mendapat izin dari pemerintah desa. Mau pasang pagar saja
tidak boleh, ya memang tujuannya supaya kelihatan kumuh.
Belum lagi tekanan-tekanan yang diterima oleh anak-anak saya. Anak saya yang
bungsu, sering mendengar kakak-kakaknya dibilang anak PKI buat apa sekolah
tidak ada gunanya. Dia menjadi trauma hingga baru berani masuk sekolah ketika
sudah berumur 8 tahun.
Memang anak-anak tidak pernah menceritakan perasaannya, mereka berusaha tegar.
Tapi saya tahu apa yang mereka rasakan. Hingga saya berpikir kalau seperti ini terus
akan tidak baik untuk perkembangan mental anak-anak, maka saya memutuskan
untuk memasukkan mereka sekolah karate, Inkai. Selain untuk pertahanan diri,
secara fisik juga baik dan tentu saja yang utama adalah mental.
Mereka rajin saya bawa ke gereja untuk mengingatkan mereka bahwa semua cobaan
yang kita alami adalah kehendak Tuhan dan Tuhan tidak akan meninggalkan
umatnya yang selalu mengingat dan memohon kekuatan kepada Nya.
Buat saya pribadi penguatan secara mental saya dapatkan dari gereja, saya selalu
berdoa untuk keselamatan keluarga, anak dan suami yang sedang mengalami
cobaan berat di dalam penjara. Di gereja juga sebenarnya ada juga tekanan dari
mereka yang tidak suka, tapi saya tidak ambil pusing itu. malah saya masih bisa
memimpin koor gereja, karena memang cuma saya yang bisa.
Kebetulan saya ada sedikit kelebihan di bidang bernyanyi, jadi meskipun mereka
kurang senang tapi mau tidak mau mereka tetap pakai saya. Tapi kalau dari
pimpinan-pimpinan gereja mereka tidak pernah mempermasalahkan. Hanya saja
memang bagaimanapun pintar dan aktifnya kita, tetap tidak bisa dipilih menjadi
pengurus gereja atau majelis. Karena memang sudah ada peraturannya dari
pemerintah, mereka juga takut. Dengan kekuatan Tuhan, sedikitpun saya tidak
pernah putus asa. Saya yakin dan percaya suatu saat nanti kami pasti bisa
berkumpul kembali. Untuk menjaga pikiran saya tetap positif, saya tidak pernah
mau diam. Apa saja kegiatan yang bisa saya kerjakan saya kerjakan. Sejak dari
bangun tidur sampai mau tidur lagi.
Di sekolah anak-anak tidak ada yang mendapat perlakuan yang berbeda, mungkin
karena mereka juga bisa menempatkan diri di antara teman-temannya. Saya

111
Sulawesi Bersaksi
memang menekankan kepada anak-anak bahwa bagaimanapun keadaannya mereka
harus tetap bersekolah. Jangan lihat sekarang yang sulit tapi bayangkan ke depan
dan kita pasti mampu. Terbukti saya bisa memasukkan Yatty ke Universitas Klabat
di Airmadidi, universitas termahal di Sulawesi Utara.
Di samping itu juga dia memang pintar bergaul dan tidak merasa malu bekerja
sambil kuliah. Dia tawarkan ke teman-teman dan dosennya keahliannya tata rambut
dan kecantikan. Ya terkadang tidak selalu dibayar dengan uang tapi juga mungkin
hanya sekedar di kasih makan atau juga hanya ucapan terimakasih. Namun dia
merasa dihargai dan menjadi banyak mendapat kemudahan dengan keahliannya di
luar ilmu yang sedang dipelajarinya di bangku kuliah.
Dari kecil dia memang sudah mandiri dan sangat ingin membantu orangtua.
Bayangkan, karena kasihan melihat saya susah, waktu itu dia masih usia 6 tahun tapi
sudah tahu baca trayek. Saya suruh dia pergi membeli obat kroll, di sekitar sini kan
tidak ada harus beli di stasiun yang sekarang disebut Pasar 45. Jadi kalau ada
pelanggan yang mau keriting rambut, saya minta duluan bayarannya, nanti Yatty
pergi membeli obatnya. Jaraknya sekitar 5 km dari rumah, sebenarnya dalam
keadaan normal anak itu belum waktunya untuk pergi sejauh itu.
Satu waktu ada satu bapak tentara mengantar dia pulang, lalu dia bilang ibu,
jangan dulu suruh-suruh ya... masih anak begini kecil sudah disuruh jauh-jauh.
Saya cuma tertawa saja, karena dia juga tidak tahu siapa saya dan bagaimana
keadaan kami. Sebenarnya jurusan kendaraan waktu itu kan hanya satu, kalau
jurusan Ranotano yang cuma jalur ini. Cuma memang hari itu ternyata rutenya
dirubah, jadi dia bingung.
Kalau saya ingat kejadian itu, saya menjadi merasa bersalah. Seakan-akan saya ini
tidak bisa menjaga anak yang seharusnya saya lindungi.
Kalau diintimidasi saya pribadi sebagai seorang perempuan mengalaminya. Sering
kali petugas-petugas penjara datang ke rumah. Macam-macam yang mereka
katakan, suami mu tidak akan keluar lagi, kamu maish muda masih bisa menikah
lagi. Ada juga yang bilang kalau Om sudah tidak ada lagi di penjara, padahal setiap
hari saya menjenguk dia. Sedikitpun saya tidak tergoda, karena saya punya
keyakinan pasti suami saya akan keluar hanya saja kapan waktunya saya tidak tahu.

112
Sulawesi Bersaksi
Saya bilang ke mereka, saya masih punya suami, meskipun di penjara Om tetap
ada.
Belum lagi yang mengintimidasi agar saya menjual rumah dan tanah tapi saya tetap
bertahan, karena memang masih beruntung bisa berdiskusi dengan Om.
Memang tidak setiap hari bisa bertemu Om, terkadang seminggu sekali atau satu
bulan sekali bahkan penah berbulan-bulan tidak bisa ketemu, karena memang
peraturannya selalu berubah-rubah. Tahun 68-69, peraturannya sangat ketat, sampai
berbulan-bulan kami tidak bisa ketemu. Pernah Om masuk rumah sakit karena
operasi usus buntu saya dilarang menjenguk. Lalu saya nekat tetap dating. Dilapor
oleh petugas, katanya saya bertemu di rumah sakit. Kemudian saya dipanggil
menghadap.
Sesekali anak-anak diselundupkan menginap di penjara, tidur di barak bersama-
sama dengan para tahanan. Karena mereka masih kecil, mereka senang-senang saja.
Satu kali Yatty pernah bertanya kenapa papa di penjara?
Saya bilang, diceritakan juga kamu masih anak-anak.
Lalu Om juga sering mengatakan sama anak-anak, kalau papanya dipenjara bukan
karena memperkosa ataupun mencuri walaupun mungkin mereka belum mengerti.
Lagipula mereka juga melihat ribuan orang di dalam penjara.
Hingga akhirnya tahun 1980 Om dibebaskan, saya merasa senang sekali, setelah
selama 14 tahun 9 bulan saya menunggu saat ini. Tapi ternyata masih ada perlakuan
diskriminasi yang kami terima. Salah satunya anak saya yang kuliah di Kedokteran
Universitas Syam Ratulangi, hampir terancam tidak lulus karena ada yang
melaporkan kalau dia anak PKI. Waktu itu dia sedang mengurus untuk KKN, lalu
saya dipanggil oleh dokter sekaligus dekan dan kebetulan dia kakak tingkat saya
waktu kuliah. Tidak banyak dia berbicara, dia hanya berpesan untuk saat ini anak
saya jangan ikut berorganisasi dahulu. Sampai dia lulus kuliah nanti. Padahal itu
sudah tahun 90an.
Saya bilang, dia tidak pernah ikut-ikut kegiatan di luar kecuali hanya kegiatan di
gereja.
Memang ada orang-orang di sekitar yang mengatakan biar kuliah tetap tidak mau
lulus. Kalaupun lulus di kedokteran tetap tidak mau kepakai...

113
Sulawesi Bersaksi
Ada satu dosen yang tidak mau kasih nilai praktek, kalau teori bisa. Namanya
dokter Meleka karena dia dulunya Permesta, jadi anti dengan PKI. Karena saya kenal
dengan dekan lalu saya bicara dengan beliau. Saya bilang, kalau saya tahu mau jadi
begini, saya tidak akan kasih kuliah anak saya di kedokteran. Biar dia kuliah di
pertanian saja. Lalu dia tanya mana anaknya. Akhirnya dia menjalani wajib lapor di
kampus. Ada beberapa orang tidak hanya Ato tapi yang tidak terus. Saya lihat dia
juga hampir stres, 9 tahun baru lulus.
Akhirnya ketika PTT tahun 1996, dia minta ditempatkan di Kalimantan Timur tanpa
sepengetahuan kami. Karena dia tidak mau mendengar cerita-cerita yang lalu.
Sampai sekarang sudah menjadi kepala Puskesmas dan ketua IDI Kalimantan Timur.

Nara sumber : Jozef Beinhard Kalengkongan


Pewawancara : Nurhasanah
Penulis : Nurhasanah

Mahardian

Memutus Rantai Pengucilan

S.M. Bihina, demikian orang-orang biasa menyapanya. Lelaki tua berusia 74


tahun ini lahir di Menui (sekarang kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah)
pada tanggal 16 September 1938. Hidup dan dibesarkan bersama 4 orang saudara
lainnya, dia tumbuh sebagai salah satu anak yang cukup dikenal di masanya. Sejak
menamatkan sekolah SR pada tahun 1952 di Menui, dia memilih merantau ke
Kendari, Sulawesi Tenggara untuk melanjutkan sekolah SGB (Sekolah Guru Bawah).
Saat itu sekolah di sana ditanggung oleh pemerintah melalui program beasiswa.
Mereka diasramakan di Kota Lama Kendari. Mulai pada saat itu, Bapak mengenal
dan belajar politik melalui berbagai organisasi yang diikutinya. Sampai pada tahun
1963 Bapak diangkat menjadi salah satu pimpinan partai besar di era itu.

Waktu terjadi peristiwa Gerakan 30 September di Jakarta, Bapak ditangkap dan


ditahan. Alasannya karena jabatan Bapak di Partai sebagai salah satu pimpinan

114
Sulawesi Bersaksi
tertinggi. Tepatnya pada tanggal 18 Oktober 1965 malam hari Bapak ditangkap di
rumah kediamannya. Awalnya Bapak hanya diamankan saja dari massa demonstran
seperti KAMMI dan KAPPI. Namun sejak diambil waktu itu, Bapak sudah tidak
pernah kembali lagi. Rupanya sudah langsung ditahan Ditahan selama 15 tahun dan
di pekerjakan di Kamp pengasingan di hutan Ameroro Kendari, Bapak juga menjadi
tahanan yang terakhir dibebaskan pada tanggal 08 Desember 1979.

Sebelum Bapak ditangkap, sudah diangkat menjadi seorang guru sejak tahun 1956.
Bapak ditempatkan di daerah Konawe. Berpindah-pindah mengajar dari satu daerah
ke daerah lainya, Bapak masih menyempatkan diri untuk merintis kampung
halamannya Menui, yang awalnya dari sebuah kampung biasa menjadi sebuah
Distrik. Saat itu Sulawesi Tengah masih bergabung dengan Sulawesi Utara.
Menghadap Raja Morowali, sampai dengan bertemu Gubernur Sulawesi Utara di
Manado, dilaksanakan oleh Bapak dalam usahanya menjadikan kampung kami
berubah menjadi Kecamatan. Setelah perubahan itu, tahun 1964 Sulawesi Tengah
(Palu) dan Sulawesi Tenggara (Kendari) memisahkan diri dari Sulawesi Utara
menjadi propinsi sendiri. Pada proses perkembangan daerah ini Bapak sempat
diminta untuk menjadi camat di Menui. Namun pada saat itu Bapak juga sudah
menjadi anggota Dewan di Kendari. Beberapa kawan dan petinggi di jajaran anggota
Dewan di Kendari tidak sepakat bila Bapak kembali ke Menui untuk menjadi
seorang camat. Alasannya sangat jelas. Saat itu Bapak dipersiapkan menjadi wakil
ketua Dewan di Kendari. Usianya masih sangat muda, 27 tahun, pada saat itu Bapak
juga sudah menjadi kepala sekolah SD ( Sekolah Dasar) di Bungkotoko Kendari
Hal lain yang juga dilaksanakan oleh Bapak, adalah mendamaikan penduduk yang
bertikai. Di salah satu daerah dekat Menui terjadi perpecahan antar penduduk yang
sudah berlangsung sangat lama 15 tahun. Perkelahian antar kampung sering
terjadi sampai memakan korban jiwa. Tidak ada satu orang pun yang mampu
mengamankan kedua kampung yang berseteru itu. Semenjak Bapak berceramah di
sana, sebelum peristiwa 65, kedua kampung tersebut tidak lagi berkelahi sampai
sekarang. Bapak berbicara dengan kedua tokoh dari kampung tersebut. Kemudian
Bapak sangat dikenal oleh semua kalangan sama seperti dengan saudara-saudaranya

115
Sulawesi Bersaksi
yang lain. Terkadang saya merasa risih ketika masih kecil ataupun sudah duduk di
bangku sekolah SMP, saya dan keluarga saya dilayani bagaikan seorang bangsawan.
Sepertinya bisa minta apa saja. Datang disambut dengan berbagai acara,
dihidangkan berbagai macam makanan, bahkan ketika saya dan keluarga yang lain
menginginkan sesuatu, selalu saja ada yang siap menyediakannya. Saya ingat satu
kali saya minta kelapa muda. Tapi saya tidak tahu mana pohon kelapa yang menjadi
milik keluarga saya. Orang-orang yang ada di situ langsung memetikkan kelapa saya
makan. Seperti zaman feodal saja jadinya. Ini hal yang kemudian menjadikan Bapak
tidak hilang muka saat disangkutkan dengan peristiwa 65. Sampai saat ini Bapak
masih sangat dipandang oleh orang-orang di Menui maupun di Kendari tempat
Bapak besar menentukan pilihan politik dan membangun keluarga.
Sejak punya jabatan penting Bapak sering ke luar kota. Tahun 1965 sebelum tragedi
itu, Bapak mengikuti pengkaderan Nasakom di Jakarta selama 40 hari, dan beberapa
kegiatan lainnya seperti ke kota Makassar. Bapak merupakan satu-satunya anggota
Dewan yang mewakili partai komunis saat itu. Hampir setiap pegawai negeri yang
ada di era Bapak juga memiliki kegiatan lainnya di luar kegiatan sehari-harinya
sebagai guru, kepala sekolah maupun pegawai instansi lainnya. Pak Abdullah
Sarundaeng misalnya, saat itu dia adalah bupati dan juga sekaligus adalah ketua
Dewan Kendari. Tetapi mereka semua tidak meninggalkan pekerjaan mereka
sebagai pegawai negeri. Karena anggota dewan pada saat itu tidak digaji, mereka
hanya memerima uang sidang saja. Kebutuhan keluarga tetap bergantung dari gaji
sebagai pegawai negeri.
Selama di dalam tahanan, Bapak selalu mendapat kunjungan dari beberapa orang.
Salah satunya adalah Nenekku. Waktu itu entah Nenekku pintar berpolitik atau apa,
dia diberi kebebasan untuk bertemu Bapak kapan saja oleh petugas jaga. Akalnya
setiap ketemu dengan petugas penjaga, dia tidak pernah berbahasa Indonesia. Dia
pakai bahasa Menui, jadi penjaga tak ada yang tahu. Jadi daripada mereka cape
melayani Nenekku, dia diberikan kebebasan untuk bertemu. Melalui Nenekku ini
kami bisa berkomunikasi dengan Bapak. Selama ditahan Bapak tidak terlalu banyak
mendapatkan siksaan. Bapak tidak lama ditahan di Korem lalu dikumpulkan di
Kampung Salo, terus dibawa ke Kamp pengasingan Ameroro. Waktu di Ameroro,

116
Sulawesi Bersaksi
para tahanan disebar untuk membangun proyek-proyek pemerintah. Misalnya
membuka jalan, membangun jembatan, mengolah kayu di hutan, dan berbagai
macam pekerjaan lainnya. Pekerjaan ini mereka laksanakan selama bertahun-tahun
tanpa dibayar.
Setelah ke luar penjara, Bapak bersama dengan 42 Kepala Keluarga lainnya langsung
dikumpulkan di Kamp Kali Wanggu. Di tempat yang baru ini mereka tinggal di
barak besar dengan ranjang lipat berkelambu untuk tidur. Kemudian dari Kamp itu
mereka dibawa ke Nanga-nanga untuk tinggal dan menetap di sana sebagai eks
Tapol - Napol Trgedi 65. Memang pada saat penangkapan banyak orang yang takut
kembali ke rumahnya, karena keluarganya sudah hilang, atau tidak punya kontak
lagi dengan keluarga. Pemerintah memikirkan, jangan sampai mereka tidak bisa
kembali ke masyarakat. Maka disiapkan lahan 1000 hektar untuk menampung para
Tapol Napol tersebut yang diambil dari dua Kamp penahanan, yaitu; Moncong loe
dan Ameroro. Sejak saat itu Bapak tinggal dan bertani di Nanga-nanga bersama
dengan eks Tapol Napol lainnya.
Bapak kemudian menikah yang kedua tahun 1980 dengan seorang perempuan yang
masih kerabat keluarganya. Mereka dijodohkan oleh keluarga setelah dengan istri
pertama Bapak berpisah saat Bapak ditahan. Istri pertama Bapak sampai saat ini juga
masih hidup. Di perkawinan yang pertama Bapak memiliki anak sebanyak tujuh
orang. Sebagian dari mereka tinggal bersama dengan kami di Kendari tapi berbeda
rumah. Mereka sudah menikah semuanya. Ada juga yang tinggal di Kalimantan, di
Konawe Utara, dan di Kendari sendiri.

Tumbuh di Nanga-nanga
Nama saya Mahardian. Dipanggil Dian. Mahar berarti sesuatu yang bernilai dan
Dian berarti lampu. Jadi Mahardian berarti sebuah lampu/lentera yang memiliki
nilai. Saya lahir di Kendari pada tanggal 21 April 1982, di sebuah Kampung Nanga-
nanga, perkampungan khusus yang dipersiapakan pemerintah untuk para Tapol
(Tahanan Politik) eks Peristiwa 65. Kampung (dusun) Nanga-nanga berada di
Kelurahan Baruga, Kecamatan Baruga, Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara.

117
Sulawesi Bersaksi
Pada tahun-tahun 80 90 an di kampung ini cukup ramai, ada 42 Kepala Keluarga
eks tahanan Orba hidup dan bermukim di sana.

Saya memiliki 3 (tiga) orang adik perempuan bernama Uianaluliatik, Nurinti dan
Istin Bijayanti. Saya juga memilki 7 (tujuh) orang kakak hasil dari perkawinan Bapak
yang pertama : Nurjaya anak pertama, Kisna Jaya dan Misna Jaya (yang merupakan
anak kembar), Sulitno Suprin Jaya, Nurlis Ratna Jaya, Aris dan Abrat Limbang.
Hubungan saya dengan saudara-saudara yang berbeda ibu baik-baik saja. Kalaupun
ada masalah, pasti masalah-masalah kecil saja.

Sejak kecil saya sudah sangat akrab dengan suguhan berita dan cerita tentang
perkembangan politik negeri. Meski sudah dibilang era modern dan berkembang,
saat itu siaran TV hanya ada TVRI saja, Radio RRI dengan sedikit siaran yang bisa
dikonsumsi anak-anak. Tapi karena Bapak sering bercerita dan dia selalu
mendengarkan radio BBC London dan suara Netherland, akhirnya saya setiap hari
mendapatkan berita dari Bapak. Karena kita tidak bermain atau menonton kartun
karena semuanya itu tidak ada, maka informasi itu yang masuk ke telinga sejak
umur 5 tahun. Saya ingat dulu ada yang namanya film Janur kuning, film
Pengkhianatan G 30 S PKI. Nonton film tersebut beramai-ramai. Setiap kali setelah
menonton film-film itu semua orang ramai bercerita di setiap tempat berkumpul.
Namun saya dengan anak-anak saat itu belum tahu sepenuhnya tentang apa yang
terjadi pada masa itu.
Saat saya bersekolah di Sekolah Dasar 2 Lepo-lepo, ditempuh dengan berjalan kaki,
yang jaraknya 4 KM. Waktu itu saya kelas 1 SD. Kalau mau ke sekolah, saya dan
adik saya yang bernama Ui harus bangun sebelum jam 5 untuk mandi dan sarapan.
Kemudian menunggu teman-teman sesama anak Tapol yang lainnya untuk
berangkat beramai-ramai. Kami berangkat ke sekolah tanpa menggunakan sepatu,
dikarenakan jarak sekolah yang cukup jauh dan keadaan jalan yang tidak baik. Kami
harus terlebih dahulu membungkus sepatu dalam kantongan plastik, dan kami baru
memakai sepatu di sebuah kali kecil yang berjarak sekitar 200 meter dari sekolah.

118
Sulawesi Bersaksi
Walaupun kami ke sekolah berjalan kaki, tidak pernah sekalipun terlambat sampai
ke sekolah.

Ketika pulang sekolah, di mana kami yang masih duduk di kelas satu SD seperti
biasa akan pulang lebih awal. Kami yang masih kecil-kecil terpaksa kembali tanpa
menunggu kawan-kwan lainnya yang nanti pulang pukul 13.00 Wita. Seperti biasa
setelah sampai pada kali tempat awal kami memasang sepatu, kami kembali
menanggalkan sepatu. Sebelum melanjutkan perjalanan pulang, kami menggunakan
kesempatan untuk bermain di kali. Menangkap ikan Kepala Tima (begitu biasa kami
sebut), seperti menjadi jadwal tetap sehari-hari kami. Setelah puas bermain, kami
kembali melanjutkan perjalanan pulang. Terkadang kami juga singgah mencari
buah-buahan hutan yang biasa tumbuh tidak jauh dari pinggir jalan. Buah ini bisa
dimakan manusia, buah ini kami sebut anggur hutan atau Ruruhi. Belum cukup
dengan menangkap ikan dan mengambil buah di hutan, kami juga biasa singgah di
rumah Mayor Guntur Iskandar untuk mengambil buah jambu air. Mayor Guntur
Iskandar adalah salah satu Pembina di Kampung Tapol Nanga-nanga. Biasanya istri
pak Mayor Guntur yang memanggil kami untuk singgah memetik buah jambu air,
malahan dia sendiri yang biasa memetikkan buah tersebut karena pohonnya tinggi.
Perjalanan kami setiap hari ketika pulang pergi ke sekolah melewati hutan dan
kebun jambu mente, dua kali kecil dan satu sungai yang lumayan besar. Kami juga
melewati sebuah kampung masyarakat yang cukup sunyi karena hanya didiamai
oleh sekitar 10 kepala keluarga yang berada di salah satu bukit. Penghuninya setiap
hari tidak berada di rumah tetapi berada jauh di kebun mereka. Sungai Wanggu dan
Kali Lalowata di musim penghujan selalu mengalami banjir besar yang
mengakibatkan kami tidak dapat pergi bersekolah. Jembatan yang terbuat dari kayu
selalu terbawa oleh derasnya air sungai yang meluap.

Pernah terjadi ketika kami pulang dari sekolah, saat di tengah perjalanan kami
kehausan. Kebetulan dari sekolah kami pulang bersama satu orang anak yang
sekelas yang tinggal di perkampungan penduduk, di salah satu bukit yang kami
lalui.

119
Sulawesi Bersaksi
Kami minta kepada teman tersebut untuk mengijinkan saya singgah beristirahat dan
minta minum. Ia tidak berkeberatan, tetapi anehnya teman kami tersebut tidak
mengajak singgah di rumahnya yang berada di tepi jalan, tetapi malah mereka
mengajak kami berjalan ke bagian belakang rumah sekitar 1 Km lebih. Di situlah
baru kami bisa minum. Ternyata orang tua mereka tinggalnya di kebun untuk
berladang. Kalau kami hitung-hitung jarak ke kebun mereka dan jarak yang harus
kami tempuh untuk sampai di rumah sudah hampir sama. Terkadang kalau kami
lambat sampai di rumah saat pulang sekolah, ibu selalu datang menjemput, karena
khawatir kami terjatuh ke dalam sungai.
Terkadang para ibu kami harus menjadi anak sekolah juga, karena harus menjemput
anak-anaknya. Medan yang sangat tidak bersahabat bagi anak-anak seusia kami
menimbulkan rasa khawatir orang tua. Sebenarnya bagiku dan adikku hal itu tidak
masalah, malah kami merasa kasihan kepada ibu yang setiap hari menjemput kami.
Biasanya saat bermain di kali Wanggu itu, kami tidak jarang terjatuh dari kayu titian.
Saat kelas satu SD ini, saya sering sakit-sakitan. Ibu selalu membuat bekal buat kami
ke sekolah. Hal lucu adalah saya dan adik tidak tahu cara menggunakan uang
membeli jajanan. Bila diberi bekal uang, pasti uang masih utuh. Ada seorang Ibu
Kantin yang sering dititipi ibu uang untuk belanja kami. Kami bisa pesan dan makan
apa saja di kantin tersebut karena kami punya uang simpanan di sana yang sudah
diberikan ibu. Saya ingat nama ibu kantin itu Kustini. Wali kelas waktu itu namanya
ibu Suryati, dia yang sering membelikan jajan di sekolah. Karena kasihan melihat
saya tidak pernah belanja. Ibu wali kelasku ini sempat berpikir kalau saya dan
adikku tidak punya uang jajan. Mungkin pengaruh tidak pernah ke luar rumah dan
hanya bermain dengan adik-adik saja, sampai belanja jajanan pun saya merasa tidak
tahu.

Anduonohu dan situasi serba baru (SMP dan SMA)


Hanya sekitar tujuh bulan saya dan adik bersekolah di sana, lalu kami pindah ke
sekolah di tempat tinggal kami yang baru. Kami sekeluarga pindah ke Kelurahan
Andounohu. Kami sekolah di SD 1 Negeri Anduonohu sejak kelas satu caturwulan 3
sampai tamat tahun 1995. Ketika bersekolah di tempat baru saya masih berjalan kaki,

120
Sulawesi Bersaksi
karena jarak sekolah saya tidak terlalu jauh dengan tempat tinggal, sekitar 400
Meter saja. Letaknya di depan pasar. Berjalan bersama-sama dengan teman laki-laki,
teman perempuan, yang juga sekelas. Hanya yang jadi kendala kalau bergaul sehari-
hari dengan kawan-kawan. Karena teman-teman sekolah tinggalnya tidak di sekitar
lingkungan rumah. Jadi saya bergaul (berteman) dengan kemenakan (ponakan),
dengan teman-temannya rata-rata duduk di bangku sekolah SMP. Biasa ikut mereka
berkelahi, tawuran dengan anak-anak muda pasar baru. Saat itu beberapa temanku
bermusuhan dengan mereka. Ketika mereka berkelahi di depan kantin, saya ada di
antara mereka, tapi saya hanya lewat-lewat saja. Biasanya ada yang sampai terluka
kena ditikam. Saya bersama teman yang lebih muda usianya juga pergi meracun
ikan di rawa. Saya sampai di cari-cari oleh ibu kalau sudah malam tidak pulang ke
rumah. Mungkin karena baru merasakan berteman dengan anak-anak baru sampai
lupa pulang ke rumah. Tidak seperti dulu waktu di Nanga-nanga, saya hanya
bermain sepeda saja di belakang rumah dengan tiga orang adik.
Di samping rumah ada sebuah empang yang dibuat oleh Bapak. Di situ saya biasa
bermain juga dengan ponakan dan adik-adik. Hanya satu hal yang dikasi syarat
sama Bapak, yaitu boleh bermain di empang tapi jangan sampai bermain ke dalam
empang yang dalam. Jadi saya hanya biasa di pinggir-pinggir empang saja. Mungkin
karena itu saya sampai hari ini tidak bisa berenang. Padahal nenek saya seorang
pelaut.
Setelah tamat SD tahun 1995, saya dan adik meneruskan sekolah ke SMP 5 Kendari.
Kami berjalan kaki beramai-ramai dengan semua anak sekolah yang lainnya. Pada
saat itu semua siswa berjalan kaki karena jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah,
jadi santai saja sampai di sekolah. Namun arahnya berbeda dengan arah sekolah SD.
Kalau sekolah SD turun ke bawah dari arah rumah, sekolah SMP ini naik. Setiap
paginya jalanan selalu ramai dengan anak-anak sekolah. Anak SD, SMP maupun
anak SMA. Pergaluan saya biasa saja, hampir samalah dengan anak-anak lainnya.
Sampai pada waktu sudah di kelas tiga SMP, saya pernah pergi mengangkat batu
merah ke dalam truk. Waktu itu kami diberi upah. Saya ikut dengan kakak ipar yang
pekerjaannya sebagai sopir truk bersama dengan satu orang ponakan yang lebih tua.
Saya ingat kami di kasi uang Rp. 7,500 setelah selesai mengangkat batu merah

121
Sulawesi Bersaksi
tersebut. Batu merah ini dibawa ke samping kantor Gubernur. Di sana ada
pembangunan BTN. Ini saya lakukan diam-diam tanpa diketahui oleh orang rumah.
Setengah hari saja saya ikut, karena paginya saya harus sekolah dulu. Terangsang
oleh beberapa barang keperluan sekolah yang hampir rata-rata teman-teman sudah
punya, jadi saya cari akal bagaimana caranya bisa punya alat-alat itu tanpa minta
uang dari orang tua. Selain untuk membeli alat tulis, perlengkapan menggambar
seperti jangka, saya juga menggunakan uang hasil dari angkat batu merah tadi untuk
biaya foto copy bila ada buku-buku dari guru yang harus di foto copy karena kalau
membeli buku aslinya terlalu mahal. Tidak hanya angkat batu merah saja yang saya
lakukan, tetapi bersama ponakan, Atong, kami pergi mengambil daun kelapa muda
untuk dijual ke tukang bakso, untuk membuat ketupat. Sampai pada tahun 1998
saya tidak lagi pergi angkat batu merah atau mengambil daun kelapa muda. Saat itu
situasinya sedikit panas dengan gelombang demonstrasi mahasiswa menuntut
Soeharto mundur sebagai presiden.
Dari teman sepermainan yang tahu bahwa saya adalah anak PKI, saya tidak
mendapat diskriminasi. Malah bila belajar kelompok selalu di rumahku. Mungkin
karena di masa kami lahir ini sudah tidak terlalu dipersoalkan seperti di tahun-tahun
sebelumnya, atau memang karena teman-teman tidak begitu tahu dengan situasi apa
yang digambarkan oleh film Pengkhiatan G.30 S /PKI yang ditontonnya. Tetapi dari
hari ke hari, saya secara pribadi mulai sedikit mengerti dengan situasi politik saat
itu. Terkadang saya kembali teringat masa-masa di Nanga-nanga, menikmati berita
dari siaran radio BBC London dan Suara Netherland.
Kelurahan Andounohu ini juga merupakan kelurahan yang baru dibentuk dengan
masyarakat dari berbagai kalangan. Banyak penduduk yang merupakan pendatang
yang bermukim di sini. Mungkin hal ini juga yang menjadi salah satu sebab di mana
stigma kental ini tidak begitu terasa. Padahal semua orang sangat kenal dengan
Bapakku dan tahu kalau Bapakku itu adalah mantan ketua PKI saat itu. Setelah
reformasi tahun 1998 film-film tentang PKI dari pemerintah, sudah tidak pernah di
putar lagi.

122
Sulawesi Bersaksi
Masa SMA masa berbagi
SMA 2 Kendari. Jaraknya sekitar 3 kilometer dari rumahku. Masih berjalan kaki
kalau pergi ke sekolah, juga adik. Dua orang adik perempuan juga sudah bersekolah
di SD tempat saya dulu. Karena jaraknya agak sedikit jauh, dan uang saya hanya
secukupnya, maka saya tidak naik angkot berangkat ke sekolah. Adik perempuan
yang juga sekolah di tempat yang sama dengan saya, lebih saya prioritaskan untuk
naik angkot.
Saya suka dengan disiplin yang dilaksanakan oleh Bapak. Setiap pagi kami semua
sudah harus sarapan di rumah sebelum berangkat. Mau pakai ikan atau tidak, biar
cuma nasi saja dan teh, harus sarapan. Jadi pergi sekolah perut harus kenyang. Saya
lalui masa-masa SMA bersama dengan adik yang masih di bangku SD dan SMP
dalam keadaan seadanya saja. Tahun 2001 saya dan adik tamat bersamaan.
Kemudian kami bersama-sama juga mendaftar masuk ke perguruan tinggi di
Unhallu (Universitas Haluoleo). Ada hal yang sangat menolong kami berdua. Adik
lolos tes mengikuti program PPMP (Program Penerimaan Mahasiswa Prestasi).
Namun tidak dengan saya. Mengingat biaya kuliah dan sekolah adik yang masih
dua orang lagi, maka saya memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah dulu,
selain karena tidak lulus ujian masuk perguruan tinggi.
Di masa menganggur ini saya habiskan waktu untuk berkumpul bersama beberapa
kawan-kawanku saat SMA yang juga belum masuk kuliah. Kami menempati sebuah
rumah kosong di dekat rumah salah satu kawan yang Bapaknya cukup disegani di
lingkungan itu. Rumah itu seringkali dilempari oleh orang-orang karena sudah
dianggap berhantu. Dengan dukungan orang tua teman itu kami kemudian
membersihkan rumah tersebut dan menjadikannya seperti sebuah basecamp lah
istilahnya. Siang dan malam kami berkumpul di sana. Banyak hal yang kami
laksanakan selama belum melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Saya dan teman-
teman biasa mengikuti berbagai bentuk pelatihan yang diadakan oleh kelurahan,
pemerintah daerah, dan beberapa pelatihan dari dinas-dinas tertentu. Seperti Dinas
Tenaga Kerja dan Dinas Pertambangan. Saya juga pernah mendapat anjuran untuk
masuk polisi. Namun saya tidak mau. Karena memang bukan menjadi cita-cita saya.
Bapak juga tidak suka saya masuk polisi, karena pekerjaannya monoton dan

123
Sulawesi Bersaksi
cenderung tidak berkembang. Bergaul di rumah ini berhenti sampai teman itu tamat
kuliahnya.
Saat itu saya sempat dimarahi oleh ibu dan Nenek yang di Menui. Mereka sangat
menyayangkan sekali saya tidak melanjutkan kuliah dan menganggur, padahal
mereka sanggup membiayai kuliah saya. Maklum di kampung, Nenek saya masih
banyak hasil tanahnya yang bisa diandalkan untuk membiayai sekolah saya.
Akhirnya adik selesai kuliah di perguruan tinggi Universitas Haluoleo Jurusan FKIP
Matematika. Selanjutnya dia diangkat menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil), menjadi
guru di salah satu SMP di Kota Kendari. Terangkatnya adik menjadi seorang PNS
membawa angin segar dalam keluarga kami. Setelah melalui banyak hal selama saya
tidak bersekolah, saya memutuskan untuk bersekolah kembali. Adik sayalah yang
kemudian menjadi penyokong sekolah saya ditambah dengan hasil kebun Bapak.
Saudara saya yang ketiga, Nurinti, sekarang ini sedang menyelesaikan kuliahnya di
jurusan KESMAS (Kesehatan Masyarakat)UNHALU dan sekarang sudah jalan 6
semester, dan saudara yang ke 4, Istin Bijayanti, baru saja menyelesaikan
pendidikannya dibangku SLTA Negeri 2 Kendari, sekarang dalam proses
pendaftaran untuk mengikuti tes masuk perguruan tinggi negeri. Kami 4 (empat)
bersaudara sejak dulu sampai saat ini masih tinggal bersama orang tua kami di
Kelurahan Anduonohu. Keadaan rumah kami masih dalam kategori sederhana
dengan konstruksi bangunan berdinding papan beratapkan seng dan berlantaikan
semen. Namun kondisi ini sedikit lebih baik daripada rumah kami yang di Nanga-
nanga hasil pemberian pemerintah di pelosok hutan. Tetangga yang berdekatan,
fasilitas umum yang tersedia dan mudah di akses, menjadi faktor yang sangat
membantu dalam bersosialisasi dengan masyarakat sekitar yang tergolong sangat
baik. Tempat tinggal kami yang baru ini adalah kompleks area pembangunan kota
baru Kendari. Segala bentuk fasilitas mulai dari yang digunakan masyarakat secara
umum sampai pada bangunan perkantoran yang digunakan oleh pemerintah
semuanya ada di wilayah kami.
Dalam keseharian sekarang, saya biasa mengikuti berbagai kegiatan kemasyarakatan
maupun kegiatan-kegiatan pelatihan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Misalanya;
pelatihan kepemudaan dalam usaha kreatif, percetakan sablon yang dilaksanakan

124
Sulawesi Bersaksi
oleh pemerintah kelurahan, dan pelatihan pemuda pengusaha yang dilaksanakan
oleh Deperindag (Departemen Perindustrian dan Perdagangan). Sampai sekarang
tidak ada pengalaman pergaulan yang membuat saya sedih karena status orang tua
saya. Pada waktu masih sekolah ada teman yang tahu bahwa orang tua saya eks
Tapol tetapi ada juga yang tidak tahu. Secara umum teman-teman saya tidak perduli
atau tidak tahu masalah Tapol 65. Yang mereka ketahui hanya terjadi sebuah
gerakan pada tahun itu yang dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September.

Pengalaman waktu kecil dengan ayah sering muncul. Salah satunya, yaitu ketika
waktu masih tinggal di Nanga-nanga. Saya dengan ayah pernah pulang kemalaman
di jalan, saat itu masih berumur 5 tahun, berjalan kaki dari Lepo-lepo ke Nanga-
nanga sejauh 4 Km. Waktu itu saya sendri mengikuti ayah yang sedang memikul
barang belanjaan dari kota. Di tengah perjalanan kami harus menyeberangi sebuah
jembatan yang terbuat dari satu batang kayu melintang yang terbawa banjir, karena
habis hujan deras. Karena keadaan itu saya harus menunggu Bapak saya terlebih
dahulu di sebelah jembatan, karena Bapak harus menyebrangkan barang-barang
belanjaan terlebih dahulu. Setelah barang habis diseberangkan barulah Bapak
kembali mengambil saya. Kami tiba di rumah sekitar jam setengah 10 malam.
Peristiwa itu menjadi pengalaman yang sangat terkesan dalam ingatan saya. Saya
merasakan kasih sayang dari seorang Bapak yang sangat saya cintai. Sayangnya,
mungkin karena peristiwa malam itu, tidak lama kemudian saya sakit cukup parah
dan harus dirawat di rumah sakit selama kurang lebih 1 minggu. Dokter pada waktu
itu mengatakan saya menderita malaria tropika yang mengakibatkan saya harus
menerima donor darah sebanyak 2 kantung.

Saya tahu kenapa Bapak saya dikatakan eks Tapol karena di tahun 1965 ada gejolak
politik di pusat yang mengakibatkan bung Karno presiden pertama RI digulingkan
secara halus. Karenanya semua orang yang menjadi pengikut Bung Karno harus di
lenyapkan agar Bung Karno bisa di jatuhkan. Ayah saya bertatus ET kerena dia
pernah ditahan selama 15 tahun dari tahun 1965 1979. Menjadi seorang Tapol

125
Sulawesi Bersaksi
tidak memaksa Bapak saya menyembunyikan segala hal yang berhubungan
dengannya kepada kami. malah justru sebaliknya yang terjadi.

Bapak menceritakan kepada keluarga semua pengalaman hidupnya semasa kecil


sampai pada menjadi politikus, bagaikan menceritakan sebuah dongeng. Mungkin
hal ini juga yang menjadikan kami sampai pada hari ini sebagai anak tidak merasa
menjadi masyarakat kelas dua yang masih didiskrimanasi pemerintah maupun
cemohan dari orang sekitar, atau kami sendiri menutup diri karena malu menjadi
anak seorang PKI. Sedari kecil kami telah dididik oleh Bapak untuk selalu menerima
hal yang telah terjadi. Toh semua itu telah terjadi !!!! Kita tidak boleh terus-terusan
hanyut dalam uraian duka karena kepedihan yang dialami. Namun sebaiknya kita
lebih mampu berdiri dari kondisi yang kemarin. Saat menonton film G30 S itu, kami
di temani Bapak. Dan Bapak dengan senantiasa selalu menjawab pertanyaan saya
sesuai dengan keadaan dan langkah yang dialaminya.

Perasaan orang tua saya biasa-biasa saja karena menganggap itu sudah menjadi
resiko berpolitik, meski masa produktif hidupnya dia habiskan dengan mendekam
dalam penjara dan kerja paksa di Kamp Pengasingan di hutan Ameroro. Pada waktu
itu orang tua saya masih berumur 28 Tahun.
Mungkin karena sudah terbiasa mendengar cerita Bapak dari sejak kecil, kemudian
saya banyak mengerti tentang bagaimana politik, hukum, sosial dan budaya hari ini.
Melanjutkan sekolah di Fakultas Hukum Unhalu Kendari yang sudah menjadi cita-
cita saya sejak SMP, membawa saya pada tulisan akhir studiku. Setelah tiga tahun,
saya merasa sudah cukup dengan nilai yang saya peroleh. Judul skripsi yang saya
ajukan adalah, Tinjauan Yuridis terhadap hak penetapan pensiun PNS yang di
anggap terlibat gerakan 30 September (Studi kasus skorsing pegawai negeri sipil
berdasarkan kepres 28 tahun 1975 di propinsi Sulawesi Tenggara). Sangat girang
rasanya, saat saya tahu bahwa judul ini disetujui oleh ketua jurusan dan dosen wali
saya. Sempat saya mendapat berbagai pertanyaan mengapa mengangkat judul ini.
Saya hanya menjawab bahwasanya ini adalah hal yang sangat menarik untuk
ditinjau kembali dari sisi para korban yang rata-rata pegawai negeri sipil berprofesi

126
Sulawesi Bersaksi
sebagai guru yang tidak mendapatkan hak pensiunnya atas tragedi yang dikaitkan
terhadap mereka sementara mereka tidak tahu apa-apa. Saya melakukan penelitian
yang semakin memperkaya pengetahuan, ujian proposal lalu ujian meja hijau
(Skripsi). Saya dapatkan gelar sarjana saya dalam tempo waktu 3 tahun 10 bulan,
dari bekal cerita masa kecil saya.

Menurut saya peristiwa 65 adalah peristiwa yang terjadi di Pulau Jawa, khususnya
di Jakarta yang berimbas ke daerah-daearah lain di seluruh wilayah Indonesia mulai
dari Sabang sampai Merauke. Peristiwa ini mengakibatkan banyaknya korban jiwa
yang jatuh. Mulai dari korban yang benar tergabung dengan partai yang kemudian
dilarang, maupun korban yang tidak tahu menahu tentang apa-apa pada tragedi
tersebut. Kemudian Negara dengan Orde Barunya pada saat itu, menyatakan bahwa
yang bertanggung jawab dan menjadi dalanganya adalah Partai Komunis Indonesia
(PKI). Pada masa reformasi mulai muncul dorongan untuk mencari tahu kembali
dari sisi yang lain tentang cerita 65. Harus ada pelurusan sejarah terlebih dahulu
yang merumuskan tentang peristiwa tersebut.
Bila generasi di masa saya saat ini akan menjadi generasi keemasan dalam proses
pelurusan sejarah, maka saya akan ambil bagian dalam membagikan emasnya ke
rakyat Indonesia. Paling tidak saya mengambil peran untuk mau tahu atas apa yang
telah terjadi.***

Pewawancara : Nurhasanah
Penulis: Muhammad Abbas.

Maryam

Hikayat Cinta Yang Tak Bertepi

Pedih itu masih terasa sampai saat ini, namun cinta akan tetap terpatri abadi dalam hati,
yaah cinta ini ibarat air bening yang mengalir dari hulu sampai kehilir lalu menyatu
dalam keabadian air samudra yang maha luas, walau di dasar samudra dia kan tetap tawar.

127
Sulawesi Bersaksi
Sendu bias matahari senja berwarna kuning keemasan berpadu badan dengan
guratan awan-awan lembut yang bergelantungan di atas langit Kota Palu. Di sisi
barat, begitu tegarnya gunung Gawalise merayu puncak gunung Matantimali
senandungkan lagu angin seakan memberi isyarat bahwa akulah saksi bisu
hilangnya sang pujangga yang telah berkalang tanah tanpa pusara akibat tirani dan
ketidak adilan penguasa negeri ini di masa lalu.
Orang tuanya memberikan Ia nama MARYAM, lahir di Palu pada bulan
Desember 1939, Ibunya bernama Haramia, gadis manis suku Kaili (suku yang ada di
Lembah Palu) dan ayahnya bernama Labonu berasal dari tanah Bugis. Dia adalah
anak kedua dari dua orang bersaudara dan memiliki sepuluh orang saudara tiri.
Sedari kecil Maryam telah terbiasa hidup apa adanya. Orang tuanya bukanlah
golongan orang yang berada, apalagi ayahnya memiliki dua orang istri sudah barang
tentu ikat pinggangnya akan selalu dia kencangkan untuk mengais rezeki demi
menafkahi keluarga besarnya. Ketegaran dan keikhlasan ibunya dalam menerima
kenyataan menjadi wanita yang dipoligami sangat terasa; walau ia tahu sebenarnya
ibunya tidak menerima dengan sepenuhnya hidup dimadu. Untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari, ibunya tidak pernah menuntut yang macam-macam kepada
suaminya, karena dia menyadari bahwa suaminya harus lebih fokus menafkahi istri
mudanya beserta sepuluh orang anak. Untunglah mereka masih memiliki sebidang
tanah (kebun) yang dapat digunakan untuk menanam singkong, pisang, dan
beberapa jenis sayur-sayuran; bila tiba masa panen hasilnya dapat dimakan,
selebihnya dijual kepasar. Oleh karena itulah semasa kecil Maryam telah menanam
sebuah harapan bila besar nanti Ia akan membahagiakan Ibunya dengan cara
menuntut ilmu atau apa saja yang penting halal.
Orang tuanya termasuk orang yang memiliki pandangan jauh ke depan
terutama ibu. Walaupun kondisi hidup Haramia serba kekurangan, namun baginya
menyekolahkan anak sangatlah penting demi masa depan anak-anaknya nanti
supaya hidupnya lebih baik dari pada orang tuanya. Pada tahun 1947 Maryam mulai
mengeyam pendidikan dibangku SR (Sekolah Rakyat), Sekolah Dasar kalau jaman
sekarang. Pada masa itu belum banyak orang yang menyadari akan pentingnya
pendidikan apalagi kaum perempuan. Namun bagi Maryam pendidikan adalah jalan

128
Sulawesi Bersaksi
yang tidak bisa ditawar-tawar dan akhirnya pada tahun 1953 Maryam berhasil
menamatkan pendidikan dibangku Sekolah Rakyat. Setelah tamat SR, geliat hati
untuk terus melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi terus saja menggelora di
dalam sanubarinya. Kebetulan di Donggala telah ada sekolah SGB (Sekolah Guru
Bawah). Kesempatan berharga itu tidak disia-siakannya apalagi sekolah tersebut
memiliki asrama. Pada tahun 1957 Maryam telah merampungkan pendidikan di
bangku SGB dan langsung ditempatkan sebagai guru di Sekolah Rakyat Donggala 2.

DAWAI ASMARA SANG PUJANGGA

Suami Mariam bernama Abdul Rahman Dg Maselo. Dia merupakan salah


satu tokoh penting dalam pergerakan PKI di Sulawesi Tengah. Jabatanya adalah
Ketua CDB (Comite Daerah Besar) Partai Komunis Indonesia di Sulawesi Tengah
juga tergabung dalam Front Nasional telah menjadikan dia dikenal banyak orang.
Asman Yodjodolo (Pimpinan IPPI, Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia)
merupakan salah seorang sahabat Abdul Rahman Dg. Maselo pernah mengatakan
bahwa saya mengenal PKI secara mendalam atas keterangan yang dipaparkan
secara gamblang oleh Abdul Rahman Dg. Maselo. Selain satu kampung, saya masih
memiliki ikatan kekeluargaan dengan ketua CDB Partai Komunis Sulawesi Tengah
itu, di masa kepemimpinannya PKI menjadi partai yang sangat maju, soalnya
pimpinannya hebat, serba bisa, berjiwa seni, pandai mengaji, hebat dalam berorasi,
pemain voly handal, piawai bermain gitar, suaranya bagus, dan memiliki wajah
yang ganteng.

Merilis kisah cinta Maryam bersama sang suami, seakan mengulang kembali
melodi dawai asmara tempo doeloe yang tak lekang diterpa badai. Dawai asmara itu
bermula di tahun 1958 tepatnya saat Maryam menjadi guru di Sekolah Rakyat
Donggala 2. Pada saat itu SR Donggala 2 kedatangan salah seorang tenaga pengajar
yang juga akan mengajar di sekolah itu. Sebelumnya Maryam tidak pernah
menyangka bahwa guru baru yang ditempatkan di sekolah itu adalah Abdul
Rahman Dg Maselo. Kaget, tentu saja kaget. Bagaimana tidak, sosok guru baru itu

129
Sulawesi Bersaksi
bukanlah orang baru baginya. Dia adalah kakak kelas saat Maryam sekolah di SGB
Palu dulu. Selama sekolah di SGB, dia adalah pemuda yang sangat menonjol dan
banyak di ser-ser (dikagumi/diminati) oleh para gadis, dia adalah orang yang
multitalenta, mempunyai banyak keterampilan, utamanya di bidang seni musik,
karenanya hampir semua alat musik yang ada pada saat itu mampu dimainkannya.
Keadaan itu berbanding terbalik dengan Maryam. Maryam hanyalah gadis yang
biasa-biasa saja. Tidak banyak keterampilan yang Ia kuasai, apalagi soal musik.
Tujuannya sekolah hanyalah datang menuntut ilmu agar cita-citanya menjadi guru
dapat tercapai. Tetapi lain halnya dengan Abdul Rahman Dg Maselo. Jiwa seninya
berkata lain. Baginya Maryam adalah gadis yang istimewa, gadis yang lain dari
biasanya, gadis yang tidak mau mencari-cari perhatian di depan orang serta gadis
yang mempunyai banyak misteri. Sungguh; Geliat cinta seniman memang susah
ditebak.
Kemungkinan ada tiga penyebab mengapa Abdul Rahman Dg Maselo berniat
mengajar di Sekolah Rakyat Donggala 2. Yang pertama adalah ketetapan SK
mengajar, kedua adalah di Donggala telah dibuka SGA (Sekolah Guru Atas) dia
berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan di sekolah tersebut, dan kemungkinan
yang ketiga mungkin dia telah melakukan chek and rechek bahwa gadis pujaan
hatinya salah satu guru di sekolah itu. Sebab menurut kabar yang telah diyakini
keabsahannya bahwa semenjak di SGB dulu, dia selalu memperhatikan Maryam
setiap kali Maryam kembali ke Asrama Sekolah di Maesa. Sayang sekalipun Abdul
Rahman Dg. Maselo belum berani menancapkan panah asmaranya. Maklum setiap
kali kembali ke asrama sekolah Maryam selalu diantar oleh sang Ibu. Apalagi
Maryam tidak merasa gengsi diantar Sang Ibu dengan berjalan memakai Toru
(topi petani yg lebar hampir sebesar payung diameternya) sambil membawa
bingga (keranjang khas suku Kaili).
Cinta Lama Bersemi Kembali (CLBK), itulah istilah yang pantas dijuluki
kepada Abdul Rahman Dg. Maselo. Jalan cinta jelas terbuka lebar, tentu peluang
guna merebut hati Maryam akan semakin mudah. Rasa cinta yang dipendam selama
di SGB dulu kembali menari nari dilubuk hati Abdul Rahman Dg. Maselo. Untuk
merebut hati Maryam, Sang Pujangga mulai melakukan pendekatan secara insentif.

130
Sulawesi Bersaksi
Baginya Maryam bukanlah sosok gadis yang mudah ditaklukan. Bila salah
menerapkan jurus, maka akibatnya akan fatal. Makanya dalam menyampaikan
hasrat hatinya kepada Maryam, Sang Pujangga selalu memilih waktu yang tepat dan
menggunakan kalimat fatwa para pujangga. Mengisahkan tentang perasaan
sukanya semasa di SGB dulu merupakan jalur yang paling aman untuk memulai
pembicaraan. Bukan seniman namanya kalau bahasanya tidak berliku-liku. Dia beda
dari seniman lainnya, untuk meluluhkan hati pujaan hatinya ada banyak cara yang
dia lakukan. Berkali-kali dia mengungkapkan perasaanya secara langsung kepada
Maryam namun semua itu selalu Maryam anggap sebagai angin lalu. Sebenarnya
bukan Maryam tidak menaruh hati padanya. Kenyataan yang sering disaksikan
Maryam, Abdul Rahman Dg. Maselo merupakan pemuda yang banyak didekati
sekaligus diminati oleh para gadis. Sifatnya humoris, cerdas dan berjiwa seniman
membuat banyak gadis antri mengharapkan cintanya. Di samping itu Maryam
memiliki trauma masa lalu mengenang nasib ibunya yang dimadu sehingga
berakibat Ibu harus banting tulang sekuat tenaga menghidupi Maryam dan
kakaknya. Maryam tidak ingin kejadian orang tuanya terulang kembali pada dirinya.
Untuk sementara Maryam masih pikir-pikir dulu menerima cinta Sang Pujangga.
Guru baru itu tidak patah arang, baginya cinta harus diperjuangkan. Sepucuk
surat di layangkan kepada Maryam sebagai senjata terakhir untuk meluluhkan
ketegaran hati Maryam. Sepenggal kalimat bak syair para pujangga, jadi ungkapan
penuh makna, membelai nurani , merasuki akal sehat, dan melumpuhkan semua
keraguan Maryam padanya. Kalimat itu adalah Sesungguhnya bahwa cinta itu tidak
bisa dibendung, harus dilahirkan kepada yang bersangkutan. Abdul Rahman Dg. Maselo
memang piawai dalam urusan cinta.
Tiga bulan lamanya masa berpacaran dilalui oleh kedua insan tersebut. Cinta,
kasih sayang dan kesungguhan hati Abdul Rahman Dg. Maselo diungkapkannya
dalam berbagai macam cara. Diwaktuwaktu tertentu petikan dawai gitar dan irama
Viol/Biola serta lantunan lagulagu bertemakan asmara kerap dinyanyikan sang
pujangga kepada Maryam. Syahdu suara petikan gitar dan lantunan lagu asmara
mendera relung hati Maryam. Wajar saja, disamping mengajar, kekasih Maryam itu
juga berprofesi sebagai pemain Band. Berkelana dari pesta ke pesta mengikuti

131
Sulawesi Bersaksi
rutinitas Band membuat sang pujangga terkadang bolos mengajar. Katanya
Maryam cintaku, musik adalah kehidupanku, dan kau adalah napas hidupku.
Namun sayang kisah asmara kedua insan tersebut harus terpisahkan oleh jarak
karena Maryam dipindahkan ke Palu dan mengajar di Sekolah Rakyat Talise
sementara Abdul Rahman Dg. Maselo masih tetap mengajar di Donggala.

Jarak bukanlah halangan yang berarti bagi Abdul Rahman Dg. Maselo untuk
menemui kekasihnya. Diwaktu-waktu tertentu sang Pujangga sering bertandang ke
rumah Maryam sekedar untuk melepas rindu. Apel di rumah Maryam bukan
perkara mudah, ketaatan orang-orang tua terhadap ajaran dan normanorma adat
istiadat masih sangat kental. Orang tua sangat menjaga kehormatan keluarga dari
hal-hal yang mengandung fitnah serta gunjingan orangorang utamanya masaalah
hubungan antara laki-laki dan perempuan yang belum menikah. Untuk mengelabui
hal itu, terpaksa Maryam harus bohong kepada ibunya bahwa Abdul Rahman Dg.
Maselo hanyalah teman mengajarnya di Donggala dulu. Keadaan itu membuat sang
pujangga merasa kurang nyaman, sebab sepandai pandainya orang menyimpan
durian masak pasti baunya akan tercium juga.
Perasaan cinta sang Pujangga kepada Maryam semakin hari semakin tak
tertahankan. Hari-hari selalu menabuh rindu. Dari pada kebohongan terus
berkepanjangan alangkah lebih baik saya meminangmu. Demikian kata sang Pujangga
kepada Maryam. Niat Abd Rahman Dg. Maselo akan meminang disambut baik oleh
orang tua Maryam. Apalagi memang sudah waktunya umur Maryam harus
menikah. Hal itu juga bertujuan untuk menghindari fitnah dan menghindari
perbuatan yang di luar tuntunan agama. Mendengar keinginan dan kesungguhan
hati Abd Rahman Dg. Maselo ingin menjadikan dia sebagai istri membuat Maryam
merasa bahagia dan menerima dengan hati terbuka bahwa orang yang selama ini dia
cintai ternyata memegang teguh segala kata-katanya. Tanggal 16 Februari 1960
merupakan hari bahagia bagi Maryam dan Abdul Rahman Dg. Maselo karena pada
hari itu sang Pujangga dengan lantang dan fasih mengucapkan Ijab Kabul di depan
Imam (penghulu) yang disaksikan oleh segenap tamu undangan dalam acara pesta
perkawinan yang dilaksanakan secara sederhana namun penuh hikmah.

132
Sulawesi Bersaksi
Setelah selesai menikah Abdul Rahman Dg. Maselo pindah ke Palu dan
mengajar di Tondo. Desa Tondo masih bertetangga dengan Talise tempat Maryam
mengajar, dengan demikian dia tidak perlu lagi bolak balik dari Donggala ke Palu.
Jiwa seni sang suami terkadang membuat Maryam sedikit pusing. Soalnya hampir
semua grup Band di Palu diikuti oleh suaminya. Salah satu grup Band yang top di
Palu pada masa itu yakni Band Al Munir milik orang Arab. Setiap kali ada kegiatan
Band Abdul Rahman Dg. Maselo tidak pernah absen. Dia selalu ikut memainkan alat
band atau menyanyi. Terkadang sang suami pulang larut malam lalu mengetuk
pintu seperti hantu, itu membuat Maryam sedikit kewalahan. Maryam menyadari
dan memaklumi bahwa seni adalah panggilan jiwa suaminya, tetapi gara-gara seni
sang suami kerap kali tidak masuk mengajar.
Suatu ketika Maryam mulai mengajukan protes kepada suaminya:
Pa, Kalau boleh tolong kegiatan Bandnya dikurangi sedikit ! Ujar Maryam sendu.
Sang suami hanya diam sambil berpikir diiringi senyum cengar cengir khasnya.
Pa, Kalau Komiu (panggilan dikau dalam bahasa Kaili) terus-terus main Band
bagaimana dengan mengajar ? Maryam kembali berceloteh.
Ma, begini saja, main Band akan saya kurangi, tapi urusan menyanyi kalau boleh
jangan dilarang, Jawab sang Suami enteng sambil merangkul bahu Maryam
berharap Maryam memaklumi keinginannya. Namanya juga pengantin baru, rasa
prihatin Maryam terhadap aktifitas seni suaminya tentu sedikit mengganggu
pikirannya. Pendapatan yang didapatkan dari bermain band tidak bisa diandalkan
apalagi terkadang lebih banyak gratis daripada dibayar. Namun demikian Maryam
tetap berusaha untuk memaklumi permintaan suaminya demi keutuhan keluarga
barunya. Maryam tetap bahagia.
Pernah suatu ketika karena terlalu larut malam Sang Suami tak kunjung pulang
karena asyiknya bermain band hingga tertidur di rumah teman sesama pemain
Band. Maryam gelisah hatinya menunggu sang kekasih tak kunjung pulang; esok
harinya Maryam mendatangi tempat biasanya mereka berkumpul tapi apa kata
temannya bahwa Abd. Rahman Dg. Maselo tidak ada di situ. Dengan kegalauan hati
Maryam pulang dengan rasa sedih; belum seberapa jauh terdengarlah permainan
Viol /Biola yang di gesek oleh sang pujaan hatinya dan Maryam tahu lagu khas dan

133
Sulawesi Bersaksi
cara dia memainkan. Berbaliklah Maryam yang galau ke tempat semula; rupanya
mereka sengaja mengerjainnya. Mulai saat itu Maryam menunjukan ketegasannya
sebagai seorang Isteri. Begitulah kisah kasih anak manusia yg penuh canda dan
bahagia saat itu.

HARI HARI YANG MEYEDIHKAN

Janji Abdul Rahman Dg. Maselo kepada istri tercinta rupanya benar-benar
dipatuhinya. Perlahan-lahan kegiatan main band mulai dikurangi. Keadaan itu
membuat Maryam sedikit berlega hati.
Awal mula Abdul Rahman Dg. Maselo mengenal dunia organisasi yaitu
ketika dia mulai bergabung dengan kegiatan Pemuda Rakyat. Pada masa itu,
organisasi Pemuda Rakyat merupakan salah satu organisasi yang banyak diikuti
oleh para pemuda di Palu maupun Donggala di samping organisasiorganisasi yang
lain seperti IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) yang diketuai oleh Asman
Yodjodolo, BTI (Barisan Tani Indinesia), PKI (Partai Komunis Indonesia) dan
GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia). Naluri Abdul Rahman Dg. Maselo untuk
menjadi aktivis di organisasi terus berkembang dan terasah. Kegiatan baru tersebut
lambat laun membuat Sang Pujangga mulai mengurangi kebiasaan menyanyinya di
kegiatan band. Organisasi Pemuda Rakyat termasuk organisasi massa yang sah
menurut pemerintah ketika itu sehingga keberadaan organisasi gerakan Pemuda
Rakyat mendapat banyak simpati dari kalangan pemuda. Semakin hari kegiatan
Abdul Rahman Dg. Maselo semakin padat. Jiwa organisasinya meledak-ledak,
menggelora seiring dengan kepekaan dan ketajaman berpikirnya yang semakin
terasah. Tidak begitu banyak yang diketahui Maryam terhadap kegiatan yang
dilakukan suaminya di gerakan Pemuda Rakyat. Yang Maryam ketahui, setiap hari
suaminya sibuk diskusi dengan beberapa orang temannya sesama Pemuda Rakyat.
Awal keikutsertaan Maryam di kegiatan Gerwani dari perkenalannya dengan
Ibu Sri Subekti. Di organisasi Gerwani Sri Subekti memegang jabatan ketua dan
suaminya bernama Partowijoyo adalah Kepala Penerangan sekaligus menjadi ketua
PKI Propinsi Sulawesi Tengah. Level PKI ditingkat Propinsi disebut juga CDB

134
Sulawesi Bersaksi
(Comite Daerah Besar). Kala itu rutinitas kegiatan Maryam hanyalah mengajar di
Sekolah Rakyat Talise, atas saran ajakan suaminya, Maryam diajak ke rumah Ibu Sri
Subekti. Kesan pertama didapati Maryam ketika bertemu dengan ketua Gerwani itu
adalah Sri Subekti merupakan sosok yang ramah tamah. Awalnya Maryam belum
begitu tertarik dengan organisasi Gerwani, maklum saja selama ini kegiatan yang
dilakukannya hanyalah mengajar semata, olehnya itu kegiatan-kegiatan menyangkut
masaalah politik dan sebagainya belum begitu dipahaminya. Berkat Sri Subekti,
perlahan lahan Maryam mulai memahami sepak terjang kegiatan Gerwani.
Ketertarikan Maryam terhadap organisasi Gerwani semakin besar karena semuan
kegiatan yang dilakukan oleh organisasi itu bernuansa positif di mana para ibu-ibu
yang menjadi anggotanya diajarkan berbagai macam keterampilan. Visi dan Misi
Gerwani sangat jelas tertera dalam Anggaran Dasar Gerwani yang diperlihatkan
oleh Ibu Sri Subekti. Untuk menjadi anggota baru Gerwani, Maryam harus mengisi
formulir yang isinya menyagkut biodata pribadi. Gerwani merupakan organisasi
khusus perempuan di tubuh PKI dan untuk para pemudanya tergabung dalam
Gerakan Pemuda Rakyat seperti yang diikuti oleh Abdul Rahman Dg. Maselo
suaminya. Cakrawala pikiran Maryam perlahan-lahan mulai terbuka bahwa sebagai
perempuan sekaligus istri seharusnya memiliki banyak keterampilan utamanya
keterampilan kerja. Aktifitas anggota Gerwani lewat bimbingan Ibu Sri Subekti yaitu
di bidang keterampilan seperti menjahit, menyulam dan memasak, bidang olah raga
seperti Gerak Jalan dan main voly, bidang kesenian sepeti latihan drama dan masih
banyak lagi kegiatan-kegiatan positif lainnya yang semuanya bertujuan membantu
program pemerintah. Adapun jumlah anggota Gerwani pada sat itu sekitar 40 orang
terdiri dari ibu-ibu muda dan beberapa orang istri pejabat termasuk Ibu Sri Subekti.
Yang paling menarik bagi Maryam terhadap Gerwani yakni Gerwani merupakan
organisasi yang anti poligami. Tentu saja anti poligami akan membuat Maryam
tertarik. Maryam pernah merasakan bagaimana Ibunya dipoligami oleh Ayahnya
sehingga Ibunya harus merelakan suaminya lebih banyak menghabiskan waktunya
dengan istreri mudanya. Maryam tidak ingin kejadian itu terulang lagi pada dirinya.
Pada bulan Januari 1961 terdengar kabar bahwa sang suami akan diberang-
katkan ke Manado (Provinsi Sulawesi Utara) beserta tiga orang temannya untuk

135
Sulawesi Bersaksi
mengikuti kegiatan Pemuda Rakyat selama 6 bulan. Sebelum sang suami berangkat
ke Manado, terlebih dahulu Ia berdiskusi dengan Isterinya. Bagi Abdul Rahman Dg.
Maselo sebelum mengambil keputusan berangkat ke Manado ia harus
memberitahukan kepada Istrinya, apalagi saat itu Maryam sedang mengidam anak
pertama mereka yang usia kandunganya diperkirakan sekitar 1 bulan. Tentu
kehadiran suami sangatlah dibutuhkan oleh Maryam selaku seorang ibu yang baru
merasakan pertama kali mengidam. Di samping itu sang suami juga mendiskusikan
tentang tugas mengajarnya yang akan dia tinggalkan selama 6 bulan. Dari hasil
diskusi pasangan suami istri tersebut akhirnya berujung pada satu keputusan yakni
Abdul Rahman Dg. Maselo akan mengajukan surat izin kepada Kepala Sekolah
tempat dia mengajar.
Enam bulan waktu yang harus dilalui Maryam dalam kondisi hamil tanpa
kehadiran sang suami. Sebelum berangkat, Abdul Rahman Dg. Maselo berpesan
kepada istrinya, Ma, tolong jaga bayi dalam kandungan itu baik-baik. Maryampun
melepas kepergian suaminya dengan linangan air mata serta iringan doa semoga
Tuhan selalu melindungi suaminya dan dirinya selalu diberi ketabahan dan
kesabaran menjalani perpisahan ini. Tuhan memang maha kuasa, dalam kondisi
hamil seperti itu, Tuhan mempermudah cara mengidamnya Maryam, sehingga
keinginan si jabang bayi tidak macam- macam. Mungkin juga si jabang bayi
menyadari bahwa bukan waktunya untuk minta yang macam-macam agar ibunya
tidak kerepotan mencari buah mangga dimusim durian atau ibunya mengidam
hujan di musim panas. Jalan satu-satunya Maryam menebus kerinduan terhadap
sang suami adalah menanti suratsurat dikirimkan sang suami yang berisikan
kondisinya selama berada di Manado.
Setelah 6 bulan lamanya Abdul Rahman Dg. Maselo berada di Manado,
akhirnya tiba saatnya kembali ke Sulawesi Tengah. Bahagia rasanya hati Maryam
menyambut kepulangan suami tercinta. Keadaan kandungan Maryam telah
memasuki bulan ke tujuh. Sekembalinya Abdul Rahman Dg. Maselo dari Manado
tidak membuat Maryam dapat sepenuhnya melewati hari-hari bersama dengan
suami. Maryam sangat memaklumi beban tugas dan aktifitas suaminya di di gerakan
Pemuda Rakyat harus dijalankan dengan segenap tanggung jawab. Oleh karena itu

136
Sulawesi Bersaksi
suami praktis tidak aktif lagi mengajar, tentu berpengaruh juga pada keadaan
ekonomi keluarga, sehingga pada suatu saat Abdul Rahman Dg. Maselo
memutuskan untuk berhenti menjadi guru dan akan lebih fokus pada kekiatan-
kegiatan organisasi. Maryampun harus siap menerima kenyataan gaji suaminya
akan terhenti sampai di sini sementara di kegiatan organisasi tidak ada gaji yang bisa
diharapkan. Keterlibatan Maryam di Gerwani sedikit telah membuka cakrawala
berpikir dan kepekaannya terhadap lingkungan, utamanya bagaimana mensiasati
hidup dengan berbagai macam keterampilan. Ilmu yang didapatkannya selama
menjadi anggota Gerwani membuat Maryam maklum dengan keputusan suaminya
berhenti menjadi guru. Rezeki Tuhan yang mengatur, manusia tinggal berusaha dan
beriktiar itulah kalimat yang menguatkan Maryam menjalani hidup. Tanggal 21
September 1961 Maryam melahirkan anak pertama, selanjutnya tanggal 1 Oktober
1963 anak keduapun lahir, dan anak terakhir lahir tanggal 14 Juli 1965 tanpa
menyaksikan bagaimana rupa Ayahnya sebab berselang lima bulan setelah kelahiran
yakni bulan Nopember 1965 sang ayah telah hilang entah dimana rimbanya.

DIMANA RIMBANYA JASAD SUAMIKU

Tahun 1963 Abdul Rahman Dg. Maselo dilantik menjadi ketua PKI Sulawesi
Tengah sebelumya dia menjabat sebagai ketua Priodik Front Nasional. Disebut
periodik karena jabatan ketua Front terus digilir setiap tahun. Sebelum jabatan ketua
PKI Sulawesi Tengah dipegang oleh Abdul Ragman Dg. Maselo terlebih dahulu
dipegang oleh Partowijoyo suami dari Sri Subekti yang juga menjabat Ketua
Gerwani. Pada tahun 1962 Partowijoyo bersama Istri dan keluarganya kembali ke
Jawa dan untuk menggantikan kepemimpinan Partowijoyo, maka ditunjuklah Abdul
Rahman Dg. Maselo untuk menduduki posisi jabatan tersebut. Sebagai Istri Ketua
PKI Sulawesi Tengah, Maryam sangat mendukung semua kegiatan-kegiatan yang
dilakukan oleh suaminya. Apalagi melihat semua program PKI selalu mendukung
program pemerintah dan selalu berpihak kepada rakyat kecil. PKI sangat tanggap
terhadap permasalahan rakyat kecil utamanya masalah perekonomian.

137
Sulawesi Bersaksi
Maryam tidak pernah menyangka, perjuangan yang dilakukan suaminya
dengan setulus hati membantu program pemerintah lewat gerakangerakan
Program PKI akan berujung pada tragedi yang berkepanjangan bagi dirinya,
suaminya, anak-anaknya, dan semua orangorang yang dicap sebagai PKI oleh
Pemerintah Orde Baru.
Masih terlintas jelas dipikiran Maryam serpihanserpihan tragedi yang terjadi
terhadap suaminya. Guratanguratan tragedi itu masih sangat jelas terlihat dari
tatap matanya dan desahan napasnya kala kisah itu terbayang kembali.
Seperti biasanya pada malam hari Abdul Rahman Dg. Maselo selalu jarang di
rumah. Kesibukannya sebagai Ketua PKI Sulawesi Tengah telah banyak menyita
waktu. Setiap hari sang suami bergelut di kantor dan terkadang kembali ke rumah
hanya untuk mandi dan ganti pakaian. Seperti biasanya, ketika suami tidak ada di
rumah, Maryam dengan telaten mengurus anak-anaknya. Seusai meninak bobokan
ketiga malaikat kecilnya, Maryam mulai menyetel satu-satunya benda antik
pemberian suaminya ketika itu yakni sebuah radio transistor merk Toshiba.
Sampai sekarang radio transistor tersebut; menurut anak pertamanya terlihat persis
radionya di rumahnya anak Umar Said. Dalam keheningan seperti itu tangannya
mulai aktif memutar tombol gelombang radio untuk mendengarkan siaran-siaran
atau lagu-lagu yang terdengar dari spiker benda antik tersebut. Sedang asik-asiknya
mendengarkan siaran radio, tiba-tiba rumahnya mulai dilempari orang. Kejadian itu
terus berulang berkali-kali. Maryam bingung apa sebenarnya terjadi. Selama ini baik
dia maupun suaminya tidak pernah berbuat kesalahan apalagi bersengketa dengan
para tetangga atau orang lain. Rasa takut tentu saja merasuki pikiran Maryam
utamanya keselamatan anak-anaknya, belum lagi ditambah sering pada malam hari
suaminya tidak ada di rumah. Bila kebetulan suaminya pulang, Maryam sering
bertanya kepada suaminya, Pa, kenapa rumah kita dilempar-lempar orang, apa
salah kita. Apa yang harus dijawab Sang suami sementara suaminya sendiri tidak
mengetahui apa-apa. Penyebab itu baru mulai disadari setelah mereka mendengar
lewat siaran radio bahwa telah terjadi peristiwa Gerakan 30 September yang
dituduhkan didalangi oleh PKI di Jakarta.

138
Sulawesi Bersaksi
Pada bulan Nopember 1965, Abdul Rahman Dg. Maselo pamit pada Maryam
kalau dia akan mengikuti rapat di Kantor Gubernur sekaligus untuk mencari tahu
apa yang sebenarnya terjadi. Maryam tidak pernah menyangka bahwa kepergian
suaminya ke kantor gubernur itu adalah hari terakhir bersama suaminya sebab
setelah itu Abdul Rahman Dg. Maselo tidak pernah balik lagi ke rumah. Berita
semakin simpang siur masuk ke telinga Maryam. Ada yang bilang suaminya telah
hilang, bahkan ada yang bilang sudah diganyang dan lain sebagainnya.
Upaya Maryam untuk mencari tahu keberadaan suaminya tidak pernah
berhenti. Sambil membawa anak pertamanya ia pergi menanyakan hal itu kepada
Bapak Gubernur Sulawesi Tengah di rumah jabatannya. Suatu ketika masih di bulan
Nopember 1965 tanpa disengaja Maryam sempat mengetahui kalau suaminya
ditahan di sebuah rumah di Jalan Sedap Malam. Entah itu rumah siapa, yang jelas
rumah itu dijaga oleh Polisi. Kala itu Maryam sedang mengajar di SDN 10 Palu, di
jalan Mawar. Ketika di Jalan Sedap Malam itu pula suaminya sempat mengisahkan
tentang perlakuan petugas terhadap dirinya; diperintahkan mandi malam dgn harus
menghabiskan sabun cap tangan. Kemudian dipindahkan lagi rumah
penahanannya ke Jalan Mawar tidak jauh dari tempatnya mengajar. Yang tak luput
ingatan dari anak pertamanya ketika mengantarkan bubur kacang hijau baik di Jalan
Sedap Malam maupun di Jalan Mawar; Sang Ayahanda menyuapkan bubur kacang
hijau yangg diantar itu juga ke anaknya. Sampai sekarang bila Sang Buah Hati
menikmati kacang hijau terbayang selalu kenangan itu.
Ketika sedang mengajar, Maryam sempat melihat suaminya bersama tiga orang
temannya yaitu Sunaryo dan Ruswanto digiring oleh Polisi. Menurut informasi yang
didengar Maryam bahwa suaminya akan dibawa ke kantor CPM. Perasaan hati
Maryam menjadi kacau balau tak menentu, Maryam mulai cemas dan menangis
takut kalau terjadi apaapa dengan suaminya apalagi dia telah mendengar kabar
kurang baik tentang orang-orang yang ada hubungannya dengan PKI.
Semenjak Abdul Rahman Dg. Maselo ditahan di penjara Maesa hanya satu kali
Maryam dan anak-anaknya diberi kesempatan untuk menjenguk suaminya. Masih
terbayang oleh anak pertamanya; saat itu penjara Maesa Palu di pagar tinggi
dengan kawat berduri dan masih jelas kenangan anak pertamanya bagaimana si

139
Sulawesi Bersaksi
bocah itu disuruh membawakan sebuah sajak yang dikarang Bapaknya sendiri
dengan judul Aku anak rakyat proletar lalu ditanyakan makan apa di rumah,
dengan tanggap si bocah menjawab Makan sayur palola talebe poge
maksudnya: sayur terong dan tepung beras jagung. Selama berada di penjara, baik
penjenguk maupun tahanan dilarang oleh petugas berbicara terlalu lama.
Kesempatan pertemuan itu menjadi sangat berharga bagi Maryam untuk
menyampaikan keluh kesahnya kepada suaminya. Di pertemuan yang singkat itu
Maryam berkata pada suaminya Pa, saya sempat dengar siaran di radio katanya
orang PKI tidak bisa hidup di Indonesia lagi, jadi kalo orang PKI tidak bisa hidup di
Indonesia lagi jadi mo kemana lagi kita,? Ucap Maryam lirih dengan deraian air
mata sambil mengelus kepala anak ketiganya yang masih balita di gendongannya.
Abdul Rahman Dg. Maselo begitu merasakan kesedihan hati istrinya apalagi melihat
keadaan anak-anaknya yang sangat membutuhkan kehadiran seorang ayah. Lalu
dengan suara sendu Abdul Rahman Dg. Maselo berkata pada Mariam, eh.,.
Mamatemo ri Indonesia yaku (mati di Indonesia saja saya), kalau saya mati nanti
dikuburkan dekat saya punya bapak, jaga saja anak-anak dengan baik-baik, jadilah
kau ibu sekaligus ayah bagi mereka.
Tahun 1966, Maryam ditahan dan ditempatkan di rumah jalan Matahari No.
D 44. Penahanan itu berlangsung cukup lama. Pada masa Maryam ditahan bersama-
sama teman Gerwani lainnya. Pada bulan Desember 1966 sebuah mobil jeep CPM
membawa para Tapol termasuk Sang Suami Tercinta dari Penjara Maesa Palu
menuju Penjara Donggala untuk dipindah penahanannya, pada saat itu mobil CPM
tersebut datang di tempat penahanan Maryam. Mobil tersebut membawa beberapa
orang Tapol termasuk Abdul Rahman Dg. Maselo. Pertemuan terakhir yang sangat
memilukan dan takkan pernah dilupakan oleh Maryam dan anak pertamanya yang
kebetulan dikaruniai Allah SWT dengan ingatan yang cukup tajam padahal ketika
itu masih berumur 5 tahun. Bagaimana tidak, pertemuan itu ternyata adalah
pertemuan terakhir dengan suaminya. Suasana pilu jelas terlihat saat itu, dengan
penuh kesedihan Abdul Rahman Dg. Maselo memeluk Maryam dengan seerat-
eratnya, setelah itu kemudian Ia mencium dan memeluk ketiga anak-anaknya satu
demi satu yakni yg pertama: bocah laki-laki baru berumur 5 tahun, lalu yang kedua

140
Sulawesi Bersaksi
bocah perempuan baru berumur 3 tahun dan anak yang terakhir bayi laki- laki saat
itu baru berumur 5 bulan; sembari berpesan kepada Maryam Ma, Tolong kau jaga
baik- baik anak kita, tidak banyak kata kata yang terucap dari bibir suaminya.
Pertemuan terakhir yang singkat. Hati Maryam begitu pilu, isak tangisnya tumpah,
pedih dan sakit semakin bertambah ketika menyaksikan anak pertamanya berlari
mengejar mobil tahanan yang membawa pergi ayahnya sambil berteriak mengejar
Papa papa, saya ikut, papa papa saya ikut. Suasana pilu itu tidak hanya
dirasakan oleh Maryam dan anaknya akan tetapi juga dirasakan oleh para tertangga
yang turut pula menangis dan tahanan lainnya yang melihat kejadian ini. Karena
perpisahan yang cukup tragis itu akhirnya Sang buah hati yang meraung minta ikut
Papa, jatuh sakit panas tinggi hingga mata tinggi(Step). Sang Buah hati yang
sakit sambil memeluk foto Papanya terbawa dalam tidur. Foto Papanya saat itu tak
pernah jauh dari tempat tidurnya. Karena hanya itu satu-satunya obat kerinduan
pada Ayah tercintanya yangg selama ini biasa diajak Ayahnya ke pertemuan-
pertemuan antara lain: Gedung Pera, Lapangan Gor, dan Kantor Gubernur.
Selama dalam masa tahanan di Donggala Abdul Rahman Dg. Maselo sempat
mengirim surat kepada Maryam yang isinya Ma, coba kau pigi sama CPM itu, dan
katakan torang mogok makan di sini, Itu surat terakhir sang suami kepada
Maryam, jiwa berontak Abdul Rahman Dg. Maselo dan beberapa temanya sangatlah
beralasan. Selama mereka berada di tahanan Donggala, mereka mendapatkan
perlakuan yang semena-mena, jarang diberi makan dan kerap mendapatkan
penyiksaan fisik. Sebagai tanda protes merekapun mogok makan dan menuntut agar
dipindahkan di penjara Palu. Pernah sekali kemenakannya (anak dari Kakak tertua
Abd.Rahman Daeng Maselo) pergi ke Penjara Donggala dengan menyeberang laut
teluk Palu dari Tawaeli ke Donggala membawa makanan dan pakaian titipan dari
Ayahnya dan saudara lainnya. Ketika itu anak pertamanya ingin ikut juga sambil
merengek minta ikut ketemu Papa tapi sayang permohonan sang bocah tak
dikabulkan oleh Kakak sepupunya karena mengingat perjalanannya sangat
menantang; terpaksa hanya kecewa dan tangisan dilakukan sang bocah usai reda
tangisannya karena tak dihiraukan maka sang bocah saat itu baru berumur 6
tahun sambil bernyanyi Saya ini anak nakal bikin susah hati Ibu nanti saya ambil

141
Sulawesi Bersaksi
batu saya lempar rumahmu lalu melempar dinding rumah Kakeknya dengan batu;
akhirnya tantenya dan saudara sepupunya yang sudah agak dewasa membujuk
dengan lembut maka luluhlah hati sang bocah yg. ingin cari perhatian.
Pada bulan Mei 1967 Maryam mendengar kabar bahwa suaminya dikirim
keluar negeri, dan ada pula yang mengatakan kalau suaminya disembunyikan dan
ada kabar yang paling menyedihkan yang mengatakan bahwa suaminya telah
dibunuh di Vatusampu. Maryam tidak bisa berbuat apa-apa, banyak orangorang
yang menangis mendengar kabar itu. Bagi mereka Abdul Rahman.Dg Maselo adalah
orang yang sangat baik, orang yang banyak memperjuangkan hak-hak mereka,
apalagi kala itu dia termasuk penyanyi idola lokal dalam musik keroncong
terkadang tampil menyanyi di RRI Palu untuk mengisi acara. Air mata Maryam
tumpah membasahi tanah Ibu pertiwi, dirangkulnya anak-anaknya, bait-bait doa
terucap lirih dari bibir sang Istri memohon kepada Allah SWT agar suaminya
dibukakan jalan yang selapang-lapangnya, agar dirinya tetap diberi kehidupan dan
kekuatan untuk menjaga dan membesarkan anak-anaknya sang buah hati tercinta
yang telah ditinggalkan oleh Ayahnya, serta memohon kepada Allah jikalau
memang suaminya telah dibunuh mohon dipertemukan dengan jasadnya.

TEGAR MENJALANI HIDUP


Rutinitas hidup yang dijalani Maryam terus berjalan, roda kehidupan yang
menghimpit hati, mendera jiwa dan menguras air mata dijalani Maryam dengan
penuh ketabahan. Jalan panjang mencari keberadaan suaminya tidak pernah
menemukan titik terang. Siang dan malam Maryam selalu berdoa kepada Sang
Pencipta semoga suaminya diampuni semua kesalahannya dan diterima segala amal
perbuatannya dan dirinya terus diberi kekuatan untuk membesarkan ketiga anak
anaknya. Pesan terakhir yang disampaikan Abdul Rahman Dg. Maselo kepada
Maryam melalui surat di bulan Mei tersebut menjadi sumber energi penyemangat
agar tidak terus-menerus tenggelam dalam lautan kesedihan. Dalam hati kecil
Maryam telah tumbuh sebuah Ikrar bahwa dia akan mempertaruhkan hidupnya
menjadi ayah sekaligus ibu bagi ketiga buah hatinya. Menjadi Ayah sekaligus ibu
bagi ketiga buah hatinya bukanlah hal yang mudah, berkali kali Maryam dan anak-

142
Sulawesi Bersaksi
anaknya pindah tempat tinggal. Dari Jalan Sudirman, ada pihak tertentu
memanfaatkan situasi dengan berbagai alasan agar kami sekeluarga termasuk Ibu
dan saudara kandung lainnya mendesak agar membongkar rumah karena mereka
mengaku bahwa itu watas mereka padahal watas itu bagian dari Bapak Tiri Maryam;
lalu membangun lagi rumah di watas saudara Ibunya juga di jalan Sudirman yang
akhirnya Maryam sekeluarga pindah di belakang kampus Untad (Universitas
Tadulako) Jalan Setiabudi Palu. Usaha warung kecil-kecilan menjadi pilihan hidup
Maryam. Ada bermacam barang-barang campuran terpajang di warung kecil milik
Maryam. Oleh karena warung itu berada di belakang kampus, maka pisang goreng
dan kopi susu, nasi kuning, dan beberapa jenis kue basah menjadi laris manis dan
selalu diserbu oleh pembeli utamanya anak-anak mahasiswa. Bersama ketiga anak
roda hidupnya terus berputar. Tekad untuk menyekolahkan anak-anaknya menjadi
tujuan hidupnya dan begitupun anak-anaknya sangat paham betul akan duka derita
yang dialami ibunya. Hal itu juga yang membuat ketiga anakanaknya tidak pernah
malu berkeliling kota Palu mejajakan kue buatan ibunya. Sang anak sulung saat itu
sudah merasa bahwa dia harus ikut melindungi Ibunya dan membantu apapun
perintah ibu; sampai-sampai mencari kayu bakar, ikut mencari pelepah daun kelapa
dibuat pagar, dinding dapur di bawah hutan pohon kelapa. Sering kerinduan pada
sang Ayah menyesakan dada si anak sulung untuk melepas himpitan kerinduan
si anak sulung dia berteriak menyanyi di bawah hutan pohon kelapa sembari
mencari kelapa yang jatuh atau kayu bakar untuk Ibu tercintanya; suaranya
menggema mendayu-dayu terkadang sambil menangis dia melantunkan lagu yang
mengiris hati sambil berharap andaikan aku pulang sudah bebas Papa dari tempat
mana dia berada dan tiba di rumah. Teriakan dan lengkingan suaranya itu sangat
membantu melegakan dada serta selalu berharap bertemu Papa tak pernah pupus
saat itu. Karena isu berkembang yang belum pasti selalu berada di antara hidup dan
kenyataan. Sering sambil jualan kue keliling si anak Sulung memungut Koran dan
dibaca satu demi satu dengan harapan ada berita Papanya yang sudah dianggap
hilang; juga sangat gemar mendengarkan radio luar negri berbahasa Indonesia
dengan penuh harap mendapat kabar berita sang Ayah tercinta. Sungguh apa
yang dikatakan suaminya dulu memang benar bahwa Rezeki Tuhan yang

143
Sulawesi Bersaksi
mengatur, manusia hanyalah berusaha dan beriktiar. Seorang diri Maryam
membesarkan dan menyekolahkan anak-anaknya. Terkadang ada kiriman beras dan
sedikit uang dari patungan kawan-kawan Sang Suami yg. dipekerjakan di luar
penjara sebagai tahanan politik. Kadang-kadang ada bantuan uang, sandang dan
pangan dari Mertua di Tavaeli. Pernah suatu ketika Si anak Sulung menghadap
Kakeknya (Ayah dari Abdul Rahman Daeng Maselo). Kejadian itu terjadi ketika ia
baru tamat SD; karena menghadapi kenyataan yang ada sangat sulit Si anak
sulung melaporkan bahwa dia mau berhenti sekolah saja biar lebih tekun mencari
nafkah membantu Mama. Tapi apa kata kakeknya Lebih baik saya berhenti makan
ikan di Tavaeli asal kamu tetap sekolah di Palu. Cita-cita Maryam untuk
menjalankan amanah suaminya adalah cara Maryam untuk membuktikan segala
bentuk cinta kasihnya kepada almarhum suaminya. Cinta Maryam kepada Abdul
Rahman Dg. Maselo akan terus abadi dan dibawa sampai mati. Walaupun
sebenarnya dulu ada seorang Kapten yang menaruh hati pada Maryam dan ingin
memperistri namun Maryam tidak bersedia. Juga dari pihak keluarga Bugis
(Ayahanda Maryam) ingin menjodohkan dengan keluarga mereka karena rasa ingin
membantu tapi tetap ditolak oleh Maryam; karena dia takut akan kasih sayang
seorang bapak tiri tidak akan sebanding dengan ayah kandungnya; dia lebih
mementingkan kepentingan anaknya bila dibanding kepentingan dirinya sendiri.
Ingatan Maryam pada suaminya yang direnggut penguasa orde baru secara tragis
semakin mengokohkan cinta Maryam kepada almarhum suaminya dan tidak akan
lekang diterpa badai kehidupan.
Gagarisman adalah nama anak pertama Maryam. Mengenyam pendidikan di
bangku STM, berkat kecerdasan yang dimilikinya setelah tamat diutus oleh
sekolahnya kuliah ke PMS- ITB Bandung untuk melanjutkan pendidikan khusus
keterampilan mesin selama 3 tahun (setiap enam bulan kuliah di Bandung enam
bulan berikutnya peraktek mengajar di STM Palu lalu ke Bandung lagi dan
seterusnya sampai selesai enam semester lalu di Wisuda di Bandung pada bulan
Januari 1986). Setelah tamat Gagarisman diangkat menjadi PNS sebagai seorang
guru. Menjadi anak seorang PKI pada masa itu tidaklah mudah. Berbagai macam
bentuk diskriminasi kerap menghantui jalan hidupnya. Diskriminasi oleh Negara

144
Sulawesi Bersaksi
bahkan sampai pada diskriminasi oleh masyarakat berupa sindiran-sindaran yang
tidak enak didengar yang menyakitkan hati. Sindiran yang diterima Gagar dari
atasannya dan teman-teman guru seniornya membuat Gagar memutuskan
mengundurkan diri menjadi guru. Apalagi proses mutasinya dari Guru STM Luwuk
menjadi Tata Usaha di SMEA Buol pada kolom keterangan surat mutasinya itu
dicantumkan bahwa yang bersangkutan adalah anak Gembong PKI. Baginya lebih
baik mengundurkan diri dari pada kesalahan diri pribadinya selalu dikaitkan
dengan Ayahandanya yang sangat dirindukannya di mana sangat tidak masuk akal
sehat. Sebagai seorang anak PKI harus dikucilkan dan didiskriminasikan juga.?
Betul-betul ini adalah penghancuran karakter dan proses melenyapkan generasi
anak PKI yang sangat tidak paham apa dan di mana salahnya. Selanjutnya
Gagarisman melamar pekerjaan di perusahaan swasta yang ada di Luwuk; beberapa
bulan kerja kemudian akhirnya keluar karena upahnya tidak sesuai. Lalu merantau
ke Kalimantan Timur dan bekerja di salah satu perusahaan BUMN, lalu pindah lagi
di Perusahaan Kayu Lapis di Samarinda. Selama di Kalimantan isterinya
membuahkan hasil dua orang anak dan satu lagi lahir di Palu dari hasil
perkawinannya. Selang beberapa tahun kemudian pulang kembali ke Palu
berwiraswasta (berdagang dan sembunyi-sembunyi jadi tukang ojek) lalu sambil
kerja sebagai tenaga Guru Ganti honorer di SMP. Beberapa tahun kemudian dengan
perasaan berat hati Gagarisman berangkat sendiri meninggalkan seluruh
keluarganya termasuk anak Isterinya demi mencari nafkah ke Kalimantan Selatan
(Desa Asam-asam) sebagai koordinator tenaga kerja di perusahaan tambang batu
bara. Karena suasana kerja tidak kondusif setahun kemudian pindah ke Kalimantan
Timur sebagai tenaga wirausaha di multi level yang akhirnya ada panggilan ke
Jakarta menjadi presenter di salah satu perusahaan multi level. Rupanya beberapa
bulan kemudian perusahaan yang diharapkan untuk tempat mencari nafkah bubar.
Sekarang melanglang buana di Jakarta dengan cara kerja freelance tanpa jelas
penghasilan setiap bulannya sambil menungggu sedikit dananya yang pernah di
investasikannya di salah satu perusahaan di Jakarta.
Lina, anak kedua Maryam adalah tamatan SMEA; setamatnya bekerja di Perumtel,
pada tahun 1985 harus mengikuti Susbintal (Kursus Bimbingan Mental) utusan

145
Sulawesi Bersaksi
Perumtel Sulawesi Tengah ke Cimahi Bandung. Anak kedua Maryam tersebut
akhirnanya harus dipecat dari pekerjaannya karena dianggap kalau dia
memanipulasi data kepegawaian, karena ada orang yang mengatakan bahwa
Bapaknya bukan meninggal dunia tetapi hilang, sementara data yang dimasukan
menyatakan kalau Bapaknya telah meninggal dunia. Akhirnya sekarang Lina bekerja
sebagai Baby Sister dirumah seorang polisi sambil menjadi Ibu rumah tangga
mengasuh anaknya sebanyak 6 orang.
Anak ketiga bekerja di Kehakiman, Namanya Gamal, terpilih untuk mengikuti AKIP
(Akademi Ilmu Pemasyarakatan) di Jakarta. Belum berapa lama Gamal mengikuti
pendidikan akhirnya identitasnya sebagai anak seorang PKI menjadi permasalahan.
Bersyukur permasalahan itu tidak membuat Gamal sampai dikeluarkan dari
pendidikan. Usai menyelesaikan pendidikanya, Gamal ditempatkan di Penjara
Maesa tempat Ayahnya pernah di tahan dulu, dan selanjutnya dipindah tugaskan di
Rutan Gorontalo, dan kini menjadi kepala Rumah Bahan Sitaan Negara (Rubasan)
Palu.
Di usianya yang semakin senja, Maryam terus saja menjadi sosok yang tabah
dan tegar menjalani hidup. Jiwa organisasinya tidak pernah padam. Dalam hati dan
jiwa yang terdalam Maryam tidak pernah berhenti menyematkan untaian doa
kepada Allah SWT untuk suaminya Abdul Rahman Dg. Maselo sang Pujangga telah
kembali ke rahmatullah tanpa pusara.

Hikayat Cinta Mariam Tak Bertepi Untuk Suaminya,


Untuk Anak-Anaknya Dan Untuk Negerinya
Walau Negeri Ini Telah Memasung Keadilan Untuk Dirinya dan Anak-Anaknya. !!!
***

Pewawancara: Netty & Ella.


Penulis: Alamsyah. AK. Lamasitudju dan Gagarisman.
(Direktur Lembaga Selimut Anak Bangsa Sulawesi Tengah ( L-SAB Sulteg ).

146
Sulawesi Bersaksi
Muhammad Said Baharudin

32 TAHUN DITAHAN ORDE BARU


Pagi ini tidak berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya. Setelah sholat subuh, Bahar
menyalakan kompor untuk memasak air. Sedikit saja, cukup untuk membuat segelas teh
manis. Sambil menunggu air, dia mempersiapkan teh dan gula dalam gelas. Menakar beras
setengah liter untuk dimasak, cukup makan satu hari. Dia tinggal sendiri di rumah, anaknya
sudah membelikannya alat memasak nasi eletronik. Tinggal nanti dia akan menunggu
penjual sayuran yang biasa lewat di depan rumahnya, untuk membeli sayuran, ikan ataupun
yang lainnya.
Setelah menyimpan beras di penanak nasi listriknya, kemudian dia duduk untuk menikmati
teh sambil menonton televisi. Itulah kebiasaanya, kalau tidak ada tamu ,tidak seperti halnya
hari ini. Seorang pewawancara mengunjunginya. Ia menceritakan perjalanan hidupnya
dengan lancar, bersemangat, terhentak-hentak, sesekali tertegun, seperti menahan pukulan di
dalam hatinya.

Semangat memihak orang miskin tumbuh sejak kecil


Namaku Muhammad Said Baharudin, lahir di Siwa Kabupaten Wajo Sulawesi
Selatan 3 Agustus 1937. Bapakku bernama Nurung dan ibuku bernama Wangi. Asli
dari Siwa, pekerjaannya sebagai petani. Aku anak bungsu dari 4 bersaudara, 2 laki-
laki dan 2 perempuan.

Ketiga saudaraku tidak ada yang bersekolah, hanya aku yang bersekolah. Aku lulus
sekolah di Sekolah Rakyat (SR) Negeri di Siwa tahun 1950. Dari kelas satu sampai
kelas dua SR waktu itu tahun 1944-1945, setiap hari kami harus membawa sayur
kangkung (ransum) dan siput (keong) untuk tentara Jepang yang berjaga. Satu tahun
sebelum Indonesia merdeka.

Lulus SR kemudian aku melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP)


Muhammadiyah di kabupaten yang berbeda yakni di Pare-pare tahun 1951. Tinggal
dengan kakak laki-lakiku yang merantau, buka usaha menjahit pakaian. Kenapa aku

147
Sulawesi Bersaksi
harus ke Pare-pare bukan di Wajo saja? Karena waktu itu sedang panas-panasnya
kejadian gerombolan yakni pasukan Kahar Muzakkar di Wajo, maka akses untuk ke
sana sangat rawan. Hingga tidak ada hubungan antara Siwa dengan ibukota Wajo.

Baru 2 tahun bersekolah, pada bulan 2 tahun 1954 aku melamar bekerja di Pare-pare
sebagai pegawai sipil di Angkatan Darat. Tidak disangka, aku lulus dan mulai
ditugaskan bulan Desember di Sengkang Kabupaten Wajo. Meskipun jauh dari Siwa
tapi masih satu Kabupaten. Baru pertama masuk aku pakai ijasah SD, dapat
golongan A. Lalu aku ikut ujian persamaan SMP dan lulus. Setelah ada ijasah SMP
golongannya naik menjadi golongan 2 C.

Sejak bulan Desember tahun 1954, aku resmi bekerja di Wajo sebagai Kepala Kantor
Pegawai Sipil Angkatan Darat. Berkantor di kantor Kodim 1409 Sengkang,
kabupaten Wajo. Kesatuanku namanya Ajend (Ajudan Jendral).
Di tahun yang sama juga ada operasi militer untuk memberantas pemberontakan
DI/TII Kahar Muzakkar di Wajo. Pasukannya didatangkan dari Jawa yakni pasukan
Brawijaya dan pasukan Dipenogoro Jawa Tengah yang sering kami sebut tentara
Jawa. Saat itu bisa dibilang yang menguasai Sulawesi Selatan adalah pasukan
Brawijaya.
Ketika dilakukan operasi penumpasan Kahar Muzakkar tahun 1954, tahu-tahu suami
dari kakak perempuanku ikut ditangkap oleh tentara Jawa dan dimasukan ke
penjara. Seharusnya pada waktu itu tidak ada lagi anak buah Kahar, karena setelah
diperiksa langsung saja ditembak di jembatan, tidak ada yang hidup. Lalu aku
datang membesuk, kasih rokok dia di penjara. Karena kupikir juga para tentara di
sana sudah kenal dan tahu apa pekerjaanku, maka tidak akan ada masalah.
Tapi pada saat aku akan pulang, tiba-tiba aku ditempeleng sama tentara Jawa
karena dia kira aku gerombolan juga. Disangka orangnya DI/TII apalagi katanya
iparku masuk juga di situ, bahkan punya jabatan. Lalu aku jelaskan situasinya,
akhirnya aku dibebaskan.
Dari sekian banyak tentara itu ada orang PKI, paling kurang satu pleton, sejak
mereka tahu pekerjaanku, mereka memberi aku buku-buku tentang komunis, juga

148
Sulawesi Bersaksi
majalah-majalah Bintang Merah. Ternyata ada juga pegawai sipil di Wajo, yang
kemudian masuk militer simpatisan PKI namanya M. Anas. Kemudian setelah aku
mengenalnya aku disarankan masuk Pemuda Rakyat, karena prosesnya tidak bisa
langsung masuk partai.
Awalnya memang aku hanya takut atas keselamatan keluargaku terkait
tertangkapnya suami kakakku sebagai anggota pasukan Kahar Muzakkar. Untuk
menyelamatkan keluarga supaya tidak diganggu, terpaksa aku baca juga majalah-
majalah yang mereka berikan.
Setelah aku pelajari dan membaca program-programnya, ternyata salah satu tugas
Pemuda Rakyat adalah membantu memperjuangkan nasib kaum buruh, kaum tani.
Diatur jelas dalam program anggaran dasarnya, untuk memperjuangkan pemuda,
tidak boleh ada melakukan penghisapan manusia atas manusia, contohnya sistem
ijon, tidak ada diskriminasi. Aku mulai tertarik dan bersemangat bergabung untuk
memperjuangkan agar praktek-praktek itu hilang. Salah satu caranya adalah para
pemuda-pemuda tani mendatangi para petani untuk memberikan pemahaman
tentang hak-hak mereka. Satu tahun kemudian aku diangkat menjadi ketua Pemuda
Rakyat.
Lalu menjelang pemilihan umum tahun 1955, Partai kami mengundang salah
seorang anggota parlemen yang namanya ibu Salawati Daud yang juga anggota DPR
RI. Dia juga anggota Gerwani. Kami mengundangnya ke Sengkang Wajo untuk
berkampanye, yang diadakan di gedung bioskop.
Yah waktu itu Sengkang sudah punya gedung bioskop meskipun untuk ukuran
sekarang sangat sederhana. Bangku-bangkunya terbuat dari kayu, cukuplah untuk
memberikan hiburan bagi kami yang belum bisa menikmati siaran televisi.
Pemutaran filmnya hanya bisa dilakukan satu hari sekali.
Tahun 1957 aku menikah dengan seorang perempuan kelahiran Sangguminasa
Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan yang bernama Andi Sudiharti Petabaji. Kami
dijodohkan oleh neneknya karena memang masih ada hubungan keluarga. Usianya
lebih tua 5 tahun dari aku, tapi istriku itu cantik. Makanya aku langsung setuju
ketika dijodohkan. Kami dikaruniai dua orang anak perempuan, yang pada akhirnya
tidak pernah bisa aku rawat. Anak pertama lahir tahun 1961, kami beri nama Andi

149
Sulawesi Bersaksi
Tati. Anak kedua lahir tahun 1965, 40 hari sebelum peristiwa G 30 S. Kami beri nama
Andi Ani.
Setelah aku kenal dengan pimpinan-pimpinan partai, ada yang namanya Samsudin,
ada namanya Bahtiar, Paga Nappa. Pada tahun 1959 aku resmi masuk PKI,
disumpah di depan ketua partai setempat dan langsung diangkat menjadi wakil
ketua. Sebutannya bukan ketua dan wakil ketua, tapi sekretaris 1 dan sekretaris 2.
Sekretaris 1 waktu itu bernama Paga Nappa. Tidak ada bendahara atau apapun,
cuma dua jabatan saja yang dilaporkan kepada pemerintah pusat. Sejak itu juga aku
tidak lagi menjabat ketua pemuda rakyat, langsung diserahkan ke teman yang lain
yaitu Andi Anis
Tapi tetap saja aku langsung merangkap jabatan, karena aku juga langsung diangkat
menjadi ketua BTI (Barisan Tani Indoensia). Kemudian aku juga dimasukkan dalam
suatu lembaga pemerintah yang namanya landreform dan aku diangkat sebagai wakil
ketua. Sedangkan ketuanya pada waktu itu adalah Bupati yang bernama H. Andi
Unru berdasarkan undang-undang karena jabatannya. Di dalam lembaga landreform
ini ada 3 aliran disitu,yakni NASAKOM. Nasionalis (PNI, Partindo, IPKI), Agama
(NU, Masumi, Perti, PSII), dan Komunis.
Bulan Juli 1965, ada Musyawarah Besar (MUBES) tani seluruh Indonesia yang
dilaksanakan di Senayan Jakarta. Utusan dari Sulawesi Selatan waktu itu ada 500
orang, yang tergabung dengan nama Front Nasional adalah lembaganya partai-
partai dan ormas-ormas. Aku menjadi wakil panitia delegasi. Acara dibuka oleh
Bung Karno. Salah satu gagasan yang tercetus di dalam musyawarah tersebut perlu
dibentuknya Angkatan Kelima. Jadi ada angkatan darat, laut, udara, kepolisian dan
angkatan kelima yang terdiri dari buruh dan tani sebagai soko guru revolusi. Dan
harus dipersenjatai. Ini adalah gagasan PKI.

Sebelum ke Jakarta sebenarnya aku kena musibah, dikeroyok oleh satu pleton orang-
orangnya Bupati. Alasan pengeroyokan karena aku memperjuangkan tanah dari 60
orang kepala rumah tangga. Memang tanah itu tanah negara tapi dalam Undang-
undang Pokok Agraria tahun 60 dinyatakan bahwa tanah yang sudah digarap oleh

150
Sulawesi Bersaksi
rakyat selama kurang lebih 7 tahun harus disertifikatkan atas nama mereka. Aku
membantu memperjuangkan itu, karena itu aku dikeroyok dan dipukuli.
Makanya oleh ketuaku di Wajo, aku harus banyak mengikuti kegiatan-kegiatan
partai di Jakarta untuk membakar semangatku. Karena ditakutkan setelah kejadian
pengeroyokan itu aku menjadi patah semangat. Padahal tidak juga, karena aku
sendiri sudah mulai menikmati peranku sebagai aktivis partai. Semangatku terus
tumbuh untuk terus belajar dan mengikuti alur peranku baik di partai maupun di
masyarakat.

Waktu itu aku memang termasuk yang paling muda di jajaran pimpinan tapi sudah
menikah. Selama di Jakarta aku diajak keliling ke kantor-kantor duta besar Cuba,
Korea Utara, Vietnam. Salah satu kegiatannya adalah nonton film-film perjuangan
mereka dalam merebut kemerdekaan negara-negara itu. Tujuannya untuk
membuatku tetap semangat, walaupun ada perlawanan.

Tanggal 18 September aku kembali ke Sengkang, Wajo. Pada peringatan Hari Tani
tanggal 24 September, aku bicara di lapangan membawakan pidato tentang Hari
Tani Nasional. Pada kesempatan itu aku singgung juga soal Angkatan Kelima.

Pada tanggal 30 September 1965 pecahlah peristiwa G 30 S, di Jakarta. Aku masih


bekerja seperti biasa, karena memang belum ada berita apapun. Beberapa hari
kemudian ada perintah dari Presiden Soekarno kepada semua pihak untuk tetap
tenang dan tidak melakukan reaksi apapun.

Dipenjarakan tanpa diadili.


Dua minggu setelah kejadian, waktu hari Senin setelah pelaksanaan apel pagi. Tiba-
tiba aku dipanggil oleh pengawal Komandan Kodim, untuk menghadap Komandan
di mana aku menumpang berkantor. Waktu itu komandannya bernama Mayor Haji
Ali Idru.

151
Sulawesi Bersaksi
Sedikitpun tidak terbersit dalam pikiranku apa yang akan aku alami selanjutnya
yang merupakan akhir dari kebebasanku. Tidak ada tanda-tanda sebelumnya, hanya
saja waktu upacara pagi itu Komandan menegaskan bahwa tidak pandang bulu,
siapa-siapa saja yang terlibat G 30 S, akan dihabiskan. Sementara aku sendiri tidak
berpikir kalau itu akan dikaitkan dengan aktivitasku sebagai aktivis partai.

Ketika menghadap tidak di ruangannya tapi di depan lapangan tempat upacara.


Aku berlaku seperti biasa saja, tidak ada gerakan hormat mengangkat tangan. Aku
hanya ketawa-ketawa, dan biasanya memang begitu ketika aku bertemu dengan
beliau.

Tapi tiba-tiba dia langsung memukul perut dan pundakku hingga terjatuh. Tanpa
memberi kesempatan aku bangun dan bertanya, dia juga langsung menendang
dengan sepatu tentaranya. Dia membuatku seperti bola, aku terus bertahan dan
berteriak-teriak sakit. Semuanya terjadi sangat cepat, aku masih bisa melihat orang-
orang yang berkantor di sekitar lapangan ke luar menontonku. Ada kantor daerah,
ada rumah sakit umum, ada kantor polisi, ada kantor veteran. Alasannya karena aku
dianggap PKI, pasti mengetahui rencana gerakan itu, apalagi aku termasuk unsur
pimpinan.

Akhirnya ketika aku sudah mulai tidak bergerak, dipanggillah anak buahnya.
Namanya Andi Madilangka untuk membantuku berdiri. Inilah titik awal, aku tidak
lagi menjadi orang bebas. Aku dimasukkan ke dalam pos monyet istilahnya, tempat
penjagaan narapidana di kantor Kodim. Ada dua pintu masuk dan pintu keluar,
luasnya 2 x 3 meter.

Tidak berapa lama kemudian datang Kepala Daerah, Komandan Kodim, Kepala
Kepolisian, Kepala Pengadilan yang tergabung dalam Panca Tunggal. Anggota yang
kelima adalah pimpinan Fron Nasional yang terdiri dari unsur Nasionalis, Agama
dan Komunis. Jabatan pimpinannya berganti setiap tahun dan bergilir dari setiap
partai yang menjadi anggotanya. Kebetulan pada waktu itu yang menjadi ketua Fron

152
Sulawesi Bersaksi
Nasional (FrontNas) adalah sekretaris 1 PKI, Paga Nappa. Aku berharap ada yang
membelaku saat itu, paling tidak membicarakan jalan keluar yang terbaik sebagai
ketua partai. Tapi ternyata dia tidak pernah datang, awalnya aku kecewa.
Mungkinkah aku dikhianati oleh temanku sendiri. Aku mencoba berpikir positif,
mungkin dia tidak tahu masalahku di sini. Atau jangan-jangan dia sendiri sudah
ditangkap lebih dulu dari aku.

Akhirnya nasibku ditentukan oleh empat orang yang datang dan rapat di dalam
Kodim itu. Kurang lebih satu jam rapat di dalam, lalu aku langsung dibawa ke
penjara dan tidak kembali ke rumah lagi. Tanpa surat perintah, tanpa apapun aku
dimasukkan ke penjara Sengkang Kabupaten Wajo. Alasannya karena aku orang
PKI. Aku dibawa menggunakan mobil patroli Kodim, jarak ke penjara sekitar 300
meter. Aku sendiri belum bisa berjalan tegap karena masih merasakan sakit-sakit di
seluruh badan akibat perbuatan Komandan.

Kebetulan di tempatku bekerja hanya aku sendiri orang PKI. Aku seperti berada di
tempat asing, dengan orang-orang yang tidak aku kenal. Padahal bertahun-tahun
aku mengenal mereka dan mereka pun sudah mengenalku. Hari itu tidak ada lagi
persaudaraan dan persahabatan yang selama ini kami bangun, yang ada hanya
pancaran kebencian.

Pikiranku saat itu hanya satu, bagaimana dengan anak istriku di rumah. Semoga
semua baik-baik saja. Kakiku tak sanggup berdiri. Selain karena akibat dipukul oleh
komandan Kodim, aku juga merasa tidak berdaya memikirkan nasib keluargaku.
Mereka tidak tahu aku sudah dipenjarakan, tidak tahu kapan bisa bebas.

Di penjara aku bertemu dengan orang-orang yang sudah aku kenal. Ada 5 orang
yang ditangkap karena dianggap pimpinan-pimpinan baik partai maupun organisasi
simpatisan, tentu saja aku termasuk di dalamnya. Saat itu aku menjabat sekretaris 2
partai, ketua Barisan Tani Indonesia (BTI), wakil Lembaga Landreform. Sekretaris 1

153
Sulawesi Bersaksi
partai Paga Nappa, tapi beliau masih di rumah sakit. Ketua Pemuda Rakyat Andi
Anis, sekretaris BTI M. Nasir, bendahara BTI Pateduni.

Akhirnya aku mendapat informasi, ternyata sekretaris satu sudah ditangkap,


bersamaan waktunya aku ditangkap. Waktu itu beliau sedang mengunjungi rumah
kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Wajo, tiba-tiba dikepung oleh
massa. Langsung ditembak kena dadanya tapi dia masih bisa bertahan hidup.
Setelah dirawat di rumah sakit, beliau diantar oleh polisi dimasukkan ke penjara
Sengkang.

Awalnya kami tetap bertahan tidak mau masuk ke dalam penjara, kami mencoba
bernegosiasi. Karena kami tidak merasa bersalah dan juga tidak ada surat perintah
penahanan.
Alasan mereka ini demi keselamatan kami, karena massa sudah mengamuk. Jadi
kami dimasukkan dulu dalam penjara, diamankan istilahnya. Kami pikir masuk akal
juga, lalu akhirnya kami pun masuk tanpa ada perlawanan lagi.

Baru sekitar awal bulan November, istriku datang setelah dapat kabar dari Kodim.
Karena ternyata istri dan kedua anakku sudah ditampung di salah satu rumah
perwira di bagian I Kodim. Namanya Ismail Tojo dengan pangkat Letnan Dua. Ada
lima keluarga yang ditampung, dibuatkan rumah panggung di emperan belakang
rumah utama.
Keluar perintah dari komandan Kodim, bahwa semua istri-istri PKI dibawa ke barak
penampungan khusus yang sudah disediakan. Tidak terkecuali istri dan anak-
anakku.
Katanya, untuk diamankan karena para pemuda sudah melakukan pengrusakkan
rumah-rumah yang dianggap pengurus PKI, setelah mereka memperingati hari
Sumpah Pemuda pada tgl 28 oktober 1965. Setelah merasa ada ketenangan maka dia
baru datang untuk menjengukku, menempuh jarak kurang lebih 200 meter dengan
berjalan kaki.

154
Sulawesi Bersaksi
Selama ini dia memang tidak tahu aku ditahan di mana, karena ketika dia bertanya
ke kantor tempatku bekerja tidak ada jawaban. Hanya dikatakan bahwa aku sedang
diamankan, nanti kalau keadaan sudah terkendali akan dibebaskan. Tapi apa mau
dikata bukan terkendali bahkan tambah mencekam.

Terbayang olehku bagaimana repotnya istriku berjalan dengan dua anak yang masih
kecil-kecil. Tidak ada saudara ataupun orang yang mau menerima mereka, karena
mereka pikir begitu jahatnya PKI. Mereka tidak mau dianggap terlibat karena
membantu keluarga PKI. Aku tertunduk dan menangis, Maafkan Bapak nak,
maafkan suamimu istriku. Aku tidak bisa melindungi kalian. Kupandangi mereka
bertiga, bergantian. anakku yang pertama baru berusia 4 tahun, sementara anakku
yang kedua, usianya belum genap dua bulan.

Pada pertemuan pertama ini kami tidak bisa duduk bersama, tapi dibatasi terali besi
sambil berdiri kami saling bercerita. Istriku menanyakan apakah aku keberatan jika
anak-anak dititipkan ke sepupunya di Makassar, demi kebaikan anak-anak dan
menurutnya dia juga bisa lebih leluasa untuk datang menjenguk. Aku pikir itu
memang jalan yang terbaik, hanya saja kendalanya sekarang apakah diijinkan untuk
ke luar dari Sengkang.

Mungkin karena pendekatan yang baik atau memang karena sebenarnya istriku
adalah keturunan bangsawan (raja) di Sengkang, tidak mungkin melanggar
peraturan yang sudah ditetapkan. Akhirnya dia diijinkan pergi ke Makassar
mengantar anak-anak. Sementara keluarga dekat yang ada di Sengkang tidak ada
yang mau membantu, seakan-akan kami ini memang penjahat. Dan mungkin
dianggap menodai trah bangsawan, karena punya suami PKI.

Setelah kembali dari Makassar, tetap tinggal di rumah penampungan, bekerja


menjadi pembantu di rumah para keluarga tentara. Tidak digaji hanya dapat makan,
terkadang dikasih beras. Setiap kamis dia harus melapor ke Kodim, setelah itu dia

155
Sulawesi Bersaksi
membesukku di penjara. Dia membawa makanan dari hasil yang dia kumpulkan.
Kami juga sudah bisa duduk di bangku bersama-sama, tidak lagi dibatasi terali besi

Aku sendiri selama di penjara tidak lebih baik nasibnya, tanpa kepastian apa
kesalahan dan berapa lama harus menjalani hukuman. Ruang tempat aku ditahan
berukuran 2x3 meter, ada satu orang yang menjadi teman sekamarku, dia adalah
Pateduni, bendahara di BTI selain itu dia juga dewan pertimbangan di Lembaga
Landreform. Di dalam ruangan ada papan untuk tidur. Kalau malam dikasih tong
untuk nampung kotoran. Setiap pagi ada narapidana yang datang mengambil,
karena kita tidak boleh keluar dari sel.

Berbulan-bulan bahkan tahunan kami menghuni ruangan ini dalam gelap, tanpa
pernah melihat cahaya. Hingga akhirnya mungkin kami tidak tahu lagi antara siang
dan malam, kalau saja setiap pagi kami tidak dikeluarkan. Olah raga pagi istilahnya,
padahal kami disuruh bekerja memukul-mukul sambuk kelapa untuk dibuat alas
kaki atau tali. Menjelang makan siang kami dimasukkan kembali hingga besok pagi.

Setiap hari kami diberi makan tiga kali, dengan menu yang tidak pernah berubah.
Makan pagi sekaleng susu kental butiran jagung rebus. Makan siang nasi jagung
semangkuk ukuran untuk tempat air cuci tangan, sayur kangkung ditambah 1 ekor
ikan kecil seperti ikan teri yang agak besar. Makan malam sama dengan menu
makan siang.

Sekitar satu tahun di penjara baru dilakukan pemeriksaan, sekitar tahun 1966.
Pemeriksaan dilakukan malam hari sampai menjelang pagi, dilakukan di penjara.
Tim pemeriksa terdiri dari Pemerintah, Kejaksaan, Polisi, Kodim. Sekitar 62
pertanyaan yang diajukan, aku masih ingat karena waktu itu aku sempat melihat
daftarnya. Ada satu pertanyaan yang memang tidak ada dalam daftar yang diajukan
oleh seorang polisi, karena memang pertanyaannya tidak masuk akal. Tapi aku
mencoba melawan dengan kata-kata.

156
Sulawesi Bersaksi
Dia bilang, Kamu ini PKI suka mengganggu istri orang
Lalu aku bilang,Bapak ini kan polisi, lalu apa tugasnya polisi kalau begitu? Apa tugasnya
bapak sampai menjadi perwira begitu. Kenapa bapak tidak tangkap saya waktu itu kalau
memang saya melakukan hal seperti yang bapak bilang. Bukankah itu tindakan kriminal....

Lalu saya lanjutkan,Jangan bapak perlakukan saya seperti ini, saya tahu bapak siapa. Kan
bapak dulu pernah pinjam buku sama saya tentang ajaran komunis, kita juga sering
berdiskusi, sering rapat bersama-sama di DPR, apa bapak sudah lupa?

Cepat-cepat dia menjawab, dengan ekspresi ketakutan dia bilang, eh, jangan kamu
ungkap-ungkap itu....

Mungkin dia pikir aku tidak berani melawan. Lalu dia dipanggil sama ketua Tim
pemeriksa, sayup-sayup aku dengar dia dapat tegur. Ketua Tim pemeriksa bilang,
jangan tanya yang tidak ada dalam daftar pertanyaan ini.

Pemeriksaan ini tidak ada penyiksaan yang aku alami, mugkin karena tim pemeriksa
gabungan. Akupun tidak tahu.

Tahun 1967 ketika Presiden Sukarno digantikan oleh Suharto, mulailah ada
pemeriksaan yang dibarengi dengan penyiksaan. Dua kali aku dibawa ke Kodim
untuk diperiksa, berjalan kaki dengan pengawalan ketat oleh dua orang tentara yang
membawa senjata laras panjang.

Pertanyaan yang diajukan masih terkait siapa-siapa orang PKI yang aku tahu. Aku
tetap bertahan untuk tidak menunjuk siapapun, dan kali ini aku harus siap
menerima hukumannya dalam bentuk penyiksaan fisik.

Macam-macam bentuk penyiksaannya, disetrum pakai alat telpon yang


disambungkan ke aki, dipukul dengan tangan kosong, ataupun menggunakan alat
seperti kopel (ikat pinggang), pentungan, popor senjata.

157
Sulawesi Bersaksi
Karena aku tetap tidak mau menjawab, satu-satu jari-jari tanganku disetrum. Sampai
aku tidak tahan lagi, akhirnya tanpa sadar aku tendang itu pemeriksanya. Begitu
kerasnya tendanganku dia pun terjatuh, tambah marahlah dia. Dia bangkit berdiri
dan langsung wajahku dipukul sampai tidak seperti wajahku lagi. Dengan berbagai
macam cara dia lakukan, dengan tangan kosong, senjata laras, pakai kopel, sampai
aku berteriak-teriak. Baru berhenti ketika didengar oleh komandan Kodim. Biasanya
dipanggil untuk diperiksa dari pagi sampai siang menjelang makan.

Pada masa itu aku juga mendengar ada satu orang yang pernah melakukan
pembunuhan di Sengkang, lalu dia buron ke Kalimantan. Pada saat pengganyangan
PKI dia balik ke Sengkang dan dia ikut diperbantukan untuk mencari orang-orang
PKI. Diperintahkan untuk membunuh orang lagi, sebagai balasannya dia tidak
dipenjarakan. Jadi pernah ada satu orang disuruh memanjat pohon kelapa setinggi
kurang lebih 7-8 meter sampai di atas diperintahkan melompat ke bawah. Karena dia
tidak mau, lalu ditembak saja dan akhir meninggal di bawah.

Lima tahun lamanya aku berada di penjara Sengkang. Dengan aktivitas setiap pagi
bekerja memukul-mukul sabut kelapa, setelah itu menghabiskan hari di ruangan
yang gelap. Selama itu beberapa kali istriku datang menjenguk membawa anak-
anaku. Aku ingat waktu itu anak pertamaku sudah masuk Sekolah Dasar dan
anakku yang kedua sudah sekolah TK. Aku sangat berterimakasih dengan sepupu
istriku itu, dia telah merawat anak-anakku dengan baik. Yah istriku memang tidak
mau anak-anak kami sampai tidak mengenal bapaknya. Setelah itu dia akan
mengantar kembali ke Makassar.

Memang setelah tinggal sendiri istriku lebih mudah bergerak, lebih banyak lagi
rumah-rumah tentara yang bisa dia bantu dan banyak juga yang memberi beras.
Selain itu dia juga mulai menjalankan arisan. Hasilnya cukup untuk biaya
menengok anak-anak dan memberi uang jajan.

158
Sulawesi Bersaksi
Kerjapaksa di Moncongloe.
Tahun 1971 aku dipindahkan ke Moncongloe Kabupaten Maros sekitar 100 KM lebih
jaraknya dari penjara Sengkang Kabupaten Wajo. Katanya untuk rehabilitasi atau
Inrehab (Instalasi Rehabilitasi), bentuknya seperti barak-barak. Waktu kami tiba di
sana sudah ada barak-barak. Barak A, B, C, dan D untuk laki-laki dan yang satu
barak untuk perempuan yakni para pimpinan dan anggota Gerwani.

Baraknya dibuat dari kayu hutan dan atapnya seng. Di dalamnya dibuat tempat
tidur dari kayu yang bertingkat dua, untuk 80 orang per barak laki-laki. Barak
perempuan hanya berisi 40 orang. Penerangan menggunakan lampu minyak yang
sudah disediakan, lentera namanya. Kalau di Aula yang biasa digunakan untuk
gereja di hari Minggu dan masjid di hari Jumat menggunakan lampu kerongkeng
(petromak) yang bisa dipompa.

Moncongloe adalah hutan bambu yang batangnya berduri, jadi kami harus
membuka lahan baru yang sudah dikavling-kavling pemiliknya. Tiga bulan sebelum
kami datang sudah dibuat barak oleh para tahanan yang ada di Makassar, setelah
jadi datanglah kami secara berangsur-angsur dari daerah-daerah lain.

Tapol perempuan pekerjaannya di dapur umum, masak-masak untuk para tahanan.


Aku ingat ada satu orang tapol perempuan yang membawa anaknya tinggal di
barak, karena tidak ada yang merawat. Suaminya yang seorang Camat tidak mau
bertanggungjawab dan tidak mau terlibat karena istrinya seorang Gerwani. Jadi
ketika dia ditangkap, ia langsung diceraikan oleh suaminya.

Tapol laki-laki setiap pagi setelah makan sekitar jam 7.30 sudah harus berangkat ke
hutan untuk membabat bambu-bambu berduri untuk dijadikan lahan bercocok
tanam. Setelah akar-akarnya dikeluarkan datanglah traktor untuk menggali tanah
agar bisa ditanami. Luas tanah semuanya 4 kilo meter persegi, dan dibatasi pagar
besi.

159
Sulawesi Bersaksi
Setelah lahan siap ditanami, kami mulai bekerja. Dari tanam bibit sampai panen
kami yang mengerjakannya tetapi hasilnya diambil oleh para anggota Corp Polisi
Militer (CPM) termasuk komandannya waktu itu yang bernama Hidayat. Setiap hari
tanpa istirahat yang cukup, kami bekerja tanpa digaji. Hanya mendapat makanan
dan pakaian yang memang dijanjikan oleh Teperda (Team Pemeriksa Daerah)
Sulawesi Selatan, yang juga Kepala CPM, ketika ada pembicaraan dengan Bapak
Sudomo selaku Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban, karena tidak
mengirim Tapol dari Sulawesi Selatan ke Pulau Buru. Mestinya tahanan golongan B
dikirim ke Pulau Buru semua. Alasannya karena sudah disediakan tempat untuk
inrehab yakni di Moncongloe. Kami akan dipekerjakan secara paksa tanpa digaji,
untuk mengerjakan tanah hutan yang sebenarnya sudah terkavling-kavling milik
pribadi.

Selama 7 tahun kami kerja paksa di Moncongloe, menanam ubi dan pisang. Mulai
Senin sampai Sabtu, Minggu istirahat dan bagi yang Nasrani pergi kebaktian. Untuk
yang Muslim setiap hari Jumat bekerja setengah hari untuk persiapan sholat Jumat.
Kami bekerja tidak kenal panas atau hujan tanpa pernah menikmati hasilnya.
Tanaman ubi satu kali panen setiap tahunnya. Dan hasilnya untuk pemilik lahan,
tentu saja para petugas-petugas yang mengawasi kami.

Setiap hari minggu keluarga boleh datang membesuk, aku sendiri baru satu tahun
sekali istriku datang membesuk itupun tidak setiap tahun juga. Karena jarak yang
memang jauh dan tidak ada kendaraan masuk ke Moncongloe, karena jalan
masuknya sangat rusak. Yang ada hanya bendi yang harus disewa dari Kota
Makassar, tentu saja sewanya sangat mahal. Istriku tidak pernah lupa membawa
anak-anak untuk menjengukku.

Pertama kali mereka datang ketika aku sudah dua tahun di Moncongloe, anakku
yang pertama sudah mau masuk Sekolah Menengah Pertama dan anakku yang
kedua sudah mau naik kelas 4 SD. Aku katakan juga ke istriku untuk tidak

160
Sulawesi Bersaksi
memaksakan datang menjenguk apalagi membawa anak-anak karena keadaan di
Moncongloe yang masih hutan.

Istriku setuju, tapi dia tetap mengusahakan untuk bisa datang paling tidak satu
tahun sekali. Dia juga mengatakan kalau saat ini dia sudah tidak lagi tinggal di
rumah penampungan. Karena sejak aku dipindahkan, ada satu keluarga kakak
beradik perempuan mengajaknya tinggal di rumah mereka. Kebetulan salah seorang
dari mereka sudah menjadi guru tapi belum ada yang berkeluarga. Mereka merasa
kasihan kenapa ada keluarga raja yang diperlakukan seperti itu. Mereka sangat
menghormati istriku, dan dilayani dengan baik.

Aku hanya bisa bersyukur dan berpesan kepada istriku untuk tetap menjaga
kesehatannya. Kemudian datang lagi tahun berikutnya. Hanya saja satu tahun
sebelum aku dibebaskan, dia tidak sempat datang lagi.

Dari Moncongloe ke tahanan rumah dan kota.


Kami dibebaskan dari Moncongloe tahun 1977, oleh Bapak Sudomo selaku Panglima
Komkamtib. Sebanyak 10.000 orang dibebaskan, istilahnya bebas pusat termasuk
aku. Sebelumnya pemerintah (dalam hal ini CPM) memberikan dua pilihan. Apakah
mau pulang ke daerah masing-masing ataukah mau dikirim ke Nanga-nanga
Kendari Sulawesi Tenggara. Lokasi khusus eks tapol yang disediakan bagi yang
tidak mau kembali ke tempat asalnya, dengan pertimbangan keamanan. Jika merasa
yakin bisa diterima di daerah asal boleh kembali dan akan diberikan modal usaha.

Akhirnya yang tidak yakin akan diterima di daerahnya, mereka memutuskan untuk
tinggal di Nanga-nanga. Yang yakin pulang ke kampungnya, mereka pulang.
Termasuk aku yang berani pulang, lagipula istriku masih tinggal di Sengkang.

Tapi Tim Teperda di Sulawesi Selatan, mengeluarkan surat perintah lagi kepada
tahanan Sulawesi Selatan yang tidak ke Nanga-nanga. Isi surat perintahnya bahwa
dibebaskan dari tahanan penuh menjadi tahanan rumah ditandatangani oleh

161
Sulawesi Bersaksi
Kepala CPM Sulawesi Selatan. Ya Tuhan, ternyata belum puas mereka menyiksa
kami. Apa yang ada dalam pikiran mereka? Sebelas (11) tahun sudah kami menjalani
hukuman tanpa pengadilan, kami terima itu. Lalu apa yang bisa kami lakukan tanpa
kebebasan?

Sebenarnya belum terpikirkan juga apa akibat dari surat perintah itu ke depannya
buatku, yang terpenting adalah aku bisa kembali ke rumah dan berkumpul dengan
istri. Jika mungkin juga dengan kedua anakku. Akhirnya aku pulang ke Sengkang,
tinggal di rumah orang yang memberikan tumpangan rumah untuk kami.

Dengan sangat berat hati aku terpaksa, meskipun tidak seharusnya aku
menyusahkan mereka. Buat mereka suatu kehormatan kami mau tinggal dengan
mereka, tak habis terimakasihku. Bayangkan tidak ada saudara yang mau membantu
bahkan terkesan tidak peduli tapi ini justru orang lain yang mau membantu.

Ada 4 orang eks Tapol yang berasal dari Sengkang, lima dengan aku. Setelah sampai
kami diperintah menghadap Komandan Kodim. Kami mendapat beras satu karung
dan uang 500.000,- (lima ratus ribu) untuk membuka usaha peternakan ayam dibagi
5 orang, 100 ribu per orang.

Dengan harapan yang besar aku mulai membuka usaha peternakan ayam, tapi
karena tanpa perhitungan yang matang tentu saja tidak berhasil. Ternyata tidak
semudah yang aku bayangkan, dan faktor utamanya tempat tinggalku itu banjir
kalau hujan. Hasil akhir ayamnya mati semua.

Lalu aku menghadap ke Kodim untuk minta modal kembali tapi tidak dapat, hanya
saja aku diberikan kebebasan untuk bisa mencari pekerjaan di luar tempat tinggalku
tapi tidak boleh keluar dari wilayah mereka. Maka surat perintahku dirubah setelah
satu tahun menjalani tahanan rumah berganti menjadi tahanan kota tanpa batas
waktu. Dengan membawa surat ijin keluar yang berlaku selama 3 bulan, dan harus
diperpanjang ke pemerintah daerah dengan melapor ke bagian politik kantor daerah

162
Sulawesi Bersaksi
(Sospol). Ada uang administrasi dua ribu rupiah. Ini terus sampai Suharto lengser
tahun 1998. Aku ikuti saja apa yang menjadi perintah mereka.

Aku juga sudah tidak boleh lagi bertemu dengan empat teman yang dari
Moncongloe karena dikhawatirkan akan membangun partai kembali. Jadi aku juga
selalu diawasi oleh masyarakat di lingkungan sekitar. Dulu waktu baru bebas,
memang kalau ada khotbah-khotbah di masjid masih di singgung-singgung masalah
kejahatan PKI.

Satu waktu aku pernah diludahi sama anakku yang ke dua, karena kesalahpahaman
dan mungkin caraku yang salah menasehatinya. Anakku itu suka keluar malam dan
pulangnya larut, aku coba menasehatinya untuk tidak sering keluar malam. Tidak
baik juga anak perempuan dan ingat juga status bapaknya. Lagipula kasihan dengan
orang yang punya rumah, nanti akan ikut jelek namanya.

Kita ini sudah dibilang PKI, jagalah sikap. Nanti ada kelihatan perbuatan yang
tidak baik pasti akan muncul kata-kata orang PKI nasehatku.Tapi mungkin dia
masih sedang senang-senangnya bergaul, tapi aku melarangnya, maka marahlah dia.
Tanpa menjawab, dia langsung meludahi wajahku. Aku tidak marah, karena aku
sadar dia belum mengerti keadaan yang sebenarnya. Ditambah lagi ketika belajar
sejarah di sekolah, sedikit banyak mempengaruhi pandangannya tentang PKI.
Setelah kejadian itu aku berikan pengertian perlahan-lahan, sekarang hubungan
kami sudah baik.

Setahun lebih sudah aku mencoba berusaha di Sengkang, semuanya tidak berhasil.
Untuk menghindari hal-hal yang membuat aku terus merasa menjadi orang tahanan
dan terus merongrong kesehatanku, aku menerima tawaran kakak perempuanku
meskipun harus tinggal di kebun. Tahun 1979 aku mulai hijrah ke kampung tempat
kelahiranku di Siwa, saat itu orangtuaku sudah meninggal di sana.

163
Sulawesi Bersaksi
Pada waktu itu masyarakat di sana baru mulai menanam cengkeh di kebun-kebun
mereka termasuk kakakku. Aku diberikan tanah cukup untuk ditanami 80 pohon
cengkeh oleh kakak iparku. Dia bilang tanah ini saya jamin sampai kau mati, sudah
menjadi milikmu. Tidak habis aku mengucapkan terimakasih, atas kebaikannya
karena aku tidak harus mengeluarkan uang sepeserpun untuk itu.

Istriku memang tidak kuajak, karena aku berpikir akan menambah beban kakakku.
Sementara aku belum menghasilkan, tentu saja akan menjadi beban mereka, di
samping aku masih bisa menengoknya 3 bulan sekali untuk memperpanjang surat
ijin. Jarak dari Siwa ke Sengkang sekitar 72 km.

Sudah tinggal di kebun pun, ada yang namanya Babinsa (Bantuan bimbingan desa)
yang selalu datang setiap bulan ke kebun untuk nengok-nengok (mengawasi).
Mereka dari Kodim sambil berpesan kalau aku jangan pergi ke mana-mana. Tapi
sekarang tidak lagi karena semuanya sudah berubah sejak Suharto lengser.

Sesungguhnya yang paling berat aku rasakan adalah aku jadi tidak bisa datang
menengok anak-anakku. Karena statusku yang tidak bisa meninggalkan daerah
Wajo, meski sudah dinyatakan bebas dari Moncongloe. Tapi untung saja (yah, aku
masih merasa beruntung) anak-anakku suka datang juga ke kebun, karena mereka
tahu orangtuanya tidak bisa datang mengunjungi mereka.

Tahun 1982 kebun cengkehku sudah panen pertama, aku semakin bersemangat.
Meskipun belum banyak menghasilkan karena masih pohon muda. Tahun 1983-1984
aku ditawari pekerjaan oleh kemenakan yang bekerja sebagai kontraktor, anak dari
kakak perempuanku yang tinggal di Sengkang. Membangun Sekolah Dasar Inpres di
Sengkang.

Akhirnya tahun 1984 aku bisa mengontrak rumah, dan memboyong istriku pindah
ke rumah baru meskipun masih kontrakan. Jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah
tumpangan sekitar 500 meter, jadi istriku masih bisa datang sesekali. Akupun mulai

164
Sulawesi Bersaksi
mengumpulkan uang untuk membeli sebidang tanah, tidak mungkin selamanya
mengontrak rumah.

Bahan-bahan mulai aku kumpulkan dari kebun, karena di sana banyak kayu dari
hutan. Tujuh tahun kemudian, tahun 1991 aku mulai membangun rumahku sendiri
dan aku persembahkan rumah itu untuk istriku tercinta. Dengan segala
pengorbanan dan ketabahannya selama aku di penjara, tidak bisa aku tebus hanya
dengan memberikan sebuah rumah sederhana. Tapi buatnya ini sudah lebih dari
cukup, yang terpenting adalah masih bisa berkumpul dan diberi kesehatan. Anak-
anakku pun sudah berkeluarga, sehingga sudah menjadi tanggungjawab suaminya.

Anakku yang pertama pendidikan terakhirnya Akademi Hukum Nasional di


Makassar tinggal di Makassar dan sudah punya rumah sendiri dengan dua anak,
anaknya yang pertama perempuan sudah SMP dan anak kedua laki-laki masih SD.
Anakku yang kedua pendidikan terakhirnya Akademi Perbankan Makassar, juga
sudah menikah belum punya anak dan tinggal di Sangguminasa Kabupaten Gowa.
Kemudian pindah ke Riau karena ikut suami pindah tugas.

Tahun 1994-1995 ada perintah untuk menebang sebagian pohon cengkeh demi
mendongkrak harga cengkeh. Perintah itu tidak langsung aku kerjakan, aku berpikir
bagaimana caranya untuk bisa menyelamatkan pohon-pohon cengkeh ini. Akhirnya
tidak aku tebang, tapi aku sisipi saja dengan tanaman asli daerah yaitu durian,
langsat dan rambutan. Dan sekarang aku sudah bisa menikmati hasilnya, durian
sudah berbuah, rambutannya juga sudah beberapa kali panen, tinggal langsat yang
belum berbuah.

Tahun 1998 aku baru bisa menginjakkan kakiku di Makassar setelah Suharto tidak
menjadi presiden. Bayangkan 20 tahun aku jalani tahanan kota, ditambah 5 tahun
dalam penjara dan 7 tahun di Inrehab. Tiga puluh dua tahun, kebebasanku
direnggut. Alasannya pun tidak pernah jelas. Seharusnya banyak hal yang bisa aku

165
Sulawesi Bersaksi
lakukan dalam masa itu. Setidaknya aku bisa melihat putri-putriku tumbuh besar
dan melihat keceriaannya ketika mereka masih kecil.

Tak pernah berhenti bergiat.


Sejak 1998 aku dan istriku tinggal di rumah anakku yang kedua di Sungguminasa
Kecamatan Somba Opu Kabupaten Gowa sekitar 10 Km dari pusat kota Makassar.
Mereka pindah ke Riau dan rumah itu kosong, sementara rumah di Sengkang kami
kontrakkan. Bentuk rumah sudah permanen, ada 3 ruangan. Ada ruang tamu
meskipun tidak banyak tamu yang datang, satu kamar tidur dan ruangan dapur.

Tahun 2011, istriku meninggal dalam usia 79, karena sakit tulang pinggang yang
dideritanya akibat terjatuh dari kamar mandi. Jalan satu-satunya adalah tindakan
operasi sementara, hal itu sudah tidak memungkinkan lagi dilakukan mengingat
usia yang sudah 77 tahun. Dua tahun lamanya dia menahan sakit yang dideritanya,
akupun dengan sabar merawatnya. Buatku inilah waktunya aku membalas semua
pengorbanannya selama ini. Sejak itu aku tinggal sendiri, dan memenuhi kebutuhan
ku sendiri termasuk memasak.

Aku bersyukur meskipun di masa lalu aku tidak bisa merawat anak-anakku,
sekarang ini hubungan kami baik-baik saja. Statusku pun tidak masalah, mereka
selalu mendukungku dalam setiap aktivitasku sekarang, dengan merawatku kalau
aku tiba-tiba sakit karena kelelahan dan terlalu bersemangat.

Hanya saja yang menjadi pikiranku adalah masa depan cucu-cucuku. Menantu
pertama yang aku harapkan sudah meninggal pada awal tahun 2013 ini, sementara
anaknya masih kecil-kecil dan perlu biaya. Anak pertamanya masih SMP dan yang
bungsu masih SD. Tapi masih ada tantenya, anakku yang kedua.

Kebun masih ada, dan ada yang membantu mengurus. Sekarang ini memang aku
sudah merasa lebih baik, sudah tidak ada tekanan-tekanan lagi. Dan syukur secara
ekonomi aku juga tidak terlalu menggantungkan kepada orang lain, tapi anakku

166
Sulawesi Bersaksi
yang kedua rutin mengirimiku uang bulanan. Karena hasil kebun baru bisa
dinikmati satu tahun sekali, begitu juga dengan uang kontrakan.

Sejak tahun 2000, aku aktif di Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Orde Baru
(LPR KROB) Sulawesi Selatan. Ketika itu aku bertemu Haris Pala, ketua LPR- KROB
waktu itu.

Tahun 2008 ada utusan dari Komnas Ham datang menjumpaiku, dan meminta surat
yang aku punya untuk dibawanya. Surat itu adalah Surat perintah tahanan kota
yang diberikan oleh kepala CPM waktu aku keluar dari Moncongloe tahun 1977.
Katanya, akan digunakan sebagai bukti.

Sejak tahun 2011 aku menjabat wakil ketua LPR-KROB, sebenarnya aku diminta
sebagai ketua. Mengingat usiaku, biarlah yang muda saja menjadi ketua, dan aku
cukup menjadi wakil. Sekaligus sebagai penasehat pula. Saat ini ketuanya bernama
Anwar Naba, usianya baru 46 tahun.

Pada pertengahan bulan Juni ini kami baru saja pulang dari Kongres Nasional LPR-
KROB yang diadakan di Jakarta, dihadiri oleh 100 orang dari seluruh Indonesia.
Salah satu hasilnya adalah mengganti nama lembaga menjadi Persatuan Rakyat
Indonesia (PRI) alasannya, untuk menyesuaikan dengan situasi saat ini, kegiatannya
lebih ke masalah-masalah umum yang terkait dengan memperjuangkan HAM, dan
diskriminasi. Siapa saja bisa masuk terutama untuk menarik anggota-anggota muda.

Tidak kalah penting sebenarnya adalah bukti tertulis yang bisa diwariskan kepada
generasi selanjutnya. Bagimana perjuangan dalam pelurusan sejarah terkait
peristiwa tahun 1965/1966. Aku secara pribadi sekarang ini sudah tidak takut untuk
bersuara. Aku sadar perjuangannya masih panjang, meskipun Komnas Ham sudah
merekomendasikan bahwa memang terbukti ada pelanggaran HAM berat pada
masa itu, tapi hanya sebatas itu.

167
Sulawesi Bersaksi
Dengan menarik napas panjang dan dalam, Bahar bergumam entahlah, apakah aku masih
bisa menikmati hasil akhir perjuangan ini***

Pewawancara dan penulis : Nurhasanah

Naina

KALAU SAYA TIDAK TABAH,


MUNGKIN SUDAH GILA ATAU MATI

Saya punya anak yang sekolah ini, juga ikut menderita, dia ikut berjualan,
seperti saya dulu saat kecil...!!!! padahal saya punya doa, Ya Allah kalau
betul saya punya salah ini kenapa saya punya pekerjaan dilepas begitu saja,
padahal jerih payah saya itu menuntut ilmu. Saya itu kalau tidak tabah
mungkin sudah gila atau mungkin sudah mati, kawin juga tidak normal.
Naina membuka ceritanya dengan semangat yang ingin berbagi dengan siapa saja.
Kemudian ia seperti air mengalir meneruskan cerita perjalanan hidupnya. Sesekali Naina
terdiam dan mengarahkan matanya dengan sorot menerawang jauh

Saya lahir di Desa Batulo Kecamatan Wolio Kota Bau-Bau pada Tahun 1941 sebagai anak ke-
7 dari pasangan suami istri Latadi dan Wampehe. Saya tumbuh sebagai anak yang sama
dengan kebanyakan anak pada umumnya, dengan 7 orang saudara laki-laki dan 3 orang
saudara perempuan. Namun saat usia baru 3 bulan, adik bungsu saya meninggal dunia.
Memulai kehidupan dengan keluarga yang lumayan banyak, saya menghabiskan masa kecil,
bermain bersama dengan anak-anak sebaya serta kakak-kakak dan kerabat dengan rasa
riang dan gembira. Sangat senang saat mengenang masa itu.

Ditinggal Bapak, Berjualan Membantu Ibu

Waktu saya usia 7 tahun Bapak saya meninggal. Bapak saya pernah bekerja di
bengkel PU (Perusahaan Umum) kemudian bekerja sebagai pegawai di Kantor PLN
(Perusahaan Listrik Negara). Bapak saya adalah sosok seorang pekerja keras. Kalau
saja dia belum meninggal mungkin kami tidak akan terlantar seperti ini. Saat Bapak
meninggal, meteran lampu di rumah kami dicabut karena kami sudah tidak pernah

168
Sulawesi Bersaksi
membayarnya. Bapak saya keluar masuk Rumah Sakit ketika sakit batuk
berkepanjangan yang dialaminya semakin parah. Dia selalu muntah-muntah darah
sampai dia meninggal. Bapak sangat penyayang. Hampir tidak pernah marah
kepada kami anak-anaknya maupun pada Ibu kami. Ibuku juga demikian sayang
dengan anak-anaknya. Sejak Bapak meninggal Ibu banyak menjual barang-barang
berharganya. Emas, kalung dan barang lainnya habis terjual untuk memenuhi
kebutuhan kami yang tidak cukup dipenuhi hanya dengan berjualan saja. Setelah
tidak ada lagi yang bisa dijual, Ibu memilih mengolah sebidang tanah yang sempat
mereka beli bersama Bapak semasa masih hidup untuk dijadikan kebun. Tapi tanah
itu sekarang sudah diambil pemerintah untuk pembangunan jalan raya dan sebagian
lagi untuk asrama polisi.
Dengan melipat kedua tangan Naina mengenang kembali masa itu. Setelah itu, Naina
melanjutkan ceritanya.

Hari-hari tanpa Bapak mulai terasa semakin sulit. Secara otomatis, Ibulah yang menjadi
tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah mencukupi kebutuhan kami sehari-hari.
Sebab Ibu tidak menikah lagi sepeninggal Bapak. Dengan 7 orang anak yang harus
ditanggungnya, Ibu mulai berjualan apa adanya. Ibu hanya mampu membuat penganan
ringan khas kota kami (Bau-Bau) di mana hampir setiap orang yang ada di sana juga
menjual penganan yang sama. Ini menjadikan penghasilan berjualan itu juga menjadi
terbatas. Ibu tidak mempunyai keahlian membuat jajanan lain.

Kakak saya yang pertama sudah lama pergi merantau. Sejak tamat SR (Sekolah Rakyat,
sekarang Sekolah Dasar) sudah pergi ke Ujung Pandang (Makassar sekarang). Jadi dia tidak
mengetahui kejadian yang menimpa kami dan kepergian Bapak. Kemudian kakak kedua
saya sering sakit-sakitan. Dia menderita sakit Asma yang parah. Dengan kondisi yang
seadanya, kami yang masih tinggal bersama Ibu tetap di sekolahkannya dengan uang hasil
menjual jajanan. Kalau sudah datang waktunya panen ubi dan jagung, bahan untuk
membuat jajanan tidak perlu lagi membeli di pasar. Biasanya, jagung diolah menjadi beras
untuk kebutuhan makan kami sehari-hari, kemudian ubi diolah untuk dijadikan jualan.

Jajanan yang biasa kami jual saat itu selain pisang goreng, ada juga epu-epu dari ubi kayu
(seperti jalangkote sekarang pastel), dan onde-onde yang diisi dengan kelapa yang ada
gulanya lalu digoreng. Jajanan ini kemudian kami jajakan dengan cara berkeliling. Kakak

169
Sulawesi Bersaksi
saya yang laki-laki menjual ke pelabuhan, sementara yang perempuan menjual berkeliling di
sekitar rumah saja. Saya sendiri ikut berjualan setelah usia saya 10 tahun dan berada di
kelas 2 SR (Sekolah Rakyat). Saya ingat saat itu saya menjual minyak kelapa dan toge yang
dibuat oleh Ibu dengan berjalan kaki saat pulang dari sekolah. Sehari-harinya saya juga
masih sempat bermain layaknya anak-anak lainnya di kampung halaman. Nanti setelah
datang waktu untuk bantu Ibu, mulailah menumbuk ubi yang menjadi bagian pekerjaan
saya.

Saudara laki-laki saya yang berjualan di pelabuhan sudah siap dengan perlengkapan lainnya
sebelum pergi. Mereka selalu membawa alat pancing ke pelabuhan karena setelah selesai
berjualan dan jajanan telah habis maka mereka langsung memancing. Saat itu berjualan di
Pelabuhan sangat cepat habisnya. Tidak jarang mereka selalu mendapat ikan segar untuk
kami makan bersama pada malam harinya.

Jadi Guru, lalu ditangkap

Tahun 1955 saya menamatkan sekolah SR di Bau-Bau Sulawesi Tenggara, kemudian


saya melanjutkan ke sekolah berikutnya di SGB (Sekolah Guru Bawah) Bau-Bau
selama 4 Tahun. Di SGB ini sudah ada dua orang kakak saya yang bersekolah di
sana. Mereka berdua lolos sekolah di SGB dengan program beasiswa TID (Tunjangan
Ikatan Dinas) sementara saya lolos dengan mengikuti tes bersama 120 orang lainnya
yang juga mendaftar bersama saya. Dari 120 orang ini kemudian ada klasifikasi
kelulusan (semacam peraturan sekolah). 40 orang yang akan gugur, 40 orang yang
akan di nyatakan lolos dan mendapat beasiswa. 40 orang lagi yang bisa lolos dengan
biaya sendiri. Terbayang seketika saat itu, bagaimana sulitnya nanti saya bersekolah
dengan keadaan ekonomi yang sangat minim dengan hanya mengandalkan hasil
jualan kami. Kekhawatiranku seakan bertambah berat waktu melihat pengumuman
kelulusan, saya diterima di sekolah SGB dengan biaya sendiri. Dalam hati saya
berkata, Tidak apa-apa yang penting saya bisa sekolah, meski dengan menanggung
pakaian seragam sendiri dan biaya sekolah yang di bayar setiap 3 bulan sekali.
Dengan seragam Hitam Putih, setiap hari saya berangkat ke sekolah dengan berjalan
kaki. Kebetulan jarak sekolah dengan rumah saya tidak terlalu jauh. Hanya sekitar
500 M. Selama bersekolah di SGB tidak banyak kegiatan yang saya lakukan. Saya

170
Sulawesi Bersaksi
mencoba fokus belajar dan menamatkan sekolah secepatnya. Dengan terpaksa saya
berhenti menjual jajanan yang dibuat Ibu, dikarenakan kesibukan belajar dan Ibu
sendiri tidak mau sekolah saya terganggu. Namun saya tetap mencari tambahan
penghasilan lainnya dari hasil kerajinan tangan yang saya buat. Saya membuat
sulaman renda dari benang, kemudian saya jual ke teman-teman atau kepada Ibu-
Ibu di sekitar sekolah. Macam-macam hasil sulaman itu, ada taplak meja, alas
sandaran kursi, sampai penutup kepala. Harganya juga bervariasi tergantung
seberapa besar sulaman yang di minta atau yang di buat. Tidak peduli dengan harga
jual yang sangat murah pada saat itu, saya tetap berjualan renda sampai tamat SGB
guna membantu biaya pendidikan saya
Kegigihan Naina berbuah hasil. Tidak lama setelah tamat dari sekolah SGB pada tahun 1959,
satu tahun berikutnya tepatnya tahun 1960 mulailah Naina menjalani kehidupannya menjadi
seorang Guru.
Kakak-kakak saya sudah terlebih dahulu diangkat menjadi guru dan ditempatkan di
pulau Tolandona (masih di provinsi yang sama). Mereka diangkat secara langsung
karena murid yang mendapat beasiswa.
Saya sendiri terangkat menjadi guru pada tahun 1960 itu tanpa saya ketahui sudah
di berikan Surat Keputusan (SK). Wajar saja, saat itu tenaga guru masih sangat
dibutuhkan. Hampir semua teman saya satu angkatan terangkat menjadi guru
bersama-sama dengan saya.
Saya mengajar di SD 5 Bau-Bau. Hampir semua bidang studi saya pegang.
Matematika, Sejarah, Bahasa Indonesia, Ilmu Hewan dan Ilmu Tumbuhan. Kegiatan
menjadi guru tergolong biasa saja. Tidak lama kemudian saya melanjutkan sekolah
ke tingkat SGA (Sekolah Guru Atas), karena salah satu syarat bisa melanjutkan ke
SGA adalah sudah terangkat jadi guru tetap. Saya mengambil kelas malam, dari jam
18.00 sore sampai jam 23.00 malam. Karena siang saya gunakan untuk mengajar di
sekolah.
Dengan kesibukan menjadi guru serta kembali bersekolah, tiba-tiba Ibu meminta
saya untuk menikah dengan seorang laki-laki yang masih ada hubungan keluarga
dengan saya. Sangat bimbang rasanya, antara menuruti keinginan orang tua dan
mengejar pendidikan seperti yang sudah saya cita-citakan. Saya menolak keinginan

171
Sulawesi Bersaksi
Ibu dengan berupaya memberikan pengertian kepadanya dan seluruh keluarga
lainnya. saya belum bisa mengurusi laki-laki, dan juga saya masih mau
melanjutkan sekolah lagi setelah lulus dari SGA ini. Kilah saya saat itu mencoba
menenangkan Ibu. Alasan lainnya yang tidak saya beritahu ke Ibu adalah, saya
punya seseorang yang sangat saya cintai. Dia bekerja di kapal bagian mesin. Dia
masih kerabat dekat anak dari keluarga Ibu saya. Sebenarnya saat itu dia sudah mau
melamar saya. Tapi saya sampaikan ke dia bahwa saya masih mau menamatkan
sekolah dulu, lalu menyarankan ke dia untuk melanjutkan sekolahnya juga ke
Jakarta. Siapa tahu saja bisa jadi kapten kapal kata saya waktu itu mencoba
meyakinkan dia. Akhirnya dia setuju dan berangkat ke Jakarta melanjutkan
sekolahnya. Cerita ini akhirnya sampai juga ke telinga Ibu dan keluarga saya. Ibu
saya sangat menentang keras hubungan kami. Saya tidak suka dengan orang itu.
Kenapa kamu pilih kuli kapal? begitu Ibu berkata dalam suatu siang. Saya tidak
bisa berbuat apa-apa. Kami berusaha tetap saling percaya meski jarang
berkomunikasi karena berjauhan.
Keadaan ini cukup membantu saya untuk tetap fokus melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi. Tahun 1963 saya tamat SGA. Kemudian saya memutuskan
untuk melanjutkan kuliah jurusan Ilmu Pendidikan di Undayan Bau-bau. Program
kelas jauh Universitas Hasanudin Ujung Pandang (Makassar, Sulsel). Sesekali ada
dosen dari Ujungpandang datang untuk membawakan mata kuliah. Namun baru
berjalan dua tahun atau masuk semester empat terjadi peristiwa G 30 S. tahun 1965.
Semua terkesan biasa saja. Tidak ada pengaruh yang cukup besar yang kami rasakan
di daerah saat terjadi peristiwa itu. Hingga pada awal tahun 1966, menjadi tahun
yang sangat menyakitkan buat saya. Petaka seakan datang di siang hari tanpa
diduga sama sekali.
Saya dapat surat panggilan. Kemudian dikumpulkan di salah satu rumah di daerah
Bone Saala. Sesampainya di sana sudah banyak orang lain yang juga menunggu
untuk diinterogasi. Dari sekian banyak orang yang berkumpul rata-rata guru semua,
sebanyak 24 orang. Dalam keadaan ketakutan, saya semakin tidak mengerti apa
maksud surat panggilan yang ditujukan ke saya, dan diinterogasi. Masih dengan
tanda tanya besar yang ada di kepala saya, kemudian tiba giliran saya untuk

172
Sulawesi Bersaksi
diperiksa. Seingat saya pada saat itu, ada pegawai Kejaksaan dan Polisi yang
menginterogasi saya. Pertanyaannya seputar keterlibatan saya dengan salah satu
organisasi perempuan GERWANI. Hasil pemeriksaan hari pertama, peryataan saya
tidak diterima. Besoknya saya dipanggil lagi dan ditanyakan pertanyaan yang sama
dengan hari pertama. Kemudian berkas saya dianggap selesai diproses, meskipun
saya tetap bertahan bahwa saya tidak ada sangkut pautnya dengan organisasi
perempuan yang dituduhkan kepada saya.
Saya dituduh menjadi salah satu pengurus organisasi Gerwani. Saya memang
mengenal Ketua Gerwani itu. Satu waktu saya pernah ditawari untuk menjadi
bendahara organisasi tapi saya menolak karena kesibukan selain mengajar juga
sedang melanjutkan kuliah. Waktu itu setiap kali saya pulang mengajar, saya selalu
diajak mampir ke rumahnya. Karena arah pulang ke rumah saya pasti melewati
rumah ketua Gerwani itu. Dia bilang, Ibu, masuk di organisasi saya yaaaa! . Saya
bilang tidak, saya tidak sempat, karena pagi-pagi saya mengajar di SD, sore sampai
malam saya masih harus sekolah. Tidak apa-apa, kata dia menyambung, Saya
kasi kamu jabatan bendahara dengan keuangannya saya serahkan dengan bukunya
lanjutnya lagi meneruskan kalimatnya. Maaf, jawab saya, Mana saya sempat,
mana saya mau belajar ini. Sambung saya lagi mencoba tetap menolak dengan cara
baik.
Tapi ternyata nama saya sudah terlanjur tercatat dan itu yang menjadi alasan saya di
berikan surat panggilan, didukung lagi dengan profesi saya sebagai guru. Saat itu
hampir semua guru yang ada di Bau-Bau diinterogasi atau diperiksa. Tidak tahu apa
alasan, kenapa kemudian para guru yang menjadi sasaran. Di hari kedua
diinterogasi, saya dikonfrontasi (dipertemukan) dengan ketua Gerwani untuk
memastikan keterlibatan saya. Ibu ketua menyatakan bahwa saya memang bukan
bendahara organisasi, meskipun begitu saya akhirnya tetap menjalani 2 tahun wajib
lapor dari tahun 1966-1967. Dua sampai tiga kali seminggu, dari jam 07-10/11 siang
datang melapor ke kantor Kodim yang berjarak 800 M/hampir satu kilo meter dari
rumah. Di sana kami biasa dipekerjakan untuk membersihkan halaman kantor.
Sejak diinterogasi tahun 1966 itu saya mendapat surat larangan untuk kembali
mengajar dan tidak boleh melanjutkan kuliah. Surat larangan itu sebenarnya adalah

173
Sulawesi Bersaksi
surat skorsing sementara, tapi surat itu tidak sampai ke tangan saya, kawan-kawan
saya yang lainnya sama seperti saya, ikut kena wajib lapor. Selama dua tahun itu
saya tidak lagi mempunyai penghasilan. Ditambah lagi dengan masalah tunangan
saya yang tiba-tiba memutuskan hubungan, karena takut terbawa status saya yang
dinyatakan sebagai golongan C. Tidak boleh keluar dari Bau-bau, karena juga terikat
waktu wajib lapor.
Di keluarga saya, tidak hanya saya saja yang ditangkap. Kakak saya yang mengajar
di pulau Tolandona juga ikut ditangkap.
Kakak saya ditangkap, dia itu mengajar di Tolandona, kebetulan satu sekolah
dengan dia ada temannya yang sama namanya dengan dia. Raifu nama kakak
saya. Tapi beda fam (nama belakang) nya. Yang satu famnya Raifu K sedangkan saya
punya kakak Raifu T. Saat penangkapan terjadi, kakak saya dan Raifu K. sama-sama
dibawa ke penjara. Memang yang Raifu K. masuk. Papanya Raifu K. adalah orang
yang sedang dicari-cari karena menjadi anggota PKI.
Selanjutnya kami tinggal mendengar kabar, kalau kakak saya sudah dikirim ke
Kendari dan ditempatkan di hutan Ameroro. Di situ orang tahanan mengolah kayu.
Kayu itu di ambil dari hutan-hutan, baru digergaji dijadikan papan, kemudian
tentara mengambilnya dimuat pake mobil. Kakak saya waktu ditangkap pada saat
sudah menikah dan sudah punya anak dua. Seingat saya sesudah 13 tahun ditahan,
dia baru pulang ke sini lagi. Selama mereka kerja paksa tidak pernah diberi upah,
namun tetap diberi makan.
Saat kakak saya sudah mau meninggal (sakit-sakitan) dia minta saya uruskan
pensiunnya. Saya pergi mengurus di Kodim tapi tidak bisa. Malah saya mau
dipanggil ke Jakarta. Alasannya, karena golongan kakak saya. Kan pakai golongan
dulu (saat itu). Golongan yang ringan C2, C3, Golongan yang berat itu Golongan A
di buang ke Kendari. Agak ringan B dan C yang wajib lapor. Akhirnya kakak saya
meninggal tahun 2011.
Naina bercerita dengan nada agak geram mengenang apa yang terjadi pada kakaknya.

174
Sulawesi Bersaksi
Kebebasan yang sarat dengan duka
Tahun 1967 saya dinyatakan bebas dan bisa ke luar dari Bau-bau, tidak lagi
menjalani wajib lapor. Akhirnya saya memutuskan pada tahun itu juga saya
berangkat ke Ujung Pandang (Sulawesi Selatan/Makassar) tepatnya di kota Tonasa
tempat sebuah pabrik semen yang cukup terkenal. Kebetulan di sana sudah ada
kakak saya yang pertama bekerja di pabrik semen itu. Saya berharap di sana saya
akan mendapatkan pekerjaan yang layak lagi.
Sekitar beberapa minggu di sana, saya bertemu dengan seorang laki-laki yang
akhirnya menjadi suami saya. Kebetulan dia mengajar di SMP Tonasa (status guru
Honor) yang berada di komplek perumahan pabrik. Saya tidak tahu bagaimana
kemudian dia mengenali saya. Dia bilang sudah tahu saya sejak di Bau-bau,
sementara saya sendiri tidak mengenal siapa dia. Tidak lama perkenalan kami,
hanya sekitar dua bulan lalu kami memutuskan untuk menikah di Tonasa disaksikan
oleh kakak saya yang pertama. Setelah menikah kami kembali ke Bau-Bau
mengadakan perayaan kecil-kecilan. Pernikahan kami sebenarnya tidak disetujui
oleh orang tuanya. Karena dia sudah dijodohkan dengan seseorang saat itu.
Demikian juga dengan saya. Setelah pacar saya memutuskan hubungan, saya kena
wajib lapor, orang tua saya kemudian mencarikan calon suami untuk saya. Namun
dengan keteguhan hati kami berdua, akhirnya mereka mengalah.
Suami saya bernama Laode Muhammad Yasir. Kami memutuskan tinggal di rumah
orangtua saya di Bau-Bau setelah menikah. Tidak lama berselang, dengan bekal
pengalamannya menjadi guru honor di Tonasa, suami akhirnya diterima mengajar di
SD di pulau Boneatiro. Kehidupan saya terasa baik kembali dengan sudah
berkeluarga dan suami saya sudah memiliki pekerjaan yang baik saat itu. Namun,
memilih kembali tinggal di tempat di mana saya pernah kena wajib lapor, berarti
siap dengan kenyataan yang ada. Tidak jarang saya merasakan hinaan dicemooh
disebut PKI. itu PKI itu gunjing mereka bila kebetulan saya lewat berjalan di
depan mereka. Tapi saya hanya berjalan saja, hanya Tuhan yang mengetahui siapa
yang bersalah dan siapa yang benar.
Awal membina rumah tangga, suami memperlakukan saya dengan sangat baik dan
penuh kasih sayang. Tahun 1968 lahirlah anak laki-laki pertama yang kami beri

175
Sulawesi Bersaksi
nama Laode Muhammad Jufri. Kelahiran anak pertama ini, selain membawa
perasaan gembira tapi juga kesedihan. Belum satu bulan saya menikmati peran
menjadi seorang Ibu, datang bencana buat keluarga saya. Suami datang ke rumah
dengan membawa seorang perempuan yang dia kenalkan sebagai calon istrinya
yang kedua. Dia adalah perempuan yang sebelumnya sudah dijodohkan dengannya,
yang tidak lain adalah anak dari sepupu Ibunya. Betapa hancur hati saya, tidak ada
yang tahu bagaimana perasaan saya saat itu. Saya sangat marah dan tidak setuju,
tapi ternyata suami saya tetap menuruti permintaan keluarganya. Alasannya karena
keluarganya tidak suka dengan status saya yang pernah dinyatakan terlibat G 30S.
Padahal, sudah berulang kali saya menjelaskan kepada suami dan keluargannya.
bahwa saya tidak terlibat dengan organisasi perempuan GERWANI itu. Konfrontasi
yang dilakukan dan peryataan Ketua Gerwani itu rupanya tidak bisa menolong saya.
Alasan mereka karena saya tetap kena wajib lapor maka mereka beranggapan bahwa
saya benar-benar terlibat.
Ternyata bebas dari wajib lapor tidak membuat saya bersih, dan akan terus
menanggung stigma ini. Sayapun mengalah dan membiarkan dia menikahi
perempuan itu, yang akhirnya memang dia lebih banyak tinggal di sana. Cobaan
belum berhenti sampai di situ. Saat usia anakku masuk 7 bulan, Ibu
menghembuskan nafas terahir nya. Sangat pilu perasaan... Ibu yang selama ini
berjuang dengan sangat gigih untuk menghidupi dan menyekolahkan kami
sekeluarga meninggal dunia. Hatiku terasa remuk, tidak ada lagi tempat bersandar.
Suami menikah lagi, lalu Ibu yang kusayangi meninggal dunia. Saya mencoba tabah
dan sabar, saya hadapi dan saya lalui semuanya dengan selalu memanjatkan doa
kepada Tuhan. Selang 1 tahun setengah pasca menikahnya suami dan meninggalnya
Ibu, cobaan kembali datang menimpa. Saya benar-benar sedang diuji olehNYA.
Belum genap anakku yang pertama berumur dua tahun, sekitar pertengahan tahun
1970 suamiku masuk penjara. Saya tidak mengetahui dengan pasti apa yang menjadi
masalah sehingga dia masuk penjara. Karena dia jarang pulang ke rumah, kalaupun
datang, kami jarang bicara terkait kegiatannya mengajar di sekolah. Kabar yang
kudapatkan dia terlibat kasus asusila yang melibatkan muridnya sendiri yang

176
Sulawesi Bersaksi
menjadi korbannya. Akhirnya dia diputuskan oleh pengadilan setempat menjalani
masa tahanan selama 8 tahun (1970-1978).
Selama suami masih ditahan dia tetap dibolehkan ke luar sesekali untuk
mengunjungi 2 keluarganya. Biasanya hanya satu malam saja, dan besoknya kembali
lagi ke penjara. Saya masih tetap melayaninya sebagai seorang istri yang sah, bila dia
mengunjungi kami. Tahun 1971 lahirlah seorang anak perempuan yang merupakan
anak kedua kami. Tapi usianya tidak bertahan lama, hanya 7 bulan, akhirnya anak
ke dua kami meninggal dunia. Pada tahun 1976, lahirlah anak kami yang ke 3, yang
kami beri nama Waode Nurbaya.
Hari-hari saat suamiku di penjara, kami hanya mencoba bertahan hidup dengan sisa
uang yang masih kami punya. Karena ketika suami ditahan, secara otomatis tidak
ada yang menafkahi kami. Sementara saya sendiri mengurusi anak-anak yang masih
kecil-kecil. Namun entah kenapa saya masih tetap menerima dia. Padahal yang
menanggung perbuatannya bukan hanya saya tapi juga anak-anak saya. Saya tidak
menyangka kalau kehidupan saya yang sulit waktu kecil, akan dialami oleh anak-
anak saya. Anak saya yang pertama sejak kecil sudah harus membantu saya mencari
nafkah untuk keluarga. Setiap pulang sekolah dia berjualan jagung rebus di
pelabuhan yang mentahnya saya beli di pasar. Sementara saya sendiri membuat kue-
kue dan kacang goreng untuk dititipkan di warung-warung. Mengingat keadaan ini,
saya kembali membayangkan kesusahan kami saat kecil dulu. Saya sempat berpikir,
ini sejarah yang berulang dalam hidupku entah apa yang salah dengan saya, atau
ini memang takdir yang harus saya jalani. Saya sungguh tak mengerti. Saya dan
anak-anak menjalani saja kehidupan tanpa suami dengan sekuat yang kami mampu.
Tahun 1978 suami saya bebas dari penjara. Sementara kami masih dengan kondisi
yang serba seadanya. Saya tidak terlalu berharap banyak lagi dari dia. Karena saya
menyadari dengan menanggung 2 keluarga sekaligus suami tidak akan mampu
memenuhi kebutuhan kami. Beruntung tidak lama setelah dia bebas, dengan dibantu
pengalamannya menjadi guru, maka dia tahu buku apa yang dibutuhkan oleh
sekolah-sekolah SD. Jadilah dia sebagai distributor kecil-kecilan yang lumayan
menghasilkan untuk ke 2 keluarga yang jadi tanggungannya. Dia mengambil buku-
buku itu dari Jakarta dan dia pasok ke sekolah-sekolah di Sulawesi Tenggara,

177
Sulawesi Bersaksi
sehingga aktivitasnya jadi sering keluar daerah. Biasanya, kalaupun sudah datang
lagi ke Bau-Bau, kamipun jarang dikunjunginya. Kalaupun ia, hanya sesekali saja
mengunjungi saya, lagi-lagi saya masih tetap mencoba sabar dan melayani dia
sebagai seorang suami yang baik.
Setelah tiga tahun dia keluar dari penjara, tepatnya tahun 1981 lahir anak laki-laki
kami yang ke empat, kami beri nama Laode Muhammad Afid. Sejak kelahiran anak
ke empat ini, saya mulai lelah hidup dengan suami saya. Dia mulai main gila lagi.
Kembali dia menikahi salah satu perempuan yang masih tinggal di daerah yang
sama dengan saya dan istri keduanya. Sungguh gila laki-laki ini begitu saya
berkata dalam hati. Apa masih tidak cukup? Sudah pekerjaan tidak menentu karena
jualan buku-buku itu tidak sepanjang tahun bisa dipasok ke sekolah, punya istri 2
dan banyaknya anak yang dia harus nafkahi. Apa dia tidak berpikir? Saya sudah
naik pitam, setiap kali dia datang, saya selalu mengusir dia untuk tidak lagi
mengganggu saya dan anak-anak. Tapi dia tetap saja terkadang memaksa datang
beralasan ingin ketemu dengan anak-anaknya. Untuk hal ini sayapun tidak bisa
melarang dia. Hingga suatu hari saya berkata kepada dia, Sebaiknya kita sebagai
keluarga saja. Jadi antara kita berdua sudah tidak ada lagi hubungan suami istri.
Diapun mengiyakan, hingga akhirnya dia tinggal dengan istri ke duanya sampai saat
ini dengan 8 orang anak.
Keputusan untuk tidak lagi hidup bersama dengan suami, mengharuskan saya
membesarkan anak-anak dengan kekuatan sendiri. Saya menggunakan keahlian
yang saya miliki yang juga pas-pasan. Kebetulan saya bisa menjahit lewat kursus
yang saya ikuti selama satu bulan setelah saya bebas dari proses wajib lapor. Selain
itu saya mulai memperbanyak jualan, tidak lagi hanya dengan mengandalkan
jagung rebus. Jualan kue bolu dan beberapa kue khas bau-bau lainnya seperti dulu
waktu saya masih kecil membantu Ibu. Selain dijual berkeliling juga dititipkan di
warung-warung, jaraknya sekitar 100 meter dari rumah. Biasanya saat mengantar itu
saya dibantu oleh keponakan saya. Terkadang juga saya menjual pisang goreng dan
jagung rebus yang dijajakan oleh anak-anak saya ke pelabuhan.
Dengan hanya mengandalkan penghasilan dari berjualan, saya semampu-
mampunya bisa menyekolahkan anak-anak. Tentu saja saya sangat menyadari kalau

178
Sulawesi Bersaksi
ini semua tidak cukup untuk membiayai mereka. Alhasil anak yang pertama
akhirnya mampu menyelesaikan studi S1 Bahasa Indonesia dengan harus merelakan
2 petak tanah peninggalan orang tua saya. Bagi saya itu tidak mengapa. Asalkan
pendidikan anak saya bisa lebih baik dari saya. Dengan harapan merekapun akan
memiliki masa depan yang lebih baik juga dari saya. Anak saya sempat menolak
untuk melanjutkan sekolah ke jenjang perguruan tinggi. Ini dikarenakan adanya
berita yang berkembang, kalau anak-anak orang yang terlibat pada peristiwa G30S
tujuh turunan tidak bisa menjadi pegawai negeri. untuk apa sekolah, kalau tidak
bisa juga jadi pegawai negeri. Begitu dia pernah bilang kepada saya. Lalu saya coba
meyakinkan dia. Mungkin saja nanti peraturannya akan berubah. Akhirnya dia mau
melanjutkan sekolahnya. Beberapa kali anak saya mengikuti tes ujian CPNS setelah
dia selesai kuliah. Tapi harapan jauh dengan kenyataan yang terjadi. Setiap kali dia
mengikuti tes CPNS, lembaran hasil tesnya selalu diberi tanda merah. Bersyukur dia
kemudian tidak patah semangat dalam mencari rejeki. Nah toh bukan hanya jadi
pegawai negeri kita baru bisa hidup. sering kali berganti profesi pekerjaannya,
namun sekitar beberapa tahun terahir ini dia bekerja di Program P2KP (Proyek
Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan). Dia sering keluar kota, sehingga
terkadang jauh dari istri dan 3 orang anaknya.
Anak ke tiga saya bekerja menjadi seorang guru di SMP 17 Tanah Lapang Kelurahan
Tomba, Kecamatan Wolio Kota Bau-Bau dan di salah satu sekolah swasta. Dia sudah
menikah dan mempunyai 2 orang anak, laki-laki dan perempuan. Sekarang dia
sudah menyelesaikan S2 Bahasa Inggris. Suaminya juga seorang guru di sekolah
yang sama tempat dia mengajar. Anak saya yang terakhir hanya lulus SMA. Dia
memilih untuk tidak melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi, dia sudah
menikah dan tinggal di rumah sendiri. Dia bekerja wiraswasta menghidupi anak dan
istrinya.

Pensiun yang tertunda


Setelah semua anak-anak menikah dan tinggal di rumahnya masing-masing,
sekarang saya tinggal di rumah peninggalan orang tua saya ini dengan beberapa
orang keponakan yang sudah menikah juga. Terkadang saya berpindah-pindah

179
Sulawesi Bersaksi
pergi bermalam ke rumah anak-anak yang kebetulan tempat tinggalnya tidak jauh
dari rumah ini. Bila rindu dengan saya, cucu-cucu kadang datang bermalam juga di
rumah ini. Terasa sangat senang kalau berkumpul beramai-ramai. Saya selalu
berusaha mengisi kehidupan sehari-hari dengan berkumpul bersama setelah apa
yang saya lalui sejak dari kecil, ditangkap saat masih jadi guru dan ditambah lagi
dengan suami main gila. Sangat pedih mengenang masa itu. Sampai pada tahun 2000
yang lalu, kabar gembira itu datang. Saya mendapatkan kembali hak pensiun saya
bersama dengan beberapa orang kawan guru lainnya. Ceritanya dimulai dari
pendataan sekitar tahun 70 an akhir oleh beberapa orang yang sepengetahuan kami
adalah tim dari Jakarta. Saat itu kami ditanyakan beberapa hal mengenai keterlibatan
kami saat peristiwa kemudian diwajib laporkan serta diberhentikan menjadi guru.
Yang saya tahu waktu itu saat saya diberhentikan jadi guru, ada surat
pemberhentian sementaranya. Yang berbunyi diberhentikan untuk sementara dan
dibayarkan gaji namun saya tidak tahu surat skorsing itu tercecer dimana.
Ada lagi kejadian yang tidak mengenakkan saat saya melalui pendataan ulang.
Waktu itu kami dikumpulkan lagi di salah satu rumah (kantor) milik pemerintah di
daerah Bone Saala. Dua orang laki-laki yang melakukan pendataan itu
menggunakan seragam pegawai negeri.
Setelah selesai semua orang ditanyakan data-datanya, saya yang menjadi orang yang
terahir. Awalnya saya ditanya oleh orang dari tim itu, Ibu masih mau menjadi
guru? jawab saya ; Terima kasih pak, kalau Bapak masih mau menolong saya
berapapun akan saya bayar, biar tidak ada uang, saya akan berusaha pinjam. Terus
dia bilang saya tidak perlu uang. Saya tanya; Jadi Bapak apa maunya?, dia
tunjuk ke saya (tepatnya ke tubuh saya) dia bilang,Saya mau sesuatu tapi tidak
dalam bentuk uang (sambil menunjuk tubuh saya). Saya jawab Maaf pak ya, kalau
kita ini sudah kawin begini tidak suka mempermainkan kehormatannya. Apalagi
saya ini orang Buton saya tidak usah jadi pegawai, saya jualan saja, saya bisa hidupi
anak. Saat itu hari sudah mau malam saya bilang ke Bapak itu. Pak saya punya
anak sudah menangis di sana (dirumah) dia tanya umur anak saya berapa? 1
minggu, jawabku. Oh iya silahkan pulang , lanjut Bapak itu. Akhirnya saya

180
Sulawesi Bersaksi
pulang dengan rasa kesal yang sangat dalam pada orang-orang itu. Niat menolong
orang, tapi ada embel-embelnya.
Cerita Naina dengan sedikit menggerutu atas perlakuan orang yang mewawancarainya.
Setelah pendataan itu saya sudah tidak pernah lagi dengar prosesnya seperti apa.
Sampai pada tahun 2000 ada surat pemberitahuan selanjutnya. Tapi saya tidak
mengetahui soal itu. Nanti setelah kawan lainnya selesai mengurus berkas dan
menerima gaji pensiun mereka, baru saya urus berkas. Hal yang pertama yang harus
diselesaikan adalah, kejelasan tentang klasifikasi golongan tahanan saat kami kena
wajib lapor. Penentuan klasifikasi ini diurus ke Kodim (Komando Distrik Militer)
setempat. Saya termasuk dalam klasifikasi golongan C1 waktu itu, tapi saya
meminta untuk bisa diturunkan menjadi golongan C2. Setelah mendapatkan surat
klasifikasi tersebut, lalu surat itu dibawa ke Kendari Ke Kantor P&K (Pendidikan
dan Kebudayaan).
Dengan berbekal blanko data isian dan surat klasifikasi dari Kodim, saya kemudian
mendapatkan SK Pensiun saya dari Kantor P&K tersebut. Saya sempat berpikir,
berarti selama ini, kemungkinan besar kami tetap terdaftar sebagai pegawai negeri
resmi pada BKN (Badan Kepegawaian Negara). Nah buktinya sekarang kami dapat
SK Pensiun resmi. Kemudian saya pergi ke PT. Taspen untuk menerima gaji pensiun
saya. Saya hanya bertanda tangan saja. Uang itu diambil oleh seseorang yang ikut
bersama saya, sama seperti uang kawan-kawan yang lainnya untuk dikumpulkan.
Katanya akan ada pemotongan untuk biaya pengurusan kepada orang-orang itu.
Karena selama ini mereka yang berjuang sehingga kami dapat menerima gaji
pensiun lagi. Dari total 24 juta gaji pensiun saya, saya hanya menerima
Rp.10.500.000. Padahal dari kesepakatan awal, yang saya ketahui, kami dapat
setengah dari total gaji pensiun yang dibayarkan. Itu artinya saya bisa menerima 12
juta dari total 24 juta. Awalnya dari total 24 juta, Bapak itu sudah langsung
mengambil 3 juta. Tidak jelas pemotongan 3 Juta itu untuk apa. Mungkin untuk
pengganti biaya kami makan dan menginap di tempat yang disediakan oleh Bapak
itu selama kurang lebih 3 hari. Saya tidak berusaha untuk berkeras mengusut lagi.
Dengan uang sebesar 10. 500. 000 Rupiah itu saya kembali ke Bau-Bau dengan
kawan-kawan yang lain. Ini sudah lebih dari cukup menurut saya. Dengan

181
Sulawesi Bersaksi
mendapatkan kembali gaji yang semestinya memang saya harus terima selama ini,
ini sudah menjadi titik mula yang baik bagiku. Karena sampai hari ini saya dapat
menikmati kembali hasil kerja dan jerih payah saya bersekolah pada saat itu,
meskipun ini sempat tertunda sangat lama.
Saya terlalu berat merasakan semuanya. Saya yang tidak pernah melakukan
kesalahan, kemudian mendapatkan hukuman yang begitu berat. Sumber mata
pencaharian saya di putus, dan melanjutkan sekolah tidak diterima lagi. 35 tahun
lamanya, baru ada kejelasan tentang status saya sebagai pegawai negeri yang sah,
yang tidak tersangkut paut dengan apa yang pernah dituduhkan kepada saya,
namun saya mendapatkan gelar stigma yang seakan tidak pernah berkesudahan.
Hari ini saya berdoa saja kepada Tuhan, agar anak dan cucu saya selalu
mendapatkan kebahagiaan dalam hidupnya, serta tidak mengalami perlakuan tidak
adil dari pemerintah seperti apa yang saya rasakan bersama keluarga dan kawan-
kawan lainya. Saya juga mendoakan pemerintah kita agar supaya dibukakan jalan
oleh Tuhan dan bisa melakukan peninjauan kembali atas kasus yang dialami orang-
orang seperti saya. Paling tidak, ada proses pemulihan nama baik dari korban-
korban peristiwa tahun itu. Bila luka tergores pada kulit bisa mengering setelah
diobati bahkan sampai hilang bekasnya. Tapi luka yang tergores di hati, membekas
dalam ingatan dan dibawa sampai mati.
Dengan menghela nafas panjang Naina menutup ceritanya.***

Pewawancara : Nurhasanah
Penulis : Mohammad Abbas.

Poppy & Marten Piai

Pahit Getir di bawah ORBA


Poppy, begitu biasa saya dipanggil sehari-hari di keluarga ataupun di
lingkungan teman-teman. Nama lengkapku di KTP Estefin P Manarisip, itu nama
marga saya. Jadi P itulah Poppy. Saya memang bukan asli orang Palu, saya lahir di
sebuah desa di Sulawesi Utara. Tepatnya di desa Tompaso, Minahasa 15 Desember

182
Sulawesi Bersaksi
1938. Datang ke sini ikut suami yang awalnya bertugas di Donggala Sulawesi
Tengah. Sebenarnya di Tompaso saya sudah menjadi guru Sekolah Dasar. Meskipun
hanya tamatan SGB (Sekolah Guru Bawah), karena waktu saya kelas satu mau naik
kelas dua SGA (Sekolah Guru Atas) pecah peristiwa PERMESTA (Perjuangan Rakyat
Semesta). Sekolah saya hancur kena bom kira-kira tahun 1957-1958.
Jaman saya sekolah dulu sekitar tahun 1948, di Tompaso sudah ada Sekolah Dasar
tapi waktu itu namanya masih SR (Sekolah Rakyat), meskipun agak jauh dari tempat
saya tinggal. Tahun 1954 saya masuk SMP dulukan SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama). Baru berapa bulan saya di SMP, ada guru tidak tahu bapak-bapak siapa
yang mengusulkan waktu itu anak yang melamar SMP ditarik semua masuk ke SGB,
karena baru mau mendirikan SGB (Sekolah Guru Bawah). Sebenarnya saya tidak
suka, tapi ya terpaksa ikut saja.
Sesudah 3 tahun, (dulu SGB 4 tahun ) diadakan ujian pertama, yang lulus ujian bisa
melanjutkan ke SGA ( Sekolah Guru Atas). Kalau tidak lulus, terus melanjutkan ke
kelas 4, dan mengikuti persiapan praktek untuk mengajar. Pada waktu itu saya lulus,
dan melanjutkan ke SGA Tomohon.
Dalam kompleks di mana saya sekolah ada 3 sekolah yang berdekatan, yaitu SGA,
SGPD, SMA. Semua bangunan hancur, akhirnya terpaksa tidak bisa meneruskan
sekolah. Sementara saya baru mau masuk kelas 2 SGA, saya terpaksa kembali harus
ikut ujian yang ke 4 di SGB.
Saya mulai mengajar tahun 1959, dan langsung keluar Surat Keputusan. Setelah
beberapa lama mengajar, Mama saya meninggal. Akhirnya hanya tinggal dengan
Papa dan seorang adik perempuan saya. Sebenarnya kami 4 bersaudara, anak
pertama dan kedua laki-laki, ketiga dan keempat perempuan. Saya anak ketiga, saat
ini tinggal saya sendiri yang masih hidup. adik saya meninggal tahun lalu di
Manado, saya sempat datang menengok ketika dia sakit parah dan sampai dia
meninggal. Kakak saya yang pertama meninggal beberapa tahun lalu, sementara
kakak yang nomor dua sudah meninggal ketika peristiwa Permesta, terbunuh pada
waktu bertugas sebagai Angkatan Laut. Jadi kalau saya ke Manado, sekarang tinggal
sepupu-sepupu.

183
Sulawesi Bersaksi
Saya ketemu dengan suami di Manado, waktu itu saya datang ke rumah keluarga
yang menjadi tempat beribadah. Sebenarnya saya sudah ada yang mau melamar,
seorang pendeta. Saya sudah bertemu juga dengan orangtuanya, karena sudah
cukup umur dianya jadi tidak perlu pacar-pacaran lagi. Sudah menyusun rencana
menikah apa semua dan kebetulan dia itu pendeta dari suami saya sekarang.
Mungkin karena tugasnya berat, dia menderita sakit paru-paru. Lalu keluarga bilang
orang sudah sakit begitu masa kamu mau bertahan dengan dia. Secara tidak
langsung keluarga tidak setuju saya melanjutkan hubungan dengannya. Waktu dia
masuk rumah sakit, saya memutuskan untuk meninggalkan dia. Saya merasa
mengkhianati dia tapi mau bilang apalagi, keluarga juga sudah tidak mendukung.
Waktu pertama kali suami mendekati saya sebenarnya saya sudah menolak, tapi dia
tetap nekat. Pokoknya sedikit-sedikit sudah ada di rumah, tidak kenal siang tidak
kenal malam datang di rumah. Dia pintar ambil hati orangtua saya. Ya sudah
akhirnya hati saya luluh juga.
Waktu dia bilang mau melamar, saya belum langsung menerimanya, tapi dia sudah
datang dengan keluarganya. Mau gimana lagi, lagipula orangtua sudah setuju.
Prosesnya memang tidak lama sejak dari perkenalan, tidak cukup satu bulan. Dia
harus cepat-cepat kembali ke Donggala, karena pekerjaan mendesak. Waktu mau
menikah yang saya tahu dia itu bekerja di Pelabuhan Donggala, tapi saya tidak tahu
kalau dia juga anggota redaksi Mimbar Rakyat. Sesudah menikah baru saya tahu,
tapi apa boleh buat. Kami menikah tahun 1963 di Manado.
Sebenarnya berat juga meninggalkan Papa dan adik saya, tapi karena urusan
pekerjaan suami terpaksa saya ikut pindah ke Donggala, lalu waktu suami
memutuskan pindah ke Palu ya mengurus surat pindah lagi. Tanggal 26 Agustus
tahun 1965, di Palu lahir anak pertama saya, perempuan. Waktu itu suami
memutuskan berhenti bekerja di pelabuhan, dan memilih menjadi wartawan
sekaligus mengelola Mimbar Rakyat, korannya Partai Komunis Indonesia (PKI).
Suami sangat sibuk dengan menulis di koran, dan juga kesana kemari mencari
berita.
Sebelum saya bertemu suami, saya sudah aktif di LKN (Lembaga Kebudayaan
Nasional) punya PNI ( Partai Nasional Indonesia). Waktu itu juga ada laki-laki yang

184
Sulawesi Bersaksi
mau sama saya, tapi dia aktifnya di Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) punya
PKI. Jadi bertentangan kan. Saya juga sudah menjadi guru, waktu saya aktif di LKN.
Setelah menikah, saya memang tidak terlalu ikut campur dengan aktifitas suami.
Karena saya sendiri sibuk mengajar dan kegiatan di gereja. Tapi saya tahu kalau dia
salah satu redaksi surat kabar Mimbar Rakyat. Itu saja. Memang cukup sibuk
kegiatannya, bahkan terkadang pulang sampai larut malam.
Saya juga tidak pernah ikut kegiatan partai, karena memang saya sibuk juga. Di
Gereja, kebetulan saya pengurus kaum Ibu, juga aktif membantu-bantu kegiatan
Pemuda. Pokoknya saya bergiat apa saja, paling sering ikut paduan suara, dan pergi
ibadah.
Sekarang setiap minggu saya main keyboard untuk anak-anak sekolah minggu.
Biasa tiap hari Minggu sore. Yah saya bersyukur apa yang saya pelajari waktu masih
sekolah SGB dulu ternyata masih bisa dipakai di era teknologi modern sekarang ini.
Pada waktu di SGB ada pelajaran teori piano. Piano tidak seperti sekarang, piano
dulu tidak pakai electron, tidak pakai listrik, jadi mengandalkan kekuatan kaki
ketika bermain. Tapi yang terpenting sudah punya teori, pelajari kunci ini kunci itu,
perubahan nada apapun sudah bisa membedakannya.
Semua sekolah pada waktu itu sudah harus tahu teori main piano, SGB waktu itu
diharuskan belajar teori. Mentransformer dari nada apa itu disalin ke solmisasi apa,
murid sudah harus belajar. Dua mata mata pelajaran yang dulu saya suka adalah
bahasa Inggris dan seni suara. Walaupun suara tidak bagus yang penting teorinya
saya kuasai, mulai belajar mencari tahu apa itu nada C segala macam.
Itu makanya meskipun murahan saya beli keyboard untuk di rumah. Kalau saya
sudah mulai sumpek tidak ada pekerjaan, mau tidur tidak bisa, ya sudah saya main
dan menyanyi. Lagu yang biasa saya mainkan kalau tidak lagu-lagu rohani yah lagu-
lagu kebangsaan.
Ketika suami memutuskan untuk berhenti bekerja di pelabuhan dan menyampaikan
keinginannya untuk menjadi wartawan, saya sebagai istri memberikan support.
Karena saya pikir beliau juga pasti sudah memikirkan ke depannya mau seperti apa.
Hanya saja saya tidak pernah menyangka kalau di kemudian hari, jalan hidup kami

185
Sulawesi Bersaksi
menjadi sangat berliku dan perih. Sebagai akibat dari pekerjaan yang dipilih oleh
suami saya.
Satu bulan kemudian pecah peristiwa G 30 S di Jakarta, peristiwa yang mengubah
garis hidup saya dan keluarga. Pada waktu itu saya hanya mendengar berita di
Jakarta sudah gawat, gawat bagaimana saya juga tidak tahu. Karena memang suami
juga tidak banyak bercerita tentang situasi saat itu.
Suatu malam rumah kami dilempar dengan batu besar, untung kena di ruangan
sebelah. Bangunan yang kami tempati waktu itu kayu, barangkali karena kayu nya
sudah lapuk batunya bisa masuk. Mereka sasar di jendela kamar karena ada rupanya
yang mencari tahu di mana tempat tidur kami. Tapi Tuhan Maha Kasih, lemparan
tidak kena ke kami karena kami tidak di kamar tersebut. Besoknya saya lihat
memang masuk batu besar di jendela sebelah, merinding saya membayangkan kalau
sampai menimpa anak saya. Penyebab pelemparan, rupanya karena berita terkait
peristiwa.
Tetangga sebelah rumah saya, kaget mendengar ribut-ribut rumah saya dilempari
batu akhirnya meniggal mendadak. Karena beliau memang sudah menderita
penyakit jantung, dan kenyataannya rumahnya juga kena. Akhirnya kami
memutuskan untuk mengungsi sementara ke rumah keluarga di tempat lain hingga
keadaan normal kembali.
Kemudian pada tahun 1966, sudah mulai berlangsung demo mahasiswa anti PKI.
Barangkali ribuan mahasiswa dan pelajar di jalanan. Dan beberapa dari mereka
datang ke rumah untuk menangkap suami saya, dan dibawa ke markas CPM ( Corps
Polisi Militer) sementara waktu itu saya sedang hamil anak kedua. Yang sekarang
sudah menjadi bidan, kami beri nama Dian. Anak pertama waktu itu belum genap
berumur 2 tahun dan masih saya gendong-gendong.
Saya mengira bahwa saya tidak akan dibawa, sebab apa urusannya dengan saya.
Ternyata mereka perintahkan saya ikut ke kantor CPM. Waktu itu saya
kebingungan, tidak tahu mau berbuat apa.
Saya dikumpulkan menjadi satu dengan Ibu Mariam istri Abdurrahman Dg Maselo
Sekretaris I CDB (Comite Daerah Besar) Sulawesi Tengah. Kami dibawa ke Jalan

186
Sulawesi Bersaksi
Matahari, yakni kompleks perumahan Korem. Semua istri-istri yang suaminya
ditangkap, dikumpulkan di salah satu rumah perwira di sana.
Saya sudah lupa berapa lama ditahan di Matahari, terus ada petugas CPM datang
mengambil saya, dan setelah melaporkan ke CPM, ada seorang Bapak, saya lupa
nama dan pangkatnya, merasa prihatin dengan keadaan saya. Kami juga punya
rasa kemanusiaan Bu, jadi Ibu pulang saja katanya. Kemudian saya diantar ke
rumah, tapi masih kena wajib lapor. Sejak saya ditangkap dan kembali ke rumah,
saya tidak lagi punya pekerjaan, otomatis saya tidak lagi terima gaji. Tidak punya
keterampilan apa-apa, rumahpun masih mengontrak.
Memang ada surat dari Kepala Sekolah, tempat saya mengajar sebelum saya
ditangkap. SDN 13 Palu, Pak Idin kalau tidak salah ingat nama beliau. Isi suratnya
menyatakan bahwa, sekolah mengharapkan saya bisa kembali mengajar. Karena
pada saat itu sudah musim ujian, saya biasa pegang kelas 6. Biasanya saya ajak anak-
anak les di rumah supaya kalau ujian nanti semua lulus.
Tapi karena status saya pada waktu itu sudah wajib lapor, tidak lagi bebas bergerak
akhirnya saya memutuskan untuk menolak. Saya juga tidak lagi bisa
menggantungkan nasib pada suami atau datang ke teman-temannya. Karena saya
pikir keadaan mereka tidak lebih baik dari saya. Saya harus mulai memikirkan
bagaimana mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan anak dan saya yang
sedang hamil.
Dalam keadaan hamil 6 bulan, saya terpaksa bekerja apa saja yang saya bisa lakukan.
Satu hal yang saya hindari pada waktu itu, pergi meminta-minta. Yah, hanya tenaga
yang saya punya, saya tawarkan tenaga saja. Kalau mau berjualan saya tidak punya
apa-apa. Saya mulai dengan pergi ke tetangga yang saya rasa bisa saya tawarkan
tenaga. Satu persatu mereka saya datangi, menawarkan apakah ada pakaian yang
mau disterika atau ada yang mau dicuci.
Akhirnya mulai ada yang meminta dicucikan pakaian, sterika pakaian. Upahnya pun
tidak selalu uang, lebih banyak yang membayar dengan beras, tapi tidak apa
daripada tidak makan. Terkadang ada juga yang saya minta dibayar dengan uang,
kan saya juga mesti belanja.

187
Sulawesi Bersaksi
Setiap hari kena air sabun, membuat jari-jari kaki saya melekat satu sama lain.
Untung saja tetangga saya seorang suster, jadi saya tidak perlu ke dokter. Cukup
bertanya obat apa yang bisa menyembuhkan kaki saya, dia bilang coba di kompres
pakai Rivanol, syukur bisa sembuh. Jadi kalau saya kerja mencuci, saya harus
bungkus kaki pakai kantong plastik.
Hampir tiap hari saya datang membesuk suami kalau ada rejeki karena tempat
tinggal saya tidak jauh dari penjara di Maesa. Mengingat makanan di dalam tahanan
tidak mencukupi, jadi saya bawa ikan, dan sayur. Tuhan berkenan sampai saya bisa
kirim makanan untuk suami, meskipun harus kerja keras. Yah, sejak saya sudah
mulai bekerja, saya putuskan mengontrak rumah dekat dengan penjara di mana
suami ditahan.
Waktu membesuk suami saya berkenalan dengan seorang Ibu yang suaminya juga
ditahan, mereka dari Poso. Saya biasa panggil dia Mama Wati, suaminya bernama
Kuje Ali. Ternyata dia pandai membuat roti, dia bilang namanya roti balok. Lalu
saya minta diajarkan cara membuat roti itu, kalau sudah bisa saya mau jualan.
Akhirnya selama dia berada di Palu, saya undang dia datang ke rumah untuk
mengajari saya. Tidak lama kemudian dia harus pulang ke Poso, tapi saya sudah bisa
meskipun masih belum sempurna. Masih sering gagal alias bantat.
Saya mulai mencoba dengan adonan sebanyak setengah kilo, hasilnya masih kurang
bagus. Tapi untung pada waktu itu masih jarang orang jualan roti, jadi ada juga yang
membeli biar bantat. Lama-lama saya sudah mulai terbiasa, lalu saya tingkatkan
menjadi 1 kilo, dan terus meningkat jumlah maupun kualitasnya. Uang yang masuk
benar-benar saya hemat dan simpan. Produksi saya bertambah banyak terus sampai
masuk di 7-8 kilo. Karena tidak mampu mengaduknya sendiri, saya panggil teman.
Saya sewa teman untuk membuat adonan, sudah memakai 2 loyang untuk membuat.
Saya terus pikir-pikir lebih baik saya beli bak roti, saya mulai beli bak-bak yang
ukuran kira-kira 30 centi meter lah. Saya jual waktu itu, 100 perak dapat 3 roti.
Penjualannya saya kerjakan sendiri, jalan kaki nenteng keranjang ke tetangga-
tetangga, dan kenalan-kenalan. Hasilnya bisa buat membeli beras dan disimpan,
setelah membayar ongkos kerja teman yang membantu. Selain itu saya juga masih
mencuci dan menyetrika pakaian tetangga.

188
Sulawesi Bersaksi
Setiap malam saya baru bisa tidur sekitar jam 1 dinihari, saya harus mempersiapkan
pekerjaan untuk keesokan harinya, membuat adonan roti, agar bisa lebih
mengembang. Jam 4 pagi sudah bangun karena harus membakar adonan roti,
kemudian langsung dibawa keliling. Pulang dari berjualan, terus wajib lapor dulu
baru cepat-cepat pulang. Sesampai di rumah langsung mencuci dan menyetrika
pakaian orang.
Tempat melapor, seingat saya di kompleks pertokoan, ada jalan, jalan ini terus-terus,
ada yang ke sana ada yang ke sini. Saya sudah lupa, yang pasti namanya kantor
Puterpra. Kalau sekarang dekat Rumah Sakit, jalan Maluku situ.
Saya terlalu sibuk bekerja, hingga saya tidak memperhatikan kesehatan anak-anak.
Akhirnya saya harus menelan pil pahit akibat dari keteledoran, anak saya yang
pertama meninggal di usianya yang baru 2 tahun 7 bulan. Lina begitu kami
memanggilnya, karena tidak terurus dia kena cacingan. Saya sungguh menyesal,
kalau mengingat itu hati saya sakit.
Meskipun suami di tahan sejak tahun 1965 dan baru dibebaskan tahun 1978, tapi
pada masa itu dia masih bisa datang ke rumah untuk membantu pekerjaan saya. Dia
datang pagi-pagi sekali sebelum waktunya dia bekerja paksa. Selama masa itu pula
kami masih dikarunia anak 3 orang lagi. Itu juga yang membuat saya tetap semangat
meskipun saya harus kehilangan anak pertama.
Waktu saya keliling berjualan atau ke pasar anak-anak saya tinggal di rumah, taruh
di box saja tiga-tiga. Kebetulan ada tetangga dekat di situ yang mau saya titipi.
Waktu itu anak saya yang kelima belum lahir. Saya pesan tetangga kalau gempa
bumi atau kebakaran minta tolong lihat-lihat saya punya anak-anak. Padahal kalau
dipikir-pikir kalau ada gempa atau kebakaran mana mereka mau ingat anak-anak
saya, tapi Tuhan masih melindungi mereka.
Mungkin juga karena niat saya memang untuk mencari nafkah dan jangan sampai
meminta-minta sama orang meskipun keluarga juga tidak akan ada yang mau bantu,
maka kami selalu dalam keadaan selamat. Pernah saya pergi ke tante, karena saya
sudah tidak mampu beli sandal jepit. Saya lihat sandal jepit di rumahnya ada
beberapa, saya bilang boleh saya minta sandal, saya tidak mampu mau beli.
Mungkin karena takut dibilang bantu PKI, saya tidak dikasih.

189
Sulawesi Bersaksi
Setelah itu kira-kira tahun 70an, saya sudah ada sedikit simpanan, ada tetangga yang
perlu uang. Dia mau menggadaikan sepeda, dia bilang tolong saya pinjam uang
sekian dulu, ini saya gadai sepeda. Nanti kalau saya ada uang di bulan berikutnya
saya bayar. Saya pikir ini akan sangat berguna sekali untuk saya berjualan, saya
langsung setuju dan langsung saya kasih uangnya.
Karena sudah jatuh tempo perjanjian waktu awal gadai sepeda, dia tidak bisa ganti
uangnya. Akhirnya dia bilang sudah untuk kamu saja sepedanya. Karena sudah
pakai sepeda jualan keliling, roti yang bisa saya bawa setiap harinya menjadi lebih
banyak. Biasanya saya cuma bisa bawa satu keranjang roti sekarang bisa dua. Dan
akhirnya juga sudah banyak waktu yang bisa saya pergunakan untuk mengerjakan
yang lain, seperti mencuci dan setrika.
Sedikit demi sedikit saya bisa mengumpulkan uang, anak-anak juga lebih saya
perhatikan makanannya. Saya tidak mau kejadian anak pertama saya menimpa
anak-anak saya yang lain. Kemudian Opa di sebelah tempat saya mengontrak
(sekarang sudah meninggal) bilang kalau ada tanah yang mau dijual. Saya tanya
berapa harganya, dia bilang Rp.12.500 ukurannya 35 x 18 meter. Kebetulan uang
simpanan saya sudah cukup, saya langsung bayar tunai. Saya pikir biarlah tanah
kosong saja dulu, nanti kalau sudah ada rejeki lagi mulai dipikirkan bagaimana
membuat bangunan di sana.
Bapak yang dulu gadai sepeda ke saya juga ambil tanah di situ, tapi karena dia bisa
membuat rumah sendiri, ia sudah langsung buat pondok-pondok. Lalu setiap kali
saya berkeliling-keliling naik sepeda bawa roti karena langganan saya juga itu
Bapak, dia selalu tanya Kapan kamu buat pondok-pondok di sini?.
Saya bilang, Tunggu dulu karena suami saya masih di penjara. Jadi saya pikir
sudah waktunya saya punya rumah sendiri. Selama ini saya kontrak rumah di dekat
penjara. Jadi pikir-pikir lebih baik saya minta tolong suami, saya bilang saya mau
buat pondok. Saya lapor ke CPM, dibuatkan surat ijin ke luar sementara. Akhirnya
suami bisa membantu saya membuat pondok.
Ada orang Cina pemilik Marry Glow (sebuah gedung yang biasa disewakan untuk
acara-acara pesta), kami sama-sama aktif di Gereja suka bantu kita, ringan tangan
sekali. Meskipun dia tahu suami saya seorang tapol, dia tetap mau membantu. Dia

190
Sulawesi Bersaksi
bilang kalau ada bangunan dekat Marry Glow yang sudah tidak dipakai, luasnya
sekitar 4x5 meter. Itu pondok bekas pembantunya yang sekarang sudah kembali ke
Poso. Boleh dibongkar dan jadi bahan bangunan untuk pondok kami. Saya sangat
berterimakasih sekali atas kebaikannya.
Berdua kami membongkar bangunan itu, suami yang naik, saya yang
mengumpulkan di bawah. lagipula bangunannya juga masih sederhana. Ci Niu itu
memang malaikat buat saya, sampai sewa truk dia yang bayar. Tidak habis
terimakasih saya, teringat akan kebaikan hatinya, padahal saudara sendiri tidak ada
yang peduli.
Perlahan mulai kami bangun pondok sederhana dan kebetulan ada teman di dalam
penjara yang bantu dan diberi ijin keluar. Namanya Bapak Yusak tapi sekarang dia
sudah meninggal. Bangunan sudah selesai kamipun pindah dari tempat kontrakan.
Uangnya kan bisa buat ditabung untuk biaya anak-anak sekolah. Waktu itu seingat
saya Vivi anak keempat saya sudah masuk SD, tapi kan anak pertama sudah
meninggal jadi dia dianggap anak ketiga.
Saya masih melanjutkan bikin roti, tapi karena anak-anak sudah mulai besar mereka
bisa bantu untuk berjualan. Jadi mulai saya tambah bikin onde-onde. Mereka bertiga
menjunjung kue berjualan keliling. Kalau tidak begitu dari mana biaya untuk mereka
sekolah. Sementara saya tetap berjualan keliling naik sepeda. Malam harinya
kembali lagi membuat kue untuk dijual keesokan harinya. Karena terlalu keras
bekerja tanpa istirahat yang cukup akhirnya tubuh saya harus kalah dengan
penyakit liver.
Sebenarnya penyakit liver ini saya derita sejak saya hamil anak kelima, Susan. Jadi
saya harus minum obat, waktu dia lahir dokter bilang harus diperiksa kalau-kalau
ada pengaruh obat yang saya minum. Waktu saya hamil saya sempat dirawat,
dokter menyarankan saya harus istirahat. Saya pikir bagaimana saya bisa istirahat,
sementara saya harus menghidupi anak-anak, lagipula memangnya rumah sakit
tidak dibayar. Belum lagi yang baru lahir juga harus diberi susu, dari mana dapat
uang kalau saya tidak bekerja. Sementara Bapaknya baru bebas penuh tahun 1978.
Karena melihat saya sakit dan memang sudah tidak bisa terlalu capek lagi, ada
keluarga jauh tapi cukup kami kenal, tinggal di Manado mau mengadopsi Susan.

191
Sulawesi Bersaksi
Namanya Pak Lao tapi sekarang dia sudah meninggal. Kebetulan mereka tidak
punya anak, yah sebenarnya memang cuma itu alternatifnya. Akhirnya dengan berat
hati saya merelakan mereka mengadopsi.
Proses adopsi lewat Pengadilan. Tapi setelah dia masuk SMEA (Sekolah Menengah
Ekonomi Atas), dia tahu kalau orangtua kandungnya ada di Palu. Bapak angkatnya
terus mengantar ke Palu menjumpai kami. Dalam pertemuan kami, Papanya berkata;
Ini Mamamu dan Papamu. Saya sudah lega dan puas, akhirnya dia sudah tahu
siapa orangtua kandungnya.
Sesudah lulus SMEA dia datang ke Palu, dan tinggal bersama kami. Dia sempat
bekerja di sini, tapi kemudian kembali ke Manado.
Di Manado dia melanjutkan kuliah, dan bertemu calon suaminya di sana. Bukan
orang Manado tapi orang Poso yang kuliah di fakultas tehnik. Susan sendiri kuliah
jurusan ekonomi akutansi. Sampai akhirnya mereka memutuskan menikah dan
sekarang tinggal di Tarakan Kalimantan. Karena suaminya sudah menjadi PNS di
sana.
Akhirnya saya memang harus mengandalkan bantuan anak-anak. Jadi anak saya
yang sudah mulai besar-besar bawa cucian kalau saya tidak mampu lagi mencuci,
mereka bawa cucian ke Penjara. Nanti Bapaknya yang cuci di penjara, kalau sudah
mau dijemur baru diserahkan ke keluar. Pada waktu itu mantri di penjara ada
kebijaksanaan, jadi dia sudah tahu suami harus bantu keluarga. Untuk membesarkan
mereka itu tidak gampang memang, karena saya hanya sendiri.
Sempat beberapa kali Hari Natal saya bisa berkumpul dengan suami, karena ia dapat
izin ke luar penjara. Biasanya kami, jalan-jalan di seputar kota Palu dengan satu-
satunya pakaian yang tidak pernah berganti, dan anak-anak memakai baju seragam
sekolahnya.
Teman-temannya dari keluarga orang kaya kalau sama-sama pesiar di waktu Idul
Fitri atau Hari Natal, meneriaki anak-anak saya, Pesiar kok pakai baju seragam.
Sesampai di rumah anak-anak mengeluh, Mama mereka teriaki kita ini, pesiar
pakai baju seragam.Saya juga cuma bisa menguatkan, saya bilang ke mereka,
Sudah, yang penting sehat-sehat, kan kamu sudah makan kue sama orang, makan

192
Sulawesi Bersaksi
enak, tidak usah kamu pikirkan itu. Siapa tahu besok-besok kamu tidak lagi pakai
baju seragam kalau pesiar.
Mau beli baju yang lebih bagus lagi, lebih baik baju tidak betul asal anakku makan.
Yang saya utamakan itu makannya anak-anak, pertumbuhannya mereka. Masih
kecil-kecil itu kan perlu gizi, jadi biar susah-susah mesti ada susu. Kalau mereka
sudah masa-masa sekolah saya usahakan selalu susu dulu baru pergi ke sekolah.
Pada tahun-tahun berikutnya kami mendapat kiriman berupa baju, dan sepatu, dari
keluarga dan juga teman-teman di Gereja. Saya anggap itu semua memang sudah
diatur Tuhan. Artinya Tuhan kasih beban sama kita tidak melewati batas
kemampuan.
Kami dianugerahi 5 orang anak, semuanya perempuan. Yang pertama lahir tahun 26
Agustus 1965, kami beri nama Lina. Sudah meninggal waktu usia 2 tahun 7 bulan.
Anak kedua lahir bulan Oktober tahun 1966, namanya Dian. Dia tamat SPK di
Mamboro, dia terus praktek di Budi Agung tidak lama kemudian SKnya keluar, SK
keluar terus ditempatkan di Palolo. Sudah menikah dan punya 3 orang anak. Waktu
dia sudah mulai dapat penghasilan, mulai bantu-bantu untuk bangun rumah ini. Beli
seng, pasang listrik.
Anak ketiga lahir tahun 1968, namanya Ita. Dia sempat ke Surabaya untuk sekolah
pendeta, dibiayai oleh gereja. Tamat di sana terus ditempatkan di Bondoyong
sebagai Pendeta di situ. Nah di situ dia ketemu jodoh sama-sama pendeta. Sekarang
mereka sudah punya anak 3 orang, 1 laki-laki 2 perempuan. Anaknya yang laki-laki
sudah meninggal, tinggal dua orang yang perempuan.
Anak ke empat lahir tahun 1971 namanya Vivi, sudah menikah dan tinggal di Berau
Kalimantan punya 1 orang anak laki-laki. Setamat SMA dia bekerja di toko komputer
di Palu. Setelah berapa lama dia bekerja, dia tertarik ke Balikpapan, dan ikut
keluarga di sana. Ada saudara saya yang tinggal di sana, kemudian ia diterima
bekerja di Rumah Sakit Restu Ibu. Berapa lama dia di Restu Ibu terus ketemu jodoh
orang Toraja, seorang guru, kemudian mereka menikah.
Anak kelima lahir tahun 1975, sudah menikah sekarang tinggal di Tarakan
Kalimantan punya anak satu.

193
Sulawesi Bersaksi
Waktu dia lahir, saya pergi sendiri ke rumah sakit di Jalan Hasanuddin. Sewaktu
mau pulang, pegawai Rumah Sakit bertanya, Suami kerja apa?
Saya bilang , di penjara.
Mereka langsung jawab, Oh pulang saja Bu.
Jadi meskipun suami di penjara, tapi karena masih bisa keluar dan mengunjungi
saya kalau lagi ada kerja di luar. Kami masih bisa punya anak. Waktu itu suami kan
sedang mengerjakan kali Palu, kerja paksa. Setelah itu dia cepat-cepat pulang bantu
di rumah setelah mendapat izin dari petugas. Kalau dia menginap, maka dia
berangkat lebih dulu, sebelum waktu bekerja dimulai.
Sekarang dari anak-anak kami sudah punya 7 orang cucu, bahkan sudah ada yang
menikah. Jadi kami sudah punya cicit. Sekarang memang saya sudah merasakan
hasil dari semua jerih payah dulu. Anak-anak semua sudah menikah dan sudah bisa
menghidupi keluarga mereka. Bahkan secara bergantian mereka memperhatikan
kami orangtuanya. Kalau yang Bidan itu pulang, sengaja dia kasih tinggal alat tensi
meter. Sebelumnya dia sudah kasih tahu bagaimana cari tahu tekanan, sama adiknya
Ita. Jadi kalau Opa sudah mulai rasa tidak enak, langsung ditensi. Kalau sudah mulai
naik tekanan darahnya, kalau pas Dian itu pulang dia bawa obat tapi kalau tidak dia
suruh beli obat yang ini, ini.
Pernah terpikir apakah saya menyesal menjalani semua ini...? Siapa mau punya
suami ditahan, tapi semua sudah terjadi. Hadapi saja hidup ini, yang penting prinsip
saya mampu membesarkan anak, itu saja. Dan kita masih bisa hidup berdua sampai
sekarang.

Suami Poppy mengisahkan:


Nama saya Marten Piai suami dari seorang perempuan hebat bernama Estefin P
Manarisip, biasa dipanggil Poppy. Berkat dia, semua anak-anakku menjadi anak-
anak yang berhasil meskipun dia lakukan seorang diri. Karena saya tidak berdaya
dalam penjara, dengan status tahanan politik. Di kerohanian, saya ganti nama jadi
Marten Nayoan fam yang saya ambil dari ibu. Ya sebenarnya saya juga berasal dari
Utara, hanya saja saya sudah berada di Sulawesi Tengah sejak tahun 1957.

194
Sulawesi Bersaksi
Awal perkenalan dengan partai ketika saya bertemu dengan seorang laki-laki yang
bernama Ruswanto, yang ternyata seorang pemimpin surat kabar dan juga salah
satu pimpinan Partai Komunis Indonesia. Kami bertemu di Pelabuhan tempat saya
bekerja di Duane, Pabean (bea cukai). Dia tidak pernah mengajak saya untuk
bergabung masuk partai. Dia hanya memberikan pandangan-pandangan yang
menurut saya masuk akal. Sehingga ketika saya menyatakan kesediaanku untuk
dikaderisasi itu atas dasar kesadaran, bukan karena paksaan. Sekitar tiga atau empat
kali saya bertemu dia, sejak awal bertemu memang saya sudah suka dengan cara dia
membawa diri.

Tahun 1964 saya ditugaskan membentuk Serikat Buruh Pelabuhan Pelayaran (SBPP)
di Donggala, dan saya langsung menjadi ketua. Waktu itu baru terbentuk Provinsi
Sulawesi Tengah, jadi masih mudah membentuk organisasi. Sebenarnya para
anggotanya memang belum atau tidak mengetahu kalau SBPP adalah underbow PKI.

Anggotanya itu banyak yang dari Boneoge seperti Lasuci, Lakace, mereka memang
buruh di pelabuhan. Waktu itu juga kita harus bersaing dengan BPI (Buruh
Pelabuhan Islam). serikat buruh dari partai Masyumi, yang ketuanya Daud
Ladudin.

Baru terbentuk sudah lumayan banyak anggotanya sekitar 200-300 orang, dari 500
buruh yang ada di pelabuhan. Mereka berasal dari Donggala dan sekitarnya.
Program yang kami tawarkan pada waktu itu terutama kesejahteraan buruh, dapat
kenaikan upah bongkar muat dan sebagainya. Pertama kami bentuk dewan
pengurus, tapi tetap mereka tidak tahu apa SBPP ini.
Setelah PKI membikin kegiatan di Palu, baru tertulis di spanduk bahwa Gerwani,
Pemuda Rakyat, SBPP, adalah undewbow PKI,. Tapi walaupun mereka sudah tahu,
kenyataannya mereka tidak mau keluar dari SBPP. Karena kuncinya, mereka sudah
merasakan manfaat masuk SBPP, seperti dapat makan karena bekerja di bawah
SBPP. Jadi mereka sudah merasa terikat. Tidak ada larangan untuk keluar dari SBPP.
Lama kelamaan akhirnya mereka dikader untuk membangun partai dan mengajak
kawan yang lain.

195
Sulawesi Bersaksi
Tahun 1965 awal, saya pindah ke Palu dan memutuskan berhenti bekerja di
Pelabuhan. Akhirnya saya fokus mengelola koran yang dipimpin oleh Ruswanto.
Nama korannya Mimbar Rakyat dari PKI. Waktu itu tidak hanya ada koran kami,
tetapi ada juga korannya Rusdi Toana, mereka dari HMI, dan dua koran lainnya
yang namanya saya sudah lupa. Koran kami mengusung berita-berita pro rakyat,
yang sangat ideologis, tapi kami sangat hati-hati dalam mengemas, agar jangan
sampai pihak lawan ada yang tersinggung. Kami hanya mau koran ini bisa diterima
semua kalangan. Kami punya semboyan berusaha memperkecil lawan dan
memperbanyak kawan. Strategi ini berhasil lewat koran Mimbar Rakyat itu.
Pokoknya koran itu sangat ditunggu-tunggu terbitannya. Pertama hanya terbit 3 hari
sekali. Koran itu , kemudian baru distensil, hanya 4 lembar bolak balik. Teknologi
masih sangat sederhana waktu itu.

Pengelola Mimbar Rakyat terdiri dari beberapa orang. Ruswanto sebagai pemimpin
redaksi anggotanya saya, Imran Torar, dan Aminudin Lajamana. Ruswanto juga
yang bertanggungjawab terhadap editorial, sebelum naik cetak kita selalu diskusi
tentang isi berita. Biasa walau sudah siap cetak Ruswanto memberi usulan
perubahan, biasanya kami langsung menerimanya karena idenya bagus. Koran kami
ini menyasar masyarakat lapisan bawah, yah BTI, Gerwani, Pemuda Rakyat,
pokoknya rakyat bawah.

Kalau sudah hari cetak, sudah ramai orang datang di kantor redaksi kami di Lolu,
masih rumah tinggal di situ dulu. Koran itu tidak dijual, didistribusikan langsung ke
bawah oleh organisasi-organisasi PKI, yaitu BTI, Pemuda Rakyat dll. Koran ini
hidup juga dari sumbangan anggota partai yang mengumpulkan iuran. Ada juga
iklan, seperti iklan sepeda, atau ucapan selamat kalau ada pejabat yang dilantik.

Pak Ruswanto itu orangnya sangat hebat, dia tinggi kurus kulit hitam. Dia
ditempatkan di mana saja bisa, sangat cerdas, pokoknya dia itu orang hebat. Dia juga
wartawan kantor berita Antara yang ditunjuk langsung dari pusat. Setiap hari dia
menyiapkan berita untuk media Antara di pusat tapi juga memimpin kami di
Mimbar Rakyat. Belum lagi dia sebagai anggota Dewan yang juga sangat berperan di
Kantor Gubernur. Ide-idenya sangat didengar dan diterima oleh semua orang di

196
Sulawesi Bersaksi
Gubernuran, seperti ide tentang pemajuan propinsi, karena waktu itu propnsi
Sulawesi Tengah baru terbentuk, seteah berpisah dari Manado. Di partai Ruswanto
juga berperan untuk menentukan/mengusulkan siapa kader partai yang akan
dikirim ke luar daerah untuk mengikuti sekolah partai. Melakukan promosi kemana-
mana, dikirim belajar ke pusat, sampai ke luar negeri.

Selain Ruswanto ada beberapa pimpinan PKI yang saya kenal seperti Abd. Rahman
Maselo sekretaris pertama CDB (Comite Daerah Besar) Sulawesi Tengah.
Sunaryo dari Pemuda Rakyat, Zamrud pemimpin CR(Comite Resort) Donggala. Ke
empat orang inilah yang akhirnya dinyatakan hilang setelah peristiwa G 30 S tahun
1965.
Saya ingat waktu pertama menyampaikan keputusan berhenti bekerja karena saya
mau menjadi seorang wartawan dan membantu mengelola koran Mimbar Rakyat.
Dia itu tidak macam-macam, nurut saja. Waktu saya bilang kalau pekerjaanku ini
juga tidak jelas pendapatannya. Karena memang kami tidak digaji secara tetap, ya
kalau ada yang pasang iklan dapat uang. Karena korannya juga korang gratis.

Karena kita punya ideologi kuat, apa saja kita kerjakan. Asik memang bikin begini
begitu segala macam biasanya sampe jam dua tengah malam, besok dipikir lagi apa
yang harus dibuat, jadi praktis keseluruhan hidup kita serahkan disitu.
Yah ketika pecah peristiwa itu, kami semua ditangkap. Termasuk juga para buruh
yang tergabung dalam SBPP. Saya ditangkap tahun 1966, dibebaskan tahun 1978.
Duabelas (12) tahun saya dipenjara, dan selama itu istri dan anak-anakku harus
berjuang sendiri memenuhi semua kebutuhan mereka. Bahkan istriku masih juga
harus memikirkan makanku di dalam tahanan.

Saya ditangkap di rumah, di Maesa. Mahasiswa dan ratusan massa yang dipimpin
Rusdi Toana, saingan kami dalam mengelola koran. Kemudian dibawa ke Korem,
tidak ada penyiksaan hingga tahun 68, baru ada tim yang datang mengintrogasi dan
menyiksa. Istri saya juga dibawa tapi tidak ke Korem. Dia dibawa ke Jalan Matahari.

Ketika terjadi peristiwa itu, sebenarnya kami semua sama sekali tidak tahu apa
sebenarnya yang terjadi, sesudah rame, pada tgl 5 Oktober 65, baru kami mengerti.

197
Sulawesi Bersaksi
Tapi memang sejak itu Mimbar Rakyat sudah tidak terbit, karena memang sudah
kacau juga keadaannya. Kami juga tidak sempat lagi mengadakan pertemuan,
pokoknya sesudah peristiwa terjadi praktis sudah bungkam.

Sementara Ruswanto masih berkonsolidasi ke sana ke mari, pergi ke kantor Antara,


karena dia harus mengirim berita. Maselo juga seperti itu, masih belum mengatakan
apa-apa. Pokoknya kami semua bingung apa sebenarnya yang terjadi ini. Semua
bertanya-tanya tanpa ada pemberitahuan apapun dari pusat.

Sebenarnya sedikitpun saya tidak ada bayangan kalau mau ditangkap, karena
memang terbukti baru setelah 6 bulan terjadi peristiwa, baru ditangkap. Walaupun
memang sudah ada juga yang ditangkap satu bulan setelah kejadian.

Banyak peristiwa saat itu yang sudah saya lupa, hanya beberapa bagian saja yang
masih saya ingat. Karena memang usia yang sudah lanjut ini. Yang terpenting
sekarang saya sudah bisa berkumpul dengan keluarga saya dan anak-anakku yang
sangat memperhatikan kesehatan kami. Bukan berarti peristiwa itu tidak berbekas
dalam perjalanan hidupku tapi kupikir penderitaanku tidak seberat penderitaan istri
dan anak-anakku.**

Pewawancara: Anita Taurisia


Penulis: Nurhasanah.

Rafin Pariuwa

Kisah Panjang Kerjapaksa


Saya itu pernah disetrum sampai pingsan, dipukuli, ditelanjangi, pernah juga
ditinju oleh polisi yang dijarinya ada cincin, sampai sekarang masih ada bekasnya di pelipis
saya ini. Saya sangat berharap sampai kapanpun apa yang saya alami tidak pernah terjadi
lagi

Saya lahir tanggal 20 Januari 1938, di Kelurahan Kayumalue Pajeko, Kecamatan Tawaeli
Kota Palu Propinsi Sulawesi Tengah. Dulunya kelurahan ini masih berbentuk desa dan

198
Sulawesi Bersaksi
menjadi wilayah Kabupaten Donggala. Saya lahir dari hasil pernikahan Pariuwa dengan
Badiah. Saya bersaudara sebanyak 6 orang.

Saya adalah anak ke dua dari 6 bersaudara. Kakak pertama saya namanya Alibaba sekarang
masih hidup tinggal di Kayumalue Ngapa punya anak 4 orang, sudah meninggal satu orang.
Saat kejadian itu, dia juga ikut wajib lapor. Tapi dia tidak wajib lapor di Koramil setempat,
melainkan di Kodim Palu. Setiap hari pergi melapor naik sepeda yang jaraknya sekitar 20 an
KM.

Anak ketiga bernama La adu (Alm) punya anak tiga dua perempuan satu laki-laki. Anak
yang ke empat namanya Lato, dia juga dipenjara sama seperti saya. Hanya lebih cepat bebas,
sekitar 4 bulan saja dia ditahan. Sekarang masih hidup punya 7 orang anak, dua laki-laki
dan lima perempuan. Anak yang ke lima namanya Amir punya tiga orang anak, semuanya
laki-laki. Dan yang terakhir Darsono (alm) punya 4 orang anak, tiga laki-laki dan satu
perempuan. Semua keluargaku wajib lapor di Koramil setempat, kecuali kakak yang
pertama.

Ditangkap
Saya sekolah di Sekolah Rakyat I (SR) Tawaeli di desa Baiya. Masuk tahun 1949 tamat tahun
1955. Setiap hari berjalan kaki sejauh 3 km, untuk bisa sampai ke sekolah. Saat itu jembatan
yang menghubungkan desa Kayumalue dengan kelurahan Lambara belum jadi. Saya
bersama murid yang lain berpegangan tangan menyeberangi sungai yang cukup deras
arusnya. Kurang lebih 50 an orang berjalan bersama dengan kawan lainnya mulai yang dari
desa Mamboro dan Taipa. Saat hujan deras tidak ada yang berani menyeberang sendiri.
Setelah tamat SR, saya melanjutkan ke Sekolah Guru Bawah (SGB) Negeri Donggala di
Donggala selama 4 tahun. Setelah tamat langsung diangkat menjadi guru di SDN Bale,
Kecamatan Tawaeli tidak jauh dari desa asal saya. Waktu itu saya langsung mendapat SK
dari Pemerintah untuk mengajar. Saat masih sekolah di SGB saya sudah menikah dengan
Hanafiah dari desa saya sendiri pada tahun 1958.

Setelah dua tahun menikah, lahir (dikaruniai) anak pertama tahun 1960 yang kami beri nama
Karmawan. Kemudian anak yang kedua lahir tahun 1962 bernama Ardan. Bersamaan
dengan lahirnya anak kedua, saya masuk Organisasi Pemuda Rakyat (OPR) namanya. Saya
mengenal Organisasi ini dari seorang guru bernama Abdul Rahman Dg. Maselo. Program
yang dijalankan organisasi inilah yang membuat saya jatuh hati. Programnya antara lain

199
Sulawesi Bersaksi
memperjuangkan nasib petani, anti kolonialisme, dan anti imperialisme. Dukungan dari istri
pun turut menyemangati. Tahun 1964 lahir anak ketiga, Darusman.

Belum lama mengajar sebagai guru, dan belum lagi banyak yang dilakukan dalam
organisasi, tragedi G30S pecah di Jakarta. Saya ditangkap dengan tuduhan terlibat dengan
peristiwa yang menewaskan beberapa orang jenderal di Jakarta. Ditambah lagi dengan
keaktifan saya di organisasi pemuda rakyat, serta profesi saya yang juga sebagai guru.

Malam hari tanggal 12 November 1965 saya didatangi oleh beberapa orang polisi yang
dipimpin oleh Umar Said di rumah mertua tempat saya tinggal bersama istri. Saya langsung
dibawa ke penjara Maesa Palu. Satu truk penuh orang yang ditangkap bersama saya saat itu.
Mereka ditangkap di Labuan, Tawaeli, Toaya dan beberapa daerah lainnya.

Sampai di penjara Maesa, kami diturunkan satu-satu lalu dipukuli oleh tentara. Kemudian
dimasukkan ke dalam ruangan tahanan. Dalam satu ruangan kami sekitar 80 orang. Hari-
hari berikutnya kami terus mendapat siksaan, dipukuli lagi sama-sama dengan orang yang
baru dimasukkan di penjara.

Sekitar bulan Februari tahun 1966, semua orang yang ditangkap mulai diperiksa dan
dipaksa mengaku terlibat dan mengetahui kejadian yang terjadi di Jakarta itu. Tidak ada
yang luput satu orangpun dari pemeriksaan dan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat.
Dipukuli, ditendang, ditinju, bahkan saya sampai ditelanjangi dan disetrum. Pernah sekali
waktu saya bersama dengan dua kawan dikeluarkan dari penjara untuk diperiksa di Korem
dalam keadaan belum makan sedikitpun. Dari jam setengah 6 sore baru dikembalikan jam 4
subuh. Di sana saya dipaksa untuk mengakui bahwa saya benar tahu dan terlibat dengan
peristiwa di Jakarta tersebut. Muka aya menjadi sasaran empuk tinju si pemeriksa yang
sampai saat ini meninggalkan luka di pelipis kanan. Dalam penyiksaan yang tertutup itu
saya dipisahkan di ruangan yang berbeda dengan dua kawan lainnya. Saya sampai pingsan
karena fisik sudah tidak sanggup lagi menahan siksaan disetrum. Apa yang terjadi dengan
kedua kawan lainnya tidak jauh berbeda. Pada tahun yang sama lahir anak saya yang ke
empat, diberi nama Gestina.

Kerja Paksa
Semua tahanan dikerja paksakan sejak tahun 1966. Pertama-tama di Komando Kali Palu
(KKP). Pekerjaan kami membendung Kali Palu yang biasanya kalau banjir besar airnya

200
Sulawesi Bersaksi
meluap dan masuk ke kampung-kampung di sekitarnya, yaitu Kampung Kalikoa, Kampung
Baru dan Kampung Lere. Pekerjaan ini kami kerjakan dari tahun 1966 sampai tahun 1967.

Kami bekerja mulai jam 8 pagi sampai jam 5 sore, dengan jatah makan satu kali. Kami sangat
tersiksa di sana, semua bahan-bahan yang digunakan untuk membendung sungai Palu itu
kami sendiri yang disuruh mengambil. Mulai dari patok, batu dan rotan. Sungai itu dalam
dan deras sekali airnya. Memasukkan batu ke dalam bronjong babi (bronjong yang dibuat
dari rotan sebagai landasan awal) kami hanya menggunakan tali untuk berpegangan
menyeberangi sungai. Pernah seorang teman hanyut di situ, beruntung bisa diselamatkan.
Selesai bekerja kami dikembalikan lagi ke penjara

Kemudian sesudah itu saya dipekerjakan di Mess Perwira Korem 132 Tadulako yang
bertempat di Jalan Persimpangan Jalan Hasanuddin dengan Jalan Mawar bersama teman
yang bernama Jibran dari Toaya. Pekerjaan kami pada waktu itu melayani tamu-tamu dan
menimba air untuk kebutuhan mandi para tamu. Hanya berhenti untuk makan saja, terus
bekerja lagi. Kalau tamu sedang banyak, untuk berhenti makanpun tidak bisa. Kerjapaksa di
Mess Korem ini kurang lebih selama 3 tahun.

Seterusnya kami dipekerjakan di kampung, ayak-ayak pasir di Kali Labuan Beru Kelurahan
Mamboro, atas arahan Komandan Sormin dan pengawasnya pak Rukiman dari CPM (Corps
Polisi Militer). Sekitar 30 an orang yang bekerja di tempat ini. Pasir ini digunakan untuk
pembangunan berbagai gedung pemerintah dan kantor tentara dan polisi. Selanjutnya saya
dikembalikan lagi ke Palu, dan dipekerjakan lagi di Asrama Korem Tanamodindi. Pada
waktu itu saya disuruh tinggal di rumah Kapten Aritonang dari Kodim, sebagai pembantu
rumah tangganya, mencuci pakaian seluruh anggota keluarganya. Kemudian kalau ada
waktu senggang, saya disuruh mengajar anak-anaknya. Mulai dari mengajar membaca dan
pengenalan huruf sampai berhitung. Kadang-kadang keadaan ini saya gunakan juga untuk
istirahat dari pekerjaan berat. Karena kalau tidak mengajar mereka, saya pasti menimba air
dan melayani tamu sepanjang hari. Setelah beberapa lama di rumah Kapten Aritonang, saya
dipindahkan ke rumah Kapten Saproni di Korem. Selama dua tahun lebih di situ membantu
mengisi bak dan mencuci pakaian keluarga.

Saat bekerja mengayak pasir di Kali Labuan Beru (Kelurahan Mamboro) saya dan kawan-
kawan lainnya tinggal di sebuah tempat semacam barak kecil. Kesempatan ini selalu mereka
gunakan untuk bisa menjenguk keluarga. Namun untuk kawan-kawan lainnya yang

201
Sulawesi Bersaksi
rumahnya agak jauh dari tempat mereka bekerja, terpaksa harus tinggal di barak saja. Saat
di awal saya masuk penjara, hanya sesekali istri datang menjenguk. Itupun bila ada
kesempatan, karena istri juga harus wajib lapor setiap hari ke Koramil Tawaeli. Istri saya
bebas wajib lapor tahun 1982 bersama ibu mertua dan semua keluarga. Tapi Bapak saya
wajib lapor di Kodim Palu, selama 11 bulan bersama-sama dengan saudara saya Alibaba
yang pernah dipukul pada saat wajib lapor sehingga sampai sekarang tidak bisa mendengar.
Bapak saya dipukul karena menjadi ketua pembangunan masjidnya PKI yang sekarang
bernama Masjid Nurhidayah Kayumalue Ngapa. Dulu Masjid itu tidak bisa diresmikan
karena semua orang menganggap itu adalah Masjid yang dibangun oleh PKI. Walaupun
Bapak saya tidak tahu apa-apa, harus juga juga wajib lapor. Satu adik saya juga ditahan.
Tahun 1972 lahir anak saya yang ke lima, diberi nama Rosni. Saya dan istri sangat bahagia
karena ada kesempatan di sela kerja paksa dan wajib lapor untuk bertemu.

Sekitar tahun 1974 saya dengan beberapa orang lainnya dikirim lagi ke Kebun Kopi. Di sana
kami bekerja memperbaiki jembatan yang rusak, menggali got (Saluran Air) serta
mengangkut tanah longsoran yang menutupi jalan. Di sana hanya tiga bulan, lalu
ditempatkan di desa Taipa untuk membuat bagang (alat untuk menangkap ikan) yang
bahannya dari bambu yang kami ambil sendiri di atas gunung Kayumalue sampai desa
Guntarano. Pada tahun 1975 saya dipindahkan ke mess Torayaku, tempatnya Kamandan
Sapu Jagad yang bernama Letnan Kolonel Pric Montolagu. Komandan Sapu Jagad bertugas
melakukan penangkapan PKI gaya baru. Saya disuruh melayani tamu-tamu termasuk
mengurus makanan, pakaian dan pergi belanja ke pasar.

Kemudian tahun 1978 saya dipindahkan ke Inrehab Merara Mputih di Rantekala. Di sana
dikurung saja sekitar 4 bulan, lalu dikembalikan ke penjara lagi. Akhir tahun 1978 saya
dipindahkan di POM CPM Palu, bekerja di situ pada Kapten Saproni kira-kira 3 bulan.
Terakhir saya diambil oleh kepala bagian satu Korem, saya lupa namanya. Saya tinggal sama
dia sampai saya bebas tanggal 05 Desember 1979 dan kembali ke masyarakat. Kalau
dihitung masa penahanan saya berlangsung selama 14 tahun.

Bebas dari Penjara, Susah Mencari Pekerjaan.

Setelah bebas dari penjara timbul kesulitan mencari pekerjaan. Satu hal yang menolong saya
adalah karena saya pernah menjadi guru, hingga banyak dikenal orang. Karena semua surat-
surat yang menyangkut pengangkatan sebagai guru dan dokumen lain yang penting

202
Sulawesi Bersaksi
dirampas waktu saya ditangkap kemudian dibakar, menutup peluang saya untuk bisa
kembali menjadi guru. Akhirnya saya bekerja di perusahaan kakak, tugas saya memilah-
milah rotan berdasarkan jenisnya. Dari pekerjaan inilah saya dapat uang untuk menghidupi
keluarga.

Tahun 1981 saya bertemu dengan seorang anak dari Moutong, namanya Malik. Dia datang
ke rumah bertepatan dengan penggalian barang antik (benda purbakala) di Kayumalue yang
lokasinya dari atas gunung sampai di kampung. Malik ini bekerja mengurusi barang-barang
antik bersama dengan bosnya.

Kemudian bosnya ini mengajarkan saya mengenali barang antik yang mahal sekalian
dengan harga-harganya. Dua malam saya diajar sambil menunjukan beberapa barang yang
sudah di belinya. Kemudian dia (Si Bos) menyuruh saya membeli barang-barang antik yang
ditemukan dalam penggalian tersebut.

Saya sudah pernah melihat piring-piring dan mangkok hasil galian orang-orang itu. Setelah
pandai melihat barang mahal dan murah, mulailah saya membeli barang-barang itu dengan
modal sebanyak 2 Juta Rupiah yang dikasi oleh bos itu. Saya kumpulkan barang itu di
rumah. Bukan hanya barang yang ada di Kayumalue dan sekitarnya yang datang, tapi
barang antik dari tempat yang jauh seperti dari Desa Moutong djual ke saya.

Pernah satu kali kebetulan tidak jauh dari rumah saya ada anak-anak mendapat
piring waktu mereka menggali. Piring itu dijual dengan harga 400.000 rupiah,
padahal itu piring mahal. Ketika saya serahkan kepada Bos, dia peluk saya erat-erat
dan mengatakan kalau di Jakarta piring-piring itu bisa berharga 20 juta Rupiah. Sejak
itu saya menjadi pembeli barang antik.

Saya diajak ke Jakarta oleh Bos, ternyata Bos ini adalah anak seorang Jendral yang juga
menjadi korban Orbe Baru karena termasuk dalam Petisi 50. Boslah yang menceritakan hal
itu kepada saya. Pada waktu saya masih di Jakarta bos bilang ke saya , pak Guru tidak usah
kembali, pergi ambil keluarga saja bawa kesini. Ini rumah baru dan besar, ada 8 kamarnya.
Rumah ini kepunyaan anak saya yang ada di Kalimantan tapi karena dia sudah pimpinan
perusahaan besar di sana, rumah ini saya berikan ke kamu. Saya jawab niat baik dia, Pak,
anak-anak saya masih sekolah.

203
Sulawesi Bersaksi
Kemudian dia bilang lagi ke saya, Sudah bawa kemari itu anak-anak.

Tapi akhirnya saya tetap memutuskan untuk pulang dan tinggal di Kayumalue, karena saya
sudah punya pondok kecil waktu itu yang saya tinggali bersama keluarga. Tidak berapa
lama saya kembali dari Jakarta, dia datang ke rumah untuk memberikan uang dari
keuntungan menjual barang antik. Pak Guru, bikin tempat tinggal (bangun rumah), biar
ada yang jadi bukti hasil pekerjaan pak guru. begitu dia bilang.

Dengan uang itu kemudian saya bisa membangun rumah yang lebih baik. Ini semua
mungkin sudah rejeki yang diberikan oleh Allah kepada saya. Mungkin karena saya baik
kepada sesama manusia. Di kampung itu orang sering bilang pak guru itu baik, tidak ada
dia baku salah di kampung (tidak suka berselisih paham dengan orang).

Sejak tahun 1987, saya kembali bekerja di perusahaan rotan tapi bukan milik kakak saya.
Awalnya seorang kerabat bernama Edward Wiyanto datang ke saya menanyakan lokasi
yang baik untuk membangun sebuah pabrik rotan. Pak Edward ini masih kerabat karena
menikah dengan sepupu saya. Kebetulan di depan rumah saya yang sekarang ini, ada tanah
milik istri. Saya ceritakan itu ke dia, lalu dia bilang pak guru bantu saya untuk mengurusi
ini.

Hal ini kemudian saya diskusikan dengan istri dan keluarga lainnya, akhirnya tanah itu
sepakat kami jual. Setelah tanah itu dibeli, langsung didirikan perusahaan rotan yang diberi
nama CV Kencana Sakti Rotan. Saat sudah terbangun dan perusahaan mulai aktif saya
diminta untuk tinggal di perusahaan itu untuk menjadi penjaganya. Sekarang sudah pindah
di Kayumalue jurusan ke desa Guntarano.

Beberapa pekerjaan saya lakukan selama bekerja di perusahaan ini. Mungkin karena saya
dipercaya oleh pemilik perusahaan, saya juga ditunjuk menjadi juru bayar gaji karyawan.
Gaji saya terhitung lumayan karena di samping gaji resmi, ada juga uang yang diberikan
oleh bos. Menurut bos saya, dia bisa jadi kaya karena saya menemaninya. Sampai sekarang
pak Edward itu selalu datang jenguk saya dan menanyakan bagaimana kesehatan saya.
Alhamdulillah anak-anak saya bisa juga sekolah dengan biaya saya sendiri dan membangun
rumah tempat kami tinggal sekarang ini.

Saat kembali bekerja dan berbaur dengan masyarakat luas, stigma PKI tidak terlalu berasa di
lingkungan saya. Mungkin salah satu faktornya karena mayoritas masyarakat Kayumalue

204
Sulawesi Bersaksi
saat itu hampir semua kena wajib lapor. Jadi tidak ada bahasa sindir-sindiran yang terjadi,
sama-sama senasib semua.

Sekarang ini saya tinggal bersama istri ditemani oleh dua orang anak laki-laki yang belum
menikah dan anak ketiga bersama istri dan tiga orang anaknya Anak saya yang pertama dan
keempat sudah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Anak yang terakhir Rosni
sekarang sudah tinggal di rumah sendiri bersama suami dan keempat orang anaknya. Rosni
adalah Guru di SDN Labuan, Ardan bekerja di perusahaan Tripleks dekat rumah mereka,
dan Darusman bekerja di Kantor Kelurahan Kayumalue Pajeko.

Di usia saya yang sekarang ini dengan fisik yang tidak bugar lagi, kebahagiaan saya
hanyalah bisa berkumpul dengan anak dan cucu-cucu yang masih kecil-kecil. Yang paling
tua sekarang sudah kuliah di Universitas Tadulako dan sementara menyelesaikan KKN nya.
Sesekali saya juga masih bisa membersihkan halaman depan dan belakang rumah,
mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh.
Saat ini saya juga sudah tidak mendengar ada orang seperti dulu suka bilang: jangan
bergaul dengan dia, dia itu terlibat, PKI atau teriakkan dasar PKI. Semua itu sudah
semakin redup. Mungkin saat ini masyarakat akhirnya sudah mulai paham dengan apa
yang terjadi dan menimpa orang-orang seperti kami ini. Semoga pemerintah juga sudah
sadar atas apa yang pernah dilakukannya kepada kami. Saya tidak habis membayangkan
sampai saat ini, semua keluargaku tidak ada yang luput dari jeratan kejadian itu. Terlebih
jika saya ingat penderitaan luar biasa yang dialami dan ditanggung istri selama 14 tahun
saya dipenjara. Menjadi tulang punggung keluarga dan membesarkan anak-anak sendirian.

Semoga kejadian yang terjadi atas diri saya dan keluarga saya ini tidak terjadi lagi dan
tidak menimpa orang lain. Cukup kami saja, jangan sampai ke anak cucu kami lagi. ***

Pewawancara dan penulis: Mohammad Abbas.

205
Sulawesi Bersaksi
Windra

Berjuang Melawan Beban Sejarah

Tuhan memang tidak akan memberikan cobaan melebihi kemampuan umatnya, aku
tahu itu. Tapi terkadang nalarku tidak bisa menerimanya, sehingga pernah satu kali aku
ingin bunuh diri. Mungkin apa yang kualami tidak seberat yang dialami oleh orang lain,
tapi buatku ini sudah sangat berat kurasakan.
Aku memang bukan siapa-siapa, aku hanya seorang perempuan desa jauh di pelosok hiruk
pikuk kota apalagi Ibu Kota negara tercinta ini. Tapi nasibku ternyata ditentukan oleh satu
kejadian yang menggemparkan, di sana. Peristiwa itupun terjadi sebelum aku lahir tapi
kelak karena itu, aku harus hidup dengan membawa dosa tujuh turunan.
Aku lahir dan besar di Solowe, sebuah desa kecil di Kecamatan Dolo Selatan Kab. Donggala
Sulawesi Tengah. Tepatnya tgl 6 Juni 1971. Kakek dari Mamaku adalah PKI, Kakak Mama
juga PKI. Sementara Papaku di PKI-kan karena mertuanya PKI. Di samping itu juga kakak
dari Papaku PKI.
Ketika aku baru masuk Sekolah Menengah Atas (SMA) aku sudah membayangkan menjadi
Pegawai Negeri (PN). Namun aku mendengar dari para tetangga katanya meskipun aku
sekolah tinggi tetap saja aku tidak bisa jadi pegawai negeri, sampai tujuh turunan karena
aku keturunan PKI. Lalu untuk apa aku sekolah hanya membuang uang dan waktu. Aku
putus asa, kecewa dan hanya bisa menangis. Waktu itu aku berpikir menjadi pengawai
adalah segala-galanya.
Akhirnya selesai kelas satu aku memutuskan tidak lagi melanjutkan ke kelas dua. Sampai
akhirnya Om datang dan menyuruhku untuk tetap melanjutkan sekolah. Aku tidak boleh
mendengarkan apa kata orang, karena tidak mungkin keadaan akan terus seperti ini. Satu
saat nanti pasti akan berubah, karena kita tidak tahu nasib kita ke depan.
Aku pikir ada benarnya juga, tapi karena kelas dua sudah berjalan aku tidak bisa lagi masuk.
Lalu Om tetap mengusahakan agar aku tetap sekolah dan bisa ikut ujian. Akhirnya aku bisa
masuk kelas 3 dan langsung bisa ikut ujian waktu itu. Waktu itu peraturan sekolah memang
masih tidak seketat sekarang, apalagi di daerah.
Tahun 1990 ada yang mau melamarku, dia seorang guru dari desa Potoya tetangga desa.
Aku bertemu dengannya waktu ada acara hiburan pesta di desaku. Banyak pemuda-pemuda
kampung lain datang termasuk pacarku ini. Akhirnya kami berkenalan, sejak itu setiap malam

206
Sulawesi Bersaksi
minggu dia selalu datang ke rumahku. Tentu saja kami tidak pernah bicara-bicara siapa
orangtua kami masing-masing.
Akhirnya dia memutuskan untuk melamarku dan orangtuanya akan datang ke rumah. Aku
tidak keberatan, kupikir biarlah aku tidak bisa menjadi Pegawai Negeri tapi aku bisa punya
suami Pegawai Negeri. Apalagi kalau di kampung, seusia aku sudah termasuk tua untuk
menikah.
Ternyata sebelum datang untuk melamar, keluarganya mencari tahu siapa keluargaku. dan
ternyata ada tetangganya yang kenal dengan Omku. Lalu mereka bilang kalau keluarga
kami adalah orang PKI berat. Akhirnya mereka memutuskan untuk tidak jadi melamar.
Mereka takut anaknya kawin dengan aku, akan terkena imbasnya juga. Apalagi dia seorang
guru, bisa-bisa diberhentikan dengan tidak hormat.
Berita itu tentu saja membuat aku dan keluargaku malu, karena berita aku akan dilamar
sudah tersebar di kampung. Pupus sudah harapanku untuk segera menikah dan itu
membuat aku terpuruk cukup lama. Aku berjanji kalau aku tidak akan berhubungan dengan
seorang pegawai negeri.
Akhirnya aku memutuskan untuk ikut kursus komputer, aku mau bekerja dan tidak mau
terus meratapi keadaanku. Sembilan bulan aku kursus, setelah tamat aku diperbantukan
oleh lembaga ke cabang Poso, dan 3 bulan setelah itu balik ke kampung. Tidak lama
kemudian aku bertemu seorang laki-laki, dia bekerja di kantor koperasi. namanya Rusli,
orang Jawa. Kebetulan bapaknya tentara, mereka tidak tinggal satu kampung denganku.
Waktu itu dia memang langsung menemui Mamaku, dan menyatakan kalau dia mau
melamar aku. Mama hanya bertanya apakah aku mau menikah dengan dia?. Keadaanku
waktu itu sebenarnya masih trauma dengan peristiwa lamaran yang pertama dulu. Tapi
kupikir ini akan beda, karena dia bukan pegawai negeri. Jadi meskipun dia tahu latar
belakang keluargaku tidak akan mempengaruhi apapun.
Akhirnya semuanya kuserahkan ke Mama, Kalau Mama suka, saya suka sudah. Tahun
1992 satu bulan setelah acara lamaran akhirnya kamipun menikah. Betapa bahagianya aku,
apa yang selama ini aku takutkan tidak terjadi. Sekarang aku sudah mempunyai suami dan
kalau Tuhan mengijinkan kami akan punya anak dan menjadi satu keluarga yang utuh.
Di usia perkawinan kami yang keempat, tiba-tiba suamiku minta dimutasikan ke Poso. Dia
hanya bilang nanti satu bulan berikutnya, aku akan dijemputnya. Kepindahannya ke Poso
tidak lama setelah Bapaknya datang ke rumah dan bertemu dengan ibuku. Aku tidak curiga
sedikitpun kalau itu cara dia mau menghindariku.

207
Sulawesi Bersaksi
Satu bulan sudah sejak dia berangkat aku tidak menerima kabar sedikitpun apalagi kabar
dia akan menjemput aku untuk sama-sama tinggal di Poso. Akhirnya aku mendatangi
kantor pusat tempat dia bekerja, untuk menanyakan apakah ada kabar dari suamiku.
Mereka bilang tidak ada, mereka menyarankan agar aku menyusul saja ke sana, daripada
hanya menunggu kabar tidak pasti. Awalnya aku coba menelpon ke kantornya di Poso, dia
bilang masih sibuk belum bisa datang menjemput. Akhirnya aku putuskan untuk datang
saja ke sana tidak usah menunggu dijemput karena aku juga pernah bekerja di sana.
Sepanjang perjalanan sudah kususun rencana, bagaimana nanti jika aku bertemu dengan
dia. Karena sudah satu bulan kami tidak bertemu, aku sangat merindukannya. Dia pasti
terkejut tiba-tiba aku ada di rumah ketika dia pulang nanti. Meskipun begitu dia pasti
senang, karena istrinya datang. Akupun senyum-senyum sendiri, membayangkan apa yang
akan terjadi selanjutnya.
Setelah sampai di sana dan bertemu, bukannya dia datang dan memelukku sambil bilang
betapa dia merindukan aku. Dengan nada marah dia bilang, kenapa kau ikut saya?.
Eh, kalau kau bukan suami saya, saya tidak ikuti kau jawabku.
Aku heran kenapa dia bilang begitu, apa yang sudah terjadi. Aku langsung terbayang pasti
ada perempuan lain di sini. Akhirnya dengan suara yang tidak lagi marah dia berterus
terang kalau alasan dia minta mutasi ke Poso karena untuk menghindariku. Papaku sudah
tahu semua latar belakang keluargamu.
Aku masih tidak mengerti, latar belakang keluargaku bagaimana? tanyaku.
Eh, kamu punya kakek PKI berat, kamu punya Om PKI berat, jadi tidak mungkin orang
tuamu bukan PKI. Jadi saya kesini menghindari untuk terus berhubungan dengan kamu
dia bilang begitu.
Lalu apa hubungannya latar belakang keluarga saya dengan kita? jawabku
Orangtua saya tentara, jadi pasti akan berdampak dengan pekerjaannya. Jika mereka tahu
kalau menantunya keluarga PKI, alasannya.
Aku tidak tahu apa lagi yang harus aku katakan, aku hanya terdiam dan mencoba
menenangkan diri. Satu minggu aku tinggal, dan keadaan tetap tidak berubah. Suamiku
sudah tidak mau lagi menyentuhku, akhirnya aku tidak kuat lagi dan memutuskan untuk
pulang. Memang dia tahan agar aku jangan dulu pergi, tunggu sampai nanti dia gajian. Aku
tahu itu hanya basa-basi, aku bilang kalau kamu masih peduli dengan saya, kirimkan saja
untuk saya.

208
Sulawesi Bersaksi
Ternyata benar itu cuma basa-basi dia, uangnya tidak pernah dia kirimkan sejak itu dan
seterusnya. Dia tidak lagi memberikan nafkah baik lahir maupun bathin. Tiga tahun aku
digantung tanpa kepastian, tidak ada perceraian di antara kami.
Sampai di rumah aku ceritakan semua yang terjadi pada Mamaku. jadi itu yang membuat
suamimu pindah ke Poso?. Sudah biar nanti kami yang bicara, kita sama-sama datang
kesana.
Saya tidak mau pergi lagi ke sana.
Jangan begitu, jangan cepat putus asa, ke sana lagi kau. Nanti Papa carikan uang, untuk
kau ke sana bilang Papaku.
Biar ada uang, biar komiu kasih, te mau saya pigi. Paling kalau komiu kasih uang saya mau
pakai foya-foya saja, te mau lagi saya ketemu sama dia jawabku. saya tidak mau dikata-
katai lagi PKI segala macam, saya mau cerai saja lanjutku.
Jadi kenapa sampai Bapak mertuaku tidak tahu awalnya kalau kelurgaku adalah keluarga
PKI. Karena aku memakai fam Papaku yang memang tidak terlibat, jadi dia tidak kenal.
Sementara yang dinyatakan terlibat waktu itu adalah Kakek dan Omku dari pihak Mama,
Mait dan Siyama. Dari tetangganyalah mereka tahu kalau saya cucu dari Mait dan
keponakan dari Siyama.
Ternyata Bapak mertuaku itu pernah juga memproses kasus Om, ketika beliau bertugas di
Korem. Untuk memastikan itu, dia datang ke rumah Mamaku. Yah itu akhirnya, dia suruh
anaknya untuk meninggalkan aku karena takut kena imbas ke pekerjaannya.
Selama 3 tahun aku hidup tanpa status, kuhabiskan waktuku bekerja di sawah. Aku tidak
pernah lagi pergi jalan-jalan ke luar kampung, aku takut bertemu dengan orang-orang yang
mengata-ngataiku gara-gara keluarga orang tertuduh makanya aku menjadi janda. Atau
apapun yang berkaitan dengan semua yang kualami, aku tidak mau dengar lagi. Aku cuma
manusia biasa terkadang terbersit pikiran untuk bunuh diri, minum racun hama. Tapi
Tuhan masih memberikan kekuatan kepadaku, hingga aku tidak melakukannya.
Semua pekerjaan di sawah aku kerjakan sendiri, dari bertanam sampai merawat
(menyemprot hama) dan memanen semua tenaga kucurahkan. Hingga tidak lagi ada waktu
untuk memikirkan hal-hal yang lalu, karena sesampainya di rumah aku sudah lelah dan
langsung tidur. Seterusnya begitu hingga akhirnya aku bertemu dengan suamiku yang
sekarang.
Sebenarnya kami masih saudara tapi sudah jauh sekali, Papaku dengan Papanya sepupu
tapi juga sudah jauh sekali. Jadi kami memang sudah berteman juga dan sering bertemu

209
Sulawesi Bersaksi
kalau sedang bekerja di sawah. Jadi latar belakang keluarganya juga memang petani dan ada
yang dinyatakan terlibat juga, tapi bukan Papanya.
Awalnya sih aku juga tidak menyangka kalau dia mau melamar, karena kami memang
sudah lama berteman. Lagipula statusnya yang masih bujang dan statusku yang tidak jelas,
janda ataukah istri orang. Secara hukum agama statusku seorang janda karena tiga bulan
saja seorang istri tidka dinafkahi lahir dan bathin maka sudah putus hubungan suami istri.
Sementara aku sudah tiga tahun tidak dinafkahi lahir dan bathin. Tapi secara hukum aku
belum sah menjanda, karena harus melalui proses sidang tentunya.
Waktu dia mau melamarku, dia hanya tanya apakah tidak ada lagi nanti suamiku menuntut.
Lalu aku bilang dia mau menuntut apalagi, tiga tahun sudah aku ditelantarkan. Sebenarnya
dia juga sudah tahu semua bagaimana aku dengan suamiku dulu, dia hanya memastikan
kesungguhanku. Setelah itu dia minta Omnya yang juga masih Omku juga untuk datang
melamarkan karena Mamanya sudah meninggal.
Sebenarnya aku menerima lamaran suamiku yang sekarang karena memang alasan
pekerjaannya juga. Aku pikir aku memang lebih baik menikah dengan petani saja, tidak
akan ada pengaruh pekerjaan takut dipecat karena latar belakang keluargaku yang
dinyatakan terlibat. Sudah dua kali aku dikecewakan oleh orang yang bekerja sebagai
pegawai. Orang tua kamipun sudah saling kenal dan merestui pernikahan kami, aku tidak
lagi was-was akan terjadi lagi seperti yang lalu.
Tiga hari sebelum hari pernikahanku, Mamaku bertemu dengan tantenya dari mantan
suamiku di pasar ketika akan membeli kebutuhan untuk acara di rumahku. Dia bilang kalau
malam nanti keluarga mereka mau datang untuk mengantar mantan suamiku, dan
membicarakan hubungan kami. Mereka berencana akan menikahkan kami kembali.
Mamaku bilang tidak usah diantar lagi dia, karena hari minggu aku sudah mau menikah
dengan orang lain, dan jangan ganggu lagi keluarga kami. Kemarin-kemarin ke mana saja,
sudah tiga tahun tanpa kabar tiba-tiba mau datang.
Mungkin itu godaan buatku menjelang hari pernikahanku dapat kabar bahwa mantan
suamiku ingin kembali. Memang sempat terpikir untuk kembali tapi itu semua tidak
mungkin lagi karena memang semua persiapan pernikahanku sudah selesai semua.
Saat ini kami sudah punya anak perempuan buah hati kami, Lili namanya. Sekarang ini aku
dan suami hanya fokus pada pekerjaan kami dan bagaimana agar kami bisa memberikan
kehidupan yang layak untuk putri kami. Agar dia bisa sekolah setinggi-tingginya, sampai
dia bisa mencapai apa yang menjadi cita-citanya. Kalau belum waktunya panen
biasanya suami pergi jadi buruh bangunan di Palu.

210
Sulawesi Bersaksi

Sejarah keluargaku

Menurut cerita Mamaku, dulu itu kami termasuk keluarga yang lumayan kaya. Kakekku
punya banyak sawah, punya banyak sapi. Tapi sejak keluarganya dinyatakan orang terlibat,
semuanya dijual sedikit demi sedikit untuk makan. Karena mereka tidak lagi bisa mengolah
tanah dan memelihara ternak, karena tidak ada waktu. Karena tidak berapa lama kakek
meninggal dan Omku dipenjara, setelah itu mereka juga wajib lapor.
Selama Om di penjara, keluarga mengirimkan makanan dan keperluan dia dari hasil
menjual sawah atau sapi. Karena anak-anaknya masih kecil-kecil untuk mengolah padahal
di sawahnya banyak juga pohon kelapa. Ketika mereka pindah dari Gunta ke sini semua
sapi dijual.
Dulu waktu baru pindah kesini, Om Gafar salah satu Omku yang bantu-bantu cari uang
untuk makan. Pekerjaannya membuka tanah yang masih hutan untuk dijadikan sawah,
begitu bagus dijual lagi ke orang. Hingga akhirnya sekarang kami tidak lagi punya sawah
sendiri untuk diolah. Sawah yang sekarang aku dan suami olah bukan sawah kami sendiri,
tapi punya orang dengan sistem bagi hasil.
Nasib kakekku bisa dikatakan tragis memang, dia meninggal bunuh diri minum racun hama
biasa dipakai menyemprot tanaman. Subuh itu setelah sholat subuh dia masih sempat
memasak air untuk membuat kopi. Lalu setelah itu dia minum racun DDT untuk
menyemprot rumput dan hama.
Awalnya keluarga tidak tahu kalau dia meninggal minum racun, tapi setelah dikeluarkan air
ludahnya dan dicium, ternyata berbau racun itu. Keluarga juga tidak tahu pasti alasan kakek
minum racun, hanya saja satu hari sebelumnya ada sekelompok anak muda yang menakut-
nakuti orangtua. Mereka bilang besok akan datang lagi KOAMPA (Komando Ampera)
untuk menginterogasi mereka. Mungkin dia takut nanti ditanya-tanya lalu disiksa. Dia
memutuskan lebih baik mati daripada harus disiksa.
Waktu kakek meninggal kata Mamaku, aku sudah usia 6 bulan, jadi memang aku tidak tahu
pasti bagaimana peristiwa itu.
Sebenarnya yang anggota PKI adalah Omku dan juga kakak dari Papaku. Sementara Papa
dilibatkan karena mertuanya PKI, sampai diikutkan kerja paksa waktu itu dan dikenakan
wajib lapor.

211
Sulawesi Bersaksi
Aktif di SKP HAM
Aku akui kalau aku sempat kecewa dengan Om-omku dan juga kakekku, kenapa mereka
sampai bisa masuk PKI. Sehingga kami semua yang menanggung akibatnya. Tidak bisa
masuk pegawai negeri, sampai aku sendiri harus menanggung tidak jadi menikah dan
sudah menikah pun gagal hanya karena latar belakang keluarga yang dinyatakan terlibat.
Sekarang sudah tidak ada lagi rasa kecewa ataupun sakit hati itu. Kan sudah ada SKP-HAM
(Solidaritas Korban Pelanggaran HAM) ini yang membantu memperjuangkan nasib kami.
Mudah-mudahan tidak ada lagi kendalanya PKI ini, sudah betul-betul dinyatakan tidak
bersalah.
Aktif di SKP HAM juga membuat aku sadar bahwa masih ada masa depan yang cerah untuk
anakku. Itu makanya tidak ada lagi alasan untuk tidak menyekolahkan sampai setinggi
mungkin.
Aku ingat dulu waktu pertama SKP-HAM datang ke sini, kami semua yang para korban
kumpul di sini (di rumah). Lalu tiba-tiba datang polisi ke sini, sampe rumah kami dilempar.
Waktu pertama itu aku belum mau bergabung karena anakku masih kecil, hanya Mama.
Sebenarnya setelah peristiwa pelemparan itu, kalau Ella (Ketua SKPHAM) datang aku
malah melarang Mama untuk ikut, tidak usah datang-datang berkumpul dengan orang-
orang itu lagi. Nanti mereka lempar lagi rumah, aku merasa malu kalau tetangga bilang
kalau orang PKI mulai lagi berunding-runding.
Tapi Mama itu tidak peduli, kalau datang Ella, dia harus pergi meskipun tempat
berkumpulnya jauh dari rumah. Dengan berjalan kaki, tidak peduli tengah hari. Pulang dari
sana biasanya dia makan, lalu tidur sedikit, sore berangkat lagi keliling memberitahu orang
di sini, semuanya dia lakukan dengan berjalan kaki.
Aku sempat marah juga dengan Ella, karena selalu datang dan mengajak Mama. Padahal dia
juga sudah tua dan kasihan kalau dia sampai harus jalan kaki. Karena dulu adikku belum
punya motor, jadi kalau ada uang yah sewa ojek. Atau dia menumpang dengan orang yang
dikenal. Setelah Mama meninggal, aku baru aktif ikut di kegiatan SKP HAM dengan Ella.
Aku merasa sangat beruntung menikah dengan suamiku sekarang, dia itu laki-laki yang
penyabar tidak pernah marah. Malah terkadang aku yang sering marah-marah, karena hal-
hal kecil saja. Dia hanya diam dan membiarkan aku bicara sendiri.
Ketika aku mulai sibuk dengan ikut-ikut berorganisasi di SKP HAM, terkadang pekerjaan
rumah belum selesai aku sudah pergi dia tidak marah. Kalau aku bilang mau pergi, ya aku
pergi. Dia tidak akan melarang, paling dia bilang kalau ada uang aku disuruh naik ojek.

212
Sulawesi Bersaksi
Jarak dari rumahku ke Kantor Sekretariat cukup jauh sekitar 30 Km,biasanya aku ke sana
naik angkutan umum kurang lebih satu jam perjalanan. Pertama aku aktif di SKP HAM
diajak sama Ella (Nurlaela Lamasitudju), di mana dia menjadi direkturnya. Organisasi ini
adalah organisasi yang membantu menangani para korban pelanggaran HAM, termasuk
membantu kami para korban-korban peristiwa 65-66.
Dulu aku aktif ikut kegiatan-kegiatan yang diadakan SKP HAM, tapi sejak aku sering sakit
sudah jarang pergi ke Sekretariat. Sudah dua kali aku masuk rumah sakit Madani Palu.
Dadaku sering sakit tiba-tiba, mungkin karena dulu aku sering menyemprot hama di sawah
sendiri tidak pernah bayar orang. Terkadang aku tidak memakai penutup mulut, kupikir
sekarang baru terasa dampaknya.
Pernah satu kali di acara gunting rambut anak salah satu kenalanku waktu itu aku pergi
dengan Ella. Tiba-tiba aku batuk terus dan dadaku sakit sekali, aku tahan dengan tangan
rasanya sudah mau mati. Datang seorang teman ambil mobilnya dan membawaku ke rumah
sakit di Palu, aku rasa tidak sanggup lagi sampai ke rumah sakit. Aku sudah tidak bisa lagi
bicara, semua orang yang mengantarku sudah menangis semua.
Keluarga tidak bisa ikut semua, mereka hanya menangis. Aku ingat waktu itu hari minggu,
pertama aku dibawa ke rumahsakit Undata tapi sudah penuh. Akhirnya aku dibawa ke
Madani lagi. Awalnya memang mau diantar ke dokter praktek saja, tapi karena di mobil aku
sudah seperti orang mau mati. Tapi Alhamdulillah, Tuhan masih kasi aku panjang umur,
masih bisa selamat juga.
Masih teringat apa yang dikatakan Om Mait (adik Mama) yang pernah dipenjara, waktu itu
aku sempat tinggal dengan dia. Dia bilang aku jangan sampai tidak bersekolah, terus
berusaha untuk tetap sekolah. Satu waktu nanti keadaan akan berubah, kalau kebenaran
sudah terungkap. Jangan dengarkan omongannya orang, kalau anak cucu PKI tidak bisa jadi
pegawai.
Memang benar apa yang dikatakan Omku, kalau satu saat nanti keluarga kami bisa menjadi
pegawai negeri. Tapi apa yang terjadi, sepupuku sudah mau masuk Angkatan Laut, sudah
latihan di laut tapi karena Komandan mendapat surat kaleng dari kampung (Solowe) kalau
dia masih keluarga PKI akhirnya dia dipecat, pulang tidak jadi masuk Angkatan Laut.
Yah kami memang masih harus terus berjuang untuk mendapatkan hak yang sama dengan
orang lain. Aku yakin bersama SKP HAM, kami bisa mendapatkan itu. memerlukan
kesabaran dan kerja keras untuk bisa sampai ke sana, kami sadari itu. selagi kita masih mau

berusaha pasti ada hasil dan manfaat yang kita dapatkan meskipun itu hanya sebuah
langkah kecil.***

213
Sulawesi Bersaksi

Pewawancara : Nurhasanah
Penulis : Nurhasanah

Yenny Oro
Berhasil Menembus Kabut Hitam
Aku tidak tahu apakah kisah hidupku bisa menjadi salah satu bukti yang
menguatkan, terhadap masa yang cukup kelam dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Tapi
aku berharap kisah ini bisa menjadi penyemangat buat para generasi muda khususnya
perempuan. Sadar akan potensi diri dan berani melawan ketidakadilan. Tidak pasrah
dengan keadaan dan percaya bahwa Tuhan pasti menolong orang yang berusaha.
Semoga semua tutur yang telah terangkum ini bisa menjadi pembuka dari lubang-lubang
sejarah yang ditutup dengan cerita-cerita kebohongan. Semoga juga bisa menjadi
perenungan bagi siapapun yang mengetahui peristiwa G30S tahun 1965, bahwa ada cerita
lain di belakang semua itu. Ada cerita ribuan orang dan keluarga yang menanggung akibat
dari stigmatisasi terhadap PKI, peristiwa itu tidak hanya selesai di Jakarta. Kami di daerah
yang jauh dari pusat, bahkan di desa-desa ikut menanggung akibatnya hingga saat ini.
Ketika peristiwa itu terjadi usiaku baru 18 tahun, aku aktif di organisasi Pemuda Rakyat.
Waktu masih sekolah aku aktif di organisasi pelajar IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia).
Hanya karena organisasi Pemuda Rakyat dianggap underbownya PKI maka aku ditangkap
dan dipaksa harus mengakui kalau aku tahu rencana Gerakan 30 September itu. Maka
akupun mendapat status baru ET (Eks Tapol) di KTP sampai tahun 2000. (Penghapusan kode
ET di KTP, resmi dilakukan tahun 1995 editor) Turunan dari status ET adalah tidak bisa
menjadi Pegawai Negeri baik sipil maupun militer karena dianggap tidak bersih lingkungan.
Ini berlaku sampai pada keturunan, karena ini merupakan dosa yang diturunkan.
Aku lahir tanggal 18 Maret 1947 di Sonder Minahasa, Sulawesi Utara. Ayahku bernama
Johan Oro pekerjaan petani, ibuku bernama Anie. Keduanya asli dari Sonder. Nama
lengkapku Yenny Oro, anak pertama dari enam bersaudara, 2 perempuan 4 laki-laki. Adikku
yang pertama, kedua, ketiga dan kelima laki-laki, adik yang keempat perempuan. Kami
semua tinggal di Sonder. Memang di antara mereka hanya aku yang bersekolah hingga
SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas) meskipun tidak tamat karena kesibukan di
organisasi itu. Adik-adikku hanya sampai SMP dan SD, di samping memang tidak ada
biaya, mereka juga harus membantu pekerjaan orangtua.

214
Sulawesi Bersaksi
Rumah kami kecil, berbentuk panggung tinggi sekitar satu meter luasnya 6 X 7 meter.
Dinding dan alas terbuat dari kayu dan tanah serta atapnya terbuat dari rumbia. Terdiri dari
dua kamar tidur, ruang tamu, dan dapur. Kamar mandi di luar, itu juga hanya untuk
darurat. Karena kami tidak punya sumur maka mandi dan cuci baju kami pergi ke mata air
yang berada di bawah sekitar 200 meter dari rumah. Setiap hari mengambil air untuk
keperluan minum dan masak. Sewaktu pergi jalannya menurun pulang mendaki. Belum ada
listrik, untuk penerangan kami memakai lampu Petromak dan lampu botol. Karena cuma
ada dua kamar, kamar satu untuk aku dan adik perempuan. Kamar satu lagi untuk orangtua
dan adik laki-laki.
Tidak banyak cerita yang berkesan tentang masa kecil aku dan adik-adik. Karena kami
hanya keluarga petani, di sebuah desa kecil. Desa kecil di mana aku tinggal namanya
Kolongan Atas, tapi meskipun kecil penduduknya ramai. Umumnya mata pencaharian
mereka adalah petani termasuk keluargaku. Kebun-kebun lumayan jauh dari desa, biasanya
kami menanam jagung dan sayuran lainnya. Tapi meskipun cuma bertani kami tidak merasa
kekurangan. Jarak desa Kolongan Atas ke pusat Kecamatan Sonder sekitar satu kilometer.
Meskipun aku tinggal di desa kecil tapi aku punya cita-cita besar. Tahun 1954 aku masuk SD
di Sonder, tahun 1960 masuk SMP masih di Sonder. Setelah lulus SMP aku melanjutkan ke
SMA Kristen di Manado. Selama di Manado aku tinggal di rumah Om (kakak dari bapak).
Sejak di SMA aku aktif di organisasi pelajar atau IPPI, entah kenapa aku sangat suka
berorganisasi. Aku tipikal remaja yang tidak bisa diam, energik. Dilihat secara fisik aku itu
kecil, mungil, berkulit putih. Kesukaan berorganisasi inilah yang membawa aku menjadi
sekelompok orang yang dianggap berbahaya, dan dituduh melakukan perbuatan yang
sesungguhnya tidak pernah terbukti kebenarannya.
Pada tahun 1963 ada konferensi IPPI SULUTTENG (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia
Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara), dan aku menjadi salah satu delegasi. Waktu itu aku
minta ijin tidak masuk sekolah selama 2 minggu. Semua kegiatan aku ikuti dengan sangat
antusias, mencari teman sebanyak-banyaknya. Hingga sempat terjadi cinta lokasi dengan
sesama delegasi yang berasal dari Gorontalo. Tujuh bulan lamanya kami berhubungan,
meskipun akhirnya tidak berlanjut. Sungguh masa yang tidak bisa aku lupakan, masa yang
sangat indah meski sesaat. Aku benar-benar merasakan masa remaja yang sedang
bersemangat.
Buat aku berorganisasi adalah salah satu cara untuk mengekspresikan diri. Di organisasi
banyak pelajaran yang didapat, yang tidak aku dapatkan di sekolah. Mauku sih sekolah dan
berorganisasi bisa sejalan. Tapi karena memang kegiatan di organisasi saat itu padat sekali,

215
Sulawesi Bersaksi
maka salah satu harus ada yang dikorbankan. Itu terjadi padaku, di mana aku harus
memilih antara sekolah dan berorganisasi.
Selesai konferensi aku malah tidak boleh masuk sekolah lagi oleh pihak sekolah, karena
terlalu lama izin. Terpaksa aku balik ke Sonder masuk ke SMEA. Di sini juga aku aktif di
organisasi IPPI lalu ke Pemuda Rakyat. Aku sudah sibuk dengan kegiatan organisasi sejak
tahun 1964, dan dari pihak sekolah juga sudah mulai dimarahi karena sering tidak masuk
sekolah.
Aku ingat apa yang dikatakan Kepala sekolah waktu itukamu ini, kecil-kecil sudah sibuk
kegiatan organisasi. Kamu boleh pilih mau sekolah atau tetap berorganisasi. Maka aku memilih
tidak sekolah daripada keluar dari organisasi, karena memang dari dulu aku paling suka
berorganisasi.
Lalu aku ikut sekolah pengkaderan Pemuda Rakyat di Tompaso. Kemudian setelah itu ikut
ke Tondano masuk Sekolah Guru Pemuda Rakyat tingkat Kabupaten tahun 1964. Tahun
1965 ikut Sekolah Guru Pemuda Rakyat tingkat Provinsi di Sonder. Baru kira-kira dua
minggu sekolah berjalan, peristiwa G30S terjadi. Tapi karena kami tidak tahu kalau ada
peristiwa itu, jadi kegiatan-kegiatan rutin masih berjalan. Seperti pada tanggal 1 Oktober
kami, Pemuda Rakyat masih membuat drama di gedung SMEA.
Baru pada tanggal 7 Oktober ada pembakaran kantor CDB (Comite Daerah Besar) Manado,
situasi menjadi tidak terkendali. Ibuku yang sehari-hari berjualan di pasar 45 Manado
membawa hasil bumi dari Sonder, melihat kekecauan yang terjadi beliau tidak jadi
berjualan. Sampai di rumah, beliau langsung teriak panggil aku, sini sini aduh so
kacau di Manado, dorang bakar kantor PKI... ribut semua... (aduh sudah kacau Manado, mereka
bakar kantor PKI... ribut semua...)
Besoknya sekolah kami yang baru dua minggu berjalan, dibubarkan. Kami semua
dipulangkan, yang jauh-jauh diantar seperti yang dari Sangir (Sangihe), dari Bolmong,
Kotamobagu, Gorontalo. Selang beberapa hari kami sudah diburu-buru oleh pemuda yang
anti G30S. Kelompok pemuda ini merupakan gabungan dari organisasi-organisasi seperti
IPKI, PARTINDO, dari PNI juga ada. Dengan perasaan takut kami lari dan sembunyi ke
kebun. Beberapa hari di kebun dapat berita dari kampung, lebih baik pulang dan
menyerahkan diri. Karena mereka sudah membuat Komando untuk menangani orang-orang
yang dianggap bersentuhan dengan PKI.
Lagipula memang dipikir-pikir di kebun mau makan apa, sudah 3 hari cuma makan
singkong. Akhirnya kami pulang menyerahkan diri ke kantor Komando. Sejak itu kami
dikenakan wajib lapor pagi sore ke Komando Pemuda Anti G30S/PKI (KOPAG) di Sonder,

216
Sulawesi Bersaksi
belum diambil alih oleh ODM (Onder Distrik Militer) lalu tahun 70an diganti menjadi
Koramil sampai sekarang. Jarak rumah orangtuaku ke ODM sekitar satu kilo meter. Waktu
masih tinggal sama orangtua.
Waktu melapor kami semua di skrening. Mereka bilang, Wah... kamu yang mencungkil
mata para jendral, kamu ini patut dibunuh
Lalu aku jawab, Yah kalau memang Tuhan sudah serahkan kami untuk dilukai yah ngga
apa-apa. Bunuh saja, tapi kalau tidak kami pasti masih hidup
Mereka tanya lagi, Waktu peristiwa G30S kamu di mana? Kamu sudah tahu akan ada
peristiwa ini kan?
Yah tidak tahu lah pak, kami tidak tahu sama sekali ada peristiwa itu. Kalau kami tahu
pasti sudah lama lari menyelamatkan diri.. . jawabku
Sejak itu aku kena wajib lapor setiap hari, kalau tidak pagi yah sore. Hingga pada satu hari
aku mengalami peristiwa yang tidak akan aku lupakan seumur hidup. Hari itu aku datang
sendiri untuk melapor, lalu disuruh masuk ke ruang pemeriksaan. Aku diperiksa oleh
penyidik katanya, di dalam ruangan hanya aku sendiri. Di dalam ruangan ada satu meja
dan kursi, aku sudah ada firasat tidak enak. Aku sudah nekat, kalau dia mau macam-macam
aku lebih baik mati daripada harus menyerahkan diri kepada orang macam itu.
Lalu aku sudah siap-siap pegang pinggir meja, kalau dia mau macam-macam aku akan
dorong ini meja. Dia mendekati ku, kemudian dia bilang aduh kamu ini cantik, kenapa
masuk PKI?sambil dia pegang pipi ku. Meskipun usia ku masih tergolong muda, 18
tahun tapi aku sudah tahu arah pembicaraan ini akan ke mana. Dia terus mendekat, aku
hanya menghindar-hindar sambil berpikir apa yang harus aku lakukan. Dalam hati aku
terus berdoa....Tuhan jauhkan aku dari orang jahat, karena aku yakin aku tidak bersalah
dalam hal ini. Bukan berarti aku tidak punya dosa.
Aku melihat dia berkeringat, mungkin memang sudah pada klimaksnya untuk berbuat itu.
Aku sendiri sudah nekat, dan aku pikir kalau aku tidak bunuh dia pasti akan banyak lagi
korban. Namun dalam hati ada terlintas suatu pengharapan, lalu pelan-pelan aku mencoba
berdialog untuk mengalihkan perhatiannya.
Om boleh saya mau tanya...?. suaraku buat selembut mungkin.
Karena dia sudah kenal namaku, dia langsung panggil nama, Iya Yenny mau tanya
apa..?
Sengaja aku kasih jeda waktu, tidak langsung aku sambung.
Om... bagaimana kang kalau seandainya anak Om nona-nona atau Om punya istri akan
diperlakukan sama dengan Om mau melakukan ke saya (Om bagaimana ya... kalau

217
Sulawesi Bersaksi
seandainya anak gadis atau istri Om akan diperlakukan sama dengan Om mau melakukan ini ke
saya...)
Bersyukur kepada Tuhan dia langsung lemas, terduduk di bangku dan tepekur di meja,
memegang kepalanya dengan dua tangan.
Baru kamu yang kita (saya) ketemu berani bilang seperti itu dengan suara yang datar
Merasa mendapat angin aku terus mencoba untuk membuat dia semakin merasa bersalah.
Om... Om boleh melakukan ini sama perempuan-perempuan lain, tapi jangan berani-berani
kepada saya. saya tidak akan menyerah, biar sampai mati tidak akan menyerahkan kesucian
saya kepada Om yang sudah bobrok.
Waduh aku salah ngomong, mendengar itu dia kembali mengangkat kepalanya dan
berteriak, Oh jadi kamu mau menantang saya
Tapi aku tidak takut, malah lebih berani. Lalu aku bilang...Walaupun kami dicap tidak
bertuhan tapi saya pribadi, saya percaya Tuhan. Allah tidak tutup mata, Dia ada di mana-
mana. Sampai di manapun Dia akan lihat kita, jadi apa yang tidak baik yang kita lakukan
akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan nanti
Dia berdiri lalu berkata lebih marah lagi, Kamu ini kalau begitu saya lebih pinter soal
marxisme dari kamu
Yah kalau begitu Om yang PKI, kenapa Om tuduh saya PKI? saya kan baru Pemuda
Rakyat belum PKI. Kalau masuk PKI itu bukan hal gampang, harus jadi simpatisan dulu
terus calon anggota lalu baru jadi anggota. Ngga sembarang mau masuk di partai itu.
Dengan suara yang tidak keras tapi aku yakin dia juga kaget kenapa aku berani melawan.
Bersyukur kepada Tuhan belum lama aku diinterogasi, di luar orangtua aku sudah teriak-
teriakHei sudah jam berapa ini, buka pintu, kenapa kamu kurung anak saya. Aku
bersyukur tidak terjadi apa-apa.
Pernah lagi aku dipanggil jam 5 sore, didatangi ke rumah, kamu dipanggil ke Komando,
harus cepat-cepat ke sana yah. Padahal pagi tadi aku sudah datang melapor.
Sesampainya di sana, aku ditanya-tanya lagi. Ternyata ada pimpinan komando pemuda dari
Manado, untuk menanyakan posisiku di organisasi Pemuda Rakyat.
Kamu sudah pimpinan yah ini ada catatannya...?
Itu dari tahun berapa pak?
Ini dari bulan April 64
Ohh..begituAnggaran Dasar kami setiap 3 bulan ada roling pimpinan, jadi saya tidak lagi
pimpinan, ini kan sudah tahun 65... sudah setahun
Masa ehh?

218
Sulawesi Bersaksi
Yah saya lebih tahu anggaran dasar dari bapak yang pasti saya sudah tidak lagi
pimpinan...
Jadi pimpinan kamu siapa sekarang
Oh, saya sudah tidak tahu...
Mereka tanya terus putar-putar tidak tahu ujung pangkalnya, sampai jam setengah delapan
malam akhirnya aku diizinkan pulang. Meskipun usiaku baru 18 tahun seperti yang aku
bilang tadi tapi karena memang sudah bergaul dengan banyak orang, sedikitpun aku tidak
merasa takut.
Selain itu memang tidak ada penyiksaan fisik, aku sangat bersyukur tapi aku merasa disiksa
bathin. Karena apa? siang malam dijaga, di rumah kami masing-masing. Siang wajib lapor
dan kerja paksa istilah halusnya kerja bakti. Kalau malam pintu rumah digedor-gedor untuk
memastikan bahwa kita tidak ke mana-mana.
Ketika ada peringatan hari Sumpah Pemuda tanggal 28 oktober 65, semua yang terlibat
disuruh jalan keliling kecamatan Tondano sambil membawa panji-panji. Sepanjang
perjalanan kami diteriakin...lonte..pembunuh.... Sampai di lapangan panji-panji, papan-
papan nama yang kami bawa dibakar.

Di Penjara
Pada tanggal 4 November 65 akhirnya kami ditahan dibawa ke Tondano, setelah wajib lapor
selama lebih kurang satu bulan. Aku tidak akan pernah lupa hari itu. Karena itu buat aku
merupakan kenangan pahit sekaligus juga kenangan manis dan kenangan indah yang harus
dikenang. Indah karena sampai sekarang aku masih hidup. Aku ingat waktu itu ternyata
tidak hanya dari tempat kami saja, ada banyak mobil yang datang bersamaan dari beberapa
daerah sekitar Minahasa sehingga banyak sekali orang yang dipenjarakan di situ.
Satu hari di penjara, aku sudah dipanggil oleh petugas
Mana yang namanya Yenny Oro...?
Saya... Pak...
Ayo sini kamu catat semua nama-nama yang ada di dalam kamu yang
bertanggungjawab yah
Loh saya yang baru masuk pak, masa saya yang bertanggungjawab mereka-mereka yang
sudah lama di dalam
Kamu mau bantah?!!!

219
Sulawesi Bersaksi
Ngga juga mau bantah pak saya cuma mau bilang, saya inikan masih muda yang di
dalam itu sudah, sudah cukup umur, mungkin mereka yang lebih berhak untuk mengatur.
Masa saya yang anak-anak mau mengatur orang yang sudah tua-tua.
Sudah dibilang jangan membantah.
Siap Pak.
Kemudian aku disuruh menunggu di luar tahanan berjam-jam di ruangan para penjaga, tapi
hanya ada satu orang tentara di situ, lalu aku bilang Pak, kenapa saya belum dikasih
masuk. Yah bisa-bisa ini saya mau lari. Ada peluang mau lari, itu pintunya dibuka.
Coba kamu lari kalau berani.
Yah beranilah kalau bapak ijinkan, saya akan lari keluar
Wah, kamu anak-anak sudah bandel-bandel yah.
Bapak kan punya anak juga, jadi bapak tahu bagaimana sikapnya anak-anak...
Ayo masuk, kalau kamu berani lari saya tembak di kaki...
Kalau bapak tembak kan pasti ada dokter yang mau merawat.
Untung kamu masuk sudah tidak jahat-jahat para petugasnya. Kalau masih jahat-jahat
sudah jadi santapan kamu Memang aku dengar yang lebih dahulu dari aku banyak yang
diperkosa.
Pak... jangan main begitu satu kali pasti akan ada balasannya. Bukan bapak yang kena
tapi saudara bapak atau keluarga bapak yang lain. Coba bapak bersikap baik, karena
kamikan tidak berbuat jahat sama jendral-jendral yang bapak tuduhkan kami yang
membunuh. Kami di Sulawesi Utara masa kami tahu di sana
Masuk, kamu bandel, cerewet lagi...
Iya saya masuk. Selamat malam yah pak
Aku terus berusaha tenang dengan tersenyum dan mencoba bersikap baik, padahal aku
sudah ketakutan sekali. Bayangkan anak umur 18 tahun, sudah dihadapkan dengan situasi
yang apapun bisa terjadi.
Aku masuk lagi ke dalam sel yang berukuran 3x4, menurut perkiraanku. Kami ada sekitar
11 orang di dalam. Ada tempat tidur kayu semacam bale-bale dan tentu saja itu tidak cukup
jadi ada yang tidur di bawah. Setiap tidur di bale-bale itu, punggung kami sakit-sakit semua,
tapi karena aku masih muda jadi mungkin aku tidak begitu merasakan. Hanya saja Oma-
oma dan Ibu-ibu teman satu sel yang sering mengeluh. Teman-teman satu kamar ini, mereka
adalah anggota Gerwani dari beberapa daerah seperti Tondano, Kawangkoan, Tompaso.
Aku ingat, karena aku paling kecil dan paling muda maka para tentara penjaga
memanggil aku dengan sebutan si kecil. Misalnya kalau ada inspeksi dari Manado,

220
Sulawesi Bersaksi
biasanya aku dicari. Nah para tentara-tentara itu akan bertanya dengan teman-teman satu
sel, mana si kecil..?.
Tinggi aku tidak sampai 145 cm, tidak kurus tidak juga gemuk orang bilang berisi. Aku tidak
tahu berat badan berapa karena waktu itu tidak pernah menimbang badan, kulit putih,
rambut pendek dan selalu dikriting. Wajah agak bulat, hidung kecil tidak mancung tidak
juga pesek, mata bulat, bibir tipis.
Ada lagi kejadian waktu 10 November, itukan hari Pahlawan. Pemuda-pemuda partai anti
PKI melakukan aksi demo di luar penjara. Mereka memaksa masuk ke dalam penjara.
Mendengar ribut-ribut kami yang di dalam sel menjadi ketakutan, lalu aku manjat di dalam
kamar penjara itu dengan papan-papan tempat tidur. Aku lihat mereka memang sudah
membawa parang, kayu, panah, tombak.
Untung saja tentara-tentara yang menjaga penjara berhasil menghalangi mereka masuk.
kalau sampai mereka masuk pasti habis kami yang di dalam. Penjara ini bentuknya leter U,
bagian samping-samping untuk laki-laki dan yang di tengah untuk perempuan. Meskipun
kami banyak tapi kami tidak bersenjata.
Yah... aku mengerti namanya dalam penjara pasti tidak sebaik di rumah tapi ini memang
sudah sangat tidak manusiawi. Seperti masalah tempat pembuangan kotoran manusia yang
sangat tidak kondusif, belum lagi soal jatah makan yang tidak memadai. Hampir dua
minggu aku tidak bisa buang air besar, baru mau masuk ke ruangan pembuangan itu
aduh itu kotorannya sudah kemana-mana karena memang tidak ada air cukup untuk
menyiram. Jadi terpaksa ditahan, untung makan hanya sebesar onde-onde begini (sekepalan
tangan). Jadi nasi yang sudah dibulatkan seperti itu, satu orang satu biji, 3 potong kangkung,
2 ekor ikan putih (teri) yang sudah dikasih kuah dicampur sayur kangkung. Diletakkan di
daun tagalolo setiap hari.
Beberapa hari di penjara aku dapat besukkan dari Mama, nasi bungkus dan ikan. Setiap aku
dapat besukan, aku bagikan juga pada teman-teman. Karena banyak dari mereka yang tidak
lagi dapat besukan dari keluarganya, sementara jatah makan kami sangat, sangat kurang.
Selama di penjara kami tidak melakukan apa-apa, cuma duduk, tidur, tidak ada interogasi
lagi, hanya waktu pertama masuk saja. Sekitar 2 minggu kami di penjara, ada interogasi lagi
dan dibilang sudah mau bebas. Itu makanya ketika ibuku datang menjenguk, aku minta
baju-baju dibawa pulang karena aku pikir mau dibebaskan.
Ternyata, pada hari yang telah ditentukan kami malah dikirim ke Sukur, Tonsea. Katanya di
sana tempat penampungan tahanan yang hampir bebas. Selama di sana kami diberikan
pembekalan-pembekalan istilahnya Santiaji. Yang ngasih pembekalan ada dari pemerintah,

221
Sulawesi Bersaksi
dari Korem, dari bidang keagamaan seperti dari Islam, Kristen, Katolik, Hindu. Pembekalan
ini dilakukan tiap hari, pokoknya sampai tulang belakang mau patah, duduk di lantai buluh.
Selama di Sukur aku sedikit merasa lebih baik dibanding teman-teman lain, berkat Fam Oro
yang ada di belakang namaku. Hari pertama datang dan apel, ada seorang petugas yang
menanyakan siapa yang Fam Oro. Sejak itu aku mendapat makanan khusus dari petugas itu,
diantar langsung ke tempatku. Di Sukur ini kami tidak lagi di kamar-kamar tapi
ditempatkan dalam barak-barak, yang dulunya adalah gudang kopra. Akhir November
kami dipulangkan dari Sukur sesudah kira-kira satu minggu di sana.
Di Sukur aku selalu bertiga dengan ibu Loloan dan teman aku satu organisasi namanya
Marko. Tapi dia sekarang tidak ikut aktif di organisasi para eks-tapol. Mungkin karena
sekarang sudah mulai mapan jadi sudah lupa penderitaan dulu. Tapi buat aku sampai
matipun aku tidak akan lupa, walaupun tidak disiksa tapi aku merasakan penderitaan orang
lain. Apa yang diderita orang lain aku rasakan. Jadi seperti aku bilang sebelumnya, yang
paling tersiksa adalah bathin, karena mengingat penderitaan dari teman-teman yang
disiksa, diperkosa dan dibunuh. Belum lagi rasa takut yang terus menerus mencekam kami.
Pernah satu waktu aku bersama orang-orang yang diwajibkan lapor setelah pulang dari
penjara dikumpul di lapangan Koramil. Sementara di bagian lain ada beberapa orang eks
tapol yang diperintahkan untuk membuat perabot rumahtangga. Tapi ternyata dari waktu
yang ditentukan perabot itu belum selesai dikerjakan, salah satu dari petugas itu marah
sekali. Dia langsung ambil senjata lalu langsung dikokang, sambil membentak dan
mengarahkan senjatanya ke arah kami. Kami semua yang di lapangan ketakutan, teriak-
teriak sambil tiarap bahkan ada yang lari sampai ke kebun jauh dari Koramil.
Lepas dari penjara, masuk kerjapaksa
Sepulang dari penjara, di samping kami harus melapor pagi sore kami juga harus kerja
paksa . Seperti misalnya untuk para laki-laki, ada yang disewa untuk potong padi.
Sebenarnya dibayar oleh para pemilik sawah tapi diambil oleh para petugas itu. Sering
mereka sudah kerja tidak dikasih makan, sementara untuk mencari pekerjaan atau
melakukan pekerjaan lain tidak ada waktu lagi. Maka jadilah kami makan seadanya,
ternyata nasib kami juga tidak lebih baik dari orang-orang yang masih di penjara. Seolah-
olah kami memang benar-benar tidak ada hak lagi atas apapun bahkan atas diri kami
sendiri. Kami benar-benar dimiskinkan karena tidak ada lagi waktu untuk bekerja
memenuhi kebutuhan sehari-hari untuk keluarga jangankan untuk menyimpan.
Aku sendiri ikut kerja paksa dari tahun 65 sampai tahun 80an. Dari sebelum menikah
sampai aku punya anak 3. Pekerjaan yang aku kerjakan, macam-macam. Mencangkul bikin

222
Sulawesi Bersaksi
saluran air, membersihkan pinggir-pinggir jalan bahkan sampai ke Kawangkoan. Tidak
peduli laki-laki atau perempuan pekerjaan kami sama, tidak diberi makan. Jam 7 pagi kami
apel, sekitar jam 8 kerja sampai jam 3 siang. Umumnya kami tidak sarapan dari rumah
karena memang tidak ada yang bisa dimakan, kalaupun ada dibawa untuk makan siang.
Aku kebetulan selalu membawa makanan karena masih tinggal sama orangtua. Orangtua
dan adik-adikku memang tidak dikenakan wajib lapor karena mereka memang tidak aktif di
organisasi seperti aku. Buat aku pekerjaan yang paling parah dan menyiksa yaitu cuci baju
petugas ODM (sekarang Koramil), satu minggu kadang 3 kali. Di samping banyak, baju
tentara itu kan berat-berat. Biasanya kami dua orang-dua orang dapat tugas itu. Jarak rumah
orangtua ke ODM sekitar satu kilo meter, lalu kami naik mobil di bawa ke tempat kerja.
Misalnya waktu pembuatan saluran air di Kawangkoan sekitar 15 km, setiap sebelum
bekerja kita melapor di ODM (Koramil), nanti dari situ baru diangkut dengan mobil.
Sepanjang yang aku ingat ada beberapa orang perempuan di sini yang diperkosa, tapi
sekarang dia sudah meninggal. Lalu ada juga yang masih hidup tapi sekarang dia tinggal di
Jakarta.
Nah aku sendiri kan sudah pernah dua kali mengalami situasi ke arah itu sebelum masuk
penjara. Setelah keluar dari penjara situasi ini aku alami kembali, waktu ada acara ulang
tahun pimpinan Koramil. Waktu itu aku berdua dengan teman dapat tugas masak. Waktu
acara sudah selesai aku berdua teman mau minta ijin pulang sama letnan yang jaga. Aku
bilang kalau kami mau pulang karena tugas kami hanya memasak dan sudah selesai. Tapi
entah kenapa kami tidak diijinkan pulang.
Oh jangan. Kalau saya bilang tidak boleh pulang, tidak boleh pulang. katanya.
Setelah itu temanku ke belakang, sementara aku mau mengambil nasi untuk dibawa ke
depan. Tiba-tiba dia peluk aku dari belakang. Lalu aku bilang, Pak ada apa ini pak...?
saya nda biasa begini kenapa Bapak begini? Lalu aku berteriak, Pendeta . Aku
panggil-panggil ibu pendeta yang memang juga diundang pada acara itu tapi ternyata dia
sudah pulang. Mungkin karena pendeta sudah melihat mereka sudah pada mabuk. Waktu
itu kan aku masih pegang tempat nasi, aku ancam dia, kalau tidak dilepas, aku lempar
tempat nasinya. Karena tempat nasi itu dari kaca, kalau pecah pasti keras bunyinya. Lalu dia
lepas aku, kemudian dia pergi ke luar bergabung dengan teman-temannya.
Sementara itu, memang para tentara yang sudah bergabung dengan pemuda-pemuda dari
Komando Pemuda Anti G30S PKI, sudah mulai mabuk semua. Kemudian muncul petugas
lain yang namanya bapak Gatot, aku kenal beliau orang baik, lalu aku bilang kepada beliau,

223
Sulawesi Bersaksi
Pak kasih pulang kami, sudah jam setengah dua belas ini. Apa kata orangtua kami,
sedangkan kami nona-nona, masa masih berkeliaran di luar jam begini.
Dia bilang, kamu sembunyi-sembunyi kalau mau pulang biar saya yang
bertanggungjawab. Lalu dia bikin surat, untuk bisa lewat pos-pos. Pulang ke rumah,
orangtua marah, dia tanya, kenapa baru pulang. Sementara mereka tidak tahu apa yang
sudah aku alami di sana. Aku hanya bilang, Masih mending kami bisa pulang.
Tiga kali lolos dari percobaan perkosaaan membuat aku berpikir, kalau ini bukanlah suatu
kebetulan tapi memang ada campur tangan Tuhan di dalamnya. Yah meskipun aku juga
tahu bahwa kita juga jangan pasrah kita harus melawan. Mungkin juga karena statusku yang
masih sendiri hingga membuka peluang bagi tentara-tentara itu untuk melakukan hal-hal
yang tidak baik. Meskipun memang tidak menutup kemungkinan yang sudah menikah juga
tetap diganggu. Paling tidak jika ada suami aku sedikit merasa aman karena sudah ada yang
melindungi.
Atas pertimbangan keamanan dan keselamatan itulah tahun 1968 aku memutuskan
menikah. Aku menikah dengan seorang laki-laki yang sama-sama dituduh terlibat peristiwa
G30S, dan tentu saja kami sama-sama kena wajib lapor. Kebetulan calon suami aku juga
tidak lama di penjara hanya 5 hari. Anak pertama kami laki-laki lahir satu tahun setelah
kami menikah, disusul anak kedua perempuan satu tahun kemudian. Baru tahun 1974 lahir
anak kami yang ketiga, laki-laki.
Setelah menikah kami masih ikut dengan orang tuaku, hanya tambah kamar menempel
dengan rumah induk. Sampai aku punya anak tiga masih tinggal sama orangtua, hanya
tambah-tambah kamar sedikit. Tahun 1974 kami pindah rumah tapi masih di Kolongan Atas,
tidak jauh dari rumah lama. Jarak ke Koramil sekitar 600 meter. Tempat baru ini adalah
tanah warisan dari Oma (nenek), di mana sudah ada rumah, aku dan keluarga yang
menempati. Meskipun tidak besar tapi kami sudah punya rumah sendiri, dan anak-anak
bisa lebih leluasa bergerak. Bentuknya tetap panggung, hanya saja atapnya sudah memakai
seng. Sementara orangtua dan adik-adik yang belum menikah, membuat rumah baru di
rumah orang tua, halaman rumah, lumayan luas. Waktu ini sudah ada listrik tapi aku masih
nyambung dari
Tahun 1989 aku dan keluarga disuruh mengurus rumah saudara jauh dari bapak yang
kosong, lokasinya di belakang rumah. Bangunan rumahnya sudah tembok tidak lagi pakai
kayu, kami hanya disuruh merawatnya. Lalu tahun 2002 aku pindah lagi, tidak jauh dari
rumah lama yang aku tempati. Jaraknya lebih dekat lagi sekitar 500 meter, tapi memang
kami sudah tidak wajib lapor lagi sejak tahun 1980. Rumah ini juga milik saudara bapak itu,

224
Sulawesi Bersaksi
karena kami sudah mengurus rumahnya, maka kami diberikan rumah untuk ditempati. Aku
sangat bersyukur dan berterimakasih sekali atas kebaikan beliau. Beliau itu seorang
pengusaha, sekarang tinggal di Manado. Karena sudah pemekaran maka tempat terakhir
yang kami tinggal namanya Kolongan Atas Dua.
Selama puluhan tahun kami wajib lapor setiap hari dan kerja tanpa dibayar 4 hari dalam
seminggu. Lalu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari kami menjadi buruh tani, kalau
tidak ikut harus setor uang ke Koramil. Biasanya dalam satu minggu kami harus bayar 5000,
sedangkan kalau kami kerja buruh tani satu hari kan 6 jam kami digaji 750/hari. Dalam
seminggu ada 6 hari kerja dikalikan 750, maka pendapatan kami seminggu 4500. Sementara
kami harus bayar ke Koramil 5000, karena kami tidak melapor dalam seminggu itu. Sudah
tidak mendapat apa-apa kami juga harus bayar. Terbayang betapa, dulu kami benar-benar
diperas tenaganya.
Pernah, aku dipanggil melapor karena ada komandan KOPAG dari Manado aku tidak ingat
namanya yang aku ingat pangkatnya Sersan. Tahun 1969 aku masih ingat sekali kejadiannya
seolah-olah baru terjadi kemarin. Kenapa masih teringat karena waktu itu aku sedang hamil
6 bulan anak pertama. Bayangkan dia memerintahkan aku push up, benar-benar tidak
punya hati.
Kejadiannya seperti ini, jam 2 siang aku dipanggil menghadap ke Koramil. Aku pergi sendiri
karena suami aku tidak dipanggil dan kebetulan sedang bekerja di kebun. Sampai di
Koramil sudah banyak orang yang juga dipanggil, aku termasuk yang dipanggil karena aku
pernah menjadi pengurus organisasi Pemuda Rakyat. Sambil menunggu dipanggil aku
duduk memperhatikan orang-orang yang dipanggil. Kami saling kenal tapi kami tidak
berani saling bertegur sapa, suasananya juga mencekam. Karena hampir dapat dipastikan
jika ada pemanggilan seperti ini pasti akan ada siksaan. Aku melihat wajah-wajah ketakutan,
karena aku tahu bahwa mereka hanya para petani yang tidak mengerti apa kesalahan
mereka. Aku kenal mereka dari kecil, dan aku tinggal bersama mereka.
Akhirnya giliran aku dipanggil menghadap sersan komandan KOPAG, lalu aku disuruh
duduk. Lalu dia mulai bertanya.
Kamu pernah jadi pengurus Pemuda Rakyat?
Yah pernah aku bilang
Waktu peristiwa G30S tahun 65 kamu di mana?
Saya di Sonder
Apa kamu sudah tahu rencana pemberontakan itu?

225
Sulawesi Bersaksi
Lalu aku jawab, Ini pertanyaan bukan puluhan kali ditanya tapi ratusan kali ditanya.
Berulang-ulang, dari tahun 65 saya ditangkap. Bagaimana saya bisa tahu, sementara saya
hanya anggota organisasi Pemuda Rakyat di sini, jauh dari Jakarta.
Dia marah mendengar jawabanku, lalu dia berdiri dan membentak ku, Ba pompa kamu
(push up kamu)
Aduh pak saya ini sedang hamil 6 bulan masa disuruh push up
Makanya kamu jangan melawan, ya sudah sekarang kamu lari di tempat
Akhirnya aku lari di tempat, aku tidak tahu berapa menit pastinya. Sampai aku sudah tidak
kuat lagi aku berhenti. Lalu aku disuruh keluar tapi tidak boleh pulang menunggu sampai
semua selesai sampai jam setengah enam sore.
Belum lagi perlakuan diskriminasi lingkungan sekitar terhadap keberadaan kami. Seperti
pembuatan KTP yang ditandai dengan ET yang berdampak pada masa depan anak-anak
kami. Anak kami yang sekolah guru tidak bisa mendaftar menjadi pegawai negeri karena
anak dari eks tapol.
Satu lagi anak kami yang pertama mengalami perlakuan diskriminasi. Waktu itu dia mau
masuk kuliah di Universitas Negeri di Manado jurusan teknik. Karena sampulnya dia itu
sudah ditandai, jadi tidak diterima. Itu mungkin karena ada orang yang tidak suka kepada
keluarga kami kalau kami maju, maka ada yang melaporkan ke pihak kampus. Alasannya
diprioritaskan yang tidak lulus tahun lalu, akhirnya tidak jadi kuliah.
Sementara perjuangan kami untuk menyekolahkan mereka meskipun hanya sampai sekolah
menengah sangatlah berat. Kami tidak bisa bebas mencari pekerjaan atau berusaha ke luar
kampung, hingga tahun 80an baru bisa sedikit ada kebebasan. Artinya boleh bekerja ke luar
kampung tapi harus melapor dulu mau ke mana perginya. Uang yang kami dapat dalam
seminggu harus dibagi ke Koramil (setor), bagi untuk makan, bagi untuk ongkos anak-anak
sekolah. Anak-anakku pergi ke sekolah sepatunya ditambal dengan plester, celana
pantatnya ditempel dengan plester karena sudah lubang. Jalan kaki ke sekolah, tanpa uang
saku, sarapan cuma ubi, atau pisang. Tidak ada nasi, karena pada waktu itu mau mencari
uang pun susah. Aku dan suami bekerja sebagai buruh tani dari kampung ke kampung,
karena di kampung sendiri kami tidak dipakai. Sementara anak kami tinggal bersama orang
tua di rumah.
Tidak ada yang lebih sakit buatku ketika mendengar anak-anak bercerita bagaimana mereka
diperlakukan oleh teman-teman sekolah ataupun lingkungan sekitar. Aku selalu berusaha
untuk meyakinkan mereka, bahwa mereka harus jadi orang kuat. Mereka harus tetap

226
Sulawesi Bersaksi
sekolah, isi otak dengan pengetahuan. Karena pengetahuan tidak ada yang bisa curi, kalau
harta masih bisa diambil orang.
Perlakuan di lingkungan Gereja.
Begitu juga di lingkungan gereja kami merasa terisolir, dan merasa minder. Padahal sebelum
peristiwa 65 itu, aku sudah bergabung di kegiatan pemuda gereja. Bagaimana mungkin
mereka mengatakan kalau aku tidak punya Tuhan.
Setiap kami mau masuk gereja, mereka bilang PKI... PKI. Dulu untuk membedakan kami
dengan jemaat lain yang laki-laki digundul. Sebenarnya waktu itu perempuan juga mau
digundul.
Aku bilang ke Koramil, Pak kayaknya tidak ada prikemanusiaan kalau perempuan
digundul. Berarti sudah melakukan hal-hal yang memang tidak senonoh kalau sampai
digundul
Ah kamu... ini perintah
Yah perintah pak, tapi kalau boleh dipertimbangkan... pertimbangkan. Sementara kami
memang sudah dikumpulkan mau digunting. Tapi akhirnya memang tidak digunting cuma
yang laki-laki. Jadi kalau mau masuk gereja begitu ada ibadah, kelihatan bedanya. Satu
waktu ketika ibadah, pendeta yang memimpin doa bilang Yah, saya lihat di Gereja ini,
cuma gundul-gundul yang banyak. Padahal kata bilang...e..nda tahu Tuhan, kenapa mereka
yang banyak duduk di bangku

Perjuangan menjadi Penyintas.


Sejak Tahun 1984 aku dan suami bisa membeli tanah dari hasil bekerja menjadi buruh tani.
Meskipun itu jauh di bukit sana dan kami coba bertanam cengkeh. Panen pertama itu tahun
1990, jadi sekitar 6 tahun setelah tanam bibit. Sebenarnya kalau pengurusan maksimal, 5
tahun sudah bisa panen. Tapi kan kami masih diganggu dengan kewajiban lapor, sementara
tanahnya jauh dari tempat tinggal.
Awal kami tanam bibit cengkeh sekitar 350 pohon, tapi sekarang sudah tidak diurus karena
suamiku sudah meninggal tahun 2008. Yah paling hanya tinggal 200an itu juga hasilnya
tidak maksimal, karena aku sudah tidak kuat untuk mengurus. Sementara anak-anak punya
kesibukan sendiri, jadi tidak fokus juga mengurus kebun cengkeh ini.
Mengurus panen cengkeh itu tidak mudah, banyak yang harus disediakan. Dari tangga
untuk memetik, buruh petik, tempat menjemur, alas untuk menjemur, tenaga untuk
menjemur dan mengangkat. Semua itu kita harus bayar orang, dari petik sampai kering.
Sudah kering dan dikarungkan itu baru punya kita, terkadang biaya operasionalnya bisa

227
Sulawesi Bersaksi
mencapai 50% dari hasil kotor. Sementara waktu panen tidak setahun sekali, dua tahun
sekali bahkan kalau seperti sekarang ini bisa tiga tahun sekali. Di samping itu aku juga
menanam sayuran di sekitar rumah, jadi untuk biaya hidup aku tidak khawatir lagi. Anak-
anak ku juga sudah berkeluarga semua dan bisa menghidupi dirinya sendiri. Saat ini
sepeninggal suami, aku tinggal bersama anak bungsu dan cucu.
Anakku yang pertama laki-laki kelahiran tahun 1969, sudah berkeluarga punya anak 3
tinggal di Sonder. Pendidikan terakhir Sekolah Menengah Atas (SMA), pekerjaannya tidak
tetap lebih sering menjadi tukang bangunan. Anak kedua perempuan kelahiran 1970,
sekolah sampai Sekolah Pendidikan Guru (SPG) tapi dia tidak bekerja. Saat ini
kesibukkannya jadi ibu rumah tangga mengurus 5 anak, suaminya PNS. Anakku yang
ketiga laki-laki kelahiran 1974, sudah berkeluarga punya anak satu, pendidikan terakhirnya
Sekolah Menengah Atas (SMA). Pekerjaannya wiraswasta dalam bidang pertanian, dan
kadang dia juga yang mengurus kebun cengkeh kami.
Kami bangga meskipun dulu kami diperlakukan tidak adil tapi sekarang kami bisa berdiri
atas usaha kami sendiri. Kami yakin Tuhan akan menolong orang yang mau berusaha. Kami
bisa hidup karena perjuangan, dan tekad untuk hidup. Semangat tinggi untuk hidup
berkobar, jadi mendorong dan tidak patah semangat. Tanpa semangat orang cenderung
sakit, kalau sudah sakit parah tidak bisa berbuat apa-apa.
Di antara kami, eks Tapol, juga sudah banyak yang terjun ke dunia politik, dan
pemerintahan. Ini membuktikan bahwa meskipun kami pernah ditindas dan diperlakukan
tidak adil tapi kami tidak menyerah. Kalau mau melihat perkembangan di kampung, orang-
orang yang dulu pernah ditindas, sekarang banyak yang sukses. Setelah ada kebebasan
untuk bergerak, bertani, bercocok tanam, dan ada usaha-usaha lain, maka merekalah yang
kelihatan sukses sekarang. Orang eks Tapol bukan pemalas tapi karena dulu tidak pernah
diberi kesempatan, sehingga tidak bisa mengembangkan diri. Sejak tahun 80an ketika mulai
diberi sedikit kebebasan, kami mulai bangkit menata kehidupan.
Buat aku itu semua sudah berakhir. Aku yakin, Tuhan tahu kita tidak berbuat salah.
Makanya aku bilang keyakinan itu yang membangkitkan semangat. Karena kalau kita mau
lihat orang-orang yang dulu benci sama kita mereka sudah berbalik. Mereka sudah
menyadari. Mereka sendiri yang berbalik baik. Mungkin juga di dalam hati mereka, aku
tidak tahu, tapi kalau melihat cara-cara mereka sudah tidak ada apa-apa lagi.
Sebagai orang yang beragama, aku menyerahkan semua itu kepada Tuhan. Ikut aktif dalam
kegiatan Gereja sangat membantu proses pemulihan. Di sini juga sudah banyak yang
menjadi pembantu dalam majelis-majelis. Lama-lama kita ditunjuk jadi koordiantor.

228
Sulawesi Bersaksi
Sekarang sudah boleh dipilih menjadi pimpinan agama, padahal dulu mau pimpin ibadah
kolom (lingkungan) tidak diperbolehkan. Itu belangsung dari tahun 65 sampai tahun 80an.
Sekarang ini aku juga sudah mulai memberikan pemahaman kepada anak-anak, untuk mau
meneruskan perjuangan kami yang belum menemukan titik terang. Bahwa memang
diperlukan generasi muda untuk melanjutkan. Kami hanya ingin keadilan demi
membersihkan nama baik, dan semoga membantu mengungkapkan fakta sejarah yang
sebenarnya.
Selain itu aku juga aktif di Organisasi Gerakan Rakyat Peduli HAM (GRP HAM) Manado
bersama teman-teman korban 65 lainnya dari seluruh Sulawesi Utara, seperti dari Minahasa
Selatan, Minahasa (Tondano), Manado, Sangir. Kami saling menguatkan tidak hanya dalam
memperjuangkan hak-hak tapi juga menguatkan dalam bidang keagamaan, dan saling
bertukar informasi. Semoga aku masih bisa menikmati buah dari perjuangan kami selama
ini.
Bertemu dengan anak-anak muda yang mau ikut bergabung dengan perjuangan kami,
bercerita dengan mereka, sangat menyenangkan. Itu juga membuat aku tetap bersemangat,
dan terkadang merasa lebih ringan ketika mereka mau mendengarkan cerita pengalamanku.
Karena selama ini tidak banyak yang mau peduli, mungkin mereka pikir tidak ada gunanya
buat mereka.***
Pewawancara dan penulis : Nurhasanah.

Apa & Siapa


Alamsyah AK. Lamasitudju, lahir di Parigi, 06 Juni 1974.
Aktivitasnya mengembangkan usaha pertanian palawija dan olahan makanan dari rumput
laut. Saat ini juga menjadi pendamping bagi anak muda dalam lembaga ELSAB (Lembaga
Seni Anak Bangsa).
Alamatnya di jalan Ipi Dusun Kadongo Kelurahan Panau Kecamatan Palu Utara. Kontak
yang dapat dihubungi 081354212966

Anita Tourisia, lebih akrab disapa Nita, Lahir di Palu, 14 April 1988, bergabung bersama
SKP-HAM sejak 2012, sehari-hari juga bekerja sebagai accounting di Dinas Kesehatan Kota
Palu. Saat ini tinggal di jalan Zebra Raya No. 20 kelurahan Birobuli kecamatan Palu Selatan.
Nita dapat dihubungi di melalui email nita_88@yahoo.co.id dan HP: 082394209545

Netty. S. Kalengkongan, berasal dari Poso lahir pada 08 September 1963. Tahun 2001 akibat
konflik Poso ia kehilangan suami dan seorang adik laki-laki. Aktivitasnya selain tergabung
dalam SKP-HAM semenjak 2004 juga bekerja sebagai staf pengajar di STT Marturia Palu.
Netty juga memiliki usaha rumahan Bawang Goreng khas Palu dan berbagai kue-kue dan
cemilan ringan. Alamatnya saat ini Jl. Basuki Rahmat Satu Lorong Posarara 1 No.101 H Kel.
Birobuli Kec. Palu Selatan. Kontak yang dapat dihubungi netty.-SKPHAM@gmail.com dan
HP: 085255986254

229
Sulawesi Bersaksi
Fredy Sreudeman Wowor, sastrawan dan dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Samratulangi Manado. Lahir 4 Maret 1977. Karya Puisi : Demikian Sabda Mesiah, Maesa
Rondor Makaaruyen, Song Of The Road. Wajah Deportan (Antologi Mastera), Percakapan
Lingua Franca (antologi Temu Sastrawan Indonesia), Alang-alang bulan (Antologi Mastera).
Memerdekakann Tou Minahasa (Kumpulan Tulisan Kaum Muda Minahasa). Waktu Dalam
Hidup Seorang Aktor, Angst, Kita Belum Merdeka.
Sekarang melakukan penggalian Seni Tradisi Minahasa seperti Kawasaran, Maengket, dan
Kalelon. Aktif di Mawale Movement.
Kontak: fredywowor_manado@yahoo.com
Alamat Rumah : Talikuran, Kec. Sonder,Kode Pos 95691. Kantor : Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Samratulangi, Jln Kampus Unstrat Bahu Manado, Kode Pos : 95115

DR. Ivan R.B Kaunang, lahir di Manado September 1967. Dosen di Program Pascasarjana
Magister (S2) dan Doktor (S3) Lingusitik Unsrat; Program Magister Arsitektur Unsrat; Dosen
Luar Biasa di Program Magister dan Doktor Teologi di UKI-Tomohon; di STIEPAR Manado,
di Poltekes Jurusan Ilmu Gizi Manado; Pemimpin Redaksi Jurnal Duta Budaya Fakultas
Ilmu Budaya Unsrat; Ketua Laboratorium Sejarah Sosial Budaya Fak. Ilmu Budaya Unsrat;
Direktur Seni Budaya di Ikatan Intelektual Muda (ILMU) Sulut; Direktur Institut Kajian
Budaya Minahasa (IKBM); Konsultan Penulisan Sejarah Gereja di Lingkungan GMIM; dan
aktif di Komunitas Diskusi Mawale Movement.Telah menulis berbagai buku dari disiplin
ilmu yang berbeda.
Kontak: ivanzkaunang@yahoo.co.id

Muhammad Abbas, Lahir di Nupabomba kecamatan Tanan-tovea kabupaten Donggala


Sulawesi Tengah 11 Januari 1980. Sekarang aktif di DKR (Dewan Kesehatan Rakyat)
Sulawesi Tengah dan bekerja di KPPA (Komunitas Peduli Perempuan dan Anak) Sulawesi
Tengah sebagai Asst Program Oficcer, Kontak HP.+6281245215513

Nurhasanah, lahir di Jakarta, tahun 1975.sekarang aktif di Gerakan Rakyat Peduli (GRP)
HAM, Yayasan Dian Rakyat Indonesia (YDRI), freelance Project BASICS-CIDA Canada,
additional admin SIPS-CIDA Canada sekarang tinggal di Manado, Sulut email :
nur_agro@yahoo.com

Nurlaela AK. Lamasitudju (Ella), lahir di Poso, 11 Novemver 1978, bekerja di SKP-HAM
sejak 2004. Tinggal di Perumahan Korpri Blok A1 No. 39 Kelurahan Kawatuna Kecamatan
Mantikulore Kota Palu. Kontak yang dapat dihubung. Kontak :081341146684

Putu Oka Sukanta, sastrawan dan akupunkturis, lahir di Singaraja tahun 1939. Beberapa
novel, kumpulan cerpen, kumpulan puisinya sudah terbit dalam bahasa Indonesia, Inggris,
Jerman danPerancis. Memproduksi 6 Film Dokumenter Dampak Sosial
TragediKemanusiaan 1965-66, Ketua Lembaga Kreatifitas Kemanusiaan.Pernah
dipenjarakan oleh ORBA selama 10 tahun tanpa proseshukum. Menerima Award
Hellman/Hammett, Human Rights Watch New York, 2012.
Kontak: poskanta@indosat.net.id.

Rusdy Mastura, Walikota Palu

Salim Martodiredjo, lahir di Kroya Jawa Tengah. Membuat ilustrasi untuk beberapa buku
dalam dan luar negeri. Sebagai Ilustrator buku memperoleh penghargaan dari IKAPI 1989,
Hadiah III pada Pameran Buku Anak-anak Asia di Teheran, 1991. Di Tokyo pada tahun 1990,

230
Sulawesi Bersaksi
1992, 1994, 1996. Juga memperoleh penghargaan dari Asia-Pacific Cultural Center for
Unesco. Hidup dan tinggal di Jakarta sebagai pelukis.
Pernah dipenjarakan Orde Baru selama 6 tahun tanpa proses hukum, karena bekerja di
Sekretariat Konferensi Internasional Anti Pangkalan Militer Asing di Jakarta.
Kontak: salimmarto@gmail.com

231

Anda mungkin juga menyukai